Anda di halaman 1dari 24

DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh:
Mega Siti Rohimah (22360025)
Muhammad Linggar Aulihand (22360026)
Ramadhani Muhammad (22360028)
Putri Febriana R (22360032)

Pembimbing :
dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD, FINASIM

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN / FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... ...... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ....... ii


BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ ....... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 2
2.1 Definisi. ............................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi................................................................................ ....... 2
2.3 Etiologi dan Transmisi............ ............................................................ 2
2.4 Patofisiologi dan Patogenesis................................................................ 3
2.5 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit.................................................. 7
2.6 Diagnosis .............................................................................................. 8
2.7 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 9
2.8 Diagnosis Banding ............................................................................... 11
2.9 Penatalaksnaan ..................................................................................... 13
2.10 Penyulit ............................................................................................... 16
2.11 Pencegahan ........................................................................................ 17
2.12 Prognosis ............................................................................................ 18
21

31

35

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 36

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan utama di 100 negara-negara tropis dan
subtropis di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. 1 Kira-kira
50 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus dengue ini sangat kompleks, yaitu pertumbuhan
penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap
nyamuk yang efektif di daerah endemik, dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan
mortalitas infeksi dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status imunologis
pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, faktor keganasan virus, dan
kondisi geografis setempat.2,3

Prevalensi global DHF mengalami peningkatan yang dramatis dalam dua dekade terakhir. Sekitar 40
% dari penduduk dunia di daerah tropis dan sub tropis beresiko terkena DHF. 1 Penyakit ini kini
menjadi penyakit yang endemik di Indonesia sejak tiga dekade terakhir. Insidennya berfluktuasi setiap
tahun bahkan sampai terjadi wabah DHF di beberapa daerah di Indonesia 4. Sampai saat ini 200 kota
telah melaporkan kejadian luar biasa. Insiden rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada
tahun 1968 menjadi berkisar 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun terakhir ini 3. Jumlah kasus
Dengue Hemorragic Fever ( DHF ) di Indonesia sejak Januari s/d Mei 2004 mencapai 64.000 (IR
29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak 724 orang (CFR 1,1 %)5.

DHF dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DHF berdasarkan umur di Indonesia
menunjukkan bahwa DHF paling banyak terjadi pada anak usia sekolah yaitu pada usia 5-14 tahun. 4
DHF masih sulit diberantas karena belum ada vaksin untuk pencegahan dan penatalaksanaannya
hanya bersifat suportif. Keberhasilan penatalaksanaan DHF terletak pada kemampuan mendeteksi
secara dini fase kritis dan penanganan yang cepat dan tepat5.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala perdarahan
dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia
(trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai
normal1.

2.2 Epidemiologi

Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue secara global. Di
seluruh dunia 50-100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya sekitar 500.000 kasus
DBD perlu perawatan di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak – anak usia kurang dari
15 tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5% dan sekitar 25.000 kasus kematian
dilaporkan setiap harinya6.

2.3 Etiologi dan Transmisi

DBD diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan RNA virus dengan
nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan kapsul lipid. Virus ini termasuk
kedalam kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae, genus Flavivirus. Flavivirus merupakan
virus yang berbentuk sferis, berdiameter 45-60 nm, mempunyai RNA positif sense yang
terselubung, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium
dioksikolat, stabil pada suhu 70oC4,7. Virus dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN
2, DEN 3, DEN 4.3

Manifestasi klinis dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue itu sendiri, terdapat 2 faktor
lain yang berperan yaitu faktor host dan vektor perantara. Virus dengue dikatakan menyerang
manusia dan primata yang lebih rendah. Penelitian di Afrika menyebutkan bahwa monyet
dapat terinfeksi virus ini. Transmisi vertikal dari ibu ke anak telah dilaporkan kejadiannya di

2
Bangladesh dan Thailand6. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes aegypti betina,
disamping pula Aedes albopictus betina7. Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam
berdarah (nyamuk Aedes aegypti)8:

 Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih


 Hidup di dalam dan di sekitar rumah
 Menggigit/menghisap darah pada siang hari
 Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar
 Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah bukan di
got/comberan
 Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung, dan lain-lain.

Gambar 2.2 Aedes aegypti betina 8.

Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, maka virus dengue
akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam tubuh nyamuk itu virus dengue
akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam kelenjar air liur nyamuk. Jika nyamuk
tersebut menggigit seseorang maka alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah,
sebelum darah orang itu diisap maka terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya agar darah yang
diisapnya tidak membeku2. Bersama dengan air liur inilah virus dengue tersebut ditularkan
kepada orang lain.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue(DBD) disebabkan oleh virus
yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan

3
klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang bisa
mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang
diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis
demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang
di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2
hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan
segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi
APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi
sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga
mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali
yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.5

Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya


gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.5 Imunopatogenesis DBD dan DSS masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan
perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi
sekunder (secondary heterologous infection theory).

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen.2,4

Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika terdapat
antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat mencegah
penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang
tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat. 6 Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor

4
dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody
dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi
virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.4

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary


heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan
terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus
dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi
(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.

Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang
ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih
dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya
dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu pengobatan
syok sangat penting guna mencegah kematian.4
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virusAnamnestic antibody response
Kompleks Virus-Antibody Aktivasi Komplemen

Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin meningkat

Permeabilitas kapiler meningkat


Ht Meningkat
>30% pd kasus Natrium Menurun
syok 24-48 jam Perembesan Plasma
Cairan dalam rongga serosa
Hipovolemia

SYOK
Anoksia Asidosis
MENINGGAL

Gambar 2.3 Patogenesis Terjadinya Syok Pada DBD.4

5
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain mengaktivasi
sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan
perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks
antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
diphosphat ), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati konsumtif (KID; koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation
product ) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding
endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.4

Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamnestic antibody respose


Kompleks Virus-Antibody

Agregasi Trombosit Aktivasi KoagulasiAktivasi Komplemen


Pengeluaran
Aktivasi Faktor Hageman
PenghancuranPlatelet faktor III Trombosit oleh RES
Anafilaktosin
Sistem Kinin
Trombositopenia Koagulopati konsumtif
Peningkatan Permeabilitas kapiler
Gangguan fungsi trombosit Kinin
Penurunan faktor Pembekuan

FDP Meningkat
PERDARAHAN MASIF SYOK

Gambar 2.4 Patogenesis Terjadinya Perdarahan pada DBD.4

6
2.5 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi antara
kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat tidak
menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam tanpa
penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi berat dengan demam berdarah
dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue (SSD). 1 Namun, untuk alasan praktis,
infeksi dengue yang tidak berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2
kelompok yaitu pasien dengan warning sign dan tanpa warning sign.

Gambar 2.5 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue1.

2.6 Diagnosis

Kriteria untuk mendiagnosis dengue (dengan atau tanpa warning sign) dan severe dengue
dapat dilihat pada Gambar 2.6.

7
Gambar 2.6 Klasifikasi Infeksi Dengue5

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis DBD adalah
pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang signifikan dilakukan
adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis DBD secara definitif
dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis.

Darah Lengkap :

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DBD merupakan indikator
terjadinya perembesan plasma, Selain hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan
leukopenia.5

Isolasi Virus :

Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu :6,7

8
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva.
Identifikasi Virus :

Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence antibody
technique test secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan cunjugate. Untuk
identifikasi virus dipakai flourensecence antibody technique test secara indirek dengan
menggunakan antibodi monoklonal.6,7

Uji Serologi :

1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test)6,7


Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan
digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam uji HI ini :

a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat
menunjukan tipe virus yang menginfeksi
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun), maka uji ini baik
digunakan pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer serum
akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif, atau diduga keras positif
infeksi dengue yang baru terjadi (Recent dengue infection )
2. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )6,7
Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh karena selain
cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan tenaga periksa yang sudah
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan
sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3 tahun )
3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )6,7
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji
neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test ( PRNT )
yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi
dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih
cepat dari antibodi fiksasi dan bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.

9
4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)8
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai.
Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :
a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang diikuti oleh
IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan diagnosis
yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk
memeperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji IgM
tidak boleh dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji
mac elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama
dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI , hanya sedikit
lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi dengue IgM / IgG dengue
blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang telah beredar di pasaran. Pada dasarnya,
hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase konvalesen terhadap
titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih).8

Metode Diagnosis Baru (RTPCR) :

Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular, diagnosis infeksi virus
dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang disebut Reverse Transcriptase Polymerase
Chai Reaction (RTPCR).9,10 Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan
spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara
ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh
manusia , dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR tidak
begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam
penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga tidak mempengaruhi
hasil dari PCR.9,10

10
2.7.2 Pemeriksaan Radiologi

Kelainan yang bisa didapatkan antara lain 3:

1. Dilatasi pembuluh darah paru


2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea

2.8 Diagnosis Banding

a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis chikungunya,
malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan
antara DBD dengan penyakit lain.
b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh anggota
keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan
dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih
pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi kojungtiva
dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan
epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan
gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan sakit
berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat
leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis).
Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi
bakteri dengan virus. Pada meningitis meningkokokus jelas terdapat rangsangan
meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat

11
menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah
trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam
tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi
dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak
sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder3.

2.9 Penatalaksanaan

Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan ke dalam 3
kelompok yaitu Grup A, B, dan C.5 Pasien yang termasuk Grup A dapat menjalani rawat
jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus menjalani perawatan di rumah
sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi
bersifat simptomatis dan suportif.

2.9.1 Grup A

Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan mampu
mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine minimal sekali
dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan.
Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien Grup
A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan cairan oral yang cukup,
serta pemberian parasetamol. Pasien beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang
warning signs secara jelas dan diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit
jika timbul warning signs selama perawatan di rumah.5

2.9.2 Grup B

Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien dengan kondisi
penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi penyerta khusus seperti
kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau dengan indikasi sosial seperti
tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika
pasien tidak mampu mentoleransi asupan cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi
cairan intravena dapat dimulai dengan memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate

12
dengan kecepatan tetes maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan
masuk dan cairan keluar), produksi urine, dan warning signs.5

Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai berikut:

 Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan
kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
 Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil atau
hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam
selama 2-4 jam.
 Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT, tingkatkan
kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam
 Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan tetes
infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir fase kritis yang
diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan yang adekuat dan nilai
hematokrit di bawah nilai baseline.
 Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati fase
kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti cairan,
kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati,
dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).

2.9.3 Grup C

Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma leakage) berat yang
menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan distres nafas, perdarahan
berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi menjadi terapi syok terkompensasi
(compensated shock) dan terapi syok hipotensif (hypotensive shock).5

Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:

 Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1 jam. Nilai
kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan tetes secara
gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4
jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan selanjutnya sesuai status
hemodinamik pasien. Terapi cairan intravena dipertahankan selama 24-48 jam.

13
 Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan pertama. Jika
nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi bolus cairan kedua atau
larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika membaik dengan bolus kedua,
kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan
pengurangan kecepatan tetes secara gradual seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
 Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan
memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).

Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:

 Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai bolus


diberikan dalam 15 menit.
 Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10 ml/kg/jam selama 1
jam, kemudian turunkan kecepatan tetes secara gradual.
 Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai hematokrit
sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini menandakan adanya
perdarahan, siapkan cross-match dan transfusi. Jika hematokrit tinggi dibandingkan
nilai basal, ganti cairan dengan cairan koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua
selama 30 menit sampai 1 jam, nilai ulang setelah bolus kedua.
 Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian kembali ke cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes seperti poin
penjelasan sebelumnya.
 Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah bolus cairan
kedua. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan adanya perdarahan. Jika
hematokrit tetap tinggi atau bahkan meningkat (>50%), lanjutkan infus koloid 10-20
ml/kg/jam sebagai bolus ketiga selama 1 jam, kemudian kurangi menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti dengan cairan kristaloid dan kurangi
kecepatan tetes.
 Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-20
ml/kg/jam whole blood segar.

Kriteria memulangkan pasien


Pasien dapat dipulangkan apabila :

- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

14
- Nafsu makan membaik
- Secara klinis tampak perbaikan
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit > 50.000/µl
- Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)1.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Universitas Gajah Mada
1. Protokol 1 : probabel DBD tanpa syok

Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan


pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:
• Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 - 150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb,Ht Lekosit dan trombosit tiap 24jam) atau
bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
• Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
• Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turunjuga dianjurkan untuk dirawat.

2. Probabel 2 : tersangka DBD di ruang rawat inap tanpa syok, tanpa perdarahan
spontan dan masif.

15
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok
maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid denganjumlah seperti rumus
berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
V =1500+ [ 20 × ( BB ( kg )−20 ) ]
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24jam: •
BilaHb,Htmeningkat 10-20%dantrombosit< 100.000 jumlah pemberian cairan tetap
seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan tiap 12jam. • Bila
Hb, Ht meningkat> 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

3. Protokol 3 : tatalaksanan DBD dengan Ht >20%

Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan


sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,
produksi urin meningkat makajumlah cairan infiis dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian
cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan
tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan
16
nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita hams
menaikkanjumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah caira infus dinaikan 5 ml/kgBB/jam menjadi
15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan
didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol
tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
4. Protokol 4:

Perdarahan spontan dan masifpada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan


hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pemafasan dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostasis harus segera
dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah
diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor
pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang
dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan
perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 disertai atau
tanpa KID.
5. Protokol 5 : SSD

17
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan
darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi
kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan
kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-lml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam. Bila dalamwaktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan
menjadi 5 ml/ kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap
stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/ jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan
teratasi tanda-tanda \ ital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka
pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma
yang mengalami ekstravasasi telah teijadi. ditandai dengan turunnya hematokrit,
cairan infiis terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema pani atau gagal
janmng dapat teijadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang hams dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam penama sejak terjadi renjatan (karena selain proses
paiogenesis penyakit masih berlangsung, temyata cairan kristaloid hanya sekitar
20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena imtuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik. diperlukan
pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensijantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium
kanan dan epigastrik, sertajumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.
Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan temyata renjatan belum teratasi, maka

18
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan
kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka
perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi
bila nilai hematokrit menurun, berarti teijadi perdarahan {internal bleeding) maka
pada penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai
kebutuhan.

2.10 Penyulit

Ensefalopati Dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik
seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab ensefalopati.
Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan dapat juga disebabkan oleh
trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskuler yang
menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan
juga bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut3.

Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen, dapat
disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada DBD / SSD. Apabila pada pasien syok
dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan adanya ensefalopati, syok harus
diatasi terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi maka perlu dinilai kembali kesadarannya.
Pungsi lumbal dikerjakan bila kesadarannya telah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-
hati bila jumlah trombosit <50.000/μl). Pada ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar
transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis
pada analisa gas darah, dan hiponatremia (Bila mungkin periksa kadar amoniak darah)3.

Kelainan Ginjal

Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak
teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk
mencegah gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume
intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok
telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / Kg BB per jam. Oleh karena bila syok belum

19
teratasi dengan baik sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang.
Pada keadaan syok berat sering kali dijimpai akut tubular nekrosis ditandai penurunan jumlah
urine dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin3.

Oedema Paru

Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena perembesan plasma
masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila
cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin
dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distres pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata dan ditunjang dengan gambaran oedema paru pada foto
rontgen3.

2.11 Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah
(Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk) Upaya ini
merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat,
dengan cara sebagai berikut:

1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-
lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat
minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-lain
agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban
bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak
menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan
lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE
ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini
setiap 2-3 bulan sekali

20
Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup dengan
1 gram bubuk ABATE. Untuk menakar ABATE digunakan sendok makan. Satu sendok
makan peres berisi 10 gram ABATE. Setelah dibubuhkan ABATE maka8:

1. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes
aegypti
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti airnya,
hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut
3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan
dan tetap aman bila air tersebut diminum

2.12 Prognosis

Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan diberikan, umur,
dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV
bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok
yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa
menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang dewasa
umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi
sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk3.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, Regional Office for South East Asia (2011). Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and
expanded edition. SEARO Technical Publication Series No. 60. India
2. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
3. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
4. Hadinegoro, S.Sri Rezeki (2011). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta.
5. World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment, prevention
and control. New Edition 2009.
6. Buchy P, Yoksan S, Peeling RW, Hunsperger E. Laboratory Tests for The Diagnosis of
Dengue Virus Infection. J Clin Microbiol 2006;40:376-81.
7. Guzman MG, Kouri G. Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect Dis
2007;8:69-80.
8. Shu PY. Comparison of a capture immunoglobulin M (IgM) and IgG ELISA and non-
structural protein NS1 serotype-specific IgG ELISA for differentiation of primary and
secondary dengue virus infections. Clin Diagn Lab Immunol 2006;10:622-30.
9. Chien LJ. Development of a real time reverse transcriptase PCR assays to detect and
serotype dengue viruses. J Clin Microbiol 2008;44:1295-04.
10. Lanciotti RS. Rapid detection and typing of dengue viruses from clinical samples by
using reverse transcriptase-polymerase chain reaction. J Clin Microbiol 2008;30:545-51.
11. ipd

22

Anda mungkin juga menyukai