Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

DEMAM BERDARAH DENGUE

PEMBIMBING:
dr. Ridho Adriansyah, Sp.PD
dr. Santhy Payung

DISUSUN OLEH:
dr. Anggi Cantika

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PADEMANGAN
JAKARTA UTARA
D.K.I JAKARTA
2020
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Demam Berdarah Dengue” tepat pada waktunya. Pelaksanaan dan
penulisan laporan penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Dokter Internsip Kemenkes RI tahun 2019 – 2020.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada
pembimbing, dr. Ridho Adriansyah, Sp.PD yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Penulis juga
berterima kasih kepada seluruh jajaran RSUD Pademangan yang telah mengizinkan
penulis untuk melakukan program dokter internsip di rumah sakit tersebut. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan segala pihak lain yang
turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna,
baik dalam isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran
dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan selanjutnya. Semoga
dapat bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Jakarta, Maret 2020

Penulis
ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1


1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2. Tujuan ........................................................................................................... 2
1.3. Manfaat ......................................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................3


2.1. Definisi ......................................................................................................... 3
2.2. Etiologi ......................................................................................................... 3
2.3. Epidemiologi................................................................................................. 3
2.4. Patogenesis ................................................................................................... 5
2.5. Patofisiologi .......................................................................................... …. 8
2.6. Manifestasi Klinis ....................................................................................... 10
2.7. Diagnosis .................................................................................................... 13
2.8. Diagnosis Banding ...................................................................................... 14
2.9. Tatalaksana ................................................................................................. 15
2.10. Prognosis................................................................................................... 18

BAB 3 STATUS PASIEN ................................................................................... 19


3.1. Identitas Pasien ........................................................................................... 19
3.2. Anamnesis................................................................................................... 19
3.3. Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 20
3.4. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 21
3.5. Diagnosis Banding ...................................................................................... 22
3.6. Diagnosis Kerja .......................................................................................... 22
3.7. Tatalaksana Awal ........................................................................................ 22
3.8. Follow Up Ruangan .................................................................................... 23

BAB 4 ANALISIS KASUS ................................................................................. 28

BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................... 31


5.1. Kesimpulan ................................................................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 32
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dengue merupakan virus yang paling sering menyerang manusia. Didunia, 390
juta jiwa dan tinggal pada 112 negara yang memiliki penularan Dengue. Setiap
tahunnya diperkirakan terdapat 50-200 juta individu terinfeksi virus dengue. Hal ini
disebabkan oleh infeksi virus dengue dengan serotype 1-4 termasuk dalam
golongan Flavivirus (suatu jenis virus single-stranded nonsegmented RNA).
Terinfeksi dengan salah satu serotipe Dengue dapat memberi kekebalan homotip
seumur hidup pada serotipe tersebut dan memberikan kekebalan yang singkat
terhadap serotipe lainnya, namun seseorang dapat terinfeksi oleh 4 serotipe lainnya.
Beberapa serotipe dapat terjadi selama terjadi endemik.1
Di Indonesia, lebih dari 35% populasi hidup di daerah perkotaan, sebanyak
100.347 kasus dilaporkan pada tahun 2016 dengan angka mortalitas sebanyak 907
kasus. Kasus kematian diperkirakan sebanyak 0.9%. 2
Pada tahun 2015. Tercatat terdapat sebanyak 126.675 penderita DBD di 34
provinsi di Indonesia, dan 1229 orang di antaranya meninggal dunia. Jumlah
tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 100.347
penderita DBD dan sebanyak 907 penderita meninggal dunia pada tahun 2014.3
Pada awalnya infeksi Dengue asimptomatis (50-90%),1 mengakibatkan demam
non speisfik atau menghasilkan gejala klasik demam Dengue. Gejala klasik Demam
Dengue ditandai oleh kenaikan demam yang cepat, sakit kepala, nyeri retro-orbital,
nyeri seluruh tubuh (otot dan tulang), lemas, muntah, sakit tenggorokan, ruam
makulopapular.4
Morbiditas dan mortalitas demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue tida
spesifik dan dipengaruhi faktor lain seperti sistem imun, kondisi vektor, transmisi
virus Dengue, virulensi virus dan kondisi geografis. Tidak ada perbedaan prevalensi
berdasarkan jenis kelamin, tetapi kematian yang disebabkan demam berdarah
Dengue lebih tinggi pada anak.5
2

Sebagian pasien demam berdarah Dengue yang tidak diobati secara tepat dapat
berkembang menjadi Dengue Shock Syndrome yang dapat menyebabkan kematian.
Ini terjadi karena peningkatan volume darah karena penurunan permeabilitas
pembuluh darah. Hampir 35% pasien Demam Berdarah Dengue tidak ditangani
dengan segera di rumah sakit meninggal karena syok hipovolemik.5

1.2. Tujuan
1. Memahami aspek teori dan aplikasi terhadap demam berdarah dengue,
terutama identifikasi dan panatalaksanaan klinis terhadap pasien.
2. Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Dokter Internsip
Kemenkes RI tahun 2019 – 2020.

1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah laporan kasus ini adalah untuk meningkatkan
pemahaman mengenai demam berdarah dengue yang berlandaskan teori sehingga
dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin sesuai kompetensinya pada praktik
klinis.
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Demam Dengue, merupakan sindrom yang disebabkan oleh beberapa virus
arthropod, dengan karakteristik oleh demam bifasik, myalgia atau arthralgia, ruam,
leukopenia dan lymphadenopathy.5 Setelah periode inkubasi mulai menjadi sakit
dan diikuti tiga fase yaitu fase demam, fase kritis dan fase penyembuhan.6

2.2. Etiologi
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus Dengue
yang termasuk kedalam grup Arthropod-Borne Virus (Arboviruses) yang diketahui
dalam genus flavivirus, family Flaviviridae dan memiliki 4 serotipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, DEN-4.7 Flavovirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.8

2.3. Epidemiologi
50 tahun yang lalu, dilaporkan insidensi kejadian Demam Dengue meningkat
30 kali dengan perkembangan dan pertumbuhan populasi dari kota ke pedesaan
pada dekade yang lalu. Diestimasikan sedikitnya 50 juta dari 2.5 milyar orang hidup
di daerah endemik terinfeksi virus Dengue setiap tahunnya. Demam Dengue
merupakan kasus tertinggi setelah malaria. Infeksi virus Dengue merupakan
endemik pada beberapa Negara Asia Tenggara , Pasifik Barat, Amerika dan sangat
endemik di Thailand. Demam Dengue paling sering menyerang anak dibawah 15
tahun.5
Wabah Demam Berdarah di daerah perkotaan yang sebarkan oleh nyamuk A.
aegypti sebanyak 70-80% populasi. Sebagian besar terjadi pada anak-anak dan
orang dewasa. Karena nyamuk A.aegypti memiliki jangkauan terbang yang
terbatas, sehingga penyebaran epidemi nyamuk A. aegypti terjadi terutama melalui
manusia viremik dan mengikuti jalur transportasi utama.7,9
4

Di Indonesia, lebih dari 35% populasi hidup di daerah perkotaan, sebanyak


100.347 kasus dilaporkan pada tahun 2014 dengan angka mortalitas sebanyak 907
kasus. Kasus kematian diperkirakan sebanyak 0.9%.2

DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia selama 47


tahun terakhir. Sejak tahun 1968 terjadi peningkatan jumlah provinsi dan
kabupaten/kota dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 34 provinsi dan 436 (85%)
kabupaten /kota pada tahun 2015. Terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD dari
tahun 1968 yaitu 58 kasus menjadi 126.675 kasus pada tahun 2015. Peningkatan
dan penyebaran kasus DBD tersebut dapat disebabkan oleh mobilitas penduduk
yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan
kapadatan dan distribusi penduduk dan faktor epidemiologi lainnya yang masih
memerlukan penelitian yang lebih lanjut.10
5

2.4. Patofisiologi
Patogenesisnya belum dimengerti secara sempurna, penelitian epidemiologi
memberi kesan bahwa biasanya disertai dengan infeksi virus dengue tipe 2, 3, dan
4 sekunder.11 Perbedaan klinis antara Demam Dengue dengan Demam Berdarah
Dengue disebabkan oleh mekanisme patofisiologi yang berbeda. Adanya renjatan
pada Demam Berdarah Dengue disebabkan karena kebocoran plasma (plasma
leakage) yang diduga karena proses imunologi. Hal ini tidak didapati pada Demam
Dengue.12 Virus Dengue yang masuk kedalam tubuh akan beredar dalam sirkulasi
darah dan akan ditangkap oleh makrofag (Antigen Presenting Cell). Viremia akan
terjadi sejak 2 hari sebelum timbul gejala hingga setelah lima hari terjadinya
demam. Antigen yang menempel pada makrofag akan mengaktifasi sel T-Helper
dan menarik makrofag lainnya untuk menangkap lebih banyak virus. Sedangkan sel
T-Helper akan mengaktifasi sel T-Sitotoksik yang akan melisis makrofag. Telah
dikenali tiga jenis antibodi yaitu antibody netralisasi, antibodi hemagglutinasi,
antibody fiksasi komplemen.12
Proses ini akan diikuti dengan dilepaskannya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan
gejala lainnya. Juga bisa terjadi aggregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia ringan. 12
Demam tinggi (hiperthermia) merupakan manifestasi klinik yang utama pada
penderita infeksi virus Dengue sebagai respon fisiologis terhadap mediator yang
muncul. Sel penjamu yang muncul dan beredar dalam sirkulasi merangsang
terjadinya panas. Faktor panas yang dimunculkan adalah jenis-jenis sitokin yang
memicu panas seperti TNF -α, IL-1, IL-6, dan sebaliknya sitokon yang meredam
panas adalah TGF-β, dan IL-10. 12
Beredarnya virus di dalam plasma bisa merupakan partikel virus yang bebas
atau berada dalam sel platelet, limfosit, monosit, tetapi tidak di dalam eritrosit.
Banyaknya partikel virus yang merupakan kompleks imun yang terkait dengan sel
ini menyebabkan viremia pada infeksi virus Dengue sukar dibersihkan. Antibodi
yang dihasilkan pada infeksi virus dengue merupakan non netralisasi antibodi yang
dipelajari dari hasil studi menggunakan stok kulit virus C6/C36, viro sel nyamuk
6

dan preparat virus yang asli. 12


Respon innate immune terhadap infeksi virus Dengue meliputi dua komponen
yang berperan penting di periode sebelum gejala infeksi yaitu antibodi IgM dan
platelet. Antibodi alami IgM dibuat oleh CD5 + B sel, bersifat tidak spesifik dan
memiliki struktur molekul mutimerix. Molekul hexamer IgM berjumlah lebih
sedikit dibandingkan molekul pentameric IgM namun hexamer IgM lebih efisien
dalam mengaktivasi komplemen.Antigen Dengue dapat dideteksi di lebih dari 50%
“Complex Circulating Imun”. Kompleks imun IgM tersebut selalu ditemukan di
dalam dinding darah dibawah kulit atau di bercak merah kulit penderita dengue.
Oleh karenanya dalam penentuan virus dengue level IgM merupakan hal yang
spesifik. 12
Pada Demam Berdarah Dengue peningkatan akut permeabilitas vaskuler
merupakan patofisiologi primer. Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke
dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan
penurunan tekanan darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma menurun lebih
dari 20% meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi
destruktif vaskuler yang nyata tidak terjadi. Terdapat tiga faktor yang
menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD dan DSS yaitu: perubahan
vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita dengue
mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, serta koagulogram
yang abnormal. 12
Infeksi virus Dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan seluler,
antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang
muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi primer,
dan pada infeksi sekunder kadarnya telah meningkat. Pada hari kelima demam
dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat pada minggu pertama hingga
minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.pada infeksi primer antibodi IgG
meningkat pada hari ke-14 demam sedangkan pada infeksi sekunder kadar IgG
meningkat pada hari kedua. 12
Karenanya diagnosis infeksi primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi
IgM setelah hari kelima sakit, sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat
7

ditegakkan lebih dini. Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali protein E
dan monoclonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus dengue sehingga
terjadi aktifitas netralisasi atau aktifasi komplemen sehingga sel yang terinfeksi
virus menjadi lisis. Proses ini melenyapkan banyak virus dan penderita sembuh
dengan memiliki kekebalan terhadap serotipe virus yang sama. 12
Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus Dengue serotipe yang
berbeda, maka virus Dengue tersebut akan berperan sebagai super antigen setelah
difagosit oleh makrofag atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan Antigen
Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC II). Antigen yang bermuatan
peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2) dengan
perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai reaksi terhadap infeksi.Kemudian
limfosit TH-1 akan mengeluarkan substansi imunomodulator yaitu INFγ, IL -2, dan
Colony Stimulating Factor (CSF). IFNγ akan merangsang makrofag untuk
mengeluarkan IL-1 dan TNFα.Interleukin-1 (IL-1) memiliki efek pada sel endotel,
membentuk prostaglandin, dan merangsang ekspresi intercelluler adhasion
molecule 1 (ICAM 1). 12
Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang neutrofil, oleh pengaruh
ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan beradhesi dengan sel
endotel dan mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endotel lisis dan endothel
terbuka. Neutrofil juga membawa superoksid yang akan mempengaruhi oksigenasi
pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga endotel menjadi nekrosis dan
mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler. Antigen yang bermuatan MHC I akan
diekspresikan di permukaan virus sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+ yang
bersifat sitolitik sehingga menhancurkan semua sel yang mengandung virus
dan akhirnya disekresikan IFNγ dan TNFα. 12
8

2.5. Patogenesis
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ RES
seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfatik,
sumsum tulang serta paru- paru. Dalam peredaran darah virus akan difagosit oleh
monosit. Setelah genom virus masuk ke dalam sel maka dengan bantuan organel-
organel sel genom virus akan memulai membentuk komponen-komponen
strukturalnya.setelah berkembang biak di dalam sitoplasma sel maka virus akan
dilepaskan dari sel.

Diagnosis pasti dengan uji serologis pada infeksi virus dengue sulit dilakukan
karena semua flavivirus memiliki epitope pada selubung protein yang
menghasilkan “cross reaction” atau reaksi silang. Infeksi oleh satu serotipe virus
DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe tersebut, tetapi tidak ada
“cross protektif” terhadap serotipe virus yang lain. Virion dari virus DEN
ekstraseluler terdiri dari protein C (capsid), M (membran) dan E (evelope). Virus
instraseluler terdiri dari prot in pre-membran atau pre-M. Glikoprotein E
merupakan epitope penting karena mampu membangkitkan antibody spesifik untuk
proses netralisasi, mempunyai aktivitas hemaglutinin, berperan dalam proses
absorbsi pada permukaan sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi fisiologis
9

antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion.


Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis:
netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibodi Dependent Cell-mediated
Cytotoxicity (ADCC) dan Antibodi Dependent Enhancement. Secara invivo
antibodi terhadap virus DEN berperan dalam 2 hal yaitu:
a. Antbodi netralisasi memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi
infeksi virus.
b. Antibodi non netralising memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan
infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS
Perubahan patofisiologis dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori
yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan
hipotesis antibody dependent enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder
menjelaskan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu
jenis virus, maka akan terdapat kekebalan terhadap infeksi virus jenis tersebut untuk
jangka waktu yang lama.
Pada infeksi primer virus Dengue antibodi yang terbentuk dapat menetralisir
virus yang sama (homolog). Namun jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder
dengan jenis virus yang lain, maka virus tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi
infeksi berat. Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara
antibodi heterolog yang telah dihasilkan dengan virus Dengue yang berbeda.
Selanjutnya ikatan antara kompleks virus -antibodi (IgG) dengan reseptor Fc
gama pada sel akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks
antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat
opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag akan mudah terinfeksi sehingga
akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF α dan juga “Platelet Activating Factor”
Selanjutnya dengan peranan TNFα akan terjadi kebocoran dinding pembuluh
darah, merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena endotel yang rusak, hal ini
dapat berakhir dengan syok. Proses ini juga menyertakan komplemen yang bersifat
vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma dan
perdarahan yang dapat mengakibatkan syok hipovolemik.
Pada bayi dan anak-anak berusia dibawah 2 tahun yang lahir dari ibu dengan
10

riwayat pernah terinfeksi virus DEN, maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi
“Non Neutralizing Antibodies” sehingga sudah terjadi proses “Enhancing” yang
akan memacu makrofag sehingga mengeluarkan IL-6 dan TNF α juga PAF. Bahan
-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel pembuluh darah dan
sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Pada teori kedua (ADE) , terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap terjadinya
DBD dan DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance infection, serta
limfosit T dan monosit. Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat antibodi spesifik
terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit,
tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh tidak dapat
menetralisir penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.12

2.6. Manifestasi Klinis

Berdasarkan Guideline WHO Diagnosis, Treatment, Prevention and Control


tahun 2009. Membagi menjadi tiga fase, yaitu fase demam, fase kritis dan fase
penyembuhan.6
Fase demam
Penderita biasanya mengalami demam tinggi secara tiba-tiba. Fase demam akut
ini biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan wajah memerah,
eritema kulit, nyeri badan, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Beberapa pasien
mungkin sakit tenggorokan, faring dan suntikan. Anoreksia, mual dan muntah
biasanya dijumpai. Sulit membedakan Dengue secara klinis dari penyakit demam
berdarah non-DBD pada fase demam dini. Uji tourniquet positif pada fase ini akan
meningkatkan kemungkinan demam berdarah. Oleh karena itu memperhatikan
warning sign dan parameter klinis lainnya sangat penting untuk mengenali
kemajuan pada fase kritis. 6
Fase Kritis
Saat suhu turun menjadi 37,5-38˚C atau kurang dan tetap di bawah tingkat ini,
biasanya pada hari 3-7 penyakit, peningkatan kapiler permeabilitas secara paralel
dengan peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi. Tanda ini awal fase kritis.
Periode dengan gejala klinis kebocoran plasma secara signifikan biasanya
11

berlangsung 24-48 jam.


Leukopenia progresif diikuti oleh penurunan jumlah trombosit yang cepat
biasanya terjadi sebelumnya kebocoran plasma. Pada titik ini pasien tanpa
peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik, sementara yang dengan
permeabilitas kapiler yang meningkat menjadi lebih buruk sebagai hasil volume
plasma yang hilang. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites
dapat terdeteksi secara klinis tergantung pada tingkat kebocoran plasma dan volume
terapi cairan. Oleh karena itu rontgen dada dan ultrasound perut bisa bermanfaat
sebagai alat untuk diagnosis. Tingkat kenaikan di atas hematokrit dasar sering
mencerminkan tingkat keparahan kebocoran plasma.
Syok terjadi saat volume kritis plasma hilang melalui kebocoran. Hal ini sering
terjadi didahului dengan warning sign. Suhu tubuh mungkin subnormal saat syok
terjadi. Dengan syok berkepanjangan, akibatnya hasil hipoperfusi organ dalam
gangguan organ progresif, asidosis metabolik dan koagulasi intravaskular
diseminata. Hal ini pada gilirannya menyebabkan perdarahan hebat yang
menyebabkan hematokrit menurun parah syok. Sebagai gantinya leukopenia
biasanya terlihat selama fase demam berdarah ini, jumlah total sel darah putih dapat
meningkat pada pasien dengan perdarahan hebat. Selain itu, kerusakan organ berat
seperti hepatitis, ensefalitis atau miokarditis berat dan / atau perdarahan hebat juga
dapat terjadi tanpa adanya kebocoran atau kejutan plasma yang jelas. Mereka yang
membaik setelah penurunan suhu badan sampai yg normal dikatakan memiliki
Dengue non-berat. Beberapa pasien maju ke fase kritis kebocoran plasma tanpa
penurunan suhu badan sampai yg normal dan, pada pasien ini, perubahan dalam
hitung darah lengkap harus digunakan untuk memandu awal fase dan plasma
kebocoran kritis. Fase pemulihan

Jika pasien bertahan pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi cairan kompartemen
ekstravaskular berlangsung dalam 48-72 jam berikut. Kenaikan keadaan umum,
kembalinya nafsu makan, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil
dan diuresis terjadi kemudian. Beberapa pasien mungkin mengalami ruam.
Beberapa mungkin mengalami pruritus yang umum. Bradikardi dan perubahan
elektrokardiografi biasanya umum terjadi pada tahap ini. Hematokrit stabil atau
12

mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan diserap. Jumlah sel darah putih
biasanya mulai meningkat segera setelah defervescence namun pemulihan jumlah
trombosit biasanya lebih tinggi daripada jumlah sel darah putih.

Gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan asites yang besar akan terjadi
kapan saja jika cairan intravena berlebihan diberikan. Selama fase kritis dan / atau
pemulihan, terapi cairan berlebihan dikaitkan dengan edema paru atau gagal
jantung kongestif. 6

Fase Penyembuhan
Jika pasien bertahan pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi cairan kompartemen
ekstravaskular secara bertahap terjadi dalam 48-72 jam berikut. Keadaan umum
membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal mereda, status
hemodinamik stabil dan terjadi diuresis. Beberapa pasien mungkin mengalami
pruritus umum, bradycardia dan perubahan elektrokardiografi. Hematokrit stabil
atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan reabsorpsi. Jumlah sel darah
putih biasanya mulai meningkat segera setelah defervescence namun pemulihan
jumlah trombosit biasanya lebih tinggi daripada jumlah sel darah putih.6

Gambar : Perkembangan Fase Penyakit Infeksi Virus Dengue


13

2.7. Diagnosis
Demam dengue merupakan demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau
lebih manifestasi klinis sebagai berikut8 :
• Nyeri kepala

• Nyeri retro-orbital

• Mialgia / artralgia

• Ruam kulit

• Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:


§ uji bendung positif
§ petekie, ekimosis, purpura
§ perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
§ hematemesis dan atau melena
• Pembesaran hati
• Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan
tekanan nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan
dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien
tampak gelisah.

Pemeriksaan Laboratorium

• Trombositopenia (100 000/μl atau kurang)

• Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler,


dengan manifestasi sebagai berikut:

o Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar

o Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan

o Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.

• NS-1, IgM anti-Dengue, IgG anti-Dengue


14

2.8. Diagnosis Banding


Manifestasi klinis demam berdarah dengue sangat bervariasi dari gejala yang
ringan sampai berat, terutama dengan penyakit-penyakit di bawah ini:16
a. Demam tifoid
Demam lebih dari 7 hari ditambah keluhan sakit kepala, sakit perut (diare,
obstipasi), lidah kotor, bradikardi relatif, roseola, leukopenia, limfositosis relatif,
aneosinofilia, uji serologi dan kultur.
b. Leptospirosis
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, conjunctival
injection (kemerahan pada konjungtiva bola mata), dan nyeri betis yang mencolok.
Pemeriksaan serologi Microscopic Agglutination Test (MAT) atau tes serologi
positif.

c. Influenza

Gejala klasik infeksi influenza, yaitu demam, batuk, nyeri tenggorokan, sakit
kepala, lesu dan nyeri otot.

d. Campak

Demam, batuk, pilek, mata merah, dan ruam yang mulai timbul dari belakang
telinga sampai ke seluruh tubuh. Pemeriksaan fisik berupa suhu badan tinggi
(>380C), mata merah, dan ruam makulopapular.

e. Chikungunya

Masa inkubasi 3 – 5 hari. Permulaan penyakit biasanya; tiba-tiba timbul panas


tinggi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri persendian dan timbul bercak pendarahan
(rash). Nyeri sendi. Tanda-tanda peradangan sendi lain biasanya tidak ditemukan.
Rash kulit biasa ditemukan pada permulaan sakit tetapi biasa juga timbul beberapa
hari kemudian. Rash seringnya ditemukan pada badan dan anggota limpa dan liver
biasanya tidak teraba.
15

2.9. Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan infeksi dengue bersifat simtomatis dan suportif,
yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat
jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Diagnosis dini
dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain,
perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Kunci keberhasilan tatalaksana
DBD/SSD terletak pada ketrampilan para petugas medis dan paramedis untuk
dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase
kritis, fase syok) dengan baik.
2.9.1. Tatalaksana Demam Dengue (DD)
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat inap. Pada fase demam
pasien dianjurkan:
1) Tirah baring, selama masih demam.
2) Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
3) Untuk menurunkan suhu menjadi <39°C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat
meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
4) Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,
disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
5) Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesens.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap
komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini
disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan
DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada
DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal
kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa
disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa
16

nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta
mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat
dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa
segera ke rumah sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah
suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.
2.9.2. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue (DBD)
Tatalaksana DBD Tanpa Syok
Perbedaan patofisilogik utama antara DBD dan penyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian
mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of
defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi,
dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis.
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian,
penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati.
Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus
syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah volume urin.
Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah
5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila:
1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam
tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok,
2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah
cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila
terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%, 1-2 ml/kgBB intravena
17

bolus perlahan-lahan.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI 0,9% atau dekstrosa
5% dalam ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital,
diuresis setiap jam dan hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya
evaluasi 12-24 jam.
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht
cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda
vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan
dihentikan setelah 24-48 jam.
Tatalaksana DBD dengan Syok (Sindrom Syok Dengue/ SSD)
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti (volume
replacement) adalah pengobatan yang utama, berguna untuk memperbaiki
kekurangan volume plasma. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila
dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir
sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (≤ 20mmHg) atau
hipotensi, dan peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar
hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.
Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi ≤20 mm Hg
segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB selama 30 menit, bila
syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam.
Tatalaksana DBD dengan Syok meliputi:
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Cairan resusitasi awal adalah larutan kristaloid 20 ml/kgBB secara intravena
dalam 30 menit. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit, berikan
cairan koloid 10-20 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit. Pada umumnya
pemberian koloid tidak melebihi 30ml/kgBB/hari atau maksimal pemberian
koloid 1500ml/hari, dan sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah
pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih menetap
sedangkan kadar hematokrit turun, maka pikirkan adanya perdarahan internal.
18

Maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar/ komponen sel darah merah.
Apabila nilai hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil
(10ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30ml/kgBB/24jam, Setelah keadaan
klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan
kadar hematokrit.

2.10. Prognosis
Prognosis demam berdarah dapat dipengaruhi oleh antibodi pasif diperoleh
atau oleh infeksi virus sebelumnya yang merupakan predisposisi perkembangan
demam berdarah Dengue.
Kematian telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, namun dengan
kematian perawatan intensif yang memadai harus terjadi pada <1% kasus.
Kelangsungan hidup berhubungan langsung dengan pengobatan suportif dini
dan intens. Tak jarang, ada sisa kerusakan otak akibat berkepanjangan shock
atau kadang-kadang untuk perdarahan intrakranial.11
19

BAB 3

STATUS PASIEN

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. A
Usia : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Layar, No. 06, Blok IX Atas 3/4
No. RM : 08.81.34
Tanggal Masuk : 26 Februari 2020

3.2. Anamnesis (Autoanamnesis)


Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit : Hal ini dialami sejak ± 3 hari sebelum masuk rumah
Sekarang sakit. Demam bersifat tinggi dan berlangsung terus-
menerus. Pasien mengaku demam turun dengan
obat penurun panas, namun kemudian naik kembali.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah, dengan
frekuensi sebanyak > 3 kali per hari, berisi apa yang
dimakan dan diminum. Nyeri ulu hati dijumpai.
Pasien mengaku sulit makan dan minum. Nyeri
kepala dijumpai, dirasakan berdenyut. Lengan,
kaki, dan seluruh badan terasa ngilu dijumpai. Nyeri
pada daerah belakang mata disangkal. Pasien juga
mengeluhkan bitnik-bintik merah di seluruh
tubuhnya. Riwayat mimisan, gusi berdarah, muntah
darah maupun BAB hitam disangkal. BAB dan
BAK dalam batas normal.
20

Riwayat Alergi :Tidak ada

Riwayat Penyakit :TB paru tahun 2019, tuntas pengobatan dan sudah
Dahulu dinyatakan sembuh
.
Riwayat Penggunaan : Sudah berobat ke klinik karena keluhan ini
Obat sebelumnya, diberikan parasetamol dan antasida

3.3. Pemeriksaan Fisik


3.3.1. Status Presens
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sensorium : Compos Mentis (GCS E4M6V5)

Tekanan Darah : 110/70 mmHg


Frekuensi Nadi : 96 kali/menit, regular, t/v cukup
Frekuensi Napas : 20 kali/menit, regular, (saturasi O2 98%)
Suhu : 38,2 oC
3.3.2. Status Lokalisata

Mata : Refleks cahaya direk dan indirek (+/+) d= 3mm, isokor


Konjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-)

Toraks
Paru : Inspeksi :Simetris fusiformis, retraksi (-)
Palpasi :Stem fremitus kanan = kiri, kesan
normal
Perkusi :Sonor (+/+)
Auskultasi :Vesikuler (+/+), Ronki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung : Auskultasi :HR 96 kali/menit, regular, S I/S II (+)
normal, murmur (-), gallop (-)
21

Abdomen : Inspeksi :Simetris, distensi (-)


Auskultasi :Peristaltik (+) normal
Palpasi :Soepel, nyeri tekan (+) epigastrium
Perkusi :Timpani
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-/-) Ptekie (+/+)

3.4. Pemeriksaan Penunjang

Tabel 3.1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Awal (26/02/2020)


Jenis Hasil Rujukan
Pemeriksaan Hematologi
Eritrosit 4,08 x 106 /µL 3,9 – 5,6 x x 106 /µL
Hematokrit 42 % 37 – 47 %
Hemoglobin (Hb) 14,5 gr/dl 12 – 16 gr/dl
Trombosit 140.000 /mm3 150.000 – 450.000/mm3
Leukosit 5.470 / µL 4.000 – 11.000 /µL

Elektrolit Darah

Natrium 138 132-147


Kalium 3,28 3,3-5,4
Klorida 98 94-111

Hitung Jenis

Basofil 0 0 – 1%
Eosinofil 2 1 – 3%
Neutrofil Batang 0 1 – 3%
Neutrofil Segmen 27 40 – 70%
Limfosit 69 20 – 40%
Monosit 2 2 – 8%

Imunoserologi Widal

Salmonella typhi O Negatif Negatif


22

Salmonella typhi AO Negatif Negatif

Salmonella typhi BO + 1/80* Negatif


Salmonella typhi CO Negatif Negatif
Salmonella typhi H + 1/80* Negatif
Salmonella typhi AH + 1/80* Negatif
Salmonella thypi BH + 1/80* Negatif
Salmonella thypi CH Negatif Negatif

3.5. Diagnosis Banding


1. Suspek Demam Berdarah Dengue
2. Suspek Demam Tifoid
3. Suspek Malaria

3.6. Diagnosis Kerja


Suspek Demam berdarah dengue

3.7. Tatalaksana Awal


- Tirah baring
- Diet BB
- IVFD Ringer Laktat 20 tpm
- Inj. Omeprazole 40 mg
- Inj. Ondansetron 8 mg
- Parasetamol tablet 3 x 500 mg PO
23

Rencana
- Rawat inap
- Pemeriksaan darah lengkap setiap pagi
- Pemeriksaan serologi IgM dan IgG Anti-Dengue

3.8. Follow Up Ruangan

Tabel 3.2. Follow Up 27 Februari 2020

S : Demam (+) naik turun. Mual (+). Muntah (-)

O : Sens: Compos mentis (GCS E4M6V5)

TD: 120/80 mmHg

N: 92 kali/menit, regular, t/v cukup

RR: 20 kali/menit

Suhu: 37,9 oC

Mata: RC (+/+) Konjungtiva anemis (-/-) Sklera Ikterik (-/-)

Toraks

Paru: Simetris fusiformis, SF kanan=kiri, Sonor (+/+), Vesikuler


(+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung: HR 92 kali/menit, regular, S I/II (+) normal, murmur (-),
gallop (-).
Abdomen
Simetris, peristaltik (+) normal, soepel
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), ptekie (+/+).
24

Lab:

Hb: 13,6 gr/dl

Ht: 39 %

Leukosit: 8.020 /µL

Trombosit: 114.000 /mm3


A : Demam Berdarah Dengue (H3)
P : - Tirah baring
- Diet BB
- IVFD Ringer Laktat 20 tpm (kontinu)
- Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam IV
- Inj. Ondansetron 8 mg/8 jam IV
- Parasetamol 3 x 1000 mg IV
- Pemeriksaan darah rutin / 24 jam
25

Tabel 3.3. Follow Up 28 Februari 2020

S : Demam (+) naik turun. Mual (-).

O : Sens: Compos mentis (GCS E4M6V5)


TD: 100/70 mmHg
N: 98 kali/menit, regular, t/v cukup
RR: 22 kali/menit
Suhu: 36,8 oC
Mata: RC (+/+) Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Toraks
Paru: Simetris fusiformis, SF kanan=kiri, Sonor (+/+), Vesikuler
(+/+), Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung: HR 98 kali/menit, regular, S I/II (+) normal, murmur (-)
Abdomen
Soepel, peristaltik (+) normal
Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), ptekie (+/+)
Lab:
Hb: 13,6 gr/dl
Ht: 39 %
Leukosit: 10.700 /µL
Trombosit: 108.000 /mm3

A : Demam Berdarah Dengue (H4)


P : - Tirah baring
- Diet BB
- IVFD Ringer Laktat 30 tpm (kontinu)
- Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam IV
- Parasetamol 3 x 1000 mg IV
- Pemeriksaan darah rutin / 24 jam
26

Tabel 3.4. Follow Up 29 Februari 2020

S : Demam (-)
O : Sens: Compos mentis (GCS E4M6V5)
TD: 110/60 mmHg
N: 88 kali/menit, regular, t/v cukup
RR: 20 kali/menit
Suhu: 36,7 oC
Mata: RC (+/+) Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Toraks
Paru: Simetris fusiformis, SF kanan=kiri, Sonor (+/+), Vesikuler (+/+),
Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung: HR 88 kali/menit, regular, S I/II (+) normal, murmur (-)
Abdomen: Soepel, peristaltik (+) Normal.
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), ptekie (-/-)
Lab:
Hb: 13,9 gr/dl
Ht: 40 %
Leukosit: 10.010 /µL
Trombosit: 115.000 /mm3

A : Demam Berdarah Dengue (H5)


P : - Tirah baring
- Diet BB
- IVFD Ringer Laktat 30 tpm (kontinu)
- Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam IV
- Parasetamol 3 x 500 mg PO
- Pemeriksaan darah rutin / 24 jam
27

Tabel 3.4. Follow Up 1 Maret 2020

S : Demam (-)
O : Sens: Compos mentis (GCS E4M6V5)
TD: 110/70 mmHg
N: 82 kali/menit, regular, t/v cukup
RR: 20 kali/menit
Suhu: 36,5 oC
Mata: RC (+/+) Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Toraks
Paru: Simetris fusiformis, SF kanan=kiri, Sonor (+/+), Vesikuler (+/+),
Ronki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung: HR 82 kali/menit, regular, S I/II (+) normal, murmur (-)
Abdomen: Soepel, peristaltik (+) Normal.
Ekstremitas: Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), ptekie (-/-)
Lab:
Hb: 14 gr/dl
Ht: 40 %
Leukosit: 8.450 /µL
Trombosit: 153.000 /mm3

A : Demam Berdarah Dengue (H6)


P : - Tirah baring
- Diet BB
- Parasetamol 3 x 500 mg PO
- Boleh pulang
28

BAB 4

ANALISIS KASUS
Teori Kasus

Manifestasi Klinis
Demam dengue merupakan demam Pada pasien didapatkan gejala berupa:
akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 • Demam
atau lebih manifestasi klinis sebagai • Mual, muntah
berikut8 : • Nyeri kepala
• Nyeri kepala • Nyeri otot (lengan dan kaki terasa
• Nyeri retro-orbital ngilu)
• Mialgia / artralgia • Bintik-bintik kemerahan
• Ruam kulit • Petekie
• Mual, muntah
Terdapat manifestasi perdarahan
ditandai dengan:

§ uji bendung positif

§ petekie, ekimosis, purpura

§ perdarahan mukosa, epistaksis,


perdarahan gusi

§ hematemesis dan atau melena

• Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah
sampai tidak teraba, hipotensi sampai
tidak terukur, kaki dan tangan dingin,
kulit lembab, capillary refill time
memanjang (>2 detik) dan pasien
tampak gelisah
29

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien didapatkan:
• Trombositopenia • Trombositopenia 140.000

• Adanya kebocoran plasma


karena peningkatan
permeabilitas kapiler, dengan
manifestasi sebagai berikut:

o Peningkatan hematokrit ≥
20% dari nilai standar

o Penurunan hematokrit ≥
20%, setelah mendapat
terapi cairan

o Efusi pleura/perikardial,
asites, hipoproteinemia.

• NS-1, IgM anti-Dengue, IgG


anti-Dengue
30

Tatalaksana Pada pasien diberikan tatalaksana berupa:


- IVFD Ringer Laktat 20 - 30 tpm
Pada dasarnya pengobatan infeksi dengue - Inj. Omeprazole 40 mg/12 jam IV
bersifat simtomatis dan suportif, yaitu - Inj. Ondansetron 8 mg/8 jam IV
mengatasi kehilangan cairan plasma - Parasetamol 3 x 1000 mg IV
sebagai akibat peningkatan permeabilitas
(Temp >38,5 C)
kapiler dan sebagai akibat perdarahan. - Parasetamol 3 x 500 mg PO
Pada saat pasien datang, berikan cairan (37,5 C < Temp < 38,5 C)
kristaloid/ NaCI 0,9% atau dekstrosa 5%
dalam ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7
ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital, diuresis
setiap jam dan hematokrit serta trombosit
setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24
jam.
31

BAB 5

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
Seroang laki-laki, usia 39 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan demam.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan demam bersifat tinggi, kontinu,
disertai dengan menggigil, nyeri ulu hati, nyeri kepala, lengan dan kaki terasa ngilu,
mual, muntah, nafsu makan berkurang, serta terdapat bintik-bintik kemerahan di
seluruh tubuh. Pemeriksaan hematologi menunujukkan trombositopenia. Pasien
didiagnosis dengan Demam Berdarah Dengue, dan dilakukan tatalaksana dengan
terapi DBD tanpa syok yaitu cairan kristaloid dan penanganan simtomatis.
Penanganan menunjukkan perbaikan dan pasien pulang dengan kemudian kontrol
ke poli penyakit dalam.
32

DAFTAR PUSTAKA

1. Garcia, L.S dan Bruckner, D.A. 2009. Diagnosa Parasitologi Kedokteran.


Editor Leshmana Padmasutra, Penerbit EGC, Jakarta.
2. World Health Organization. 2011, World Malaria Report 2011, Geneva,
WHO. Available from: http://www.who.int/malaria/world_malaria _report_2011/
en/
3. Arsin AA. 2012. Malaria di Indonesia: Tinjauan Aspek Epidemiologi.
Makassar: Masagena Press.
4. Fitriany J, Sabiq A. 2018. Malaria. Journal Averrous;4(2).
5. Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2018. Profil
Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017. p.34-35.
6. Departemen Kesehatan RI. 2007. Entomologi Malaria, Direktorat Jenderal
P2M dan PLP, Depkes RI.
7. Clyde DF 2007.Malaria.dalam: Nelson WE,Behrman RE,Kliegman R, Arvin
AM,Ed. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 12. Jakarta: EGC.p. 328-334.
8. Soemarwo S, 2010. Malaria dalam Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis.
Jakarta FK UI, 442-461
9. Band JD, 2008. Malaria dalam: Tintinali Je Ed. Emergency Medicine A
Comprehensive Study Guide. Edisi enam. New York: McGraw Hill.Hal.953-958
10. Husna M, Prasetyo B. 2016. Aspek Biomolekuler Dan Update Terapi Malaria
Serebral. MNJ; 2(2):79-88.
11. Centers for Disease Control and Prevention. 2019. Malaria. Diakses dari:
https://www.cdc.gov/dpdx/malaria/index.html
12. Nugroho A, Tumewu WM. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. Dalam
Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan
Penanganan. Jakarta: EGC, Hal: 38-52, 2000
13. Harijanto PN, Langi J, Richie TL. Patogenesis Malaria Berat. Dalam:
Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan
Penanganan. Jakarta: EGC, Hal: 118-26, 2000.
33

14. World Health Organization. 2013. Epidemiological Approach For Malaria


Control. 2nd Ed. Geneva: WHO.
15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. InfoDatin: Malaria.
Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
16. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Lampiran Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman Tata
Laksana Malaria.
17. Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC,
Hal:151-55, 2000.
18. Purwaningsih S. Diagnosis Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, Hal:
185-92, 2000.
19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Buku Saku Tatalaksana
Kasus Malaria. Jakarta: Subdit Malaria Direktorat P2PTVZ Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
20. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan: Epidemiologi Malaria di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
21. Tjitra E. Obat Anti Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, Hal:
194-204, 2000.

Anda mungkin juga menyukai