Anda di halaman 1dari 32

Gambaran Pengetahuan Masyarakat tentang Demam Tifoid

Karya Tulis Ilmiah

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar


Ahli Madya Kesehatan Bidang Farmasi

Oleh:
Nanda Nurhayati
P2.31.39.0.17.072

JURUSAN FARMASI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II
2020

i
TANDA PERSETUJUAN KARYA TULIS ILMIAH

Nama : Nanda Nurhayati


NIM : P2.31.39.0.17.072
Jurusan : Farmasi
Judul Karya Tulis Ilmiah : Gambaran Pengetahuan Masyarakat tentang Demam
Tifoid
Telah disetujui oleh pembimbing Karya Tulis Ilmiah untuk diujikan pada Ujian
Karya Tulis Ilmiah Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II.

Jakarta, Juni 2020

Disetujui oleh:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dra. Sarma, M.Farm, Apt. Dra. Harpolia Cartika, M.Farm, Apt.


NIP. 19550721.199302.2.001 NIP.19690731.199803.2.001

ii
DAFTAR ISI

TANDA PERSETUJUAN KARYA TULIS ILMIAH...………………………….ii


DAFTAR ISI……………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum..................................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus.................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................3
1.4.1 Bagi Penulis.....................................................................................3
1.4.2 Bagi Akademik................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 Pengetahuan...............................................................................................4
2.1.1 Pengertian........................................................................................4
2.1.2 Tingkatan Pengetahuan....................................................................4
2.1.3 Pengukuran Pengetahuan.................................................................5
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan.......................................5
2.2 Demam Tifoid............................................................................................8
2.2.1 Definisi.............................................................................................8
2.2.2 Epidemiologi....................................................................................8
2.2.3 Penyebab Demam Tifoid.................................................................9
2.2.4 Cara Penularan Demam Tifoid........................................................9
2.2.5 Faktor Resiko Lingkungan yang Berpengaruh..............................11
2.2.6 Gejala Klinis Demam Tifoid..........................................................13
2.2.7 Penatalaksanaan Demam Tifoid....................................................14
2.2.8 Pencegahan Demam Tifoid............................................................16
2.3 Definisi Operasional................................................................................18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..............................................................20
3.1. Jenis Penelitian.........................................................................................20
3.2. Sumber Data.............................................................................................20
3.3. Metode Pengumpulan Data......................................................................20
3.4. Metode Analisa Data................................................................................20
BAB IV PEMBAHASAN………………………………………………………..21
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………….26

iii
iv

5.1. Kesimpulan………………………………………………………………26
5.2. Saran……………………………………………………………………...26
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………27
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini banyak sekali penyakit yang mengancam kesehatan
masyarakat. Ada beberapa faktor yang memicu berkembangnya penyakit tersebut,
salah satunya tidak adanya kepedulian masyarakat terhadap kebersihan yang
dapat menjadi penyebab berkembangnya suatu penyakit. Apabila suatu penyakit
berkembang, hal tersebut tidak hanya membahayakan diri sendiri tetapi juga orang
lain dikarenakan ada penyakit-penyakit tertentu yang dapat menular. Penyakit
menular atau penyakit infeksi adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu
agen biologi (seperti virus, bakteria, atau parasit), bukan disebabkan faktor fisik
(seperti luka bakar) atau kimia (seperti keracunan).1 Salah satu penyakit menular
yang disebabkan oleh virus adalah influenza, lalu yang disebabkan oleh parasit
adalah malaria.2,3 Sedangkan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
adalah demam tifoid.
Perilaku individu yang kurang benar, seperti kebiasaan tidak mencuci
tangan sebelum makan, tidak mencuci tangan setelah buang air besar, kebiasaan
mengkonsumsi makanan produk daging dan sayuran yang tidak matang,
mengkonsumsi buah yang tidak dicuci dengan air, minum air yang tidak direbus,
serta menggunakan alat makan dan minuman yang tidak bersih merupakan
perilaku yang beresiko terinfeksi kuman Salmonella typhi sehingga dapat tertular
penyakit demam tifoid.4 Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh
kuman Salmonella typhi yang mempunyai gejala demam, disertai gangguan
kesadaran dan gangguan pencernaan.5
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang
sedang berkembang didaerah tropis.6 Salah satunya Indonesia. Demam tifoid
ditemukan di masyarakat indonesia, yang tinggal di kota maupun di desa.
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas perilaku hidup bersih dan sehat,
sanitasi dan lingkungan yang kurang baik. 5 WHO (World Health Organization)
tahun 2018 memperkirakan, antara 11 dan 21 juta kasus dan 128.000 hingga
161.000 kematian terkait demam tifoid terjadi setiap tahun di seluruh dunia.7

1
2

Demam tifoid dapat menyerang semua umur dan siapa saja yang
mempunyai kebiasaan kurang bersih dalam hal mengkonsumsi makanan.8
Kejadian demam tifoid di indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu
adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya
sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan
tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.9
Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia
Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (Insidens
> 100 kasus per 100.000 populasi per tahun). 9 Di Indonesia, penyakit ini
merupakan penyakit endemis yang mengancam kesehatan masyarakat.10 Data
Riskesdas 2007 menunjukkan angka prevalensi Demam tifoid yang di diagnosa
oleh tenaga kesehatan adalah 0,79%.5 Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat
Departemen kesehatan RI tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati
urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit
di Indonesia (41.081 kasus) serta angka kesakitan yang tercatat di buletin WHO
2008 sebesar 81,7 per 100.000.5,9 Di DKI Jakarta sendiri terdapat 24.191 kasus
demam tifoid yang terjadi pada tahun 2018 sampai dengan 2019.11
Kejadian demam tifoid juga berkaitan dengan pengetahuan masyarakat.
Penelitian oleh Nina Mujahida tahun 2017 di wilayah kerja puskesmas Dinoyo
Malang menunjukkan bahwa warga yang berpengetahuan baik (49,2%) dapat
mencegah terjangkitnya demam tifoid. Dengan pengetahuan yang baik, seseorang
dapat berpartisipasi mecegah penularan demam tifoid baik di dalam keluarga
maupun di sekitar tempat tinggal. Apabila penularan demam tifoid dapat dicegah,
resiko terkena demam tifoid juga akan menurun. Karena hal tersebutlah
pengetahuan seseorang berperan penting.
Berdasarkan uraian di atas, hal inilah yang mendorong penulis untuk
melakukan penelitian berbasis studi literatur dengan judul “Gambaran
Pengetahuan Masyarakat tentang Demam Tifoid”.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat tentang Demam
Tifoid ?
3

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat tentang demam tifoid.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui jumlah dan persentase responden berdasarkan data sosio
demografi meliputi usia,jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
2. Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tentang demam tifoid.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Penulis
Menambah wawasan penulis mengenai gambaran pengetahuan
masyarakat tentang demam tifoid.

1.4.2 Bagi Akademik


Menambah bahan pustaka dan sebagai referensi bacaan bagi mahasiswa
Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta 2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan
2.1.1 Pengertian
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga,
dan sebagainya).Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian
dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh
melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan
seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.12

2.1.2 Tingkatan Pengetahuan12


1. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa
orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan
2. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan hanya sekadar tahu terhadap objek
tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui
tersebut pada situasi yang lain. penelitian di mana saja, dan seterusnya.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang
terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa
pengetahuan seseorang itu suda sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang
tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokan, membuat
diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

4
5

5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum
atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan
untuk menysun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untu melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan
sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-
norma yang berlaku di masyarakat.

2.1.3 Pengukuran Pengetahuan


Untuk mengukur pengetahuan kesehatan adalah dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-
pertanyaan tertulis atau angket. Indikator pengetahuan kesehatan adalah
“tingginya pengetahuan” responden tentang kesehatan, atau besarnya presentase
kelompok responden atau masyarakat tentang variabel-variabel atau komponen-
komponen kesehatan.12

2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan13


1. Pendidikan
Pendidikan adalah suatau usaha untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah (baik formal maupun non formal),
berlangsung seumur hidup. Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan memengaruhi proses
belajara, makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah orang tersebut untuk
menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi, maka seseorang akan cenderung
untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa.
Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang
didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan
di mana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, orang tersebut akan
semakin luas pula pengetahuannya. Namun, perlu dtekankan bahwa seseorang
6

yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.


Peningkatan pengetahuan tidak mutlakdiperoleh di pendidikan formal, akan tetapi
juga dapat diperoleh pada pendidikan nonformal. Pengetahuan seseorang tentang
suatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua
aspek inilah yang akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu.
Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, maka akan
menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebut.
2. Informasi/media massa
Informasi adalah sesuatu yang dapat diketahui, namun ada pula yang
menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Informasi adalah suatu
teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi,
mengumumkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu
(Undang-Undang Teknologi Informasi). Adanya perbedaan definisi informasi
dikarenakan pada hakikatnya informasi tidak dapat diuraikan (intangible),
sedangkan informasi tersebut dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yang
diperoleh dari data dan pengamatan terhadap dunia sekitar kita, serta diteruskan
melalui komuniasi. Informasi mencakup data, teks, gambar, suara, kode, program
komputer, dan basis data.
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun
nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immmediate impacti)
sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
Berkembangnya teknologi akan menyediakan bermacam-macam media massa
yang dapat memengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai
sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat
kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap embentukan
opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas
pokoknya, media massa juga membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang
dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal
tersebut.
3. Sosial, budaya, dan ekonomi
7

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui


penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian, seseorang
akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi
seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk
kegiatan tertentu sehingga status sosial ekonomi ini akan memengaruhi
pengetahuan seseorang.
4. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap
proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang
akn direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
5. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan denagn cara engulang kembali pengetahuan
yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman
dalam belajar dalambekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan
keterampilan profesional, serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat
mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi
dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata
dalam bidang kerjanya.
6. Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir sesorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembnag pula daya tangkap dan pola pikirnya
sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya,
individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial, serta
lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri
menuju usia tua. Selain itu, orang usia madya akan lebih banyak menggunakan
banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecaham masalah, dan
kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua
sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup adalah sebagai
berikut :
8

a. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan
semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.
b. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua karena
telah mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Dapat diperkirakan
bahwa IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya pada
beberapa kemampuan yang lain, seperti kosa kata dan pengetahuan umum.
Beberapa teori berpendapat ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat
sejalan dengan bertambahnya usia.

2.2 Demam Tifoid


2.2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman
Salmonella Typhi.5 Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
terdapat pada saluran pencernaan yang memiliki gejala demam lebih dari satu
minggu, menyebabkan gangguan saluran pencernaan hingga penurunan
kesadaran.14 Demam tifoid merupakan penyakit yang dapat bermanifestasi klinis
berat karena komplikasinya dan mampu menyebabkan carrier. Manusia
merupakan satu-satunya penjamu bagi organisme ini.5

2.2.2 Epidemiologi
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia, terutama di Negara-negara yang
sedang berkembang didaerah tropis.6 Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi
terjadi di wilayah Asia Tengah,Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan
Afrika Selatan (Insidens > 100 kasus per 100.000 populasi per tahun). Di
Indonesia, penyakit ini merupakan penyakit endemis yang mengancam kesehatan
masyarakat dan tersebar secara merata di seluruh provinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk per tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk per tahun atau sekitar 600.000 dan 1,5 juta kasus per
tahun.10,14. Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi
lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang
menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah.15

2.2.3 Penyebab Demam Tifoid


9

Demam tifoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri Salmonella typhi
yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. . Sumber utama yang
terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab
penyakit,baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan.Pada
masa penyembuhan, penderita masih mengandung Salmonella spp di dalam
kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak
akan menjadi karier sementara, sedang 2 % yang lain akan menjadi karier yang
menahun.16

2.2.4 Cara Penularan Demam Tifoid


Sumber penularan Demam Tifoid tidak selalu harus berasal dari
penderita tifoid. Ada penderita yang sudah mendapat pengobatan dan sembuh,
tetapi di dalam air seni dan kotorannya masih mengandung bakteri. Penderita ini
disebut sebagai pembawa (carrier). Walaupun tidak lagi menderita penyakit tifoid,
orang ini masih dapat menularkan penyakit tifoid pada orang lain. Penularan dapat
terjadi di mana saja dan kapan saja, biasanya terjadi melalui konsumsi makanan
dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Di
beberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang - kerangan yang
berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur mentah yang dipupuk dengan
kotoran manusia, susu atau produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau
penderita yang tidak teridentifikasi.14
Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman
berasal dari tinja atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang
tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air dan makanan. Di
daerah endemik, air yang tercemar merupakan penyebab utama penularan
penyakit. Adapun di daerah non-endemik, makanan yang terkontaminasi oleh
carrier dianggap paling bertanggung jawab terhadap penularan. Tifoid carrier
adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi
mengandung kuman Salmonella typhi di dalam ekskretnya. Mengingat carrier
sangat penting dalam hal penularan yang tersembunyi, maka penemuan kasus
sedini mungkin serta pengobatannya sangat penting dalam hal menurunkan angka
kematian. 14
10

Penularan tifoid dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu dikenal


dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/ kuku), Fomitus (muntah),
Fly (lalat), dan Feses. Feses dan muntah dari penderita typhoid dapat menularkan
Salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
minuman terkontaminasi dan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap di
makanan yang akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang
tercemar kuman Salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui
mulut, selanjutnya orang sehat akan menjadi sakit.17
Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan
demam tifoid adalah 14:
1. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.
2. Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan pada
penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya: makanan yang
dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-
buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar
dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak masak, dan
sebagainya.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran, dan
sampah, yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.
6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
7. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid.

2.2.5 Faktor Resiko Lingkungan yang Berpengaruh14


Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian demam tifoid adalah:
1. Kebiasaan jajan
11

Kebiasaan makan diluar rumah (jajan) mempunyai risiko yang lebih


besar untuk terkena penyakit demam tifoid. Penularan terjadi melalui makanan
dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi yang berasal dari
tinja penderita/carrier. Demam Tifoid dapat menyerang semua kelompok umur.
Akan tetapi kelompok usia produktif mempunyai risiko yang lebih besar
dibandingkan dengan usia non produktif. Hal ini terjadi karena pada usia
produktif banyak melakukan aktivitas yang berisiko untuk tertular penyakit
demam tifoid.
2. Cara makan
Kebiasaan menggunakan alat makan dalam mengkonsumsi makanan
tradisional banyak ditemui pola makan bersama-sama dalam satu tempat tanpa
berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid. Di kalangan pondok pesantren
menggunakan sendok.
3. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan
Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan mempunyai risiko yang
lebih besar untuk terkena demam tifoid dibandingkan dengan kebiasaan mencuci
tangan sebelum makan. Pencucian tangan dengan sabun dan diikuti dengan
pembilasan akan banyak menghilangkan mikroba yang terdapat pada tangan.
Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus
pathogen dari tubuh, tinja atau sumber lain ke makanan. Kombinasi antara
aktivitas sabun sebagai pembersih, penggosokan dan aliran air akan
menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung mikroba.
4. Kebiasaan makan sayuran mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak
daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan
beberapa hal untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah
dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan
sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak
segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk
mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas. Dibeberapa negara penularan terjadi
karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-
12

buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan
produk susu yang terkontaminasi.
5. Kebiasaan minum air isi ulang
Menurut World Health Organization kebutuhan rata-rata adalah 60 liter
per hari meliputi: 30 liter untuk keperluan mandi, 15 liter untuk keperluan minum
dan sisanya untuk keperluan lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
bakteri dalam air minum isi ulang. Mengingat air minum isi ulang ini dikonsumsi
tanpa melalui proses pemasakan maka syarat yang harus dipenuhi adalah bebas
dari kontaminasi bakteri sebagaimana yang ditetapkan Peraturan Menteri
Kesehatan.
6. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar
Cuci tangan pakai sabun merupakan salah satu cara untuk hidup sehat
yang paling sederhana dan murah tetapi sayang belum membudaya. Padahal bila
dilakukan dengan baik dapat mencegah berbagai penyakit menular seperti demam
tifoid. Berdasarkan Hasil survei Health service Program tahun 2006 didapatkan
hanya 12 dari 100 orang Indonesia yang melakukan cuci tangan pakai sabun
setelah buang air besar. Tidak mengherankan jika banyak penduduk Indonesia
yang masih menderita penyakit seperti diare dan demam tifoid karena kebiasaan
hidup yang tidak bersih.
7. Riwayat demam tifoid
Seseorang mampu menjadi pembawa penyakit (asymptomatic carrier)
demam typhoid, tanpa menunjukkan tanda gejala, tetapi mampu menulari orang
lain. Status carrier dapat terjadi setelah mendapat serangan akut. Carrier kronis
harus diawasi dengan ketat dan dilarang melakukan pekerjaan yang dapat
menularkan penyakit kepada orang lain. Feses penderita/carier merupakan sumber
utama bagi penularan demam tifoid. Kebiasaan memakai jamban yang tidak
saniter termasuk faktor risiko kejadian demam tifoid.
8. Pengetahuan
Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang
mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman
yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan demam tifoid bila
terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan
13

obat demam dan diperkuat dengan kesan berbaring pasif, nampak pucat, sakit
perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari.

2.2.6 Gejala Klinis Demam Tifoid5


1. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pola demam tifoid
secara klasik digambarkan sebagai berikut: pada awal sakit demam tidak terlalu
tinggi lalu akan makin meningkat dari hari ke hari, suhu pagi dibandingkan sore
atau malam hari lebih tinggi (step ladder fashion). Pada minggu ke-2 dan ke-3
demam akan terus menerus (demam kontinu), demam akan menurun pada akhir
minggu ke-3 dan minggu ke-4 sampai mencapai suhu normal. Komplikasi demam
tifoid terjadi pada fase demam di akhir minggu ke-2 dan ke-3. Hati-hati apabila
terjadi penurunan suhu tubuh di akhir minggu ke-2 dan ke-3 karena dapat
merupakan tanda dan gejala komplikasi perdarahan dan perforasi saluran cerna.
2. Gangguan Saluran Pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor, ditutupi selaput
kotor (coated tongue), ujung dan tepi lidah tampak kemerahan, serta lidah tampak
tremor. Pada anak balita tanda dan gejala ini jarang ditemukan.Pasien sering
mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrium (nyeri ulu hati), disertai nausea,
mual dan muntah. Sering dijumpai meteorismus, kontipasi, dan/atau diare
3. Gangguan Kesadaraan
Umumnya dijumpai gangguan kesadaran, kesadaran berkabut, penurunan
kesadaran karena tifoid ensefalopati, dan meningoensefalitis. Sebaliknya mungkin
dapat ditemukan gejala psikosis (Organic Brain Syndrome).
4. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Pada perabaan hati
teraba kenyal dan nyeri tekan.

5. Bradikardia relatif dan gejala lain


14

Bradikardi relatif jarang ditemukan pada anak. Bradikardi relatif adalah


peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi.
Patokan yang sering dipakai adalah setiap peningkatan suhu 1°C tidak diikuti
peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat
ditemukan pada demam tifoid seperti rose spot biasanya ditemukan diregio
abdomen atas.

2.2.7 Penatalaksanaan Demam Tifoid9


Sampai saat ini trilogy penatalaksanaan demam tifoid, adalah :
1. Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan profesiona bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
perlu diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan
umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan
menjadi lama. Dimasa lampau pendeita demam tifoid diberi diet bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya menjadi nasi, yang
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring tersebut ditunjukkan untuk menghindari komplikasi
perdarahan slauran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat
bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman
pada pasien demam tifoid.
3. Pemberian antimikroba
15

Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam


tifoid adalah sebagai berikut :
a. Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk
mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 × 500 mg per hari dapat
diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas
panas.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastic lebih rendah dibandingan dengan kloramfenikol. Dosis
tiamfenikol adalah 4 × 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai
ke-6.
c. Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hamper sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa adalah 2 × 2 tablet (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimethoprim) diberikan selama 2 minggu.
d. Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
e. Sefalosporin generasi ketiga
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti
efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara
3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3 hingga 5 hari.
f. Fluorokuinolon
Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya :
- Norfloksasin dosis 2 × 400 mg/hari selama 14 hari.
- Siprofloksasin dosis 2 × 500 mg/hari selama 6 hari.
- Ofloksasin dosis 2 × 400 mg/hari selama 7 hari.
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.
16

- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.


- Levofloksasin dosis 1 × 500 mg/hari selama 5 hari.

2.2.8 Pencegahan Demam Tifoid


Pencegahan demam tifoid dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai
dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier.14
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang
sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada tiga jenis vaksin
tifoid, yaitu14 :
a. Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan
secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efi
kasi perlindungan sebesar 70-80%. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak
mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier
tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi.18

b. Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan
pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing
diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi.
Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efi kasi perlindungan 67-
82%.20
c. Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efi
kasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini
menetap.18
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan
17

sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun.
Peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang
cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal
pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi
lingkungan.14
2. Pencegahan Sekunder14
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit
secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Pencegahan
sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha
surveilans demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di
rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita
yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi,
terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat
total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam
tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang
cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan
pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit
makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat.
Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga.
Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup
sering menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan
pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan
18

partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang
paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit
demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas
tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada
penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak. 14

2.3 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
1. Usia Usia dihitung Kuisioner 1. 17-25 tahun Rasio
sampai dengan 2. 26-35 tahun
ulang tahun 3. 36-45 tahun
terakhir pada 4. 46-55 tahun
saat penelitian. 5. 56-65 tahun

2. Jenis kelamin Identitas diri Kuisioner 1. Laki-laki Nominal


atau seksual 2. Perempuan
seseorang
sejak ia
dilahirkan.
3. Tingkat Pendidikan Kuisioner 1. SD Ordinal
pendidikan formal yang 2. SMP
diselesaikan 3. SMA
oleh responden 4. Perguruan tinggi
berdasarkan
ijazah tertinggi
yang dimiliki.

4. Pekerjaan Kegiatan atau Kuisioner 1. Pelajar Nominal


19

aktivitas yang
dilakukan 2. Ibu rumah
responden tangga /tidak
untuk bekerja
memenuhi 3. Petani
kebutuhan 4. Pedagang
sehari-hari. 5. Wiraswasta
6. PNS

5. Pengetahuan Pengertian dan Kuisioner 1. Baik, jika jawaban Ordinal


tentang hal-hal lain benar >50%
demam tifoid yang berkaitan 2. Kurang baik, jika
dengan demam jawaban benar
tifoid yang ≤50%
diketahui
responden.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif kepustakaan (library
research), yaitu serangkaian penelitian yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, atau penelitian yang obyek penelitiannya digali
melalui beragam informasi kepustakaan (jurnal ilmiah, buku, dan dokumen lain.)

3.2. Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang diperoleh bukan dari pengamatan langsung. Akan
tetapi data tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti-peneliti terdahulu. Sumber data sekunder yang digunakan berupa 5 (lima)
laporan ilmiah primer atau asli yang terdapat di dalam artikel atau jurnal (tercetak
dan/atau non-cetak) berkenaan dengan gambaran pengetahuan masyarakat tentang
demam tifoid.

3.3. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode pengumpulan data
dengan mencari atau menggali data dari literature yang terkait dengan apa yang
dimaksudkan dalam rumusan masalah.

3.4. Metode Analisis Data


Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis anotasi
bibliografi (annotated bibiliography). Anotasi berarti suatu kesimpulan sederhana
dari suatu artikel, buku, jurnal, atau beberapa sumber tulisan yang lain, sedangkan
bibiliography diartikan sebagai suatu daftar sumber dari suatu topik.

20
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pencarian literatur, didapatkan 5 literatur yang


memenuhi kriteria. Literatur tersebut terdiri dari laporan penelitian dan jurnal
internasional yang berkaitan dengan gambaran pengetahuan masyarakat tentang
demam tifoid.
Tabel 4.1 Analisis Sintesis Grid Pencarian Literatur
N Penulis (tahun) Judul Penelitian Jumlah Metode Instrumen
o Sampel Penelitian
1 Dinknesh Assessment of 423 Cross- Kuisioner
Getachew, Knowledge and Risk
sectional
Betelhem Wale, Perception towards
Wesene Eshete, Typhoid Fever among
Beletech Communities in
Getahun, Workye Mendida Town,
Demise (2018) Ethiopia 2018
2 Mesta Andriani Hubungan antara 28 Cross- Kuisioner
Pengetahuan dan
Mallo (2013) sectional
Kedisiplinan Diet
dengan Lamanya
Perawatan pada
Pasien Penyakit
Demam Tifoid di
Rumah Sakit Umum
Labuang Baji
Makassar
3 Agus Widodo Hubungan Tingkat 58 Cross- Kuisioner
Pengetahuan dengan
(2012) sectional
Upaya Pencegahan
Kekambuhan Demam
Tifoid pada Penderita
Demam Tifoid di
Wilayah Kerja
Puskesmas Jatiyoso
Karanganyar
4 Susanti (2015) Pengetahuan Keluarga 31 Cross- Kuisioner
Penderita Demam
sectional
Tifoid dan Tindakan
Pencegahan Demam
Tifoid di Dusun
Mundu Catur Tunggal
Sleman Yogyakarta

21
22

5 Siti Nur Cholifah Hubungan Tingkat 20 Cross- Kuisioner


Pengetahuan tentang
(2018) sectional
Kesehatan dengan
Kejadian Demam
Tifoid pada Orang
Dewasa di Puskesmas
Balerejo Kabupaten
Madiun

Tabel 4.1 menunjukkan laporan penelitian maupun jurnal yang berkaitan


dengan gambaran pengetahuan masyarakat tentang demam tifoid. Dari table
tersebut juga diketahui bahwa semua laporan penelitian maupun jurnal
menggunakan metode penelitian cross sectional dengan instrumen penelitian
berupa kuisioner. Sedangkan untuk sampel yang diteliti bervariasi yaitu ≥ 20.

Tabel 4.2 Jumlah dan Persentase Usia Responden


Karakteristik Usia Jumlah (Persentase) Referensi
18-24 121 (28.6) Ref19
25-34 134 (31.7)
35-44 83 (19.6)
45-54 54 (12.7)
55-64 19 (4.5)
65-75 9
≥ 75 3
Jumlah 423 (100)
< 11 2 (7.1) Ref20
11-25 12 (42.9)
26-40 13 (46.4)
> 40 1 (3.6)
Jumlah 28 (100)
18-25 9 (15.5) Ref8
25-40 38 (65.5)
40-65 11 (19.0)
Jumlah 58 (100)
35-40 3 (9.7) Ref21
41-45 9 (29.0)
46-50 7 (22.6)
51-55 9 (29.0)
56-60 3 (9.7)
Jumlah 31 (100)
26-35 12 (60) Ref22
36-45 8 (40)
Jumlah 20 (100)
23

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa penelitian dilakukan pada range


usia yang berbeda-beda, namun jumlah responden banyak pada usia 25-40 tahun.
Menurut Zulkoni (2010) menyatakan bahwa demam tifoid dapat menyerang
semua umur dan siapa saja yang mempunyai kebiasaan kurang bersih dalam hal
mengkonsumsi makanan.17 Usia juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang. Usia mempengaruhi daya tangkap dan
pola piker seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula
daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin
membaik.13

Tabel 4.3 Jumlah dan Persentase Jenis Kelamin Responden


Karaktersitik Frekuensi (Persentase)
Jenis Kelamin Ref19 Ref20 Ref8 Ref21 Ref22
Laki-laki 163 (38.5) 12 (42.9) 29 (50.0) 11 (35.5) 12 (60.0)
Perempuan 260 (61.5) 16 (57.1) 29 (50.0) 20 (64.5) 8 (40.0)
Jumlah 423 (100) 28 (100) 58 (100) 31 (100) 20 (100)

Berdasarkan table 4.3 menunjukkan hasil bahwa jumlah dan persentase


jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan. Empat dari 5 literatur
mendukung pernyataan tersebut. Sementara satu literature lagi yakni penelitian
oleh Siti Nur Cholifah tahun 2018 menunjukkan hasil responden laki-laki lebih
banyak dari responden perempuan.

Tabel 4.4 Jumlah dan Persentase Pendidikan Responden


Karakteristik Frekuensi (Persentase)
Pendidikan Ref19 Ref20 Ref8 Ref21 Ref22
SD 98 (23.2) 2 (7.1) 11 (19.0) NA 9 (45)
SMP 118 (27.9) 2 (7.1) 17 (29.3) 3 (9.7) 4 (20)
SMA 21 (5) 21 (75.0) 30 (51.7) 19 (61.3) 7 (35)
Perguruan 75 (17.7) 3 (10.7) NA 9 (29) NA
Tinggi
Jumlah 312 (73.8) 28 (100) 58 (100) 31 (100) 20 (100)

Berdasarkan table 4.4 diketahui bahwa pendidikan responden paling


banyak berada pada tingkat SMA dengan persentase ≥ 30%. Responden dengan
pendidikan SMA sudah dianggap dapat menerima dari berbagai informasi
24

pengetahuan tentang demam tifoid baik dari pelajaran sekolah ataupun dari
sumber lain seperti televisi, radio, majalah kesehatan.21 Di era sekarang, sumber
informasi sangat mudah diakses melalui jaringan internet. Budiman (2013) yang
menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
pada pengetahuan seseorang.13 Dengan pendidikan tinggi, maka seseorang akan
cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media
massa, sehingga semakin banyak pula pengetahuan kesehatan yang didapat.13
Dari laporan penelitian yang telah dihimpun diketahui bahwa penelitian
dilakukan di berbagai tempat seperti Makassar, Karanganyar, Sleman, dan
Kabupaten Madiun. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan di kota
cenderung baik karena telah memenuhi program pemerintah yakni wajib belajar 9
tahun yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dengan pendidikan yang
tinggi maka akan mendukung pengetahuan semakin bertambah.

Tabel 4.5 Jumlah dan Persentase Pekerjaan Responden


Karakteristik Frekuensi (Persentase)
Pekerjaan Ref19 Ref20 Ref8 Ref21 Ref22
Pelajar 64 (15.1) 8 (28.6) 2 (3.4) NA NA
Ibu Rumah 131 (31) 8 (28.6) 14 (24.1) NA 6 (30)
Tangga/ Tidak
bekerja
Petani 32 (7.6) NA 19 (32.8) NA 10 (50)
Pedagang 91 (21.5) NA NA 5 (16.1) NA
Wiraswasta 11 (2.6) 8 (28.6) 23 (39.7) 16 (51.6) 4 (20)
PNS 94 (22.2) 4 (14.3) NA 10 (32.3) NA
Jumlah 423 (100) 28 (100) 58 (100) 31 (100) 20 (100)

Berdasarkan tabel 4.5 pada karakteristik pekerjaan responden, diperoleh


hasil bahwa pekerjaan terbanyak yaitu wiraswasta dengan jumlah dan persentase
paling besar adalah 16 (51.6%), tiga literatur mendukung hal tersebut . Pekerjaan
juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang
demam tifoid. Seseorang dengan pekerjaan wiraswasta akan memiliki waktu yang
lebih padat dibanding dengan pekerjaan lainnya sehingga mereka tidak memiliki
waktu untuk mencar informasi seputar demam tifoid, akibatnya pengetahuannya
pun tidak meningkat. Hal tesebut berbanding terbalik dengan orang yang tidak
25

bekerja ataupun tidak memiliki jam kerja sepadat wiraswasta, mereka cenderung
leluasa dan memiliki banyak waktu untuk mencari informasi seputar demam
tifoid.

Tabel 4.6 Jumlah dan Persentase Tingkat Pengetahuan Demam Tifoid


Karakteristik Frekuensi (Persentase)
Pengetahuan Ref19 Ref20 Ref8 Ref21 Ref22
Baik 270 (63.8) 13 (46.4) 18 (31.0) 9 (29.9) 2 (10)
Cukup NA NA 17 (29.3) 16 (51.6) 13 (65)
Kurang 153 (36.2) 15 (53.6) 23 (39.7) 6 (19.4) 5 (25)
Jumlah 423 (100) 28 (100) 58 (100) 31 (100) 20 (100)

Berdasarkan tabel 4.6 dua artikel menunjukkan tingkat pengetahuan


kurang lalu dua artikel lagi juga menunjukkan pengetahuan tentang demam tifoid
cukup. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai
demam tifoid masih kurang. Penyebab pengetahuan responden yang nasih kurang
adalah kurangnya informasi mengenai demam tifoid.22 Pengetahuan merupakan
hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui
indera yang dimilikinya.12 Pengetahuan yang masih kurang juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Menurut Budiman (2013) faktor yang mempengaruhi
pengetahuan diantaranya pendidikan, informasi/media massa, social, budaya,
ekonomi, lingkungan, pengalaman, dan usia.
Kurangnya pengetahuan juga akan berpengaruh terhadap terjadinya
demam tifoid.22 Dengan kurangnya pengetahuan tentang demam tifoid, upaya
pencegahan menjadi tidak maksimal, maka dari itu demam tifoid bisa terus terjadi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan data sosiodemografi, jumlah responden terbanyak adalah
perempuan dengan usia 25-40 tahun, tingkat pendidikan paling banyak adalah
SMA, dan paling banyak bekerja sebagai wiraswasta.
2. Tingkat pengetahuan masyarakat tentang demam tifoid masih kurang.

5.2 Saran
Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk menggunakan artikel yang
lebih banyak agar mendapatkan hasil yang lebih baik dibanding penelitian ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Irianto, K. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular. Bandung : CV


Alfabeta; 2014.h.11

2. Sugeng. 30 Macam Jenis Penyakit Cara Pencegahan dan Penularannya.


UNNES; 2018. Data tersedia pada situs internet:
http://blog.unnes.ac.id/infosehat/30-macam-jenis-penyakit-cara-penularan-
dan-pe/. Diunduh pada tanggal 6 Desember 2019)

3. Irwan. Epidemiologi Penyakit Menular. Yogyakarta : CV Absolute Media;


2017.h 43

4. Rismandara Nabila S. Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Demam Tifoid


pada Anak di Wilayah RW 010 Kelurahan Kembangan Utara Kecamatan
Kembangan Jakarta Barat Tahun 2017. Jakarta: Politeknik Kesehatan
Kemenkes Jakarta 2; 2017

5. Kementerian Kesehatan RI. Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI; 2013.h.1-24

6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


364/MENKES/SK/V/2006

7. WHO.Typhoid.WHO;2018. Data tersedia pada situs internet:


https://www.who.int/immunization/diseases/typhoid/en/, diunduh pada tanggal
:27 November 2019

8. Widodo Agus. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Upaya Pencegahan


Kekambuhan Demam Tifoid pada Penderita Demam Tifoid di Wilayah Kerja
Puskesmas Jatiyoso Karanganyar. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta; 2012

9. Widodo Djoko. Demam Tifoid. Dalam: Setiani S, Alwi I, Sudoyo AW,


Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF. Editor. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III
Edisi VI. Jakarta: Interna Publisihng; 2014.h 549-53

10. Hardianto, Dudi.Telaah Metode Diagnosis Cepat dan Pengobatan Infeksi


Salmonella typhi. Jurnal Bioteknologi dan Biosains Indonesia. Juni 2019;6.

11. Dinas Kesehatan DKI Jakarta – Surveilans Demam Tifoid. Data tersedia pada
situs internet: http://www.Surveilans-dinkesdki.net/chart.php. Diunduh pada
tanggal27 November 2019

12. Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka


Cipta ;2010.h 50-4

27
28

13. Budiman, Agus R. Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap Dalam
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika ;2013.h 4-18

14. Purnama, SG. Buku Ajar : Penyakit Berbasis Lingkungan. Denpasar :


Universitas Udayana ;2016.h 117-27

15. Juwono Rachmat. Demam Tifoid. Dalam: Setiani S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF. Editor. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III
Edisi VI. Jakarta: Interna Publisihng; 2014.hal.435-62

16. Inawati. Demam Tifoid. Surabaya: Departemen Patologi Anatomi; 2014.

17. Zulkoni, Akhsin. Parasitologi. Yogyakarta : Nuha Medika ; 2010.

18. Nelwan, RHH. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta : Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2012.

19. Getachew D,Betelhem W,Wesene E,Beletech G,Workye D. Assessment of


Knowledge and Risk Perception towards Typhoid Fever among Communitien
in Mendida Town, Ethiopia 2018. Mendida Health Center ;2018

20. Mallo, MA. Hubungan antara Pengetahuan dan Kedisiplinan Diet dengan
Lamanya Perawatan pada Pasien Penyakit Demam Tifoid di Rumah Sakit
Umum Labuang Baji Makassar. Makassar : STIKES Nani Hasanuddin ;2013

21. Susanti. Pengetahuan Keluarga Penderita Demam Tifoid dan Tindakan


Pencegahan Demam Tifoid Di Dusun Mundu Catur Tunggal Sleman
Yogyakarta. Surabaya : Akademi Keperawatan Adi Husada ;2015.

22. Cholifah, SN. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Kesehatan dengan


Kejadian Demam Tifoid pada Orang Dewasa di Puskesmas Balerejo
Kabupaten Madiun. Madiun : STIKES Bhakti Husada Mulia ;2018.

Anda mungkin juga menyukai