Demam Tifoid
Oleh:
Preseptor:
PADANG
2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas kehendak-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Demam Tifoid.
Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Bagian
Ilmu Penyakit Dalam periode 30 November 2020 sampai 8 Januari 2021. Selain
itu, besar harapan penulis dengan adanya referat ini mampu menambah
pengetahuan para pembaca mengenai Demam Tifoid mulai dari definisi hingga
penatalaksananya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Dinda Aprilia, SpPD, FINASIM selaku preseptor pada Kepaniteraan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam di RSUP Dr. M. Djamil Padang, yang telah memberikan masukan
yang berguna dalam proses penyusunan makalah ini. Tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang juga turut membantu dalam
upaya penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan
bahasa maupun sistematika penulisan referat ini. Untuk itu kritik dan saran
pembaca sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis berharap kiranya referat ini
dapat menjadi masukan yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga
medis dan profesi lain yang terkait dengan masalah kesehatan khususnya
mengenai Demam Tifoid.
Penulis
ii
Daftar Isi
Daftar Isi................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah...................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan..................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1 Definisi dan Etiologi.................................................................................................3
2.2 Epidemiologi............................................................................................................. 3
2.3 Patogenesis................................................................................................................4
2.4 Manifestasi Klinis.....................................................................................................5
2.5 Diagnosis................................................................................................................... 6
2.6 Tatalaksana.............................................................................................................13
2.7 Komplikasi..............................................................................................................18
2.8 Pencegahan............................................................................................................. 19
2.9 Prognosis............................................................................................................... 21
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Demam tifoid memiliki komplikasi pada berbagai sistem organ seperti
komplikasi pada intestinal, komplikasi kardiovaskuler, darah, paru, hepar, ginjal,
dan neuropsikiatrik. Hal ini dapat terjadi pada tatalakasana yang tidak tepat.1
Pentingnya istirahat yang cukup dan perawatan serta diet yang tepat untuk
mencegah dari komplikasi, mempercepat penyembuhan dan mengembalikan
pasien secara optimal. Pemberian anti mikroba dibutuhkan untuk menghentikan
dan mencegah dari penyebaran kuman.1
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang Demam Tifoid.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Diperkirakan 17 juta kasus penyakit demam tifoid dan paratifoid terjadi
secara global pada tahun 2015 terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan
Afrika sub-Sahara, dengan beban dan insiden terbesar yang terjadi di Asia Selatan.
Tanpa diobati, baik demam tifoid maupun paratifoid mungkin fatal dengan
178.000 kematian diperkirakan di seluruh dunia pada tahun 2015.7 Di Indonesia,
kasus demam tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat setiap tahunnya
dengan rata-rata kesakitan 500/100.00 penduduk dengan kematian 0,6-5% yang
diakibatkan karena keterlambatan pengobatan. Demam tifoid dapat ditemukan di
perkotaan maupun di pedesaan. Tidak ada perbedaan kejadian demam tifoid pada
pria dan wanita.2 Di negara-negara endemik, insiden tertinggi terjadi pada anak-
anak yang lebih muda. Sebuah studi dari tahun 2004 menggunakan data dari
penelitian yang diterbitkan untuk mengekstrapolasikan tingkat kejadian
berdasarkan kelompok usia dan melaporkan insiden tertinggi pada anak-anak di
bawah usia 5 tahun dalam pengaturan insiden tinggi.7
3
2.3 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari penempelan
bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bertahan
hidup di aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke lumen intestinal. Masuknya kuman Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi kuman. Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman
masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan
suasana asam banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai
usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus
dinding usus tepatnya di ileum dan jejunum. Sel M, sel epitel yang melapisi
Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella
typhii. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa
usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kemudian
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati
sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di organ
hati dan limpa. Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya
melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa,
sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. 2,8
Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa,
kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk melepaskan produknya yang
secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara sistemik
menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid. Penularan Salmonella typhi
sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang
tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya
keluar bersama dengan feses. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari
seorang ibu hamil yang berada pada keadaan bakterimia kepada bayinya.2,8
4
2.4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan sekali
(sehingga tidak terdiagnosis) dan dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid)
sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gejala klinis demam
tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa.
Masa inkubasi demam tifoid 5 sampai 40 hari dengan rata-rata antara 10 sampai
14 hari. Variasi gejala ini disebabkan faktor jalur Salmonella, status nutrisi dan
imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya. Setelah masa inkubasi maka
ditemukan gejala prodromal, berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing.9,10
Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran
ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran berkabut. Jarang
terjadi sopor, koma atau gelisah.16 Pada kasus yang berat penderita dapat datang
dengan kondisi yang toksik/sakit berat bahkan datang dengan syok hipovolemik
sebagai akibat kurang masuknya cairan dan makanan. Tidak jarang penderita
sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis.9
Gejala lain
Hati dan limpa dapat ditemukan membesar disertai nyeri tekan. Rose spot
dapat dijumpai pada penderita tifoid, yaitu suatu ruam makulopapular yang
berwarna merah dengan ukuran 2 sampai 4 um seringkali dijumpai pada daerah
abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, jarang terjadi
pada anak Indonesia. Bronchitis dan bradikardia relatif juga dapat dijumpai pada
penderita demam tifoid tapi dalam persentase yang sangat sedikit. Bradikardi
relative adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan
frekuensi nadi.9
2.5. Diagnosis
Diagnosis didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien biasanya mengeluhkan demam
yang naik secara bertahap kemudian menetap pada minggu ke-2. Demam
dirasakan terutama pada sore dan malam hari. Selain demam dapat juga disertai
dengan sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual dan muntah, obstipasi atau diare.
Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid, tetapi pada penderita yang
6
hidup di daerah endemis malaria dan menggigil lebih mengarah kepada diagnosis
yang disebabkan oleh malaria. Namun demikian tifoid dan malaria dapat terjadi
bersamaan pada penderita.12
Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapatkan febris, kesadaran berkabut,
bradikardi relatif, lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali, dan nyeri
abdomen.12 Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang
menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik
dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
yaitu :
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
7
beberapa faktor, seperti :
(1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif;
(2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih 10
cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif;
(3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi
dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan
darah dapat negatif; dan
(4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu pertama,
pada saat aglutinin semakin meningkat. 10,12 Volume 10-15 mL dianjurkan
untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.17 Sedangkan
volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.18
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika
daripada bakteri dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur sumsum
tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya.14,15
Pemeriksaan Dipstik
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.18,20 Uji serologis dengan
pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi
IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Berdasarkan penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%.18 Sedangkan penelitian lain oleh Ismail dkk (2002)
terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90%
dan spesifisitas sebesar 96%.22
Uji Tubex®
Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid. Tes ini sangat cepat,
hanya membutuhkan waktu 5-10 menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi
serum antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap
bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM
anti-O9 LPS.23,24
Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale
11
yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah)
hingga nilai 10 (warna paling biru). 24
Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL
Biotech 2008: 18,24
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan
ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan
gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam
tifoid yang sangat kuat.
Uji Typhidot®
Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang hasil uji
Typhidot® dinilai positif apabila didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama
dengan atau lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada kertas saring komersial
yang telah disiapkan. Tes ini memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu,
tes harus diulang setelah 48 jam.25
12
Gambar 2.1 Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes; bagian
bawah, interpretasi hasil tes.25
2.6 Tatalaksana
Pengobatan
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
28
13
untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dan perawatan sepenuhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan
membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali
dijaga kebersihan tempt tidur, pakaian, dan perlengkapan apa saja yang dipakai.
Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia ortostatic
serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
14
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2tab (1tab mengandung
sulfametoksazol 400mg dan 80mg trimethoprim) diberikan selama 2 minggu,
- Ampisilin dan Amoksisilin, Kemampuan obat ini untuk
menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis yang
dianjurkan berkisar antara 50-150mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
- Sefalosporin generasi ketiga, hingga saat ini golongan obat ini
yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang
dianjurkan adalah antara 3-4gr dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam
perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
- Golongan Fluorokuinolon, golongan ini beberapa jenis bahan dan
sediaan dan aturan pemberiannya :
Norfloksasin dosis 2x400 mg.hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 haru
- Kombinasi obat Antimikroba
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septic
yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain
kuman Salmonella.
- Kortikosteroid. Penggunaan hanya diindikasikan pada toksik tifoid
atau demam tifoid yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5mg.
- Pengobatan Demam Tifoid untuk Wanita Hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ketiga kehamilan.
Tiamfenikol tidak dianjurkan untuk trimeter pertama kehamilan. Obat yang
dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.
Pemberian terapi antibiotik yang tepat dan cepat, mencegah komplikasi
demam tifoid yang berat dan mengurangi kasus fatal menjadi < 1%. Terapi
antibiotik inisial bergantung terhadap kerentanan dari S. Typhi dan S. Paratyphi
pada tiap tiap area. Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen
fluorokuinolon, dengan angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal
<2%. Pemberian terapi singkat degan ofloxacin memiliki angka kesuksesan yang
sama dengan pemberian agen kuinolon terhadap salmonela yang sensitif. Di Asia,
15
penggunaan luas agen fluorokuinolon secara bebas, menyebabkan kenaikan angka
kejadian DCS (decreased ciprofloxacin susceptibility). Oleh karena itu
penggunaan agen fluorokuinolon sebainya dibatasi dan tidak menjadi terapi
empiris. Pasien yang terinfeksi dengan golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi
menggunakan ceftriaxone, azithromycin atau ciprofloksasin dalam dosis besar.
Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam 7 hari sebagai terapi demam
typhoid DCS, menyebabkan keterlambatan resolusi dan meningkatkan angka
karier fecal. Oleh karena itu, terapi demam typhoid DCS dengan menggunakan
ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam waktu 14 hari.
Ceftriaxone, cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk
demam tifoid MDR (multi drug resistant), termasuk DCS dan salmonella yang
resisten dengan fluorokuinolon. Agen ini menurunkan panas dalam waktu ± 1
minggu, dengan angka kegagalan 5-10%, angka karier fekal <3% dan angka
relaps 3- 6%. Pemberian azithromycin oral, menurunkan demam dalam 4-6 hari,
dengan angka relaps dan karier fekal <3%. Pada demam tifoid DCS, pemberian
azithromycin berhubungan dengan angka kegagalan terapi yang rendah, dan
durasi hospitalisasi yang pendek dibandingkan pemberian fluorokuinolon.
Sefalosporin generasi satu, generasi generasi kedua dan aminoglikosida tidak
efektif pada terapi demam tifoid.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di
rumah dengan antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap,
diare menetap atau distensi abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan
diberikan terapi suportif (tirah baring dan dukungan nutrisi )disertai pemberian
antibiotik parenteral sefalosporin generasi ketiga atau fluorokuinolon, tergantung
dari tingkat sensitif bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10 hari atau
selama 5 hari setelah resolusi demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi
dengan pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi
menggunakan amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif
dalam mengeradikasi karier kronis (80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali
sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila tidak ada siprofloksasin dan galur
tersebut peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3 bulan , atau 100
mg/kg/hari amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya
diberikan selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu hanya
16
memperlihatkan respons sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan
kolesistektomi untuk mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.
Tabel 2.1 Terapi antibiotik untuk demam tifoid
17
2.7 Komplikasi
Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan
mengancam nyawa, tergantung dari faktor inang (terapi imunosupresi, terapi
antasida, riwayat vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik.
18
Pendarahan gastrointestinal (10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa
terjadi minggu ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal dan perforasi
intestinal terjadi akibat hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri ileocecal.
Keuda komplikasi ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan resusistasi
cairan segera dan intervensi bedah dengan pemberian antibiotik spektrum luas
untu periotinits polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada 2 -
40% berupa, meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala
neuropsikiatrik.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa disseminated intravascular
coagulation, hematophagotic syndrome, pankreatitis, hepatitis, miokarditis,
orkitis, glomerulonefritis, pieloneftitis, pneumonia berat, arthritis, osteomielitis.
Namun komplikasi ini sudah jarnag terjadi akibat pemberian antibiotik yang
tepat.25
2.8 Pencegahan
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan
tersier.20
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang
dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan.
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu:
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul
yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini
kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi
antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin
yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5
tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping
adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan.
Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin
19
diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi
vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar
dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan20
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan
sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun,
peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang
cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal
pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi
lingkungan.28
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa
penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk
mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan
usaha surveilans tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi.29 Penderita demam tifoid, dengan
gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain
yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan
sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila
klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka
dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita
harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori
yang optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup.
Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi
biasa.30
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah
dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan
20
harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup
sering menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada
wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus
prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling
aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.30
Pencegahan Tersier adalah upaya yang dilakukan untuk
mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari
penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga
imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan
laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
2.9 Prognosis
Pada penderita demam tifoid cukup baik apabila pasien datang pada tahap
awal dan belum disertai dengan munculnya komplikasi. Prognosis tergantung
pada umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah / virulensi kuman,
saat dimulainya pengobatan (cepat dan tepatnya pengobatan), keadaan sosio-
ekonomi dan gizi penderita.
21
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang
menjadi masalah dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara
endemik untuk demam tifoid. Diagnosis demam tifoid tidak hanya dengan melihat
manifestasi klinis yang muncul pada pasien namun juga didukung dengan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis definitif. Pada intinya, segala jenis
pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab demam
tifoid. Diantara berbagai pemeriksaan serologis yang ada, widal sebagai
pemeriksaan yang paling tua sudah tidak lagi menjadi pemeriksaan yang
direkomendasikan. Saat ini sudah ada pemeriksaan serologis lain dengan
sensitifitas dan spesitifitas yang lebih baik seperti TUBEX dan Typhidot.
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid, yaitu
Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan
tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
Pemberian antimikroba, dengan tujuan mengembalikan dan mencegah penyebaran
kuman. Pencegahan demam tifoid dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai
dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Djoko Widodo. 2016. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi 6. Jakarta: Internal Publishing.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.2006. Pedoman pengendalian demam
tifoid. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
3. WHO. 2018. Weekly Epidemiological Record. Geneva: WHO
4. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
5. Widiyono. Buku ajar Penyakit Tropis. Edisi II. Semarang: Penerbit Erlangga; 2011.
6. Sherwood L. Energy Balance and Temperature Regulation. Dalam: Sherwood L,
Editor Human Physiology. From Cells To Systems. Edisi Keempat. Australia:
Brooks/Cole; 2001: 613-614.
7. Ardiaria M. Epidemiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan demam
tifoid.Jurnal of nutrition and health. 2019;7: 32-38.
8. Gibani MM, Britto C, Jin C, Meiring J, Pollard A. The diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. Geneva: World Health Organization (unpublished report);
2016.
9. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
http://www.litbang.depkes. go.id/ bl_riskesdas2007.
10. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
11. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan
Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta :
BP FKUI, 2001:65-73.
12. Cita Parama, 2011, ‘Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid’, Jurnal Kesehatan
Masyarakat Andalas. Diakses tanggal 23 Januari 2019.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of
Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi –
Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang :
IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
23
15. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P.
Diagnosis of typhoid fever by detection of Salmonella Typhi antigen in urine. J Clin
Microbiol 1992;30(9):2513-5. [Abstract]
16. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
17. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201.
18. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New
England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/
full/10.1056/NEJMra020201.
19. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Mei 2006. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes /KMK%20No.
%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf.
20. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran
Indonesia. 2012; XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-2012/edisi-no-
08-vol-xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-dan-akurat-diagnosis-demam-
tifoid.
21. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Salmonellosis.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition. United States : Mc Graw Hill.
2015:1049-1052.
22. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali. 2010.
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf.
24. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008. www.idl.se.
25. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis of
Typhoid Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/ 2034/12a-
%204058.A.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
26. [WHO] Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid
fever. World Health Organization; 2003: 17-18.
27. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
www.genwaybio.com.
28. Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi
V. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009 ; 1774-
1778
24
29. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan
Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
30. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
http://www.litbang.depkes. go.id/ bl_riskesdas2007.
25