THYPOID
DOSEN PENGAMPU:
Disusun oleh:
Kelompok II
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan karunia-nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah keperawatan anak yang berjudul “THYPOID” dengan tepat
waktu tanpa halangan suatu apapun. Diharapkan makalah ini dapat memberikan wawasan dan informasi
kepada pembaca tentang perkembangan keperawatan anak dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana pun kami telah berusaha membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya, namun tidak ada
kesempurnaan dalam karya manusia. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Semoga makalah ini akan menjadi ilmu yang bermanfaat.
Kelompok II
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demam tifoid menjadi masalah kesehatan, yang umumnya terjadi di negara yang sedang
berkembang karena akibat kemiskinan, kriminalitas dan kekurangan air bersih yang dapat diminum. Diagnose
dari pelubangan penyakit tipus dapat sangat berbahaya apabila terjadi
selama kehamilan atau pada periode setelah melahirkan. Kebanyakan penyebaran penyakit demam tifoid ini
tertular pada manusia pada daerah – daerah berkembang, ini dikarenakan
pelayanan kesehatan yang belum baik, hygiene personal yang buruk. Salah satu contoh yaitu di
Negara Nigeria, dimana terdapat 467 kasus dari tahun 1996 sampai dengan 2000.
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid sudah jarang terjadi di negara-negara industri, namun tetap menjadi
masalah kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia, seperti
bekas negara Uni Soviet, anak benua India, Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika. Menurut WHO,
diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya berakhir dengan kematian. Sekitar 70 % dari
seluruh kasus kematian itu menimpa penderita demam tifoid di Asia.
Demam tifoid merupakan masalah global terutama di negara dengan higiene buruk. Etiologi utama di Indonesia
adalah Salmonella enterika subspesies enterika serovar Typhi (S.Typhi) dan Salmonella enterika subspesies enterika
serovar Paratyphi A (S. Paratyphi A). CDC Indonesia melaporkan prevalensi demam tifoid mencapai 358-
810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan angka mortalitas
bervariasiantara 3,1 – 10,4 % pada pasien rawat inap.
Dua dekade belakangan ini, dunia digemparkan dengan adanya laporan Multi Drug
Resistant (MDR) strains S.Typhi. strain ini resisten dengan kloramfenikol, trimetropim- sulfametoksazol, dan
ampicillin. Selain itu strain ressisten asam nalidixat juga menunjakan
penurunan pengaruh ciprofloksasin yang menjadi endemik di India. United State, United Kingdom dan juga
beberapa negara berkembang pada tahun 1997 menunjukan kedaruratan masalah globat akibat MDR.
Morbiditas di seluruh dunia, setidaknya 17 juta kasus baru dan hingga 600.000 kematian dilaporkan tiap tahunnya.
Di negara berkembang, diperkirakan sekitar 150 kasus/ juta populasi/ tahun di Amerika Latin. Hingga 1.000
kasus/ juta populasi/ tahun di beberapa negara Asia.
P e n y a k i t i n i j a r a ng d i j u m p a i d i A m e r ik a U ta a , y a it u s e k
U U n i te d S t a t e , 7 0 % t e r j a di p a d a t u ris y an g b er k u n ju n g k e
i ta r 4 0 0 k a s u s d i l a p o r k a n t ia p t a h u n d i insiden dilaporkan hanya 1 dalam
n e g ar a e n d e m i s . D i U n i t e d K i n g d o m ,
100.000 populasi.
Di Indonesia, demam tifoid masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat,
berbagai upaya yang dilakukan untuk memberantas penyakit ini tampaknya belum memuaskan. Di seluruh dunia
WHO memperkirakan pada tahun 2000 terdapat lebih dari 21,65 juta penderita demam tifoid dan lebih dari 216 ribu
diantaranya meninggal . Di Indonesia selama tahun 2006, demam tifoid dan demam paratifoid merupakan penyebab
morbiditas peringkat 3 setelah diare dan Demam Berdarah Dengue.
Kejadian demam tifoid meningkat terutama pada musim hujan.Usia penderita di Indonesia (daerah endemis)
antara 3-19 tahun (prevalensi 91% kasus). Dari presentase tersebut,
jelas bahwa anak-anak sangat rentan untuk mengalami demam tifoid. Demam tifoid sebenarnya dapat menyerang
semua golongan umur, tetapi biasanya menyerang anak usia lebih dari 5 tahun.
Itulah sebabnya demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang memerlukan perhatian
khusus. Penularan penyakit ini biasanya dihubungkan dengan faktor kebiasaan makan, kebiasaan
jajan, kebersihan lingkungan, keadaan fisik anak, daya tahan tubuh dan derajat kekebalan anak.
Perlu penanganan yang tepat dan komprehensif agar dapat memberikan pelayanan yang tepat terhadap pasien.
Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan benar serta
pengaturan diet yang tepat agar dapat mempercepat
proses penyembuhan pasien dengan demam tifoid.
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
negara asia Tenggara dan Afrika, terutama di daerah yang kebersihan dan kesehatan lingkungannya kurang
memadai. Di Indonesia, demam tifoid merupakan penyakit endemik
(penyakit yang terdapat sepanjang tahun) dan menduduki peringkat kedua setelah diare. Demam tifoid sebenarnya
dapat menyerang semua golongan umur, tetapi biasanya menyerang anak usia lebih dari 5 tahun. Itulah sebabnya
demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang memerlukan perhatian khusus. Penularan penyakit ini biasanya
dihubungkan dengan faktor kebiasaan makan, kebiasaan jajan, kebersihan lingkungan, keadaan fisik anak, daya
tahan tubuh dan derajat kekebalan anak.
Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi.
iedrahs ak loidtoarh. nBya gpiahni t ednagna che nbderewruanrgn ai npguinti hm daakna np yinagngi ransyama -
Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa, Akibatnya terjadi
pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan,
akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.
Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan
penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang
air besar).
Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing.
Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan
berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran.
P n e um o n ia b i sa te r j a d i p a d a m i n g g u k e d u a a ta u
p ne u m ok o k u s ( m e s k i p u n b a k t e ri ti f o i d j u g a b i s a m e n
Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah
memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda
terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan ( slide test) atau
uji tabung (tube test) . Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur
penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi
hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing- masing sebesar 89%
pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar
99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium
penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi;
gambaran imunologis dari masyarakat
setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil
membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif
akan memperkuat dugaan pada tersangka
penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,
manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point) . Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan
titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak
sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan
titer >1/200 pada 89% penderita.
Tes TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara
berkembang.
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi
akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot ® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74%
dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas
sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas
uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.
Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan
bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil
kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan
membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di
tempat yang hanya mempunyai
fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama
6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.
Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur
sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002)
mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan
adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan
hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
4. Identifikasi Kuman Secara Molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin
bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase
chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali
lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila
dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan
hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan
garam empedu dalam spesimen feses),
biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih
belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium
penelitian.
Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi
lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau
mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam
botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa
menambahkan es di dalamnya. Gunakan air
minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.
Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk
menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar,
cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih
segar atau tidak.
Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air
untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang
masih panas. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan
dari penjual di jalanan yang lebih
mungkin terkontaminasi.
Pusat control penyakit dan pencegahan telah menidentifikasi imunisasi menjadi a genda
penting bagi Negara berkembang yang menjadi tempat berkembang salmonella thypi. Vaksin ini
berlandaskan identifikasi gen bakteri dan mekanisme imunologi dari daya tahan ke penyakit. Penggunaan vaksin
ini merupakan pencegahan khusus yang dilakukan oleh negara Indonesia, untuk menanggulangi terjadinya demam
tifoid pada anak, sehingga anak menjadi memiliki kekebalakn tubuh yang baik, meskipun kadang dirasakan efek
sampingnya. Namun hal ini sangat lah baik untuk dilakukan guna meningkatkan kesehatan masyarakat di
Indonesia terutama pada
anak-anak. Vaksin ini sering dilakukan pada anak-anak dengan rentang waktu tertentu serta komposisi tertentu
sesuai dengan usia pada anak tersebut.
s i tik a n n
b utir m c g
accharide polysaccharide (0,5 ml) - demam
vaccine Vi [ViCPs] (3%)
-tidak enak
badan
-muntah
3. Vaksin hidup S.thypi hidup yang 3-4 kapsul 60-90% -sakit
yang diperlemah diperlemah pada
(Ty21a vaksin) abdomen
- mual
- muntah
- diare
- ruam
Pencegahan yang dilakukan pada pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut beberapa
tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
Sering cuci tangan anda.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan
an setelah menggunakan toilet.
Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda
bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh
kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.
c ip r o f l o x a c i n ) a t a u g o l o n g a n c e p h a l o s p o r i n e
m b e r ia n a nt i bi ot i k a da l a h 7- 1 4 h ar i . T i ra h
baring selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali. Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99%
penderita dapat disembuhkan. Antibiotik yang banyak digunakan adalah kloramfenikol 100mg/kg/hari dibagi dalam
4 dosis selama 10 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Kloramfenikol tidak bias diberikan bila jumlah
leukosit < 2000 ul. Bila
pasien alergi, dapat diberikan golongan penisilin atau kotrimoksazol.
Penurun panas
Penurun panas yang sering diberikan adalah paracetamol.
Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan pada demam tifoid berat.
Diet lunak rendah serat, dan makan makanan bergizi Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan
haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain :
Kesimpulan
Demam tifoid adalah suatu infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Di
Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800/100.000
penduduk per tahun, tersebar dimana-mana, dan ditemukan hamper sepanjang tahun.
Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak
besar, umur 5-9 tahun. Dengan keadaan seperti ini, adalah penting melakukan pengenalan dini demam tifoid, yaitu
adanya 3 komponen utama : Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari), Gangguan susunan saraf pusat /
kesadaran.
Saran
Dari uraian makalah yang telah disajikan maka kami dapat memberikan saran untuk selalu menjaga kebersih
lingkungan , makanan yang dikonsumsi harus higiene dan perlunya
penyuluhan kepada masyarakat tentang demam tifoid
DAFTAR PUSTAKA
http://www.infopenyakit.com/2008/08/penyakit-demam-tifoid.html