Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FARMAKOLOGI

THYPOID

DOSEN PENGAMPU:

Disusun oleh:
Kelompok II

1. MOH JUHRI LATAE


2. ISMAIL
3. RIRIN
4. NURWATINI
5. AULIA CITRA

PRODI D-III KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES PALU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan karunia-nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah keperawatan anak yang berjudul “THYPOID”  dengan tepat
waktu tanpa halangan suatu apapun. Diharapkan makalah ini dapat memberikan wawasan dan informasi
kepada pembaca tentang perkembangan keperawatan anak dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana pun kami telah berusaha membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya, namun tidak ada
kesempurnaan dalam karya manusia. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Semoga makalah ini akan menjadi ilmu yang bermanfaat.

Palu, 24 Januari 2022

Kelompok II
BAB 1
PENDAHULUAN

  Latar Belakang 
Demam tifoid menjadi masalah kesehatan, yang umumnya terjadi di negara yang sedang
 berkembang karena akibat kemiskinan, kriminalitas dan kekurangan air bersih yang dapat diminum. Diagnose
dari pelubangan penyakit tipus dapat sangat berbahaya apabila terjadi
selama kehamilan atau pada periode setelah melahirkan. Kebanyakan penyebaran penyakit demam tifoid ini
tertular pada manusia pada daerah  –   daerah berkembang, ini dikarenakan
 pelayanan kesehatan yang belum baik, hygiene personal yang buruk. Salah satu contoh yaitu di
 Negara Nigeria, dimana terdapat 467 kasus dari tahun 1996 sampai dengan 2000.
Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid sudah jarang terjadi di negara-negara industri, namun tetap menjadi
masalah kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia, seperti
 bekas negara Uni Soviet, anak benua India, Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika. Menurut WHO,
diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya berakhir dengan kematian. Sekitar 70 % dari
seluruh kasus kematian itu menimpa penderita demam tifoid di Asia.
Demam tifoid merupakan masalah global terutama di negara dengan higiene buruk. Etiologi utama di Indonesia
adalah Salmonella enterika subspesies enterika serovar Typhi (S.Typhi) dan Salmonella enterika subspesies enterika
serovar Paratyphi A (S. Paratyphi A). CDC Indonesia melaporkan prevalensi demam tifoid mencapai 358-
810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan angka mortalitas
 bervariasiantara 3,1 –  10,4 % pada pasien rawat inap.
Dua dekade belakangan ini, dunia digemparkan dengan adanya laporan  Multi Drug
 Resistant (MDR) strains S.Typhi. strain ini resisten dengan kloramfenikol, trimetropim- sulfametoksazol, dan
ampicillin. Selain itu strain ressisten asam nalidixat juga menunjakan
 penurunan pengaruh ciprofloksasin yang menjadi endemik di India. United State, United Kingdom dan juga
beberapa negara berkembang pada tahun 1997 menunjukan kedaruratan masalah globat akibat MDR.
Morbiditas di seluruh dunia, setidaknya 17 juta kasus baru dan hingga 600.000 kematian dilaporkan tiap tahunnya.
Di negara berkembang, diperkirakan sekitar 150 kasus/ juta populasi/ tahun di Amerika Latin. Hingga 1.000
kasus/ juta populasi/ tahun di beberapa negara Asia.
P e n y a k i t i n i j a r a ng d i j u m p a i d i A m e r ik a U ta a , y a it u s e k
U U n i te d S t a t e , 7 0 % t e r j a di p a d a t u ris y an g b er k u n ju n g k e
i ta r 4 0 0 k a s u s d i l a p o r k a n t ia p t a h u n d i insiden dilaporkan hanya 1 dalam
n e g ar a e n d e m i s . D i U n i t e d K i n g d o m ,
100.000 populasi.
Di Indonesia, demam tifoid masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat,
 berbagai upaya yang dilakukan untuk memberantas penyakit ini tampaknya belum memuaskan. Di seluruh dunia
WHO memperkirakan pada tahun 2000 terdapat lebih dari 21,65 juta penderita demam tifoid dan lebih dari 216 ribu
diantaranya meninggal . Di Indonesia selama tahun 2006, demam tifoid dan demam paratifoid merupakan penyebab
morbiditas peringkat 3 setelah diare dan Demam Berdarah Dengue.
Kejadian demam tifoid meningkat terutama pada musim hujan.Usia penderita di Indonesia (daerah endemis)
antara 3-19 tahun (prevalensi 91% kasus). Dari presentase tersebut,
 jelas bahwa anak-anak sangat rentan untuk mengalami demam tifoid. Demam tifoid sebenarnya dapat menyerang
semua golongan umur, tetapi biasanya menyerang anak usia lebih dari 5 tahun.
Itulah sebabnya demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang memerlukan perhatian
khusus. Penularan penyakit ini biasanya dihubungkan dengan faktor kebiasaan makan, kebiasaan
 jajan, kebersihan lingkungan, keadaan fisik anak, daya tahan tubuh dan derajat kekebalan anak.
Perlu penanganan yang tepat dan komprehensif agar dapat memberikan pelayanan yang tepat terhadap pasien.
Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan benar serta
pengaturan diet yang tepat agar dapat mempercepat
 proses penyembuhan pasien dengan demam tifoid.

  Rumusan Masalah 

  Apa pengertian demam tifoid?


  Apa saja penyebab demam tifoid?
  Bagaimana gejala dan tanda demam tifoid? 4.  Bagaimana patogenesis demam tifoid?
  Bagaimana maanifestasi klinis dari demam tifoid?
  Komplikasi apa saja yang terjadi pada penderita demam tifoid?
  Bagaimana diagnosis yang dilakukan untuk penderita demam tifoid? 8.  Bagaimana penanganan atau pencegahan
demam tifoid?
9.  Bagaimana pengobatan demam tifoid?

Tujuan Penulisan 

  Untuk mengetahui pengertian demam tifoid


  Untuk mengetahui apa saja penyebab dari demam tifoid
  Untuk mengetahui gejaladan tanda yang terjadi pada demam tifoid 4.  Untuk mengetahui patogenesis demam
tifoid
  Untuk mengetahui manifestasi klinis dari demam tifoid
  Untuk mengetahui komplikasi yang disebabkan oleh demam tifoid
  Untuk mengetahuipemeriksaan apa saja yang baik untuk penderita demam tifoid 8.  Untuk mengetahui
pencegahan atau penanganan demam tifoid
9.  Untuk mengetahui cara pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita demam tifoid
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Demam Tifoid 


Demam tifoid (tifus abdominalis) atau lebih populer dengan nama tifus, merupakan
 penyakit infeksi akut oleh kuman Salmonela typhi yang menyerang saluran pencernaan. Penyakit demam tifoid ini
masih banyak dijumpai di negara berkembang seperti di beberapa

negara asia Tenggara dan Afrika, terutama di daerah yang kebersihan dan kesehatan lingkungannya kurang
memadai. Di Indonesia, demam tifoid merupakan penyakit endemik
(penyakit yang terdapat sepanjang tahun) dan menduduki peringkat kedua setelah diare. Demam tifoid sebenarnya
dapat menyerang semua golongan umur, tetapi biasanya menyerang anak usia lebih dari 5 tahun. Itulah sebabnya
demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang memerlukan perhatian khusus. Penularan penyakit ini biasanya
dihubungkan dengan faktor kebiasaan makan, kebiasaan jajan, kebersihan lingkungan, keadaan fisik anak, daya
tahan tubuh dan derajat kekebalan anak.

Penyebab Demam Tifoid 


Kuman salmonela masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar,
 baik pada waktu memasak atau pun melalui tangan dan alat masak yang kurang bersih. Bersama makanan itu,
kuman salmonela akan diserap oleh usus halus dan menyebar ke semua alat tubuh terutama hati dan limpa,
sehingga membengkak dan nyeri. Kuman ini akan meneruskan
 perjalannya masuk peredaran darah dan masuk ke dalam kelenjar limfe, terutama di usus halus.
 Nah, di dalam dinding usus ini Salmonela membuat luka atau bahasa medisnya tukak berbentuk lonjong.
Tukak tersebut suatu saat dapat menimbulkan perdarahan atau robekan sehingga terjadi
 penyebaran infeksi ke dalam rongga perut. Kalau sudah parah maka perlu tindakan operasi untuk mengobatinya.
Tak jarang hal ini dapat menimbulkan kematian. Selain itu, kuman salmonela yang masuk ke dalam tubuh juga
mengeluarkan toksin (racun) yang akan menimbulkan gejala demam pada penderita.

Gejala dan Tanda Demam Tifoid 


Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi
saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian mengikuti peredaran darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa
sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba. Gejala klinis demam tifoid pada anak
dapat bervariasi dari yang ringan hingga yang berat. Biasanya gejala pada orang dewasa akan lebih ringan
dibanding pada anak- anak. Kuman yang masuk ke dalam tubuh anak, tidak segera menimbulkan gejala. Biasanya
memerlukan masa tunas sekitar 7-14 hari. Masa tunas ini lebih cepat bila kuman tersebut masuk melalui makanan,
dibanding melalui minuman.
Gejala klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
 bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan antara lain :

  Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi.
 
iedrahs ak loidtoarh. nBya gpiahni t ednagna che nbderewruanrgn ai npguinti hm daakna np yinagngi ransyama -

masearmah .a tBauia psaendyaas. anak akan

  Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa, Akibatnya terjadi
pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan,
akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.
  Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan
 penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang
air besar).
  Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing.
Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
  Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan
 berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran.

Patogenesis Demam Tifoid


Kuman Salmonella Typi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnakan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque
peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal
dapat terjadi. Kuman Salmonella Typi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai
kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini salmonella
typi masuk ke aliran darah melalui duktus thoracicus. Kuman salmonella typi lain mencapai hati melalui sirkulasi
portal dari usus. Salmonella typi bersarang di plaque
 peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial.

Manifestasi Klinis Demam Tifoid 


Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan
patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang
ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa
gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa
perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua
 penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus  atau  Pneumococcus  daripada S. typhi. Sifat
demam juga muncul saat sore menjelang malam hari. Menggigil tidak
 biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu
penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.
typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis,
yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap
lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya
terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah
dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan
dimensi waktu sakit
 penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%),
nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari
 pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%),
meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina
Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%),
mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).  Sedangkan tanda klinis
yang lebih
 jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk,
 penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal. Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%),
ensefalopati (11%), syok (10%), karditis (0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%).

Komplikasi Demam Tifoid 


Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi bisa terjadi komplikasi, terutama pada
penderita yang tidak diobati atau bila pengobatannya terlambat :
  Banyak penderita yang mengalami perdarahan usus; sekitar 2% mengalami perdarahan hebat.
Biasanya perdarahan terjadi pada minggu ketiga.
  Perforasi usus terjadi pada 1-2% penderita dan menyebabkan nyeri perut yang hebat karena isi usus
menginfeksi ronga perut (peritonitis).


  P n e um o n ia b i sa te r j a d i p a d a m i n g g u k e d u a a ta u
 p ne u m ok o k u s ( m e s k i p u n b a k t e ri ti f o i d j u g a b i s a m e n

k e ti g a d a n b i a sa n y terjadi akibat infeksi


y e b a b k a n p n e u m o n ia ).

  Infeksi kandung kemih dan hati.


  Infeksi darah (bakteremia) kadang menyebabkan terjadinya infeksi tulang (osteomielitis), infeksi katup jantung
(endokarditis), infeksi selaput otak (meningitis), infeksi ginjal (glomerulitis) atau infeksi saluran kemih-kelamin.
Diagnosis Demam Tifoid 
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan biakan darah, tinja, air kemih atau jaringan tubuh lainnya guna
menemukan bakteri penyebabnya.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok,
yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji
serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.
Pemeriksaan Darah Tepi 
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit
bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama
 pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju
endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam
membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan,
akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil
 pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal
(65.9%).

Identifikasi Kuman Melalui Isolasi atau Biakan 


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi  dalam
 biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan
patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid,
karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1)
jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.   Sedangkan
volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini
juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya
 bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan
terapi antibiotika sebelumnya.  Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
S.typhi  adalah media empedu ( gall)  dari sapi dimana  dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan  positivitas
hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada
media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
 penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita
 pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada
sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. 
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap
positif selama perjalanan
 penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
 penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir
ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada
keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama
pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir
sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan
antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala
berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri
sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

. 3. Identifikasi Melalui Uji Serologis 


Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik
terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk
uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis
yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme
immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay  (ELISA); dan (5)
 pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
 proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan
spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada
 jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
 jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium
dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).

Uji Widal 
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah
memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda
terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan ( slide test)  atau
uji tabung (tube test)  . Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur
 penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi
hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing- masing sebesar 89%
pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar
99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium
penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi;
gambaran imunologis dari masyarakat
setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil
membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif
akan memperkuat dugaan pada tersangka
 penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,
manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point)  . Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan
titer dasar (baseline titer)  pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak
sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan
titer >1/200 pada 89% penderita.

Tes TUBEX® 
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX®  ini, beberapa
 penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara
 berkembang.

Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50
kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
 pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

 pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi
akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M®    yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot ® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan
kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74%
dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.   Penelitian lain mendapatkan sensitivitas
sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas
uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. 
Dikatakan bahwa Typhidot-M®    ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan
 bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil
kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan
membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di
tempat yang hanya mempunyai
fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
 bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama
6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
 jam setelah penerimaan serum pasien.

Metode Enzyme-Linked Immunosorbent (ELISA) 


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap
antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA
yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA.
Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
 pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi  pada darahnya,
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali
 pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.  Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta
masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis.

Pemeriksaan Dipstik  
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human  immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur
sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002)
mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan
adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan
hasil kultur negatif atau di tempat dimana
 penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
4. Identifikasi Kuman Secara Molekuler 
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi  yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin
bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase
chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali
lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakteri/mL darah.  Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila
dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan
hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan
garam empedu dalam spesimen feses),
 biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih
belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium
penelitian.

Pencegahan Demam Tifoid 


Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak tertular oleh bakteri
Salmonella. Pencegahan dilakukan secara umum dan khusus/imunisasi. Demam tifoid dapat dicegah dengan
kebersihan pribadi dan kebersihan lingkungan. Beberapa
 petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid secara umum diantaranya:

  Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi
lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau
mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
  Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam
botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa
menambahkan es di dalamnya. Gunakan air

minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.
  Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk
menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar,
cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih
segar atau tidak.
Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air
untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
  Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang
masih panas. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan
dari penjual di jalanan yang lebih
mungkin terkontaminasi.
Pusat control penyakit dan pencegahan telah menidentifikasi imunisasi menjadi a genda
 penting bagi Negara berkembang yang menjadi tempat berkembang salmonella thypi. Vaksin ini
 berlandaskan identifikasi gen bakteri dan mekanisme imunologi dari daya tahan ke penyakit. Penggunaan vaksin
ini merupakan pencegahan khusus yang dilakukan oleh negara Indonesia, untuk menanggulangi terjadinya demam
tifoid pada anak, sehingga anak menjadi memiliki kekebalakn tubuh yang baik, meskipun kadang dirasakan efek
sampingnya. Namun hal ini sangat lah baik untuk dilakukan guna meningkatkan kesehatan masyarakat di
Indonesia terutama pada
anak-anak. Vaksin ini sering dilakukan pada anak-anak dengan rentang waktu tertentu serta komposisi tertentu
sesuai dengan usia pada anak tersebut.

Ada tiga macam vaksin untuk melawan tifoid ini, yaitu:

 No. Tipe Vaksin Komposisi Dosis Keberhasilan Efek


(%) Samping
1. parenteral Tersusun atas zat 60-67% Reaksi local
vaksin sel tak asan karbol yang
aktif  panas sel vaksin  berat
yang tidak aktif
2. Parenteral  Natibodi Sekali 63-72% -sakit pada
C a p sular v i ru l e n su n dd a e r ah
  po l y   ber up a 2 5 ttu s u k a

s i tik a n n
b utir m c g
accharide  polysaccharide (0,5 ml) - demam
vaccine Vi [ViCPs] (3%)
-tidak enak
 badan
-muntah
3. Vaksin hidup S.thypi hidup yang 3-4 kapsul 60-90% -sakit
yang diperlemah diperlemah  pada
(Ty21a vaksin) abdomen
- mual
- muntah
- diare
- ruam

Pencegahan yang dilakukan pada pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut beberapa
tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
  Sering cuci tangan anda.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan
an setelah menggunakan toilet.
  Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
  Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda
bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh
kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
  Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.

Pengobatan Demam Tifoid 


Tujuan dari perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit tifoid atau types adalah untuk
menghentikan invasi kuman, mencegah terjadinya komplikasi, memperpendek
 perjalanan penyakit, serta mencegah agar tak kambuh lagi. Pengobatan yang dilakukan untuk
 penyakit tyfus ini dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine  untuk
mencegah penularan. Selama tiga hari pasien harus berbaring di tempat tidur hingga panas turun, kemudian baru
boleh duduk, berdiri dan berjalan.
Untuk mengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa pusing, Anda dapat memberikan obat paracetamol.
Sedangkan pada anak yang mengalami demam tifoid maka
 pilihan antibiotika yang baik adalah kloramfenikol selama 10 hari. Sebaiknya konsultasikan dengan dokter untuk
menentukan obat yang baik untuk mengatasi demam tifoid. Selain dengan obat-obatan juga ada cara tradisional 
untuk menyembuhkan penyakit typus yaitu dengan
menggunakan tanaman obat yang bisa kita jumpai di lingkungan kita.
penyembuhan penyakit typus dengan sambiloto (andrographis paniculata)
Fungsi dari tanaman ini adalah untuk menurunkan panas atau demam, fungsi lain untuk antiracun dan antibengkak.
Cukup efektif untuk meningkatkan kekebalan tubuh, serta mengatasi infeksi dan merangsang phagocytosis. Bagian
dari tanaman ini dapat diolah menjadi obat berbentuk kapsul. Untuk penggunaannya : 1 jam sebelum makan 3 x 1
kapsul (pagi, siang, sore).
Penyembuhan penyakit typus dengan bidara upas (merremia mammosa)
Tanaman ini digunakan untuk mengurangi rasa sakit (analgesic), menetralkan racun dan sebagai anti radang. Olah
bagian dari tanaman ini dalam bentuk kapsul. Pemakainnya sendiri : 3 x 1 kapsul/hari.
Menyembuhkan penyakit Typus dengan Rumput Mutiara
Tanaman ini sangat berguna untuk menghilangkan rasa panas dan anti radang, selain itu juga sangat bermanfaat
untuk mengaktifkan peredaran darah. Olah juga bagian tanaman ini menjadi
kapsul. Cara pemakaiannya: 3 x 1 kapsul/hari.
Menyembuhkan penyakit Typus dengan Temulawak
Sifat dari tanaman ini adalah bakteriostatik dan bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh serta antiflasma
atau pembengkakan. Olah bagian tanaman ini dalam bentuk kapsul. Cara
 pemakaiannya: 3 x 1 kapsul/hari.
Obat-obatan yang dipakai untuk penyakit demam tifoid adalah :
Antibiotik  
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi, sehingga memerlukan antibiotik. Antibiotik lini
pertama adalah chloramphenicol, amoxicillin, atau cotrimoxazole. Antibiotik lini
k e d u a a d a la h g o l o n ga n f lu o r o q u i n o l o n e ( o f lo x ac i n ,
((c e f tr i a x o n e , c e f i x im e , a ta u c e f o t a x i m e ) . L a m a p e

c ip r o f l o x a c i n ) a t a u g o l o n g a n c e p h a l o s p o r i n e
m b e r ia n a nt i bi ot i k a da l a h 7- 1 4 h ar i . T i ra h
 baring selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali. Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99%
penderita dapat disembuhkan. Antibiotik yang banyak digunakan adalah kloramfenikol 100mg/kg/hari dibagi dalam
4 dosis selama 10 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Kloramfenikol tidak bias diberikan bila jumlah
leukosit < 2000 ul. Bila
 pasien alergi, dapat diberikan golongan penisilin atau kotrimoksazol.
Penurun panas 
Penurun panas yang sering diberikan adalah paracetamol.
Kortikosteroid 
Kortikosteroid dapat diberikan pada demam tifoid berat.
Diet lunak rendah serat, dan makan makanan bergizi Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan
haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain :

a.  Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.


 b.  Tidak mengandung banyak serat.
c.  Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d.  Makanan lunak diberikan selama istirahat.

Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan


mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan seterusnya.

Pemberian cairan yang cukup untuk mencegah dehidrasi 


Kadang makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan.
Jika terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis
 bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk memperbaiki atau
mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan 
Demam tifoid adalah suatu infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Di
Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800/100.000
 penduduk per tahun, tersebar dimana-mana, dan ditemukan hamper sepanjang tahun.
Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak
 besar, umur 5-9 tahun. Dengan keadaan seperti ini, adalah penting melakukan pengenalan dini demam tifoid, yaitu
adanya 3 komponen utama : Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari), Gangguan susunan saraf pusat /
kesadaran.

Saran 
Dari uraian makalah yang telah disajikan maka kami dapat memberikan saran untuk selalu menjaga kebersih
lingkungan , makanan yang dikonsumsi harus higiene dan perlunya
 penyuluhan kepada masyarakat tentang demam tifoid
DAFTAR PUSTAKA

http://www.infopenyakit.com/2008/08/penyakit-demam-tifoid.html 

Anda mungkin juga menyukai