BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi
yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di
daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,
kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C.H, 2009).
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di Dunia, sangat sulit ditentukan karena penyakit ini
dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health
Organization (WHO) tahun 2009, memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Insidens rate demam tifoid di
Asia Selatan dan Tenggara termasuk China pada tahun 2010 rata-rata 1.000 per 100.000
penduduk per tahun. Insidens rate demam tifoid tertinggi di Papua New Guinea sekitar 1.208 per
100.000 penduduk per tahun. Insidens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000
penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata
kasus per tahun 600.000-1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih
tinggi dengan CFR sebesar 10% (Nainggolan, R, 2011).
Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam tifoid
menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di
Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati oleh
diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD
dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01% (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan penelitian Cyrus H. Simanjuntak., di Paseh (Jawa Barat) tahun 2009, insidens rate
demam tifoid pada masyarakat di daerah semi urban adalah 357,6 per 100.000 penduduk per
tahun. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan; di daerah Jawa Barat, terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di
daerah urban di temukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan
dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi sarat kesehatan lingkungan (Simanjuntak,
C.H, 2009).
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di
negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan
diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala
klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak,
terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang
laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid (Simanjuntak, C.H, 2009).
Berdasarkan data yang terdapat di pada medical record Di Rumah Sakit Rajawali Bandung
ruang Rafei tercatat angka insiden penderita demam thyfoid yang dirawat selama tiga bulan
terakhir yaitu pada bulan Juli sampai bulan Oktober 2012 adalah 17 orang pasien dimana
terdapat 5 kasus pada bulan Juli, 2 kasus pada bulan Agustus, dan 10 kasus pada bulan
September. Demam tifoid dapat menimbulkan komplikasi yang dapat mengakibatkan mortalitas
(kematian), yaitu sekitar 25% penderita demam tifoid mengalami perdarahan, jika terlambat
tertangani dapat terjadi mortalitas (kematian) sekitar 10-32 % bahkan ada yang melaporkan
sampai 80%, sedangkan mortalitas pada miokarditis akibat demam tifoid sekitar 15 %, dan
tifoid pun dapat mengakibatkan tifoid toksin yang dapat menyebabkan kematian tetapi jarang
sekali komplikasi ini terjadi.
Dari data diatas nampak bahwa angka insiden penyakit demam tifoid cukup tinggi dan
merupakan penyakit yang dapat menimbulkan kompliksi pada organ pencernaan.
Kardiovaskuler, pernapasan, tulang, ginjal dan hematolik serta gangguan neuropsikiatrik sampai
dengan menyebabkan kematian bila tidak ditangani dengan seksama. Berdasarkan hal tersebut
maka peran perawat sangat penting dalam aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Oleh karena itu, mengingat kompleksnya masalah yang terjadi pada klien dengan penyakit
demam tifoid maka penulis tertarik untuk merawat klien dengan judul Asuhan keperawatan Klien
dengan Demam tifoid di ruang Rafei RS. Rajawali Bandung tahun 2012.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan laporan ini adalah untuk memberikan Asuhan Keperawatan
pada klien dengan Demam Tifoid di ruang Rafei Rumah Sakit Rajawali Bandung tahun 2012.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian Demam tifoid.
b. Mengetahui etiologi Demam tifoid.
c. Mempelajari patofisiologi dari Demam tifoid.
d. Mengetahui manifestasi klinik dari Demam tifoid.
e. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada penderita Demam tifoid
f. Mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan pada kasus Demam tifoid.
1) Melakukan pengkajian pada klien dengan demam tifoid.
2) Menentukan masalah keperawatan pada klien demam tifoid
3) Merencanakan Asuhan keperawatan pada klien demam tifoid
4) Pelaksanaan tindakan keperawatan sesuai perencanaan pada klien demam tifoid.
5) Melakukan evaluasi keperawatan pada klien demam tifoid.
6) Mengidentifikasikan kesenjangan yang terdapat antara teori dan praktek pada klien dengan
demam tifoid.
7) Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan demam tifoid
C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Instansi
Bagi institusi khususnya Rumah Sakit Rajawali Bandung dimana laporan ini akan menjadi
sumber masukan dan informasi dari program kesehatan dalam rangka mencegah terjadinya
demam tifoid.
2. Bagi Masyarakat
Dari hasil penelitian ini diharapkan masyarakat, khususnya bagi para ibu dan remaja, agar dapat
mengetahui faktor-faktor risiko apa saja yang mempengaruhi kejadian demam tifoid, sehingga
demam tifoid pun dapat dicegah sejak dini.
3. Bagi Institusi
Bagi STIKES Rajawali Bandung laporan ini merupakan sumbangan ilmiah bagi dunia pendidikan
dan diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
keperawatan. Laporan ini juga diharapkan sebagai dasar, sumber dan bahan pemikiran untuk
perkembangan penulisan laporan selanjutnya.
D. Sistematika Penulisan
Dalam mengetahui secara keseluruhan isi dari laporan ini, dibawah ini disusun sistematika
penulisan yang dibagi 5 bab yaitu; Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II: Konsep dasar teori yang terdiri
dari pengertian, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi/pathway, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, komplikasi, penatalaksanaan, pencegahan, pemeriksaan penunjang. Bab III: asuhan
keperawatan meliputi pengkajian, diagnosis keperawatan, rencana intervensi, implementasi, dan
evaluasi. Bab IV: Terdiri dari kesenjangan antara teori dengan kasus mengenai pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. Bab V: penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan saran. Daftar pustaka dan lampiran dari pendokumentasian asuhan
keperawatan pada klien dengan demam tifoid.
BAB II
KONSEP DASAR TEORI
A. Pengertian
Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses
dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare, 2002). Tifoid adalah
penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi (Mansjoer, A,
2009).
Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan
salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid
abdominalis (Sudoyo, A.W., & B. Setiyohadi, 2006). Tifoid adalah penyakit infeksi pada usus
halus, tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis
(Seoparman, 2007).
Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang
disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansjoer, A, 2009).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa demam tifoid adalah suatu penyakit
infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A, B dan C yang dapat menular melalui
oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
B. Anatomi Fisiologi
Susunan saluran pencernaan terdiri dari : Oris (mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan),
ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus halus), intestinum mayor (usus besar ), rektum
dan anus. Pada kasus demam tifoid, salmonella typi berkembang biak di usus halus (intestinum
minor). Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada
pilorus dan berakhir pada seikum, panjangnya 6 m, merupakan saluran paling panjang tempat
proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan yang terdiri dari : lapisan usus halus, lapisan
mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (muskulus
longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).
Gambar 2.1. Anatomi Usus Manusia (Sumber : Syair, H. 2010)
Usus halus terdiri dari duodenum (usus 12 jari), yeyenum dan ileum. Duodenum disebut juga
usus dua belas jari, panjangnya 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada
lengkungan ini terdapat pankreas. Dari bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang
membukit yang disebut papila vateri. Pada papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus
koledikus) dan saluran pankreas (duktus wirsung/duktus pankreatikus). Dinding duodenum ini
mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar
brunner yang berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.
Yeyenum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 meter. Dua perlima bagian atas adalah
yeyenum dengan panjang 2 meter dari ileum dengan panjang 4 5 m. Lekukan yeyenum dan
ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang
berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan
masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesenterika superior, pembuluh limfe dan saraf ke
ruang antara 2 lapisan peritonium yang membentuk mesenterium. Sambungan antara yeyenum
dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas.
Ujung dibawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang bernama
orifisium ileoseikalis. Orifisium ini diperlukan oleh spinter ileoseikalis dan pada bagian ini
terdapat katup valvula seikalis atau valvula baukhim yang berfungsi untuk mencegah cairan
dalam asendens tidak masuk kembali ke dalam ileum.
Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk banyak leukosit. Disana-sini
terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang disebut kelenjar soliter. Di dalam ilium terdapat
kelompok-kelompok nodula itu. Mereka membentuk tumpukan kelenjar peyer dan dapat berisis
20 sampai 30 kelenjar soliter yang panjangnya satu sentimeter sampai beberapa sentimeter.
Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan tempat peradangan pada
demam usus (tifoid). Sel-sel Peyers adalah sel-sel dari jaringan limfe dalam membran mukosa.
Sel tersebut lebih umum terdapat pada ileum daripada yeyenum (Pearce E.C., 2009).
Absorbsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung dalam usus halus melalui
dua saluran, yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di sebelah dalam permukaan
vili usus. Sebuah vili berisi lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang diikat
bersama jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.
Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang di
absorbsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh
kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.
Fungsi usus halus : Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui
kapiler-kapiler darah dan saluran saluran limfe. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
Karbohidrat diserap dalam betuk monosakarida. Didalam usus halus terdapat kelenjar yang
menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan. Enzim yang bekerja ialah :
1. Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik.
2. Eripsin menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.
3. Laktase mengubah laktase menjadi monosakarida.
4. Maltosa mengubah maltosa menjadi monosakarida.
5. Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida,
Hepar merupakan organ terbesar di dalam tubuh , berwarna coklat kemerahan, beratnya 1
kg, berperan penting dalam metabolisme dan penetralan obat Kandung Empedu merupakan
organ berbentuk buah pir, letaknya dalam sebuah lobus di sebelah permukaan bawah hati,
berwarna hijau gelap, berfungsi dalam pencernaan dan penyerapan lemak (Syair, H. 2010).
C. Etiologi
1. 96 % disebabkan oleh salmonella typhi, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar,
tidak berspora mempunyai sekuran-kurangnya 3 macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipolisakarida)
b. Antigen (flagella)
c. Antigen VI dan protein membran hialin
2. Salmonella paratyphi A
3. Salmonella paratyphi B
4. Salmonella paratyphi C
5. Feces dan urin yang terkontaminasi dari penderita typus (Wong ,2003).
Kuman salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan suhu 37oC dan mati pada
suhu 54,4oC (Simanjuntak, C. H, 2009).
D. Patofisiologi
Salmonela Thyposa
Saluran pencernaan
Diserap oleh usus halus
Bakteri memasuki aliran darah sistemik
Kelenjar Linfoid Hati Limpa Endotoksin
Usus halus
Tukak Hepatomegali Splenomegali menyerang system
pertahanan tubuh
Perdarahan dan Nyeri Perabaan
Perforasi
Mual, Muntah Reaksi di Hipotalamus
Nukleus lateral Menekan
Hipotalamus termoregulator
Nervus Vagus Peningkatan
Menekan Pusat Makan Suhu tubuh
Metabolisme meningkat
Intake Inadekuat (Produksi ATP )
ADL Berkurang Cepat lelah
(Sumber : Corwin, E. 2009. Patofisiologi)
E. Manifestasi Klinik
Masa inkubasi 7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari (T.H. Rampengan dan
I.R. Laurentz, 1995). Rata-rata masa inkubasi 14 hari dengan gejala klinis sangat bervariasi dan
tidak spesifik (Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, 2006).
Walaupun gejala bervariasi secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam :
demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gnagguan kesadaran. Dalam
minggu pertama : demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi dan suhu
badan meningkat (39-410C). Setelah minggu kedua gejala makin jelas berupa demam remiten,
lidah tifoid dengan tanda antara lain nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang
tampak lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Pembesaran hati dan limpa, perut
kembung dan nyeri tekan pada perut kanan bawah dan mungkin disertai gangguan kesadaran
dari ringan sampai berat seperti delirium.
Roseola (rose spot), pada kulit dada atau perut terjadi pada akhir minggu pertama atau awal
minggu kedua. Merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman salmonella.
Berikut gejala Klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasuskasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
a. Minggu I
Dalam minggu pertama penyakit keluhan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya , yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi
atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu badan meningkat.
b. Minggu II
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia relatif, lidah
yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae
jarang ditemukan pada orang Indonesia.
c. Minggu III
Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur angsur turun dan normal kembali pada akhir
minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas bau tidak sedap, bibir kering dan pecah pecah. Lidah ditutupi
selaput putih kotor, ujung ditemukan kemerahan , jarang ditemui tremor.Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya didapatkan konstipasi akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan keasadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis sampai
samnolen. Jarang stupor, koma atau gelisah.
Disamping gejalagejala yang biasanya ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain.
Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan bintik bintik kemerahan karena emboli
basil dalam kapiler kulit.Biasanya dtemukan alam minggu pertama demam kadang kadang
ditemukan bradikardia pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita
tifus akut dan para pembawa kuman/karier. Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat
menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa
dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara
yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang
andal (Sudoyo, A.W., & B. Setiyohadi. 2006). Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama
7-14 hari (bervariasiantara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan.
Selamamasa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis (soegijanto,S, 2002).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang
terdiri dari :
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan
kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal
bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan Sgot Dan Sgpt
Sgot Dan Sgpt pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah
sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif
tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah
tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan
oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik
adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang
pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah
klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
5. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat
pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa,
makin tinggi titernya makin besar klien menderita tifoid.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji
widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7
hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan
media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun
demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa
alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan
kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam
tifoid diklasifikasikan atas:
1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,gangguan
saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid
belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung
oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160
Kriteria hasil : Tidak terjadi tanda-tanda dehidrasi, Keseimbangan intake dan output dengan
urine normal dalam konsentrasi jumlah
Intervensi Keperawatan
1) Kaji tanda dan gejala dehidrasi hypovolemik, riwayat muntah, kehausan dan turgor kulit
R/: Hipotensi, takikardia, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan atau efek dari
kehilangan cairan
2) Observasi adanya tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, nadi cepat dan lemah
R/: Agar segera dilakukan tindakan/ penanganan jika terjadi syok
3) Berikan cairan peroral pada klien sesuai kebutuhan
R/: Cairan peroral akan membantu memenuhi kebutuhan cairan
4) Anjurkan kepada orang tua klien untuk mempertahankan asupan cairan secara dekuat
R/: Asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh
5) Kolaborasi pemberian cairan intravena
R/: Pemberian intravena sangat penting bagi klien untuk memenuhi kebutuhan cairan yang
hilang
f. Dx.6. Resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,
nausea, intake inadekuat
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam kekurangan nutrisi tidak
terjadi
Kriteria hasil : Nafsu makan meningkat, Tidak ada keluhan anoreksia, nausea, Porsi makan
dihabiskan
Intervensi keperawatan
1) Kaji kemampuan makan klien
R/: Untuk mengetahui perubahan nutrisi klien dan sebagai indikator intervensi selanjutnya
2) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering
R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan meminimalkan rasa mual dan muntah
3) Beri nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein
R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi adekuat
4) Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk memberikan makanan yang disukai
R/: Menambah selera makan dan dapat menambah asupan nutrisi yang dibutuhkan klien
5) Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk menghindari makanan yang mengandung
gas/asam, pedas
R/: dapat meningkatkan asam lambung yang dapat memicu mual dan muntah dan menurunkan
asupan nutrisi
6) Kolaborasi. Berikan antiemetik, antasida sesuai indikasi
R/: Mengatasi mual/muntah, menurunkan asam lambung yang dapat memicu mual/muntah
g. Dx.7. Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan konstipasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, pola eliminasi kembali
normal
Kriteria hasil : Klien melaporkan BAB lancer, Konsistensi lunak
Intervensi Keperawatan
1) Kaji pola eliminasi klien
R/: Sebagai data dasar gangguan yang dialami, memudahkan intervensi selanjutnya
2) Auskultasi bising usus
R/: Penurunan menunjukkan adanya obstruksi statis akibat inflamasi, penumpukan fekalit
3) Selidiki keluhan nyeri abdomen
R/: Berhubungan dengan distensi gas
4) Observasi gerakan usus, perhatikan warna, konsistensi, dan jumlah feses
R/: Indikator kembalinya fungsi GI, mengidentifikasi ketepatan intervensi
5) Anjurkan makan makanan lunak, buah-buahan yang merangsang BAB
R/: Mengatasi konstipasi yang terjadi
6) Kolaborasi. Berikan pelunak feses, supositoria sesuai indikasi
R/: Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan perlahan
h. Dx.8. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X
24 jam, persepsi sensori dipertahankan\
Kriteria hasil : Tidak terjadi gangguan kesadaran
Intervensi Keperawatan
1) Kaji status neurologis
R/: Perubahan endotoksin bakteri dapat merubah elektrofisiologis otak
2) Istirahatkan hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil
R/: Istirahat yang cukup mampu membantu memulihkan kondisi pasien
3) Hindari aktivitas yang berlebihan
R/: Aktivitas yang berlebihan mampu memperburuk kondisi dan meningkatkan resiko cedera
4) Kolaborasi. Kaji fungsi ginjal/elektrolit
R/: Ketidakseimbangan mempengaruhi fungsi otak dan memerlukan perbaikan sebelum
intervensi terapeutik dapat dimulai
i. Dx.9. Kelemahan berhubungan dengan intake inadekuat, tirah baring
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X
24 jam, tidak terjadi kelemahan
Kriteria hasil : Klien mampu melakukan aktivitas sehari-sehari
secara mandiri
Intervensi Keperawatan
1) Kaji tingkat intoleransi klien
R/: Menetapkan intervensi yang tepat
2) Anjurkan keluarga untuk membantu memenuhi aktivitas kebutuhan sehari-hari
R/: Mengurangi penggunaan energi yang berlebihan
3) Bantu mengubah posisi tidur minimal tiap 2 jam
R/: Mencegah dekubitus karena tirah baring dan meningkatkan kenyamanan
4) Tingkatkan kemandirian klien yang dapat ditoleransi
R/: Meningkatkan aktivitasringan dan mendorong kemandirian sejak dini
j. Dx.10. Gangguan personal hygiene berhubungan dengan kelemahan; tirah baring
Tujuan : gangguan personal hygiene teratasi
Kriteria hasil : klien tampak rapid an tampak segar
Intervensi keperwatan :
1) Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari
R/: Membantu dalam mengantisipasi / merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual
2) Lakukan washlap keseluruh tubuh klien dengan air hangat
R/: Memberikan kenyamanan dan menjaga kebersihan kulit klien
3) Anjurkan klien dan keluarga untuk tetap menjaga kebersihan gigi dan mulut klien
R/: Kebersihan mulut dapat meningkatkan kenyamanan dan selera makan dan kesehatan
pencernaan.
4) Anjurkan orang tua klien untuk mengganti pakaian klien setiap hari
R/: Memberikan kenyamanan kepada klien
5) Jelaskan kepada klien dan keluarga tentang pentingnya menjaga kebersihan diri
R/: Peningkatan pengetahuan mengembangkan kooperatif klien dan keluarga dalam
pelaksanaan tindakan keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E. 2009. Patofisiologi. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Depkes RI, Jakarta
Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.
Nainggolan, R. 2011. Karakteristik Penderita Demam Tifoid. Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Nanda, 2011, Diagnosis Keperawatan, Jakarta : EGC
Pearce, E.C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Umum