Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid atau thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut

pada saluran pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multisistemik yang

disebabkan oleh kuman Salmonella typhosa, sehingga perlu upaya penaganan

yang tepat dan komprehensif terhadap pasien typhoid. Tidak hanya dengan

pemberian antibiotika, namun perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan

benar serta pengaturan diet yang tepat agar dapat mempercepat proses

penyembuhan pasien dengan demam thypoid (Soedarto,2012).

Menurut data World Health Organization (WHO), pada tahun 2015

demam tifoid telah menyebabkan infeksi sekitar 27 juta setiap tahun di seluruh

dunia. Hal ini menimbulkan angka kematian yang tinggi di era pra-

antimikroba yang berkisar antara 7-26% dari kasus pasien yang dirawat di

rumah sakit. Prevalensi demam tifoid tertinggi terjadi di Asia yaitu 70%. Di

Indonesia sendiri, penyakit demam tifoid bersifat endemik, menurut WHO

angka penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.00

penduduk (WHO,2015).

Penyakit merupakan suatu gangguan fungsi dari sebuah organisme

sebagai akibat dari infeksi serta tekanan dari lingkungan yang dapat

menyebabkan menurunnya derajat kesehatan masyarakat. Angka mortalitas

1
akibat demam tifoid di Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan lebih dari

20.000 kematian. Jumlah morbiditas demam tifoid di Rumah Sakit adalah ±1,5

juta kasus pada penderita rawat inap dan 2.013 di antaranya meninggal dunia

(Kemenkes RI,2016).

Demam tifoid atau thypus abdominalis banyak ditemukan dalam

kehidupan masyarakat kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Penyakit

ini sangat erat kaitannya dengan higiene pribadi seperti hygiene perorangan

yang rendah, kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan, restoran) yang

kurang serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat.

Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan akan

menimbulkan peningkatan kasus-kasus penyakit menular,termasuk tifoid ini

(Depkes RI, 2008).

Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat

penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi

kesehatan dan psikis seseorang. Personal Hygiene atau Hygiene perorangan

adalah tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk

kesejahteraan fisik dan psikis (Tarwoto dan Wartonah, 2006). Hygiene

perorangan merupakan ciri berperilaku hidup sehat. Beberapa kebiasaan

berperilaku hidup sehat antara lain kebiasaan mencuci 2 tangan dengan sabun

sebelum makan dan kebiasaan mencuci bahan makanan mentah langsung

konsumsi. Peningkatan hygiene perorangan adalah salah satu dari program

pencegahan yakni perlindungan diri terhadap penularan tifoid (Nurvina,

2013). Kebiasaan Cuci tangan merupakan salah satu perilaku hidup sehat yang

2
pasti tetapi kenyataannya perilaku hidup sehat ini belum menjadi budaya

masyarakat kita dan biasanya hanya dilakukan sekedarnya.

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian

demam tifoid berkaitan dengan hygiene perorangan. Pada penelitian Al-

Muayyad (2010) mendapatkan hasil bahwa faktor yang menyebabkan

terjadinya demam tifoid adalah personal hygiene, sebagian besar (59%)

responden tidak mencuci tangannya sebelum makan dan tidak mencuci bahan

makanan mentah langsung konsumsi.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi tengah tahun

2015 tercatat 3.873 kasus dengan pasien meninggal 91 orang. Mengalami

peningkatan tahun 2016 menjadi 4.125 kasus dengan pasien meninggal 101

orang, sedangkan pada tahun 2017 meningkat menjadi 4.232 kasus dengan

pasien meninggal 98 orang. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Parigi

Moutong jumlah penderita demam tifoid tahun 2016 sebanyak 1.705 orang.

Tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 1.812 orang. (Dinkes, Sulawesi

Tengah,2017).

Menurut data di Puskesmas Tinombo jumlah penderita demam tifoid di

wilayah kerjanya pada tahun 2016 sebanyak 104 orang, tahun 2017 meningkat

menjadi 138 orang. Sedangkan pada bulan Januari-Mei tahun 2018 jumlah

penderita demam tifoid sebanyak 110 orang. (Puskesmas Tinombo,2018).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan langsung pada tanggal 5-6 Mei

tahun 2018 terhadap 7 responden yang pernah menderita demam tifoid di

wilayah kerja Puskesmas Tinombo, mereka kurang memperhatikan kebersihan

3
diri, dimana 57,1% responden tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum

makan, dan 42,9% responden tidak mencuci bahan makanan mentah langsung

konsumsi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mereka kurang

memperhatikan beberapa aspek kebersihan seperti kebersihan tangan, dan

kuku.

Dari uraian latar belakang di atas serta data yang peneliti dapatkan di

Puskesmas Tinombo, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul “Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian Demam Tifoid di

Wilayah Kerja Puskesmas Tinombo Kecamatan Tinombo Kabupaten Parigi

Moutong”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan

dengan kejadian Demam Tifoid di wilayah kerja Puskesmas Tinombo

Kecamatan Tinombo Kabupaten Parigi Moutong?

2. Apakah ada hubungan antara kebiasaan mencuci bahan makanan mentah

langsung konsumsi dengan kejadian Demam Tifoid di wilayah kerja

Puskesmas Tinombo Kecamatan Tinombo Kabupaten Parigi Moutong?

4
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara Personal Hygiene dengan

Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Tinombo Kecamatan

Tinombo Kabupaten Parigi Moutong.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan mencuci tangan

sebelum makan dengan kejadian Demam Tifoid di wilayah kerja

Puskesmas Tinombo Kecamatan Tinombo Kabupaten Parigi Moutong?

b. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan mencuci bahan

makanan mentah langsung konsumsi dengan kejadian Demam Tifoid

di wilayah kerja Puskesmas Tinombo Kecamatan Tinombo Kabupaten

Parigi Moutong?

D. ManfaatPenelitian

1. Bagi Puskesmas Tinombo

Sebagai bahan masukan bagi petugas puskesmas untuk menurunkan

angka kejadian demam tifoid dengan cara rutin memberikan penyuluhan

pada masyarakat tentang demam tifoid serta faktor-faktor yang

menyebabkannya, sehingga dapat menambah pemahaman masyarakat

dalam mencegah demam tifoid.

5
2. Bagi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Jaya Palu

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan dan referensi bagi

mahasiswa tentang hubungan personal hygiene dengan kejadian demam

tifoid.

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini memberikan pengalaman yang berharga, meningkatkan

pengetahuan dan menambah wawasan ilmu pengetahuan peneliti tentang

hubungan personal hygiene dengan kejadian demam tifoid di kalangan

masyarakat.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Penyakit Demam Tifoid

1. Definisi

Thypus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan

terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh Bakteri Salmonella

Typhosa atau Salmonella paratyphosa A,B dan C, selain ini dapat juga

menyebabkan gastroenteritis (radang lambung). Dalam masyarakat

penyakit ini dikenal dengan nama tipes atau thypus, tetapi dalam dunia

kedokteran disebut Typhoid Fever atau Typhus abdominalis karena

berhubungan dengan usus didalam perut (Widoyono,2012).

Thypus atau demam tifoid adalah penyakit peradangan usus halus

dan aliran darah. Peradangan ini disebabkan oleh infeksi bakteri

Salmonella enteric. Khususnya keturunan salmonella typhi A,B,dan C.

Kemunculan bakteri tersebut umumnya berasal dari makanan atau

peralatan makan yang kotor dan tidak hygiene. Karena itulah, thypus dapat

menyerang manusia dari usia balita sampai dewasa. (Paulus,2012).

Demam Tifoid adalah penyakit infeksi yang menyerang saluran

pencernaan yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhosa dengan

7
masa inkubasi 7 hari di tandai dengan demam, mual, muntah, sakit kepala,

nyeri perut (Ngastiyah,2012).

Demam Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai

saluran pencernaan dan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan

pada pencernaan dan kesadaran. Penyebab penyakit ini adalah Salmonella

Typhosa, basil gram negative, tidak berspora (Wulandari,2016).

2. Penyebab

Penyakit Demam Tifoid merupakan penyakit yang ditularkan melalui

makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella Typhosa

(food and water borner disease). Seseorang yang sering menderita

penyakit typhus menandakan bahwa dia mengkonsumsi makanan atau

minuman yang terkontaminasi bakteri ini. Salmonella Typhosa sebagai

suatu spesies, termasuk dalam kingdom bakteria, Phylum Proteobakteria,

Classis Gamma proteobakteria, Ordo Enterobakteriales, Familia

Enterobakteriakceae, Genus Salmonella.

Salmonella Typhosa adalah bakteri gram negative yang bergerak

dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekurang kurangnya tiga

antigen yaitu : anitigen 0 (somatik, terdiri dari zat komplek

lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen V1 (hyalin,protein

membrane). Dalam serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap

ketiga macam antigen tersebut (Zulkhoni,2011).

3. Sumber Penularan dan Cara Penularan

8
Sumber penularan Demam Tifoid atau Tifus tidak selalu harus

penderita tifus. Ada penderita yang sudah mendapat pengobatan dan

sembuh, tetapi di dalam air seni dan kotorannya masih mengandung

bakteri. Penderita ini disebut sebagai pembawa (carrier). Walaupun tidak

lagi menderita penyakit tifus, orang ini masih dapat menularkan penyakit

tifus pada orang lain. Penularan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja,

biasanya terjadi melalui konsumsi makanan dari luar, apabila makanan

atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih (Addin, 2009).

Di beberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-

kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur mentah

yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu atau produk susu yang

terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi

(James Chin, 2009).

Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman

berasal dari tinja atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa

penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air

dan makanan. Di daerah endemik, air yang tercemar merupakan penyebab

utama penularan penyakit. Adapun di daerah non-endemik, makanan yang

terkontaminasi oleh carrier dianggap paling bertanggung jawab terhadap

penularan (Widoyono, 2011).

Tifoid carrier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala

penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di

dalam ekskretnya. Mengingat carrier sangat penting dalam hal penularan

9
yang tersembunyi, maka penemuan kasus sedini mungkin serta

pengobatannya sangat penting dalam hal menurunkan angka kematian

(T.H Rampengan, 2007).

Penularan Demam tifoid dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu

dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/ kuku),

Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan Feses. Feses dan muntah dari penderita

typhoid dapat menularkan Salmonella thypi kepada orang lain. Kuman

tersebut dapat ditularkan melalui minuman terkontaminasi dan melalui

perantara lalat, dimana lalat akan hinggap di makanan yang akan

dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut kurang

memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan

yang tercemar kuman Salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat

melalui mulut, selanjutnya orang sehat akan menjadi sakit (Akhsin

Zulkoni, 2010).

Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada

penularan demam tifoid adalah :

a. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang

tidak terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta

pengasuh anak.

b. Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling

berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini

diantaranya: makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi

(seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk

10
dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah,

dihinggapi lalat, air minum yang tidak masak, dan sebagainya.

c. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.

d. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.

e. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid (Depkes RI, 2008).

4. Patogenesis

Kuman Salmonella masuk bersama makanan atau minuman. Setelah

berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid

usus halus (terutama plak payer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah

menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh

limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial

system (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini, kuman difagosit oleh

sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak.

Pada akhir masa inkubasi, berkisar 5-9 hari, kuman kembali masuk darah

menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder), dan sebagian kuman

masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya

kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus

dan menyebabkan reinfeksi usus. Dalam masa bekteremia ini, kuman

mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan antigen

somatic (lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab

terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid.

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhosa dan

endotoksinnya yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh

11
lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang

beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang

mengakibatkan timbulnya gejala demam (T.H Rampengan, 2007).

5. Tanda dan Gejala

a. Masa Inkubasi

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada

umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala

penyakit tidaklah khas, berupa:

1) Anoreksia

2) Rasa malas

3) Sakit kepala bagian depan

4) Nyeri otot

5) Lidah kotor

6) Gangguan perut (Rudi Haryono,2012).

b. Gambaran klasik demam tifoid (Gejala Khas)

Gambaran klinis klasik yang sering ditemukan pada penderita

demam tifoid dapat dikelompokkan pada gejala yang terjadi pada

minggu pertama, minggu kedua, minggu ketiga dan minggu keempat

sebagai berikut:

1) Minggu Pertama (awal infeksi)

Demam tinggi lebih dari 400C, nadi lemah bersifat dikrotik,

denyut nadi 80-100 per menit.

2) Minggu Kedua

12
Suhu badan tetap tinggi, penderita mengalami delirium,

lidah tampak kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah

menurun dan limpa teraba.

3) Minggu Ketiga

Keadaan penderita membaik jika suhu menurun, gejala dan

keluhan berkurang. Sebaliknya kesehatan penderita memburuk jika

masih terjadi delirium, stupor, pergerakan otot yang terjadi terus-

menerus, terjadi inkontinensia urine atau alvi. Selain itu tekanan

perut meningkat. Terjadi meteorismus dan timpani, disertai nyeri

perut. Penderita kemudian mengalami kolaps akhirnya meninggal

dunia akibat terjadinya degenerasi miokardial toksik.

4) Minggu Keempat

Penderita yang keadaannya membaik akan mengalami

penyembuhan (Soedarto, 2009).

6. Faktor yang Mempengaruhi

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya demam tifoid

adalah (Soegijanto,2012).

a. Faktor Host

Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella

typhosa. Terjadinya penularan Salmonella typhosa sebagian besar

melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari

penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau

13
urine. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil

yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.

b. Faktor Agen

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhosa.

Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105-

109 kuman yang tertelan melalui makanan atau minuman yang

terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella typhosa yang

tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.

c. Faktor Inveronment

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara

luas di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air

yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah.

Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid

adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart

hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan demam tifoid ada tiga, yaitu

a. Pemberian antibiotik

Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab

demam tifoid. Obat yang sering dipergunakan adalah

1) Kloramfenikol 100mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari

2) Amoksili 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.

3) Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.

14
4) Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selam 6

hari; ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari

selama 3 hari).

b. Istirahat dan perawatan

Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya

komplikasi. Penderita sebaiknya beristirahat total ditempat tidur

selama 1 minggu setelah bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan

secara bertahap, sesuai dengan keadaan penderita. Mengingat

mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan perlu dijaga

karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar dan air kecil.

c. Terapi penunjang dan Diet

Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita

diberi makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat

diberi makanan yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai

dengan kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral

perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita

(Widoyono, 2011).

8. Tindakan Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar

Salmonella typhosa maka setiap individu harus memperhatikan kualitas

makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhosa akan

mati dalam air yang dipanaskan setinggi 570 C dalam beberapa menit atau

dengan proses iodinasi/klorinasi. Tindakan preventif dan kontrol penularan

15
kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari

segi kuman Salmonella typhosa sebagai agen penyakit dan factor penjamu

(host) serta faktor lingkungan (Sumarmo,2012).

Dengan mengetahui cara penularan penyakit ini, maka pengendalian

penyakit ini harus dilakukan dengan menerapkan dasar-dasar hygiene dan

kesehatan masyarakat. Pencegahan demam tifoid juga dapat dibagi

menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu

(Astuti,2012) :

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan

orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat

menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara

imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhosa

yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada tiga jenis vaksin tifoid, yaitu :

1) Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna

Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang

sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini

kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang

mengkonsumsi antibiotik. Lama proteksi 5 tahun.

2) Vaksin parenteral sel utuh

Typa Bio farma. Dikenal dua jenis vaksin yakni, K vaccine

(Acetone inactivated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol

preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6-12 tahun 0,25 ml

16
dan anak1-5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4

minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak

dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam, hamil dan

riwayat demam pada pemberian pertama.

3) Vaksin polisakarida

Typhosam Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan

secara intra muscular dan booster tiap 3 tahun. Kontraindikasi

pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur

2 tahun.

4) Indikasi vaksinasi

Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah

endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier typhoid dan

petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Mengkonsumsi

makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan

pendidikan kesehatan untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan

sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai

sabun, peningkatan hygiene makanan dan minuman berupa

menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan

dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan

sampai penyajian untuk dimakan, perbaikan sanitasi lingkungan.

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa

penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.

17
Untuk mendiagnosis demam typhoid perlu dilakukan pemeriksaan

laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis demam tifoid, yaitu

1) Diagnosis klinik

Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena

gejala klinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau

gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain.

Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada

penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan

kemungkinan diagnosis demam tifoid.

2) Diagnosis mikrobiologik pembiakan kuman

Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling

spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur

darahnya positif dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis

setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positif menjadi

40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap

memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positif. Organisme

dalam tinja masih dapat ditemukan selam 3 bulan dari 90%

penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman

Salmonella typhosa dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.

3) Diagnosis serologik

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan

antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella

typhosa terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang

18
yang pernah terrtular Salmonella typhosa dan pada orang yang

pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan

pada uji widal adalah suspensi Salmonella typhosa yang sudah

dimatikan dan diolah dilaboratorium.

c. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk

mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan

sembuh dari demam tifoid sebaiknya tetap menjaga kesehatan,

sehingga daya tahan tubuh dapat pulih kembali dan terhindar dari

infeksi ulang demam tifoid. Disamping itu, penderita yang telah

dinyatakan sembuh harus melakukan pemeriksaan serologis sebulan

sekali untuk mengetahui keberadaan Salmonella typhosa didalam

tubuh.

B. Tinjauan Umum tentang Personal Hygiene

1. Pengertian Personal Hygiene

Personal Hygiene berasal dari bahasa yunani, berasal dari kata

personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Dari

pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa kebersihan perorangan atau

personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan

kesehatan seseorang untuk kesejahteraan, baik fisik maupun psikisnya

(Laily dan Sulistyo,2012).

Perawatan diri atau kebersihan diri (Personal Hygiene) merupakan

perrawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan,

19
baik secara fisik maupun psikologis. Pemenuhan perawatan diri

dipengaruhi berbagai factor, di antaranya budaya, nilai sosial pada

individu atau keluarga, pengetahuan terhadap perawatan diri, serta

persepsi terhadap perawatan diri (Hidayat, 2010).

Higiene perorangan merupakan ciri berperilaku hidup sehat.

Beberapa kebiasaan berperilaku hidup sehat antara lain kebiasaan mencuci

tangan dengan sabun setelah BAB dan kebiasaan mencuci tangan dengan

sabun sebelum makan. Peningkatan higiene perorangan adalah salah satu

dari program pencegahan yakni perlindungan diri terhadap penularan

tifoid (Depkes RI, 2008).

2. Tujuan Personal hygiene

a. Meningkatkan derajat kesehatan

b. Memelihara kebersihan diri seseorang

c. Memperbaiki Personal hygiene yang kurang

d. Mencegah penyakit

e. Menciptakan keindahan

f. Meningkatkan rasa percaya diri

3. Faktor Personal Hygiene yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid

a. Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun setelah Buang Air Besar

Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan

bakteri atau virus patogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke

makanan. Oleh karenanya kebersihan tangan dengan mencuci tangan

20
perlu mendapat prioritas tinggi, walaupun hal tersebut sering

disepelekan (Siti Fathonah, 2010).

Kegiatan mencuci tangan sangat penting untuk bayi, anak-anak,

penyaji makanan di restoran, atau warung serta orang-orang yang

merawat dan mengasuh anak. Setiap tangan kontak dengan feses, urine

atau dubur sesudah buang air besar (BAB) maka harus dicuci pakai

sabun dan kalau dapat disikat. Pencucian dengan sabun sebagai

pembersih, penggosokkan dan pembilasan dengan air mengalir akan

menghanyutkan partikel kotoran yang banyak mengandung

mikroorganisme (Siti Fathonah, 2010).

b. Kebiasaan Mencuci Tangan Sebelum Makan

Kebersihan tangan sangatlah penting bagi setiap orang.

Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan harus dibiasakan. Pada

umumnya ada keengganan untuk mencuci tangan sebelum

mengerjakan sesuatu karena dirasakan memakan waktu, apalagi

letaknya cukup jauh. Dengan kebiasaan mencuci tangan, sangat

membantu dalam mencegah penularan bakteri dari tangan kepada

makanan (Depkes RI,2008).

Budaya cuci tangan yang benar adalah kegiatan terpenting.

Setiap tangan yang dipergunakan untuk memegang makanan, maka

tangan harus sudah bersih.Tangan perlu dicuci karena ribuan jasad

renik, baik flora normal maupun cemaran, menempel ditempat tersebut

dan mudah sekali berpindah ke makanan yang tersentuh. Pencucian

21
dengan benar telah terbukti berhasil mereduksi angka kejadian

kontaminasi dan KLB (Arisman, 2008). Cara mencuci tangan yang

benar adalah sebagai berikut:

1) Cuci tangan dengan air yang mengalir dan gunakan sabun. Tidak

perlu harus sabun khusus antibakteri, namun lebih disarankan

sabun yang berbentuk cairan.

2) Gosok tangan setidaknya selama 15-20 detik.

3) Bersihkan bagian pergelangan tangan, punggung tangan, sela-sela

jari dan kuku.

4) Basuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir.

5) Keringkan dengan handuk bersih atau alat pengering lain.

6) Gunakan tisu /handuk sebagai penghalang ketika mematikan keran

air (Atikah Proverawati, 2012).

Penularan bakteri Salmonella typhi salah satunya melalui

jari tangan atau kuku. Apabila orang tersebut kurang

memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan sebelum

makan maka kuman Salmonella typhi dapat masuk ketubuh orang

sehat melalui mulut, selanjutnya orang sehat akan menjadi sakit

(Akhsin Zulkoni, 2010).

c. Kebiasaan Makan di Luar Rumah

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar

Salmonella thyphi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas

makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Penularan tifus dapat

22
terjadi dimana saja dan kapan saja, biasanya terjadi melalui konsumsi

makanan di luar rumah atau di tempat-tempat umum, apabila makanan

atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Dapat juga disebabkan

karena makanan tersebut disajikan oleh seorang penderita tifus laten

(tersembunyi) yang kurang menjaga kebersihan saat memasak.

Seseorang dapat membawa kuman tifus dalam saluran pencernaannya

tanpa sakit, ini yang disebut dengan penderita laten. Penderita ini dapat

menularkan penyakit tifus ini ke banyak orang, apalagi jika dia bekerja

dalam menyajikan makanan bagi banyak orang seperti tukang masak

di restoran (Addin A, 2009).

d. Kebiasaan Mencuci Bahan Makanan Mentah yang Akan Dimakan

Langsung

Dibeberapa negara penularan tifoid terjadi karena

mengkonsumsi kerangkerangan yang berasal dari air yang tercemar,

buah-buahan, sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia.

Bahan mentah yang hendak dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu

misalnya sayuran untuk lalapan, hendaknya dicuci bersih dibawah air

mengalir untuk mencegah bahaya pencemaran oleh bakteri, telur

bahkan pestisida (Anies, 2010).

Buah dan sayuran segar merupakan satu-satunya kelompok

makanan yang sekaligus memiliki kadar air tinggi, nutrisi dan

pembentukan sifat basa. Oleh sebab itu, porsi sayuran dan buah-

buahan segar sebaiknya menempati persentase 60-70% dari seluruh

23
menu dalam satu hari. Namun, pada kombinasi makanan serasi sudah

banyak terbukti bahwa buah-buahan tidak pernah menimbulkan

masalah jika cara mengkonsumsinya benar yaitu dengan dicuci bersih

untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi pestisida. Buah dan

sayur dapat terkontaminasi oleh Salmonella typhi, karena buah dan

sayur kemungkinan dipupuk menggunakan kotoran manusia (James

Chin, 2009).

C. Landasan Teori

Personal hygiene menjadi penting karena personal hygiene yang baik

akan meminimalkan pintu masuk (port de entry) mikroorganisme yang ada

dimana-mana dan pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit.

Kebersihan diri merupakan langkah awal mewujudkan kesehatan diri. Dengan

tubuh yang bersih meminimalkan resiko seseorang terhadap kemungkinan

terjangkitnya suatu penyakit, terutama penyakit yang berhubungan dengan

kebersihan diri yang buruk. Personal hygiene yang tidak baik akan

mempermudah tubuh terserang berbagai penyakit, seperti demam tifoid

(Isro’in, 2012).

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia, penyakit ini

jarang di temukan secara epidemik, lebih bersifat sporadik, terpencar-pencar

disuatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang

serumah. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang menempel dimakanan

atau minuman, biasanya akibat personal hygiene yang kurang baik. Selain dari

makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri S.Typhi, demam tifoid

24
sesekali juga bisa disebabkan melalui kontak langsung dengan orang yang

terinfeksi. Setelah seseorang menelan bakteri S.Typhi yang terdapat pada

makanan atau minuman yang terkontaminasi, bakteri kemudian masuk ke

dalam aliran darah. Bakteri dibawa oleh sel darah putih ke hati, limpa, dan

sumsum tulang. Selanjutnya, bakteri berkembang biak pada organ tersebut dan

masuk kembali ke aliran darah. Saat bakteri menyerang aliran darah,

seseorang akan mulai mengalami gejala demam. Untuk itu, penanganan yang

tepat sangat diperlukan untuk menurunkan angka morbiditas demam tifoid.

Penanganan di lingkungan dengan cara menumbuhkan kesadaran masyarakat

tentang pentingnya hidup sehat melalui upaya promotif dan preventif. Selain

itu, penanganan di rumah sakit melalui upaya kuratif dan rehabilitasi juga

sangat diperlukan yaitu dengan cara perawatan yang baik seperti tirah baring,

memberikan makanan yang lunak untuk mengurangi dan mencegah

pendarahan pada usus, serta pemberian obat-obatan antibiotik.

(Rusepno,2009).

D. Kerangka pikir

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran

pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disebabkan oleh

Salmonella typhosa. Penyakit demam tifoid, dapat dipengaruhi oleh faktor

personal hygiene yang kurang baik seperti tidak mencuci tangannya sebelum

makan dan tidak mencuci bahan makanan mentah langsung konsumsi.

25
Dengan demikian dapat digambarkan skema kerangka pikir sebagai

berikut:

Variabel bebas Variabel terikat

Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan

Kejadian demam tifoid

Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah langsung konsumsi

Gambar 2.1 Kerangka pikir

E. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan

kejadian Demam Tifoid di wilayah kerja Puskesmas Tinombo Kecamatan

Tinombo Kabupaten Parigi Moutong

2. Ada hubungan antara kebiasaan mencuci bahan makanan mentah langsung

konsumsi dengan kejadian Demam Tifoid di wilayah kerja Puskesmas

Tinombo Kecamatan Tinombo Kabupaten Parigi Moutong

26
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan

rancangan Case control yaitu suatu jenis penelitian yang mempelajari

hubungan antara paparan (faktor resiko) dengan penyakit, dengan cara

membanding kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status

paparannya. (Hasmi, 2012).

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Agustus-tanggal 10

September tahun 2018 di wilayah kerja Puskesmas Tinombo Kecamatan

Tinombo Kabupaten Parigi Moutong.

C. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas (independent) adalah variabel yang bila ia berubah akan

mengakibatkan perubahan variabel lain (Sastroasmoro, 2010). Variabel

independent pada penelitian ini adalah kebiasaan mencuci tangan

sebelum makan dan kebiasaan mencuci bahan makanan mentah

langsung konsumsi

27
b. Variabel terikat (dependent) adalah variabel yang berubah akibat

perubahan variabel independent (Sastroasmoro, 2010). Variabel

dependent pada penelitian ini adalah kejadian demam tifoid

2. Definisi operasional

a. Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dalam penelitian ini adalah

kebiasaan mencuci tangan secara bersih sebelum makan,dengan

mencuci tangan menggunakan sabun dan menggosok tangan.

Alat ukur : Kuesioner

Cara ukur : Wawancara

Skala ukur : Ordinal

Hasil ukur :

0 = Kurang baik

Jika tidak mencuci tangan dengan sabun dan tidak menggosok

tangan, mencuci tangan dengan sabun namun tidak menggosok

tangan, dan mencuci tangan tidak dengan sabun namun

menggosok tangan

1 = Baik

Jika mencuci tangan dengan sabun dan menggosok tangan

b. Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah langsung konsumsi dalam

penelitian ini adalah kebiasaan mencuci bahan makanan mentah seperti

sayuran mentah (lalapan) dan buah-buahan yang akan dimakan

langsung

Alat ukur : Kuesioner

28
Cara ukur : Wawancara

Skala ukur : Ordinal

Hasil ukur :

0 = Kurang baik

Jika tidak mencuci bahan makanan mentah seperti sayuran

(lalapan) dan buah-buahan yang akan dimakan langsung

1 = Baik

Jika mencuci bahan makanan mentah seperti sayuran (lalapan)

dan buah-buahan yang akan dimakan langsung

c. Kejadian demam tifoid dalam penelitian ini adalah orang yang secara

klinis menderita penyakit demam tifoid berdasarkan data yang diambil

dari petugas penanggung jawab program demam tifoid di Puskesmas

Tinombo

D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Jenis data

a. Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung oleh peneliti

dari responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh berdasarkan hasil

pencatatan yang meliputi data dari wilayah kerja Puskesmas Tinombo.

2. Cara pengumpulan data

29
Cara pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara

dengan menggunakan kuesioner yang berisi 5 pernyataan, 3 pernyataan

tentang kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan 2

pernyataan tentang kebiasaan mencuci bahan makanan mentah langsung

konsumsi. Skala pengukuran dengan mengunakan skala guttman dengan

pilihan jawaban Ya dan Tidak, untuk jawaban Ya diberikan skor 1 dan

untuk jawaban tidak diberikan skor 0.

E. Pengolahan Data

Sebelum dilakukan analisis data maka data yang telah diperoleh diolah

dengan tahap sebagai berikut:

1. Editing

Mengedit adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan

oleh pengumpulan data. Tujuan dari pada editing adalah untuk mengurangi

kesalahan atau kekurangan yang ada dalam daftar pertanyaan yang sudah

diselesaikan sampai sejauh mungkin.

2. Coding

Yang dimaksud dengan coding adalah mengklasifikasikan jawaban-

jawaban dari responden kedalam kategori-kategori,biasanya klasifikasi

dilakukan dengan cara memberi tanda/kode berbentuk angka pada masing-

masing jawaban.

3. Entry data

Memasukan data ke komputer kemudian dianalisa.

4. Tabulating

30
Tabulasi adalah pekerjaan membuat tabel,jawaban-jawaban yang

sudah diberi kode kategori jawaban kemudian dimasukan dalam tabel.

5. Cleaning

Yaitu membersihkan data dengan melihat variabel-variabel yang

digunakan apakah data-data sudah benar atau belum.

6. Describing

Menggambarkan atau menjelaskan data yang sudah dikumpulkan.

F. Analisis Data

Dalam penelitian ini dilakukan secara analitik dengan menggunakan:

1. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari

masing-masing variabel yang diteliti baik variabel dependen maupun

variabel independen, dengan rumus yang digunakan:

f
P= x 100 %
n

Keterangan:

P : Persentase

f : Frekuensi

n : Jumlah sampel

2. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel

independent dengan variabel dependent dengan menggunakan uji Chi-

square( x 2) untuk menguji hubungan antara variabel independent dengan

variabel dependent menggunakan uji Chi-square, dengan tingkat

kepercayaan 95 %. Apabila hasil uji statistik diperoleh nilai p ≤ 0.05

31
berarti secara statistik ada hubungan yang bermakna (H0 ditolak), dan jika

p > 0,05 berarti secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna (H0

diterima).

G. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi yang

disertai dengan penjelasan sehingga memudahkan untuk dianalisa.

H. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan objek yang penelitian atau objek

yang diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah

semua penderita demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas Tinombo pada

bulan Januari-Mei tahun 2018 berjumlah 110 orang (case) ditambah

control.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili sebagian

populasi (Notoatmodjo, 2012). Untuk sampel case dihitung menggunakan

rumus Slovin sebagai berikut:

N
n= 2
1+ N ( d )

Keterangan:

N = Besar populasi

n =Besar sampel

d = Tingkat kepercayaan atau ketetapan yang diinginkan (0,15)

32
110
n=
1+110 ( 0,15 )2

110
n=
1+110(0,0225)

110
n=
1+2,475

110
n=
3,475

n=31,65

n=32 Sampel

Sampel pada penelitian ini berjumlah 64 orang, yang mana 32 orang

adalah penderita demam tifoid dan 32 orang yang tidak menderita demam

tifoid. Selanjutnya pengambilan sampel (case) dilakukan dengan teknik

proportional random sampling yaitu jumlah penderita demam tifoid yang

ada pada tiap desa di wilayah kerja Puskesmas Tinombo diambil secara

proporsi untuk dijadikan responden sampai jumlah target sampel (case)

terpenuhi. Dimana hal ini bertujuan agar semua penderita demam tifoid

ditiap desa dapat terwakili. Proporsi sampel tiap-tiap desa :

n
Rumus : N h= x Nn❑
N

Keterangan: Nh = Besar sampel tiap desa

Nn = Besar populasi tiap desa

n = Besar sampel

N = Besar populasi

a. Desa Baina’a dengan jumlah penderita demam tifoid sebanyak 16 orang

33
32
N h= x 16=4,65=5 Orang
110

b. Desa Dongkas dengan jumlah penderita demam tifoid sebanyak 20 orang

32
N h= x 20=5,81=6 Orang
110

c. Desa Silabia dengan jumlah penderita demam tifoid sebanyak 14 orang

32
N h= x 14=4,07=4 Orang
110

d. Desa Tinombo dengan jumlah penderita demam tifoid sebanyak 10

orang

32
N h= x 10=2,90=3 Orang
110

e. Desa Lombok dengan jumlah penderita demam tifoid sebanyak 21 orang

32
N h= x 21=6,10=6 Orang
110

f. Desa Siavu dengan jumlah penderita demam tifoid sebanyak 11 orang

32
N h= x 11=3,2=3 Orang
110

g. Desa Tibu dengan jumlah penderita demam tifoid sebanyak 18 orang

32
N h= x 18=5,23=5 Orang
110

Selanjutnya sampel (case) diambil dengan tehnik simple random

sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan secara acak sehingga

setiap kasus atau elemen dalam populasi memiliki kesempatan yang sama

besar untuk dipilih sebagai sampel penelitian.

Kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah:

34
a. Kelompok kasus:

Penderita demam tifoid yang bertempat tinggal di wilayah kerja

Puskesmas Tinombo.

b. Kelompok kontrol:

1) Kriteria Inklusi

(a) Tetangga dari penderita demam tifoid yang bermukim di sekitar

rumah penderita.

(b) Tidak menderita demam tifoid

(c) Memiliki usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan yang sama

dengan kelompok kasus yang bersedia berpartisipasi dalam

penelitian.

2) Kriteria Eksklusi

Responden yang akan diteliti pindah tempat tinggal.

35
36

Anda mungkin juga menyukai