Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Thypoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang di sebabkan oleh

kuman salmonella thypi, yang biasanya mengenai saluran pencernaan dan

gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, gangguan

kesadaran, dan lebih banyak menyerang anak 12-13 tahun (70%-80%), pada

usia 30-40 tahun (10%-20%) dan diatas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak

(5%-10%) (Bachtiar, 2019).

Demam typhoid Apabila tidak segera titangani akan dapat

membahayakan penderita dan menyebabkan komplikasi serius. typhoid harus

mendapatkan perhatian serius karena penyakit ini bersifat endemis dan

mengancam kesehatan masyarakat, khususnya masyarakat kumuh, dengan

lingkungan yang padat, penyediaan air bersih yang tidak adekuat, dan sanitasi

yang buruk, serta hygine masing-masing penduduknya kurang memadai dan

tidak memenuhi syarat kesehatan (Sarwanti, 2019).

Menurut World Health Organistion (WHO) 2016, secara global

diperkirakan setiap tahunnya terjadi sekita 21 juta kasus dan 222.000

menyebabkan kematian. Thypoid menjadi penyebab utama terjadinya

mortalitas dan morbiditas di Negara-negara berpenghasilan rendah dan

menengah (Ulfa. F. Handayani, 2018).

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016 menunjukkan bahwa kasus

demam thypoid masih menempati urutan yang ke 3 dari 10 penyakit

1
2

terbanyak yang ada di rumah sakit rawat inap yaitu sebesar 41.081 kasus dan

sebanyak 276 kasus meninggal dunia. Diperkirakan dari angka kematian

yang terjadi sekitar 6-5% disebabkan karena keterlambatan mendapatkan

pengobatan serta kurang sempurnanya proses pengobatan yang dilakukan

(Saputra, 2017).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo tahun 2018

jumlah penderita thypoid berjumlah sebanyak 1508 orang, dengan penderita

laki-laki berjumlah 717 orang dan perempuan berjumlah 791 orang

sedangkan penderita yang meninggal sebanyak 4 orang. (Profil Dinas

Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2019).

Typhoid sendiri akan sangat berbahaya jika tidak segera ditangani

secara baik dan benar bahkan dapat menyebabkan kematian. Salah satu

masalah yang sering muncul pada pasien thypoid adalah gangguan kebutuhan

nutrisi. Pasien typhoid akan mengalami masalah kebutuhan nutrisi karena

kuman penyebabnya yaitu S.Typhi masuk ke saluran pencernaan lewat

minuman dan makanan yang terinfeksi dapat meningkatkan asam lambung

sehingga pasien dapat mengalami anoreksia (Nurarif & Kusuma, 2015) .

Bila kebutuhan nutrisi pasien tidak terpenuhi akan menyebabkan

proses penyembuhan penyakit menjadi lama karena salah satu fungsi nutrisi

adalah membuat tubuh tidak mudah terserang penyakit akibatnya berbagai

macam komplikasi akan muncul. Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh

perkembangan bakteri Salmonella typhi pada usus adalah perdarahan usus,


3

perforasi usus, meningitis, gangguan mental, syok septic, pneumoni,

hepatitis, arthritis. (Astawan, 2018).

Penatalaksanaan demam typhoid dapat dilakukan dengan pengobatan

farmakologis maupun nonfarmakologis. Penatalaksanaan nonfarmakologis

pada pasien dengan demam typhoid yaitu dengan manajemen nutrisi. Ada

beberapa manfaat dari manajemen nutrisi antara lain yaitu dapat

mengidentifikasi status nutrisi pasien thypoid dan juga dapat memonitor

asupan makanan dan berat badan pasien demam thypoid (SIKI, 2019)

Hal ini seiring dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prayoni

(2018) tentang pengelolaan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh pada An. A dengan demam thypoid dimana tindakan keperawatan pada

pasien demam thypoid yakni dengan mengontrol diet dan dianjurkan untuk

makan sedikit tapi sering untuk mencegah terjadinya gangguan nutrisi.

Penelitian lainnya yaitu menurut Pambudi (2017), yaitu tentang Upaya

peningkatan kebutuhan nutrisi pada pasien anak dengan demam thypoid

dimana hasilnya dengan melakukan tindakan mengkaji makanan yang disukai

dan tidak disukai serta menganjurkan makan sedikit tapi sering dapat

meningkatkan berat badan hingga 1,3 kg pada klien demam typhoid dengan

permasalahan nutrisi.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk

melakukan studi kasus tentang “Asuhan keperawatan pada pasien demam

typhoid dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi”


4

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada studi kasus ini adalah “Bagaimana Pelaksanaan

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Demam Typhoid dengan Pemenuhan

Kebutuhan Nutrisi”.

1.3 Tujuan Studi Kasus

Mengambarkan Asuhan Keperawatan komprehensif pada pasien

demam typhoid dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi

1.4 Manfaat Studi Kasus

Studi kasus ini di harapkan memberikan manfaat bagi :

1. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan pengetahuan/wawasan pada masyarakat tentang

cara memelihara kesehatan khususnya bagi yang menderita demam

typhoid dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi.

2. Bagi perkembangan ilmu dan teknologi keperawatan

Untuk menambah keluasan ilmu dan teknologi dalam bidang

keperawatan khususnya dalam keperawatan medical bedah system

pencernaan.

3. Pelaksaana studi kasus/peneliti selanjutnya

Sebagai acuan dan contoh bagaimana pengalaman dalam

mengaplikasikan pemberian asuhan keperawatan medical bedah

khususnya pada penderita demam typhoid


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Demam Thypoid

1. Definisi

Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut pada saluran cerna

bagian bawah (usus halus) dengan gejala demam kurang lebih satu minggu

disertai gangguan saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan

kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi A, B, dan C.

(Reski 2014).

Jadi dapat disimpulkan bahwa demam thypoid yaitu penyakit

infeksi akut saluran cerna yang disebabkan oleh bakteri salmonella thypi.

2. Etiologi

Bakteri typhoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita.

Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat

penciuman tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun

setelah berkemih. Lalat bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari

tinja ke makanan.

Bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke

dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan

pada usus halus dan usus beasar. Pada kasus yang berat, yang bisa

berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan

perforasi (Perlubangan).
6

Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh Salmonella typhy dan

belum mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri

ini selama lebih dari 1 tahun. Beberapa dari pembawa bakteri ini tidak

menunjukan gejala-gejala dari demam tifoid. (Mahdiana R. 2010).

3. Patofisiologi

Masuknya kuman salmonella typhi (S. typhi) dan salmonella

paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan

yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung,

sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.

Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka

kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke

lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit

oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan

berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawah ke plak

Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui duktus toraksius kuman yang terdapat di dalam

makrofag ini masuk kedalam suplasi darah (mengakibatkan bakternia

pertama yang asintomatik) terutama hati dan limfa. Di organ-oragan ini

kuman meningalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar

sel ataw ruang sinosoid dan selanjutnya masuk ke dalam serkulasi darah

lagi mengakibatkan bakterinia yang kedua kalinya dengan di sertai tanda-

tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.


7

Kuman dapat masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak,

dan bersama cairan empedu dieksteresikan secara intermiten ke dalam

lumen usus. Sebagai sebagian kuman di keluarkan melalui feses dan

sebagian masuk lagi kealam sirkulasi setalah menembus usus. Proses yang

sama terulang kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif,

maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa

mediator inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,

sakit perut, gangguan vascular, mental, dan koagulasi.

Didalam plak Peyeri makrofag hiperakitf menimbulakan reaksi

hyperplasia jaringan (S typhi intra makrofag menginduksi reaksi

hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekroses organ).

Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akbibat erosi pembulu darah sekitar

plaguePeyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat

akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan

limfoit ini dapat berekembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan

dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempelkan di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,

kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainya. (Setiati, dkk,

2014)

4. Menifestasi Klinis

Biasanya gejala mulai timbul secara bertahap dalam waktu 8-14

hari setelah terinfeksi. Gejala biasa berupa demam, sakit kepala, nyeri
8

sendi, sakit tenggorkan, sembelit, penurunan nafsu makan dan nyeri perut.

Kadang penderita mersa nyeri ketika berkemih dan terjdi batuk serta

perdarahan dari hidung. jika pengobatan tidak dimulai, maka suhu tubuh

secara perlahan akan meningkat dalam waktu 2-3 hari, yaitu mencaai 39,4-

40o Celsius selama 10-14 hari. Panas mulai turun secara beratahp pada

akhir minggu ketiga dan kmbali normal pada minggu keempat.

Demam seringkali disertai oleh denyut jantung yang lambat dan

kelelahn yang luar biasa. Pada kasus yang berat bisa terjadi delirium,

stupor atau koma. Pada sekitar 10% penderita timbul sekelompok bintik-

bintik kecil berwarna merah mudah di dada dan perut pada minggu kedua

dan berlangsug selama 2-5 hari. (Mahdiana R. 2010)

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan demam tifoid yaitu :

a. Pemberian antibiotic

Terapi ini dimaksudkan untuk mebunuh kuman penyebab demam

tifoid. Obat yang sering diperlukan adalah:

1) Kloramfenikol 100mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari.

2) Amoksilin 100mg/kg berat badan/hari/4 kali.

3) Kontrimoksazal 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.

4) Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg 6 hari;

ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxon 4 gram/hari

selama 3 hari).
9

b. Istirahat dan Perawatan

Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Penderita sebaiknya beristirahat total ditempat tidur selama 1 minggu

setelah bebas dari demam. Mobuilisasi dilakukan secara betahap,

dengan keadaan penderita. Menigkat mekanisme penularan penyakit

ini, kebersihan perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan

pasien untuk buang air besar dan air kecil.

c. Nonfarmakologi dan Diet

1) Diharuskan untuk Bedrest

2) Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita

diberi makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat

diberi makanan yng lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai

dengan kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi dan

mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang

kesembuhan penderita. (Widoyono, 2011)

6. Komplikasi

Sebagai besar penderita mengalami penyembuhan sempurna, tetapi

bisa terjadi komplikasi, terutama pada penderita yang tidak diobati atau

bila pengobatannya terlambat :

a. Banyak penderita yang mengalami perdarahan usus; sekitar 2%

mengalami perdarahan hebat. Biasanya perdarahan terjadi pada

minggu ketiga.
10

b. Perforasi usus terjadi pada 1-2% penderita dan menyebabkan nyeri

perut yang hebat karena isi usus menginfeksi rongga perut

(peritonitis).

c. Pneumonia bisa terjadi pada minggu kedua atau ketiga dan biasanya

terjadi akibat infeksi pneumokokus (meskipun bakteri tifoid juga bisa

menyebabkan pneumonia).

d. Infeksi kandung kemih dan hati

e. Infeksi darah (osteomielitis), infeksi katup jantug (endokarditis),

infeksi selaput otak (meningitis), infeksi ginjal (glomerulitis) atau

infeksi seluran kemih kelamin. (Mahdiana R. 2015)

7. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering

ditemukan leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau

leukositosis. leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi

sekunder. selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan

trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi

aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid

dapat meningkat.

SGOT dan SPGT seringkali meningkat, tetapi akan kembali

menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak

memerlukan penanganan khusus.


11

Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji widal dan kultur

salmonella shigella. Sampai sekarnag, kultur masih menjadi standar

baku dalam penegakkan diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa

metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat

dan mudah serta memiliki sensitivitas dan sfesifisitas lebih baik dari

antara lain pemeriksaan serologi IgM/IgG salmonella.

b. Uji Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.

typhi pada uji widal terjadi suatu reaksi aglunitasi antara antigen

kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang

digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium, Maksud uji widal adalah untuk

menentukan adanya aglutinim dalam serum penderita tersangka

demam tifoid yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh kuman). b). Aglutinin

H (flagella kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang

digunakan untuk diagnosis demam tifoid. semakin tinggi titernya

semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu: 1).

pengobatan dini dengan anti biotik, 2). Gangguan pembentukan

antibodi, dan pemberian kortikoseoid, 3). Waktu pengemablian darah,

4). Daerah endemik atau non endemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6).

Reaksi Anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi


12

bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau

vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratarium, akibat

aglunitasi silang dan strain salmonella yang digunakan untuk suspense

antigen.

Titer widal biasanya angka kelipatan: 1/32, 1/64, 1/320, 1/640.

Peningkatan titer uji widal 4x (selama 2-3 minggu): dinyatakan (+).

Titer 1/160: masi dilihat dulu 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan

titer, jika ada dinyatakan (+). Jika 1x pemeriksaan langsung 1/320 atau

1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasien dengan gejalah klinis khas.

c. Uji Typhidot

Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat

pada protein membrane luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji

typhidot di dapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat

mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap

antigen S. typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.\

Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi

secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan

sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan

untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau

konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah

tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total

IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji

Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM


13

spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan

oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M

menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitive (sensitivitas

mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan

dengan kultur.

d. Uji IgM Dipstick

Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.

typhi pada specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan

strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS). S. typhoid dan

anti IgM (sebagai control), reagen deteksi yang mengandung antibody

anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip

sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.

Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun

pada suhu 4-25o celcius di tempat kering tanpa paparan sinar matahari.

Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran

reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar. setelah

inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara

semi kuantitatif, diberrikan penilaian terhadap garis uji dengan

membandingkan dengan reference strip. Garis control harus berwarna

dengan baik.

e. Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan

tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin


14

disebabkan beberapa hal seperti berikut: 1). Telah mendapat terapi

antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat

antibiotic pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan

hasil mungkin negative; 2). Volume darah yang kurang (diperlukan

kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil

biakan bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside

langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk

pertumbuhan kuman; 3). Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau

menimbulakan antibody dalam darah pasien. Antibody (agglutinin) ini

dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif; 4).

Waktu pengambilan darah setelah minggu peratama pada saat

agglutinin semakin meningkat. (Setiati, dkk, 2014)

2.2 Tinjauan tentang Konsep Keperawatan Demam Thypoid

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.

Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap

berikutya. Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang

terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan. Diagnosis

yang diangkat akan menentukan desain perencanaan yang ditetapkan.

Selanjutnya, tindakan keperawatan dan evaluasi mengikuti perencanaan

yang dibuat. Oleh karena itu, pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan

cermat sehingga seluruh kebutuhan perawatan pada klien dapat

diidentifikasi (Rohmah & Walid, 2016).


15

a. Identitas

Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat,

pendidikan, no. registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, dan

tanggal masuk RS.

b. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama

Pada pasien biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembang,

nafsu makan menurun, panas dan demam.

2) Riwayat Penyakit Dahulu

Apakah sebelumnya klien pernah mengalami penyakit yang sama

atau penyakit lainnya.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Pada umumnya penyakit pada demam thypoid adalah demam,

anorexia, mula muntah, diare, perasaan tidak enak diperut, pucat

(anemia), nyeri kepala pusing, nyeri otot, lidah thypoid (kotor),

gangguang kesadaran somnolen sampai koma.

4) Riwayat Kesehatan Kesehatan

Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita

demam thypoid atau sakit lainnya.

c. Pola-Pola Kesehatan

1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan

masalah dalam kesehatannya.


16

2) Pola nutrisi dan metabolism

Adanya mual muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah

kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi

status nutrisi tubuh.

3) Pola aktivitas dan latihan

Klien akan terganggu dikarenakan adanya kelemahan fisik serta

klien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.

4) Pola istirahatn dan tidur

Kebiasaan tidur klien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang

meningkat, sehingga klien merasa gelisah pada waktu tidur.

d. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan Umum

Biasanya pada klien demam thypoid mengalami badan lemah,

panas, pucat, mual, perut tidak enak, anorexia.

2) Kepala dan Leher

Biasanya pada klien demam thypoid yang ditemukan adanya

konjungtiva anemis, mata cowong, bibir kering, lidah kotor ditepi

dan ditengah merah.

3) Dada dan Abdomen

Didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan.

4) Sistem Integumen

Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak


17

e. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada klien demam thypoid adalah

pemeriksaan laboratorium yaitu terdiri dari :

1) Pemeriksaan leukosit

Didalam beberapa literature dinyatakan bahwa demam thypoid

terdapat leucopenia dan lomfosistosis relative tetapi kenyataanya

leucopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus

demam thypoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada

pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit

walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena

itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnose

demam thypoid.

2) Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT pada demam thypoid seringkali meningkat tetapi

dapat kembali normal setelah sembuhnya thypoid.

3) Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam thypoid,

tetapi bila biakan darah negative tidak menutup kemungkinan akan

terjadi demam thypoid.

4) Uji widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan

antibody (Aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella


18

thypi dalam serum klien dengan thypoid juga terdapat orang yang

pernah di vaksinasikan. Antigen yang digunakan

2. Diagnosa Keperawatan

a. Pengertian Diagnosa Keperawatan

1) Pernyataan yang menggambarkan respon manusia (keadaaan sehat

atau perubahan pola interaksi actual/potensial) dari individu atau

kelompok tempat perawat secara legal mengidentifikasi dan

perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga

status kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkirkan, atau

mencegah perubahan.

2) Penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas

terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan actual maupun

potensial sebagai dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk

mencapai hasil tempat perawat bertanggung jawab (Rohmah &

Walid, 2016)

b. Diagnosa yang sering muncul pada pasien demam thypoid dengan

pemenuhan kebutuhan nutrisi

1) Defisit nutrisi b.d intake yang tidak adekuat

2) Termoregulasi tidak efektif b.d fluktuasi suhu lingkungan, proses

penyakit

3) Nyeri akut b.d proses peradangan


19

3. Intervensi keperawatan

Tabel 1. Rencana Keperawatan

TIM POKJA SDKI, SIKI, dan SLKI 2019

Standar Diagnosa Standar Luaran Standar Intervensi


No Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 Defisit Nutrisi b.d intake Setelah dilakukan Manajeman Nutrisi
yang tidak adekuat tindakan keperawatan Observasi :
Kategori : Fisiologis diharapkan status nutrisi 1. Identifikasi status
Subkategori : Nutrisi dan membaik. nutrisi
Cairan Dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi alergi dan
Definisi : Asupan nutrisi 1. Porsi makan yang intoleransi makanan
tidak cukup untuk memenuhi dihabiskan meningkat 3. Idetifikasi makanan
kebutuhan metabolisme. 2. Kekuatan otot yang disukai
Gejala dan Tanda Mayor : pengunyah meningkat 4. Identifikasi
1. Subjektif 3. Kekuatan otot kebutuhan kalori dan
(tidak tersedia) menelan meningkat jenis nutrient
2. Objektif 4. Berat badan Indeks 5. Identifikasi perlunya
a) Berat badan Masa Tubuh (IMT) penggunaan selang
menurun minimal membaik nasogastrik.
10% di bawah 5. Frekuensi makan 6. Monitor asupan
rentang normal. membaik makanan
Gejala dan Tanda Minor : 6. Nafsu makan 7. Monitor berat badan
1. Subjektif membaik 8. Monitor hasil
a) Cepat kenyang 7. Bising usus membaik pemeriksaan
setelah makan laboratorium
b) Kram/nyeri Terapeutik :
abdomen 1. Lakukan oral hygiene
c) Nafsu makan sebelum makan, jika
20

menurun perlu
2. Objektif 2. Fasilitasi menentukan
a) Bising usus pedoman diet (mis.
hiperaktif Piramida makanan)
b) Otot pengunyah 3. Sajikan makanan
lemah secara menarik dan
c) Otot menelan lemah suhu yang sesuai
d) Membrane mukosa 4. Berikan makanan
pucat tinggi serat untuk
e) Sariawan mencegah konstipasi
f) Serum albumin turun 5. Berikan makanan
g) Rambut rontok tinggi kalori dan
berlebihan tinggi protein
h) Diare 6. Berikan suplemen
makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasogatrik jika
asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi :
1. Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (mis. Pereda
nyeri, antimetik), jika
perlu
21

2. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu
2 Termoregulasi tidak efektif Setelah dilakukan Regulasi Temperatur
b/d fluktuasi suhu tindakan keperawatan Observasi :
lingkungan, proses penyakit diharapkan termoregulasi 1. Monitor suhu bayi
Kategori : Lingkungan membaik. sampai stabil (36,50C
Subkategori : Keamanan Dengan kriteria hasil : – 37,50C)
dan Proteksi 1. Menggigil menurun 2. Monitor suhu tubuh
Definisi : Kegagalan 2. Kulit merah anak tiap dua jam,
mempertahankan suhu tubuh menurun jika perlu
dalam rentang normal. 3. Kejang menurun 3. Monitor tekanan
Gejala dan Tanda Mayor : 4. Akrosianosis darah, frekuensi
1. Subjektif menurun pernafasan dan nadi
(tidak tersedia) 5. Konsumsi oksigen 4. Monitor warna dan
2. Objektif menurun suhu kulit
a. Kulit dingin/hangat 6. Piloreksi menurun 5. Monitor dan catat
b. Menggigil 7. Vasokonstriksi tanda dan gejala
c. Suhu tubuh perifer menurun hipotermia atau
fluktuatif 8. Kutis memorata hipertermia
Gejala dan Tanda Mayor : menurun Terapeutik :
1. Subjektif 9. Pucat menurun 1. Pasang alat pemantau
(tidak tersedia) 10. Takikardi menurun suhu kontinu, jika
2. Objektif 11. Takipnea menurun perlu
a. Piloereksi 12. Bradikardi menurun 2. Tingkatkan asupan
b. Pengisian kapiler >3 13. Dasar kuku sianotik cairan dan nutrisi
detik menurun yang adekuat
c. Tekanan darah 14. Hipoksia menurun 3. Bedong bayi segera
22

meningkat 15. Suhu tubuh setelah lahir untuk


d. Pucat membaik mencegah kehilangan
e. Frekuensi napas 16. Suhu kulit membaik panas
meningkat 17. Kadar glukosa darah 4. Masukkan bayi
f. Takikardi membaik BBLR ke dalam
g. Kejang 18. Pengisian kapiler plastic segera setelah
h. Kulit kemerahan membaik lahir (mis. Bahan
i. Dasar kuku sianotik 19. Ventilasi membaik polyethylene,
20. Tekanan darah polyurethane)
membaik 5. Gunakan topi bayi
untuk mencegah
kehilangan panas
pada bayi baru lahir
6. Tempatkan bayi baru
lahir di bawah
radiant warmer
7. Pertahankan
kelembaban incubator
50% atau lebih untuk
mengurangi
kehilangan panas
karena proses
evaporasi
8. Atur suhu incubator
sesuai kebutuhan
9. Hangatkan terlebih
dahulu bahan-bahan
yang akan kontak
dengan bayi (mis.
Selimut, kain
bendongan,
23

stetoskop)
10. Hindari meletakkan
bayi didekat jendela
terbuka atau di area
aliran pendinginan
ruangan atau kipas
angin
11. Gunakan matras
penghangat, selimut
hangat, dan
penghangat ruangan
untuk menaikkan
suhu tubuh, jika perlu
12. Gunakan kasur
pendingin, water
circulating balngkets,
ice pack atau gel pad
dan intravascular
cooling
catheterization untuk
menurunkan suhu
tubuh.
13. Sesuaikan suhu
lingkungan dengan
kebutuhan pasien
Edukasi :
1. Jelaskan cara
pencegahan head
exhaustion dan heat
stroke
2. Jelaskan cara
24

pencegahan hipotermi
karena terpapar udara
dingin
3. Demostrasikan teknik
perawatan metode
kangguru (PMK)
untuk bayi BBLR
Kolaborasi :
1. Pemberian antipiretik
jika perlu
3 Nyeri Akut b/d proses Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
peradangan tindakan keperawatan Observasi :
Kategori : Psikilogis diharapkan tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi,
Subkategori : Nyeri dan menurun. karakteristik, durasi,
Kenyamanan Dengan kriteria hasil : frekuensi, kualitas,
Definisi : Pengalaman 1. Kemampuan intensitas nyeri.
sensorik atau emosional yang menuntaskan 2. Identifikasi skala
berkaitan dengan kerusakan aktivitas meningkat nyeri
jaringan actual atau 2. Keluhan nyeri 3. Identifikasi respon
fungsional, dengan onset menurun nyeri non verbal
mendadak atau lambat dan 3. Meringis menurun 4. Identifikasi factor
berintensitas ringan hingga 4. Sikap protektif yang memperberat
berat yang berlangsung menurun dan memperingan
kurang dari 3 bulan. 5. Gelisah menurun nyeri
Gejala dan Tanda Mayor : 6. Kesulitan tidur 5. Identifikasi
1. Subjektif menurun pengetahuan dan
a. Mengeluh nyeri* 7. Menarik diri kelainan tentang nyeri
2. Objektif menurun 6. Identifikasi pengaruh
a. Tampak meringis 8. Berfokus pada diri budaya terhadap
b. Bersikap protektif sendiri menurun respon nyeri
(mis. Waspada, 9. Diaphoresis 7. Identifikasi pengaruh
25

posisi menghindari menurun nyeri pada kualitas


nyeri) 10. Perasaan depress hidup
c. Gelisah (tertekan) menurun 8. Monitor keberhasilan
d. Frekuensi nadi 11. Perasaan takut terapi komplementer
meningkat mengalami cedera yang sudah diberikan
e. Sulit tidur berulang menurun 9. Monitor efek samping
Gejala dan Tanda Mayor : 12. Anoreksi menurun penggunaan analgetik
1. Subjektif 13. Perineum terasa Terapeutik :
(tidak tersedia) tertekan menurun 1. Berikan teknik non
2. Objektif 14. Uterus teraba farmakologi untuk
a. Tekanan darah membulat menurun mengurang rasa nyeri
meningkat 15. Ketegangan otot (mis. TENS,
b. Pola nafas berubah menurun hypnosis, akupresur,
c. Nafsu makan 16. Pupil dilatasi terapi music,
berubah menurun biofeedback, terapi
d. Proses berpikir 17. Muntah menurun pijat, aroma terapi,
terganggu 18. Mual muntah teknik imajinasi
e. Menarik diri 19. Frekuensi nadi terbimbing, kompres
f. Berfokus pada diri membaik hangat/dingin, terapi
sendiri 20. Pola nafas membaik bermain)
g. Diaphoresis 21. Tekanan darah 2. Kontrol lingkungan
membaik yang memperberat
22. Proses berpikir rasa nyeri (mis. Suhu
membaik ruangan,
23. Focus membaik pencahayaan,
24. Fungsi berkemih kebisingan?
membaik 3. Fasilitasi istirahat dan
25. Perilaku membaik tidur
26. Nafsu makan 4. Pertimbangkan jenis
membaik dan sumber nyeri
27. Pola tidur membaik dalam pemilihan
26

strategi merendahkan
nyeri
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
4. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
4. Implementasi

Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi

pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respons klien selama dan

sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah &

Walid, 2016).

5. Evaluasi
27

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan

keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang

dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah & Walid, 2016)

2.3 Tinjauan tentang Kebutuhan Nutrisi

1. Pengertian

Nutrisi adalah jumlah semua interaksi antara suatu organisme dan

maknan yang mengkonsumsinya. dengan kata lain nutrisi adalah sesuatu

yang dimakan seseorang dan bagaimana tubuh menggunakannya. Manusia

memerlukan zat gizi esensial dalam makanan untuk pertumbuhan dan

untuk memelihara semua jaringan tubuh dan fungsi normal semua proses

tubuh. Asupan makanan yang memadai terdiri atas zat gizi esensial yang

seimbang yaitu air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Zat

gizi memiliki tiga fungsi utama yaitu menyediakan enerti untuk proses dan

pergerakan tubuh, menyediakan materi structural untuk jaringan tubuh dan

mengatur proses tubuh (Kozier et al, 2016).

2. Zat Gizi Esensial

Kozier et al (2016), menjelaskan bahwa zat gizi esensial bagi tubuh

adalah sebagai berikut:

a. Karbohidrat

Karbohidrat tersusun atas unsur karbon (C), hydrogen (H) dan

oksigen (O) dan terdiri atas dua jenis dasar yaitu karbohidrat

sederhana (gula) dan karbohidrat kompleks (tepung dan serat).

Karbohidrat merupakan sumber utara energi utama. Setelah tubuh


28

memecah karbohidrat menjadi glukosa, beberapa glukosa terus

beredar di dalam darah untuk mempertahankan kadar glukosa darah

dan menyediakan sumber energi yang siap pakai. Sisanya digunakan

sebagai energi atau disimpan.

b. Protein

Protein merupakan zat organic yang terdiri atas asam amino.

Protein mengandung karbon, hidrogem dan oksigen tetap protein juga

mengandung nitrogen. Protein dapat komplet atau inkomplet. Protein

komplet mengandung semua asam amino esensial ditambah banyak

asam amino nonesensial. Sebagian besar protein hewani termasuk

daging, ayam, ikan, produk susu dan telur. Protein inkomplet tidak

memiliki satu atau lebih asam amino esensial (paling umum adalah

lisin, metionin atau triptofan) dan biasanya didapat dari sayur-

sayuran.

c. Lipid (Lemak)

Lipid merupakan zat organic yang berminyak dan tidak dapat

larut di dalam air tetapi dapat larut di dalam alkohol atau eter. Lemak

adalah lipid yang padat pada suhu kamar. Minyak adalah lipid yang

cair pada suhu kamar. Kolesterol merupakan zat yang menyerupai

lemak yang diproduksi dalam tubuh dan ditemukan dalam makanan

yang berasal dari hewan.

d. Mikroenergi
29

Vitamin merupakan senyawa organic yang tidak dapat dibuat

oleh tubuh dan dibutuhkan dalam jumlah kecil untuk mempercepat

proses metabolic. Apabila vitamin tidak ada atau kurang terdapat

dalam diet, terjadi defisit metabolic. Vitamin diklasifikasikan secara

umum menjadi larut dalam lemak atau larut dalam air. Vitamin yang

larut dalam air terdiri dari vitamin C dan B Kompleks, vitamin B1

(tiamin), vitamin B2 (riboflavin), vitamin B3 (niasin atau asam

nikotinat), vitamin B6 (piridoksin), vitamin B9 (asam folat), vitamin

B12 (kobalamin), asam pantotenat dan biotin. Vitamin larut dalam

lemak terdiri dari vitamin A, D, E dan K.

Mineral ditemukan dalam senyawa organic, sebagai senyawa

inorganic dan sebagai ion bebas. Pada oksidasi, mineral

meninggalkan sisa abu yang dapat bersifat asam atau basa. Mineral

ada 2 kategori yaitu makromineral adalah zat yang dibutuhkan

manusia setiap hari dalam jumlah lebih dari 100 mg seperti kalsium,

fosfor, natrium, kalium, magnesium, klorida dan sulfur. Mikromineral

adalah zat yang yang dibutuhkan manusia setiap hari dalam jumlah

kurang dari 100 mg seperti zat besi, zink, mangan, yodium/iodin,

fluoride, tembaga, kobalt, kromium dan selenium.

3. Faktor yang Mempengaruhi Nutrisi

Kozier et al (2016) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi

nutrisi adalah sebagai berikut:


30

a. Perkembangan

Individu yang sedang berada dalam masa pertumbuhan yang

cepat yaitu masa bayi dan remaja memiliki kebutuhan zat gizi yang

meningkat. Di sisi lain, lansia memerlukan lebih sedikit kalori dan

perubahan diet mengingat risiko penyakit jantung coroner,

osteoporosis dan hipertensi.

b. Jenis Kelamin

Kebutuhan zat gizi berbeda bagi pria dan wanita karena

komposisi tubuh dan fungsi reproduksi. Massa otot yang lebih besar

pada pria menjelaskan besarnya kebutuhan kalori dan protein. Wanita

memerlukan lebih banyak zat besi dibandingkan pria karena adanya

menstruasi sebelum menopause.

c. Etnis dan Budaya

Etnis seringkali menentukan pilihan makanan tradisional

(misalnya nasi untuk Asia, pasta untuk Italia, kari untuk India) telah

dimakan dalam waktu lama setelah budaya lain ditinggalkan.

d. Keyakinan mengenai makanan

Keyakinan mengenai efek makanan pada kesehatan dan

kesejahteraan dapat mempengaruhi pilihan makanan. Banyak orang

mendapatkan keyakitan mengenai makanan dari televisi, majalah dan

media lain. Misalnya beberapa orang mengurangi asupan lemak

hewani sebagai respon terhadap bukti yang dipublikasikan bahwa

konsumsi lemak hewani yang berlebihan adalah faktor risiko utama


31

terjadinya penyakit kardiovaskular.

e. Keyakinan mengenai makanan

Keyakinan mengenai efek makanan pada kesehatan dan

kesejahteraan dapat mempengaruhi pilihan makanan. Banyak orang

mendapatkan keyakinan mengenai makanan dari televisi, majalah dan

media lain. Misalnya beberapa orang mengurangi asupan lemak

hewani sebagai respons terhadap bukti yang dipublikasikan bahwa

konsumsi lemak hewani yang berlebihan adalah faktor risiko utama

terjadinya penyakit kardiovaskulir.

f. Pilihan pribadi

Manusia mengembangkan kesukaan dan ketidaksukaan

berdasarkan asosiasinya dengan makanan tertentu. Seorang anak yang

suka mengunjungi kakek neneknya mungkin menyukai asinan

crabapple karena makanan tersebut disajikan di rumah kakek

neneknya. Anak lain yang tidak menyukai bibinya yang terlalu

disiplin menjadi tidak menyukai kaserol ayam yang disajikan bibinya.

Manusia seringkali membawa piluhan mekanan mereka hingga masa

dewasa.

g. Praktik keagamaan

Praktik keagamaan juga mempengaruhi diet. Beberapa orang

Katolik Rima menghindari daging pada hari-hari tertentu dan

beberapa kepercayaan protestan melarang daging, teh, kopi atau

alkohol. Islam yang melarang babi.


32

h. Gaya hidup

Gaya hidup tertentu dikaitkan dengan perilaku terkait makanan.

Orang yang selalu terburu-buru membeli bahan makanan cepat saji

atau memakan makanan restoran. Orang yang meluangkan banyak

waktu dirumah mungkin memerlukan waktu untuk mempersiapkan

makanan lebih detail. Perbedaan individual juga mempengaruhi pola

gaya hidup.

i. Medikasi dan terapi

Efek obat-obatan pada nutrisi sangat bervariasi. Obat mungkin

menganggu nafsu makan, menganggu persepsi rasa atau menganggu

absorpsi atai eksresi obat-obatan tertentu saat mengevaluasi klien

yang mengalami masalah nutrisi.

j. Kesehatan

Status kesehatan individu sangat mempengaruhi kebiasaan

makan dan status nutrisi. Gigi tanggal, gigi goyang atau sariawan

mempersulit mengunyah makanan (disfagia) akibat inflamasi

tenggorokan yang menyakitkan atau karena struktur esophagus dapat

menghambat seseorang untuk mendapatkan nutrisi yang memadai.

4. Penilaian status nutrisi

a. Penilaian status nutrisi secara langsung

1) Antropometri

Antropometri memiliki arti sebagai ukuran tubuh manusia.

Pengukuran menggunakan metode ini dilakukan karena manusia


33

mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Metode

antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan nutrisi

(asupan karbohidrat dan protein). Metode ini memiliki

keunggulan dimana alat mudah, dapat digunakan berulang-ulang

& objektif (Mardalena, 2017 dalam Ulan, 2019).

Antropometri sebagai indikator status nutrisi dapat dilakukan

dengan mengukur beberapa parameter. Parameter ini disebut

dengan Indeks Antropometri yang terdiri dari :

a) Berat badan menurut umur (BB/U)

b) Tinggi badan menurut umur (TB/U)

c) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

d) Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U)

e) Indeks masa tubuh (IMT)

Banyak sumber yang dapat digunakan untuk menggolongkan

status nutrisi dengan menggunakan indeks antropometri tetapi

diperlukan tabel bantu untuk mengetahui parameter normal

kemudian untuk selanjutnya digolongkan (Mardalena, 2017

dalam Ulan, 2019).

Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Rujukan Buku WHO-NCHS

Status Gizi BB/U Status Gizi BB/TB


Lebih > 2 SD Gemuk > 2 SD
Baik < 2 SD-2 SD Normal < 2 SD-2 SD
Kurang >-2 SD->-3 SD Kurus >-2 SD->-3 SD
Buruk <-3 SD Kurus Sekali <-3 SD
Sumber : Mardalena (2017) dalam Ulan (2019)
34

2) Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis sebagai salah satu metode penilaian

status nutrisi secara langsung, secara umum terdiri dari dua

bagian yaitu riwayat medis dan pemeriksaan fisik.

a) Riwayat Medis

Dalam riwayat medis kita mencatat semua kejadian yang

berhubungan dengan gejala yang timbul pada penderita

beserta faktorfaktor yang memengaruhinya. Data yang

berhubungan dengan gizi yang dikaji adalah riwayat alergi

terhadap makanan, jenis diet dan pengobatan yang sedang atau

pernah dijalani oleh pasien (Mardalena, 2017 dalam Ulan,

2019).

b) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan melalui teknik inspeksi,

palpasi, perkusi dan auskultasi. Tanda-tanda klinis dapat

dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

(1) Kelompok 1, tanda-tanda yang benar berhubungan dengan

malnutrisi. Baik itu karena kekurangan salah satu zat

nutrisi atau kelebihan dari yang dibutuhkan tubuh.

(2) Kelompok 2, tanda-tanda yang membutuhkan pengamatan

lebih lanjut. Hal ini karena tanda yang ada mungkin saja

merupakan tanda nutrisi salah atau mungkin disebabkan

oleh faktor lain.


35

(3) Kelompok 3, tanda-tanda tidak berkaitan dengan nutrisi

walaupun hampir mirip. Pemeriksa harus mengetahui

tanda-tanda dan gejala akibat kekurangan/kelebihan setiap

zat gizi (Mardalena, 2017 dalam Ulan, 2019)

3) Biokimia

Pemeriksaan status nutrisi menggunakan biokimia terdiri dari:

a) Penilaian status nutrisi dengan pemeriksaan hemoglobin

(hb), hematokrit, besi serum, ferritin serum, saturasi

transferrin, free erytrocites protophoprin, unsaturated iron-

blinding capacity serum.

b) Penilaian status protein dapat dilakukan dengan melakukan

pemeriksaan fraksi protein yaitu albumin, globulin dan

fibrinogen.

c) Penilaian status vitamin tergantung dari vitamin yang ingin

diketahui.

d) Penilaian status mineral, misalnya iodium dinilai dengan

memeriksa kadar yodium dalam urine dan kadar hormone

TSH (thyroid stimulating hormone) (Mardalena, 2017 dalam

Ulan, 2019).

4) Biofisik

Pemeriksaan status nutrisi dengan biofisik adalah

pemeriksaan yang melihat dari kemampuan fungsi jaringan dan

perubahan struktur. Penilaian secara biofisik dapat dilakukan


36

dengan tiga cara yaitu uji radiologi, tes fungsi fisik, sitologi

(Mardalena, 2017 dalam Ulan, 2019).

b. Penilaian Status Nutrisi secara Tidak Langsung

1) Survei konsumsi makanan

Survei ini digunakan dalam menentukan status nutrisi perorangan

atau kelompok. Survei konsumsi makanan dimaksudkan untuk

mengetahui kebiasaan makan atau gambaran tingkat kecukupan

bahan makanan dan zat nutrisi.

2) Pengukuran faktor ekologi

Faktor ekologi yang berhubungan dengan malnutrisi ada enam

kelompok, yaitu keadaan infeksi, konsumsi makanan, pengaruh

budaya, sosial ekonomi, produksi pangan, serta kesehatan dan

pendidikan.

3) Statistic vital

Dengan menggunakan statistic kesehatan, kita dapat melihat

indikator tidak langsung pengukuran status nutrisi masyarakat.

Beberapa statistik yang berhubungan dengan keadaan kesehatan

dan nutrisi antara lain angka kesakitan, angka kematian, pelayanan

kesehatan dan penyakit infeksi yang berhubungan dengan nutrisi

(Mardalena, 2017 dalam Ulan, 2019).

5. Defisit Nutrisi
37

Defisit nutrisi ialah intake yang tidak adekuat dalam memenuhi

kebutuhan metabolisme tubuh dimana penyebabnya adalah

ketidakmampuan menelan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan,

ketidakmampuan mengabosrpsi nutrien, peningkatan kebutuhan

metabolism, faktor ekonomi dan faktor psikologis. Tanda dan gejala mayor

defisit nutrisi adalah berat badan menurun minimal 10% dari rentang ideal

sedangkan tanda dan gejala minor dari defisit nutrisi adalah cepat kenyang

setelah makan, kram/nyeri abdomen, nafsu makan menurun, bising usu

hiperaktif, otot pengunyah lemah, otot menelan lemah, membrane mukosa

pucat, sariawan, serum albumin turun, rambut rontok berlebihan, dan diare

(Tim Pokja SDKI DPP, 2017).

Status nutrisi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

bronkopneumonia. Status nutrisi dan infeksi saling berinteraksi, karena

infeksi dapat mengakibatkan status nutrisi kurang dengan berbagai

mekanisme namun sebaliknya status nutrisi dapat juga menyebabkan

infeksi. Infeksi menghambat terjadinya reaksi imunologi yang normal

dengan menghabiskan sumber energi di dalam tubuh. Gangguan nutrisi

dan penyakit infeksi sering bekerjasama serta memberikan akibat yang

lebih buruk pada tubuh. Malnutrisi dan infeksi yang kompleks, infeksi

dapat mengganggu status nutrisi yang menyebabkan terjadinya gangguan

absorbsi (Adriani & Wirjatmadi, 2016).

Penyakit infeksi bronkopneumonia membutuhkan tambahan

energi, protein, air dan elektrolit, sebaliknya nafsu makan mereka menurun
38

dari sebelumnya, sehinga makanan yang biasa mereka makan akan ditolak.

Makanan harus diberikan dalam jumlah sedikit namun sering, akan tetapi

jumlah air harus tercukupi. Formula dapat diencerkan pada hari-hari

pertama atau dapat diberikan air buah dan sebagianya. Anak dalam

keadaan rekonvaleseansi mulai mau makan dan makanan yang biasa harus

diberikan secepat-cepatnya (Ulan, 2019).


39

BAB III

METODE STUDI KASUS

3.1. Rancangan Studi Kasus

Rancangan studi kasus ini menggambarkan asuhan keperawatan pada

pasien demam typhoid dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi. Studi kasus ini

akan mengarahkan penelitian untuk meninjau pasien penderita demam

typhoid dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi. Kemudian akan digambarkan

bagaimana hasil asuhan keperawatan yang di dapatkan.

3.2. Subjek Studi Kasus

Subjek studi kasus yang akan dilibatkan adalah pasien penderita

demam thypoid dengan memenuhi kriteria :

1. Mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, dan

2. Bersedia dijadikan subjek penelitian.

3.3. Fokus Studi Kasus

Asuhan keperawatan pada pasien demam thypoid dengan pemenuhan

kebutuhan nutrisi.

3.4. Definisi Operasional

1) Demam Thypoid

Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut pada saluran cerna

bagian bawah (usus halus) dengan gejalah demam kurang lebih satu

minggu disertai gangguan saluran pencernaan dengan atau tanpa


40

gangguan kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi A,

B, dan C. (Reski 2014)

2) Kebutuhan Nutrisi

Nutrisi adalah jumlah semua interaksi antara suatu organisme dan

makanan yang dikonsumsinya. Dengan kata lain, nutrisi adalah sesuatu

yang dimakan seseorang dan bagaimana tubuh menggunakannya.

3.5. Tempat dan Waktu

Review studi kasus ini dilaksanakan di Ruang Interna Kelas III

Wanita RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe dengan menggunakan askep mandiri

yang sudah dilakukan pada bulan Januari tahun 2019

3.6. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui proses

pengkajian, diagnose keperawatan, rencana keperawatan, implementasi dan

evaluasi sesuai dengan format asuhan keperawatan ditambah dengan hasil

lab dan hasil pemeriksaan lainnya.

3.7. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dengan penyajian tekstual/narasi yang

dituangkan dengan menggambarkan hasil dan deskripsi dari penatalaksanaan

asuhan keperawatan pada pasien demam thypoid dengan pemenuhan

kebutuhan nutrisi

3.8. Etika Studi Kasus

1. Menjaga privasi klien yang diberikan asuhan keperawatan

2. Menjaga kenyamanan klien yang akan diberikan asuhan keperawatan


41

3. Tidak membebani klien dengan tindakan yang dapat menyusahkan klien

dalam penatalaksanaan asuhan keperawatan

4. Memberikan kesempatan pada klien jika ada hal yang ingin disampaikan

sehingga merasakan keperdulian padanya.

5. Memberikan etchial clearance dalam pengelolaan tindakan.


42

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Studi Kasus

Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H.Aloei Saboe Kota

Gorontalo pertama kali dibangun pada tahun 1926 dan dimanfaatkan

sejak tahun 1929 dengan nama Rumah Sakit Umum Kotamadya

Gorontalo.

Pada tahun 1979, Rumah Sakit Umum Kotamadya Gorontalo

ditetapkan sebagai Rumah Sakit kelas C berdasarkan surat keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 51/Men.Kes/SK/II/79

sebagai rumah sakit kelas C pada tanggal 17 September tahun 1987

Nama Rumah Sakit Kotamadya Gorontalo di ubah menjadi Rumah

Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H.Aloei Saboe Gorontalo yang ditetapkan

dengan Surat Keputusan Walikotamadya Gorontalo Nomor 97 Tahun

1987. Nama tersebut diambil dari salah seorang perintis kemerdekaan

putera Gorontalo yang banyak berjasa dalam bidang kesehatan yaitu

Almarhum ALOEI SABOE yang memperoleh gelar adat (TAA LOO

TINEPA LIPU).

Pada tahun 2002 terjadi perubahan struktur organisasi tata kerja

Rumah Sakit menjadi Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Daerah

Prof.Dr.H.Aloei Saboe Kota Gorontalo berdasarkan surat keputusan


43

Walikota Gorontalo Nomor: 351 tanggal 25 Maret Tahun 2002.

Tanggal 19 Maret 2001 adalah awal dimulainya relokasi bangunan

Rumah Sakit Umum Daerah Prof.Dr.H.Aloei Saboe dengan

dilaksanakan peletakan Batu Pertama pembangunan Gedung Baru

Rumah Sakit. Empat tahun kemudian tepatnya tanggal 19 Maret mulai

dimanfaatkan Gedung Baru Rumah Sakit Prof.Dr.H.Aloei Saboe Kota

Gorontalo.

Pada tahun 2009 Rumah Sakit Prof.Dr.H.Aloei Saboe Kota

Gorontalo ditetapkan sebagai Rumah Sakit Tipe B Non Kependidikan

milik Pemerintah Kota Gorontalo berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

084/MENKES/SK/I/2009 tanggal 29 Januari 2009.

4.1.2. Hasil Tinjauan Kasus Ny. RR

A. Pengkajian

Tanggal Masuk : 19 Januari 2019

Sumber Informasi : Keluarga

Ruang / Kelas : Kelas IIIB Wanita

Tanggal Pengkajian : 21 Jan 2019

No. Reg : 102.009

Diagnosa Medis : Demam Thypoid

I. DATA DEMOGRAFI

A. Identitas Klien

Nama : Ny. RR
44

Umur : 19 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jln. Melon Perumahan Ersa

Status Perkawinan : Belum Kawin

Agama : Islam

Suku : Indonesia

Pendidikan : SMA

Pekerjaan :-

B. Penanggung Jawab

Nama : Ny. R

Umur : 53 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : URT

Hubungan dengan Klien : Ibu Kandung

Lain-lain :-

II. RIWAYAT KEPERAWATAN

A. Riwayat Kesehatan Sekarang

1. Alasan Masuk RS

Klien masuk rumah sakit karena panas tinggi dan ada

dorongan dari pihak keluarga untuk dibawa ke rumah sakit

2. Keluhan Utama

Pada saat dikaji pada tanggal 12 Januari 2019 klien

mengeluh panas tinggi


45

3. Kronologis Keluhan Utama

Pada saat dikaji klien mengatakan badannya panas naik

turun sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Klien mengatakan

panasnya tinggi pada waktu siang dan malam hari.

4. Keluhan Menyertai

Klien mengeluh nyeri pada perut sebelah kiri bawah, wajah

klien tampak menahan nyeri, lidah terasa pahit., gelisah, dan

nafsu makan menurun. Klien tampak terbaring lemas dan

mengeluh pusing,

B. Riwayat Kesehatan Lalu

Klien mengatakan sebelumnya klien belum pernah masuk RS

dan klien belum pernah mengalami penyakit ini sebelumnya, klien

tidak merokok, tidak minu-minuman keras, dan tidak memiliki alergi

pada makanan.

C. Riwayat Kesehatan Keluarga

1. Genogram
46

Keterangan :

= Laki-Laki = Meninggal

= Perempuan = Klien

= Menikah ------ = Tinggal Serumah

= Keturunan

2. Riwayat kesehatan anggota keluarga

Klien merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara keluarga klien

tidak memiliki penyakit yang sama dengan klien. Klien juga

mengatakan belum pernah menderita penyakit yang sama

sebelumnya

D. Riwayat Psikososial

1) Orang yang terdekat dengan klien

Klien mengatakan orang yang terdekat dengan klien adalah

ibu klien.

2) interaksi dalam keluarga

Keluarga mengatakan pola komunikasi klien baik dengan

orang-orang disekitarnya baik keluarga maupun tetangga.

Keluarga mengatakan pembuat keputusan dikeluarga adalah ayah

klien dan meminta pendapat dari ibu klien. Keluarga mengatakan

klien tidak mengikuti kegiatan dalam kemasyrakatan.

3) Dampak penyakit pasien terhadap keluarga


47

Klien mengatakan saat ini klien dan keluarga baik-baik saja

dalam menyikapi sakit yang diderita klien.

4) Adakah masalah yang mempengaruhi pasien

Keluarga mengatakan tidak ada masalah.

5) Mekanisme koping terhadap masalah

Klien mengatakan mengambil keputusan sering dibantu

oleh ayah dan ibu klien.

6) Persepsi pasien terhadap penyakitnya

a) Hal yang dipikirkan saat ini

Klien mengatakan menanggapi penyakit yang diderita dengan

ikhlas.

b) Harapan setelah menjalani perawatan

Klien mengatakan agar klien cepat sembuh dari penyakitnya.

c) Perubahan yang dirasa setelah jatuh sakit

Klien mengatakan klien tidak dapat kuliah selama sakit.

7) Bagaimana hubungan pasien dengan tenaga

kesehatan/keperawatan selama dirawat

Pole interkasi klien dan perawat kooperatif.

E. Keadaan Spiritual Pasien

1) Siapa atau apa sumber kekuatan

Klien mengatakan Allah SWT.

2) Kegiatan agama atau kepercayaan yang dilakukan (macam &

frekwensinya )
48

Klien mengatakan sebelum sakit klien selalu beribadah kepada

Allah SWT dengan melaksanakan sholat 5 waktu dan klien selalu

berdoa agar penyakitnya cepat sembuh.

3) Keterlibatan pasien dalam organisasi keagamaan

Klien mengatakan tidak terlibat dalam organisasi keagamaan.

4) Keyakinan-keyakinan/kepercayaan pasien yang berhubungan

dengan kesehatan

Klien meminta kepada Allah atas kesembuhan penyakitnya.

5) Kegiatan agama atau kepercayaan yang diingini dilakukan selama

di Rumah sakit

Klien mengatakan saat sakit klien tidak melakukan kegiatan

keagamaan.

F. Kondisi Lingkungan Rumah

1) Keadaan rumah dan lingkungannya

Keluarga mengatakan keadaan lingkungan rumah klien bersih dan

tidak mudah banjir, mempunyai kamar mandi dan wc sendiri.

2) Status rumah

Klien mengatakan status rumah adalah milik sendiri.

G. Aktivitas Sehari-hari

1) Pola Nutrisi

Sebelum Sakit : Frekuensi makan baik, nafsu makan

dihabiskan, waktu makan tepat waktu, porsi


49

makan dihabiskan, tidak mual muntah, porsi

makan 3 kali / hari.

Saat Sakit : Frekuensi makan 1-2 kali / hari nafsu makan

kurang baik, porsi makan kadang tidak

dihabiskan, hanya dihabiskan 5-6 sendok

makan, klien mengalami mual muntah.

2) Cairan

Sebelum Sakit : Frekuensi minum baik, selalu minum air putih,

tidak dehidrasi, klien minu 4-6 gelas/hari atau

±1000ml/hari

Saat Sakit : Frekuensi makan tidak baik, klien minum 2-3

gelas/hari atau ±500ml/hari

3) Eliminasi

BAK

Sebelum Sakit : Frekuensi BAK 3-4 x/hari, waktunya tidak

menentu, baunya khas urine warnanya kuning.

Saat Sakit : Klien mengatakan sulit BAK, klien tidak

terpasang kateter, warna urine kuning pucat.

BAB

Sebelum Sakit : Klien mengatakan tidak sulit BAB, klien BAB

1-2 x/hari.

Saat Sakit : Klien mengatakan sulit BAB, klien belum

BAB sudah 2 hari.


50

4) Istirahat dan Tidur

Sebelum Sakit : Saat dikaji klien mengatakan tidak ada

kesulitan saat tidur.

Saat Sakit : Klien mengatakan susah tidur karena sering

mendengar bising, dan sering terbangun malam

hari.

5) Pola Aktivitas dan Latihan

Sebelum Sakit : Klien selalu melakukan aktivitas setiap hari.

Saat Sakit : Klien lebih banyak berbaring diatas tempat

tidur.

6) Personal Hygiene

Sebekum Sakit : Klien biasanya mandi 2-3 x/hari sering

menggosok gigi dan selalu mencuci rambut.

Saat Sakit : Klien hanya 1x sehari mandi dan hanya

dibantu keluarga.

7) Rekreasi

Klien mengatakan kadang rekreasi dihari libur bersama teman-

teman

III. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

1) Tingkat Kesadaran : Compos Mentis

2) Tanda-Tanda Vital

TD : 100/70 mmHg R : 100 x/m


51

SB : 390C N : 20 x/m

3) Tinggi Badan : 155 Cm

4) Berat Badan : 42 Kg

b. Pemeriksaan Sistemik

1) Kepala dan Leher

Bentuk kepala simetris kiri dan kanan, keadaan rambut baik, tidak

ada ketomber, keadaan kulit kepala bersih, distribusi rambut

merata, tidak ada nyeri dibagian kepala, dan tidak ada rambut

rontok.

a. Mata

Posisi mata simetris, tidak ada peradangan, tidak ada

edema pada kelopak mata, konjungtiva anemis, sclera

normal, pergerakan bola mata normal, refleks pupil terdapat

cahaya baik, klien tidak menggunakan kacamata, visus klien

normal, saat dilakukak refleks kornea klien bisa berkedip,

tidak ada nyeri tekan

b. Telinga

Saat dilakukan inspeksi telingan klien simetris kiri dan

kanan, kondisi telingan normal, tidak ada serumen, fungsi

pendengaran normal, tidak memakai alat bantu pendengaran,

tidak ada peradangan, tidak ada perdarahan pada telinga, saat

dilakukan palpasi tidak ada nyeri tekan dan saat dilakukan tes

weber, swabak, dan riner klien bisa mendengarnya (normal).


52

c. Hidung

Keadaan hidung baik, tidak terdapat peradangan,

keadaan rongga hidung simetris kiri dan kanan, saat

dilakukan palpasi tidak ada nyeri tekan, dan saat dilakukan

tes penciuman klien bisa mencium baunya (normal).

d. Mulut dan Tenggorokan

Struktur mulut simetris kiri dan kanan, bibir klien

Nampak kering, terdapat sariawan, gusi nampak peradangan,

gigi klien sudah tanggal, lidah nampak kotor (terdapat

keputihan dilidah), gusi klien mengalamu perdarahan, saat

dilakukan palpasi tidak ada nyeri tekan, pada palatum tidak

ada nyeri tekan, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid.

2) Sistem Pernafasan

Bentuk dada simetris kiri dan kanan, pergerakan dan

pengembangan thoraks normal, irama nafas teratur, tidak ada

nyeri tekan, vocal premitus normal sebelah kiri terabah, bunyi

nafas normal.

3) Sistem Kardiovaskuler

Warna kulit merata, mukosa bibir pucat, tidak ada

pembengkakan vena jugularis, saat dilakukan palpasi pada daerah

aorta, pulmonal, trikuspit bikuspit semuanya normal, saat

dilakukan palpasi tidak ada nyeri tekan.


53

4) Sistem Pencernaan

Bentuk abdomen simetris, warna kulit merata, gerakan

abdomen normal dengan peristaltic usus 15x/menit (Normal: 8-

12x/menit), tidak ada pembengkakan pada hepar, lien dan

lambung, saat di palpasi ada nyeri tekan, tdak teraba apakah

edema pada hepar dan lien.

5) Sistem Perkemihan

Saat dilakukan pengkajian tidak terdapat nyeri tekan, ginjal

tidak teraba, klien tidak mengalami kesulitan dalam berkemih

(normal).

6) Sistem Endokrin

Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada perubahan

suara, tidak tremor, pigmentasi kulit normal.

7) Sistem Saraf

Klien tidak mengalami kelumpuhan, koordinasi gerakan

klien baik, tingkat kesadaran compos mentis, tidak terdapat nyeri

otot, refleks sendi normal.

8) Sistem Muskuloskeletal

Tidak terdapat kaku pada otot, tidak ada nyeri tekan,

keadaan otot normal, kekuatan otot 4444 (bisa bergerak melawan

tahanan pemeriksa tetapi kekuatan berkurang).


54

9) Sistem Integumen

Turgor kulit baik, warna kulit normal, keadaan kulit normal

tidak terdapat lesi, dan jenis kulit lembab.

10) Sistem Reproduksi

Klien tidak bersedia dilakukan pemeriksaan.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Laboratorium :

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hematologi 13,6 g% 12,5 – 16

Leukosit 4,700 /π/ 4,0 – 10,5

Trombosit 82,000 juta /π/ 150,rb–450,rb

Hematokrit/PCV 42,4 % 36 – 45

KLASIFIKASI DATA

Data Obyektif Data Subjektif


2. Klien tampak terbaring lemas 1. Klien mengatakan badannya panas naik
3. Wajah klien tampak menahan nyeri turun sejak 3 hari sebelum masuk rumah
4. Klien tampak gelisah sakit
5. Klien tampak nafsu makan menurun 2. Klien mengatakan panasnya tinggi pada
6. TTV waktu siang dan malam hari.
TD : 100/70 mmHG 3. Klien mengeluh pusing
SB : 390C 4. Klien mengeluh mual muntah
N : 100 x/m 5. Klien mengatakan nyeri pada perut
R : 20 x/m sebelah kiri bawah
7. BB 6. Klien mengatakan lidah terasa pahit
Sebelum Sakit : 45 Kg
Saat Sakit : 42 Kg
55

ANALISA DATA

Data Etiologi Masalah


DS : Demam Termoregulasi tidak efektif b.d
1. Klien mengatakan fluktuasi suhu lingkungan,
badannya panas Merangsan sitesis dan proses penyakit
naik turun sejak 3 pelepasan zat pirogen oleh
hari sebelum masuk leukosit.
rumah sakit
2. Klien mengatakan Mengeluarkan endotoksin
panasnya tinggi
pada waktu siang Bakteri salmonella thypi dan
dan malam hari. parathypi
3. Klien mengeluh
pusing Panas naik turun

DO : Termoregulasi tidak efektif


1. Klien tampak
terbaring lemah
2. TTV
TD : 100/70 mmHg
SB : 390C
N : 100 x/m
R : 20 x/m
56

ANALISA DATA

Data Etiologi Masalah


DS : Infeksi kuman pada usus halus Nyeri Akut b.d proses
1. Klien mengatakan nyeri peradangan
pada perut sebelah kiri Peradangan pada usus halus
bawah
2. P : Nyeri dirasakan Mengeluarkan endotoksin
tiba-tiba
3. Q : Nyeri dirasakan Reaksi Inflamasi
hilang timbul seperti
ditusuk-tusuk Nyeri Akut
4. R : Nyeri dirasakan
dibagian perut kiri
bawah
5. S : Skala Nyeri 4
6. T : Lama Nyeri +- 4-10
m
DO :
1. Wajah klien nampak
menahan nyeri
2. Klien tampak gelisah
TD : 100/70 mmHg
SB : 390C
N : 100 x/m
R : 20 x/m
57

ANALISA DATA

Data Etiologi Masalah


DS : Intake in adekuat Defisit Nutrisi b.d intake yang
1. Klien mengeluh mual tidak adekuat
muntah Anoreksi
2. Klien mengeluh lidah
terasa pahit Disfungsi usus

DO : Peradangan pada usus halus


1. Klien tampak nafsu
makan menurun Kurangnya nafsu makan
2. BB :
Sebelum Sakit : 45 Kg Defisit Nutrisi
Saat Sakit : 42 Kg
58

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Standar Diagnosa Standar Luaran Standar Intervensi


No Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 Termoregulasi tidak efektif Setalah dilakukan 1. Monitor tekanan
b/d fluktuasi suhu tindakan keperawatan darah, frekuensi
lingkungan, proses penyakit diharapkan termoregulasi pernafasan dan nadi.
Kategori : Lingkungan membaik dengan kriteria 2. Monitor dan catat
Subkategori : Keamanan hasil : tanda dan gejala
dan Proteksi 1. TTV dalam rentang hipotermia atau
Definisi : Kegagalan normal hipertermia
mempertahankan suhu tubuh 2. Tidak ada perubahan 3. Gunakan matras
dalam rentang normal. kulit dan tidak pusing penghangat, selimut
Dibuktikan dengan : hangat, dan
DS : penghangat ruangan
1. Klien mengatakan untuk menaikkan suhu
badannya panas naik tubuh, jika perlu
turun sejak 3 hari 4. Sesuaikan suhu
sebelum masuk lingkungan dengan
rumah sakit kebutuhan pasien.
2. Klien mengatakan 5. Pemberian antipiretik
panasnya tinggi pada jika perlu
waktu siang dan
malam hari.
3. Klien mengeluh
pusing
DO :
1. Klien tampak
terbaring lemah
59

2. TTV
TD : 100/70 mmHg
SB : 390C
N : 100 x/m
R : 20 x/m
2 Nyeri Akut b/d proses Setelah dilakukan 1. Identifikasi lokasi,
peradangan tindakan keperawatan karakteristik, durasi,
Kategori : Psikilogis diharapkan tingkat nyeri frekuensi, kualitas,
Subkategori : Nyeri dan menurun. intensitas nyeri.
Kenyamanan Dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi factor
Definisi : Pengalaman 1. Keluhan nyeri yang memperberat
sensorik atau emosional yang menurun dan memperingan
berkaitan dengan kerusakan 2. Kemampuan nyeri
jaringan actual atau menuntaskan 3. Berikan teknik non
fungsional, dengan onset aktivitas meningkat farmakologi untuk
mendadak atau lambat dan 3. Gelisah menurun mengurang rasa nyeri
berintensitas ringan hingga 4. Kesulitan tidur (mis. TENS, hypnosis,
berat yang berlangsung menurun akupresur, terapi
kurang dari 3 bulan. music, biofeedback,
Dibuktikan dengan : terapi pijat, aroma
DS : terapi, teknik
1. Klien mengatakan nyeri imajinasi terbimbing,
pada perut sebelah kiri kompres
bawah hangat/dingin, terapi
2. P : Nyeri dirasakan tiba- bermain).
tiba 4. Ajarkan teknik non
3. Q : Nyeri dirasakan farmakologis untuk
hilang timbul seperti mengurangi rasa nyeri
ditusuk-tusuk 5. Kolaborasi pemberian
4. R : Nyeri dirasakan analgetik, jika perlu
dibagian perut kiri bawah
60

5. S : Skala Nyeri 4
6. T : Lama Nyeri +- 4-10m
DO :
1. Wajah klien nampak
menahan nyeri
2. Klien tampak gelisah
TD : 100/70 mmHg
SB : 390C
N : 100 x/m
R : 20 x/m
3 Defisit Nutrisi b.d intake Setelah dilakukan 1. Identifikasi kebutuhan
yang tidak adekuat tindakan keperawatan kalori dan jenis
Kategori : Fisiologis diharapkan status nutrisi nutrient.
Subkategori : Nutrisi dan membaik. 2. Monitor asupan
Cairan Dengan kriteria hasil : makanan
Definisi : Asupan nutrisi 1. Porsi makan yang 3. Berikan makanan
tidak cukup untuk memenuhi dihabiskan meningkat tinggi kalori dan
kebutuhan metabolisme. 2. Kekuatan otot tinggi protein
Dibuktikan dengan : pengunyah meningkat 4. Berikan suplemen
DS : 3. Kekuatan otot makanan, jika perlu
1. Klien mengeluh mual menelan meningkat 5. Kolaborasi dengan
muntah 4. Berat badan Indeks ahli gizi untuk
2. Klien mengeluh lidah Masa Tubuh (IMT) menentukan jumlah
terasa pahit membaik kalori dan jenis
DO : 5. Frekuensi makan nutrient yang
1. Klien tampak nafsu membaik dibutuhkan, jika perlu
makan menurun
2. BB :
Sebelum Sakit : 45 Kg
Saat Sakit : 42 Kg
61
62

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

No.
Hari / Tgl Jam Implementasi Evaluasi
Dx
1 09.00 1. Memonitor tekanan darah, S :
frekuensi pernafasan dan nadi. 1. Klien mengatakan
d/h : badannya panas naik
TD : 100/70 mmHg turun sejak 3 hari
SB : 390C sebelum masuk
N : 100 x/m rumah sakit
R : 20 x/m 2. Klien mengatakan
09.05 2. Memonitor dan catat tanda panasnya tinggi pada
dan gejala hipotermia atau waktu siang dan
hipertermia malam hari.
d/h : 3. Klien mengeluh
Masih terdapat tanda-tanda pusing
hipotermia atau hipertermia O:
09.10 3. Menggunakan matras 1. Klien tampak
penghangat, selimut hangat, terbaring lemah
dan penghangat ruangan 2. TTV
untuk menaikkan suhu tubuh, TD : 100/70 mmHg
jika perlu SB : 390C
d/h : N : 100 x/m
Klien mengerti dan dapat R : 20 x/m
melakukan A:
09.20 4. Menyesuaikan suhu Masalah belum teratasi
lingkungan dengan kebutuhan P :
pasien. Lanjutkan Intervensi
d/h : 1. Monitor tekanan
Klien dan Keluarga paham darah, frekuensi
63

09.30 5. Pemberian antipiretik jika pernafasan dan nadi.


perlu 2. Monitor dan catat
d/h : tanda dan gejala
Diberikan antipiretik hipotermia atau
hipertermia
3. Gunakan matras
penghangat, selimut
hangat, dan
penghangat ruangan
untuk menaikkan
suhu tubuh, jika perlu
4. Sesuaikan suhu
lingkungan dengan
kebutuhan pasien.
5. Pemberian antipiretik
jika perlu
2 09.35 1. Mengidentifikasi lokasi, S :
karakteristik, durasi, 1. Klien mengatakan nyeri
frekuensi, kualitas, intensitas pada perut sebelah kiri
nyeri. bawah
d/h : 2. P : Nyeri dirasakan tiba-
P : Nyeri dirasakan tiba-tiba tiba
Q : Nyeri dirasakan 3. Q : Nyeri dirasakan
hilangtimbul seperti ditusuk- hilang timbul seperti
tusuk ditusuk-tusuk
R : Nyeri dirasakan dibagian 4. R : Nyeri dirasakan
perut kiri bawah dibagian perut kiri bawah
S : Skala Nyeri 4 5. S : Skala Nyeri 4
T : Lama Nyeri +- 4-10m 6. T : Lama Nyeri +- 4-10m
09.40 2. Mengidentifikasi factor yang O :
memperberat dan 1. Wajah klien nampak
64

memperingan nyeri menahan nyeri


d/h : 2. Klien tampak gelisah
Faktor yang menyebabkannya TD : 100/70 mmHg
yaitu naik turunnya panas SB : 390C
klien N : 100 x/m
09.45 3. Memberikan teknik non R : 20 x/m
farmakologi untuk mengurang A :
rasa nyeri (mis. TENS, Masalah belum teratasi
hypnosis, akupresur, terapi P :
music, biofeedback, terapi Lanjutkan Intervensi
pijat, aroma terapi, teknik 1. Identifikasi lokasi,
imajinasi terbimbing, kompres karakteristik, durasi,
hangat/dingin, terapi frekuensi, kualitas,
bermain). intensitas nyeri.
d/h : 2. Identifikasi factor yang
Klien diberikan kompres memperberat dan
hangat jika panas naik memperingan nyeri
09.50 4. Mengajarkan teknik non 3. Berikan teknik non
farmakologis untuk farmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri mengurang rasa nyeri
d/h : (mis. TENS, hypnosis,
Klien paham dan dapat akupresur, terapi music,
melakukan biofeedback, terapi pijat,
09.55 5. Kolaborasi pemberian aroma terapi, teknik
analgetik, jika perlu imajinasi terbimbing,
d/h : kompres hangat/dingin,
Diberikan analgetik terapi bermain).
4. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
5. Kolaborasi pemberian
65

analgetik, jika perlu


3 10.00 1. Mengidentifikasi kebutuhan S :
kalori dan jenis nutrient. 1. Klien mengeluh mual
d/h : muntah
Jenis makanan yang 2. Klien mengeluh lidah
dikonsumsi sesuai dengan terasa pahit
anjuran dokter O:
10.05 2. Memonitor asupan makanan 1. Klien tampak nafsu
d/h : makan menurun
Asupan makanan yang 2. BB :
dikonsumsi sesuai dengan Sebelum Sakit : 45 Kg
anjuran dokter Saat Sakit : 42 Kg
10.10 3. Memberikan makanan tinggi A :
kalori dan tinggi protein Masalah beelum teratasi
d/h : P:
Makanan telah diberikan Lanjutkan intervensi
sesuai dengan anjuran 1. Identifikasi kebutuhan
10.15 4. Berikan suplemen makanan, kalori dan jenis nutrient.
jika perlu 2. Monitor asupan makanan
d/h : 3. Berikan makanan tinggi
Suplemen diberikan jika klien kalori dan tinggi protein
menolak untuk makan 4. Berikan suplemen
10.20 5. Kolaborasi dengan ahli gizi makanan, jika perlu
untuk menentukan jumlah 5. Kolaborasi dengan ahli
kalori dan jenis nutrient yang gizi untuk menentukan
dibutuhkan, jika perlu jumlah kalori dan jenis
d/h : nutrient yang dibutuhkan,
Hasil kolaborasi yakni jika perlu
pemberian makanan yang
sesuai ketentuan atau anjuran
66

4.2. Pembahasan

Pada penjelasan sebelumnya penyusu telah menguraikan tentang

tinjauan teoritis dan tinjauan kasus yang diperoleh melalui pendekatan studi

langsung yang berorientasi pada klien, yang secara garis besarnya apa yang

telah diuraikan dalan tinjauan teoritis tentang “Demam Thypoid”.

Pada pembahasan kasus ini peneliti akan membahas tentang adanya

kesesuaian maupun kesenjangan antara teori dan hasil asuhan keperawatan

pada tanggal 19 Januari 2019 diruang perawatan Rumah Sakit Prof. Dr. H.

Aloei Saboe. Kegiatan yang dilakukan melalui pengkajian, diagnosa

keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan

evaluasi keperawatan.

4.2.1. Pengkajian

Hasil pengkajian Ny. RR didapatkan dengen teknik observasi

langsung dan intervensi yang dilakukan dengan keadaan klien tersebut,

didapatkan klien demam dengan suhu badan 390c, klien mengatakan

badannya panas naik turun sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit,

klien mengatakan panasnya tinggi pada waktu siang dan malam hari, KU

compos mentis, dan klien tampak terbaring lemah

Menurut Sudoyono A. W., (2010) dalam Handu (2018) yang

mengatakan bahwa hipertermi masalah yang muncul pada demam

typhoid. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang


67

timbul pada semua penderita demam typhoid yang memiliki tanda dan

gejala demam berlangsung 3 minggu suhu bersifat remitem.

Teori tersebut sejalan dengan penelitian Kristina Handu (2018)

pada dua pasien Typhoid yang dirawat di ruang perawatan anak RS SMC

Samarinda pada tanggal 18 April – 10 Mei 2019, peneliti menemukan

masalah demam pada kedua pasien dengan data yang menunjang.

4.2.2. Diagnosa Keperawatan

Setelah dilakukan pengkajian, selanjutnya data tersebut dianalisa

untuk mendapatkan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan

adalah proses menganalisis data subjektif dan objektif yang telah

diperoleh pada tahap pengkajian untuk menegakkan diagnosa

keperawatan.

Melalui pengkajian yang dilakukan pada Ny. RR diagnosa

keperawatan yang muncul pada Ny. RR yaitu termoregulasi tidak efektif,

nyeri akut, dan defisit nutrisi. Dan yang menjadi diagnosa prioritas

utama pada studi kasus ini adalah termoregulasi tidak efektif.

Sesuai dengan studi kasus yang dilakukan oleh M. Rifqi Nahdi

(2015) peneliti memprioritaskan masalah demam sebagai diagnosa

pertama karena peneliti beranggapan bahwa kebutuhan klien pada

masalah ini untuk menurunkan suhu tubuh ke dalam batas normal.

Karena jika tidak diatasi dengan segera akan mengakibatkan komplikasi

kejang berkelanjutan, epilepsi, dehidrasi dan kematian (Sodikim, 2012

dalam Nahdi, 2015).


68

4.2.3. Rencana Keperawatan

Setelah diagnosa keperawatan telah didapatkan maka selanjutnya

yaitu perencanaan. Dalam studi kasus ini rencana keperawatan dengan

intervensi yang sama telah direncanakan berdasarkan Standar Intervensi

Keperawatan Indonesia yang disesuaikan dengan kondisi klien

termoregulasi maka klien diberikan antipiretik dan di monitor tanda-

tanda vital klien. Hal ini sejalan dengan penelitian Dewi (2017) dua

pasien dengan typhoid didapatkan diagnosa keperawatan termoregulasi,

kemudian diberikan intervensi memberikan antipiretik pada kedua

pasien.

4.2.4. Implementasi Keperawatan

Pemilihan intervensi keperawatan merupakan proses yang

kompleks dan membutuhkan pemikiran kritis. Dalam studi kasus klien

diberikan antipiretik. Menurut Maryuni (2010) implementasi adalah

pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah

disusun pada tahap perencanaan. Jenis tindakan pada implementasi ini

terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan/kolaborasi, dan

tindakan rujukan/ketergantungan.

Pada Ny. RR diberikan tindakan memonitor tekanan darah,

frekuensi pernafasan dan nadi, memonitor dan catat tanda dan gejala

hipotermia atau hipertermia, menggunakan matras penghangat, selimut

hangat, dan penghangat ruangan untuk menaikkan suhu tubuh, jika

perlu, menyesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien, dan


69

memberikan antipiretik jika perlu sesuai dengan Standar Intervensi

Keperawatan Indonesia.

4.2.5. Evaluasi Keperawatan

Setelah dilakukan implementasi keperawatan, lalu dilakukan

evaluasi yang merupakan akhir dari proses penliaian pencapaian tujuan

serta pengkajian yang telah ditentukan berdasarkan keakuratan,

kelengkapan, dan kualitas data, proses evaluasi ini dilakukan dengan

menggunakan format SOAP.

Setelah diberikan tindakan keperawatan penulis mengevaluasi

perkembangan Ny. RR dilihat dari hasil tanda-tanda vital dan observasi

nyeri serta nutrisi klien, pada Ny. RR didapatkan hasil masalah

keperawatan termoregulasi tidak efektif tidak teratasi. Hal ini tidak

sejalan dengan penelitian Dewi (2017), menunjukkan klien pertama dan

kedua menunjukkan adanya penurunan keluhan untuk suhu badan..


70

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan pada klien dengan demam

thypoid di ruangan interna kelas III wanita yang dilaksanakan pada tanggal

19 Januari 2019, maka dalam bab ini dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

Untuk pengkajian melalui wawancara pada klien dan keluarga bahwa

klien mengalami panas naik turun, nyeri, dan menurunnya nafsu makan dan

berat badan menurun.

1. Dala penetapan diagnose keperawatan dirumuskan diagnose

keperawatan yaitu termoregulasi tidak efektif, nyeri akut, dan deficit

nutrisi

2. Untuk perencanaan disesuaikan dengan hasil pengkajian

3. Implementasi tindakan keperawatan semua dioperasionalkan

berdasarkan rencana yang telah dibuat

4. Dalam evaluasi menunjukkan bahwa dari tiga masalah yang diangkat

masih ada masalah yang belum teratasi tetapi sebagian besar

menunjukkan perubahan kearah kesembuhan.


71

5.2. Saran

1. Bagi Masyarakat

Dari hasil studi kasus diharapkan dapat memberikan

pengetahuan/wawasan pada masyarakat tentang cara memelihara

kesehatan khususnya bagi yang menderita demam typhoid dengan

pemenuhan kebutuhan nutrisi.

2. Bagi perkembangan ilmu dan teknologi keperawatan

Dari hasil studi kasus diharapkan dapat menambah keluasan ilmu

dan teknologi dalam bidang keperawatan khususnya dalam keperawatan

medical bedah system pencernaan.

3. Pelaksaana studi kasus/peneliti selanjutnya

Dari hasil studi kasus diharapkan dapat menjadi sebagai acuan dan

contoh bagaimana pengalaman dalam mengaplikasikan pemberian

asuhan keperawatan medical bedah khususnya pada penderita demam

typhoid
72

DAFTAR PUSTAKA

Arini, D. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Anak Demam Thypoid dengan


Masalah Defisit Nutrisi di RS Panti Waluya Malang. Jurnal. Prodi DIII
Keperawatan STIKes Panti Waluya Malang
Astawan, 2018. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Anak dengan Kasus Demam
Thypoid dalam Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi di Ruang Mawar RSUD
Kota Kendari. KTI. Poltekkes Kemenkes Kendari
Bachtiar, S. 2019. Gambaran Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Thypoid dalam Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi di Rumah Sakit TK II
Pelamonia. Jurnal. Akper Muhammadiyah Makassar
Haleda, F. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Dama Thypoid di
RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango. KTI. Poltekkes Kemenkes
Gorontalo
Harnani, N. 2019.Pengaruh Kompres Bawang Merah terhadap Penurunan Suhu
Tubuh pada Pasien Demam Thypoid di RS PKU Muhammadiyah
Gombong. Skripsi. Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Muhammadiyah Gombong
Kozier et al .2016. Buku Ajar Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta

EGC

Mahdiana, R. 2010. Mengenal, Mencegah, dan Mengobati Penularan Penyakit


dari Infeksi. Yogyakarta : Citra Pustaka
Ningsih, W. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Klien Thypoid dengan Masalah
Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh Ruang Seruni
RSUD Jombang. KTI. Program Studi Diploma DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang
Nurarif dan Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa

Medis dan Nanda NIC-NOC Jilid 1. Yogyakarta : MediAction Publising


73

Nurhayati, L. 2019. Penerapan Pemberian Pendidikan Kesehatan Nutrisi untuk


Mengatasi Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
Pada Demam Tifoid. Jurnal. Akademi Keperawatan Karya Bhakti
Nusantara Magelang
Pambudi, D. 2017. Upaya Peningkatan Kebutuhan Nutrisi Pada Pasien Anak
dengan Demam Thypoid. KTI. Program Studi DIII Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pratama, E. 2018. Upaya pemenuhan Kebutuhan Nutrisi pada Anak dengan
Demam Tifoid. Jurnal. Prodi Ilmu Keolahragaan, fakultas Ilmu
Kesehatan dan Sains Universitas PGRI Madiun Indonesia
Prayoni, N. 2019. Pengelolaan Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari
Kebutuhan Tubuh Pada An. A dengan Demam Thypoid di Ruang Melati
RSUD Ungaran. Jurnal. Prodi DIII Keperawatan Fakultas Keperawatan
Universitas Ngudi Waluyo
Saputra, M. 2018. Penerapan Asuhan Keperawatan Anak dengan Kasus Demam
Tifoid dalam pemenuhan Kebutuhan Nutrisi di Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Kendari. KTI. Poltekkes Kemenkes Kendari
Sarwanti, D. 2019. Upaya Meningkatkan Pengetahuan Melalui Pendidikan
Kesehatan pada Asuhan Keperawatan Thypoid. Jurnal. Institut
Teknologi Sains dan Kesehatan PKU Muhammadiyah Surakarta
Setiati, S. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing
TIM POKJA SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI
TIM POKJA SIKI DPP PPNI. 2019. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI
TIM POKJA SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai