Anda di halaman 1dari 38

Asuhan Keperawatan

Keluarga dengan Masalah


Penyakit Tropis dan
Penyakit Kronis

Kelompok 6 :
Typhoid and Paratyphoid Fevers
DEFINISi

Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang menyerang


sistem pencernaan manusia yang disebabkan oleh Salmonella
typhi dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran
Prevalensi penyakit di dunia
dan di indonesia
DI DUNIA

Demam tifoid di negara maju terjadi mencapai 5.700 kasus setiap tahunnya,
sedangkan di negara berkembang demam tifoid mempengaruhi sekitar 21,5
juta orang per tahun (CDC, 2013 dalam Batubuaya, 2017). Secara global
diperkirakan setiap tahunnya terjadi sekitar 21 juta kasus dan 222.000
menyebabkan kematian. Demam tifoid menjadi penyebab utama terjadinya
mortalitas dan morbiditas di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah (WHO, 2016 dalam Batubuaya, 2017). Penelitian Sur (2007)
yang dilakukan di Kolkata, India menyatakan bahwa daerah dengan risiko
tinggi terkena demam tifoid adalah daerah dengan status ekonomi rendah.
DI INDONESIA

Prevalensi demam tifoid di Indonesia sebesar 1,60%, tertinggi terjadi pada


kelompok usia 5–14 tahun, karena pada usia tersebut anak kurang
memperhatikan kebersihan diri serta kebiasaan jajan sembarangan yang
dapat menyebabkan penularan penyakit demam tifoid. Prevalensi menurut
tempat tinggal paling banyak di pedesaan dibandingkan perkotaaan, dengan
pendidikan rendah dan dengan jumlah pengeluaran rumah tangga rendah
(Depkes RI, 2008).
Prevalensi Penyakit di Dunia dan di Indonesia
Pravalensi skabies di seluruh dunia dilaporkan 300 juta kasus per tahun (Chosidow
2006).pada negara industri seperti jerman,skabies terjadi secara sporadik atau dalam bentuk
endemik yang panjang (Ariza et al.2012).Baur (2013) melaporkan prevalensi skabies di india
20,4%.ona yemi (2005) juga melaporkan prevalnsi skabies di negeria 28,6%.Zayyid (2010)
melaporkan sebesar 31% prevalensi skabies pada anak berusia 10-12 tahun dipenang
malaysia.kline (2013) melaporkkan skabies umumnya endemic pada suku Abrogin di
Australia dan negara di Oceania dengan prevelensi 30%.Heukelbackh (2005) melaporkan
pravelesi scabies di Brazil 8;8% prevalensi scabies di Indonesia tahun 2008 adalah 5,6%-
12,95%.Scabies di Indonesia menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering(Azizah
2011).Insiden dan prevalensi scabies masi sangat tinggi Indonesia terutama pada lingkungan
masyarakat pesantren. Hal ini tercemin dari penelitian Ma’rufi et al.
PATOFISIOLOGI TYPHOID DAN
PARATYPHOID FEVER
Penyebab tifoid adalah kuman Salmonella typhi, sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh
kuman Salmonella Paratyphi A,B, dan C. Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella
Paratyphi A,B, dan C ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan di lambung dan sebagian lagi lolos masuk kedalam usus dan
selanjutnya berkembang biak.

Jika respon imunitas humoral mukosa (igA) usus kurang baik, maka basil salmonella akan
menembus sel sel epitel (sel M) dan selanjutnya menuju lamina propia dan berkembang biak di
jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal dan kelenjar getah bening mesenterika. Basil tersebut
masuk ke aliran darah (bakterimia) melalui duktus thoracicus dan menyebar ke seluruh organ retikulo
endotalial tubuh, terutama hati. Di organ ini, kuman Salmonella typhi dan Salmonella Paratyphi A,B,
dan C berkembang biak dan masuk sirkulasi darah lagi, sehingga mengakibatkan bakterimia ke dua
yang disertai tanda dan gejala infeksi sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler dan gangguan mental koagulasi).

Perdarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak peyeriyang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia. Proses patologis ini dapat berlangsung hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan mengakibatkan perforasi. Endotoksin basil menempel di reseptor sel endotel kapiler
dan dapat mengakibatkan komplikasi, seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler, pernafasan,
dan gangguan organ lainnya (Handu Kristina, 2018).
Kebijakan Pemerintah
PERMENKES RI NO 82 TAHUN 2014 Tentang
Penanggulangan Penyakit Menular BAB II
KELOMPOK DAN JENIS PENYAKIT MENULAR
Pasal 4 Ayat :

1 Berdasarkan cara penularannya, Penyakit Menular


dikelompokkan menjadi :
a. penyakit menular langsung; dan
b. penyakit tular vektor dan binatang pembawa
penyakit.

2. Penyakit menular langsung sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) terdiri atas pada point f yakni Thypoid
KEMENKES RI NO 364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid

Pada Tatalaksana Pengobatan dan Perawatan


1. Perawatan Umum dan Nutrisi
Sebaiknya dirawat di rumah sakit atau pelayanan kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan dengan
tujuan :
a. - Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan
b. - Observasi terhadap perjalanan penyakit
c. - Minimalisasi komplikasi
d. - Isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan atau kontaminasi
meliputi : tirah baring, nutrisi (cairan diet, terapi simptomatik), kontrol dan monitor dalam perawatan

2. Anti Mikroba meliputi kebijakan dasar pemberian anti mikroba, pilihan anti mikroba untuk demam tifoid,
strategi pemberian anti mikroba untuk tifoid

3. Pengobatan dan perawatan komplikasi


Prinsip :
- Komplikasi demam tifoid harus terdeteksi secara dini
- Monitor dan evaluasi, baik klinis maupun laboratoris harus terlaksana secara adekuat
- Bila komplikasi ada, terapi yang tepat segera di berikan. Bila komplikasi berbahaya, harus di laksanakan
perawatan intensif serta di rawat secara bersama dari bermacam-macam disiplin spesialis yang terkait
- Pengobatan dan perawatan standar tifoid harus tetap terlaksana
Terapi komplikasi tifoid : tifoid toksik, syok septik, perdarahan dan perforasi, dan komplikasi lain
4. Perawatan mandiri di rumah

A. Syarat - Syarat

A. Syarat untuk penderita :


• - Penderita dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi serta tak ada komorbid yang
membahayakan.
• - Penderita dengan kesadaran baik dan dapat makan minum dengan baik pula
• - Penderita dengan keluarganya cukup mengerti tentang cara-cara merawat serta cukup paham tentang
petanda bahaya yang akan timbul dari tifoid.
• - Rumah tangga penderita memiliki atau dapat melaksanakan sistem pembuangan ekskreta (feses, urin,
muntahan) yang memenuhi syarat-syarat kesehatan
• - Penderita dengan keluarganya harus mengikuti program pengobatan yang di berikan oleh dokter

B. Syarat untuk tenaga kesehatan


• - Dokter yang merawat bertanggung jawab penuh terhadap pengobatan dan perawatan pasiennya.
• - Dokter sangat yakin dan dapat memprediksi bahwa penderita tidak akan menghadapi bahaya- bahaya
yang serius
• - Pada prinsipnya semua kegiatan penatalaksanaan tifoid dapat di laksanakan seperti Istirahat dan
pentahapan mobilisasi, Diet yang benar untuk demam tifoid, dan Pemberian obat-obatan
• - Dokter mengunjungi pasiennya tiap hari. Bila tidak bisa harus diwakili oleh seorang perawat yang mampu
merawat tifoid
• - Dokter mempunyai hubungan komunikaşi yang lancar dengan keluarga pasien.
C. Penyelenggaraan
• - Pasien yang dirawat dapat 2 tipe yakni sejak awal sakit
dirawat di rumah atau lanjutan perawatan dari rumah sakit -
Dokter menerangkan secara jelas terhadap tatacara
pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari tifoid yang
harus di ketahui pasien dan keluarganya.
• - Tatacara ini (diet, pentahapan mobilisasi dan komsumsi obat)
sebaiknya diperhatikan atau dilihat langsung oleh dokter,
bahwa keluarga pasien telah memahaminya dan mampu
melaksanakan.
• - Dokter dan atau perawat mengunjungi pasien secara reguler
(tiap hari)
• - Aturan serta perubahan-perubahan dari terapi dilaksanakan
oleh dokter sesuai prosedur yang telah ditetapkan (Pedoman
Tatalaksana Demam Tifoid Bagi Tenaga Kesehatan)
• - Bila pasien mempunyai petanda kegawatan, harus segera
dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan.
Rencana Strategis
Pemerintah
Untuk Pengendalian
Penyakit
Implementasi yang Telah Dilakukan
Pemerintah Ditingkat Pelayanan / Komunitas

1. Peran pemerintah dalam program pengendalian tifoid

Di Indonesia, peran pemerintah pusat dan daerah merupakan peluang sekaligus kekuatan untuk meningkatkan dan memperkuat program
pengendalian tifoid dalam mencegah dan menurunkan angka kesakitan dan kematian tifoid, yaitu diterbitkannya Permenkes tentang
Struktur Organisasi, pedoman manajemen pengendalian tifoid, rencana aksi kegiatan pengendalian tifoid, tersedianya sarana dan
prasarana KIE, adanya kerjasama lintas program mencakup PHBS, air bersih, jamban dan sanitasi darurat, serta kegiatan
penyuluhan (KIE) tentang pencegahan tifoid.

2. Vaksin tifoid

Di Indonesia saat ini telah tersedia 2 jenis vaksin tifoid, yaitu Vaksin Vi kapsuler poli sakarida dan Vaksin kombinasi Vi kapsuler
polisakarida dan hepatitis A inaktif, Vaksin kombinasi Vi kapsuler polisakarida dan hepatitis A inaktif (double)
Implementasi yang Telah Dilakukan
Pemerintah Ditingkat Pelayanan / Komunitas

3. BPJS dalam pengobatan penderita tifoid.

Bila penderita tifoid tidak berobat misalnya karena keterbatasan biaya, maka penderita tersebut berisiko menjadi karier dan sebagai sumber
penularan penyakit, atau relaps dan resistensi. Dengan adanya pembiayaan dari BPJS, maka meningkatkan kesempatan memperoleh
pengobatan khususnya pada penderita yang kurang mampu.

4. Akreditasi rumah sakit

Salah satu simpul pengendalian penyakit tifoid adalah pengendalian pada sumbernya. Oleh karena itu kemampuan manajemen kasus sesuai
dengan SOP mulai dari diagnosis hingga sembuh sangat penting untuk diterapkan. Dengan adanya akreditasi rumah sakit yang dilaksanakan
oleh Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan KARS maupun JCI secara berkala, maka secara tidak langsung mengurangi
kemungkinan terjadinya karier tifoid, relaps, dan resistensi
Implementasi yang Telah Dilakukan
Pemerintah Ditingkat Pelayanan / Komunitas

5. Peran jejaring kerja dalam program pengendalian tifoid

Dalam melaksanakan upaya pengendalian tifoid, dapat melibatkan berbagai sektor, kelompok masyarakat, dan lembaga pemerintah untuk
bekerjasama berdasarkan atas kesepakatan, prinsip dan peranan masing-masing mitra dalam pengendalian tifoid. Upaya tersebut diwujudkan
dengan membentuk jejaring, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional. 

Tujuan dari jejaring kerja ini adalah: 

1) Meningkatnya komitmen pemerintah dan mitra terkait di masyarakat dalam upaya pengendalian tifoid, dan 

2) Adanya harmonisasi dan sinergi dalam berbagai kegiatan.


ASPEK PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN TIFOID
(Kepmenkes RI Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 Tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid)

Ada 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan yakni :


1. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid
2. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan
3. Perlindungan dini agar tidak tertular
KEGIATAN DALAM ASPEK
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
TIFOID DAN PARATIFOID
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS PENCEGAHAN KARIER, RELAPS, DAN
RESISTENSI TIFOID

Kegiatan yang strategis ini merupakan pilar pertama dalam program pencegahan, yang meliputi :
a. Terlaksananya monitor dan kontrol yang ketat terhadap pemakaian antibiotika yang bebas oleh masyarakat
b. Setiap RS atau institusi kesehatan lain yang merawat pasien, memiliki standar medis penatalaksanaan
tifoid dan konsisten mengimplementasikannya
c. Setiap RS memiliki aturan-aturan pemakaian antibiotika yang terpola dengan baik
d. Terhadap setiap kasus tifoid :
● Terlaksananya program perawatan akurat dan adekuat
● Pilihan antibiotika dengan efikasi dan daya pencegahan karier yang terbaik
● Dosis dan lama pemberian yang tepat
● Terlaksananya monitor terhadap kemungkinan karier dengan biakan feses secara serial
● Bila ada kasus karier : Terapi dengan quinolone selama 4 minggu (Siprofiloksasin 2x750mg atau
Norfiloksasin 2x400 mg)
● Bila ada resistensi terhadap obat lini pertama, maka terapi antibiotika selanjutnya lebih baik menurut hasil
uji kepekaan namun tetap dipilih dari antibiotika yang dikenal sensitif untuk tifoid serta mempunyai daya
penetrasi jaringan yang baik seperti Sefriakson dari Sefalosporin generasi ke 3
PERBAIKAN SANITASI LINGKUNGAN

Beberapa hal yang menjadi masalah dalam kesehatan


lingkungan adalah penyediaan air minum, pengawasan
terhadap makanan dan air serta sistem pembuangan kotoran
dan limbah. Beberapa usaha perbaikan sanitasi lingkungan
adalah:
● Penyediaan air bersih untuk seluruh warga
● Jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan
● Pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah, harus benar,
sehingga tidak mencemari lingkungan
● Kontrol dan pengawasan kebersihan lingkungan
● Membudayakan perilaku hidup bersih dan lingkungan
bersih untuk seluruh lapisan masyarakat
PENINGKATAN HYGIENE MAKANAN DAN
MINUMAN
Transmisi utama Salmonella melalui air minum dan makanan sehingga hygiene makanan dan
minuman yang terjamin menjadi factor penting dalam pencegahan. Beberapa kegiatan yang
perlu dilaksanakan antara lain :
a. Golden rule of WHO dalam promosi kebersihan makanan :
● Pilih hati-hati makanan yang sudah diproses, demi keamanan
● Panaskan kembali secara benar makanan yang sudah dimasak.
● Hindarkan kontak makanan mentah dengan sudah dimasak.
● Mencuci tangan dengan sabun.
● Gunakan air bersih atau air yang dibersihkan
● Permukaan dapur di bersihkan dengan cermat.
● Lindungi makanan dari serangga, binatang mengerat dan binatang lainnya.
PENINGKATAN HYGIENE MAKANAN DAN
MINUMAN

b. Menggunakan cara cermat dan bersih dalam pengolahan hingga


penyajian makanan
c. Mendorong penggunaan ASI untuk bayi, serta mendidihkan
seluruh susu dan air yang digunakan sebagai makanan bayi
d. Memasak dan pasteurisasi susu
e. Quality control terhadap semua hasil pertanian
f. Penggawasan restoran dan industr makanan
g. Pendidikan kesehatan masyarakat tentang hidup bersih dan
sehat
PENINGKATAN HIGIENE PERORANGAN

Merupakan pilar ketiga dari program pencegahan


yakni perlindungan diri terhadap penularan
tifoid. Kegiatan ini merupakan ciri berperilaku
hidup sehat, seperti budaya cuci tangan.
PENCEGAHAN DENGAN IMUNISASI

Terdapat 3 jenis vaksin tifoid di


Indonesia, yakni
● Vaksin oral Ty21a Vivotif Berna
● Vaksin Parenteral sel utuh : Typa
Bio Farma
● Vaksin Polisakarida Typhim Vi
Aventis Pasteur Merrieux
SURVEILANS

Surveilans merupakan pengumpulan yang sistematik, analisis, dan interpretasi yang terus menerus dari data
kesehatan penting, digunakan untuk perencanaan, penerapan, dan evaluasi tindakan yang berhubungan
dengan kesehatan masyrakat. Tujuan surveilans Tifoid meliputi :
● Menurunkan laju infeksi di masyarakat
● Mendapatkan data dasar endemic : dapat diketahui seberapa besar resiko yang dihadapi oleh setiap
penduduk
● Mengidentifikasi KLB
● Mengevaluasi sistem pengendalian
● Mengevaluasi ketajaman diagnostic secara klinis

Sasaran surveilans dibedakan menjadi


● Pelayanan kesehatan dasar : Puskesmas
● Pelayanan kesehatan tingkat II : RS Kabupaten
● Pelayanan kesehatan tingkat lanjut : RS di provinsi dengan sarana laboratorium mikrobiologi
DEFINISI KASUS

Pendefinisian tifoid yang ditetapkan untuk surveilans ialah


● Suspek demam tifoid : termasuk dalam suspek tifoid bila pasien dengan
gejala demam meningkat cepat, bertahap dan memanjang atau menetap,
disertai nyeri kepala berat, mual, nafsu makan hilang, dapat diikuti
batuk, obstipasi atau diare dan belum dibantu pemeriksaan penunjang.
● Demam tifoid klinis : penderita mengalami gejala, didukunng oleh
pemeriksaan serologi Widal positif
● Demam tifoid konfirmasi : kasus yang menunjukkan hasil biakan positif
untuk Salmonella typhi atau serologi Widal serial menunjukkan kenaikan
titer 4 kali lipat di interval pemeriksaan 5-7 hari
SISTEM PENCATATAN DAN PELAPORAN

A. PENGUMPULAN DATA
NUMERATOR
● Data yang perlu dicatat : kasus suspek tifoid, tifoid probable, dan konfirmasi. Data
esensial dari kasus meliputi data demografis (nama, usia, jenis kelamin, alamat,
tanggal masuk RS, laboratorium, antibiogram)
● Pengumpul Data : petugas rekam medis
● Sumber data : catatan medis pasien dan data mikrobiologi dari laboratorium
mikrobiologi

DENOMINATOR
● Data yang dicatat : data demografi wilayah setempat
● Sumber data dan teknik pengumpulan data dari catatan laboratorium mikrobiologi
dan data kependudukan dari institusi berwenang
B. DISEMINASI PELAPORAN

Form W1 : laporan 24 jam KLB


Form W2 : Laporan mingguan
Form LB1 : Laporan bulanan
Form SST : Laporan bulanan sistem
surveilans terpadu
Form RL2b1 : Laporan Rawat Inap
Bulanan
Form RL2a1 : Laporan rawat jalan bulanan
Form KDRS : Laporan 24 jam
kewaspadaan dini Rumah Sakit
PENANGGULANGAN KLB

Pihak unit pelayanan kesehatan (RS atau Puskesmas) segera melaporkan ke dinas kesehatan
kabupaten atau kota. Selanjutnya Dinkes membentuk tim investigator dan penanggulangan. Tim
ini melakukan kegiatan :
a. Pemantauan wilayah setempat
b. Penyidikan epidemiologi, dengan hal-hal yang perlu dikerjakan adalah;
● Menetapkan kemungkinan penyebab KLB
● Menetapkan pilihan prosedur dan spesimen yang diperlukan untuk memastikan penyebab KLB
● Memilih dan menetapkan laboratorium untuk pemeriksaan specimen
● Menetapkan siapa saja yang melaksanakan investigasi dan pengumpulan spesimen, proses
pengiriman dan transportasi
● Menentukan prosedur yang diperlukan dalam tatalaksana specimen
● Pelaksanaan penyelidikan epidemiologi lapangan ini harus dilakukan secara cepat dan
konfirmasi diagnosis mikrobiologi harus selesai dalam waktu yang cepat pula
c. Implementasi tindakan penanggulangan di lapangan
Masalah Ditingkat Keluarga
Pengendalian Ditingkat Keluarga

Beberapa kegiatan dalam aspek pencegahan dan pengendalian tifoid, diantaranya:


1. Langkah-langkah strategis pencegahan karier, relaps, resistensi tifoid
2. Perbaikan sanitasi lingkungan
3. Peningkatan higiene makanan dan minuman
4. Peningkatan higiene perorangan
5. Pencegahan dengan imunisasi
6. Survilans
7. Definisi kasus
8. Sistem pencatatan dan pelaporan
9. Penanggulangan KLB
Plan of Action Perawat
Keluarga
Plan Of Action Perawat Keluarga Terhadap Masalah Thypoid dan Parathypoid Fever :
1. Menyusun program edukasi untuk keluarga tentang upaya pencegahan atau penularan dari
penyakit tersebut seperti mengajarkan tentang cuci tangan (Langkah-langkah, tujuan, dan
lima momen penting melakukan cuci tangan).
2. Mengkaji kemampuan dan pengetahuan keluarga dalam memodifikasi lingkungannya.
3. Mengarahkan pihak keluarga untuk melakukan modifikasi terhadap lingkungan sekitarnya
seperti menjaga kebersihan rumah terutama dapur, ruang makana, dan kamar mandi, serta
mengajarkan cara mengolah makanan yang hygienis untuk keluarga.
Plan Of Action Perawat Keluarga Terhadap Masalah Thypoid dan Parathypoid Fever :

4. Mengajarkan pada anggota keluarga yang terinfeksi bakteri tersebut untuk melakukan tirah
baring selama proses pengobatan atau penyembuhan.

5. Menganjurkan pada anggota keluarga yang terinfeksi bakteri tersebut untuk meningkatkan
intake nutrisi dan intake cairan.

6. Mengajarkan pada anggota keluarga yang terinfeksi untuk melakukan diet yang mencakup
makanan tinggi serat untuk mencegah timbulnya masalah baru seperti konstipasi.
Tambahan Informasi Penting
PERBEDAAN TYPHOID & PARATYPHOID

Pembeda Typhoid Paratyphoid

Bakteri penyebab Salmonella Typhi Salmonella Paratyphi

Tanda & Gejala Relatif parah Lebih ringan

Pencegahan imunologis Vaksin typhoid Belum ada vaksin

Durasi sakit Relatif lebih lama Lebih pendek


(masa inkubasi) (1-2 Minggu) (1-10 Hari)
Referensi
Gibani, M. M., Britto, C., & Pollard, A. J. (2018). Typhoid and paratyphoid fever: a call to
action. Current opinion in infectious diseases, 31(5), 440.

Handu, Kristina. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Anak dengan Demam Typhoid di
Rumah Sakit Samarinda Medika Citra. Kalimantan Timur ; Politeknik Kesehatan
Kementrian Kesehatan.

KEMENKES RI NO 364/MENKES/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam


Tifoid

PERMENKES RI NO 82 TAHUN 2014 Tentang Penanggulangan Penyakit Menular

Stanaway, J. D., Reiner, R. C., Blacker, B. F. I. (2019). The global burden of typhoid and
paratyphoid fevers: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2017.
The Lancet Infectious Diseases, 19(4), 369-381.

Ulfa, Farissa. (2018). Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Pagiyanten.
HIGEIA, 2 (2).

Anda mungkin juga menyukai