Anda di halaman 1dari 2

Mahasiswa dikenal memiliki prevalensi lebih tinggi terhadap insomnia dibandingkan

pada populasi umum (Jiang et al., 2015). Gangguan ini ditandai dengan kesulitan memulai

atau mempertahankan tidur atau keduanya meskipun ada kesempatan untuk melakukannya

(Sathivel and Setyawati, 2017). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Peach, Gaultney

and Gray, 2016) terdapat 27% dari total 1.845 mahasiswa yang diteliti mengalami setidaknya

satu jenis gangguan tidur, dimana insomnia menjadi gangguan tidur yang paling banyak

dialami oleh mahasiswa. (Alqudah et al., 2019) mengungkapkan prevalensi kejadian

insomnia yang tinggi pada mahasiswa kesehatan. Pada penelitian yang dilakukan (Gallego-

Gómez et al., 2021) dijelaskan bahwa mahasiswa keperawatan bahkan lebih rentan untuk

mengalami gangguan tidur daripada mahasiswa kesehatan lainnya, dengan satu dari empat

mahasiswa keperawatan melaporkan insomnia.

Mahasiswa memiliki tuntutan dan beban akademik maupun non akademik yang besar.

Beban yang terlalu besar dapat mempengaruhi pembagian waktu yang berakibat pada

berubahnya kebiasaan tidur dan gaya hidupnya (Hutagalung, Marni and Erianti, 2022).

Kebiasaan tidur yang buruk dapat dipengaruhi oleh praktik sleep hygiene yang buruk

(Nugroho, 2015). Selain itu gaya hidup mahasiswa yang kurang dalam melakukan aktivitas

fisik berakibat pada sulitnya untuk memulai tidur. (Baso, Miranda and Langi, 2018).

Hubungan aktivitas fisik dan perilaku sleep hygiene dengan kejadian insomnia pada

mahasiswa belum dapat dijelaskan.

yang dilakukan dapat menyebabkan kelelahan yang akan mempercepat seseorang

untuk tidur karena tahap tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) diperpendek (Baso,

Miranda and Langi, 2018)


menghasilkan protein DIPS (delta inducing peptide sleep) yang akan mempermudah

seseorang untuk tidur. Orang yang melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan akan lebih

cepat untuk tidur karena tahap tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) diperpendek

(Apriana, 2015).

Anda mungkin juga menyukai