Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Definisi Remaja

Remaja adalah suatu masa transisi dari masa anak ke masa

dewasa, dimana masa remaja merupakan periode terjadinya

pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik,

psikologis maupun intelektual. Menurut peraturan Menteri Kesehatan

RI Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia

10-18 tahun atau berakhir belasan tahun dan menurut Badan

Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja

adalah 10-25 tahun dan belum menikah (Departemen Kesehatan RI,

2015).

Pada masa ini begitu pesat mengalami pertumbuhan dan

perkembangan fisik maupun mental, baik secara emosi, tubuh, minat,

pola perilaku dan juga penuh dengan masalah-masalah pada remaja

(Diananda, 2018 dalam Nugraha, 2019). Penelitian (Agustin, D. &

Herawati, 2013) mengemukakan bahwa usia remaja menuju dewasa

dimulai dari usia 11-22 tahun yang disertai dengan perubahan fisik,

kepribadian, kognitif, psikososial dalam rangka pembentukan identitas

diri.

2. Fase Remaja

11
12

Menurut (Diananda, 2018 dalam Nugraha, 2019) remaja dapat

dikelompokkan dalam beberapa tahapan seperti berikut ini:

a. Pra Remaja (11atau 12 – 13 atau 14 tahun)

Pada fase ini perkembangan fungsi tubuh mengalami

perubahan-perubahan termasuk perubahan hormonal yang dapat

menyebabkan perubahan suasana hati yang tak bisa diduga. Fase

ini dikatakan juga fase negatif karena terlihat tingkah laku yang

cenderung negatif. Fase yang sukar untuk hubungan komunikasi

antara anak dan orang tua (Diananda, 2018 dalam Nugraha,

2019).

b. Remaja Awal (13 atau 14 tahun – 17 tahun)

Pada fase ini terjadi perubahan yang sangat pesat dan

mencapai puncaknya. Ketidakseimbangan emosional dan

ketidakstabilan dalam banyak hal terdapat pada usia ini. Pola

hubungan sosial mulai berubah serta pada masa perkembangan

ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol,

pemikiran semakin logis, idealis dan semakin banyak waktu

diluangkan diluar keluarga (Diananda, 2018 dalam Nugraha,

2019).

c. Remaja Lanjut (17-20 atau 21 tahun)

Pada fase ini seseorang ingin menjadi pusat perhatian,

idealis, mempunyai cita-cita tinggi, bersemangat dan mempunyai

energi yang besar, berusaha untuk memantapkan identitas diri dan

ingin mencapai ketidaktergantungan emosional. Pada fase remaja


13

ini terdapat perubahan fisik yang terjadi, misalnya perubahan

pada karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada,

pelebaran pinggang untuk anak perempuan sedangkan pada anak

laki-laki tumbuhnya kumis, jenggot serta perubahan suara yang

semakin dalam (Diananda, 2018 dalam Nugraha, 2019).

Pada masa remaja ini pula arus globalisasi sangat

mempengaruhi kehidupan individu mulai dari teknologi dan gaya

hidup. Masuknya beragam teknologi tentu akan berdampak pada

kesehatan apabila tidak mengerti cara penggunaan teknologi

dengan benar. Banyak remaja saat ini yang salah mengartikan

atau menggunakan kecanggihan dari teknologi tersebut. Salah

satu contohnya adalah internet, sebuah penelitian

mengungkapkan rata-rata orang menggunakan internet adalah 6

jam dalam sehari dan beberapa lainnya bisa sampai 10 jam

bahkan lebih dalam sehari. Hal tersebut membuat seseorang

malas untuk melakukan aktivitas olahraga yang seharusnya

sangat dibutuhkan oleh tubuh sehingga cenderung menyebabkan

terjadinya overweight (Javadian, 2015).

Pada remaja yang mengalami overweight banyak

melakukan posisi statis seperti duduk dan berdiri selama proses

belajar yang berlangsung lama sehingga sering mengeluh nyeri,

keterbatasan gerak dan mengalami gangguan postur dalam waktu

yang lama akan mengakibatkan tightness atau pemendekan otot


14

sehingga menyebabkan penurunan pada fleksibilitas (Lubis,

2015).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi berat tubuh remaja

diantaranya pola konsumsi tinggi energi dan kurangnya aktivitas

fisik, seperti menonton televisi dan bermain computer/video

games. Kedua aktivitas tersebut tergolong dalam sedentary

lifestyle yaitu gaya hidup santai dan minimalis aktivitas fisik

sehingga dapat menyebabkan terjadinya overweight (Oktaviani,

2012).

Penyebab yang mendasar terjadinya overweight dan

obesitas adalah ketidakseimbangan kalori makanan yang masuk

dengan kalori yang dikeluarkan. Remaja cenderung memiliki

sifat yang konsumtif, memiliki pola konsumsi yang tidak

beraturan karena pada masa ini remaja mengalami tahap

pertumbuhan sehingga cenderung memilih makanan cepat saji

yang memiliki kadar glukosa dan lemak yang cukup tinggi. Jenis

makanan inilah yang berdampak pada berat badan yang berlebih

dan memicu timbulnya penyakit degeneratif seperti Diabetes

Mellitus (Marine 2015, dalam Rizqi 2016).

B. Sistem Hormonal pada Remaja Putri

Pada masa remaja terjadi peralihan individu matang secara fisiologik,

psikologik, mental, emosional, dan sosial. Masa remaja ditandai dengan

munculnya karakteristik seks primer, hal tersebut dipengaruhi oleh mulai


15

bekerjanya kelenjar reproduksi. Kejadian yang muncul saat pubertas adalah

pertumbuhan badan yang cepat, timbulnya ciri-ciri kelamin sekunder,

menarke, dan perubahan psikis. Pada wanita, pubertas ditandai dengan

terjadinya haid atau menstruasi. Menarke merupakan pertanda berakhirnya

masa pubertas, masa peralihan dari masa anak menuju dewasa. Haid yang

dialami para wanita remaja dapat menimbulkan masalah, salah satunya adalah

dismenore atau nyeri haid (Oktaviani, 2012).

Dismenore merupakan masalah ginekologis yang paling umum dialami

wanita baik remaja maupun dewasa. Hormon estrogen pada perempuan juga

berperan dalam penimbunan lemak perut. Pada wanita dengan kelebihan berat

badan cenderung memiliki lemak berlebih yang dapat memicu timbulnya

hormon yang dapat mengganggu sistem reproduksi pada saat haid sehingga

menimbulkan nyeri. Ditemukan bahwa kelebihan berat badan memiliki

frekuensi dismenore primer dua kali lebih besar dibandingkan dengan berat

badan normal dan memungkinkan mengalami nyeri yang lebih lama

(Diananda, 2018).

Menurut Singh et al (2015) dalam hasil penelitiannya, dari total wanita

yang mengisi kuisioner didapatkan 79,43% memiliki kebiasaan memakan

makanan cepat saji (junk food) didapatkan 16,82% di antaranya menderita

dismenore. Makanan cepat saji memiliki kandungan gizi yang tidak seimbang

yaitu tinggi kalori, tinggi lemak, tinggi gula, dan rendah serat. Kandungan

asam lemak yang terdapat didalam makanan cepat saji dapat mengganggu

metabolisme progesteron pada fase luteal dari siklus menstruasi. Akibatnya


16

terjadi peningkatan kadar prostaglandin yang akan menyebabkan rasa nyeri

pada saat dismenore.

C. Komponen Indeks Massa Tubuh

1. Tinggi Badan

Menurut Maksum (2007) dalam Oktaviani (2012) menyatakan

bahwa tinggi badan merupakan jarak vertikal diukur dari lantai sampai

kepala bagian atas atau (ubun-ubun). Pada hakikatnya tinggi badan

merupakan salah satu aspek biologis dari manusia yang merupakan

bagian dari struktur dan postur tubuh. Pengukuran tinggi badan biasa

menggunakan alat ukur tinggi badan yang disebut microtoise dalam

posisi berdiri (satuan dalam cm). Hasil pengukuran akan diterjemahan

ke dalam nilai indeks massa tubuh (kg/m2).

2. Berat Badan

Berat badan adalah ukuran antropometrik untuk menilai kondisi

tubuh. Antropometri merupakan ukuran tubuh yang banyak digunakan

untuk mengukur status gizi dengan parameter yang salah satunya adalah

berat badan. Melalui berat badan dapat diketahui informasi-informasi

untuk menganalisa kondisi tubuh seseorang seperti Body Surface Area

(BSA) dan Body Mass Index (BMI). Pengukuran berat badan dilakukan

dengan menggunakan timbangan berat badan (satuan dalam kg).

Ukuran tubuh seseorang biasanya dikaitkan dengan risiko antara lemak

dengan otot dan tulang, semakin tinggi persentasi lemak pada tubuh

maka semakin kurang ideal dan memiliki risiko tinggi terhadap

serangan berbagai penyakit (Utari, 2007 dalam Oktaviani et al., 2012).


17

Penelitian Amaliyah (2016) menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan pada 300 siswa overweight dengan non

overweight terhadap fleksibilitas punggung bawah. Remaja yang berat

badannya ideal memiliki fleksibilitas yang lebih bagus dibandingkan

remaja yang memiliki berat badan berlebih. Hal ini didasari oleh teori

yang mengatakan bahwa jaringan lemak dapat membatasi gerakan yang

ada pada sendi juga dikarenakan postur tubuh yang buruk (Hall, 2012).

D. Klasifikasi Indek Massa Tubuh

1. Berat Badan Kurang (Underweight)

Underweight atau berat badan kurang digambarkan sebagai berat

badan yang terlalu rendah pada bayi, remaja, orang dewasa normal,

maupun lansia. Berat badan yang kurang juga dapat digambarkan

secara klinis dimana kondisi IMT seseorang yang rendah yaitu kurang

dari 18,5 (Hutchison et al, 2019).

2. Berat Badan Normal

Berat badan normal adalah kondisi berat badan dimana nilai IMT

seseorang adalah 18,5-22,9 dalam klasifikasi indeks massa tubuh

(Hutchison et al, 2019).

3. Berat Badan Berlebih (Overweight)

Overweight merupakan kondisi dimana akumulasi lemak didalam

tubuh yang berlebihan yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

Overweight dapat menjadi faktor risiko beberapa penyakit, seperti

gangguan musculoskeletal dan gangguan mobilitas (WHO, 2018 dalam

Hutchison et al, 2019)


18

4. Obesitas

Obesitas adalah kondisi atau keadaan berat badan yang berlebih

sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas

dapat diukur dengan menggunakan IMT, dimana untuk seseorang yang

obesitas memiliki IMT lebih dari 25 (Hutchison et al, 2019).

Pengukuran yang biasa digunakan untuk menentukan berat badan

ideal yaitu dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks

masa tubuh ditentukan dengan mengukur perbandingan antara berat

badan (kg) terhadap kuadrat tinggi badan (m2). Dari IMT dapat

diketahui klasifikasi setiap populasi terhadap overweight maupun

obesitas. IMT adalah metode skrining yang murah dan mudah untuk

dilakukan dalam menentukan kategori berat badan seperti kurus,

normal, overweight dan obesitas. World health organization (2017)

mengemukakan rumus IMT seperti berikut:

IMT = Berat Badan


(Tinggi Badan)2

Hasil perhitungan IMT diklasifikasikan seperti tabel berikut:


Tabel 2.1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh Menurut WHO
(World Health Organization, 2017)
Kategori IMT (Kg/m2)
Underweight <18,5
Normal 18,5-24,9
Overweight >25
Pra-obesitas 25,0-29,0
Obesitas tingkat 1 30,0-34,9
Obesitas tingkat 2 35,0-39,0
Obesitas tingkat 3 >40
19

Sedangkan di Indonesia, penentuan klasifikasi IMT seseorang

sesuai pada kriteria Asia Pasifik. Adapun tabel klasifikasi IMT menurut

kriteria Asia Pasifik sebagai berikut:

Tabel 2.2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh Menurut Asia Pasifik


(World Health Organization, 2017)

Kategori IMT (Kg/m2)


Underweight <18,5
Normal 18,6-22,9
Overweight 23-24,9
Obesitas I 25-29,9
Obesitas II >30

E. Aktivitas Fisik Remaja

Mayoritas pada saat ini remaja memiliki aktivitas fisik yang menurun

disetiap tahunnya. Sebagai contohnya saat ini kebanyakan anak-anak bermain

game di smartphone, menonton televisi, dan menggunakan computer dari

pada berjalan, bersepeda, maupun berolahraga. Aktivitas fisik yang ringan

membuat energi yang keluar akan sedikit sehingga menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan energi yang dikeluarkan.

Akibatnya energi yang tidak keluar dari tubuh akan tersimpan menjadi lemak

yang akan menyebabkan pelonjakan dari berat badan. Aktivitas fisik yang

kurang akan mengarah pada meningkatnya gaya hidup yang sedentary pada

remaja. Remaja pada saat ini lebih banyak menghabiskan waktu pada

kegiatan didepan layar, membaca, duduk serta bersantai (Ferinawati, 2018).

Pengukuran yang biasa digunakan untuk mengetahui tingkat aktivitas

fisik yaitu Internasional Physical Activity Questionnaire atau disingkat IPAQ


20

adalah bentuk kuesioner internasional yang dirancang untuk mengukur

aktivitas fisik pada orang dewasa. Jenis aktivitas fisik yang diukur lebih

spesifiknya terbagi atas aktivitas berjalan, aktivitas sedang, serta aktivitas

berat (IPAQ, 2005 dalam Ferinawati, 2018).

Tabel 2.3: Jenis Aktivitas Sedang dan Aktivitas Berat


(WHO, 2013)
No. Aktivitas Fisik Sedang Aktivitas Fisik Berat
1. Jalan Cepat Berlari
2. Menari Mendaki Bukit
3. Berkebun Bersepeda Cepat
4. Melakukan Pekerjaan Rumah Aerobik
Tangga (Menyapu, Mengepel)
5. Berburu Berenang Cepat
6. Bermain dengan anak-anak Bertanding Olahraga
7. Badminton Menggali Parit
8. Membawa atau Memindahkan Membawa atau
Barang < 20 Memindahkan Barang > 20

Untuk perhitungan skor hasil nilai aktivitas fisik dilihat dalam MET-

menit atau minggu yang dihitung berdasarkan penjumlahan aktifitas fisik,

aktivitas sedang, serta aktivitas berat dalam satuan durasi menit dan frekuensi

hari. Pada level aktivitas fisik intensitas sedang adalah ketika seorang

individu memiliki nilai total 12 minimal 600 MET-menit/minggunya.

Sedangkan untuk kategori aktivitas fisik intensitas tinggi adalah ketika

seorang individu memiliki total nilai aktivitas fisik minimal 3000 MET-

menit/minggu. Penderita overweight cenderung mempunyai aktivitas fisik

yang rendah dan lebih banyak duduk dapat menyebabkan gangguan

keseimbangan dan kelenturan tubuh yang nantinya akan ikut mempengaruhi

keterbatasan berjalan dan aktivitas sehari- hari (Ferinawati, 2018).


21

F. Overweight

1. Definisi Overweight

Overweight adalah kondisi perbandingan berat badan dan tinggi

badan melebihi standar yang ditentukan. Obesitas dan overweight

adalah dua istilah yang sering digunakan untuk menyatakan adanya

kelebihan berat badan. Overweight dalam istilah awam lebih dikenal

sebagai kegemukan yang merupakan status gizi tidak seimbang akibat

asupan gizi yang berlebihan. Sedangkan obesitas adalah keadaan

peningkatan lemak tubuh baik di seluruh tubuh maupun di bagian

tertentu. Remaja dengan overweight dapat dikenali dengan beberapa

tanda seperti bentuk wajah yang bulat, pipi tembam, dagu rangkap,

leher relatif pendek, dada yang membusung dengan payudara

membesar mengandung jaringan lemak, perut yang membuncit disertai

dengan dinding perut yang berlipat dan kedua pangkal paha bagian

dalam yang saling menempel dan saling bergesekan (Anggraeni 2017

dalam Ferinawati, 2018).

2. Klasifikasi Overweight dan Obesitas

Menurut Ferinawati et al, (2018) berdasarkan tempat penimbunan

lemak dalam tubuh, ada dua tipe Overweight dan obesitas, yaitu:

a. Apple-shappedd Body

Tipe apple body merupakan overweight dengan distribusi

lemak lebih banyak dibagian atas (upper body overweight) yaitu

di daerah pinggang dan rongga perut sehingga tubuh cenderung

menyerupai buah apel. Kegemukan pada tubuh bagian atas


22

merupakan dominasi penimbunan lemak tubuh di trunkal

subkutaneus, interperitoneal (abdominal), dan retroperitoneal.

Tipe overweight ini berhubungan dengan diabetes, hipertensi,

dan penyakit kardiovaskuler.

b. Pear-shappedd Body

Pada overweight tipe ini, distribusi jaringan lemak lebih

banyak dibagian panggul dan paha sehingga tubuh menyerupai

buah pir. Overweight tubuh bagian bawah merupakan suatu

keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh pada region

gluteofemoral. Tipe overweight ini lebih banyak terjadi pada

wanita sehingga disebut gynoid overweight.

3. Faktor Penyebab Overweight

Menurut Rahmatullah, 2010 dalam Ferinawati et al, (2018)

overweight disebabkan oleh banyak faktor, antara lain sebagai berikut:

a. Faktor Genetik

Overweight cenderung diturunkan, sehingga diduga

memiliki penyebab genetik. Individu yang berasal dari keluarga

yang gemuk, memiliki kemungkinan overweight 2-8 kali lebih

besar dibandingkan dengan keluarga yang tidak overweight

(Rahmatullah, 2010).

b. Faktor Lingkungan

Lingkungan ini termasuk perilaku atau pola hidup misalnya

apa yang dimakan dan berapa kali seseorang makan serta

bagaimana aktifitasnya (Rahmatullah, 2010).


23

c. Faktor Psikis

Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya

dengan makan. Salah satu bentuk gangguan emosi adalah

persepsi diri yang negatif. Gangguan ini merupakan masalah yang

serius pada banyak wanita muda yang menderita overweight

(Rahmatullah, 2010).

d. Faktor Perkembangan

Penderita overweight terutama memiliki sel lemak sampai

5 kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang berat

badannya normal (Rahmatullah, 2010).

e. Faktor Obat-obatan

Obat-obatan merupakan sumber penyebab signifikan dari

terjadinya overweight atau obesitas. Obat-obatan yang dapat

menyebabkan overweight diantaranya adalah golongan steroid,

antidiabetik (insulin sulfunilure), antihistamin, antihipertensi

(alpha dan beta-bloker), dan protesa inhibitoris (Rahmatullah,

2010).

f. Aktivitas Fisik

Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah

satu penyebab utama dari meningkatnya angka kejadian

overweight atau kegemukan ditengah masyarakat yang makmur.

Seseorang yang cenderung mengkonsumsi makanan kaya lemak

dan tidak melakukan aktifitas fisik yang seimbang akan

mengalami overweight (Rahmatullah, 2010).


24

4. Dampak Overweight

Dampak overweight dan obesitas pada kesehatan menurut CDC,

(2017) adalah seseorang akan berisiko lebih tinggi terhadap banyak

penyakit serius dibandingkan dengan seseorang yang memiliki berat

badan normal. Menurut Laksono et al, (2019) overweight dan obesitas

dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan kondisi kesehatan yaitu

sebagai berikut:

a. Tekanan Darah Tinggi (Hypertension).

Terdapat hubungan antara angka kejadian hipertensi dan

peningkatan berat badan. Risiko terjadinya hipertensi meningkat

1,6 kali untuk overweight. Penurunan berat badan juga terbukti

dapat menurunkan tekanan darah seseorang.

b. Kolestrol LDL tinggi, kolestrol HDL rendah atau kadar

trigliserida tinggi.

c. Diabetes Mellitus tipe 2.

Kelebihan massa lemak juga dikaitkan dengan keadaan

resistensi insulin yang berhubungan dengan diabetes mellitus.

Overweight dan obesitas akan meningkatkan angka kejadian

diabetes mellitus 3-4 kali dibandingkan orang dengan IMT

normal.

d. Stroke.

Pola makan yang salah juga dapat memicu terjadinya stroke

diusia muda karena seringnya mengkonsumsi makanan cepat saji

(junk food) yang tidak baik dengan kandungan kolesterol tinggi.


25

Kolesterol tidak baik bagi kesehatan, terutama bila terjadi

penyumbatan pada pembuluh darah dan mengenai pembuluh

darah otak bisa membuat seseorang stroke.

e. Sleep apnea dan masalah pernapasan (kegagalan untuk bernafas

secara normal ketika sedang tidur dan menyebabkan

berkurangnya kadar oksigen dalam darah).

f. Nyeri badan dan kesulitan dalam fungsional fisik.

g. Kualitas hidup rendah.

G. Fleksibilitas Punggung Bawah pada Overweight

1. Definisi Fleksibilitas

Fleksibilitas adalah kemampuan dari berbagai macam sendi tubuh

untuk bergerak secara penuh dan merupakan salah satu faktor penting

untuk menunjang berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan

sehari-hari. Fleksibilitas merupakam luas gerak satu sendi atau

beberapa persendian. Fleksibilitas dapat di bagi menjadi dua macam

tipe yaitu fleksibilitas dinamis dan fleksibilitas statis. Fleksibilitas

dinamis mengacu pada kemampuan diri aktif bergerak dari sendi

menggunakan otot-otot disekitarnya (Nugraha, 2014).

2. Anatomi Punggung Bawah


26

Gambar 2.1 Ruas Tulang Belakang (Moore, 2010).

a. Kolumna Vertebra

Kolumna vertebra menyangga berat tubuh dan melindungi

medulla spinalis. Kolumna ini terdiri dari vertebra-vertebra yang

dipisahkan diskus fibrokartilago intervertebral (Lubis, 2015).

1) Ada tujuh tulang vertebra cervical, 12 vertebra thorakal, 5

vertebra lumbal, dan 5 tulang vertebra sacrum dan tiga

sampai lima tulang coxigeal yang menyatu menjadi tulang

coxiks.

2) Ke-31 pasang saraf spinal keluar melalui

foraminaintervertebrlis diantara vertebra yang letaknya

bersebelahan.

b. Struktur Khas Vertebra

1) Badan atau sentrum menyangga sebagian besar tubuh.

2) Lengkung saraf (vertebra), yang terbentuk dari dua pedikel

dan lamina, membungkus rongga saraf dan menjadi lintasan

medulla spinalis.

3) Sebuah processus spinosus menonjol dari lamina kearah

posterior dan inferior untuk tempat perlengketan otot.


27

4) Processus transversa menjorok kearah lateral.

5) Processus pengartikulasi inferior dan processus

pengartikulasi superior menyangga facet untuk

berartikulasi dengan vertebra atas dan vertebra bawah.

c. Lengkung pada Kolumna Vertebra

1) Lengkung primer, yaitu konkaf cembung (berbentuk-C)

terbentuk pada area thoraks dan pelvis selama pertumbuhan

janin.

2) Lengkung sekunder, yaitu konveks/cekung terbentuk pada

spina serviks setelah kelahiran saat bayi mulai mengangkat

kepalanya, dan pada spina lumbal saat bayi mulai berdiri

dan berjalan.

d. Lengkung Abnormal

1) Skoliosis, yang dapat muncul selama masa pertumbuhan

yang cepat (masa remaja), yaitu lengkungan lateral spina

dengan rotasi pada vertebra.

2) Kifosis, yang merupakan kasus konginetal (bawaan lahir)

atau akibat penyakit, merupakan lengkung posterior yang

berlebihan pada bidang toraks.

3) Lordosis adalah lengkung anterior yang berlebihan pada

area lumbal.
28

Gambar 2.2 Lengkung Abnormal Vertebra


(Kisner & Colby, 2012).

e. Sifat Jaringan Otot

Otot merupakan jaringan yang mampu secara aktif

mengembangkan ketegangan atau tension. Hal ini

memungkinkan otot skeletal atau otot lurik dapat melakukan

fungsi penting dalam mempertahankan postur tubuh tegak,

menggerakkan anggota gerak tubuh, dan mengabsorbsi terjadinya

shock (Rahardjo, 2016).

Adapun sifat jaringan otot adalah sebagai berikut:

1) Kontraktilitas

Kontraktilitas merupakan kemampuan dari serabut

otot untuk menegang. Ketika serabut otot berkontraksi atau

menegang, hal itu dapat melibatkan terjadinya pemendekan

otot, tetapi dapat juga sebaliknya. Serabut akan terelongasi

karena kontraksi pada setiap diameter sel berbentuk kubus

atau bulat hanya akan menghasilkan pemendekan yang

terbatas (Kisner, 2007).

2) Eksitabilitas
29

Serabut otot akan merespon dengan kuat jika di

stimulasi oleh impuls saraf (Kisner, 2007).

3) Ekstensibilitas

Serabut otot memiliki kemampuan untuk meregang

melibihi panjang otot saat relaks (Kisner, 2007).

4) Elastisitas

Serabut otot dapat kembali ke ukurannya semula

setelah berkontraksi atau meregang (Kisner, 2007).

5) Konduktivitas

Konduktivitas merupakan kemampuan jaringan otot

untuk menyebarkan impuls, termasuk potensial aksi. Ketika

otot di stimulus oleh sistem saraf, maka impuls harus

dibawa ke struktur jaringan otot yang lebih dalam (Kisner,

2007).

f. Otot Punggung

Ada banyak otot yang berada di daerah punggung termasuk

daerah lumbal, otot-otot tersebut dapat dilihat melalui gambar di

bawah ini:
30

Gambar 2.3 Otot Punggung Bagian Superfisial


(Spalteholz W, 2017)

Fleksibilitas pada daerah lumbal diketahui mempengaruhi sistem

kerja manusia, terutama dalam melakukan kegiatan yang berhubungan

dengan membungkukkan badan dan mengangkat beban. Berat tubuh

mempengaruhi gerak sendi pada daerah lumbal pada saat melakukan

gerakan fleksi, secara otomatis juga mempengaruhi fleksibilitas

punggung. Seperti yang diketahui, pusat gravitasi tubuh manusia pada

posisi tegak terletak sebidang dengan vertebra lumbal 5, Selain itu

besar gravitasi pada suatu benda atau titik tergantung pada jauhnya

benda tersebut terhadap pusat bumi. Sehingga otomatis makin tinggi

seseorang maka pusat gravitasi pada orang tersebut akan semakin jauh

dengan titik pusat bumi, sehingga secara otomatis pula gaya gravitasi

yang bekerja pada orang tersebut akan makin berkurang (Karuniawan,

2019).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fleksibilitas

Beberapa faktor yang mempengaruhi fleksibilitas menurut

Ratmawati (2015) yaitu:

a. Otot
31

Lapisan-lapisan jaringan ikat membentuk kesatuan susunan

otot rangka yang berfungsi sebagai penghubung antara serabut

otot dengan tulang. Jaringan ikat memberikan fleksibilitas pada

otot, yakni sifat fisik yang menentukan daya rentang otot. Karena

otot seringkali melewati persendian.

b. Tendon

Tendon merupakan sekumpulan jaringan penunjang tempat

otot dapat melekat pada tulang seperti tali dan bentuknya datar

atau rata. Tendon terdiri dari jaringan ikat padat yang mempunyai

serat yang tersusun oleh garis longitudinal atau memanjang.

Tendon memiliki regangan yang kecil sehingga memungkinkan

untuk mentransfer kontraksi otot langsung ke tulang yang

diikatnya.

c. Ligamen

Ligamen merupakan pembalut dari jaringan penghubung

yang kuat yang fungsi utamanya adalah untuk menguatkan sendi.

Ligamen terdiri dari ikatan-ikatan serabut kolagen yang tersusun

sejajar, mempunyai struktur dan tingkat kemampuan regang yang

sama dengan kemampuan yang dimiliki oleh tendon.

d. Tipe dan Struktur Sendi

Seseorang yang memiliki persendian dengan jenis

diarthrodial memiliki tingkat fleksibilitas yang lebih tinggi

dibandingkan dengan orang yang memiliki persendian dengan

jenis sinarthrodial. Hal ini disebabkan karena pada sendi jenis


32

diarthrodial memiliki sifat fisik yaitu dua lekukan sendi yang

membelah tulang, tulang muda hialin, dan ada selaput synovial

yang memberi minyak pada sendi. Sedangkan pada persendian

jenis sinarthrodial tidak memiliki sifat fisik seperti pada sendi

jenis diarhtrodial.

e. Usia

Usia merupakan faktor penting dalam menentukan

fleksibilitas seseorang. Fleksibilitas seseorang meningkat pada

waktu kanak-kanak sampai masa remaja kemudian menetap,

selanjutnya dengan bertambahnya usia, terjadi penurunan

mobilitas secara berangsur-angsur. Hal ini disebabkan karena

dengan bertambahnya usia, maka otot-otot, tendon-tendon dan

jaringan ikat memendek dan terjadinya proses pengerasan

menjadi kapur dari beberapa tulang rawan yang mengakibatkan

berkurangnya kemampuan ruang gerak sendi.

f. Jenis Kelamin

Selain faktor usia, jenis kelamin berpengaruh juga terhadap

fleksibilitas seseorang. Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Philips (1955), Kirchner dan Glines (1957), dalam

Bloomfield et.al (1994) yang mengatakan “Females appear to be

more fleksible with smaller bones and less musculature than

males”. Adalah wanita lebih lentur dari pada laki-laki karena

tulang-tulangnya lebih kecil dan otot-ototnya lebih sedikit dari

pada laki-laki.
33

g. Suhu Tubuh dan Suhu Otot

Suhu tubuh dan suhu otot mempengaruhi luas suatu

gerakan. Suhu tubuh dan suhu otot dapat ditingkatkan dengan

melakukan pemanasan, demikian pula luas suatu gerakan akan

meningkat mengikuti suatu latihan pemanasan, aktifitas jasmani

yang progresif meningkatkan aliran darah pada suatu otot

sehingga serabut otot menjadi lebih elastis.

h. Indeks Massa Tubuh

Menurut Hariawan (2016), seiring bertambahnya usia,

metabolisme tubuh dan kemampuan organ-organ cerna akan

menurun sehingga asupan makanan dan minuman yang

berlebihan bisa menjadi beban kerja. Umumnya perubahan

komposisi tubuh yang terjadi adalah komposisi lemak yang

meningkat, penumbukan lemak inilah yang akan menjadi

penghambat bagi pergerakan jaringan yang berada disekitar sendi

agar terulur secara maksimal.

i. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan salah satu penentu fleksibilitas

punggung pada seseorang. Semakin sering seseorang melakukan

aktivitas fisik maka jaringan otot, tulang dan sendi akan

mengalami penguluran secara fisiologis dan memberikan efek

positif terhadap kebugaran tubuh.

4. Peranan Fleksibilitas
34

Fleksibilitas merupakan salah satu komponen kondisi fisik yang

mempunyai peranan penting. Peranan tersebut bagi remaja adalah

untuk menunjang aktifitas kegiatan sehari-hari. Sedangkan bagi para

olahragawan yang terlibat dalam cabang olahraga yang banyak

menuntut keluwesan gerak seperti senam, judo, gulat, atletik dan

cabang olahraga lainnya ternyata fleksibilitas juga sangat diperlukan

(Amaliah, 2016).

Fleksibilitas yang baik diketahui dapat memberikan manfaat

positif pada otot dan sendi, membantu pada pencegahan cidera,

membantu untuk meminimalkan nyeri, dan meningkatkan efisiensi

disegala aktifitas fisik, juga dapat meningkatkan kualitas hidup dan

kemandirian fungsional. Fleksibilitas yang baik membantu dalam

elastisitas otot dan memberikan jangkauan yang lebih luas pada gerak

sendi, ini memberikan kemudahan dalam gerakan tubuh dan aktifitas

sehari-hari. Menurut Juliantine dalam Nurman, (2013) menyatakan

bahwa hasil penelitian menunjukkan perbaikan dalam kelentukan

antara lain:

a. Mengurangi kemungkinan terjadinya cidera-cidera pada otot dan

sendi.

b. Membantu dalam mengembangkan kecepatan, koordinasi, dan

kelincahan (agility).

c. Membantu perkembangan prestasi.

d. Menghemat pengeluaran tenaga (efisien) pada waktu melakukan

gerakan-gerakan.
35

e. Membantu memperbaiki sikap tubuh.

5. Dampak Penurunan Fleksibilitas

Ada berbagai dampak buruk yang dapat terjadi jika fleksibilitas

tubuh (khususnya dalam hal ini fleksibilitas punggung bawah) antara

lain:

a. Keterbatasan Luas Gerak Sendi

Fleksibilitas yang buruk dapat mengakibatkan terjadinya

keterbatasan luas gerak sendi (ROM) atau keterbatasan mobilitas

sendi baik secara aktif maupun pasif. Hal ini biasa di istilahkan

sebagai kekakuan yang biasa di akibatkan karena penurunan

fleksibilitas sendi dan adanya resistensi jaringan lunak disekitar

sendi. Kekakuan yang di maksud adalah kesulitan dalam

mencapai gerakan yang normal.

b. Gerakan Kurang Efisien

Fleksibilitas yang buruk dapat menimbulkan pola gerakan

yang kurang efisien sehingga menyebabkan pembebanan yang

tidak perlu, yang sering dapat menyebabkan peradangan dan

nyeri.

c. Risiko Mengalami Cidera

Penelitian menunjukkan bahwa risiko cidera akan

meningkat ketika fleksibilitas sendi tubuh sangat rendah, sangat

tinggi, atau tidak seimbang secara signifikan antara sisi dominan

dan non dominan tubuh.

d. Cacat Fisik
36

Keterbatasan mobilitas dalam waktu yang lama akan

mengakibatkan kurang elastisnya jaringan fibrosa. Hal ini dapat

menghasilkan keterbatasan permanen yang bisa mengakibatkan

kondisi kecacatan. Menurut Soedarminto, 2010 dalam Amaliah

(2016)) bahwa didalam kehidupan sehari-hari seseorang banyak

dilibatkan tugas batang tubuh yang terdiri dari tulang belakang

beserta otot-otot yang meliputi bagian leher, togok, termasuk

rongga dada. Bagian-bagian tubuh ini berfungsi sebagai

pemelihara keseimbangan dan penggerak, sebagai pendukung

dan pelindung gerak, dan sebagai penahan beban. Indeks massa

tubuh mempunyai korelasi terhadap lemak dalam tubuh yang juga

dapat membatasi kelenturan tubuh (Lubis, 2015).

Menurut Nelson, 2007) dalam Amaliah, (2016) bahwa

dengan memiliki fleksibilitas yang baik, pekerjaan sederhana

sehari-hari seperti membungkuk dan mengikat sepatu dapat

dilakukan dengan mudah. Berat badan juga mempengaruhi gerak

sendi dan tekanan kompresi pada tulang belakang daerah lumbal

ketika melakukan gerak fleksi ke depan yang secara otomatis juga

mempengaruhi fleksibilitas punggung. Seseorang yang memiliki

kelebihan berat badan dapat berefek pada keleluasaan gerak

fungsional serta kesulitan dalam melakukan gerakan fleksi tubuh.

Overweight mempengaruhi fleksibilitas seseorang karena

timbunan lemak dibawah kulit akan mengurangi ruang gerak

seseorang menjadi tidak maksimal. Hal ini di dasari atas teori


37

yang mengatakan bahwa jaringan lemak dapat membatasi

gerakan yang terjadi pada sendi (Lubis, 2015). Atas dasar teori ini

jelas bahwa secara langsung overweight yang menggambarkan

komponen lemak dalam tubuh khususnya komponen lemak

visceral atau perut dapat mempengaruhi kemampuan seseorang

melakukan gerakan pada sendi daerah punggung bawah.

6. Pengukuran Fleksibilitas

Dalam penelitian ini, peneliti mengukur fleksibilitas dengan

menggunakan metode sit and reach test. Sit and reach test merupakan

metode pengukuran untuk mengukur fleksibilitas punggung yang

menggunakan media berupa boks yang terbuat dari papan atau metal

yang tingginya 30 cm, lalu diatas boks tersebut diletakkan penggaris

ukur yang panjangnya 26 cm keluar dari boks dan < 26 cm sampai ke

ujung dari boks tersebut. Tes ini bertujuan untuk mengukur dan

memonitor daya kelenturan otot-otot punggung dan hamstring serta

sendi-sendi vertebra. Untuk melakukan pengukuran diperlukan meja sit

and reach yang sederhana dengan ukuran satuan sentimeter (cm)

(Lubis, 2015).

Adapun prosedur pelaksanaannya yaitu:

a. Persiapan

1) Responden diposisikan duduk sambil meluruskan kedua

kakinya (telapak kaki menempel pada bantalan karet alat).

Kepala, punggung atas dan bawah harus menempel di

dinding.
38

2) Responden meluruskan kedua lengannya kedepan. Posisi

telapak tangan kanan di atas telapak tangan kiri dimana jari

tengah keduanya saling menempel dan berhadapan.

3) Terapis memindahkan slide pengukuran ke angka “nol”.

Letakkan “scale arm” pada ujung jari tengah, kemudian

kunci pada tempatnya.

b. Pengukuran

1) Subyek menggerakkan tangannya kedepan sejauh mungkin

(dengan cara menekuk tubuh pada pinggang) sehingga

ujung jari tengah akan mendorong scale arm.

2) Jika lutut subyek menekuk atau menggunakan momentum

untuk meningkatkan jarak tempuh, maka pengukuran

dinyatakan gagal dan harus di ulang.

3) Catat hasil yang di tunjukkan sampai ketelitian 0,5

4) Ulangi pemeriksaan ini tiga kali berturut-turut, dengan

waktu istirahat 30 detik sebelum test berikutnya.

5) Hasil yang digunakan adalah yang terjauh dari ketiga

pengukuran tersebut.

Hasil yang diukur adalah tanda bekas jari yang nampak pada

mistar skala (Depkes, 2011).

Gambar 2.4 Tes Sit and Reach (Amalia R, 2016)


39

Tabel 2.4: Nilai Sit and Reach Test berdasarkan Umur


(David et al, 2011)
Fleksibilitas 15-19 Tahun 20-29 Tahun
Excellent >39 cm >40 cm
Above Average 34-38 cm 34-39 cm
Average 29-33 cm 30-33 cm
Below Average 24-28 cm 25-29 cm
Poor <23 cm <24 cm

Tabel 2.5: Kategori Penilaian Sit and Reach Test berdasarkan jenis
kelamin (David et al, 2011)
Rating Men Women
Excellerent >14 >15
Good 11-13 12-14
Average 7-10 1-11
Fair 4-6 4-6
Poor >3 >3

Penelitian yang dilakukan oleh Wang, dkk (2012) terhadap 148

pasien dengan keluhan nyeri punggung bawah kronis dengan perlakuan

latihan peregangan yang mengarahkan punggung ekstensi atau lebih

back school exercise selama 4 minggu, menyatakan bahwa back school

exercise lebih efektif dalam memperbaiki keterbatasan fungsional. Pada

kasus nyeri punggung bawah kronis dari berbagai jurnal penelitian,

menunjukan hasil bahwa postural stability exercise lebih efektif dalam

menurunkan nyeri dan meningkatkan kemampuan fungsional pada

nyeri punggung bawah kronis. Maka perlu dilakukan suatu usaha

intervensi fisioterapi yang bertujuan untuk menjaga postur tubuh,

menjaga serta meningkatkan kelenturan otot-otot area punggung

bawah. Salah satu contoh bentuk terapi latihan adalah core stability

exercise yang merupakan latihan peregangan yang bertujuan


40

meningkatkan elastisitas otot, menambah lingkup gerak sendi,

memperbaiki elastisitas jaringan sehingga dapat melakukan gerak yang

efisien, mencegah cidera dan koreksi postur yang buruk (Abanour et al,

2016).

H. Core Stability Exercise

1. Definisi

Core stability exercise merupakan suatu bentuk latihan yang

mengandalkan kemampuan dari trunk, lumbal spine, pelvic hip, otot-

otot abdominal, dan otot-otot kecil sepanjang spine, yang berfungsi

sebagai pusat penghubung ekstremitas atas dan ekstremitas bawah,

otot-otot tersebut bekerja sama untuk membentuk kekuatan agar dapat

mempertahankan tulang belakang dengan aligment tubuh yang simetris

dan menjadi lebih stabil. Spine yang kuat dan stabil dapat memudahkan

tubuh untuk bergerak dengan cepat, efektif, dan efisien sehingga dapat

mengurangi cidera yang tidak di inginkan (Anand et al, 2017).

Core stability exercise dapat meningkatkan kekuatan otot,

keseimbangan, kelincahan, fleksibilitas, dan koordinasi

neuromuscular, sehingga dapat meningkatkan kemampuan agility.

Pada core stability exercise, selain terjadinya peningkatan kekuatan

otot juga akan terjadi peningkatan fleksibilitas. Hal ini terjadi karena

pada saat suatu otot berkontraksi, maka terjadi penguluran atau stretch

pada otot-otot antagonisnya. Secara otomatis, jika seseorang

melakukan latihan kekuatan akan berpengaruh terhadap fleksibilitas,

begitu juga sebaliknya jika seseorang melakukan latihan fleksibilitas


41

juga akan berpengaruh terhadap kekuatan (Rubenstein, 2005 dalam

Multani et al, 2019).

Core stability merupakan komponen penting dalam memberikan

kekuatan lokal dan keseimbangan untuk memaksimalkan aktivitas

secara efisien. Aktivitas otot-otot core merupakan kerja integrasi

sebelum adanya suatu gerakan single joint maupun multiple joint, untuk

mempertahankan stabilitas dan gerakan. Kerja core stability

memberikan suatu pola adanya stabilitas proksimal yang digunakan

untuk mobilitas pada distal. Pola proksimal ke distal merupakan

gerakan berkesinambungan yang melindungi sendi pada distal yang

digunakan untuk mobilisasi saat bergerak (Akuthota et al, 2008).

2. Anatomi dan Fisiologi

Core stability antara lain terbagi menjadi tiga unit yaitu passive

spinal column, trunk muscle dan unit kontrol saraf yang memiliki zona

netral di intervertebralis saat aktivitas fisiologi dalam aktivitas sehari-

hari. Core Muscle adalah otot-otot yang sangat penting untuk

menunjang pergerakan ekstremitas atas maupun bawah untuk

menciptakan gerakan yang efektif dan kuat. Core muscle terdiri dari 4

kelompok otot utama: musculus transversus abdominis, multifidus,

diafragma, dan pelvic floor. Adapun global muscle: rectus abdominis,

obliques external dan Internal, quadratus lumborum, erector spine, dan

iliopsoas (Sari, S., 2018).


42

Gambar 2.5 Anatomi Core Stability Muscle


(Firdha, 2016).

Behm, Drinkwaler, Wildarson & Cowley (2011) mengatakan

untuk meningkatkan fleksibilitas punggung bawah diperlukan latihan

ketahanan yang menggunakan otot-otot core. Core tersusun dari pelvic-

lumbopelvic, os lumbal, panggul, joint di pelvic, jaringan aktif maupun

jaringan pasif yang berfungsi menghasilkan atau membatasi gerakan

segmen.

Behm, Drinkwaler, Wildarson & Cowley (2011) membagi sistem

stabilisasi menjadi 3 subsistem yaitu subsistem pasif, subsistem otot

aktif dan subsistem saraf aktif. Subsistem pasif terdiri dari ligament

vertebra, facia thoracolumbar, dan diskus intervertebral dalam

memberikan kekuatan lokal dan kelenturan tubuh untuk

memaksimalkan aktivitas secara efisien.

Anatomi global muscle dan deep muscle serta fungsinya menurut

(Sari, S., 2018):

a. Fungsi Global Muscle

1) Menghubungkan kepala dan leher ke trunk

2) Mentransfer beban eksternal antara trunk dan panggul


43

3) Pengendalian orientasi tulang belakang dalam ruang

(global postural kontrol)

4) Penghasil torsi besar

5) Pada beban rendah, bertindak secara mandiri untuk

memulai gerakan.

6) Pada beban tinggi, bertindak secara bilateral untuk

menstabilkan trunk dengan splinting.

7) Memiliki pengaruh langsung pada zona netral dan

segmental kontrol.

8) Target oleh latihan dan kekuatan pelatihan umum.

9) Terlibat dalam strategi subtitusi.

b. Susunan Global Muscle

1) MusculusRectus Abdominis

2) Musculus Obliques External dan Internal

3) Musculus Quadratus Lumborum (lateral portion)

4) Musculus Erector Spine

5) Musculus Illiopsoas

Gambar 2.6 Postural Stability Muscle


(Aylinmahmut, 2017)
44

c. Fungsi Deep Muscle (Lokal Muscle) yaitu :

1) Terletak didalam, dekat dengan pusat rotasi (ideal untuk

mengendalikan gerak intrasegmental)

2) Otot intrasegmental kecil kemungkinan memiliki peran

proprioseptif.

3) Peningkatan gerak zona netral menyimpang dapat diatasi

oleh aktivitas sistem otot deep.

d. Susunan Local Muscle

1) Transversus Abdominis

2) Lumbar Mulfidus

3) Diaphragm

4) Pelvic Floor

Gambar 2.7 Deep Muscle Core (Aylinmahmut, 2017)

3. Manfaat Latihan Core Stability

Manfaat core stability exercise adalah untuk memperbaiki

stabilitas postural dengan latihan motor control yaitu melakukan

kontraksi pada otot transversus abdominus dan otot multifidus, dengan

adanya efek stabilisasi kontraksi dapat mengaktifkan deep muscle

korset untuk mendukung segmen vertebral yang akan memperbaiki


45

postur. Sehingga akan menurunkan tekanan pada diskus

intervertebralis yang menurunkan nyeri. Manfaat utama latihan core

stability adalah melatih otot-otot core juga dapat mengkoreksi

ketidakseimbangan postur agar meningkatkan kelenturan dan

penampilan saat berjalan dan mencegah terjadinya cidera (Francka,

2010 dalam Sekendiz et al, 2018).

4. Indikasi dan Kontraindikasi

Kibler (2011) mengatakan core stability exercise digunakan pada

kondisi:

a) Spasme (ketegangan otot)

b) Keterbatasan pada fleksor pinggul

c) Kontrol yang buruk pada otot panggul

d) Ketidakseimbangan antara pinggul dan otot-otot panggul

e) Kelemahan otot (penurunan kapasitas otot)

f) Memperpanjang otot dan mencegah ketidakseimbangan pijakan

saat menjadi tua.

g) Memperbaiki postur tubuh dan mencegah sakit punggung bawah

(low back pain)

h) Membantu menjaga kesehatan otot, sehingga mencegah cidera

punggung bawah berlanjut.

i) Menstabilkan dada dan panggul

j) Meningkatkan kinerja tubuh.

Kontra Indikasi Core Stability Exercise adalah:

a) Spondylolistesis
46

b) Ankylosing spondylitis

c) Dislokasi dan Ruptur ligament

d) Sedang dalam kondisi hamil

e) Fraktur Tumor ganas disekitar area lumbal.

5. Prinsip Latihan Core Stability

Core stability exercise adalah teknik stretching dengan gerakan

mengkontraksikan untuk meningkatkan fungsi otot-otot yang diyakini

mengatur stabilitas trunk dan ketika otot-otot yang berfungsi secara

optimal, mereka akan melindungi tulang belakang dari trauma.

Coulombe et al, (2017) menyatakan bahwa core stability exercise

bertujuan untuk melatih pola motorik otot, melancarkan aliran darah,

meningkatkan metabolisme tubuh, meningkatkan stabilitas tulang

belakang, mengurangi nyeri, memperbaiki postur, keseimbangan,

kelincahan dan meningkatkan fleksibilitas punggung bawah. Latihan

ini diarahkan untuk menfokuskan pada otot yang letaknya lebih dalam

(deep muscle) pada abdomen yang terhubung dengan tulang belakang

(spine) dan panggul (pelvic).

Mekanisme core stability exercise dalam meningkatkan

fleksibilitas punggung bawah yaitu otot yang letaknya lebih dalam

(deep muscle) pada abdomen yang terhubung dengan tulang belakang

(spine), panggul (pelvic) dan bahu (shoulder). Pada latihan ini

terjadinya pengaturan postur untuk mempertahankan titik gravitasi dan

input motoric berupa kekuatan dan stabilitas otot postural yang baik,

penguluran otot dan mobilisasi core muscle yang akan meningkatkan


47

fleksibilitas punggung bawah karena respon koordinasi tubuh menjadi

lebih stabil terhadap kebugaran fisik. Aktivasi otot-otot core yang

optimal akan menghasilkan mobilitas pada ekstremitas (Pristianto et al,

2016).

Aktivasi otot juga menciptakan interaktif moment dengan

mengontrol tekanan dan beban pada persendian. Interaktif moment

terjadi saat sendi yang terbentuk dari gerakan dan posisi dari segmen-

segmen yang berdekatan, yang dikembangkan dalam segmen pusat

tubuh yang merupakan hal utama untuk mengontrol tekanan atau beban

yang tepat pada persendian distal, serta membuat posisi tulang sesuai

sehingga beban minimal yang diterima pada internal sendi (Fikunj,

2009 dalam Ratmawati 2018).

6. Fisiologi Core untuk Meningkatkan Fleksibilitas

Kemampuan untuk menahan kekuatan besar tubuh tergantung

pada stabilisasi tambahan yang diberikan pada subsistem otot aktif yang

terdiri dari otot-otot abdomen (transversus abdominus, obliques

internal) dan otot paraspinal (multifidus) yang meningkatkan kekakuan

pada punggung untuk meningkatkan stabilitas dan kelenturannya. Otot-

otot ini berfungsi dalam gerakan fleksi, ekstensi, rotasi dan perpindahan

tubuh selama aktivitas sehari-hari yang melibatkan punggung bawah,

seperti duduk, berdiri dan berjalan. Subsistem saraf aktif berfungsi

untuk mengontrol otot-otot core melalui mekanisme umpan balik

sehingga menghasilkan kinerja gerakan tubuh yang optimal, transfer

dan kontrol kekuatan gerakan persegmen ke terminal dalam sebuah


48

aktifitas rantai kinetic terintegrasi (Paramitha, dkk 2015 dalam Sari S,

2018).

7. Dosis Latihan Core Stability

Core stability merupakan kemampuan untuk mengontrol posisi

dan gerak dari trunk sampai pelvic yang digunakan untuk melakukan

gerakan secara optimal dalam proses perpindahan, kontrol tekanan dan

gerakan saat aktivitas. Latihan core stability ini dilakukan dengan

frekuensi latihan 2 kali seminggu dengan interval 1 hari selama 4

minggu dapat meningkatkan fleksibilitas punggung bawah pada remaja

overweight (Bagherian S, 2018).

8. Teknik Core Stability Exercise

Menurut Suadyana (2015) dalam Pebriana, (2017) ada beberapa

gerakan dalam core stability exercise yang dapat meningkatkan

fleksibilitas punggung bawah yaitu: plank position, segmental rotation,

pelvic tilt, oblique plank, single-leg abdominal press, legs lift, bridge

exercise.

Adapun langkah-langkah core stability exercise adalah sebagai berikut:

a. Plank Position

Latihan ini biasa digunakan sebagai awal latihan core

stability. Latihan ini sangat efektif untuk membantu kekuatan otot

panggul, serta menjaga kekuatan oblique dan transverse

abdominis bisa dimulai sebagai pemanasan yang melibatkan

semua otot core, seperti musculus rectus abdominis, internal dan


49

eksternal oblique, transversus abdominis, flexor hip, erector

spine serta multifidus.

Gambar 2.8 Plank Position


(Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017)

Latihan dilakukan dengan posisi seperti gambar. Jaga badan

agar tetap lurus dan kontraksi, tubuh dalam posisi segaris lurus

dari kepala sampai tumit dengan jari-jari kaki sebagai penahan

tubuh bagian bawah. Untuk meningkatkan kesulitan dan

intensitas gerakan ini, bisa dilakukan dengan mengangkat satu

tangan dengan tetap mempertahankan posisi selama 15 detik.

Lakukan bergantian dengan sisi yang lain.

b. Lying Spinal Rotation

Setelah selesai gerakan pertama lakukan gerakan kedua,

yaitu gerakan memutar punggung bawah. Latihan ini ditujukan

untuk penguatan musculus internal oblique, transversus

abdominis, erector spine, hip dan lumbo pelvic.

Gambar 2.9 Lying Spinal Rotation


(Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017)
50

Latihan dilakukan sesuai dengan posisi seperti gambar,

berbaring dengan punggung, kedua tungkai ditekuk dan kedua

lengan diluruskan ke arah luar samping sejajar bahu. Hembuskan

napas dan angkat lutut kiri ke arah atas tubuh sisi sebelah kanan,

kepala menghadap ke sisi yang berlawanan. Tahan posisi stretch

selama 10 detik rileks, gerakkan pada sisi yang lain. Ulangi posisi

ini di arah yang berlawanan dengan tiga kali pengulangan

(Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017).

c. Crunches Exercise

Berbaring dengan kedua lutut dan kedua tangan dileher

bagian belakang, kemudian angkat kepala kurangi gerakan kepala

dan gerakan bahu. Fokuskan penggunaan otot abdominal bukan

pada bahu, dada dan leher. Tahan selama 8 detik 15 repetisi dan

di lakukan dengan 3 kali pengulangan (Sari Suriani, 2018).

Gambar 2.10 Crunhces Exercise


(Sari Suriani, 2018).
51

d. Pelvic Tilt

Latihan ini ditujukan untuk memperbaiki postur dan

meregangkan otot punggung bawah (otot hip fleksor, pelvic floor

muscle dan paha depan).

Gambar 2.11 Pelvic Tilt


(Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017)

Posisi berbaring dengan punggung dilantai dalam posisi

netral dengan kaki di tekuk dan jari kaki menghadap ke depan.

Instruksikan responden untuk dorong pinggul ke lantai.

Kencangkan otot gluteus dan pinggul saat memiringkan panggul

ke depan. Tahan selama 8 detik, dilakukan 10 kali repetisi

(Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017).

e. Oblique Plank

Latihan ini sangat efektif untuk membentuk kekuatan otot

panggul sisi lateral, bahu serta menjaga kekuatan oblique dan

transverse abdominis.
52

Gambar 2.12 Oblique Plank


(Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017)

Latihan dilakukan dengan posisi badan menyamping seperti

gambar, jaga badan lurus dari kepala sampai kaki. Tahan posisi

selama 10 detik sambil mempertahankan kontrol posisi. Untuk

meningkatkan kesulitan dan intensitas latihan, dilakukan dengan

cara mengangkat tungkai yang tidak menyangga badan setinggi

beberapa inchi, dan tetap mempertahankan keseimbangan dan

beban tubuh, ulangi latihan selama 5 kali repetisi (Chabut, 2009

dalam Pebriana, 2017).

f. Single-Leg Abdominal Press

Latihan ini lebih ditujukan untuk penguluran otot internal

oblique, transversus abdominis, erector spine, dan multifidus.

Gambar 2.13 Single-Leg Abdominal Press


(Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017)

Latihan ini dilakukan sesuai dengan posisi seperti gambar,

berbaring dengan punggung, kedua tungkai di luruskan kearah

luar samping sejajar bahu. Hembuskan napas dan angkat lutut kiri
53

kearah dada dan silangkan lutut kiri kearah atas tubuh sisi sebelah

kanan. Arahkan kepala ke sisi yang berlawanan, tahan dalam

posisi stretch selama 10 detik. Ulangi posisi ini di bagian yang

berlawanan (Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017).

g. Legs Lift

Latihan ini ditujukan untuk penguatan otot rectus

abdominis, internal dan external oblique.

Gambar 2.14 Legs Lift


(Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017)

Latihan ini dilakukan sesuai dengan posisi seperti gambar.

Berbaring terlentang, instruksikan responden mengangkat

ekstremitas bawahnya dengan posisi hip fleksi, knee dan ankle

ekstensi dan bahu tegak lurus dilantai. Lakukan dengan perlahan

selama 8 kali hitungan dan gerak yang terkontrol. Ulangi sampai

8 repetisi (Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017).

h. Bridge Exercise

Latihan ini dianggap sebagai latihan rehabilitasi dasar

untuk meningkatkan kekuatan dan stabilisasi tulang belakang.


54

Gambar 2.15 Bridge Exercise


(Chabut, 2009 dalam Pebriana, 2017)

Posisi telentang dengan lutut fleksi dan telapak kaki rata di

lantai. Angkat perut selama 15 detik dengan tetap

mempertahankan kontrol posisi dan tahan (sesuai toleransi).

Lakukan gerakan ini selama 8 kali pengulangan. Latihan lebih

zzditujukan untuk penguatan otot gluteus maksimus, hamstring,

erector spine, dan multifidus. Bila dilakukan dengan satu kaki,

pastikan untuk melakukan latihan pada sisi yang lain. Untuk

meningkatkan kesulitan dan intensitas dapat dilakukan dengan

mengangkat jari-jari sehingga penyangga tubuh dilakukan oleh

tumit atau sebaliknya angkat tumit untuk memberikan penyangga

beban tubuh pada jari-jari kaki (Chabut, 2009 Pebriana, 2017).

Anda mungkin juga menyukai