Anda di halaman 1dari 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tentang Stunting

1) Pengertian

Stunting/pendek merupakan kondisi kronis yang menggambarkan

terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi dalam jangka waktu yang lama.

Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010

tentang Standar Antropometri, Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek

dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada Indeks Panjang

Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang

merupakan istilah stunting (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita

pendek adalah balita dengan status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan

menurut umur bila dibandingkan dengan standar baku WHO, nilai Z-scorenya

kurang dari -2 SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai Z-scorenya kurang

dari -3 SD (Kemenkes RI, 2016).

Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas

modal sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan yang

diderita anak pada awal kehidupan, dapat menyebabkan kerusakan yang

permanen (Anisa, 2012).

Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan

yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang

atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar

pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang

disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil,

kesakitan pada bayi dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di

masa yang akan datang, akan mengalami kesulitan dalam mencapai

perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. (KEMENKES RI, 2018).

2) Dampak Stunting

Stunting mengakibatkan otak seorang anak kurang berkembang. Ini berarti

1 dari 3 anak Indonesia akan kehilangan peluang lebih baik dalam hal pendidikan

dan pekerjaan dalam sisa hidup mereka. Stunting bukan semata pada ukuran

fisik pendek, tetapi lebih pada konsep bahwa proses terjadinya stunting

5
bersamaan dengan proses terjadinya hambatan pertumbuhan dan

perkembangan organ lainnya, termasuk otak (Achadi, 2016).

Dampak buruk dari stunting dalam jangka pendek bisa menyebabkan

terganggunya otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan

metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang

dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,

menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, risiko tinggi munculnya

penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker,

stroke dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif

yang berakibat pada rendahnya produktifitas ekonomi (Kemenkes RI, 2016).

Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek

dan jangka panjang:

a. Dampak Jangka Pendek:

1) Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;

2) Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal; dan

3) Peningkatan biaya kesehatan.

b. Dampak Jangka Panjang:

1) Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan

pada umumnya);

2) Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;

3) Menurunnya kesehatan reproduksi;

4) Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah;

dan

5) Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

3) Upaya Pencegahan Stunting

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals

(SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu

menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta

mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka

stunting hingga 40% pada tahun 2025.

6
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah

satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39

Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat

dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan

prevalensi stunting di antaranya sebagai berikut:

1) Ibu Hamil dan Bersalin

a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;

b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;

c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;

d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein,

dan mikronutrien (TKPM);

e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);

f. Pemberantasan kecacingan;

g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku

KIA;

h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI

eksklusif; dan

i. Penyuluhan dan pelayanan KB.

2) Balita

a. Pemantauan pertumbuhan balita;

b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

untuk balita;

c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan

d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

3) Anak Usia Sekolah

a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);

b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;

c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan

d. memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba.

7
4) Remaja

a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat

(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi

narkoba; dan

b. Pendidikan kesehatan reproduksi.

5) Dewasa Muda

a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);

b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan

c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak

merokok/mengonsumsi narkoba.

B. Tinjauan Tentang Balita

1. Pengertian

Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karasteristik

pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun, dimna umur 5 bulan berat badan naik 2

kali berat badan lahir dan berat badan naik 3 kali berat badan lahir pada umur 1

tahun dan menjadi 4 kali pada umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada

masa pra sekolah kenaikan berat badan kurang lebih 2 kg per tahun, kemudian

pertumbuhan konstan mulai berakhir (soetjiningsih, 2017).

Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat

dalam pencapaian keoptimalan fungsinya, pertumbuhan dasar yang akan

mempengaruhi serta menentukan perkembangan kemampuan berbahasa,

kreatifitas, kesadaran social, emosional dan intelegensia ( Supartini, 2017).

2. Pertumbuhan Dan Perkembangan Balita

a. Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah pertambahan jumlah dan besar sel diseluruh bagian

tubuh. Pertumbuhan bersifat irreversible (tidak dapat balik) serta kuantitatif

sehingga indikatornya dapat diukur, misalnya tinggi badan, berat badan, dan

lingkar kepala. (Lyndon Saputra, 2014).

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dari waktu kewaktu. (Arali,

2009).

8
Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologi sebagai hasil dari proses

pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak

yang sehat dalam peredaran waktu tertentu. (Suryani, 2008).

b. Perkembangan

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan atau fungsi semua sistem

organ tubuh akibat bertambahnya kematangan fungsi sistem organ tubuh.

(Lyndon Saputra, 2014).

Perkembangan adalah bertambahnya fungsi tubuh seperti pendengaran,

penglihatan, kecerdasan tanggung jawab dan lain-lain. (Arali, 2009).

Perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan

fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak ditunjang oleh faktor lingkungan dan

proses belajar dalam waktu tertentu menuju kedewasaan. (Suryani, 2008).

C. Konsep Tentang Status Gizi Balita

1. Status Gizi Balita

Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki Panjang atau tinggi badan yang

kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan Panjang atau

tinggi badan yang lebih dari 2 minum dan 2 standar devisiasi median standar

pertumbuhan dari anak (World Health Oranisation, 2018).

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variable

tertentu atau perwujudan nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supriasa, dkk

2001, diacu dalam Adriani 2014)

Status gizi merupakan bukti seberapa jauh perhatian manusia terhadap

kecakupan gizi bagi tubuh (Apriadji 1986, diacu dalam Adriani 2014).

Status gizi adalaah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh komsumsi,

penyerapan, dan penggunaan makanan. Susunan makanan yang memenuhi

kebutuhan gizi tubuh umumnya dapat menciptakan status gizi yang memuaskan.

(Suhardjo 1986, Diacu dalam Adriani 2014).

Status gizi adalah tingkat keadaan gizi seseorang yang dinyatakan menurut

jenis dan beratnya keadaan gizi. Misalnya gizi lebih, gizi baik, gizi kurang, gizi

buruk (Depkes RI, 1992). Status gizi merupakan keseimbangan antara

9
kebutuhan zat gizi dan konsumsi makanan (Jellife, 1966 dan Beck, 1993, diacu

dalam Adriani 2014).

Status gizi optimal adalah keseimbangan anatara asupan zat gizi

memengaruhi status gizi seseorang. Selain asupan zat gizi, infeksi juga ikut

memengaruhi status gizi. Pada orang yang status gizinya kurang, masalah

kurangnya asupan zat gizi dan adanya infeksi yang biasanya menjadi penyebab

(Adriani, 2014).

2. Kebutuhan Gizi Balita

a. Kebutuhan energy balita

Kebutuhan energy dipengaruhi oleh usia, aktivitas, dan basal metabolisme.

Sekitar 55% kalori total digunakan untuk aktivitas metabolisme, 25% untuk

aktivitas fisik, 12% untuk pertumbuhan, dan 98% zat yang dibuang atau

sekitar 90-100 kkal/kg BB. Ketika laju pertumbuhan menurun pada masa

batita dan prasekolah, kebutuhan kalori (per kg) tidak setinggi pada waktu

masa bayi. Pedoman umum yang dapat digunakan untuk menghitung

kebutuhan kalori pada masa awal anak sama dengan (1.000 kkal) + 100 kkal

setiap tahun umur. Jadi, anak tiga tahun membutuhkan sekitar 1.300 kkal

per hari (Adriani,2014).

b. Kebutuhan protein balita

Protein dalam tubuh digunakan untuk pertumbuhan otot dan imunitas

tubuh. Kebutuhan protein balita, FAO menyarankan komsumsi protein

sebesar 1,5-2 g/kg BB, dimana 2/3 diantaranya didapat dari protein bernilai

biologi tinggi. Pada umur 3-5 tahun komsumsi protein menjadi 1,57 g/kg/hari

(Adriani, 2014).

Kecakupan protein ini hanya dapat dipakai dengan syarat kebutuhan

energy terpenuhi. Bila kebutuhan energy tidak terpenuhi, maka sebagian

protein yang dikomsumsi akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan

energy. Pertumbuhan dan rehabilitasi, kecakupan protein dan energy lebih

tinggi karena akan digunakan untuk sintesis jaringan baru yang susunannya

sebagian besar terdiri dari protein (Andriani, 2014).

10
c. Kebutuhan lemak balita

Lemak merupakan sumber energy yang konsentrasinya cukup tinggi dalam

tubuh. Satu gram lemak menghasilkan 9 kkal. Lemak juga berfungsi sebagai

asam lemak essensial pelarut vitamin A,D,E,K serta pemberi rasa gurih pada

makanan. Konsumsi lemak yang dianjurkan pada balita adalah sekitar 15-

20% dari energy total. (Adriani,2014).

3. Penentuan Status Gizi Balita

a. Parameter antropemetri

Antropemetri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan

mengukur beberapa parameter merypakan kurang tumggal dari tubuh

manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,

lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak dibawah kulit.

(Adriani 2014).

1. Umur

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan

penentuan umur akan menyebabkan interprestasi status gizi menjadi

salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat yang akurat menjadi

tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat (Supriasi 2002).

Menurut puslitbang gizi bogor(1980) dalam supriasi (2002), batasan umur

yang digunakan yaitu tahun umur penuh (completed year )dan untuk anak

umur 0-2 digunakan bulan usia penuh (completed month).

2. Tinggi badan

Tinggi badan merupakan parameter penting bagi keadaan giziyang

telah lalu. Selain itu, tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting

karena dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan

(quack stick), faktor umur dapat dikesampingkan . Nilai tinggi badan

meningkat terus, walaupun laju tumbuh berubah dari pesat pada masa

bayi lalu melambat dan kemudian menjadi pesat lagi pada masa remaja.

Keuntungan indikator TB ialah pengukurannya yang objektif dan

dapat di ulang. Selain itu, TB merupakan indicator yang baik juga untuk

menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan fisik yang sudag

11
lewat(stunted). Adapun kerugiannya yakni perubahan tinggi badan yang

tepat, dan terkadang perlu lebih dari seorang tenaga (Soetjaningsih 2002,

diacu dalam Adriani 2014).

3. Berat badan

Berat badan merupakan ukuran antropemetri yang terpenting dan

paling sering digunkan bayi baru lahir.Saat bayi dan balita ,berat badan

dapat digunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status

gizi.Kecuali apabila terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi,asites,

adema,dan adanya tumor. Berat badan juga dapat digunakan sebagai

dasar perhitungan dosis obat dan makanan. Berat badan merupakan hasil

peningkatan seluruh jaringan tulang, otot, lemak, cairan tubuh, dan lain

lain. (Soetjaningsih 2002, diacu dalam adriani 2014).

Berat badan merupakan pilihan utama karena berbagai

pertimbangan,antara lain:

a. Berat badan merupakan parameter yang paling baik, karena mudah

terlihat perubahannya dalam waktu singkat, karena adanya

perubahan konsumsi makanan dan gangguan kesehatan.

b. Berat badan memberikan gambaran status gizi pada waktu sekarang

dan bila dilakukan secara periodik akan memberikan gambaran yang

baik tentang pertumbuhan.

c. Berat badan merupakan ukuran antropemetri yang telah dipakai

secara umum dan luas di Indonesia, sehingga bukan merupakan hal

baru yang memerlukan penjelasan secara meluas.

d. Ketelitian pengukuran berat badan tidak banyak dipengaruhi oleh

keterampilan pengukur.

e. KMS (kartu menuju sehat ) yang digunakan merupakan alat yang baik

untuk pendidikan dan memonitor kesehatan anak.

f. Alat pengukur berat badan dapat diperoleh di daerah pedesaan

dengan ketelitian yang tinggi menggunakan dacin yang juga telah

dikenal masyarakat (Soetjaningsih 2002, diacu dalam Adriani 2014).

12
Menurut Gibson (1990) dalam Adriani (2014), ada beberapa

keuntungan menggunakan antropometri untuk penentuan status gizi,

yaitu :

1. Caranya mudah, sederhana, aman, dan teknisnya tidak terlalu

banyak instruksi.

2. Dapat digunakan pada posisi tidur, duduk, atau berdiri.

3. Sesuai dengan sampel besar.

4. Peralatan yang digunakan relative tidak mahal.

5. Bersifat portable (bias dibawa kemana-mana.

6. Bias dibuat atau dibeli masyarakat atau instansi setempat.

7. Tidak memerlukan keterampilan yang tinggi dalam

menggunakannya.

8. Metode dapat memberikan hasil yang akurat, asalkan mengikuti

cara yang betul.

9. Hasil antropometri dapat menggambarkan terjadinya masalah gizi

(pertumbuhan) dalam jangka waktu sebelumnya.

10. Dapat dipakai untuk mengevaluasi perubahan status gizi dari satu

generasi ke generasi berikutnya.

11. Dapat digunakan untuk screening test.

4. Indeks yang digunakan

Indeks antropometri merupakan kombinasi antara berbagai parameter gizi

(supriasa, 2002). Cara termudah untuk menilai status gizi dilapangan

yakni dengan pengukuran antropometri karena sederhana, murah, dapat

dilakukan siapa saja, dan cukup diteliti. Di Indonesia, jenis antropometri

yang banyak digunakan untuk keperluan penentuan status gizi anak balita

dimasyarakat baik dalam kegiatan program maupun penelitian yaitu

pengukuran BB,TB, dan LILA (Depkes RI, 1998). Data antropometri yang

sering digunakan yaitu berat badan, tinggi badan, sedangkan indeks

antropometri yang sering dipakai untuk menilai status gizi yaitu berat

badan terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap tinggi badan

(BB/TB).

13
Beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan untuk menentukan

indeks yang digunakan, antara lain :

1. Skrining atau penapisan, penilaian status gizi perorangan untuk

keperluan rujukan dari kelompok .

2. Pemantauan pertumbuhan anak, dalam kaitannya dengan kegiatan

pengukuran.

3. Penilaian status gizi pada kelompok masyarakat yang dapat

digunakan untuk mengetahui hasil dari suatu program, sebagai

bahan perencanaan program atau penetapan kebijakan.

4. Standar dan klasifikasi yang digunakan

Standar baku antropometri yang sering digunakan yakni baku Harvard dan

baku WHO-NCHS. Keperluan kegiatan pemantauan status gizi balita, umumnya

menggunakan baku WHO-NCHS dengan pertimbangan :

a) Baku/ standar WHO-NCHS. Membedakan jenis klamin;

b) Penentuan cut off point untuk klasifikasi status gizi dinyatakan

dalam persentil (Depkes RI, 1990).

Beberapa jenis klasifikasi telah dikemukakan, antara lain oleh welcome,

Gomez, Jellife, Bengoa, dan Waterlow. Masing-masing klasifikasi

mempunyai pertimbangan tertentu untuk penentuan status gizi. Di Indonesia,

Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI (2001) menetapkan klasifikasi

status gizi sebagai berikut :

Batas

pengelompokkan

No. Indeks yang (SD- simpang Sebutan

dipakai Deviasi) status gizi

1. BB/U < - 3 SD Gizi Buruk

-3 s/d, - 2 SD Gizi Kurang

- 2 s/d + 2 SD Gizi Baik

> + 2 SD Gizi Lebih

14
2. TB/U > - 3 SD Sangat

- 3 s/d, 2SD pendek

- 2 s/d + 2 SD Pendek

> + 2 SD Normal

Tinggi

3. BB/TB < - 3 SD Sangat Kurus

- 3 s/d, - 2 SD Kurus

- 2 s/d + 2 SD Normal

> + 2 SD Gemuk

(Sumber: Depkes RI, 2001 diacu dalam Adriani 2014)

5. Determinan Status Gizi

Faktor gizi yang internal merupakan factor yang berasal dari seseorang yang

menjadi dasar pemeriksaan tingkat kebutuhan gizi seseorang. (Almatsier S 2001,

diacu dalam adriani 2014).

1. Faktor gizi internal yang mempengaruhi balita, meliputi:

a. Nilai cerna makanan

Penganekaragaman makanan erat kaitannya dengan nilai cerna

makanan. Makanan yang disediakan untuk dikonsumsi manusia

mempunyai nilai cerna yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan

makanan, misalnya keras atau lembek.

b. Status kesehatan

Status kesehatan seseorang turut menentukan kebutuhan zat gizi.

Kebutuhan zat gizi orang sakit berbeda dengan orang sehat, karena

sebagian sel tubuh orang sakit telah mengalami kerusakan dan perlu

diganti, sehingga membutuhkan zat gizi lebih banyak. Selain untuk

membangun kembali sel tubuh yang telah rusak, zat gizi lebih ini

diperlukan untuk pemulihan.

15
c. Keadaan infeksi

Di Indonesia dan juga negara berkembang lainnya penyakit infeksi

masih menghantui jiwa dan kesehatan balita. Dangguan defisiensi gizi

dan rawan infeksi merupakan suatu pasangan yang erat, maka perlu

ditinjau kaitannya satu sama lain, infeksi biasa berhubungan dengan

gangguan gizi melalui beberapa cara, yaitu mempengaruhi nafsu

makan, menyebabkan kehilangan bahan makanan karena muntah/diare,

atau mempengaruhi metabolisme makanan. Gizi buruk dan infeksi,

keduannya dapat bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak

sehat dengan sanitasi buruk. Selain itu juga, diketahui bahwa infeksi

menghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan

sumber energy pada tubuh.

Infeksi akut menyebabkan kurangnya nafsu makan dan toleransi

terhadap makanan. Di berbagai tempat didunia, makanan dapat

tercemar oleh berbagai penyakit yang menimbulkan gangguan dalam

penyerapan zat gizi. (Suhardjo, 1989, diacu dalam Andriani, 2014).

d. Umur

Anak balita yang sedang mengalami pertumbuhan memerlukan

makanan bergizi yang lebih banyak dibandingkan orang dewasa per

kilogram berat badannya. Dengan semakin bertambah umur, semakin

meningkat pula kebutuhan zat tenaga bagi tubuh.

Pada usia 2-5 tahun merupakan masa golden age di mana pada

masa itu dibutuhkan zat tenaga yang diperlukan bagi tubuh untuk

pertumbuhannya. Semakin bertambah usia akan semakin meningkat

kebutuhan zat tenaga yang dibutuhkan oleh tubuh untuk mendukung

meningkatnya dan semakin beragamnnya kegiatan fisik. (Apriadji 1986,

diacu dalam Adriani, 2014).

e. Jenis kelamin

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi seseorang.

Anak laki-laki lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein

daripada anak perempuan, karena secara kodrat laki-laki memang

16
diciptakan lebih kuat dari perempuan. Dan hal ini, dengan mudah dapat

dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

(Soetjaningsih 1995, diacu dalam Adriani, 2014).

f. Pemberian ASI ekslusif

Pemberian ASI secara ekslusif untuk bayi hanya diberikan ASI, tanpa

diberi tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh

dan air putih. Pemberian ASI ekslusif dianjurkan untuk jangka waktu

minimal 4 bulan atau 6 bulan (Roesli, 2002 diacu dalam Adriani 2014).

g. Riwayat makanan\

Arisman (2004) dalam Adriani 2014 berpendapat, bahwa memasuki

usia 4 – 6 bulan bayi telah siap menerima makanan bukan cair, karena

gigi telah tumbuh dan lidah siap menelan makanan setengah padat.

Disamping itu, lambung juga telah lebih baik mencerna zat tepung.

Diawal kehidupannya, lambung dan usus bayi sesungguhnya belum

sepenuhnya matang. Bayi dapat mencerna gula dalam susu ( laktosa)

tetapi belum mampu menghasilkan amylase dalam jumlah yang jumlah

yang cukup. Jika kemudian bayi disapih pada usia 4-6 bulan, tidak

berarti karena bayi telah siap menerima makanan selain ASI, tetapi

karena kebutuhan gizi bayi tidak cukup dipasok hanya dengan ASI.

Memang ada sebagian bayi yang terus tumbuh dengan memuaskan

meskipun tidak diberikan makanan tambahan. Namun di lain pihak,

cukup banyak bayi yang membutuhkan zat gizi dan energy lebih dari

sekedar yang tersedia dalam ASI.

2. Faktor Gizi Eksternal

Faktor gizi eksternal adalah factor yang berpengaruh di luar diri

seseorang (Almatsier S 2001), diacu dalam Adriani 2014). Factor gizi

eksternal yang mempengaruhi gizi balita meliputi :

a. Tingkat Pendidikan Orangtua

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam

tubuh kembang anak. Karena dengan Pendidikan yang baik, maka

orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama cara

17
pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya,

pendidikannya dan sebagainya (Soetjaningsih 1995, diacu dalam

Adriani, 2014).

Tingkat Pendidikan seseorang akan berkaitan erat dengan wawasan

pengetahuan mengenai sumber gizi dan jenis makanan yang baik untuk

komsumsi keluarga. Ibu rumah tangga yang berpendidikan akan

cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam mutu dan

jumlahnya, dibandingkan dengan ibu yang pendidikannya lebih rendah.

(Adriani, 2014).

b. Jenis pekerjaan orangtua

Status ekonomi keluarga dapat dilihat dari pekerjaan yang dilakukan

oleh kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga yang lain.

Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan anggota

keluarga lain akan menentukan seberapa besar sumbangan mereka

terhadap keuangan rumah tangga kemudian digunakan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga, seperti pangan yang bergizi dan

perawatan kesehatan. Jadi terdapat hubungan antara komsumsi pangan

dan status ekonomi rumah tangga serta status gizi masyarakat

(Suhardjo 1992, diacu dalam Adriani 2014).

c. Tingkat pendapatan keluarga

Faktor ekonomi merupakan akar masalah terjadinya gizi kurang.

Kemampuan keluarga untuk mencukupi makanan dipengaruhi oleh

tingkat pendapatan keluarga itu sendiri. Keluarga yang mempunyai

pendapatan relative rendah sulit mencukupi kebutuhan makanannya.

Kemampuan keluarga bergantung dari bahan makanan. Bahan

makanan yang harganya mahal biasanya jarang dan bahkan tidak ada

(Soetjaningsih 1995, diacu dalam Adriani 2014).

d. Pengeluaran keluarga untuk makan

Kemampuan keluarga untuk membeli bahan makanan, antara lain

bergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga dan harga bahan

makanan. Pola pengeluaran untuk membeli bahan pangan antara

18
keluarga dengan pendapatan rendah berbeda. Keluarga dengan

pendapatan tinggi akan mengeluarkan uangnya untuk membeli

kebutuhan pangan pokok dan bahan pangan penyertanya, misalnya

lauk hewani, susu, dan buah. Keluarga dengan tingkat pendapatan

rendah dengan harga kebutuhan bahan pangan yang mahal,

kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan sesuai

dengan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh masih kurang. Keluarga

dengan tingkat pendapatan rendah hanya akan mengeluarkan uang

untuk membeli bahan makanan pokok, sedangkan untuk lauknya tidak

diperhatikan (Linda 2003, diacu dalam Adriani 2014).

e. Jumlah anggota keluarga

Dalam keluarga dengan anak yang terlalu banyak akan sulit untuk

diurus, sehingga suasana rumah kurang tenang dan dapat

mempengaruhi ketenangan jiwa anak. Suasana demikian secara tidak

langsung akan menurunkan nafsu makan bagi anak yang terlalu peka

terhadap suasana yang kurang menyenangkan. Jumlah anak yang

kelaparan dari keluarga besar ini hamper empat kali lebih besar.

(Adriani, 2014).

f. Tingkat pengetahuan gizi ibu baik

Maka diharapkan status gizi ibu dan balitanya baik, sebab

gangguan gizi adalah karena kurangnya pengetahuan tentang gizi. Ibu

yang cukup pengetahuan gizi akan memperhatikan kebutuhan gizi yang

dibutuhkan anaknya supaya dapat tumbuh berkembang seoptimal

mungkin. Sehingga ibu berusaha memiliki bahan makanan yang sesuai

dengan kebutuhan anaknya. (Suhardjo 1986, diacu dalam Adriani 2014).

g. Ketersedian pangan

Jumlah serta macam pangan yang mempengaruhi pola makan

penduduk disuatu daerah atau kelompok masyarakat biasanya

berkembang dari pangan yang tersedia di daerah itu, atau pangan yang

telah ditanam ditempat tersebut untuk jangka waktu yang Panjang.

Untuk tingkat rumah tangga, ketersediaan pangan dalam keluarga

19
antara lain dipengaruhi oleh tingkat atau daya beli keluarga, jumlah

anggota keluarga, dan pengetahuan ibu tentang pangan dan gizi

(Suhardjo 1989, diacu dalam Adriani 2014).

h. Pola komsumsi pangan

Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang

memanfaatkan pangan yang tersedia sebagai reaksi terhadap tekanan

ekonomi dan sosial budaya yang dialaminya. Kelompok pertama, faktor

yang berhubungan dengan persediaan atau pengadaan bahan pangan.

Dalam kelompok ini termasuk faktor geografi, iklim, dan kesuburan

tanah yang dapat mempengaruhi jenis tanaman dan jumlah produksinya

disuatu daerah.

i. Tingkat Konsumsi Gizi

Keadaan kesehatan gizi anak tergantung dari tingkat komsumsi.

Tingkat konsumsi ditentukan oleh kuantitas serta kualitas hidangan

menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh dalam

susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain.

Kuantitas menunjukkan kuantum masing-masing zat gizi terhadap

kebutuhan tubuh. Bila susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh,

dari segi kualitas maupun kuantitas maupun kuantitasnya, maka tubuh

akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang baik. Konsumsi yang

menghasilkan kesehatan gizi yang sebaik-baiknya disebut konsumsi

yang adekuat.

D. Peran Bidan

Peran adalah suatu kumpulan norma untuk perilaku seorang dalam suatu posisi

khusus, seperti seorang istri, suami, anak, guru, perawat, bidan dan sebagainya.

Peran merupakan suatu konsep struktural dan masyarakat dapat dipandang sebagai

suatu sistem peran yang kompleks. Dalam melaksanakan profesinya seorang bidan

memiliki peran yang spesifik yaitu:

1. Peran Sebagai Pelaksana

Sebagai pelaksana, bidan memiliki tiga kategori tugas, yaitu tugas mandiri, tugas

kolaborasi, dan tugas ketergantungan.

20
a. Tugas Mandiri

Tugas-tugas mandiri bidan yaitu:

1) Menetapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan yang

diberikan

2) Memberi pelayanan dasar pada anak remaja dan wanita pranikah dengan

melibatkan klien

3) Memberikan asuhan kebidanan kepada klien selama kehamilan normal

4) Memberikan asuhan kebidanan kepada klien dalam masa persalinan

dengan melibatkan klien dan keluarga

5) Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir

6) Memberi asuhan kebidanan pada klien dalam masa nifas dengan

melibatkan klien atau keluarga

7) Memberi asuhan kebidanan pada wanita usia subur yang membutuhkan

pelayanan keluarga berencana

8) Memberi asuhan kebidanan pada wanita dengan gangguan sistem

reproduksi dan wanita dalam masa klimakterium serta menopause

9) Memberi asuhan kebidanan pada bayi dan balita dengan melibatkan

keluarga.

b. Tugas Kolaborasi

Tugas-tugas kolaborasi bidan yaitu:

1) Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan

sesuai fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga.

2) Memberi asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan resiko tinggi dan

pertolongan pertama pada kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan

kolaborasi.

3) Memberi asuhan kebidanan pada ibu hamil dalam masa persalinan

dengan resiko tinggi serta keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan

pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi dengan melibatkan klien

dan keluarga.

21
4) Memberi asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan resiko

tinggi serta pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan yang

memerlukan tindakan kolaborasi klien dan keluarga.

5) Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan resiko tinggi dan

pertolongan pertama dalam keadaaan kegawatdaruratan yang

memerlukan tindakan kolaborasi bersama klien dan keluarga.

6) Memberi asuhan kebidanan pada balita dengan resiko tinggi serta

pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan

tindakan kolaborasi bersama klien dan keluarga.

c. Tugas Ketergantungan

Tugas-tugas ketergantungan bidan yaitu:

1) Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan

sesuai dengan fungsi keterlibatan klien dan keluarga.

2) Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada kasus

kehamilan dengan resiko tinggi serta kegawatdaruratan.

3) Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi serta rujukan pada masa

persalinan dengan penyulit tertentu dengan melibatkan klien dan

keluarga.

4) Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada ibu

dalam masa nifas yang disertai penyulit tertentu dan kegawatdaruratan

dengan melibatkan klien dan keluarga.

5) Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan kelainan tertentu

dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi serta rujukan dengan

melibatkan klien dan keluarga.

6) Memberi asuhan kebidanan kepada anak balita dengan kelainan tertentu

dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi rujukan dengan

melibatkan klien dan keluarga.

2. Peran Sebagai Pengelola

Sebagai pengelola bidan memiliki 2 tugas, yaitu tugas pengembangan pelayanan

dasar kesehatan dan tugas partisipasi dalam tim.

22
a. Mengembangkan Pelayanan Dasar Kesehatan

Bidan bertugas mengembangkan pelayanan dasar kesehatan, terutama

pelayanan kebidanan untuk individu, keluarga, kelompok khusus, dan

masyarakat di wilayah kerja dengan melibatkan masyarakat atau klien,

mencakup:

1) Mengkaji kebutuhan terutama yang berhubungan dengan kesehatan ibu

dan anak untuk meningkatkan serta mengembangkan program pelayanan

kesehatan diwilayah kerjanya bersama tim kesehatan dan pemuka

masyarakat.

2) Menyusun rencana kerja sesuai dengan hasil pengkajian bersama

masyarakat.

3) Mengelola kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat,

khususnya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana (KB).

Mengkoordinir, mengawasi, dan membimbing kader/dukun, atau petugas

kesehatan lain dalam melaksanakan program/kegiatan pelayanan

kesehatan ibu dan anak serta KB.

4) Mengembangkan strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat

khususnya kesehatan ibu dan anak serta KB, termasuk pemanfaatan

sumber-sumber yang ada pada program dan sektor terkait.

5) Menggerakkan dan mengembangkan kemampuan masyarakat serta

memelihara kesehatannya dengan memanfaatkan potensi-potensi yang

ada.

6) Mempertahankan, ,meningkatkan mutu dan keamanan praktik profesional

melalui pendidikan, pelatihan, magang serta kegiatan-kegiatan dalam

kelompok profesi.

7) Mendokumentasikan seluruh kegiatan yang telah dilaksanakan.

b. Berpatisipasi Dalam Tim

Bidan berpatisipasi dalam tim untuk melaksanakan program kesehatan dan

sektor lain di wilayah kerjanya melalui peningkatan kemampuan dukun bayi,

23
kader kesehatan, serta tenaga kesehatan lain yang berada di bawah

bimbingan dalam wilayah kerjanya, mencakup:

1) Bekerja sama dengan puskesmas, institusi lain sebagai anggota tim

dalam memberi asuhan kepada klien dalam bentuk konsultasi rujukan dan

tindak lanjut.

2) Membina hubungan baik dengan dukun bayi dan kader kesehatan atau

petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) dan masyarakat.

3) Melaksanakan pelatihan serta membimbing dukun bayi, kader dam

petugas kesehatan ini.

4) Memberi asuhan kepada klien rujukan dari dukun bayi.

5) Membina kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat, yang berkaitan

dengan kesehatan.

3. Peran Sebagai Pendidik

Sebagai pendidik bidan memiliki 2 tugas yaitu sebagai pendidik dan penyuluh

kesehatan bagi klien serta pelatih dan pembimbing kader.

a. Memberi Pendidikan dan Penyuluhan Kesehatan Pada Klien

Bidan memberi pendidikan dan penyuluhan kesehatan kepada klien

(individu, keluarga, kelompok, serta masyarakat) tentang penanggulangan

masalah kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan ibu,

anak, dan keluarga berencana, mencakup:

1) Mengkaji kebutuhan pendidikan dan penyuluhan kesehatan, khususnya

dalam bidang kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana bersama

klien.

2) Menyusun rencana penyuluhan kesehatan sesuai dengan kebutuhan

yang telah dikaji, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang

bersama klien.

3) Menyiapkan alat serta materi pendidikan dan penyuluhan sesuai dengan

rencana yang telah disusun.

24
4) Melaksanakan program/rencana pendidikan dan penyuluhan kesehatan

sesuai dengan rencana jangka pendek serta jangka panjang dengan

melibatkan unsur-unsur terkait, termasuk klien.

5) Mengevaluasi hasil pendidikan atau penyuluhan kesehatan bersama klien

dan menggunakannya untuk memperbaiki serta meningkatkan program di

masa yang akan datang.

6) Mendokumentasi semua kegiatan dan hasil pendidikan atau penyuluhan

kesehatan secara lengkap serta sistematis.

b. Melatih dan Membimbing Kader

Bidan melatih dan membimbing kader, peserta didik kebidanan dan

keperawatan, serta membina dukun di wilayah atau tempat kerjanya,

mencakup:

1) Mengkaji kebutuhan pelatihan dan bimbingan bagi kader, dukun bayi,

serta peserta didik.

2) Menyusun rencana pelatihan dan bimbingan sesuai dengan hasil

pengkajian.

3) Menyiapkan alat bantu mengajar (audio visual aids, AVA) dan bahan

untuk keperluan pelatihan dan bimbingan sesuai dengan rencana yang

telah disusun.

4) Melaksanakan pelatihan untuk dukun bayi dan kader sesuai dengan

rencana yang telah disusun dengan melibatkan unsur-unsur terkait.

5) Membimbing peserta didik kebidanan dan keperawatan dalam lingkup

kerjanya.

6) Menilai hasil pelatihan dan bimbingan yang telah diberikan.

7) Menggunakan hasil evaluasi untuk meningkatkan program bimbingan.

4. Peran Sebagai Peneliti atau Investigator

Berdasarkan peran bidan seperti yang dikemukakan di atas, maka fungsi bidan

adalah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi kebutuhan investigasi yang akan dilakukan.

2) Meyusun rencana kerja pelatihan.

3) Melaksanakan investigasi sesuai dengan rencana.

25
E. Fungsi Bidan

Berdasarkan tugas dan peran bidan seperti yang telah dijabarkan diatas maka

fungsi bidan ada empat yaitu sebagai berikut :

1. Fungsi pelaksana

a. Melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada individu, keluarga, serta

masyarakat khususnya kaum remaja pada masa praperkawinan.

b. Melakukan asuhan kebidanan untuk proses kehamilan normal, kehamilan

dengan kasus patologi tertentu, dan kehamilan dengan resiko tinggi.

c. Menolong persalinan normal dan kasus persalinan patologis tertentu.

d. Merawat bayi segera setelah lahir normal dan bayi dengan resiko tinggi.

e. Melakukan asuhan kebidanan pada ibu nifas.

f. Memelihara kesehatan ibu dalam masa menyusui.

g. Melakukan pelayanan kesehatan pada anak balita dan pra sekolah.

h. Memberi pelayanan KB sesuai dengan kewenangan.

i. Memberi bimbingan dan pelayanan kesehatan untuk kasus gangguan sistem

reproduksi, termasuk wanita pada masa klimakterium internal dan menopause

sesuai dengan wewenangnya.

2. Fungsi pengelolah

a. Mengembangkan konsep kegiatan pelayanan kebidanan bagi individu,

keluarga, kelompok masyarakat, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan

masyarakat setempat yang didukung oleh partisipasi masyarakat.

b. Menyusun rencana pelaksanaan pelayanan kebidanan dilingkungan unit

kerjanya.

c. Memimpin koordinasi kegiatan pelayanan kebidanan.

d. Melakukan kerjasama serta komunikasi inter dan antar sektor yang terkait

dengan pelayanan kebidanan.

e. Memimpin evaluasi hasil kegiatan tim atau unit pelayanan kebidanan.

3. Fungsi pendidik

a. Memberi penyuluhan kepada individu, keluarga, dan kelompok masyarakat

yang terkait dengan pelayanan kebidanan dalam lingkup kesehatan serta KB.

26
b. Membimbing dan melatih dukun bayi serta kader kesehatan sesuai dengan

bidang tanggung jawab bidan.

c. Memberi bimbingan kepada peserta didik bidan dalam kegiatan praktik di klinik

dan di masyarakat.

d. Mendidik peserta didik bidan atau tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan

bidang keahliannya.

4. Fungsi peneliti

a. Melakukan evaluasi, pengkajian, survai dan penelitian yang dilakukan sendiri

atau berkelompok dalam lingkup pelayanan kebidanan.

b. Melakukan penelitian kesehatan keluarga dan KB.

F. Kerangka Pikiran

Kerangka berpikir adalah serangkaian konsep dan kejelasan hubungan antar

konsep tersebut yang dirumuskan oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka, dengan

meninjau teori yang disusun dan hasil-hasil penelitian yang terdahulu yang terakit.

Sehingga, peneliti membuat kerangka pemikiran penelitian sebagai:

Peran Bidan

Stunting

Status Gizi

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

27

Anda mungkin juga menyukai