Anda di halaman 1dari 11

Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang mempunyai prevalensi

kejadian stunting cukup tinggi yaitu 30%-39%, menempati peringkat kelima dunia
dengan jumlah anak pendek terbanyak (Trihono, dkk., 2015). Stunting merupakan
masalah kesehatan utama yang dapat menghambat proses berkembangnya bangsa
Indonesia. Hal tersebut diindikasikan berdasarkan standar WHO yaitu 20% atau
seperlima dari jumlah total balita secara keseluruhan (Sudargo, Kusmayanti, dan
Hidayati, 2018). Berdasarkan prevalensi secara global, terdapat sebanyak 22,9% atau
154,8 juta anak balita dengan kasus tersebut dan menjadi 22,2% atau sekitar 150,8
juta balita di tahun 2017. Kondisi tersebut terpusat di negara miskin 35,2% dan
negara berkembang 22,4%, yang tersebar di Asia dengan prevalensi 56% (Anggryni,
dkk., 2021).
Menurut Sudargo (dalam Rahayu dkk, 2018) Stunting adalah kondisi tinggi
badan seseorang lebih pendek dibanding tinggi badan orang lain pada umunya yang
seusianya karena malnutrisi kronik yang menggambarkan riwayat kurang gizi balita
dalam jangka waktu lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan gizi. Banyaknya anak yang mengalami stunting di Indonesia dikarenakan
kondisi beberapa daerah di Indonesia yang masih terbelenggu dengan tingginya
kemiskinan, rendahnya sanitasi lingkungan, ketersediaan pangan yang kurang, pola
asuh yang kurang baik, dan pelayanan kesehatan yang belum optimal (Kemenkes RI,
2017). Bukti Internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehinngga
mengakibatkan hilangnya 11% penghasilan domestik serta mengurangi pendapatan
pekerja dewasa hingga 20% dan mengurani 10% dari total pendapatan seumur hidup
dan juga menyebabkan kemiskinan antar generasi (TNP2K, 2017). Berdasarkan
pemaparan dampak terjadinya stunting secara berkepanjangan tersebut, menjadi
sorotan tersendiri bagi Pemerintah dalam menanggulangi kejadian stunting. Hal ini
dibuktikan dari gerakan Pemerintah melalui Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TN2PK) yang telah mengeluarkan anggaran khusus
diperuntukkan bagi program-program penanggulangan dan pencegahan stunting
(Rahayu, dkk., 2018).
Kondisi stunting adalah kondisi dimana anak memiliki tinggi badan yang lebih
pendek dibanding tinggi badan anak pada umumnya (Andarwulan, 2020). Stunting
pada anak mencerminkan kondisi gagal tumbuh pada anak balita yang diakibatkan
dari kekurangan gizi kronis sehingga menjadi terlalu pendek dari usianya. Periode
1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul kritis sebagai awal
terjadinya stunting yang selanjutnya akan memberikan dampak jangka panjang
hingga akan berulang dalam siklus kehidupan. Stunting pada anak menjadi
permasalahan karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan
dan kematian, gangguan pada perkembangan otak, gangguan terhadap perkembangan
motorik dan terhambatnya pertumbuhan mental anak (Saputri, 2019). Balita dengan
stunting beresiko mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
kehidupannya (Dewi dan Primadewi, 2021). Pentingnya mencegah terjadinya
kejadian stunting dikarenakan gagal tumbuh yang terjadi pada usia balita akan
berlanjut ke usia berikutnya, dan hal ini akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang
dan anak hingga berdampak pada masa dewasa (Trihono, dkk., 2015).
Pada tahun 2018 Kemenkes RI kembali melakukan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Litbangkes) tentang Prevalensi Stunting. Berdasarkan Penelitian tersebut angka
stunting atau anak tumbuh pendek turun dari 37,2 persen pada Riskesdas 2013
menjadi 30,8 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Pravelensi stunting
di Semarang berdasarkan data dari Dinas Kesehatan pada tahun 2020, jumlah anak
penderita stunting di Semarang sebanyak 3.817atau 5.31% dari total populasi anak,
sedangkan menurut catatan dan pelaporn gizi berbasis masyarakat (PPGBM)
pravelensi balita stunting mwncapai 12. 58% atau dibawah angka Provinsi Jawa
Tengah sebesar 14.51%
Sedangkan, dampak dari stunting bukan hanya gangguan pertumbuhan fisik,
tetapi juga mempengaruhi pola pertumbuhan otak, dan juga balita yang mengalami
stunting saat dewasa akan berpeluang terjangkit penyakit kronis seperti diabetes,
kanker, stroke dan hipertensi serta kemungkinan memiliki penurunan produktifitas
kerja usia produktifnya (Lestari dan Dwihestie, 2020). Selain itu menurut (Trihono
2015) stunting juga dapat mengakibatkan kerusakan pada perkembangan anak yang
irreversible (tidak bisa diubah), anak tersebut tidak akan pernah bisa mempelajari dan
mendapatkan sebanyak yang dia bisa. Stunting dapat berdampak seumur hidup
terhadap anak sehingga diperlukan kesadaran masyarakat akan pentingnya mencegah
kejadian stunting pada balita.
Berdasarkan pemaparan dampak dari adanya kondisi stunting yang
mengakibatkan terjadinya permasalahan pada lingkup keluarga hingga pada lingkup
Negara, menyadarkan beberapa piihak bahwa pentingnya mencegah terjadinya
stunting. Tetapi disisi lain, masih kurangnya perhatian masyarakat dalam mengetahui
penyebab dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk turut serta membantu dalam
pencegahan terjadinya stunting tersebut. Menurut (Harmoko 2017) terdapat beberapa
faktor yang menjadi penyebabnya terjadinya stunting pada balita yaitu berat badan
lahir, asupan gizi balita, pemberian Air Susu Ibu (ASI), riwayat penyakit infeksi,
pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga dan jarak kelahiran. Hasil penelitian yang
ditemukan oleh (Ni’mah dan Nadhiroh 2015) menjelaskan bahwa balita yang tidak
mendapatkan ASI Eksklusif 4,6 kali beresiko lebih besar untuk terjadi stunting. Anak
yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif cenderung mengalami kekurangan zat gizi
yang diperlukan dalam proses pertumbuhan. Pemberian ASI eksklusif merupakan
salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan gizi pada masa balita. Air Susu Ibu
(ASI) sangat berperan dalam pemenuhan nutrisi balita (Rivanica dan Oxyandi, 2016)
ASI merupakan asupan gizi yang akan membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak. Salah satu manfaat dari ASI Eksklusif ialah dapat mendukung
pertumbuhan bayi terutama tinggi badan karena kalsium ASI lebih efisien diserap
dibanding susu formula (Adriani dan Wijratmadi, 2012). Bayi yang tidak
mendapatkan ASI Eksklusif akan mengalami gangguan pada kesehatan fisik maupun
kecerdasan otak (Zomratun, dkk., 2018), Maka dari itu ASI merupakan peran penting
dalam mencegah stunting. Tapi masih banyak para ibu, belum mengetahui bagaimana
memberikan ASI eksklusif untuk memenuhi kebutuhan gizi pada balita. Hal inilah
yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut terkait “Hubungan
Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting pada Balita.”
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul Hubungan ASI Eksklusif terhadap kejadian stunting.
METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian : Kuantitatif


Desain : Korelasional
Variabel bebas : ASI Eksklusif
Variabel terikat : Stunting
Fenomena Jurnal Teori Metode penelitian

Prevalensi secara Anggryni, M., Dkk. (2021). Menurut Sudargo (dalam Jenis penelitian kuantitatif
Faktor Pemberian Nutrisi
global, terdapat sebanyak Masa Golden Age Rahayu dkk, 2018) Stunting menggunakan desain
22,9% atau 154,8 juta anak dengan Kejadian adalah kondisi tinggi badan korelasional
Stunting pada Balita di
balita dengan kasus tersebut Negara Berkembang. seseorang lebih pendek
Jurnal Obsesi: Jurnal
dan menjadi 22,2% atau Pendidikan Anak Usia dibanding tinggi badan
sekitar 150,8 juta balita di Dini. 5(2). 2356-1327 orang lain pada umunya
Halim, L. A., Warouw, S. M.,
tahun 2017. Kondisi Manoppo, J. I. yang seusianya karena
Hubungan Faktor-faktor
tersebut terpusat di negara Resiko dengan Stunting
malnutrisi kronik yang
miskin 35,2% dan negara pada Anak Usia 3-5 menggambarkan riwayat
Tahun di TK/PAUD
berkembang 22,4%, yang Kecamatan Tuminting. kurang gizi balita dalam
Jurnal Medik dan Vol. 2,
tersebar di Asia dengan jangka waktu lama akibat
No. 4.
prevalensi 56% (Anggryni, Rehabilitasi.Diunduh pemberian makanan yang
pada 25 Juli 2019
dkk., 2021). <http://ejournal.unsrat.ac. tidak sesuai dengan
id> kebutuhan gizi
Dewi, A, M,L, M &
Primadewi, H, N, N.
(2021). Kejadian
Stunting Pada Balita Usia
12-36 Bulan. Jurnal
Keperawatan Jiwa
(JKJ): Persatuan
Perawat Nasional
Indonesia. 9(1). 55-60.

Pada tahun 2018 Kemenkes Kondisi stunting


RI kembali melakukan adalah kondisi dimana anak
Riset Kesehatan Dasar memiliki tinggi badan yang
(Riskesdas) yang dilakukan lebih pendek dibanding
oleh Badan Penelitian dan tinggi badan anak pada
Pengembangan Kesehatan umumnya (Andarwulan,
(Litbangkes) tentang 2020). Stunting pada anak
Prevalensi Stunting. mencerminkan kondisi
Berdasarkan Penelitian gagal tumbuh pada anak
tersebut angka stunting atau balita yang diakibatkan dari
anak tumbuh pendek turun kekurangan gizi kronis
dari 37,2 persen pada sehingga menjadi terlalu
Riskesdas 2013 menjadi pendek dari usianya.
30,8 (Kementerian Periode 1000 hari pertama
Kesehatan Republik kehidupan (1000 HPK)
Indonesia, 2018). merupakan simpul kritis
sebagai awal terjadinya
stunting yang selanjutnya
akan memberikan dampak
jangka panjang hingga akan
berulang dalam siklus
kehidupan. Stunting pada
anak menjadi permasalahan
karena berhubungan dengan
meningkatnya risiko
terjadinya kesakitan dan
kematian, gangguan pada
perkembangan otak,
gangguan terhadap
perkembangan motorik dan
terhambatnya pertumbuhan
mental anak (Saputri,
2019). Balita dengan
stunting beresiko
mengalami gangguan
pertumbuhan dan
perkembangan pada
kehidupannya (Dewi dan
Primadewi, 2021).
Pentingnya mencegah
terjadinya kejadian stunting
dikarenakan gagal tumbuh
yang terjadi pada usia balita
akan berlanjut ke usia
berikutnya, dan hal ini akan
sangat mempengaruhi
tumbuh kembang dan anak
hingga berdampak pada
masa dewasa (Trihono,
dkk., 2015).

Pravelensi stunting di
Semarang berdasarkan data
dari Dinas Kesehatan pada
tahun 2020, jumlah anak
penderita stunting di
Semarang sebanyak
3.817atau 5.31% dari total
populasi anak, sedangkan
menurut catatan dan
pelaporn gizi berbasis
masyarakat (PPGBM)
pravelensi balita stunting
mwncapai 12. 58% atau
dibawah angka Provinsi
Jawa Tengah sebesar
14.51%

Anda mungkin juga menyukai