ABSTRACT
Stunting is one of the long-term indicators for malnutrition. Stunting prevalence in Indonesia about
37.2%. Babies born with low birth weight is 10.2% and the achievement of exclusive breastfeeding is
30.2%. Survey in Limapuluh Health Centre Pekanbaru, from 18 children who perform measurements,
obtained 13 infants suffered stunting. The result of interviews showed that three of them were born with
low birth weight (BBLR) and five are not given exclusive breastfeeding. This research is to find-out the
correlation between low birth weight (BBLR) and exclusive breastfeeding with stunting in Limapuluh
Health Centre Pekanbaru in 2017. This study was a quantitative analysis study used cross sectional
strategy. Population consists of 300 people, sample consists of 75 people by accidental sampling
technique. Analysis using univariat and bivariate. The result were 25 infant (33,3%) are stunting, 22
infant (29,3%) with low birth weight (BBLR) and not given exclusive breastfeeding are 55 infant
(73,3%). There was a significant association between low birth weight (BBLR) with stunting was
obtained p value 0.000 and association between exclusive breastfeeding with stunting was obtained p
value 0.021 its mean p<0,05. There is a relationship between BBLR and exclusive breastfeeding with
stunting events, the Ha accepted.
tidak disadari oleh keluarga dan setelah 2 dimensi bangsa yang berefek pada masa
tahun baru terlihat dan berdampak pada depan anak (Fenn, Morris, & Frost, 2004)
kemampuan kognitif dan produktivitas Banyak faktor yang menyebabkan
jangka panjang, bahkan bisa berdampak terjadinya stunting pada balita dan faktor-
pada kematian (Oktarina & Sudiarti, 2014) faktor tersebut saling berhubungan satu
WHO mencatat bahwa di dunia lebih dengan yang lainnya. Menurut Unicef
dari 2 juta kematian anak umur 6–12 tahun Framework ada 3 faktor utama penyebab
berhubungan langsung dengan gizi stunting yaitu asupan makanan yang tidak
terutama akibat stunting dan sekitar 1 juta seimbang, BBLR (Berat Badan Lahir
kematian akibat KEP (Kekurangan Energi Rendah) dan riwayat penyakit (The &
dan Protein), vitamin A dan zinc (Martins, Journal, 2007). Asupan makanan yang
Florê, Santos, Vieira, & Sawaya, 2011). tidak seimbang termasuk dalam pemberian
Sebanyak 1 dari 3 anak berusia 6–12 tahun ASI ekslusif yang tidak sesuai yang
atau sekitar 178 juta anak yang hidup di diakibatkan karena keterbatasan makanan
negara miskin dan berkembang mengalami sehat yang bisa dikonsumsi (Wiyogowati,
kekerdilan (stunting) , 111,6 juta hidup di 2012).
Asia dan 56,9 juta hidup di Afrika BBLR terkait dengan mortalitas dan
(Nurafiatin, 2007). morbiditas janin dan neonatal, gangguan
pertumbuhan, gangguan perkembangan
Prevalensi stunting pada balita kognitif dan penyakit kronis di kehidupan
berdasarkan hasil Riskesdas mengalami mendatang. Bayi dengan Berat Badan Lahir
peningkatan di mana sebanyak 35,6% anak Rendah (BBLR) di negara-negara
balita mengalami stunting (tahun 2010) dan berkembang lebih cenderung mengalami
pada tahun 2013 prevalensi ini meningkat retardasi pertumbuhan intrauterin karena
secara nasional menjadi 37,2% yang terdiri gizi ibu yang buruk dan angka infeksi yang
dari 18% sangat pendek dan 19,2% pendek meningkat jika di bandingkan dengan
(Kemenkes, 2013). negara-negara maju. (Fitri, 2012)
Jika dilihat dari umur balita, ternyata Pemberian makanan pendamping
kejadian stunting banyak terdapat pada usia ASI yang terlalu dini dan tidak berhasilnya
12 hingga 59 bulan. Padahal teori ASI ekslusif juga berhubungan dengan
menjelaskan bahwa 90% pertumbuhan otak kejadian stunting pada anak. Pada
manusia terjadi sejak janin sampai sebelum penelitian yang dilakukan Avianti (2006)
anak berusia lima tahun. Bahkan, 70% menunjukkan walaupun secara statistik
pertumbuhan otak itu terjadi di bawah usia hubungan pemberian ASI eksklusif dengan
2 tahun (Anisa, 2012). Proses pertumbuhan stunting pada anak umur 2 tahun tidak
seperti ini tidak dijumpai di periode- bermakna, namun secara klinis anak yang
periode usia lainnya. Oleh sebab itu tidak mendapat ASI eksklusif cukup
seringkali periode ini dijuluki masa emas mempengaruhi kejadian stunting (OR =
atau periode kritis (Almatsier, 2003). 1,98) (Rahayu & Sofyaningsih, 2011).
Bila terjadi gangguan pertumbuhan Berdasarkan data Riskesdas tahun
pada masa emas sehingga pertumbuhan 2013 dapat kita lihat bahwa angka kejadian
otak tidak terjadi sebagaimana mestinya, stunting sesuai dengan wilayah Indonesia
maka pertumbuhan tidak bisa dikejar pada di bagi menjadi 4 kelompok rendah yaitu
periode berikutnya, sekalipun kebutuhan (<20%), sedang (20 – 29%), tinggi (30 –
gizinya dipenuhi dengan baik dan anak 39%) dan sangat tinggi (>40%). Riskesdas
tetap akan mengalami gangguan 2013 menyebutkan bahwa di antara 33
pertumbuhan otak. Hal ini akan memberi provinsi, 18 provinsi memiliki prevalensi
dampak sangat luas mulai dari kualitas gizi buruk kurang di atas angka prevalensi
bangsa, kecerdasan, dimensi ekonomi dan nasional yang berkisar antara 21,2% sampai
dengan 33,1%. Provinsi Riau termasuk ke
dalam urutan 15 untuk kasus gizi buruk (BBLR) dan pemberian ASI ekslusif
(Kemenkes, 2013). Bila dilihat hasil dengan stunting pada balita di Puskesmas
Riskesdas 2013 Riau diketahui memiliki Lima Puluh Pekanbaru.
prevalensi balita stunting sebesar 30%, bila
dibandingkan dengan batas Non public HASIL DAN PEMBAHASAN
health yang ditetapkan WHO pada tahun Penelitian ini dilaksanakan di
2005 sebesar 20%, maka Riau masih dalam Puskesmas Lima Puluh Pekanbaru yang
kondisi bermasalah terutama kesehatan merupakan salah satu puskesmas yang ada
masyarakatnya yang berkaitan dengan gizi di kecamatan Lima Puluh. Kecamatan Lima
(Minarto, 2014). Puluh merupakan salah satu kecamatan di
Pekanbaru sebagai salah satu kota Kota Pekanbaru, di mana di kecamatan ini
yang di kenal kaya dengan sumber daya merupakan pusat transportasi air antara
alam nya, ternyata masih menghadapi Pekanbaru dengan wilayah lainnya karena
permasalahan yang berkaitan dengan gizi. terletak pada tepi Sungai Siak dan Sungai
Data yang di dapat dari pengukuran dan Sail serta setiap tahun sering mengalami
penimbangan massal yang dilakukan Dinas banjir. Kondisi masyarakatnya berada pada
kesehatan Kota Pekanbaru pada bulan ekonomi menengah kebawah dengan
Agustus 2009 terhadap 318.536 balita, di lapangan pekerjaan yang terbesar adalah
dapatkan sekitar 4,4% tinggi badannya jasa sebanyak 15.540 jiwa. Rata-rata
kurang ideal, dan dari 3 orang balita yang kepadatan penduduk di kecamatan Lima
meninggal karena masalah gizi, 1 di Puluh ini sebesar 11.031 jiwa. Hasil data
antaranya ternyata adalah di kota yang didapat diproses dan diolah dengan
Pekanbaru. system komputerisasi dan disajikan dalam
Berdasarkan hasil survey di bentuk analisis univariat dan bivariat
Puskesmas Lima Puluh kota Pekanbaru seperti yang tercantum pada tabel berikut :
Provinsi Riau didapatkan dari 18 orang
balita yang di ukur, 13 orang diantaranya Analisis Univariat
mengalami stunting. Hasil wawancara
memperlihatkan bahwa 3 orang diantaranya 1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
lahir dengan BBLR dan 5 orang tidak Tabel 1. Distribusi Frekuensi Bayi dengan
diberikan ASI ekslusif. BBLR.
N Kategori Frek Persenta
METODE PENELITIAN o BBLR se (%)
1 Ya 22 29,3%
Jenis penelitian ini adalah analitik 2 Tidak 53 70,7%
kuantitatif dengan desain Cross-sectional Total 75 100%
(Ariani, 2014). Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat
yang melakukan penimbangan tahun 2016 bahwa 22 orang (29,3%) bayi yang lahir
di Puskesmas Lima Puluh Pekanbaru tergolong BBLR.
melalui program PSG (Pemantauan Status Berat badan lahir rendah atau sering
Gizi) dengan jumlah 300 orang balita per disebut dengan BBLR adalah bayi dengan
tahunnya. Sampel diambil dengan metode berat badan lahir kurang dari 2500 gram.
non random sampling melalui teknik Menurut Vivian (2010) klasifikasi BBLR
accidental sampling berjumlah 75 orang terbagi atas dua macam yaitu bayi lahir
balita. Analisis data secara Univariat untuk kecil akibat kurang bulan dan yang kedua
melihat gambaran distribusi frekuensi, bayi lahir kecil dengan berat badan yang
besarnya proporsi dari masing-masing seharusnya untuk masa gestasi (dismatur).
variabel yang akan disajikan. Selanjutnya Faktor penyebab dari berat badan lahir
dilakukan analisis bivariat untuk melihat rendah adalah faktor ibu yang meliputi gizi
hubungan antara berat badan lahir rendah ibu saat hamil, usia ibu kurang dari 20 tahun
atau lebih dari 35 tahun, jarak kehamilan tubuh, psikologi, ekonomi dan sebagainya
yang terlalu dekat, paritas serta faktor dari (Marmi, 2013).
janin (Fitri, 2012). Kartiningrum (2015) dalam
Hasil penelitian memperlihatkan penelitiannya menyebutkan bahwa riwayat
bahwa dari 75 orang balita ternyata 22 ASI ekslusif merupakan factor resiko
orang (29,35) diantaranya lahir dengan terjadinya gizi kurang pada balita. Dari 20
BBLR. Hasil penelitian yang peneliti orang sampel kasus yang digunakan, 13
dapatkan hampir sama dengan penelitian orang (68,4%) diantaranya tidak ASI
yang dilakukan oleh Rahayu (2011) yang ekslusif dan mengalami gizi kurang. Ini
mendapatkan bahwa 6% bayi mengalami juga sama dengan yang peneliti dapatkan
BBLR dan 8% mengalami prematur. dimana 55 orang (75%) responden tidak
Menurut penelitian ini kejadian prematur memberikan ASI secara ekslusif
memiliki risiko untuk mengalami stunting (Kartiningrum, 2015).
sebesar 2 kali (Rahayu & Sofyaningsih, Hasil penelitian ini memperlihatkan
2011). bahwa ternyata pencapaian pemberian ASI
Riset di Guatemala menunjukkan eklsusif di Puskesmas Lima Puluh ini masih
bahwa status gizi kurang selama masa belum memenuhi target. Balita sudah
kehamilan merupakan salah satu faktor diberikan MP-ASI terlalu dini akibatnya
yang berkontribusi pada pertumbuhan janin pertumbuhan balita akan terganggu.
yang buruk. Penelitian di Semarang
menunjukkan hasil bahwa panjang bayi 3. Stunting
lahir dipengaruhi oleh kadar haemoglobin, Tabel 3. Distribusi Frekuensi Balita dengan
lingkar lengan atas (LILA) pada trimester Stunting.
III dan pertambahan berat badan selama N Kategori Frekuensi Persentase
hamil (Yustiana, 2013). o Stunting (%)
1 Ya 25 33,3%
2. ASI Ekslusif 2 Tidak 50 66,7%
Total 75 100%
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pemberian
ASI Ekslusif. Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat
N Kategori Frekuensi Persentase bahwa 25 orang (33,3%) balita terdeteksi
o ASI (%) mengalami stunting. Hasil penelitian ini
Ekslusif
sama dengan penelitian yang dilakukan
1 Ya 20 26,7%
2 Tidak 55 73,3% oleh Sinaga (2016) dimana 22 orang
Total 75 100% (25,6%) balita mengalami stunting (Sinaga,
2016). Dari 22 orang ini, 9 orang
Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat diantaranya mengalami BBLR dan 14
bahwa mayoritas balita tidak mendapatkan orang diantaranya tidak diberikan ASI
ASI secara eklusif selama 6 bulan pertama ekslusif.
yaitu 55 orang (73,3%). Stunting merupakan hal yang
ASI sangat dibutuhkan dalam masa dianggap orangtua sebagai sesuatu yang
pertumbuhan bayi agar kebutuhan gizinya biasa. Orangtua menganggap bahwa anak
tercukupi. Oleh karena itu ibu harus dan mereka masih bisa mengalami
wajib memberikan ASI secara ekslusif pertumbuhan sebab usianya masih balita
kepada bayi sampai umur bayi 6 bulan dan padahal bila stunting tidak terdeteksi secara
tetap memberikan ASI sampai bayi dini, minimal sebelum berusia 2 tahun,
berumur 2 tahun untuk memenuhi maka perbaikan untuk gizinya akan
kebutuhan gizi bayi (Alrahmad, Miko, & mengalami keterlambatan untuk tahun
Hadi, 2010). ASI mempunyai keunggulan berikutnya.
baik ditinjau dari segi gizi, daya kekebalan