Anda di halaman 1dari 9

A.

Konsep Penyakit
a. Definisi
Demam typhoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini
adalah penyakit menular yang termasuk dalam kelompok penyakit yang
mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan
wabah (Setiati, et al., 2014). Demam typhoid (tifus abdominalis, enteric fever)
adalah penyakit infeksi akut yang mengenai saluran pencernaaan disebabkan
oleh bakteri salmonella typhii (Purba, Wandra, & Nugrahini, 2016). Typhoid
adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi bakteri
Salmonella typhi (S. typhi). Organisme ini masuk melalui makanan dan
minuman yang sudah terkontaminasi oleh feses dan urin dari orang yang
terinfeksi bakteri S. typhi (Padila, 2013)

b. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Salmonella typhii atau Salmonella Parathypi
(Nursalam, Susilaningrum, & Utami, 2013). Penyebab utama demam thypoid
ini adalah bakteri salmonella thypi pada usus kecil dan aliran darah. Bakteri
Salmonella typhi adalah berupa basil gram negative, bergerak dengan rambut
getar, tidak berspora, dan mempunyai tiga macam antigen yaitu antigen O
(somatic yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella),
dan antigen VI. (Irianto, 2014). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu (Rahmat,
Akune, & Sabir, 2019).

Factor pencetus terjadinya demam typhoid lainnya adalah lingkungan,


sistem imun yang rendah, feses, urin, makanan/minuman yang terkontaminasi,
fomitus, dan lain sebagainya. Bakteri ini tercampur di dalam air yang kotor
atau susu dan makanan yang terinfeksi. Pada usus kecil akan timbul tukak, dan
bakteri kemudian masuk ke aliran darah (Lestari, 2016; Irianto, 2014).

c. Patofisiologi
Penularan demam typhoid dapat terjadi melalui berbagai cara yang dikenal
dengan 5 F yaitu (food, finger, fomitus, fly, feses) Feses dan muntahan dari
penderita demam tifoid dapat menularkan bakteri Salmonella typhi kepada
orang lain. Bakteri tersebut ditularkan melalui makanan atau minuman yang
telah terkontaminasi dan melalui perantara lalat, di mana lalat akan hinggap di
makanan yang akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut
kurang memperhatikan kebersihan diri seperti mencuci tangan dan makanan
yang tercemar oleh bakteri Salmonella typhi. (Hilda & Syahrul, 2016).
Sebagian bakteri akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi
masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila imun penderita kurang baik
maka bakteri akan masuk ke usus halus bagian distal, lalu mencapai jaringan
limfoid. Bakteri berkembang biak lalu masuk ke aliran darah (bacteremia
primer) dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial
kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk ke limpa, usus halus dan kandung
empedu. Bakterimia kembali masuk dalam darah dan menyebar ke seluruh
tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak
berbentuk lonjong diatas plak peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan
perdarahan dan perforasi usus. Pada masa bacteremia ini bakteri mengeluarkan
endotoksin yang mempunyai peran membantu proses peradangan local dimana
bakteri berkembang. (Rahmat, Akune, & Sabir, 2019).

d. Tanda dan gejala


Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan (Nurarif & Kusuma,
2015). Tanda dan gejala dari demam tifoid bervariasi dari gejala ringan
seperti demam, malaise, batuk kering serta rasa tidak nyaman ringan di
perut. (Rahmat, Akune, & Sabir, 2019). S. typhi merupakan bakteri
pathogen penyebab demam typhoid penyakit infeksi sistemik dengan
gambaran demam yang berlangsung lama, adanya bakterimia disertai
inflamasi yang dapat merusak usus dan organ hati. Gejala typhoid
berkembang selama satu sampai dua minggu setelah penderita terinfeksi.
Gejala yang umum terjadi adalah demam naik secara bertangga pada
minggu pertama lalu menetap atau remiten pada minggu kedua. Demam
terutama sore/malam hari, disertai sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare. Demam merupakan gejala klinis terpenting
yang timbul pada semua penderita typhoid. Demam dapat secara tiba-tiba
dan dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala menyerupai septisemia
oleh streptococcus atau pneumococcus daripada S. typhi. Sakit kepala hebat
yang menyeertai dapat menyerupai gejala meningitis. S. typhi disisi lain
juga dapat menembus sawar otak dan menyebabkan meningitis. Tanda dan
gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor,
psikotik atay koma. Nyeri perut kadan tidak dapat dibedakan dengan
apendisitis, kemudian pada tahap lanjutan dapat muncul gambaran
peritonisi akibat perforasi usus (Ardiaria, 2019).
e. Pemeriksaan Penunjang
a. Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada pasien demam typhoid adalah
pemeriksaan darah tepi yang terdapat gambaran leukopenia, limfositosis
relative pada permulaan sakit, pemeriksaan darah untuk kultur (biakan
empedu) dan tes widal. Kultur darah untuk menemukan bakteri
Salmonella typhi sedangkan tes widal adalah pemeriksaan yang dapat
menentukan diagnosis typhoid secara pasti (Suriadi & Yuliani, 2010),
Sampai saat ini diagnosis baku demam typhoid adalah pemeriksaan
kultur. Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis
pada demam minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah,
karena masih terjadi bacteremia, Pemeriksaan diagnostik biasanya
dibuat berdasarkan riwayat penyakit. Jika laboratorium tersedia,
diagnosis dapat dibuktikan dengan meningkatnya antibodi dalam darah
(tes widal). Setelah uji widal positif maka dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan tes faal hati yaitu pemeriksaan SGPT dan SGOT yang
ditandai dengan meningkatnya kadar Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase (SGPT) dan Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
(SGOT) dalam darah (Irianto, 2014).
b. Laboratorium
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas
pemeriksaan antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibodi
paling sering dilakukan saat ini, termasuk didalamnya adalah test Widal,
test Hemagglutinin (HA), Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE),
dan test cepat/ rapid test (Typhidot, TUBEX). Sedangkan pemeriksaan
antigen S. Typhi dapat dilakukan melalui pemeriksaan protein antigen
dan protein baik menggunakan ELISA/ koaglutinasi namun sampai saat
ini masih dalam penelitian jumlah kecil (Wain & Salih, 2008 dalam
IDAI, 2017).
Tes Widal dilakukan untuk mengukur kadar antibodi terhadap
antigen O dan H dari S. typhi ini sudah digunakan lebih dari 100 tahun.
Tes widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga
penggunaannya sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di daerah
endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O
meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal
penyakit. Interpretasi pemeriksaan Widal ini harus dilakukan secara
hati-hati karena dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium penyakit,
pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas dan riwayat
imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan spesifisitas Widal rendah
tergantung pada kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat
memberikan hasil negatif hingga 30% dari sampel biakan positif demam
typhoid (IDAI, 2017).

f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada typhoid terbagi menjadi tatalaksana umum dan
menggunakan pengobatan dengan antibiotic, antara lain (Ardiaria, 2019):
1. Tatalaksana umum
Penatalaksanaan perawatan supportif dalam menangani typhoid yaitu
dengan memenuhi rehidrasi oral atau parenteral, penggunaan antipiretik,
pemberian nutrisi yang adekuat serta transfuse darah apabila terdapat
indikasi. Selain itu tirah baring/bed rest juga diperlukan untuk
memaksimalkan terapi yang ada. Nutrisi perlu dirumat dengan
pemberian makan yang sering, dan jika diperlukan, nutrisi dapat
diberikan secara parenteral. Antipiretik dapat diberikan untuk
menurunkan suhu badan akibat demam (Bush & Perez, 2014).

2. Tatalaksana antibiotic
Tatalaksana typhoid adalah ntuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala yang menyertai, mencegah komplikasi, dan menghindari
kematian, serta eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan
keadaan carrier. Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas
isolasi S. typhi. Pilihan terapi antibiotic untuk typhoid yaitu golongan
flourokuinolon seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau
gatifloksasin. Tetapi terdapat masalah yang terjadi sekarang dalam
penanganan typhoid adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat
antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau
yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. typhi yang
resisten terhadap kloramfenikol, yang pertama kali timbul pada tahun
1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin,
amoksisilin, trimetoprimsulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap
fluorokuinolon (Nelwan, 2012).
Selain itu diperlukan strategi pencegahan, seperti menyediakan makanan
dan minuman yang higienis, memperhatikan kebersihan diri perorangan
meliputi kebersihan lingkungan, sanitasi yang baik dan tersedianya air
bersih untuk kebutuhan sehari-hari, serta melakukan vaksinasi. (Ardiaria,
2019).
g. Komplikasi
Demam tifoid dapat menyebabkan beberapa komplikasi yaitu
pendarahan interestinal, perforasi usus, hepatitis tifosa, pankreasitis tifosa,
miokarditis dan neuropsikiatrik (Widodo et al, 2014) juga terdapat
komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, perforasi (Purba,
Wandra, & Nugrahini, 2016). Berikut beberapa komplikasi yang terjadi
pada kasus typhoid antara lain (Padila, 2013):
1) Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perporasi usus (radang usus)
c. Ilius paralitik (lumpuhnya pergerakan usus)
2) Komplikasi extra intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, tromboplebitis
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan
syndroma uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu: hepatitis kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal: glomerulus nefritis, pyelonepritis dan
perinepritis.
f. Komplikasi tulang: osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan
arthritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningiusmus, meningitis,
polineuritis perifer, sindroma, Guillain bare dan sindroma katatonia
B. Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
Pengkajian fokus pada pasien thypoid disesuaikan dengan perjalanan
patologi penyakit, dengan pengkajian seperti antara lain (Muttaqin & Sari,
2013). Secara umum keluhan utama pasien adalah demam, apabila pasien
datang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pada minggu pertama
demam akan didapatkan keluhan inflamasi yang belum jelas, kemudian
pada minggu kedua setelahnya, keluhan menjadi lebih berat. Dengan
keluhan lain seperti nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi
dan nyeri otot,
Pada pengkajian riwayat kesehatan mungkin ditemukan keadaan
mengonsumsi makanan yang tidak diolah dengan baik, sumner air minum
yang tidak sehat dan kondisi lingkunan rumah tempat tinggal yang tidak
sehat dan kondisi rumah yang tidak diolah dengan baik, serta memvalidasi
penyakit dahulu seperti tifus abdominalis sebelumnya
Pengkajian psikososial yang sering ditemukan adalah kecemasan dengan
kondisi sakit dan keperluan memenuhi informasi tentang pola hidup bersih
dan higienis. Karena pada pemeriksaan fisik akan didapatkan berbagai
manifestasi klinik yang berhubungan denagn perjalanan dari penyakit
typhoid.
Pemeriksaan fisik pada pasien typhoid dengan menggunakan pengkajian
Review of System (ROS) (Muttaqin & Sari, 2013), antara lain:
a. Kesadaran Umum
Pada fase awal penyakit biasanya tidak didapatkan adanya
perubahan. Pada fase lanjut secara umum pasien terlihat sakit
berat dan sering didapatkan penurunan tingkat kesadaran
b. Tanda-tanda vital
Pada fase 7-14 hari didapatkan suhu tubuh meningkat 39-41°C
pada malam hari dan biasanya turun pada pagi hari. Pada
pemeriksaan nadi didapatkan penurunan frekuensi nadi (bradikardi
relative)
c. B1 (Breathing) sistem pernapasan
Sistem pernapasan biasanya tidak didapatkan adanya kelainan, tetapi
akan mengalami perubahan apabila terjadi respons akut dengan
gejala batuk kering. Pada beberapa kasus berat mungkin didapatkan
adanya komplikasi tanda dan gejala pneumonia.
d. B2 (Blood) sistem kardiovaskuler dan hematologi
Penurunan tekanan darah, keringat dingin, dan diaphoresis sering
didapatkan minggu pertama. Kulit pucat dan akral dingin
berhubungan dengan penurunan kadar hemoglobin. Pada minggu
ketiga, respons toksik sistemik bisa mencapai otot jantung dan
terjadi miokarditis dengan manifestasi penurunan curah jantung
dengan tanda denyut nadi lemah, nyeri dada, dan kelemahan fisik
e. B3 (Brain) neurosensori dan fungsi sistem saraf pusat
Pada pasien dengan dehidrasi berat akan menyebabkan penurunan
perfusi serebral dengan manifestasi sakit kepala, perasaan lesu,
gangguan mental seperti halusinasi dan delirium. Pada beberapa
pasien didapatkan kejang umum yang merupakan respons terlibatnya
system saraf pusat oleh infeksi typus abdominalis. Terdapat kondisi
ikterik di sklera yang terjadi pada kondisi berat
f. B4 (Bladder) sistem genitourinarius
Pada kondisi berat akan didapatkan penurunan urin output respons
dari penurunan curah jantung
g. B5 (Bowel) sistem gastrointestinal
Inspeksi:
- Lidah kotor berselaput putih dan tepi hyperemesis disertai
stomatitis. Tandai ini jelas nampak mulai pada minggu kedua
berhubungan dengan infeksi sistemik dan endotoksin kuman.
- Sering muntah
- Perut kembung
- Distensi abdomen dan nyeri, merupakan tanda yang
diwaspadai terjadinya perforasi dan peritonitis.
Auskultasi:
- Didapatkan penurunan bising usus kurang dari 5 kali/menit
pada minggu pertama dan terjadi konstipasi, serta selanjutnya
meningkat akibat terjadi diare.
Perkusi:
- Didapatkan suara timpani abdomen akibat kembung
Palpasi:
- Hepatomegaly dan splenomegaly. Pembesaran hati dan limpa
mengindikasikan infeksi RES yang mulai terjadi pada
minggu ke II
- Nyeri tekan abdomen.
h. B6 (Bone) sistem musculoskeletal dan integument
Respon sistemik akan menyebabkan malaise, kelemahan fisik
umum, dan didapatkan kram otot ekstremitas. Pemeriksaan
integument sering didapatkan kulit kering, turgor kulit menurun,
muka tampak pucat, rambut agak kusam, dan yang terpenting sering
didapatkannya roseola (bintik merah pada leher, punggung, dan
paha). Roseola merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol
dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah, pucat serta hilang
pada penekanan, lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan
awal minggu kedua. Roseola ini merupakan emboli kuman dimana
didalamnya mengandung kuman Salmonella dan terutama
didapatkan di daerah perut, dada dan terkadang dibokong maupun
bagian fleksor dari lengan atas

Anda mungkin juga menyukai