Anda di halaman 1dari 25

HUBUNGAN TITER WIDAL DENGAN JUMLAH

LIMFOSIT PADA KASUS DEMAM TIFOID DI


POLIKLINIK PASPAMPRES

SKRIPSI

ARIEF EKO NUGROHO


NIM : P27903220002

Jl. DR. Sitanala, RT.002/RW.003, Karang Sari, Kec. Neglasari,


Kota Tangerang, Banten 15121

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam tifoid menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia,
demam tifoid atau yang sering disebut juga tifus merupakan penyakit infeksi
akut pada usus halus yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhosa dan
hanya terdapat pada manusia (Afiani & Susilaningsih, 2020). Infeksi tifoid
dapat menghasilkan penyakit demam bakteremia dengan gejala khas yaitu
demam tinggi berkepanjangan, sakit kepala dan malaise. Pengobatan yang
tidak efektif akan menyebabkan perubahan kondisi mental, ileus, perdarahan
gastrointestinal, perforasi usus, syok septik, kecacatan dan kematian terutama
di kalangan anak -anak (Susanti, 2021). Menurut data World Health
Organization (WHO, 2018) diperkirakan 11–20 juta orang jatuh sakit akibat
tifus dan antara 128.000 dan 161.000 orang meninggal karenanya setiap tahun,
di Asia dan Afrika adalah wilayah dengan kasus terbanyak. Demam tifoid
sering terjadi di negara berkembang dan daerah tropis, dengan sekitar 21 juta
kasus dan 700 kasus berakhir kematian. Berdasarkan data dari profil
Kesehatan Indonesia tahun 2014 jumlah kejadian demam tifoid adalah 3.828
kasus sedangkan pada tahun 2015 jumlah kejadian demam tifoid ini adalah
1.867 kasus, walaupun pada tahun 2015 terjadi penurunan kasus tetapi demam
tifoid ini masih termasuk penyakit yang sangat tinggi walaupun prevalensi
tifoid tahun 2015 turun angka namun kejadian demam tifoid termasuk dalam
10 penyakit terbesar di dua tahun terakhir (Depkes RI, 2015).
Data Rekam medis di Poliklinik Paspampres dari bulan Januari hingga
Mei 2022 terdapat 55 kasus dengan demam tifoid ,dari data tersebut dapat di
lihat bahwa angka kesakitan karena demam tifoid di Poliklinik Paspampres
cukup tinggi.
Prosedur diagnosis demam tifoid dan paratifoid yang biasanya
dilakukan adalah dengan melihat tanda dan gejala klinis, marker serologi,

1
2

kultur bakteri dan pelacakan DNA bakteri S. typhi dan S. paratyphi. Kultur
darah, sumsum tulang dan feses merupakan diagnosis yang dapat dipercaya
namun prosedurnya cukup mahal dan sensitivitasnya berkurang ketika pasien
sudah mendapatkan terapi antibiotik (Hayat, 2011). Diagnosis serologi paling
sering digunakan oleh negara berkembang sejak hampir satu abad ini adalah
pemeriksaan widal, walaupun saat ini telah diketahui bahwa pemeriksaan ini
kurang spesifik namun pemeriksaan widal tetap sering dilakukan mengingat
pemeriksaan ini cukup praktis dan murah (Lalremruata dkk., 2014)
Pemeriksaan Widal merupakan pemeriksaan aglutinasi yang
menggunakan suspensi bakteri S. typhi dan S. paratyphi sebagai antigen untuk
mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella tersebut dalam serum
penderita. Pemeriksaan widal sangat umum dilakukan di fasilitas kesehatan
primer dimana sumber daya masih terbatas. Pemeriksaan ini sebenarnya
memiliki banyak kekurangan diantaranya yaitu tidak dapat membedakan
antara 9 infeksi saat ini dengan infeksi sebelumnya ataupun vaksinasi tifoid.
Sehingga memperhatikan gejala klinis merupakan suatu keharusan sebelum
menentukan terapi (Ohanu et al; 2019).
Kelemahan lain adalah banyak terjadi hasil negatif palsu dan positif
palsu pada tes ini. Hasil negatif palsu pemeriksaan widal terjadi jika
pemeriksaan dilakukan di fase awal infeksi dimana antibodi belum terbentuk.
Pemberian antibiotik merupakan salah satu peyebab penting terjadinya negatif
palsu. Penyebab hasil negatif lainnya adalah variasi dan stabilitas reagen,
variasi suhu, metode pemeriksaan, dan variasi tenaga yang melakukan
pemeriksaan. Hasil positif palsu dapat terjadi apabila, sudah pernah imunisasi
atau terinfeksi Salmonella sp dan reagen yang digunakan terkontaminasi
(Idrus H, 2020).
Pemeriksaan widal ada dua macam yaitu pemeriksaan widal metode
slide dan metode tabung. Metode slide atau Slide Aglutination Test lebih
disukai dan lebih banyak digunakan di laboratorium karena dinilai lebih
praktis, mudah, dan cepat. Pemeriksaan widal slide lebih mudah dibaca oleh
3

karena menggunakan pertikel lateks berwarna sehingga aglutinasi yang


terbentuk mudah untuk dilihat (Handojo, 2014).
Selain pemeriksaan widal, juga dibutuhkan pemeriksaan laboratorium
lain salah satunya adalah pemeriksaan darah lengkap. Pada pemeriksaan darah
leukosit total terdapat gambaran leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit
normal atau leukositosis, limfositopenia relatif, monositosis, eosinofilia, dan
trombositopenia ringan. Jumlah leukosit sering rendah dan berkaitan dengan
10 demam dan toksisitas. Leukosit biasanya tidak kurang dari 2.500/µm³
sering ditemukan setelah seminggu atau dua minggu dari penyakit. Ketika
terjadi abses piogenik, leukosit dapat mencapai 20.000-25.000/µm³ (Gayatri
A, 2017).
Sedangkan menurut Widodo (2009). Pemeriksaan laboratorium yang
paling sering digunakan adalah uji serologis dan lain yang biasa dilakukan
untuk membantu dalam diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan darah
perifer lengkap dengan gambaran yang sering ditemukan berupa leukopenia,
namun dapat pula terjadi jumlah leukosit normal atau leukositosis, pada
pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun
limfopenia. Leukositosis dapat terjadi pada penderita demam tifoid bila
terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus (Rampengan, 2008:52).
Peningkatan jumlah limfosit memberikan gambaran patologi (Rengganis iris,
2014:341). Peningkatan yang cepat dari leukosit ini menandakan bahwa
terdapat perforasi dari usus penderita demam tifoid 16 (Rampengan, 2008:52).
Perforasi usus sering terjadi pada minggu ketiga, lokasi yang paling sering
dilaporkan di ileum terminalis. (Rampengan, 2008:56). Keadaan ini dapat
timbul pada penderita demam tifoid bila terjadi infeksi sekunder bakteri di
dalam lesi usus. Peningkatan tersebut yang disebabkaan oleh adanya inflamasi
yang meluas yang menandakan terjadinya inflamasi kronis atau lanjutan
(Rengganis iris, 2012:276—277).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukanlah penelitian
dengan judul Gambaran Hubungan Titer Widal dengan Jumlah Limfosit Pada
Pasien suspek demam Tifoid di Poliklinik Paspampres.
4

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Hubungan Titer Widal dengan Jumlah Limfosit Pada
Pasien Suspek Demam Tifoid di Poliklinik Paspampres

C. Batasan Masalah
Pada penelitian ini,masalah yang akan di bahas hanya membatasi pada
titer widal 1/160 atau lebih ,dan jumlah limfosit pada pasien suspek demam
tifoid di Poliklinik Paspampres pada bulan Januari sampai Mei 2022.

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana hubungan titer widal dengan jumlah limfosit
pada penderita demam tifoid.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui titer widal pada pasien suspek demam tifoid di Poliklinik
Paspampres
b. Mengetahui jumlah limfosit pada pasien suspek demam tifoid di
Poliklinik Paspampres
c. Mengetahui hubungan titer widal dengan jumlah limfosit pada pasien
suspek demam tifoid di Poliklinik Paspampres.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yaitu untuk membuktikan hubungan titer widal dengan
penurunan jumlah limfosit
2. Manfaat Praktis
a. Bagi akademik : Dapat menambah informasi mengenai pemeriksaan
jumlah leukosit dan trombosit pada pasien demam tifoid.
b. Bagi Penulis : Memperluas wawasan pengetahuan peneliti yang
kemudian bisa diterapkan dalam dunia kerja
c. Bagi masyarakat : Penelitian ini diharapkan dapat menambah ragam
penelitian dibidang ilmu pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Demam Tifoid
a. Definisi Demam Tifoid
Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tipes
merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella,
khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian
saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara
berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah (Algerina, 2008;
Darmowandowo, 2006).
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum
dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah.
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah (Sudoyo A.W., 2010).
Banyak orang mungkin mengira tipes dan tifus adalah penyakit
yang sama. Penyebutan tifus dan tipes yang memang mirip membuat
banyak orang salah mengira. Namun, sebenarnya tipes alias demam
tifoid berbeda dengan tifus. Tipes atau demam tifoid disebabkan oleh
infeksi bakteri Salmonella typhi yang menyerang usus. 8 Sedangkan
tifus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Rickettsia
typhi atau R. prowazekii. Bakteri ini bisa dibawa oleh ektoparasit,
seperti kutu atau tungau pada tikus, dan kemudian menginfeksi
manusia.
Gejala demam tinggi sama-sama bisa terjadi pada orang yang
terinfeksi tipes maupun tifus. Namun bakteri yang menjadi sumber
infeksi dari tipes dan tifus berbeda. Selain demam tinggi, gejala lain

5
6

dari tifus yang dapat muncul adalah sakit perut, sakit punggung, batuk
kering, sakit kepala, nyeri sendi dan otot, mual, serta muntah.
Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari
penderita atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama
dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari
seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya
(Soedarno dkk, 2008).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang bersifat akut yang
disebabkan karena infeksi Salmonella typhi. Menurut Butler dalam
Soegijanto, S (2002), demam tifoid adalah suatu infeksi bakterial pada
manusia yang disebabkan oleh Salmonella typhi ditandai dengan
demam berkepanjangan, nyeri perut, diare, splenomegali serta kadang-
kadang disertai komplikasi perdarahan dan perforasi usus. Demam
tifoid dikenal juga dengan sebutan typhus abdominalis, Typhoid fever,
atau enteric fever. Istilah tifoid ini berasal dari bahasa Yunani yaitu
typhos yang berarti 9 kabut, karena umumnya penderita sering disertai
gangguan kesadaran dari yang ringan sampai yang berat.
b. Epidemiologi Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di
seluruh dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di
daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar
higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai
dalam keadaan endemis (Putra A., 2012).
Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi
masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. WHO
menyatakan penyakit demam tifoid di dunia mencapai 11-20 juta kasus
per tahun yang mengakibatkan sekitar 128.000 - 161.000 kematian
setiap tahunnya (WHO, 2018).
Berdasarkan data pada profil Kesehatan Indonesia tahun 2014
jumlah kejadian Demam Tifoid adalah 3.828 kasus sedangkan pada
7

tahun 2015 jumlah kejadian Demam tifoid ini adalah 1.867 kasus,
walaupun pada tahun 2015 terjadi penurunan kasus tetapi demam
tifoid ini masih termasuk penyakit yang sangat tinggi walaupun
prevalensi tifoid tahun 2015 turun angka namun kejadian Demam
Tifoid termasuk dalam 10 penyakit terbesar di dua tahun terakhir
(Depkes RI, 2015)
c. Etiologi Demam Tifoid
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk
batang, Gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagela (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat
hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu
60°C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi
(Rahayu E., 2013).
Salmonella typhi adalah bakteri batang Gram negatif yang
menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu
penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-
tempat dengan higiene yang buruk (Brook, 2001). Salmonella typhi
mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1) Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari
tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia
lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.
2) Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae
atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu
protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap
panas dan alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian
3) Antigen Vi, yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang
dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
8

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh


penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi
yang lazim disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010)
d. Patogenesis Demam Tifoid
Salmonella typhi masuk kedalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakteremia yang 12 kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W., 2010).
Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam
menegakkan diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap
antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan
penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya
rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral
melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma
yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama
kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat
9

menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan


muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka lain yang
menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam
(Marleni, Iriani, Tjuandra, & Theodorus, 2014)
Demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
yang menyerang sistem pencernaan khususnya usus halus yang
menyebabkan pendarahan tidak nyata. Sehingga terjadinya penurunan
leukosit rendah (Leukopenia) tetapi dapat pula normal dan tinggi
e. Gejala Klinis Demam Tifoid
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum
klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau
yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan
sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik
panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal
ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya
saja (Hoffman,2002).
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20
hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu
perasaan 14 tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari
ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian (Sudoyo
A.W., 2010).
Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1) Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3
minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi.
Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
10

setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi
pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu
ketiga.
2) Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering
dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor
(coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteo`rismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri
pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi
mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
3) Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak
berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor,
koma atau gelisah (Sudoyo, A. W., 2010).
f. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Demam Tifoid
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi
klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang.
Penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk
mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita
demam tifoid secara menyeluruh masih terus dilakukan hingga saat ini
(Sudoyo A.W., 2010).
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu ;
1) Pemeriksaan darah tepi
2) Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
3) Uji serologis
11

a) Uji widal
b) Uji tubex
4) Pemeriksaan kuman secara molekuler.

2. Uji Widal
Uji widal merupakan pemeriksan serologi terhadap bakteri
Salmonella typhi baik yang tifoid maupun bukan tifoid yang dikenal
sebagai paratifus.Terdapat 2 jenis metode dalam melakukan uji
Widal,yaitu slide Tess dengan memakai lempengan dan Tube Test dengan
memakai tabung(Wardana TN,2012).
Prinsip kerja uji widal berdasarkan reaksi aglutinasi secara
imunologis antara antibody dalam serum darah pasien dengan suspense
antigen O(somatic) dan antigen H(flagellar) Salmonella thypi dan
paratyphi.Interpretasi umum uji Widal adalah positif(+) apabila terdapat
aglutinasi dan negative (-) apabila tidak terdapat aglutinasi.
Berdasarkan hasil titer antibody dengan pemeriksaan
Widal,diagnosis demam tifoid dapat di tegakkan apabila dalam satu kali
pemeriksaan langsung di dapatkan hasil titer antibodi o ataupun H ≥ 1:320
atau, apabila hasil titer antibody O dan H adalah 1:160, harus dievaluasi
dalam satu minggu ke depan untuk dilihat ada tidaknya kenaikan titer
kembali, jika terdapat kenaikan titer, barulah dapat ditegakkan diagnosis
demam tifoid.Apabila titer ≤ 1;160,harus dievaluasi Kembali dalam dua
hingga tiga minggu ke depan,jika didapatkan peningkatan titer sebanyak
empat kali,barulah diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan
(Trimurti,Sutirta, & Lestari,2012).Kenaikan titer H yang tinggi belum
dapat dipastikan memiliki arti diagnostik yang penting untuk demam
tifoid.Namun masih dapat membantu menegakkan diagnostik. Peningkatan
titer agglutinin H tanpa disertai peningkatan agglutinin O tidak dapat
digunakan dalam melakukan diagnosis demam tifoid. Penyebab hal
tersebut antara lain penderita pernah terinfeksi atau sering terinfeksi
dengan Salmonella typhi dosis rendah,penderita berada dalam masa
12

penyembuhan demam tifoid atau pernah mendapat imunisasi antitifoid


(Muliawan,S,dkk,2009).
Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji Widal yaitu:
a. Pengobatan dini dengan antibiotik
b. Gangguan pembentukan antibodi,dan pemberian kortikosteroid
c. Waktu pengambilan darah
d. Daerah endemic atau non endemic
e. Riwayat vaksinasi
f. Reaksi anamnestik
g. Faktor Teknik pemeriksaan antar laboratorium,akibat aglutinasi silang,
dan strain salmonella yang di gunakan untuk suspense antigen
(Irianto,2012)

3. Sel darah putih (Lekosit)


a. Definisi Leukosit
Leukosit disebut juga sel darah putih merupakan unit sistem
pertahanan tubuh. Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang
(granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi
dijaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel
ini diangkut dalam darah menuju ke berbagai bagian tubuh yang
membutuhkannya. Manfaat leukosit yang sesungguhnya ialah sebagian
besar diangkut secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami
peradangan serius, dengan demikian menyediakan pertahanan yang
cepat dan kuat terhadap agen-agen infeksius. Leukosit terlibat dalam
darah pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap benda asing.
Dalam aliran darah, leukosit adalah sel-sel yang non-motil dan bulat,
namun dapat menjadi gepeng dan motil bila berpapasan dengan
substrat padat (Cahrany, 2018).
Leukosit dibedakan menjadi granulosit dan agranulosit.
Granulosit meliputi basophil, eosinophil dan neutrophil. Sedangkan
agranulosit meliputi limfosit dan monosit. Alasan utama keberadaan
13

leukosit dalam darah adalah karena sel di angkat dari sumsum tulang
atau jaringan limfoid ke area-area tubuh yang memerlukan. Masa
hidup granulosit sesudah dilepaskan dari sumsum tulang normalnya 4-
8 jam dalam sirkulasi darah. Pada keadaan infeksi jaringan yang berat
masa hidup keseluruhan sering kali berkurang sampai hanya beberapa
jam, karena granulosit dengan 23 cepat menuju daerah infeksi untuk
melakukan fungsinya dan masuk dalam proses dimana sel-sel itu
sendiri dimusnahkan (Cahrany, 2018).
Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa
normal adalah 5000-10000/mm3 , waktu lahir 15000-25000/mm3 , dan
menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4tahun sesuai
jumlah normal (Effendi, 2003).
b. Fungsi Leukosit
Leukosit berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai
penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Leukosit
fungsinya lebih banyak dilakukan didalam jaringan. Selama berada
didalam darah, leukosit hanya bersifat sementara mengikuti aliran
darah ke seluruh tubuh. Apabila terjadi peradangan pada jaringan
tubuh, leukosit akan berimigrasi menuju jaringan yang mengalami
radang dengan cara menembus dinding pembuluh darah (kapiler).
Leukopenia menyatakan jumlah leukosit yang menurun misalnya
akibat mengkonsumsi obat kanker, keracunan benzene, urethrane juga
pada anemia. Apabila tubuh terinfeksi bakteri maka sistem imun yang
berperan untuk menghancurkan mikroba. Sistem imun yang lemah
akan memudahkan serangan dan berbagai mikroorganisme pathogen
termasuk virus, bakteri, jamur dan protozoa (Cahrany, 2018).
c. Jenis-jenis leukosit
Leukosit pada umumnya dibagi menjadi granulosit yang
mempunyai granula yang khas dan agranulosit yang tidak mempunyai
granula khas.Granulosit terdiri dari basofil,eosinophil,dan
14

enutrofil.Lalu,agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit.Berikut ini


gambar jenis-jenis leukosit.

Gambar 2.1
Jenis Sel Darah Putih (Leukosit)

d. Pemeriksan Hitung Jumlah Leukosit


Pemeriksaan hitung jumlah leukosit merupakan pemeriksaan
darah rutin yang dilakukan di laboratorium klinik.Pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan darah rutin yang sering dilakukan,karena
jumlah leukosit dapat memberikan petunjuk apakah terdapat suatu
infeksi atau peradangan yang disebabkan oleh mikroorganisme atau
suatu reaksi inflamasi terhadap masuknya antigen ke dalam tubuh.
Karena seringmua permintaan pemeriksaan hitung jumlah leukosit,
untuk menghitung leukosit secara manual akan memakan waktu yang
cukup lama dan kurang cepat,maka dilakukan pemeriksaan hitung
jumlah leukosit secara automatik yang mana alat ini menggunakan
aliran listrik dengan prinsip impedansi.Walaupun harga mesin
automatik cukup mahal,namun alat ini mampu memeriksa dengan
cepat,tepat dan mudah ( Katrina,et al.2015:Carraro,et al.2015)
Cara manual dengan menggunakan pipet leukosit,kamar hitung
dan mikroskop(Gandasubrata,19920. Darah diencerkan dalam pipet
leukosit,kemudian dimasukin ke dalam kamar hitung.Jumlah leukosit
dihitung dalam volume tertentu dengan menggunakan faktor konversi
jumlah leukosit pe ml darah. Perhitungan dilakukan untuk semua
leukosit yang terdapat dalam keempat “bidang besar” pada sudut-sudut
kotak “seluruh permukaan yang dibagi” (Kiswari,2014).
15

Jumlah leukosit sering rendah dan berkaitan dengan demam


dan toksisitas. Leukosit biasanya tidak kurang dari 2.500 sel/ul darah
sering ditemukan setelah seminggu atu dua minggu dari
penyakit.Krtika terjadi abses piogenik,leukosit dapat mencapai 20.000-
25.000 sel/ul darah (Behrman,2015).Leukopenia terjadi akibat depresi
sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator endogen yang ada
( Rosina et al.2014).leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai
infeksi sekunder ( SEtati et al.2014),apabila terjadi abses piogenik
maka jumlah leukosit meningkat mencapai 20.000-25.000 sel/ul
(Soedarmo et al.2015).Pemeriksaan hematologi demam tifoid tidak
spesifik (Hadinegoro,2012).Hitung leukosit yang rendah sering
berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit,namun kisaran
jumlah leukosit bisa lebar( Behrman,2015).

4. Limfosit
a. Definisi
Limfosit adalah sel yang kemampuannya untuk membantu
sel fagosit dan jumlahnya mencapai 25-35% (Nugraha,2015).Limfosit
merupakan leukosit mononuklear dalam darah perifer. Sel limfosit
dikelompokkan dalam dua jenis sel limfosit,yaitu limfosit T dan
limfosit B (Kiswari,2014)
b. Fungsi
Ada dua jenis utama limfosit yaitu sel T dan sel B. Sel-T berfungsi
untuk menyerang dan membunuh kuman, serta membantu mengatur
sistem kekebalan 9 tubuh. Sel-B berfungsi sebagai yang membuat
antibodi, protein khusus yang menyerang kuman penyebab infeksi.
c. Pemeriksaan Hitung Jenis Limfosit
Hitung jenis limfosit bertujuan untuk menghitung presentase
jenis limfosit di dalam darah tepi.Hasil pemeriksaan ini dapat
menggambarkan secara spesifik kejaidan dan proses penyakit dalam
tubun,terutama penyakit infeksi.Lekosit yang dihitung dari apusan
16

darah tepi sebanyak 100-200 sel,perhitungan jenis lekosit tersebut saat


ini juga dapat mengitung sampai ribuan leukosit.Jenis lekosit secara
sistematis di hitung pada setiap lapang pandang dengan menggunakan
automated difeferential counter,atau di catat hingga ditemukan
sejumlah 100 lekosit.Lima jenis lekosit yang di hitung yaitu neutrofil
(batang dan segmen), monosit,eosinofil,limfosit dan basofil.Presentase
jenis sel limfosit 20-40% (Kiswari,2014).Ada 2 cara yang digunakan
dalam pemeriksaan hitung jumlah limfosit yaitu cara otomatik dan
manual.
d. Limfositosis dan Limfopenia
Limfositosis adalah peningkatan persentase limfosit yang dapat
terjadi akibat virus,bakteri dan gangguan hormonal. Limfopenia adalah
penurunan persentase limfosit yang dapat terjadi akibat
penyakitHodgkin,luka bakar dan trauma.
e. Metode Pemeriksaan Limfosit
1) Metode Otomatik
Pada cara otomatik hitung jenis leukosit, dapat
menggunakan alat hematology analyzer. Kelebihan dari metode ini
adalah perhitungan jenis sel leukosit lebih mudah, teliti dan dapat
dibandingkan dengan manual. Disamping itu volume darah yang
digunakan untuk tidak banyak. Adapun kekurangan alat otomatik
ini adalah ketika adanya ukuran salah satu jenis leukosit yang tidak
masuk kedalam range di alat sehingga hasil ukur yang baca dialat
ini adalah sel lain. Sehingga dapat menyebabkan hasil hitung jenis
leukosit salah satunya akan meningkat palsu dan menurun palsu.
2) Metode Visual
Hitung jumlah limfosit yang merupakan pemeriksaan
hitung jenis leukosit biasanya dilakukan pada sediaan apus yang
dibuat pada kaca objek dengan pewarnaan tertentu. Sediaan apus
yang dibuat dan dipulas dengan baik merupakan mutlak untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik. Dalam keadaan normal
17

lekosit yang dapat dijumpai menurut ukuran yang telah dibakukan


adalah Basofil, Eosinofil, Netrofil batang dan Netrofil segmen,
Limfosit, Monosit. Keenam jenis sel tersebut berbeda dalam
ukuran, bentuk, inti, warna sitoplasma serta granula di dalamnya.
Proporsi jumlah masing-masing jenis lekosit tersebut dapat
mempunyaiarti klinik yang penting.
18

B. Kerangka Pemikiran

Penderita demam tifoid

Infeksi salmonella typhi

Dilakukan pemeriksaan
hitung jenis limfosit dan
uji widal

Sampel Sampel
darah vena serum

Pemeriksaan hitung Pemeriksaan uji


jenis limfosit widal

Metode hematology Metode Metode Metode


analy…. SAD Slide Tabung

Hitung jenis limfosit


Negatif Positif

Menurun : < 5%
Normal : 25-35% Tidak …….. Terjadi
Meningkat : > 33% ………. ……….

…………
……..
Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti


19

C. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Titer Antibodi Uji widal Jumlah Limfosit

D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
Ho : Tidak ada hubungan antara titer antibodi uji widal dengan hitung
jumlah limfosit pada pasien demam tifoid.
Ha : Ada hubungan antara titer antibodi uji Widal dengan hitung jumlah
limfosit pada pasien demam tifoid.

E. Definisi Operasional
Tabel 2.1.
Definisi Operasional Variabel
Kategori &
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala
Kriteria
1. Titer antibodi Hasil pemeriksaan  1:160 Catatan Ordinal
uji widal titer antibodi  1:320 Laboratorium
Salmonella typhi dari uji widal
terhadap antigen -O metode slide
yang didapatkan dan
sampel serum
2. Hitung jenis Hasil pemeriksaan  Limfopenia Catatan Ordinal
limfosit hitung jenis limfosit < 25% Laboratorium
 Normal dari alat
25-33% Sysmex kl 21
 Limfositosis
> 33%
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain cross-
sectional study. Desain penelitian observasional adalah desain penelitian yang
hanya untuk mengamati fenomena yang terjadi pada subyek/ obyek yang
diteliti melalui analisis statistik korelasi dan tidak melakukan intervensi atau
perlakukan terhadap variable penelitian. Cross section study mempelajari
hubungan faktor penyebab (variable bebas/ independen) dan faktor akibat
(variable terikat/dependen) secara serentak dalam suatu populasi

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Data yang diambil menggunakan data sekunder Poliklinik Paspampres
periode Januari 2022 sampai dengan Mei 2022 .

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang melakukan pemeriksaan
laboratorium widal dan darah lengkap pada bulan Januari 2022 sampai
dengan Mei 2022.
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah Pasien demam tifoid dengan titer widal 1/80
atau lebih yang melakukan pemriksaan darah lengkap pada bulan Januari
2022 sampai dengan Mei 2022.

D. Instrumen Penelitian
1. Alat
Alat yang digunakan Slide glas, Mikropipet, Batang Pengaduk,Yellow tip,
Rotator, Spuit, Torniquet, Tabung K3 EDTA,Tabung Plain, Centrifuge,

20
21

Timer, Hematology analyzer Sysmex kl 21.


2. Bahan
Alkohol swab,Reagen Widal,Reagen hematologi

E. Cara pengumpulan data


Teknik pengambilan data Non Probability sampling dengan metode purposive
sampling.

F. Analisis Data
Data yang diperoleh dilakukan uji normalitas, jika didapat data dengan
sebaran normal selanjutnya dilakukan analisis dengan uji korelasi Pearson
dengan SPSS. Namun jika data yang didapatkan sebarannya tidak normal
maka akan dilakukan uji korelasi Kendall’s Tau-b dengan SPSS.

G. Jadwal Penelitian
Jadwal Kegiatan Penellitian
Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan
Kegiatan
No Januari Februari Maret April Mei
penelitian
2023 2023 2023 2023 2023
1. Persiapan uji √ √
pendahuluan
2. Pengumpulan √ √
data
3. Pengolahan √ √
data
4. Analisis √ √
data
5. Penyusunan √ √
laporan
22

DAFTAR PUSTAKA

Afiani, A. N., & Susilaningsih, E. Z. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Anak

Demam Typhoid Dalam Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis Keseimbangan Suhu


Tubuh.

Algerina. (2008) Demam Tifoid dan Infeksi Lain dari Bakteri Salmonella.
Tersedia dalam jurnal siti haniah (2011) tentang diagnosis Salmonella typhi
pada penyakit tifoid.

Anshori, M., Iswati, S. 2017. Metodologi Penelitian Kuantitatif.


Surabaya:AirlanggaUniversity Press.

Brooks, G.F., Butel, J.S. and Morse S.A., 2001. Mycobacteriaceae in Jawetz
Medical Microbiologi, 22ed, McGraw-Hill Companies Inc:453-6 Depkes
RI. (2015). Profil Kesehatan Indoneisa 2015.

Darmowandowo W. 2006. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :


Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi 1. BP FKUI. Jakarta. 2002:367-75.

Gandasoebrata, R. 2011. Penentuan Laboratorium Klinik. Jakarta : Dian


RakyatGayatri A. 2017. Profil Jumlah Leukosit dan Suhu Tubuh Penderita
Demam Tifoid Di RSUD Karanganyar. Universitas Muhammadiyah
Surakarta, http://eprints.ums.ac.id/50340.

Handojo, I. (2014). Imunoasai Terapan pada Beberapa Penyakit Infeksi


Universitas Airlangga Press. Surabaya

Hoffman, S.L. 2002. Typhoid Fever. In: Strickland GT. Editor. Haunter’s tropical
medicine. 7th ed Philadelphia WB Saunders Co.

Idrus, H. H. 2020. Buku Demam Tifoid Hasta 2020. Makasar. Universitas Muslim
Indonesia

Irianto, Koes. 2014. Bakteriologi Medis, Mikologi Medis, Dan Virologi Medis.
Bandung: Alfabeta

Inawati, 2009. Demam Tifoid. Departement virologi Fakultas Kedokteran


Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya.

Kiswari,R,2014.Hematology & Tranfusi.Erlangga.Jakarta.p:4.p:3-5,220-232

Kumar, R.dkk. 2013. Pemeriksaan immunoglobulin m anti sallmonela typhi.


portalgaruda.org
23

Lalremruata R, Chadha S, Bhalla P., (2014). Retrospective Audit of the Widal


Test for Diagnosis of Typhoid Fever in Pediatric Patients in an Endemic
Region. Journal of Clinical and Diagnostic Research. Vol-8(5): DC22-
DC25

Marleni, M., Iriani, Y., Tjuandra, W., & Theodorus. (2014). Ketepatan Uji
TubexTF ® dalam Mendiagnosis Demam Tifoid Anak pada Demam Hari
ke-4.

Jurrnal Kedokteran Dan Kesehatan, 1(1), 7–11.

Menteri Kesehatan RI. 2006. Kemenkes RI Nomor 364 Tentang pedoman


Pengendalian Demam Tifoid. Kemenkes. Jakarta

Muliawan,S dkk.2009.Validitas Pemeriksaan Uji Aglutinin O dan H S .typhi


dalam Menegakkan Diagnosis Dini Demam Tifoid.FK UI Trisakti

Nadyah. (2014). Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi insidens penyakit


demam tifoid di kelurahan samata kecamatan somba opu kabupaten gowa
2013. Jurnal Kesehatan, VII(1), 1–17.

Nainggolan, R. N. . (2009). Karakteristik penderita demam tifoid rawat inap di


rumah sakit tentara.

Nafiah, F., Khoiriyah, R. A., & Munir, M. (2017). Leukosit Pasien Di Rumah
Sakit Islam Sakinah. 1(1), 1–4 Ohanu ME, Iroezindu MO, Maduakor U,
Onodugo OD, Gugnani HC, (2019).

Typhoid fever among febrile Nigerian patient: Prevalence, diagnosticPutra, A.


(2012). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Demam Tifoid
Terhadap Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar. In Jurnal Kedokteran
Diponegoro (Vol. 1).performance of the Widal test and antibiotic multi-drug
resistance. Malawi Medical Journal 31 (3)

Rahayu, Eni, dkk. (2011). Salmonella typhi. Bacterial Genomes, 733–


735.https://doi.org/10.1007/978-1-4615-6369-3_77

Riswanto, 2013. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Jogyakarta: Alfamelia


dan Kanal Medika Saputra, IM. Yullyantara. 2019.

Rasio Neutrofil dan Limfosit (NLCR) Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Infeksi
Bakteri di Ruang Rawat Anak RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pediatri Setiati
S, Alwi I, Sudoyo AW, Syam AF. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Sucipta, A. A. M. 2015. Baku Emas Pemeriksaan Laboratorium Demam
Tifoid pada Anak. Jurnal Skala Husada Volume 12 Nomor 1: 22-26 I.IV.
Jakarta.
24

Susanti, I. (2021). Kesesuaian Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Anak. II(2).
Sudoyo AW. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna
Publishing 42 Soedarno SS, Garna H, Hadinegoro SR. 2008.

Buku Ajar Infeksi & Pediatric Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
Sudoyo AW. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta:
Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Widal test among culture proven
typhoid fever cases. J Infect Dev Ctries 2(6): 475-8.

Soegijanto, Soegeng, 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosis dan Penatalaksanaan.


Edisi 1. Jakarta: Selemba Medika.

Sari, R. P. 2014. Pengaruh Umur dan Jenis Kelamin Terhadap Kejadian Demam
Tifoid Di Rumah Sakit Undata Palu Tahun 2014. Skripsi

Tripalupi, L. E., Suwena, K. R. 2014. Statistika; Dilengkapi dengan Pengenalan


Statistik dalam Analisis SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Trimurti, Ni Nyoman Ayu Laksmi, I Wayan putu Yasa, and A A Wirodewi


Lestari.2012.Prevalensi Demam Tifoid dengan Titer Aglutinin ‘O’ dan ‘H’
menggunakan Uji Widal Pada Laboratorium Klinik Niki Diagnostic center
Tahun 2012.Falkutas Kedokteran Universitas Udayana 124.

Widodo, Judarwanto, SpA, Pediatrician, 2014. Penanganan Terkini Demam


Tifoid Bagian Children Grow Up Clinic.

WHO. (2018). Thypoid. 31 Januari. https://www.who.int/news


room/factsheets/detail/typhoid

Anda mungkin juga menyukai