PENDAHULUAN
negara Sub Afrika kejadian demam tifoid sebesar 725 kasus/100.000 orang, Asia Tenggara
sebesar 204 kasus/100.000 orang, Amerika Latin sebesar 105 kasus/100.000 orang, dan
Oceania sebesar 22 kasus/100.000 orang. Indonesia merupakan salah satu negara yang
terletak di kawasan Asia Tenggara. Kejadian demam tifoid terus meningkat setiap tahunnya.
Menurut data Riskesdas 2007 bahwa kasus demam tifoid di Indonesia sebanyak 1.600
kasus. Sementara itu, berdasarkan Riskesdas 2010 jumlah kasus demam tifoid sebanyak
41.081 kasus. Artinya selama tiga tahun terakhir telah terjadi peningkatan 25 kali lebih besar
kasus demam tifoid. Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi (S. typhi).
Gejala yang dirasakan seseorang pada minggu pertama setelah terinfeksi S. typhi adalah
menunjukkan gejala demam seperti halnya gejala seseorang yang mengalami flu. Namun
demikian, pada minggu kedua, demam akan terus meningkat secara progresif dan menetap
mencapai 39-40°C. Untuk mengatasi demam tifoid diperlukan pilihan terapi yang tepat
berupa terapi umum dan terapi pendukung. Terapi umum yang diberikan berdasarkan
pendukung berupa rehidrasi oral ataupun parenteral, antipiretik, dan pemberian nutrisi yang
adekuat.
Lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak adalah penggunaan antibiotik
untuk demam tifoid. Resistensi pada S. typhi untuk kloramfenikol dilaporkan pertama kali
terjadi di Inggris tahun 1950 dan di India tahun 1972 yang telah di kenal sebagai multi drug
resistant (MDR) S. typhi. Perkembangan selanjutnya, ditemukan resisten terhadap dua atau
1
lebih golongan antibiotik utama untuk pengobatan demam tifoid seperti ampisilin, amoksilin,
demam tifoid pada anak meningkat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka
diperlukan alternatif pengobatan lain yaitu sefotaksim. Penelitian Gopal et al., menyimpulkan
bahwa sefotaksim memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan ampisilin.
Sefotaksim juga memiliki tingkat kejadian resistensi yang lebih kecil dibandingkan
ampisilin. Selain itu, lama rawat inap pada penggunaan sefotaksim juga lebih singkat
dibandingkan dengan penggunaan ampisilin. Lama rawat inap pada pasien anak demam
tifoid dianggap efektif apabila memenuhi target penggunaan antibiotik selama 4-14 hari.
Disisi lain, biaya penggunaan sefotaksim diketahui lebih mahal dibanding penggunaan
ampisilin. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk mengetahui perbandingan efektivitas biaya
penggunaan antibiotik ampisilin dan sefotaksim pada pasien anak demam tifoid di RST TK
dan Sefotaksim dan total biaya perawatan pada pasien anak demam tifoid di RST TK II
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai contoh kajian
farmakoekonomi dalam memilih suatu obat yang digunakan pada pengobatan demam tifoid
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.A Tifoid
II.A.1 Definisi
Demam tifoid atau typhoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunanya, yaitu Salmonella typhosa.
Dengan gejala demam satu minggu atau lebih yang disertai gangguan pada saluran
pencernaan.
II.A.2 Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi. Penyakit ini disebabkan oleh
infeksi bakteri Salmonella typhosa/ Erbethella typhosa yang merupakan bakteri gram-
negative batang, bergerak dengan flagella peritrik dan tidak menghasilkan spora. Bakteri ini
dapat hidup baik pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang sedikit lebih rendah.
Salmonella typhosa mempunyai 3 macam antigen, yaitu Antigen O (Ohne Hauch) merupakan
somatic antigen, Antigen H (Hauch) yaitu antigen pada flagella bakteri dan Antigen VI
(antigen permukaan/ kapsular antigen) merupakan kapsul yang melindungi tubuh bakteri dan
typhosa (satu serotipe), Salmonella choleraesius (satu serotipe) dan Salmonella enteritidis
Lebih dari 90% pasien demam tifoid mendapat terapi antibiotic per-oral dirumah,
tirah baring dan dipantau ketat dengan kontrol ke rumah sakit. Pasien dengan gejala menetap
seperti muntah, diare berat atau perut kembung memerlukan perawatan dirumah sakit dan
3
II.A.3 Epidemiologi
Penyebaran demam tifoid meliputi seluruh tempat didunia, meskipun demikian tifoid
kurang memadai.
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang Nomor 6 Tahun 1962
tentang wabah. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemic, lebih bersifat sporadic,
terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang
serumah. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, insidensi tertinggi di
daerah endemic terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan S.typhi, yaitu pasien
Di daerah endemic, transmisi terjadi melalui air yang tercemar S. typhi, sedangkan
makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan tersering didaerah non-
endemik.
II.A.4 Patogenesis
Bakteri S. typhi masuk tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar, karena
sumber air minum di beberapa daerah di Indonesia kurang memenuhi syarat. Sayuran dicuci
dengan air sungai yang juga dipakai untuk penampungan limbah. Bakteri ini berasal dari
feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau carrier S. typhi
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari. Gejala-gejala yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari simptomatis hingga gambaran
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini, ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
4
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan
epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari. Pada
minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang
II.A.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar dapat diberikan terapi
yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat
penting untuk mendeteksi penyakit secara dini, walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan
a. Pemeriksaan laboratorium
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat
terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan
anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju Endap Darah (LED) pada pasien
demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi
akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
b. Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan
antibody yang disebut agglutinin. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk
5
menentukan adanya agglutinin O (dari tubuh kuman), agglutinin H (flagella
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk
terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-
mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti agglutinin H. pada orang yang telah
5. riwayat vaksinasi
demam tifoid akibat infeksi demam tifoid di masa lalu atau vaksinasi
Metode assay yang banyak digunakan dalam pengujian serologic tifoid adalah
ELISA. Disini digunakan antigen berupa ekstrak murni dari sel Salmonella typhi
yang diujikan terhadap serum penderita. Antigen didapat dari berbagai struktur
6
dan kapsul (Vi). Antigen O (LPS) Salmonella typhi (O9) dan (O12) adalah
yang lain. Pengujian ELISA baik dengan menggunakan LPS maupun OM ternyata
lebih baik disbanding widal. Meskipun demikian, uji widal masih sering
dikerjakan oleh karena lebih murah, lebih sederhana yaitu pengerjaannya hanya
meliputi satu langkah saja sedangkan ELISA memerlukan beberapa langkah atau
tahapan. Juga pada pengujian dengan ELISA dibutuhkan enzyme conjugate dan
electronic readers untuk membaca hasil uji sehingga metode ini biayanya mahal,
d. Tubex
Tubex adalah perangkat tes yang dilaporkan memiliki kesederhanaan seperti uji
widal tetapi mempunyai kepekaan seperti ELISA. Sebagaimana hanya widal tubex
juga terdiri dari satu langkah pengujian dan hasilnya dibaca dengan mata biasa
tanpa memerlukan suatu peralatan tertentu, metode tubex membutuhkan satu set
tabung yang dirancang secara khusus dan sebagian reagen digunakan LPS
e. Typhidot
Deteksi IgM pada penderita tifoid menyatakan adanya infeksi akut, sedangkan
IgM dan IgG menyatakan fase tengah dari infeksi akut dan deteksi IgG saja adalah
untuk fase konvalesen atau re-infeksi. Typhidot adalah perangkat tes serologic
lain yang dikembangkan dan juga menggunakan prinsip ELISA. Pada pengujian
ini, IgG serum penderita dibuat nonaktif kemudian serum diinkubasi Bersama-
sama dengan antigen Salmonella typhi yang berupa bercak ditas lembar
7
dikonjugasi dengan peroksidase. Setelah masa inkubasi itu, ditambahkan suatu
substrat kromogenik. Bila terdapat ikatan antigen-antibodi, reksi positif ini akan
tampak dengan terjadinya perubahan warna yang dapat dilihat secara visual.
f. Kultur Darah
Biakan darah merupakan metode diagnostik buku untuk tifoid disamping biakan
tinja. Berapa metode biakan lain untuk isolasi Salmonella typhi pernah juga
dikemukakan misalnya biakan bekukan darah, biakan lapisan “buffy coat”, biakan
sekensi intestinal, biakan rose spot, biakan sumsum tulang. Hasil biakan darah
yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil biakan negative tidak
II.A.7 Komplikasi
Demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik sehingga hamper semua organ
tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang
paralitik, pankreatitis.
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu :
8
tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi
penderita akan semakin turun sehingga proses penyembuhan akan semakin lama.
1. Kloramfenikol
Dosis yang diberikan adalah 4 x 500mg perhari dapat diberikan secara oral
hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tepat suntikan terasa nyeri. Dari
pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.
hari ke-5.
2. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama dengan
sampai ke 6.
9
3. Kotrimoksazol
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif
untuk demam tifoid adalah seftriaxon, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram
dalam dextrose 100 cc diberikan selama setengah jam per infus sekali,
6. Golongan fluorokuinolon
Beberapa obat dan aturan pemberiannya dari golongan ini yaitu norfloksasin
dosis 400 mg/ hari selama 7 hari. Demam pada umumnya hilang pada hari ke-
3 atau menjelang hari ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada
kemudian.
7. Kombinasi dua antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu
saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang
10
pernah terbukti ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain
kuman Salmonella.
8. Kortikosteroid
II.C Antibiotik
II.C.1. Ampisilin
2. Mekanisme kerja
Menghambat sintesa dinding bakteri dengan mengikat satu atau lebih pada ikatan
sel bakter, akibatnya biosintesis dinding sel terhambat dan sel bakteri menjadi pecah
(lisis).
3. Efek samping
11
purpur; Hepatik : AST meningkat; Renal : interstisisal nephritin (jarang); Respiratory
4. Indikasi
Infeksi saluran kemih, otitis medis, sinusitis, bronkitis, kronis, salmonelosis invasif,
II.C.2. Cefotaxime
Aktivitasnya hampir sama dengan sefamandol tetapi lebih luas. Cefotaxime cukup
stabil pada hidrolisis enzim beta laktamase dan mempunyai aktivitas yang lebih besar
dibanding sefalosporin generasi kesatu dan kedua dalam melawan bakteri gram-
terhadapnya
12
gram negatif lainnya. Diantara bakteri gram-positif cefotaxime aktif terhadap
staphylococci dan streptococci dan juga aktif terhadap beberapa bakteri anaerob.
2. Farmakokinetik
Cefotaxime diberikan sebagai garam natrium yang cepat diabsorpsi setelah pemberian
secara injeksi intramuscular. Waktu paruh plasma obat sekitar 1 jam, sedangkan
waktu paruh dari metabolit aktifnya yaitu sedaderilsefotaksim sekitar 1,5 jam.
Cefotaxime dan metabolit aktifnya didistribusikan secara luas dalam cairan dan
jaringan tubuh yang pada konsentrasi terapeutik dapat mencapai cairan serebrospinal.
Cefotaxime menembus plasenta dan dalam jumlah kecil didistribusikan kedalam air
susu. Obat ini di eliminasi di ginjal, sekitar 40-60% dikeluarkan sebagai obat utuh dan
20% sebagai diasetilsefotaksim. Konsentrasi yang tinggi dari cefotaxim dan metabolit
3. Efek samping
Efek samping yang dapat terjadi yaitu kolonisasi dan super infeksi pada organisme
Cefotaxime digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi pada organisme yang masih
intravena, atau melalui infus. Pada orang dewasa biasanya diberikan dosis 2-6g
perhari dalam dosis yang dibagi dua sampai empat. Pada beberapa infeksi dapat
diberikan sampai 12g perhari secara intravena dengan dosis yang dibagi enam. Anak-
13
anak dapat diberikan 100-150mg per kilogram BB (50mg per kgBB untuk bayi)
II.D Biaya
1. Biaya langsung
Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan,
termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya jasa
perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji
laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya kesehatan lainnya. Dalam biaya
langsung, selain biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya non-medis seperti
biaya ambulan dan biaya transportasi pasien lainnya.
Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya
produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya
hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien).
Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, yang dapat dilihat pada
tabel 2.4. Empat metode analisis ini bukan hanya mempertimbangkan efektivitas,
keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena
aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil
14
kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan
penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya.
Analisis efektivitas biaya (AEB) cukup sederhana dan banyak digunakan untuk kajian
farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang
memberikan besaran efek berbeda (Rascati et al., 2009). Dengan analisis yang mengukur
biaya sekaligus hasilnya ini, pengguna dapat menetapkan bentuk intervensi kesehatan yang
15
paling efisien membutuhkan biaya termurah untuk hasil pengobatan yang menjadi tujuan
intervensi tersebut. Dengan kata lain, AEB dapat digunakan untuk memilih intervensi
kesehatan yang memberikan nilai tertinggi dengan dana yang terbatas jumlahnya, misalnya:
1. Membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama tetapi memberikan
besaran hasil pengobatan berbeda, misalnya dua obat antihipertensi yang memiliki
kemampuan penurunan tekanan darah diastolik yang berbeda.
2. Membandingkan dua atau lebih terapi yang hasil pengobatannya dapat diukur dengan unit
alamiah yang sama, walau mekanisme kerjanya berbeda, misalnya obat golongan proton
pump inhibitor dengan H2 antagonis untuk reflux oesophagitis parah. Pada AEB, biaya
intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter (rupiah) dan hasil dari intervensi tersebut
dalam unit alamiah/indikator kesehatan baik klinis maupun non klinis (non-moneter).
Metode analisis utilitas-biaya (AUB) mirip dengan AEB, tetapi hasil (outcome) -nya
dinyatakan dengan utilitas yang terkait dengan peningkatan kualitas atau perubahan kualitas
akibat intervensi kesehatan yang dilakukan.
Analisis Manfaat Biaya (AMB - cost benefit-analysis, CBA) adalah suatu teknik analisis
yang diturunkan dari teori ekonomi yang menghitung dan membandingkan surplus biaya
suatu intervensi kesehatan terhadap manfaatnya. Untuk itu, baik surplus biaya dan manfaat
diekspresikan dalam satuan moneter (misal. Rupiah, US Dollar).
16
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
potong lintang ( cross sectional ). Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling.
III.C.1 Populasi
Seluruh pasien penderita demam tifoid anak periode Januari – Desember 2015
III.C.2 Sampel
Pasien anak yang dirawat inap usia 1-14 tahun yang menderita demam tifoid yang
Pasien demam tifoid yang menjalani rawat inap di RST TK II Kartika Husada Kubu
Raya
Pasien demam tifoid dengan penyakit penyerta, pasien yang pindah atau pulang
paksa, dan data status pasien yang tidak lengkap, hilang serta tidak jelas terbaca
17
III.E Analisis Data
dihitung dari biaya penggunaan obat, biaya jasa perawat, biaya jasa dokter, biaya
adalah rata-rata biaya total terapi obat B dikurangi rata-rata biaya total terapi
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Perhitungan
laboratorium, biaya jasa perawat, biaya dokter dan biaya penggunaan obat. Perbandingan
efisiensi biaya penggunaan ampisillin dan sefotaksim dapat dilihat dengan dilakukan analisis
efektivitas biaya (Cost Effectiveness Analysis/ CEA). Beberapa tahapan yang dilakukan
dalam analisis efektifitas biaya, pertama membandingkan biaya total rata-rata dengan
efektifitas. Biaya rata-rata total dihitung dari biaya penggunaan obat, biaya jasa perawat,
Analisis rata-rata biaya pengobatan demam tifoid pada kelompok Ampisllin dan
Sefotaksim
Ampisillin Sefotaksim
obat
Dari hasil perhitungan, biaya total rata-rata terapi demam tifoid pada pasien anak
yang menggunakan antibiotik ampisillin sebesar Rp 999,030.00 dan biaya total rata-rata
terapi demam tifoid pada pasien anak yang menggunakan antibiotik sefotaksim sebesar Rp
19
1,193,971.00. Efektivitas terapi dari penggunaan obat ampisillin dapat dihitung dari jumlah
hari lamanya pasien di rawat inap dibandingkan dengan jumlah pasien yang memenuhi target
memenuhi target
hari)
Ampisillin 5 13 38
Sefotaksim 13 17 76
Tahapan kedua dari CEA adalah menghitung rasio efektivitas biaya (Average Cost
Effectiveness Ratio/ACER) dari setiap kelompok Ampisillin dan Sefotaksim. Dari hasil
perhitungan dengan menggunakan rumus ACER (biaya total rata-rata terapi dibagi dengan
efektivitas terapi.
5
= x 100%
13
= 38%
13
= x 100%
17
= 76%
20
Rp 999,030.00
=
38%
= Rp 379,631.40
Rp 1,193,971.00
=
76%
= Rp 907,417.96
Hasil ACER
Tahapan ketiga dari analisis CEA ini adalah penentuan posisi alternatif pengobatan
demam tifoid dilihat dari biaya rata-rata total terapi dan efektivitas. Alternatif terapi demam
tifoid yang diinginkan dalam penelitian ini adalah sefotaksim. Berdasarkan perhitungan
diatas terlihat Sefotaksim memiliki efektivitas dan biaya yang tinggi dibandingkan dengan
Ampisillin, sehingga perlu untuk dilakukan perhitungan rasio inkremental efektivitas biaya
(Incremental Cost Effectiveness Ratio/ ICER). Rumus yang digunakan untuk menghitung
nilai ICER adalah rata-rata biaya total Sefotaksim dikurangi rata-rata biaya total Ampisillin
Hasil ICER
21
∆C = Biaya medik langsung Sefotaksim - biaya medik langsung Ampsillin
= 1,193,971 - 999,030
= 194,941
= 76 - 38
= 38
∆C
ICER =
∆𝐸
194,941
=
38
= 5130.026
Simulasi terhadap Sensitivitas ACER pasien anak demam tifoid dengan menggunakan
(Rp)
Tampak bahwa nilai ICER terapi Ampisillin terhadap Sefotaksim sebesar Rp 5130,026 per
efektivitas. Tahapan analisis yang terakhir adalah analisis sensitivitas, yaitu bahwa setelah
mengabaikan biaya rawat inap, terlihat nilai ACER terapi Sefotaksim sebesar Rp
22
BAB V
Berdasarkan hasil penelitian, persentase efektivitas lama rawat inap pasien demam
tifoid yang memenuhi target pengobatan selama 4-14 hari pada penggunaan antibiotik
Sefotaksim sebesar 76% dan Ampisillin sebesar 38%. Penggunaan antibiotik Sefotaksim
dengan biaya sebesar Rp 907,417.96 per efektivitas lebih cost effective dibandingkan dengan
penggunaan Ampisillin yaitu sebesar Rp 379,631.40 per efektivitas pada pasien anak demam
tifoid di RST TK II Kartika Husada Kubu Raya. Biaya tambahan yang dikeluarkan rumah
sakit jika terjadi perpindahan terapi dari penggunaan Ampisillin ke Sefotaksim sebesar Rp
23
DAFTAR PUSTAKA
9. Sean, C.S. (ed) Martindale The Complete Drugs Reference edisi 36. USA :
Pharmaceutical Press, 2009
24