Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.A Latar Belakang

Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang terdapat di negara berkembang. Di

negara Sub Afrika kejadian demam tifoid sebesar 725 kasus/100.000 orang, Asia Tenggara

sebesar 204 kasus/100.000 orang, Amerika Latin sebesar 105 kasus/100.000 orang, dan

Oceania sebesar 22 kasus/100.000 orang. Indonesia merupakan salah satu negara yang

terletak di kawasan Asia Tenggara. Kejadian demam tifoid terus meningkat setiap tahunnya.

Menurut data Riskesdas 2007 bahwa kasus demam tifoid di Indonesia sebanyak 1.600

kasus. Sementara itu, berdasarkan Riskesdas 2010 jumlah kasus demam tifoid sebanyak

41.081 kasus. Artinya selama tiga tahun terakhir telah terjadi peningkatan 25 kali lebih besar

kasus demam tifoid. Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi (S. typhi).

Gejala yang dirasakan seseorang pada minggu pertama setelah terinfeksi S. typhi adalah

menunjukkan gejala demam seperti halnya gejala seseorang yang mengalami flu. Namun

demikian, pada minggu kedua, demam akan terus meningkat secara progresif dan menetap

mencapai 39-40°C. Untuk mengatasi demam tifoid diperlukan pilihan terapi yang tepat

berupa terapi umum dan terapi pendukung. Terapi umum yang diberikan berdasarkan

tatalaksana pengobatan demam tifoid adalah pemberian antibiotik sedangkan terapi

pendukung berupa rehidrasi oral ataupun parenteral, antipiretik, dan pemberian nutrisi yang

adekuat.

Lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak adalah penggunaan antibiotik

kloramfenikol. Namun demikian, telah ditemukan adanya kasus resistensi kloramfenikol

untuk demam tifoid. Resistensi pada S. typhi untuk kloramfenikol dilaporkan pertama kali

terjadi di Inggris tahun 1950 dan di India tahun 1972 yang telah di kenal sebagai multi drug

resistant (MDR) S. typhi. Perkembangan selanjutnya, ditemukan resisten terhadap dua atau

1
lebih golongan antibiotik utama untuk pengobatan demam tifoid seperti ampisilin, amoksilin,

kotrimoksazol, dan fluorokuinolon. Namun demikian, obat antibiotik tersebut masih

diresepkan oleh beberapa klinisi.

Perkembangan MDR S. typhi yang begitu cepat mengakibatkan mortalitas kasus

demam tifoid pada anak meningkat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka

diperlukan alternatif pengobatan lain yaitu sefotaksim. Penelitian Gopal et al., menyimpulkan

bahwa sefotaksim memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan ampisilin.

Sefotaksim juga memiliki tingkat kejadian resistensi yang lebih kecil dibandingkan

ampisilin. Selain itu, lama rawat inap pada penggunaan sefotaksim juga lebih singkat

dibandingkan dengan penggunaan ampisilin. Lama rawat inap pada pasien anak demam

tifoid dianggap efektif apabila memenuhi target penggunaan antibiotik selama 4-14 hari.

Disisi lain, biaya penggunaan sefotaksim diketahui lebih mahal dibanding penggunaan

ampisilin. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk mengetahui perbandingan efektivitas biaya

penggunaan antibiotik ampisilin dan sefotaksim pada pasien anak demam tifoid di RST TK

II Kartika Husada Kubu Raya tahun 2015.

I.B Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui nilai efektivitas biaya penggunaan antibiotik golongan Ampisilin

dan Sefotaksim dan total biaya perawatan pada pasien anak demam tifoid di RST TK II

Kartika Husada Kubu Raya tahun 2015.

I.C Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai contoh kajian

farmakoekonomi dalam memilih suatu obat yang digunakan pada pengobatan demam tifoid

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.A Tifoid

II.A.1 Definisi

Demam tifoid atau typhoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang

disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunanya, yaitu Salmonella typhosa.

Dengan gejala demam satu minggu atau lebih yang disertai gangguan pada saluran

pencernaan.

II.A.2 Etiologi

Etiologi demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi. Penyakit ini disebabkan oleh

infeksi bakteri Salmonella typhosa/ Erbethella typhosa yang merupakan bakteri gram-

negative batang, bergerak dengan flagella peritrik dan tidak menghasilkan spora. Bakteri ini

dapat hidup baik pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang sedikit lebih rendah.

Salmonella typhosa mempunyai 3 macam antigen, yaitu Antigen O (Ohne Hauch) merupakan

somatic antigen, Antigen H (Hauch) yaitu antigen pada flagella bakteri dan Antigen VI

(antigen permukaan/ kapsular antigen) merupakan kapsul yang melindungi tubuh bakteri dan

melindungi antigen O terhadap fagositosis. Terdapat 3 spesies utama yaitu Salmonella

typhosa (satu serotipe), Salmonella choleraesius (satu serotipe) dan Salmonella enteritidis

(lebih dari 1500 serotipe)

Lebih dari 90% pasien demam tifoid mendapat terapi antibiotic per-oral dirumah,

tirah baring dan dipantau ketat dengan kontrol ke rumah sakit. Pasien dengan gejala menetap

seperti muntah, diare berat atau perut kembung memerlukan perawatan dirumah sakit dan

terapi antibiotic parenteral.

3
II.A.3 Epidemiologi

Penyebaran demam tifoid meliputi seluruh tempat didunia, meskipun demikian tifoid

lebih banyak ditemukan di negara-negara berkembang dimana kondisi sanitasinya masih

kurang memadai.

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini

termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang Nomor 6 Tahun 1962

tentang wabah. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemic, lebih bersifat sporadic,

terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang

serumah. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, insidensi tertinggi di

daerah endemic terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan S.typhi, yaitu pasien

dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah carrier.

Di daerah endemic, transmisi terjadi melalui air yang tercemar S. typhi, sedangkan

makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan tersering didaerah non-

endemik.

II.A.4 Patogenesis

Bakteri S. typhi masuk tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar, karena

sumber air minum di beberapa daerah di Indonesia kurang memenuhi syarat. Sayuran dicuci

dengan air sungai yang juga dipakai untuk penampungan limbah. Bakteri ini berasal dari

feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau carrier S. typhi

II.A.5 Manifestasi Klinik

Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari. Gejala-gejala yang timbul

sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari simptomatis hingga gambaran

penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini, ditemukan keluhan dan gejala serupa

dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

4
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan

epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam

adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari. Pada

minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang

berselaput, hepatomegaly, splenomegaly, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,

stupor, koma, delirium atau psikosis.

II.A.6 Diagnosis

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar dapat diberikan terapi

yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat

penting untuk mendeteksi penyakit secara dini, walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan

pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.

a. Pemeriksaan laboratorium

pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, walaupun

dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat

terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan

anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat

terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju Endap Darah (LED) pada pasien

demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi

akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak

memerlukan penanganan khusus.

b. Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji

widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan

antibody yang disebut agglutinin. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk

5
menentukan adanya agglutinin O (dari tubuh kuman), agglutinin H (flagella

kuman), dan agglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan

terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu

pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada

minggu ke empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-

mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti agglutinin H. pada orang yang telah

sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 minggu, sedangkan

agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :

1. pengobata dini dengan antibiotic

2. gangguan pembentukan antibody, dan pemberian kortikosteroid

3. waktu pengambilan darah

4. daerah endemic atau non-endemik

5. riwayat vaksinasi

6. reaksi anamnestic, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan

demam tifoid akibat infeksi demam tifoid di masa lalu atau vaksinasi

7. faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan

strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.

c. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Metode assay yang banyak digunakan dalam pengujian serologic tifoid adalah

ELISA. Disini digunakan antigen berupa ekstrak murni dari sel Salmonella typhi

yang diujikan terhadap serum penderita. Antigen didapat dari berbagai struktur

subseluler, termasuk lipopolisakarida (LPS), membrane luar (OM), flagel (d-H)

6
dan kapsul (Vi). Antigen O (LPS) Salmonella typhi (O9) dan (O12) adalah

spesifik untuk organisme ini dan membedakannya dari subspecies Salmonella

yang lain. Pengujian ELISA baik dengan menggunakan LPS maupun OM ternyata

lebih baik disbanding widal. Meskipun demikian, uji widal masih sering

dikerjakan oleh karena lebih murah, lebih sederhana yaitu pengerjaannya hanya

meliputi satu langkah saja sedangkan ELISA memerlukan beberapa langkah atau

tahapan. Juga pada pengujian dengan ELISA dibutuhkan enzyme conjugate dan

electronic readers untuk membaca hasil uji sehingga metode ini biayanya mahal,

oleh karena itu tidak sesuai untuk negara-negara berkembang.

d. Tubex

Tubex adalah perangkat tes yang dilaporkan memiliki kesederhanaan seperti uji

widal tetapi mempunyai kepekaan seperti ELISA. Sebagaimana hanya widal tubex

juga terdiri dari satu langkah pengujian dan hasilnya dibaca dengan mata biasa

tanpa memerlukan suatu peralatan tertentu, metode tubex membutuhkan satu set

tabung yang dirancang secara khusus dan sebagian reagen digunakan LPS

Salmonella typhi seperti pada widal.

e. Typhidot

Deteksi IgM pada penderita tifoid menyatakan adanya infeksi akut, sedangkan

IgM dan IgG menyatakan fase tengah dari infeksi akut dan deteksi IgG saja adalah

untuk fase konvalesen atau re-infeksi. Typhidot adalah perangkat tes serologic

lain yang dikembangkan dan juga menggunakan prinsip ELISA. Pada pengujian

ini, IgG serum penderita dibuat nonaktif kemudian serum diinkubasi Bersama-

sama dengan antigen Salmonella typhi yang berupa bercak ditas lembar

nitroselulosa untuk mendeteksi IgM. Untuk mengatasi kompleks antigen-antibodi,

lembar tersebut diinkubasi Bersama-sama dengan anti-human IgM yang

7
dikonjugasi dengan peroksidase. Setelah masa inkubasi itu, ditambahkan suatu

substrat kromogenik. Bila terdapat ikatan antigen-antibodi, reksi positif ini akan

tampak dengan terjadinya perubahan warna yang dapat dilihat secara visual.

f. Kultur Darah

Biakan darah merupakan metode diagnostik buku untuk tifoid disamping biakan

tinja. Berapa metode biakan lain untuk isolasi Salmonella typhi pernah juga

dikemukakan misalnya biakan bekukan darah, biakan lapisan “buffy coat”, biakan

sekensi intestinal, biakan rose spot, biakan sumsum tulang. Hasil biakan darah

yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil biakan negative tidak

menyingkirkan diagnosis demam tifoid.

II.A.7 Komplikasi

Demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik sehingga hamper semua organ

tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang

dapat terjadi pada demam tifoid yaitu :

a. Komplikasi intestinal yang meliputi pendarahan usus, perforasi usus, ileus

paralitik, pankreatitis.

b. Komplikasi ekstraintestinal yang meliputi komplikasi kardiovaskuler, komplikasi

darah, komplikasi paru, komplikasi hepatobilier, komplikasi ginjal, komplikasi

tulang, dan komplikasi neurosikiatrik.

II.B Penatalaksanaan Demam Tifoid

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu :

a. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan. Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk

mencegah komplikasi. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat

8
tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk

mencegah decubitus dan pneumonia ortastik serta hygiene.

b. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan

mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet

merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam

tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi

penderita akan semakin turun sehingga proses penyembuhan akan semakin lama.

c. Pemberian antibiotik, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran

kuman. Obat-obat antibiotik yang sering digunakan untuk mengobati demam

tifoid adalah sebagai berikut :

1. Kloramfenikol

Dosis yang diberikan adalah 4 x 500mg perhari dapat diberikan secara oral

atau intravena. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan oleh karena

hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tepat suntikan terasa nyeri. Dari

pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari.

Penulisan lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah

hari ke-5.

2. Tiamfenikol

Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama dengan

kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan

terjadinya anemia aplastic lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.

Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500mg. demam rata-rata menurun pada hari ke 5

sampai ke 6.

9
3. Kotrimoksazol

Efektifitas obat ini dilaporkan hamper sama dengan kloramfenikol. Dosis

untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol

400 mg dan 80 mg trimethoprim) diberikan selama 2 minggu.

4. Ampisilin dan amoksisislin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan

dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150

mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu

5. Sefalosporin generasi ketiga

Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif

untuk demam tifoid adalah seftriaxon, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram

dalam dextrose 100 cc diberikan selama setengah jam per infus sekali,

diberikan selama 3 hingga 5 hari.

6. Golongan fluorokuinolon

Beberapa obat dan aturan pemberiannya dari golongan ini yaitu norfloksasin

dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari, siprofloksasin dosis 2 x 500mg/hari

selama 6 hari, ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari, pefloksasin

dosis 400 mg/ hari selama 7 hari. Demam pada umumnya hilang pada hari ke-

3 atau menjelang hari ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada

penggunaan norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang

memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan

kemudian.

7. Kombinasi dua antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu

saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang

10
pernah terbukti ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain

kuman Salmonella.

8. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam

tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5mg.

II.C Antibiotik

II.C.1. Ampisilin

1. Mekanisme dan aktivitas antibiotik

Menghambat sintesa dinding bakteri melalui penghambatan tahap akhir sintesa

peptidoglikan dinding protein bakteri.

2. Mekanisme kerja

Menghambat sintesa dinding bakteri dengan mengikat satu atau lebih pada ikatan

penisilin-protein (PBPs – protein binding peniilin’s) sehingga menyebabkan

penghambatan pada tahapan akhir transpeptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding

sel bakter, akibatnya biosintesis dinding sel terhambat dan sel bakteri menjadi pecah

(lisis).

3. Efek samping

SSP : Demam, penisilin encephalitis, kejang; Kulit : Erytherna multifom, rash,

urticaria; GI : Lidah hitam berambut, diare, enterocholitis, glossitis, mual,

pseudomembranouuscollitis, sakit mulut dan lidah, stomatitis, muntah; Hematologi:

agranulositosis, anemia, hemolitik anemia, eosinophilia, leukopenia, trombocytopenia

11
purpur; Hepatik : AST meningkat; Renal : interstisisal nephritin (jarang); Respiratory

: Laringuela stidor; Miscellaneous : Anaphilaxis.

4. Indikasi

Infeksi saluran kemih, otitis medis, sinusitis, bronkitis, kronis, salmonelosis invasif,

gonore, bakteri yang peka yang disebabkan oleh streptococci, pneumococci

nonpenicillinase-producting staphilocochi, listeria, meningococci; turunan

H.Influenzae, E-coli, enterobacter dan klebsiella.

II.C.2. Cefotaxime

1. Mekanisme dan aktivitas antibiotik

Cefotaxime termasuk kedalam golongan sefalosporin generasi ke tiga yang bekerja

dengan cara menghambat reaksi transpeptidase dalam pembentukan dinding sel.

Aktivitasnya hampir sama dengan sefamandol tetapi lebih luas. Cefotaxime cukup

stabil pada hidrolisis enzim beta laktamase dan mempunyai aktivitas yang lebih besar

dibanding sefalosporin generasi kesatu dan kedua dalam melawan bakteri gram-

negatif, akan tetapi kurang aktif melawan bakteri gram-positif dibandingkan

sefalosporin generasi pertama walaupun banyak streptococci yang sensitif

terhadapnya

Cefotaxime secara in vitro aktif melawan banyak Enterobactericeae termasuk

Citrobacter dan Enterobacter spp.,E.coli, Klebsiella

spp.,Proteus,Providencia,Salmonella, Serratia, Shigella dan Yersinia spp.,serta bakteri

12
gram negatif lainnya. Diantara bakteri gram-positif cefotaxime aktif terhadap

staphylococci dan streptococci dan juga aktif terhadap beberapa bakteri anaerob.

2. Farmakokinetik

Cefotaxime diberikan sebagai garam natrium yang cepat diabsorpsi setelah pemberian

secara injeksi intramuscular. Waktu paruh plasma obat sekitar 1 jam, sedangkan

waktu paruh dari metabolit aktifnya yaitu sedaderilsefotaksim sekitar 1,5 jam.

Cefotaxime dan metabolit aktifnya didistribusikan secara luas dalam cairan dan

jaringan tubuh yang pada konsentrasi terapeutik dapat mencapai cairan serebrospinal.

Cefotaxime menembus plasenta dan dalam jumlah kecil didistribusikan kedalam air

susu. Obat ini di eliminasi di ginjal, sekitar 40-60% dikeluarkan sebagai obat utuh dan

20% sebagai diasetilsefotaksim. Konsentrasi yang tinggi dari cefotaxim dan metabolit

aktifnya terdapat pada empedu yang di eksresikan melalui feses.

3. Efek samping

Efek samping yang dapat terjadi yaitu kolonisasi dan super infeksi pada organisme

yang resisten, aritmia serta kolitis pseudomembranosa.

4. Penggunaan dan pemberian

Cefotaxime digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi pada organisme yang masih

sensitif terutama pada infeksi-infeksi serius dalam pengobatan termasuk diantaranya

abses otak, endocarditis gonorrhoe, penyakit lyne, meningitis, peritonitis, pneumonia,

septikemia, demam tiroid, juga untuk profilaksis pada pembedahan.

Cefotaxime diberikan sebagai garam natrium pada pemberian secara intramuscular,

intravena, atau melalui infus. Pada orang dewasa biasanya diberikan dosis 2-6g

perhari dalam dosis yang dibagi dua sampai empat. Pada beberapa infeksi dapat

diberikan sampai 12g perhari secara intravena dengan dosis yang dibagi enam. Anak-

13
anak dapat diberikan 100-150mg per kilogram BB (50mg per kgBB untuk bayi)

perhari dengan dosis yang dibagi dua sampai empat.

II.D Biaya

Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan penting karena


adanya keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Dalam kajian yang terkait dengan ilmu
ekonomi, biaya (atau biaya peluang, opportunity cost) didefinisikan sebagai nilai dari
peluang yang hilang sebagai akibat dari penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan.
Patut dicatat bahwa biaya tidak selalu melibatkan pertukaran uang. Dalam pandangan
pada ahli farmakoekonomi, biaya kesehatan melingkupi lebih dari sekadar biaya
pelayanan kesehatan, tetapi termasuk pula, misalnya, biaya pelayanan lain dan biaya
yang diperlukan oleh pasien sendiri. Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan
kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut

1. Biaya langsung

Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan,
termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya jasa
perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji
laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya kesehatan lainnya. Dalam biaya
langsung, selain biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya non-medis seperti
biaya ambulan dan biaya transportasi pasien lainnya.

2. Biaya tidak langsung

Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya
produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya
hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien).

II.E Metode Kajian Farmakoekonomi

Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, yang dapat dilihat pada
tabel 2.4. Empat metode analisis ini bukan hanya mempertimbangkan efektivitas,
keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena
aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil

14
kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan
penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya.

Tabel 2.4 Metode Analisis dalam Kajian Farmakoekonomi

Metode Analisis Karakteristik Analisis


Analisis Minimalisasi Biaya Efek dua intervensi diasumsikan sama
(Cost Minimization Analytic) (setara), valuasi/biaya dalam rupiah.
Analisis Efektivitas Biaya Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil
(Cost Effectiveness Analytic) pengobatan diukur dalam unit
alamiah/indicator kesehatan, valuasi/biaya
dalam rupiah.
Analisis Utilitas-Biaya Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil
(Cost Utility Analytic) pengobatan dalam quality-adjusted life years
(QALY), valuasi/biaya dalam rupiah.
Analisis Manfaat-Biaya Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil
(Cost Benefit Analytic) pengobatan dinyatakan dalam
rupiah,valuasi/biaya dalam rupiah.

II.E.1 Analisis Minimalisasi-Biaya (AMiB)

Merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana, analisis minimalisasi-


biaya (AMiB) hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi
kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara atau dapat
diasumsikan setara. Karena hasil pengobatan dari intervensi (diasumsikan) sama, yang perlu
dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya. Dengan demikian, langkah terpenting yang harus
dilakukan sebelum menggunakan AMiB adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari
intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji.

II.E.2 Analisis Efektivitas-Biaya (AEB)

Analisis efektivitas biaya (AEB) cukup sederhana dan banyak digunakan untuk kajian
farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang
memberikan besaran efek berbeda (Rascati et al., 2009). Dengan analisis yang mengukur
biaya sekaligus hasilnya ini, pengguna dapat menetapkan bentuk intervensi kesehatan yang

15
paling efisien membutuhkan biaya termurah untuk hasil pengobatan yang menjadi tujuan
intervensi tersebut. Dengan kata lain, AEB dapat digunakan untuk memilih intervensi
kesehatan yang memberikan nilai tertinggi dengan dana yang terbatas jumlahnya, misalnya:

1. Membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama tetapi memberikan
besaran hasil pengobatan berbeda, misalnya dua obat antihipertensi yang memiliki
kemampuan penurunan tekanan darah diastolik yang berbeda.

2. Membandingkan dua atau lebih terapi yang hasil pengobatannya dapat diukur dengan unit
alamiah yang sama, walau mekanisme kerjanya berbeda, misalnya obat golongan proton
pump inhibitor dengan H2 antagonis untuk reflux oesophagitis parah. Pada AEB, biaya
intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter (rupiah) dan hasil dari intervensi tersebut
dalam unit alamiah/indikator kesehatan baik klinis maupun non klinis (non-moneter).

II.E.3 Analisis Utilitas-Biaya (AUB)

Metode analisis utilitas-biaya (AUB) mirip dengan AEB, tetapi hasil (outcome) -nya
dinyatakan dengan utilitas yang terkait dengan peningkatan kualitas atau perubahan kualitas
akibat intervensi kesehatan yang dilakukan.

II.E.4 Analisis Manfaat-Biaya

Analisis Manfaat Biaya (AMB - cost benefit-analysis, CBA) adalah suatu teknik analisis
yang diturunkan dari teori ekonomi yang menghitung dan membandingkan surplus biaya
suatu intervensi kesehatan terhadap manfaatnya. Untuk itu, baik surplus biaya dan manfaat
diekspresikan dalam satuan moneter (misal. Rupiah, US Dollar).

16
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan penelitian secara

potong lintang ( cross sectional ). Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive

sampling.

III.B. Waktu dan Tempat Penelitian

III.B.1 Waktu Penelitian

Januari – Desember 2015

III.B.2 Tempat Penelitian

RST TK II Kartika Husada Kubu Raya

III.C. Populasi dan Sampel

III.C.1 Populasi

Seluruh pasien penderita demam tifoid anak periode Januari – Desember 2015

III.C.2 Sampel

Pasien anak yang dirawat inap usia 1-14 tahun yang menderita demam tifoid yang

menggunakan antibiotik ampisilin dan sefotaksime

III.D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

III.D.1. Kriteria Inklusi

Pasien demam tifoid yang menjalani rawat inap di RST TK II Kartika Husada Kubu

Raya

III.D.2. Kriteria Ekslusi

Pasien demam tifoid dengan penyakit penyerta, pasien yang pindah atau pulang

paksa, dan data status pasien yang tidak lengkap, hilang serta tidak jelas terbaca

17
III.E Analisis Data

III.E.1 Average Cost Effectiveness Ratio (ACER)

Membandingkan biaya total rata-rata dengan efektifitas. Biaya rata-rata total

dihitung dari biaya penggunaan obat, biaya jasa perawat, biaya jasa dokter, biaya

laboratorium dan biaya rawat inap.

biaya total rata−rata terapi


ACER =
efektivitas terapi

III.E.2 Incremental Cost Effectiveness Ratio ( ICER )

adalah rata-rata biaya total terapi obat B dikurangi rata-rata biaya total terapi

obat A dibagi dengan efektivitas obat B dikurangi efektivitas obat A.

rata−rata biaya total obat B−A


ICER =
efektivitas obat B−A

III.E.3 Analisis sensivitas

Merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui akibat dari perubahan


parameter-parameter produksi terhadap perubahan kinerja system produksi dalam
menghasilkan keuntungan.
Dengan melakukan analisis sentivitas maka akibat yang mungkin terjadi dari
perubahan-perubahan tersebut dapat diketahui dan diantisifikasi sebelumnya.

18
BAB IV

PEMBAHASAN

Perhitungan

Efisiensi biaya ditentukan oleh biaya kelas perawatan, biaya pemeriksaan

laboratorium, biaya jasa perawat, biaya dokter dan biaya penggunaan obat. Perbandingan

efisiensi biaya penggunaan ampisillin dan sefotaksim dapat dilihat dengan dilakukan analisis

efektivitas biaya (Cost Effectiveness Analysis/ CEA). Beberapa tahapan yang dilakukan

dalam analisis efektifitas biaya, pertama membandingkan biaya total rata-rata dengan

efektifitas. Biaya rata-rata total dihitung dari biaya penggunaan obat, biaya jasa perawat,

biaya jasa dokter, biaya laboratorium dan biaya rawat inap.

Analisis rata-rata biaya pengobatan demam tifoid pada kelompok Ampisllin dan

Sefotaksim

Variabel Biaya rata-rata

Ampisillin Sefotaksim

1. Biaya penggunaan Rp 303,801.00 Rp 460,208.00

obat

2. Biaya visit dokter Rp 145,384.00 Rp 166,176.00

3. Biaya jasa perawat Rp 71,923.00 Rp 75,294.00

4. Biaya laboratorium Rp 39,846.00 Rp 47,882.00

5. Biaya rawat inap Rp 438,076.00 Rp 444,411.00

Total biaya medik Rp 999,030.00 Rp 1,193,971.00

Dari hasil perhitungan, biaya total rata-rata terapi demam tifoid pada pasien anak

yang menggunakan antibiotik ampisillin sebesar Rp 999,030.00 dan biaya total rata-rata

terapi demam tifoid pada pasien anak yang menggunakan antibiotik sefotaksim sebesar Rp

19
1,193,971.00. Efektivitas terapi dari penggunaan obat ampisillin dapat dihitung dari jumlah

hari lamanya pasien di rawat inap dibandingkan dengan jumlah pasien yang memenuhi target

lama rawat inap (4-14 hari) dalam persentase.

Persentase efektivitas terapi antibiotik pada pasien anak demam tifoid

Antibiotik Pasien yang Jumlah pasien (n=30) Efektivitas terapi (%)

memenuhi target

rawat inap (4-14

hari)

Ampisillin 5 13 38

Sefotaksim 13 17 76

Tahapan kedua dari CEA adalah menghitung rasio efektivitas biaya (Average Cost

Effectiveness Ratio/ACER) dari setiap kelompok Ampisillin dan Sefotaksim. Dari hasil

perhitungan dengan menggunakan rumus ACER (biaya total rata-rata terapi dibagi dengan

efektivitas terapi.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑟𝑎𝑤𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑎𝑝


Efektivitas Ampisillin = x 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝐴𝑚𝑝𝑖𝑠𝑖𝑙𝑖𝑛

5
= x 100%
13

= 38%

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝑡𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑟𝑎𝑤𝑎𝑡 𝑖𝑛𝑎𝑝


Efektivitas Sefotaksim = x 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑆𝑒𝑓𝑜𝑡𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚

13
= x 100%
17

= 76%

biaya total rata−rata terapi


ACER pada Ampisillin =
efektivitas terapi 𝑎𝑚𝑝𝑖𝑠𝑖𝑙𝑖𝑛

20
Rp 999,030.00
=
38%

= Rp 379,631.40

biaya total rata−rata terapi


ACER pada Sefotaksim = efektivitas terapi sefotaksim

Rp 1,193,971.00
=
76%

= Rp 907,417.96

Hasil ACER

Antibiotik Total rata-rata biaya Efektivitas terapi (%) ACER (Rp)

medik langsung (Rp)

Ampisillin 999,030 38 379,631

Sefotaksim 1,193,971 76 907,417

Tahapan ketiga dari analisis CEA ini adalah penentuan posisi alternatif pengobatan

demam tifoid dilihat dari biaya rata-rata total terapi dan efektivitas. Alternatif terapi demam

tifoid yang diinginkan dalam penelitian ini adalah sefotaksim. Berdasarkan perhitungan

diatas terlihat Sefotaksim memiliki efektivitas dan biaya yang tinggi dibandingkan dengan

Ampisillin, sehingga perlu untuk dilakukan perhitungan rasio inkremental efektivitas biaya

(Incremental Cost Effectiveness Ratio/ ICER). Rumus yang digunakan untuk menghitung

nilai ICER adalah rata-rata biaya total Sefotaksim dikurangi rata-rata biaya total Ampisillin

dibagi dengan efektivitas Sefotaksim dikurangi efektivitas Ampisillin.

Hasil ICER

Pola terapi Biaya medik Efektivitas ∆C ∆E ICER ∆C/∆E


antibiotik langsung (%)
(Rp)
Ampisillin 999,030 38 194,941 38 5130.026
Sefotaksim 1,193,971 76

21
∆C = Biaya medik langsung Sefotaksim - biaya medik langsung Ampsillin

= 1,193,971 - 999,030

= 194,941

∆E = Efektivitas Sefotaksim- efektivitas Ampisillin

= 76 - 38

= 38

∆C
ICER =
∆𝐸

194,941
=
38

= 5130.026

Simulasi terhadap Sensitivitas ACER pasien anak demam tifoid dengan menggunakan

Sefotaksim dan Ampisillin

Antibiotik ACER awal Total rata-rata Efektivitas ACER (Rp)

biaya tanpa terapi

biaya rawat inap

(Rp)

Ampisillin 379,631 560,954 0.38 1,476,194.74

Sefotaksim 907,417 749,560 0.76 986,263.158

Tampak bahwa nilai ICER terapi Ampisillin terhadap Sefotaksim sebesar Rp 5130,026 per

efektivitas. Tahapan analisis yang terakhir adalah analisis sensitivitas, yaitu bahwa setelah

mengabaikan biaya rawat inap, terlihat nilai ACER terapi Sefotaksim sebesar Rp

986,263.158 per efektivitas sedangkan Ampisillin sebesar Rp 1,476,194.74 per efektivitas.

22
BAB V

HASIL DAN KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, persentase efektivitas lama rawat inap pasien demam

tifoid yang memenuhi target pengobatan selama 4-14 hari pada penggunaan antibiotik

Sefotaksim sebesar 76% dan Ampisillin sebesar 38%. Penggunaan antibiotik Sefotaksim

dengan biaya sebesar Rp 907,417.96 per efektivitas lebih cost effective dibandingkan dengan

penggunaan Ampisillin yaitu sebesar Rp 379,631.40 per efektivitas pada pasien anak demam

tifoid di RST TK II Kartika Husada Kubu Raya. Biaya tambahan yang dikeluarkan rumah

sakit jika terjadi perpindahan terapi dari penggunaan Ampisillin ke Sefotaksim sebesar Rp

5130,026 untuk setiap peningkatan efektivitas.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurmainah, dkk. (2017). Efektivitas Biaya Penggunaan Ampisilin dan


Sefotaksim Pada Pasien Anak Demam Tifoid

2. Fraser A, Gold Beng E, Acosta Cj, Paul M, Leibovici L (2007). Fraser,


Abigail, ed. “Vaccies For Preventing Typhoid Fever”

3. Bahn Mk, Bahl R, Bhatnagar S.BTyphoid And Paratyphoid Fever. Lancet


2005; 366 : 749-62

4. Adisasmito, W.,Amar. (2006). Penggunaan Antibiotik Pada Terapi Demam


Tifoid Anak di RSAB Harapan Kita. Sari Pediatri, Vol 8 No 3, Desember 2006 : 174-180

5. Lesmana, M, Enterobacteriaxeae. Salmonella dan Shigella, Jakarta : Penerbit


Universitas Trisakti, 2003 :49-74

6. Juwono, R. Demam Tifoid Dalam Mansjoer, A. (ed). Kapita Selekta


Kedokteran Jilid I edisi Ketiga, Jakarta, 2001 :421-425

7. Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, A, Idrus, S.K.,Marcellus, Setiati, Siti


(ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV, Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006 :1774-1779

8. Anonim. Who Model Prescribing Information Drug Used In Bacterial


Infection. Geneva, 2001 : 38-39

9. Sean, C.S. (ed) Martindale The Complete Drugs Reference edisi 36. USA :
Pharmaceutical Press, 2009

10. Depkes RI, 2013. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi, Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia

11. Tarsk, dan sanchez, L, 2011. Pharmacoeconomics: Principle, Methods, and


Application. Dalam J.T.Dipiro, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach (hal 1-13)
New York: Megraw- Hill Medical

24

Anda mungkin juga menyukai