Anda di halaman 1dari 11

DEFENISI

Demam tifiod dan paratifoid adalah infeksi akut usus halus. Demam pada penyakit ini merupakan
demam septik namun tanpa fase menggilgil. Sinonim dari demam tifoid adalah enteric fever. Demam
paratifoid menunjukkan manifestasi klinik yang sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih
ringan.
ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi dan demam paratifoid disebabkan
oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella enteritidis. Yaitu S.enteritidis bioserotipe A,
S.enteritidis bioserotipe B, S.enteritidisbioserotipe C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama
S.paratyphi A, S.schottmuelleri, dan S.hirchfeldii
EPIDEMIOLOGI
Demam tifiod dan paratifoid merupakan endemik di Indonesia. Jarang di temukan secara epidemik,
lebih bersifat sporadik dan terpencar-pencar di suatu daerah dan jarang terjadi lebih dari satu kasus
pada orang-orang serumah. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Insidens
bervariasi tergantung pada sanitasi lingkungan. Perbedaan insidens juga tergantung pada
penyediaan air bersih yang kurang memadai, sanitasi lingkungan dan sarana pembuangan sampah
yang tidak memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Namun demikian demam tifoid tidak termasuk
dalam penyakit dengan mortalitas tinggi.
PATOGENESIS
Diawali dengan masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi kedalam tubuh manusia
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi dengan kuman Salmonella typhi dan Salmonella
paratyphi. Sebagian kuman dihancurkan dalam lambung oleh asam lambung namun sebagian dapat
lolos menuju ke usus halus dan berkembangbiak. Jika respon imun humoral mukosa (IgA) usus halus
kurang baik, maka kuman dapat menebus epitel usus (sel M) ke lamina propria. Di lamina propria
kuman berkembangbiak dan kemudian difagosit oleh makrofag. Kuman dapat berkembangbiak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Melalui ductus torasicus kuman yang ada dalam makrofag ini masuk ke
pembuluh darah ( fase asimptomatik ) dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati, dan limpa. Di organ ini kuman meninggalkan makrofag dan berkembangbiak di luar sel
dan kemudian masuk kembali ke pembuluh darah dan menyebabkan bakteremia yang kedua kalinya
dan menimbulkan tanda-tanda radang dan gejala sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembangbiak dan disekresikan secara
intermitten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian lagi mengulangi
fase yang pertama.
Terfagositnya kuman oleh makrofag menyebabkan aktifasi dan hiperkatifasi dari makrofag dan
menyebabkan aktifnya mediator inflamasi seperti IL 1, PGE2, histamin dan serotonin yang kemudian
menimbulkan gejala sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskular, gangguan mental dan gangguan koagulasi. Makrofag yang hiperaktif pada plaq peyeri
menyebabkan hiperplasia dari jaringan usus dan merusak vaskular disekitar plaque peyeri. Dapat
beresiko perforasi usus.
Kuman Salmonella typhi mengeluarkan endotoksin dan akan berikatan dengan reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatri, kardiovaskular,
pernapasan, dan ganguan organ yang lain.
Manifestasi Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala-gejala yang timbul amat bervariasi.
Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu
kewaktu. Selain itu gambaran penyakit bervariasi, dari penyakit ringan yang tidak terdignosis, sampai
gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian.
Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi ataudiare,
perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu
badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardi relatif,
lidah yag khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa samnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis, reseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.
Pemeriksaan Laboratorium
 Biakan Darah
Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan
demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor. Hal ni
desebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada beberap faktor, antara lain : teknik
pemeriksaan laboratorium, saat pemeriksaan selama peralanan penyakit, vaksinasi di masa lampau,
pengobatan dengan obat anti mikroba.
 Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik
terhadap Salmonella terdapat dalam serum penderita demam tyfoid, juga pada orang yang pernah
ketularan Salmonella an orang yang pernah divaksinasi terhadap demam typhoid. Akibat
infeksiSalmonella typhi, penderita membuat antibodi (aglutinin), yaitu : aglutinin O, aglutinin H,
aglutinin Vi. Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosi. Makin tinggi titernya makin besar kemungkinan pasien menderita demam tyfoid. Pada
infeksi yang aktif , titer uji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer widal 4 kali dalam 1 minggu dianggap dengan demam tyfoid
positif. Titer O > 160, titer H > 640.
Diagnosis
Biakan darah positif memastikan demam tyfoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan
demam tyfoid. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid. Peningkatan titer uji
widal 4 kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tyfoid. Reaksi Widal
tunggal dengan titer antibodi O à 1 : 320 atau titer antibodi H à 1 : 640 menyokong diagnosis demam
tyfoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas. Pada beberapa pasien uji Widal tetap negatif
pada pemeriksaan ulang, walaupun biakan darah positif.
Pengobatan
Pengobatan demam tyfoid terdiri atas 3 bagian, yaitu :
1. perawatan
2. diet
3. medikamentosa
 PERAWATAN
Pasien demam tyfoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi & pengobatan. Pasien harus
tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Maksud
tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komlpikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
 DIET
Pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran
dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tyfoid. Karena ada juga pasien
demam tyfoid yang takut makan nasi, maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah
pada pasien sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur kasar atau dengan lauk pauk rendah
selulosa.
 MEDIKAMENTOSA
Obat-obat anti mikroba yang sering digunakan, ialah :
a. Kloramfenikol
Merupakan obat pilihan utama untuk demam tyfoid. Belum ada obat antimikroba lain yang dapat
menurunkan demam lebih cepat dibandingkan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 x 500 mg
sehari diberikan dalam bentuk oral atau intravena, sampai 7 hari bebas demam. Dengan penggunaan
kloramfenikol, demam pada demam tyfoid turun rata-rata setelah 5 hari.
b. Tiamfenikol
Dosis yang diberikan 4 x 500 mg perhari dalan bentuk oral atau intravena, sampai 7 hari bebas
demam. Komplikasi hematologis pada penggunaan timfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol.
Dengan tiamfenikol demam pada demam tyfoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c. Kotrimoksazol (kombinasi Trimetoprim & Sulfametoksazol)
Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa, 2 x 2
tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam ( 1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim &
400 mg sulfametoksazol). Dengan kotrimoksazol demam pada demam tyfoid turun rata-rata setelah
5-6 hari.
d. Ampisilin & Amoksisilin
Efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Indikasi mutlak
penggunaannya adalah pasien demam tyfoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar
antara 75-150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Demam pada
demam tyfoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.
Komplikasi
Ø Perdarahan usus
Ø Perforasi usus
Ø Meningitis
Ø Gangguan mental
Ø Syok septik
Ø Pneumonia
Ø Hepatitis
Ø Arthritis
Prognosis
Prognosis demam tyfoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan
virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan
pada orang dewasa 7,4 %, rata-rata 5,7 %

Penanganan Demam tifoid (Tifoid,Tifus)

Demam tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi yang paling sering
dicxemaskan bila saat seseor4ang menderita panas. memang setiap tifus selalu terjadi
manifestasi demam tetapi tidak semua demam harus didiagnosis tifus, justru pneyebab
paling sering demam adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis tifus relatif tidak
mudah karena pada awalnya manifestasi klinis penyakit ini tidak khas dan mirip
berbagai penyakit lainnya. Apalagi pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai saat
ini tidak sensitif atau sering mengalami bias untuk mengenali tifus.

Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi. Penyakit ini dapat ditemukan di
seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S.
Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s.
Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain.
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk
spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol
untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme
salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan
spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C
(130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup
pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama
berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan
tinja.

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen
lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein
labil panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur
yang kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang
dilahirkan dari ibu yang terkena demam tifoid. Lingkungan yang tidak bersih, yang
terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya
penyakit tifus. Kebiasaan tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan
menjadi penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular lewat air seni atau
tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan binatang seperti lalat dan kecoa yang
mengangkut bakteri ini dari tempat-tempat kotor.

Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya
bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama di antara semua gejala klinisnya. Pada
minggu pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit ini. Bahkan, gejalanya menyerupai
penyakit infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul antara lain demam, sering bengong atau
tidur melulu, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau justru
sembelit (sulit buang air besar) selama beberapa hari. Peningkatan suhu bertambah setiap
hari. Setelah minggu kedua, gejala bertambah jelas. Demam yang dialami semakin tinggi,
lidah kotor, bibir kering, kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh, dan lain-lain.

S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Setelah mencapai
usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul
bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella
dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi,
nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku
darah, depresi sumsum tulang dll. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA
sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral
sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag.
Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler

Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit tifus. Inilah
yang disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak
mungkin mantan penderita masih menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya. Bakteri bisa
bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian bakteri penyebab tifus ada yang
bersembunyi di kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar dan bercampur dengan tinja.
Bakteri ini dapat menyebar lewat air seni atau tinja penderita.
Manifestasi klinis

Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan
sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis
gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus,
dan keluhan susunan saraf pusat.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi,
sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.

Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul :

 demam tinggi dari 39° sampai 40 °C (103° sampai 104 °F) yang meningkat secara perlahan
 tubuh menggigil
 denyut jantung lemah (bradycardia)
 badan lemah (“weakness”)
 sakit kepala
 nyeri otot myalgia
 kehilangan nafsu makan
 konstipasi
 sakit perut
 pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (“rose spots”)

Penyakit yang mirip (Diagnosis Banding)

 Influenza
 Malaria
 Bronchitis
 Sepsis
 Broncho Pneumonia
 I.S.K (Infeksi Saluran kencing)
 Gastroenteritis (infeksi Saluran Cerna: muntah atau diare)
 Keganasan : – Leukemia
 Tuberculosa – Lymphoma

Diagnosis

 Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh
pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian
yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam
usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh
 Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat,
mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini
penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga
meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara
dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi
yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui
identifikasi karier.

 Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi


dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi; pemeriksaan bakteriologis dengan
isolasi dan biakan kuman; uji serologis; dan pemeriksaan kuman secara molekuler.

Identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan
dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil; perbandingan volume
darah dari media empedu; dan waktu pengambilan darah.

Identifikasi kuman melalui uji serologis

 Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat
digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX®; metode enzyme
immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),dan pemeriksaan
dipstik.
 Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas
dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).
 Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896.
Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita
yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela
(H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
 Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji
tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur
penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat
digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat
(kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
 Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian
pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih baik daripada uji Widal.
 Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase
awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan
demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan
tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan
tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode
Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
 Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan
dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA
lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal
positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan
bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan
akurat.
 Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain,
murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak
menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya
mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.
Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum
ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila
hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
 Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM
dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi
terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen
S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah
panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis.
 Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia
perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
 Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat
atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
 Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi
yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara
cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR
(hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

Tes Widal yang tidak akurat sumber kesalahan diagnosis

 Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan


diagnosis tifus paling sering digunakan. Meskipun ternyata pemeriksaan ini sering
menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan kesalahan diagnosis. Dalam penelitian penulis
didapatkan infeksi virus yang sering menjadi penyebab demam pada anak dan orang dewasa
ternyata juga terjadi peningkatan hasil widal yang tinggi pada minggu pertama.
 Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas,
spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang
dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat
setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang
digunakan.9,13
 Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan
interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam
tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka
penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di
seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum
ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji
Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana
pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H
pada anak-anak sehat.
 Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal yang tinggi
pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan follow up
dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut menurun bahkan sebagian
kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada penderita tifus nilai widal tersebut
seharusnya semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up pada minggu ke dua
ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal seharusnya akan pada
penderita tifus seharusnya malahan semakin meningkat. Karakteristik penderita adalah usia
8 bulan hingga 5 tahun, dengan rata-rata usia 2,6 tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan
perempuan 59%. Semua penderita menunjukkan hasil kultur darah gall degatif dan semua
penderita tidak diberikan antibiotika dan mengalami self limiting disease atau penyembuhan
sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi
virus.
 Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya mengalami diagnosis
penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun. Sebagian besar penderita atau sekitar 89%
pada kelompok ini adalah kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang saluran
napas. Dan sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah penderita alergi.
Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam beradarah,
didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan 15 (34%)
anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut menunjukkan hasil kultar
darah gall negatif dan tidak diberikan terapi antibiotika membaik.
 Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita tertentu
terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak penderita alergi pada
anak yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus tampak
menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga mekanisme hipersensitif atau proses
auto imun yang sering terganggu pada penderita alergi dapat ikut meningkatkan hasil widal.
Dengan adanya penemuan awal tersebut tampaknya sangat berlawanan dengan pendapat
yang banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil widal terjadi karena Indonesia
merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu dilakukan penelitian lebih jauh khusus
dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.
 Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi ”overdiagnosis tifus”.
Pertama penderita harus mengkonsumsi antibiotika jangka panjang padahal infeksi yang
terjadi adalah infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita seringkali harus
dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang terjadi seringkali penderita seperti ini
mengalami diagnosis tifus berulang kali. Semua kondisi tersebut diatas akhirnya berakibat
peningkatan biaya berobat yang sangat besar padahal seharusnya tidak terjadi. Belum lagi
akbat efek samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang seharusnya tidak
diberikan.

Penanganan

 Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif
melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang
terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih
selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
 Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun
beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan
lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan
aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien.
 Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani perawatan di rumah sakit.
Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit tifus. Waktu penyembuhan bisa
makan waktu 2 minggu hingga satu bulan.
 Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-
sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat demam tipoid di
negara-negara barat. Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin
dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan
ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon. Kloramfenikol diberikan
dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena,
selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber ampisilin
dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum
dapat minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi
dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8
mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.
 Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2
kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang
diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan
fluoroquinolon.
 Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan.
Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat. Vaksin untuk demam
tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan perjalanan ke wilayah penyakit
ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin).
 Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi
nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB,
intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg
BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan
pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus

Komplikasi :

Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

1. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer,
sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih
sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien
kurang sempurna.

Pencegahan

 Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi.
Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan
higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih,
pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang
masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai
transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.
(Darmowandowo, 2006)
 Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi jika si kecil terkenal
doyan jajan. Juga, anak balita yang sudah pandai �nenangga�, atau yang belum bisa cebok
dengan benar. Vaksinasi harus diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena setelah kurun waktu itu,
kekebalan terhadap penyakit tifus akan berkurang. Umumnya, seusai divaksinasi, tubuh
akan kebal, atau kalupun terkena maka penyakit yang menyerang tidak sampai
membahayakan anak
 Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang diinaktivasi
(kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan
(attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak
direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung
ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita
karier tifoid dan pekerja laboratorium.
 Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang
dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan
sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin
untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki
resiko terjangkit.
 Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari
6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi.
Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun
untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.
 Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang
tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki
reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh
mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat
diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki
sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh
mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS
atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami
pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid
selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan
kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam
waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.
 Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti
reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau
kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah
jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam
(sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau
pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang
dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per
100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).

Anda mungkin juga menyukai