Anda di halaman 1dari 44

RESUME CLINICAL REASONING

SKENARIO 2

NAMA : VELIN NOVALINA SITORUS


NPM : 11917082
KELOMPOK: 3B
BLOK : 3.2

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2020
Kasus 2

Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa keluarganya ke puskesmas dengan keluhan
demam disertai ruam.

STEP I :

Keluhan utama yaitu demam disertai ruam.

STEP II :
DiagramVenn

DEMAM DENGUE
CHIKUNGUNYA
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
HIV/AIDS
DEMAM MORBILI RUAM
DEMAM TIFOIDKAWASAKI URTIKARIA
DIFTERI VARISELA DERMATITIS
INFLUENZA RUBELA KONTAK

STEP III :
1. Demam Tifoid
a. Etiologi
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini
mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah. Demam tifoid dapat terjadi karena masuknya kuman Salmonella typhi (S.
typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.1

b. Anamnesis
Keluhan
1. Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan
kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam
kontinu) hingga minggu kedua.
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal.
3. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, mual
muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah.
4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia,
insomnia.
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.
Faktor Risiko
1. Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.

2. Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang
dicuci dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja
manusia, makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.

3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.

4. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar tempat tinggal sehari- hari.

5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.

6. Kondisi imunodefisiensi.

Gambaran Klinis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan
terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis
penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun
pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu
menegakkan diagnosis.

Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala


klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1°C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per merit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat.
2. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang
ringan, seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau koma)
3. Demam, suhu > 37,5oC.
4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8
denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
5. Ikterus
6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis
7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali
8. Delirium pada kasus yang berat.
Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran
seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau
dengan
gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).
2. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen.
d. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah perifer: leukopenia/ normal/ leukositosis, anemia ringan,
trombositopenia, peningkatan laju endap darah, peningkatan SGOT/ SGPT:
- Uji Widal: deteksi titer antibodi terhadap S.typhi, S.paratyphi yakni aglutinin
0 (dari tubuh kuman) dan aglutinin H (flagela kuman). Pembentukan aglutinin
mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, puncak pada minggu
keempat, dan tetap tinggi dalam beberapa minggu dengan peningkatan
aglutinin 0 terlebih dahulu baru diikuti agglutinin H. Aglutinin 0 menetap 4-6
bulan sedangkan aglutinin H menetap 9- 12 bulan. Titer antibody 0 >I :320
atau antibodi H >I :640 menguatkan diagnosis pada gambaran klinis yang
khas.
- Uji TUBEX: uji semikuantitatif kolometrik untuk deteksi antibodi anti S.typhi
09. Hasil positif menunjukkan infeksi Salmonellae serogroup D dan tidak
spesifik 5. typhi. Infeksi Sparatyphi menunjukkan hasil negatif. Sensitivitas
75-80% dan spesifisitas 75-90%.
- Uji Typhidot: deteksi IgM dan IgG pada protein membran luar S.typhi. Hasil
positif diperoleh 2-3 hari setelah infeksi dan spesifik mengidentifikasi IgM
dan IgG terhadap S.typhi. Sensitivitas 98%, spesifisitas 76,6%.
- Uji IgM Dipstick: deteksi khusus IgM spesifik S. typhi pada spesimen serum
atau darah dengan menggunakan strip yang mengandung antigen
lipopolisakarida S.typhi dan anti IgM sebagai kontrol. Sensitivitas 65-77% dan
spesifisitas 95-100%. Akurasi diperoleh bila pemeriksaan dilakukan I minggu
setelah timbul gejala.
- Kultur darah: hasil positif memastikan demam tifoid namun hasil negatif tidak
menyingkirkan.
Dapat dilakukan pada spesimen:
a. Darah : Pada minggu pertama sampai
akhir minggu ke-2 sakit, saat demam
tinggi
b. Feses : Pada minggu kedua sakit
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga
sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi
carriertyphoid.
e. Tata Laksana
- lstirahat dan perawatan untuk mencegah komplikasi;
- Diet lunak dan terapi suportif (antipiretik, anti-emetik, cairan yang adekuat);
Antibiotik, dengan pilihan antara lain:
- Kloramfenikol 4 x 500 mg/hari per oral/IV hingga 7 hari bebas demam;
- Tiamfenikol 4 x 500 mg;
- Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 2 minggu;
- Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/ KgBB selama 2 minggu:
- Seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
- selama 1/2 jam perinfus sekali sehari, selama 3-5 hari;

Golongan fluorokuinolon :

- Norfloksasin 2 x 400 mg/ hari selama 14 hari;


- Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari;
- Ofloksasin 2 x 400 mg/ hari selama 7hari.
- Kombinasi antibiotik diberikan padatifoid toksik, peritonitis atau perforasi.
syok septik;
- Pada kehamilan: Ampisilin, amoksisilin, seftriakson.

Konseling dan Edukasi

Edukasi pasien tentang tata cara:

1. Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam tifoid yang harus
diketahui pasien dan keluarganya.

2. Diet, jumlah cairan yang dibutuhkan, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi


obat sebaiknya diperhatikan atau dilihat langsung oleh dokter, dan keluarga
pasien telah memahami serta mampu melaksanakan.
3. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan keluarga
supaya bisa segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan.

Pendekatan Community Oriented

Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat tentang aspek pencegahan


dan pengendalian demam tifoid, melalui:

1. Perbaikan sanitasi lingkungan


2. Peningkatan higiene makanan dan minuman
3. Peningkatan higiene perorangan
4. Pencegahan dengan imunisasi.

Tabel 1.1 Antibiotik dan dosis penggunaan tifoid


2. Difteri
a. Etiologi
Penyakit difteria disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Difteria berasal dari bahasa Yunani, diphtera = leather hide kulit yang
tersembunyi. Penyakit ini mempunyai dua bentuk, yaitu:
1. Tipe respirasi, yang disebabkan oleh strain bakteri yang memproduksi toksin
(toksigenik). Tipe ini biasanya mengakibatkan gejala berat sampai meninggal.
2. Tipe kutan, yang disebabkan oleh strain toksigenik maupun yang nontoksigenik.
Tipe ini umumnya menunjukan gejala ringan dengan peradangan yang tidak khas,
sehingga tidak lagi dilaporkan dalam program penanggulangan.
b. Anamnesis
Pasien dengan difteri pada umumnya datang dengan keluhan :
1) Demam (jarang > 103 F) (50-85%) dan kadang kadang menggigil
2) Malaise
3) Sakit tenggorokan
4) Sakit kepala
5) Limfadenopati saluran pernapasan dan pembentukan pseudomembran (50%)
6) Suara serak, disfagia (26-40%)
7) Dispnea, batuk.
c. Pemeriksaan Fisik
Difteri pernapasan cepat berlanjut menjadi gagal pernapasan karena obstruksi
jalan napas atau aspirasi dari pseudomembran ke trakeobronkial. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan kesulitan bernapas, takikardi dan pucat. Pada saluran
pernapasan ditemukan pseudomemberan yang mempunyai karakteristik sebagai
berikut: 1. Mukosa membran edema, hiperemis dengan epitel yang nekrosis, 2.
Biasanya berbentuk berkelompok, tebal, fibrinous dan berwarna abu- abu
kecoklatan yang terdiri dari lekosit, eritrosit sel epitel saluran napas yang mati,
dan mudah berdarah bila dilepas dari dasarnya. Membran ini biasa ditemukan di
palatum, faring, epiglotis, laring, trakea sampai daerah trakeobronkus. Pada
pemeriksaan leher ditemukan edema tonsil, uvula, daerah submandibular, dan
leher bagian depan, diikuti dengan gejala suara parau, stridor, dan bisa ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening servikalis anterior. Miokarditis bisa terjadi pada
65% dari penderita difteri, dan 10-25% diantaranya mengalami disfungsi miokard
dengan manifestasi klinis berupa takikardi, suara jantung melemah.Lalu
ditemukan gerakan palatum berkurang, paralisis otot mata yang menimbulkan
penglihatan ganda, kesukaran akomodasi dan strabismus internal.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan toksin
a. Elekprecipitin test
b. Polymerase chain pig inoculation test
c. Rapid enzyme imunoassay (rapid EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan
waktu 3 jam lebih singkat dibanding elekprecipitin test yang membutuhkan 24
jam.
2. Polymerase Chain Reaction (PCR), untuk deteksi urutan DNA encoding
subunit A tox+ strain. Pemeriksaan ini cepat dan sensitif/
3. Pemeriksaan darah tepi leukositosis moderat, trombositopenia dan urinalisis
troponin I berkolerasi dengan miokarditis.
4. Kelainan EKG bila ada kelainan jantung, pemeriksaan radiologi ditemukan
hiperinflasi.
e. Tata Laksana
Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan
ke pasien lainnya. Pengobatan ditujukan untuk memulihkan pasien akibat
peradangan dan toksin bakteri itu sendiri, yang terdiri dari:
1. Diphtheriae anti-toxin (DAT) atau antidifteri serum (ADS) merupakan
antitoksin yang bisa diproduksi dari serum kuda dan akan mengikat toksin
dalam darah namun tidak dalam jaringan. DAT diberikan pada tersangka
penderita difteria tanpa menunggu konfirmasi hasil laboratorium.
2. Antibiotik eritromisin atau penisilin diberikan untuk terapi dan profilaksis.
Pengobatan tersangka difteria bertujuan untuk menekan penularan penyakit.
a. Penisilin Procain 1.200.000 unit/hari secara intramuskular, 2 kali sehari
selama 14 hari
b. Eritomisin, 2 gra, perhari secara peroral dengan dosis terbagi 4 kali sehari
c. Preparat lain yaitu amoksisilin, rifampisin dan klindamisin.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah dan mengurangi peradangan.
3. Influenza
a. Definisi
Influenza, sering dikenal dengan flu adalah penyakit menular disebabkan oleh
virus RNA yaitu virus influenza A, B dan lebih jarang C. Virus influenza terus
mengalami perubahan, sehingga dalam beberapa waktu akan mengakibatkan
wabah (pandemik) yang parah. Virus ini menyerang saluran napas atas dan paru-
paru.
b. Etiologi
Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A, B, dan C. Ketiga tipe ini
dapat dibedakan dengan complement fixation test. Tipe B biasanya hańya
menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada tipe A dan kadang-kadang saja
sampai mengakibatkan epidemi. Tipe C adalah tipe yang diragukan
patogenitasnya untuk manusia, mungkin hanya menyebabkan gangguan ringan
saja. Virus penyebab influenza merupakan suatu orthomyxovirus golongan RNA
dan berdasarkan namanya sudah jelas bahwa virus ini mempunyai afinitas untuk
myxo atau musin.
c. Anamnesis
Pada umumnya pasien mengeluh demam, sakit kepala, sakit otot, gigil, batuk,
pilek dan kadang kadang sakit pada saat waktu menelan dan suara serak. Gejala
ini didahului oleh perasaan malas dan rasa dingin.
Faktor Risiko
2) Daya tahan tubuh menurun
3) Kepadatan hunian dan kepadatan penduduk yang tinggi
4) Perubahan musim/cuaca
5) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
6) Usia lanjut.
d. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik tidak dapat ditemukan tanda tanda karakteristik
kecuali hiperemia ringan sampai berat pada selaput lendir tenggorok.
Tanda Patognomonis
1. Febris
2. Rinore
3. Mukosa hidung edema
Pada pasien usia lanjut harus dipastikan apakah influenza menyerang paru paru.
Pada keadaan tersebut, saat pemeriksaan fisik dapat ditemukan bunyi napas yang
abnormal.
e. Tata Laksana
1. Tatalaksana influenza umumnya tanpa obat (self-limited disease).
Hal yang perlu ditingkatkan adalah daya tahan tubuh. Tindakan untuk
meringankan gejala flu adalah beristirahat 2-3 hari, mengurangi kegiatan fisik
berlebihan, meningkatkan gizi makanan dengan makanan berkalori dan
protein tinggi, serta buah-buahan yang tinggi vitamin.
2. Terapi simptomatik per oral
a. Antipiretik. Pada dewasa yaitu parasetamol 3-4 x 500 mg/hari (10-15
mg/kgBB), atau ibuprofen 3-4 x 200-400 mg/hari (5-10 mg/kgBB).
b. Dekongestan, seperti pseudoefedrin (60 mg setiap 4-6 jam)
c. Antihistamin, seperti klorfeniramin 4-6 mg sebanyak 3-4 kali/hari, atau
difenhidramin, 25-50 mg setiap 4-6 jam, atau loratadin atau cetirizine 10
mg dosis tunggal (pada anak loratadin 0,5 mg/kgBB dan setirizin 0,3
mg/kgBB).
d. Dapat pula diberikan antitusif atau ekspektoran bila disertai batuk.

Konseling dan Edukasi

a. Edukasi terutama ditujukan untuk individu dan lingkungannya. Penyebaran


penyakit ini melalui udara sehingga lingkungan rumah harus memenuhi
persyaratan rumah sehat terutama ukuran jendela untuk pencahayaan dan
ventilasi serta kepadatan hunian. Untuk mencegah penyebaran terhadap orang-
orang terdekat perlu diberikan juga edukasi untuk memutuskan mata rantai
penularan seperti etika batuk dan pemakaian masker.

b. Selain edukasi untuk individu, edukasi terhadap keluarga dan orang- orang
terdekat juga penting seperti peningkatan higiene dan sanitasi lingkungan.2

Pencegahan

a. Imunisasi influenza, terutama bagi orang-orang risiko tinggi.

b. Harus diwaspadai pasien yang baru kembali dari daerah terjangkit epidemi
influenza.

4. Demam Dengue
a. Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue
atau demam berdarah dengue.

Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan


serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan
Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemilogi pada hewan
ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi.
Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada
nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.

b. Anamnesis

Keluhan

1. Demam tinggi, mendadak, terus menerus


2. Manifestasi perdarahan, seperti: bintik-bintik merah di kulit, mimisan, gusi
berdarah, muntah berdarah, atau buang air besar berdarah.
3. Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri Tanda patognomonik untuk
demam dengue retroorbital.
4. Gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah, nyeri perut (biasanya di ulu hati
atau di bawah tulang iga)
5. Kadang disertai juga dengan gejala lokal, seperti: nyeri menelan, batuk, pilek.
6. Pada kondisi syok, anak merasa lemah, gelisah, atau mengalami penurunan
kesadaran.
7. Pada bayi, demam yang tinggi dapat menimbulkan kejang.
Faktor Risiko
1. Sanitasi lingkungan yang kurang baik, misalnya: timbunan sampah,
timbunan barang bekas, genangan air yang seringkali disertai di tempat
tinggal pasien sehari-hari.
2. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti pada genangan air di tempat tinggal
pasien.
3. Adanya penderita demam berdarah dengue (DBD) di sekitar pasien.
c. Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonik untuk demam dengue
1. Suhu > 37,5 derajat celcius
2. Ptekie, ekimosis, purpura
3. Perdarahan mukosa
4. Rumple Leed (+)
5. Hepatomegali
6. Splenomegali
7. Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda- tanda efusi pleura
dan asites.
8. Hematemesis atau melena
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap, yang menunjukkan:
a. Trombositopenia (≤ 100.000/μL).
b. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
• peningkatan hematokrit (Ht) ≥ 20% dari nilai standar data
• populasi menurut umur
• Ditemukan adanya efusi pleura, asites
• Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
c. Leukopenia < 4000/μL.
2. Serologi Dengue, yaitu IgM dan IgG anti-Dengue, yang titernya dapat terdeteksi
setelah hari ke-5 demam.
Diagnosis Klinis Demam Dengue
1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik.
2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun
berupa uji tourniquet positif.
3. Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.
4. Adanya kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar rumah.
5. Leukopenia < 4.000/mm3
6. Trombositopenia < 100.000/mm3

Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda
dan gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.

Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue

1. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus (kontinua)


2. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun
berupa uji Tourniquette yang positif.
3. Sakit kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.
4. Adanya kasus demam berdarah dengue baik di lingkungan sekolah, rumah
atau di sekitar rumah

a. Hepatomegali

b. Adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu:

• Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data
populasi menurut umur

• Ditemukan adanya efusi pleura,asites

• Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
c. Trombositopenia <100.000/mm3

Adanya demam seperti di atas disertai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis,
ditambah bukti perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan
diagnosis Demam Berdarah Dengue.

e.Tata Laksana
Demam berdarah dengue (DBD) pada Pasien Anak tanpa syok
1. Bila anak dapat minum
a. Berikan anak banyak minum
• Dosis larutan per oral: 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan tiap 5 menit.
• Jenis larutan per oral: air putih, teh manis, oralit, jus buah, air sirup, atau susu.
b. Berikan cairan intravena (infus) sesuai
dengan kebutuhan untuk dehidrasi
sedang. Berikan hanya larutan kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat (RL) atau
Ringer Asetat (RA), dengan dosis sesuai berat badan sebagai
berikut:
• Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
• Berat badan 15-40 kg: 5 ml/kgBB/jam
• Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
2. Bila anak tidak dapat minum, berikan cairan infus kristaloid isotonik sesuai
kebutuhan untuk dehidrasi sedang sesuai dengan dosis yang telah dijelaskan di
atas.
3. Lakukan pemantauan: tanda vital dan diuresis setiap jam, laboratorium
(DPL) per4-6 jam.
a. Bila terjadi penurunan hematokrit dan perbaikan klinis, turunkan jumlah cairan
secara bertahap sampai keadaan klinis stabil.
b. Bila terjadi perburukan klinis, lakukan penatalaksanaan DBD dengan syok. Bila
anak demam, berikan antipiretik (Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali) per oral.
Hindari Ibuprofen dan Asetosal. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.
4. Bila anak demam, berikan antipiretik (Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali) per
oral. Hindari Ibuprofen dan Asetosal.
5. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.
Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Syok
1. Kondisi ini merupakan gawat darurat dan mengharuskan rujukan segera ke RS.
2. Penatalaksanaan awal:
a. Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung atau sungkup muka.
b. Pasang akses intravena sambil melakukan pungsi vena untuk pemeriksaan
DPL.
c. Berikan infus larutan kristaloid (RL atau RA) 20 ml/kg secepatnya.
d. Lakukan pemantauan klinis (tanda vital, perfusi perifer, dan diuresis) setiap 30
menit.
e. Jika setelah pemberian cairan inisial tidak terjadi perbaikan klinis, ulangi
pemberian infus larutan kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30
menit) atau pertimbangkan pemberian larutan koloid 10-20 ml/kgBB/jam
(maksimal 30 ml/kgBB/24 jam).
f. Jika nilai Ht dan Hb menurun namun tidak terjadi perbaikan klinis,
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi. Berikan transfusi darah
bila fasilitas tersedia dan larutan koloid. Segera rujuk.
g. Jika terdapat perbaikan klinis, kurangi jumlah cairan hingga 10 ml/kgBB/jam
dalam 2-4 jam. Secara bertahapditurunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis
dan laboratorium.
h. Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
Hindari pemberian cairan secara berlebihan.
3. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.

Gambar 3.1 Observasi dan Pemberian Cairan Suspek DBD Dewasa


Tanpa Syok

Demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok


Gambar 3.2 Pemberian Cairan pada Suspek DBD tanpa Syok
1. Pemantauan klinis (tanda vital, perfusi perifer, diuresis) dilakukan setiap
satu jam.
2. Pemantauan laboratorium (Ht, Hb, trombosit) dilakukan setiap 4-6 jam,
minimal 1 kali setiap hari.
3. Pemantauan cairan yang masuk dan keluar. Demam berdarah dengue
(DBD) dengan Syok Dokter di fasilitas pelayanan Kesehatan tingkat
pertama merujuk pasien ke RS jika kondisi pasien stabil.
Persyaratan perawatan di rumah
1. Persyaratan untuk pasien dan keluarga
a. DBD non-syok (tanpa kegagalan sirkulasi).
b. Bila anak dapat minum dengan adekuat.
c. Bila keluarga mampu melakukan perawatan di rumah dengan adekuat.
2. Persyaratan untuk tenaga kesehatan
a. Adanya 1 dokter dan perawat tetap yang bertanggung jawab penuh
terhadap tatalaksana pasien.
b. Semua kegiatan tatalaksana dapat dilaksanakan dengan baik di rumah.
c. Dokter dan/atau perawat mem-followup pasien setiap 6-8 jam dan setiap
hari, sesuai kondisi klinis.
d. Dokter dan/atau perawat dapat berkomunikasi seara lancar dengan
keluarga pasien sepanjang masa tatalaksana.
Kriteria Rujukan
1. DBD dengan syok (terdapat kegagalan sirkulasi).
2. Bila anak tidak dapat minum dengan adekuat, asupan sulit, walaupun
tidak ada kegagalan sirkulasi.
3. Bila keluarga tidak mampu melakukan perawatan di rumah dengan
adekuat, walaupun DBD tanpa syok.
Konseling dan Edukasi
- Penjelasan mengenai diagnosis, komplikasi, prognosis, dan rencana
tata laksana.
- penjelasan mengenai tanda-tanda bahaya (warning signs) yang perlu
diwaspadai dan kapan harus segera ke layanan kesehatan.
- Penjelasan mengenai jumlah cairan yangdibutuhkan oleh anak.
- Penjelasan mengenai diet nutrisi yang perlu diberikan.
- Penjelasan mengenai cara minum obat.
- Penjelasan mengenai faktor risiko dan cara-cara pencegahan yang
berkaitan dengan perbaikan higiene personal, perbaikan sanitasi
lingkungan, terutama metode 4M plus seminggu sekali, yang terdiri
atas:
1) Menguras wadah air, seperti bak mandi, tempayan, ember, vas
bunga, tempat minum burung, dan penampung air kulkas agar telur
dan jentik Aedes aegypti mati.
2) Menutup rapat semua wadah air agar nyamuk Aedes aegypti tidak
dapat masuk dan bertelur.
3) Mengubur atau memusnahkan semua barang bekas yang dapat
menampung air hujan agar tidak menjadi sarang dan tempat bertelur
nyamuk Aedes aegypti.
4) Memantau semua wadah air yang dapat menjadi tempat nyamuk
Aedes aegypti berkembang biak.
5. Chikungunya
a. Definisi
Chikungunya adalah penyakit mirip demam dengue yang disebabkan oleh virus
chikungunya dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes africanus.
Karena vektornya nyamuk, chikungunya tergolong arthropod-borne disease, yaitu
penyakit yang disebarkan oleh artropoda.
b. Etiologi
Virus chikungunya adalah virus yang termasuk dalam genus virus alfa dari
famili Togaviridae. Virus ini berbentuk sferis dengan ukuran diameter sekitar 42
nm. Virus ini bersama dengan virus O'nyong-nyong dari genus virus alfa dan virus
penyebab penyakit 'Demam Nil Barat' dari genus virus flavi menyebabkan gejala
penyakit mirip dengue.
Sebelum menyerang manusia, 200-300 tahun yang lalu, virus ini telah
menyerang primata di hutan dan padang savana di Afrika. Hewan primata yang
sering terjangkit adalah baboon (Papio sp.) dan Cercopithecus sp. Meskipun
belum ada penjelasan tentang perubahan siklus serangan dari hewan primata -
nyamuk hewan primata menjadi manusia – nyamuk – manusia, karena tidak
semua virus hewan dapat mengalami perubahan tersebut, kemungkinan hal ini
terjadi karena mutasi genetik pada virus.

c. Patogenesis
Mekanisme penularan klasik terjadi apabila manusia yang sedang viremia,
yaitu biasanya terjadi 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam, digigit
oleh nyamuk Aedes sp. dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period). Virus
dalam kelenjar air liur nyamuk akan berkembang hiak dan kemudian ditularkan ke
manusia lain yang digigit oleh nyamuk nada gigitan berikutnya. Dalam tubuh
manusia, virus memerlukan waktu 3-7 hari (intrinsic incubation period) untuk
berkembang, sebelum akhirnya menimbulkan gejala klinis.
Kekebalan individu akan terjadi setelah penyembuhan penyakit ini. Namun
belum ada kejelasan yang pasti tentang lamanya kekebalan ini bisa bertahan,
meskipun ada laporan tentang epidemi setiap 20 tahunan yang dikaitkan dengan
perubahan iklim. Serangan ulang chikungunya juga belum banyak dilaporkan.
Belum begitu jelas adanya kepekaan individu terhadap chikungunya, termasuk ada
atau tidaknya faktor ras, gender, atau karakteristik lain yang berpengaruh.
Penularan chikungunya yang cepat hingga terjadinya KLB dipengaruhi ed oleh:
1. Perubahan iklim dan cuaca yang mempengaruhi perkembangan populasi nyamuk.
2. Mobilisasi penduduk dari dan ke daerah yang terinfeksi
3. Perilaku masyarakat.
4. Sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan tempat berkembang biaknya
nyamuk.
Gambar 1.3 Patomekanisme Chikungunya
d. Manifestasi klinis
Masa inkubasi chikungunya adalah 2 – 12 hari dengan rata rata 3 – 7 hari. gejala
penyakit diawali dengan :
 Demam mendadak
 Ruam kulit
 Limfadenopati
 Artralgia
 Mialgia atau artritis
Penderita dapat mengeluhkan nyeri atau ngilu saat berjalan kaki karena serangan
pada sendi sendi kaki. Dibandingkan dengan DBD, gejala chikungunya muncul
lebih dini dan perdarahan jarang terjadi.
e. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosis, dengan bahan
darah vena 5 cc pada fase akut (utama) dan fase penyembuhan.
2) Pemeriksaan hematologi rutin dapat di jumpai :
- Kadar hemoglobin yang normal
- Trombositopenia
- Leukopenia atau leukositosis
- Limfositosis
- Peningkatan laju endap darah
3) Pemeriksaan kimia klinis :
Fungsi hati yang bisa terganggu apabila terjadi hepatomegali yang ditandai
SGOT/SGPT dan bilirubin direk atau total yang meningkat
4) Pemeriksaan serologi dengan rapid diagnostic test, ELISA, hemaglutinase inhibisi
(HI), dan immunofluorescent assay (IFA) untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG
atau dengan PCR untuk memeriksa materi genetik virus.
f. Tata Laksana
Pengobatan yang diberikan meliputi:
1. Pengobatan suportif
2. Analgesik
3. lnfus bila perlu.

Pencegahan

Upaya pencegahan chikungunya hampir sama dengan pencegahan untuk penyakit


DBD. Penting bagi masyarakat untuk melakukan gerakan pemberantasan sarang
nyamuk secara rutin, menggunakan obat antinyamuk pada jamlam saat nyamuk
banyak menggigit, dan mengoleskan losion antinyamuk pada anak sekolah.

6. Lupus Eritematosus Sistemik


a. Etiologi
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit inflamasi autoimun
sistemik yang ditandai dengan temuan autoantibodi pada jaringan dan kompleks dan
imun sehingga mengakibatkan manifestasi klinis di berbagai sistem organ. Terdapat
beberapa autoantibodi yang ditemukan pada LES: anti-nuclear antibody (ANA).
anti-dsDNA, anti-Sm, anti-RNP, anti-Ro (SS-A) , koagulasi (self molecules).
Antibodi yang spesifik ditemukan pada penderita LES adalah ANA (antinucle-
antitrombosit, antineuronal, dan antiribosomal P.
Peristiwa imunologi yang tepat yang memicu timbulnya manifestasi klinis
SLE belum diketahui secara pasti. Berbagai sitokin pro- dan anti-inflamasi seperti
TGF-B. IL-10, BAFF, IL-6, IFN-a, IFN-Y, IL-17, dan IL-23 memainkan peran
patogenik yang penting. Etiopatologi SLE diduga melibatkan interaksi yang
kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan.
b. Anamnesis
Keluhan
Manifestasi klinik LES sangat beragam dan seringkali tidak terjadi saat bersamaan.
Keluhan awal dapat berupa:
1. Kelelahan
2. Nyeri sendi yang berpindah-pindah
3. Rambut rontok
4. Ruam pada wajah
5. Sakit kepala
6. Demam
7. Ruam kulit setelah terpapar sinar matahari
8. Gangguan kesadaran
9. Sesak
10. Edema anasarca
Keluhan-keluhan tersebut akhirnya akan berkembang sesuai manifestasi organ yang
terlibat pada LES.

Tabel 7.1 Kriteria Lupus Eritoematosus Sistemik


c. Pemeriksaan Fisik
Hampir seluruh sistem organ dapat terlibat dalam LES. Manifestasi yang umum
didapatkan antara lain:
1. Gejala konstitusional, misalnya: kelelahan, penurunan berat badan, rambut rontok,
bengkak, dan sakit kepala.
2. Manifestasi muskuloskeletal dijumpai lebih dari 90%, misalnya: mialgia, artralgia
kreatinin. atau artritis (tanpa bukti jelas inflamasi sendi).
3. Manifestasi mukokutaneus, misalnya ruam malar/ruam kupu-kupu,
fotosensitifitas, alopecia, dan ruam diskoid.
4. Manifestasi paru, misalnya pneumonitis (sesak, batuk kering, ronkhi di basal),
emboli paru, hipertensi pulmonum, dan efusi pleura.
5. Manifestasi kardiologi, misalnya Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan
Pleuropericardial friction rubs, takipneu, gambaran klinik dan laboratorium.
Berdasarkan murmur sistolik, gambaran perikarditis, American College of
Rheumatology (ACR) tahun miokarditis dan penyakit jantung koroner.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan DPL (darah perifer lengkap) dengan diferensial demam (biasanya
tidak disertai menggigil), dapat menunjukkan leukopeni, trombositopeni, dan
anemia. bengkak, dan sakit kepala.
b. Pemeriksaan serum kreatinin menunjukkan peningkatan serum
c. Urinalisis menunjukkan adanya eritrosit dan proteinuria.
2. Radiologi X-ray Thoraks dapat menunjukkan adanya efusi pleura.
e. Tata Laksana
Tabel 7.2 Obat yang digunakan Untuk LES

- Pada LES derajat berat juga diberikan agen sitotoksik seperti azatioprin.
siklofosfamid. metotreksat, siklosporin. dan mikofenolat mofetil.
- Terapi suportif sesuai komplikasi organ yang terkena: jantung, paru. gastrointesinal,
ginjal. neurologi. dan hematologi. Oleh sebab itu, penanganan LES dilakukan secara
multidisiplin.
- Terapi Non-medikamentosa: Edukasi penyakit dan konseling keluarga. Penting
dilakukan edukasi menyeluruh mengenai penyakit SLE. termasuk penyebab, terapi,
beserta komplikasi yang mungkin timbul. Edukasi dilakukan pada pasien dan
keluarganya disertai dengan konseling untuk memotivasi pasien dan meningkatkan
dukungan keluarga untuk kesembuhan pasien;
Program rehabilitasi: tirah baring, terapi fisik, terapi dengan modalitas, dan
penggunaan
ortotik.
7. HIV/AIDS
a. Etiologi
HIV merupakan virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk dalam subfamili
Lentivirus dari famili Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe:
HIV-I yang menyebar luas ke seluruh dunia; dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika
Barat dan Eropa.
Sumber Penularan Infeksi HIV
- Kontak seksual (heteroseksual, homoseksual) ,melalui mukosa genital;
- Darah, produk darah (langsung menyebar hematogen) , jaringan transplantasi,
jarum suntik, spuit;infeksi HIV.
- Vertikal dari ibu ke janin/ bayi lewat infeksi intrapartum, perinatal, atau air susu
ibu.
b. Anamnesis
Keluhan
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan tertentu.
Pasien dating dapat dengan keluhan:
- Demam (suhu >37,5OC) terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
- Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
- Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari berat badan dasar.
- Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.
Faktor Risiko
- Penjaja seks laki-laki atau perempuan
- Pengguna NAPZA suntik
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan transgender
- Hubungan seksual yang berisiko atau tidak aman
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah
- Pembuatan tato dan atau alat medis/alat
c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Berat badan turun
b. Demam
2. Kulit
a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering dan dermatitis
seboroik
b. Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas herpes zoster
3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru
6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau
massa
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra
8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Hitung jenis leukosit : Limfopenia dan CD4 hitung <350 (CD4 sekitar 30% dari
jumlah total limfosit)
b. Tes HIV menggunakan strategi III yaitu menggunakan 3 macam tes dengan
titik tangkap yang berbeda, umumnya dengan ELISA dan dikonfirmasi Western
Blot
c. Pemeriksaan DPL
2. Radiologi: X-ray torak. Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling
sebelumnya. Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
Konseling dan tes HIV dapat dilakukan dengan
dua cara:
1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT =Voluntary Counseling and
Testing)
2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK – PITC =
Provider-Initiated Testing and Counseling)
e. Tata Laksana
Tatalaksana HIV di layanan tingkat pertama dapat dimulai apabila penderita
HIV sudah dipastikan tidak memiliki komplikasi atau infeksi oportunistik yang
dapat memicu terjadinya sindrom pulih imun. Evaluasi ada tidaknya infeksi
oportunistik dapat dengan merujuk ke layanan sekunder untuk pemeriksaan lebih
lanjut karena gejala klinis infeksi pada penderita HIV sering tidak spesifik. Untuk
memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV.
1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4. Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada
penilaian klinis.
2. Tersedia pemeriksaan CD4
a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

1. Pemeriksaan setelah Diagnosis HIV Ditegakkan


a. Pemeriksaan stadium klinis setiap kali kunjungan
b. Pemeriksaan hitung CD4+. Rata-rata penurunan CD4+ adalah sekitar 70-100
sel/mm 3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50- 100
sel/mm 3/ tahun. Jumlah limfosit total tidak dapat menggantikan pemeriksaan
CD4+.
b. Pemeriksaan laboratorium. Idealnya sebelum memulai terapi antiretrovirus
(ARV) dilakukan pemeriksaan berikut: (perlu disesuaikan dengan sumber daya
yang tersedia)
Darah lengkap, SGOT dan SGPT, kreatinin serum, urinalisis; HBsAg. anti-HCV,
profil lipid serum, gula darah, VDRL/TPHA/PRP, Rontgen toraks;

Tabel 9.1 Dosis Obat Antiretroviral untuk ODHA Dewasa


8. Morbili
a. Etiologi
Morbili adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Measles. Nama lain
dari penyakit ini adalah rubeola atau campak. Morbili merupakan penyakit yang
sangat infeksius dan menular lewat udara melalui aktivitas bernafas, batuk, atau
bersin. Pada bayi dan balita, morbilli dapat menimbulkan komplikasi yang fatal,
seperti pneumonia dan ensefalitis. Salah satu strategi menekan mortalitas dan
morbiditas penyakit morbili adalah dengan vaksinasi.
b. Anamnesis
1. Gejala prodromal berupa demam, malaise,
gejala respirasi atas (pilek, batuk), dan
konjungtivitis.
2. Pada demam hari keempat, biasanya muncul lesi makula dan papula eritem,
yang dimulai pada kepala daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan
menyebar secara sentrifugal ke bawah hingga muka, badan, ekstremitas, dan
mencapai kaki pada hari ketiga.
3. Masa inkubasi 10-15 hari.
4. Belum mendapat imunisasi campak
c. Pemeriksaan Fisik
1. Demam, konjungtivitis, limfadenopati general.
2. Pada orofaring ditemukan koplik spot sebelum munculnya eksantem.
3. Gejala eksantem berupa lesi makula dan papula eritem, dimulai pada kepala
pada daerah perbatasan dahi rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara
sentrifugal dan ke bawah hingga muka, badan,ekstremitas, dan mencapai kaki
4. Pada hari ketiga, lesi ini perlahan-lahan menghilang dengan urutan sesuai
urutan muncul, dengan warna sisa coklat kekuningan atau deskuamasi ringan.
Eksantem hilang dalam 4-6 hari.
d. Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya tidak diperlukan. Pada pemeriksaan sitologi dapat ditemukan
sel datia berinti banyak pada sekret. Pada kasus tertentu, mungkin diperlukan
pemeriksaan serologi IgM anti-Rubella untuk mengkonfirmasi diagnosis.

Komplikasi

Komplikasi lebih umum terjadi pada anak dengan gizi buruk, anak yang belum
mendapat imunisasi, dan anak dengan imunodefisiensi dan leukemia. Komplikasi
berupa otitis media,pneumonia, ensefalitis, trombositopenia. Pada anak HIV yang
tidak diimunisasi, pneumonia yang fatal dapat terjadi tanpa munculnya lesi kulit.

e. Tata Laksana
- Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan mengganti cairan
yang hilang dari diare dan emesis.
- Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan antipiretik. Jika
terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
- Suplementasi vitamin A diberikan pada:
a. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/ hari PO diberi 2 dosis.
b. b. Usia 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
c. Usia di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
d. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai usia,
dilanjutkan dosis ketiga sesuai usia yang diberikan 2-4 minggu kemudian.
Konseling dan Edukasi
Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbilli merupakan penyakit yang
menular. Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh
sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif. Edukasi pentingnya
memperhatikan cairan yang hilang dari diare/emesis. Untuk anggota
keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin campak atau human
immunoglobulin untuk pencegahan. Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari
terpapar dengan penderita. Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan
gangguan imun, bayi usia 6 bulan -1 tahun, bayi usia kurang.
9. Kawasaki
a. Etiologi

Penyakit Kawasaki dikenal sebagai penyakit dengan kumpulan gejala inflamasi


pada jaringan kulit, mukosa, dan kelenjar getah bening.Gejala paling umum adalah
demam lebih dari 5 hari, yang biasanya tidak reda dengan parasetamol,
pembengkakan kelenjar getah bening di leher, kemerahan di area genital, bibir, kedua
mata, telapak tangan, dan telapak kaki. Gejala lain yang sering adalah diare dan sakit
tenggorokan.

Penyebab penyakit Kawasaki sampai saat ini belum diketahui. Diduga dipicu oleh
infeksi yang merangsang respons imun tubuh untuk menyerang sistem imun sendiri
(autoimun).1–4 Penyakit Kawasaki diduga berhubungan dengan gen tertentu seperti
SLC11A1, sehingga lebih banyak ditemukan pada orang Jepang.6 Penyakit Kawasaki
merupakan penyakit langka, sering pada anak berusia di bawah 5 tahun. Anak laki-
laki lebih sering terkena.5 Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Tomisaku
Kawasaki.

b. Anamnesis

Gejala utama penyakit Kawasaki adalah demam yang sering tidak turun dengan
obat penurun panas seperti parasetamol ataupun ibuprofen. Demam merupakan gejala
khas pada fase akut, biasanya tinggi (sekitar 39-40oC), bersifat remiten dan diikuti
iritabilitas.2–4 Meskipun demikian, terdapat laporan kasus penyakit Kawasaki tanpa
demam. Demam dapat berlangsung satu sampai dua minggu. Pada kasus yang tidak
mendapat terapi gamaglobulin intravena, demam dapat berlangsung hingga 4 minggu
dan umumnya tidak turun dengan pemberian antibiotik.

1. Eritema bibir dan rongga mulut atau bibir pecah-pecah.

2. Rash kedua tungkai.


3. Pembengkakan dan kemerahan pada tangan dan kaki.

4. Injeksi konjungtiva.

5. Pembengkakan kelenjar getah bening leher minimal sebesar 15 mm, unilateral.

c. Pemeriksaan Fisik

Gejala yang sering dialami adalah injeksi konjungtiva kedua mata, tanpa nyeri, dan
tidak terdapat sekret. Gejala ini juga timbul pada fase akut saat demam berlangsung.
Bisa disertai uveitis anterior dan iritis.Gejala lain yang sering adalah kumpulan gejala
pada mulut, seperti bibir bengkak, pecah-pecah dan berdarah dengan lidah kemerahan
dengan pembengkakan papilla (strawberry tongue). Pembesaran kelenjar getah bening
leher terjadi pada sekitar 50-75% kasus. Kelenjar getah bening yang membesar
biasanya tidak nyeri atau sedikit nyeri, non-supuratif disertai kemerahan kulit
sekitarnya.

Pada fase akut dapat ditemukan gejala ekstremitas seperti kemerahan telapak
tangan dan telapak kaki, disertai pembengkakan dan nyeri. Pada fase subakut atau
penyembuhan biasanya terjadi pengelupasan kulit area periungual. Tanda klinis utama
pada kulit adalah kemerahan area tungkai, wajah. dan perineum.4

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah:
- Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil anemia normositik dan
trombositosis
- Laju endap darah meningkat
- C-reactive protein meningkat
- Pemeriksaan fungsi hati menunjukkan inflamasi hati dan albumin serum rendah.

Pemeriksaan Lain:

- Elektrokardiografi: dapat ditemukan disfungsi ventrikel, kadang-kadang aritmia


sehubungan dengan miokarditis.
- Ekokardiogram: dapat ditemukan perubahan arteri koroner hingga aneurisma.
- Urinalisis: dapat ditemukan leukosit dan protein di urin tanpa bakteria. Hasil
laboratorium khas pada kedua pasien ini adalah trombositosis pada hari ke-7 sakit
saat pasien mulai memasuki fase subakut.
e. Tata Laksana
Anak dengan penyakit Kawasaki idealnya dirawat di rumah sakit oleh dokter
berpengalaman. Di rumah sakit pendidikan biasanya ditangani oleh dokter jantung
anak, dokter reumatologi anak, dan dokter penyakit infeksi anak.2 Terapi standar
utama adalah Gamaglobulin Intravena (IVIg) dosis tinggi 2 g/kgBB.Terapi IVIg
harus diberikan dalam 7 hari dihitung dari mulai timbul demam untuk mencegah
aneurisma arteri koroner. Asam asetilsalisilat harus diberikan bersamaan dengan
terapi IVIg untuk mengurangi risiko komplikasi pada jantung; diberikan dosis
tinggi di awal penyakit (80-100 mg/kgBB/hari dibagi 4 kali pemberian) hingga 2 x
24 jam bebas demam, dilanjutkan dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari selama 3-4
minggu hingga komplikasi jantung dapat disingkirkan.
10. Varisela
b. Etiologi
Infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster yang menyerang kulit dan
mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama
berlokasi di bagian sentral tubuh. Masa inkubasi 14-21 hari. Penularan melalui
udara (air-borne) dan kontak langsung.
c. Anamnesis

Keluhan

Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian disusul timbulnya lesi kulit
berupa papul eritem yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel.
Biasanya disertai rasa gatal.

Faktor Risiko

1. Anak-anak.
2. Riwayat kontak dengan penderita varisela.
3. Keadaan imunodefisiensi.

d. Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam
berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear
drops). Vesikel akan menjadi keruh dan kemudian menjadi krusta. Sementara
proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel- vesikel baru yang menimbulkan
gambaran polimorfik khas untuk varisela. Penyebaran terjadi secara sentrifugal,
serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas atas.2
e. Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis dengan menemukan sel Tzanck
yaitu sel datia berinti banyak.

Komplikasi

Pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama terjadi pada pasien dengan


gangguan imun.Varisela pada kehamilan berisiko untuk menyebabkan infeksi
intrauterin pada janin, menyebabkan sindrom varisela kongenital.
f. Tata Laksana
- Gesekan kulit perlu dihindari agar tidak mengakibatkan pecahnya vesikel.
Selain itu, dilakukan pemberian nutrisi TKTP, istirahat dan mencegah kontak
dengan orang lain.
- Gejala prodromal diatasi sesuai dengan indikasi. Aspirin dihindari karena
dapat menyebabkan Reye’s syndrome. Losio kalamin dapat diberikan untuk
mengurangi gatal. Pengobatan antivirus oral, antara lain:
a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x 20 mg/kgBB (dosis
maksimal 800 mg), atau
b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari. Pemberian obat tersebut selama 7-
10 hari dan efektif diberikan pada 24 jam pertama setelah timbul lesi.
Konseling dan Edukasi
Edukasi bahwa varisella merupakan penyakit yang self-limiting pada
anak yang imunokompeten. Komplikasi yang ringan dapat berupa infeksi
bakteri sekunder. Oleh karena itu, pasien sebaiknya menjaga kebersihan tubuh.
Penderita sebaiknya dikarantina untuk mencegah penularan.
11. Rubela
a. Definisi
Rubella atau campak Jerman adalah penyakit anak menular yang lazim
biasanya ditandai dengan gejala-gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak
(Rubeola) ringan atau demam skarlet, dan pembesaran serta nyeri limfonodi
pascaoksipital, retroaurikuler, dan servikalis posterior. Pada anak yang lebih tua
dan dewasa, terutama wanita dewasa, infeksi kadang-kadang dapat berat, dengan
manifestasi keterlibatan sendi dan purpura.
Rubella pada awal kehamilan dapat menyebabkan anomali kongenital berat.
Sindrom rubella kongenital adalah penyakit menular aktif dengan keterlibatan
multisistem, spektrum ekspresi klinis luas, dan periode infeksi aktif pasca lahir
dengan pelepasan virus yang lama.
Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan morbiditas dan mortalitas yang
rendah pada manusia normal. Tetapi jika infeksi didapat saat kehamilan, dapat
menyebabkan gangguan pada pembentukan organ dan dapat mengakibatkan
kecacatan. Virus penyebab rubela atau campak Jerman ini bekerja dengan aktif
khususnya selama masa hamil. Akibat yang paling penting diingat adalah
keguguran, lahir mati, kelainan pada janin, dan aborsi terapeutik, yang terjadi jika
infeksi rubela ini muncul pada awal kehamilan, khususnya pada trimester pertama.
Apabila seorang wanita terinfeksi rubela selama trimester pertama, ia memiliki
kemungkinan kurang lebih 52% melahirkan bayi dengan sindrom rubela
kongenital (CRS, Congenital Rubella Syndrome).

b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella, sebuah togavirus yang
menyelimuti dan memiliki RNA genom untai tunggal. Virus ini ditularkan melalui
jalur pernapasan dan bereplikasi dalam nasofaring dan kelenjar getah bening .
Virus ini ditemukan dalam darah 5 sampai 7 hari setelah infeksi dan menyebar ke
seluruh tubuh. Virus ini memiliki teratogenik sifat dan mampu melintasi plasenta
dan menginfeksi janin mana berhenti sel dari berkembang atau menghancurkan
mereka. Selama periode inkubasi ini, pasien menular biasanya selama sekitar satu
minggu sebelum ia / dia mengembangkan ruam dan selama sekitar satu minggu
setelahnya.
Peningkatan kerentanan terhadap infeksi mungkin diwariskan karena ada
beberapa indikasi bahwa HLA-A1 atau faktor sekitarnya A1 pada haplotipe
diperpanjang terlibat dalam infeksi virus atau non-resolusi penyakit.
c. Patofisiologi
Daerah utama yang terinfeksi oleh rubella adalah nasofaring kemudian
menyebar ke kelenjar getah bening secara cepat dan viremia. ruam nampak akibat
titer serum antibody meningkat dan mempengaruhi antigen-antibodi dan
berinteraksi di kulit. Virus telah dapat ditemukan diseluruh kulit baik yang terlibat
maupun yang tidak selama masa infeksi, dan penyebarannya karena factor lain
yang mungkin berperan dalam patogenesis eksantem. Antibody HAI mencapai
puncaknya pada hari 12 – 14 setelah timbulnya ruam dan akan kembali stabil
setelah kira-kira 2 minggu kemudian.
Virus rubella mempunyai 3 polipeptida mayor yang mencakup 1 kapsid
protein dan 2 amplop glikoprotein E1 dan E2. Antibodi anti-E1 mungkin
memegang peranan utama dalam respon serologik.

d. Anamnesis
Pada anak-anak Rubella biasanya menyebabkan gejala yang berlangsung dua hari
dan meliputi:
 Ruam awal pada wajah yang menyebar ke seluruh tubuh.
 Demam rendah kurang dari 38,3 ° C (101 ° F).
 Posterior limfadenopati servikal.

Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa gejala tambahan termasuk
berikut mungkin hadir:

1) Pembengkakan kelenjar
2) Coryza (dingin seperti gejala)
3) Sakit sendi (terutama pada wanita muda)

Masalah serius dapat terjadi termasuk berikut:

 Infeksi Otak
 Perdarahan masalah.

Coryza di rubella dapat mengkonversi ke pneumonia , baik secara langsung


pneumonia virus atau sekunder pneumonia bakteri , dan bronkitis (baik bronkitis
virus atau bronkitis bakteri sekunder).

e. Patogenesis
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute
pernafasan.Selanjutnya virus rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya
erupsi dikulit belum diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat
sebelum timbul erupsi di kulit. Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah
timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih lama. Selain dari darah dan sekret
nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjar getah bening, urin,
cairanserebrospinal, ASI, cairan sinovial dan paru.Penularan dapat terjadi
biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi. Daya tular
tertinggi terjadi pada akhir inkubasi, kemudian menurun dengan cepat. Dan
berlangsung hingga menghilangnya erupsi.
Rubella dapat ditularkan melalui kontak pernafasan dan memiliki masa
inkubasi antara 2-3 minggu. Penderita dapat menularkan penyakit ini selama
seminggu sebelum dan sesudah timbulnya rash (bercak - bercak merah) padakulit.
Rash pada rubella berwarna merah jambu, menghilang dalam waktu 2-3hari dan
tidak selalu muncul untuk semua kasus infeksi.
Penularan virus rubella adalah melalui udara dengan tempat masuk awal
melalui nasofaring dan orofaring. Setelah masuk akan mengalami masa inkubasi
antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya gejala. Hampir 60 % pasien akan
timbul ruam. Penyebaran virus rubella pada hasil konsepsi terutama
secarahematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri dari 2 bagian : viremia
maternaldan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat replikasi virus dalam sel
trofoblas.Kemudian tergantung kemampuan virus untuk masuk dalam barier
plasenta.Untuk dapat terjadi viremia fetal, replikasi virus harus terjadi dalam sel
endotel janin. Viremia fetal dapat menyebabkan kelainan organ secara luas. Bayi-
bayiyang dilahirkan dengan rubella kongenital 90 % dapat menularkan virus yang
infeksius melalui cairan tubuh selama berbulan-bulan. Dalam 6 bulan sebanyak 30
– 50 %, dan dalam 1 tahun sebanyak kurang dari 10 %. Dengan demikian bayi -
bayi tersebut merupakan ancaman bagi bayi-bayi lain, disamping bagi orang
dewasa yang rentan dan berhubungan dengan bayi.

f. Pencegahan dan Tata Laksana


Infeksi rubella dicegah oleh aktif imunisasi program menggunakan hidup,
virus dinonaktifkan vaksin . Dua vaksin virus hidup dilemahkan, RA 27/3 dan
Cendehill strain, yang efektif dalam pencegahan penyakit dewasa. Namun
penggunaannya pada wanita prepubertile tidak menghasilkan penurunan yang
signifikan dalam tingkat kejadian secara keseluruhan dari CRS di Inggris.
Penurunan hanya dicapai dengan imunisasi semua anak.
Vaksin ini sekarang biasanya diberikan sebagai bagian dari vaksin MMR .
WHO merekomendasikan dosis pertama diberikan pada 12 sampai 18 bulan usia
dengan dosis kedua pada 36 bulan. Wanita hamil biasanya diuji untuk kekebalan
terhadap rubella awal. Wanita ditemukan rentan tidak divaksinasi sampai setelah
bayi lahir karena vaksin mengandung virus hidup.

Imunisasi Program telah cukup berhasil. Kuba menyatakan penyakit


dieliminasi pada 1990-an, dan pada tahun 2004 Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit mengumumkan bahwa kedua bentuk bawaan dan diperoleh
dari rubella telah dieliminasi dari Amerika Serikat.

Skrining untuk rubella kerentanan dengan sejarah vaksinasi atau serologi


dianjurkan di Amerika Serikat untuk semua wanita usia subur pada awalnya
mereka konseling prakonsepsi kunjungan untuk mengurangi kejadian bawaan
sindrom rubella (CRS). Hal ini direkomendasikan bahwa semua rentan non
wanita -pregnant usia subur harus ditawarkan vaksinasi rubella. Karena
kekhawatiran tentang kemungkinan teratogenik, penggunaan vaksin MMR tidak
dianjurkan selama kehamilan. Sebaliknya, wanita hamil rentan harus divaksinasi
sesegera mungkin dalam postpartum periode .

Tidak ada pengobatan khusus untuk Rubella; Namun, manajemen adalah


masalah menanggapi gejala untuk mengurangi ketidaknyamanan. Pengobatan
bayi yang baru lahir difokuskan pada pengelolaan komplikasi. cacat jantung
bawaan dan katarak dapat diperbaiki dengan operasi langsung.

Manajemen untuk mata sindrom rubella bawaan (CRS) adalah sama


dengan untuk yang berkaitan dengan usia degenerasi macula, termasuk konseling,
pemantauan berkala, dan penyediaan perangkat low vision, jika diperlukan.

12. Urtikaria
a. Etiologi
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit akibat bermacam-macam sebab.
Sinonim penyakit ini adalah biduran, kaligata, hives, nettle rash. Ditandai oleh edema
setempat yang timbul mendadak dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan
kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Dapat
disertai dengan angioedema. Penyakit ini sering dijumpai pada semua usia, orang
dewasa lebih banyak terkena dibandingkan dengan usia muda. Penderita atopi lebih
mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Penisilin tercatat
sebagai obat yang lebih sering menimbulkan urtikaria.

b. Anamnesis
Keluhan

Pasien datang dengan keluhan biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk.
Gatal sedang-berat di kulit yang disertai bentol-bentol di daerah wajah, tangan,
kaki, atau hampir di seluruh tubuh. Keluhan dapat juga disertai rasa panas seperti
terbakar atau tertusuk. Kadang-kadang terdapat keluhan sesak napas, nyeri perut,
muntah- muntah, nyeri kepala, dan berdebar-debar (gejala angioedema).

Faktor Risiko
1. Riwayat atopi pada diri dan keluarga.
2. Riwayat alergi.
3. Riwayat trauma fisik pada aktifitas.
4. Riwayat gigitan/sengatan serangga.
5. Konsumsi obat-obatan (NSAID, antibiotik– tersering penisilin, diuretik,
imunisasi, injeksi, hormon, pencahar, dan sebagainya).
6. Konsumsi makanan (telur, udang, ikan, kacang, dan sebagainya).
7. Riwayat infeksi dan infestasi parasit.
8. Penyakit autoimun dan kolagen.
9. Usia rata-rata adalah 35 tahun.
10. Riwayat trauma faktor fisik (panas, dingin, sinar matahari, sinar UV, radiasi).
c. Pemeriksaan Fisik
Lesi kulit yang didapatkan:
1. Ruam atau patch eritema.
2. Berbatas tegas.
3. Bagian tengah tampak pucat.
4. Bentuk papul dengan ukuran bervariasi, mulai dari papular hingga plakat.
5. Kadang-kadang disertai demografisme, berupa edema linier di kulit yang terkena
goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit.
6. Pada lokasi tekanan dapat timbul lesi urtika.
7. Tanda lain dapat berupa lesi bekas garukan.
Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan pemeriksaan lainnya, misalnya
pemeriksaan gigi, THT, dan sebagainya untuk menyingkirkan adanya infeksi lokal.
Tempat predileksi
Bisa terbatas di lokasi tertentu, namun dapat generalisata bahkan sampai terjadi
angioedema pada wajah atau bagian ekstremitas.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah (eosinofil), urin dan feses rutin (memastikan adanya fokus
infeksi tersembunyi).
2. Uji gores (scratch test) untuk melihat dermografisme.
3. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu per satu.
4. Tes fisik: tes dengan es (ice cube test), tes dengan air hangat.
e. Tata Laksana
Prinsip penatalaksanaan
Berdasarkan waktu berlangsungnya dilakukan dengan first- line therapy, yaitu
memberikan edukasi pasien tentang penyakit urtikaria (penyebab dan prognosis)
dan terapi farmakologis sederhana.
Urtikaria akut
Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi
saluran napas. Penanganan dapat dilakukan di Unit Gawat Darurat bersama-sama
dengan/atau dikonsultasikan ke dokter spesialis THT. Bila disertai obstruksi
saluran napas, diindikasikan pemberian epinefrin subkutan yang dilanjutkan
dengan pemberian kortikosteroid menjadi: prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari,
dosis diturunkan 5-10 mg/hari.

Urtikaria kronik

1. Pasien menghindari penyebab yang dapat menimbulkan urtikaria, seperti:

a. Kondisi yang terlalu panas, stres, alkohol, dan agen fisik.


b. Penggunaan antibiotik penisilin, aspirin, NSAID, dan ACE inhibitor.

c. Agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.

2. Pemberian farmakoterapi dengan:

a. Antihistamin oral nonsedatif, misalnya loratadin 1 x 10 mg per hari selama 1


minggu.

b. Bila tidak berhasil dikombinasi dengan Hidroksisin 3 x 25 mg atau


Difenhidramin 4 x 25-50 mg per hari selama 1 minggu.

c. Apabila urtikaria karena dingin, diberikan Siproheptadin 3 x 4 mg per hari lebih


efektif selama 1 minggu terus menerus.

d. Antipruritus topikal: cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau


2% selama 1 minggu terus menerus.

e. Apabila terjadi angioedema atau urtikaria generalisata, dapat diberikan


Prednison oral 60-80 mg mg per hari dalam 3 kali pemberian selama 3 hari
dan dosis diturunkan 5-10 mg per hari.

Konseling dan Edukasi

Pasien dan keluarga diberitahu mengenai:

1. Prinsip pengobatan adalah identifikasi dan eliminasi faktor penyebab


urtikaria.

2. Penyebab urtikaria perlu menjadi perhatian setiap anggota keluarga.

3. Pasien dapat sembuh sempurna.

13. Dermatitis Kontak Alergik


a. Etiologi

Dermatisis kontak alergik (DKA) adalah reaksi peradangan kulit imunologik


karena reaksi hipersensitivitas. Kerusakan kulit terjadi didahului oleh proses
sensitisasi berupa allergen (fase sensitisasi) yang umumnya berlangsung 2-3 minggu.
Bila terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa, periode hingga
terjadinya gejala klinis umumnya 24-48 jam (fase elisitasi). Alergen paling sering
berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da. DKA terjadi
dipengaruhi oleh adanya sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di
kulit.

b. Anamnesis
Keluhan
Keluhan kelainan kulit berupa gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis. Keluhan dapat disertai timbulnya bercak kemerahan. Hal
yang penting ditanyakan adalah riwayat kontak dengan bahan- bahan yang
berhubungan dengan riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah
digunakan, obat sistemik, kosmetik, bahan- bahan yang dapat menimbulkan
alergi, serta riwayat alergi di keluarga.
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan oleh bahan alergen.
2. Riwayat kontak dengan bahan alergen pada waktu tertentu.
3. Riwayat dermatitis atopik atau Riwayat atopi pada diri dan keluarga
c. Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
Tanda yang dapat diobservasi sama seperti dermatitis pada umumnya
tergantung pada kondisi akut atau kronis. Lokasi dan pola kelainan kulit penting
diketahui untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya, seperti di ketiak
oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan seterusnya.
Faktor Predisposisi
Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap suatu bahan yang bersifat alergen.
d. Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.
e. Tata Laksana
Topikal (2 kali sehari)
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
• Kortikosteroid: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat
digunakan Fluosinolon asetonid krim 0,025%).
• Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat
diberikan golongan
Betametason valerat krim 0,1% atau Mometason furoat krim 0,1%).
• Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik
topikal.
Oral sistemik
• Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg per hari selama maksimal 2 minggu, atau
• Loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.
Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahan- bahan yang
bersifat alergen, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis, memakai sabun
dengan pH netral dan mengandung pelembab serta memakai alat pelindung diri
untuk menghindari kontak alergen saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
- Konseling untuk menghindari bahan allergen di rumah saat mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
- Edukasi menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu
boot.
- Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
DAFTAR PUSTAKA

 Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Ke-6. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing; 2017.
 Tim editor PB IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama. Edisi 1. Jakarta: Pengurus Besara Ikatan Dokter Indonesia; 2017.
 Andriani R. Penyakit Kawasaki: Tatalaksana di Rumah Sakit dengan Fasilitas Terbatas.
Jurnal Ilmu Kesehatan Anak. Vol. 46 No. 8. RS Kharitas Bakti Pontianal: Kalimantan;
2019.

Anda mungkin juga menyukai