SKENARIO 2
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2020
Kasus 2
Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa keluarganya ke puskesmas dengan keluhan
demam disertai ruam.
STEP I :
STEP II :
DiagramVenn
DEMAM DENGUE
CHIKUNGUNYA
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
HIV/AIDS
DEMAM MORBILI RUAM
DEMAM TIFOIDKAWASAKI URTIKARIA
DIFTERI VARISELA DERMATITIS
INFLUENZA RUBELA KONTAK
STEP III :
1. Demam Tifoid
a. Etiologi
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini
mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah. Demam tifoid dapat terjadi karena masuknya kuman Salmonella typhi (S.
typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi
melalui makanan yang terkontaminasi Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.1
b. Anamnesis
Keluhan
1. Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan
kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam
kontinu) hingga minggu kedua.
2. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal.
3. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, mual
muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah.
4. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia,
insomnia.
5. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.
Faktor Risiko
1. Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.
2. Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang
dicuci dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja
manusia, makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.
6. Kondisi imunodefisiensi.
Gambaran Klinis
Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan
terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis
penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun
pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu
menegakkan diagnosis.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore
hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1°C tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per merit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat.
2. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang
ringan, seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau koma)
3. Demam, suhu > 37,5oC.
4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8
denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
5. Ikterus
6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis
7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik), hepatosplenomegali
8. Delirium pada kasus yang berat.
Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut
1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran
seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau
dengan
gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).
2. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen.
d. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah perifer: leukopenia/ normal/ leukositosis, anemia ringan,
trombositopenia, peningkatan laju endap darah, peningkatan SGOT/ SGPT:
- Uji Widal: deteksi titer antibodi terhadap S.typhi, S.paratyphi yakni aglutinin
0 (dari tubuh kuman) dan aglutinin H (flagela kuman). Pembentukan aglutinin
mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, puncak pada minggu
keempat, dan tetap tinggi dalam beberapa minggu dengan peningkatan
aglutinin 0 terlebih dahulu baru diikuti agglutinin H. Aglutinin 0 menetap 4-6
bulan sedangkan aglutinin H menetap 9- 12 bulan. Titer antibody 0 >I :320
atau antibodi H >I :640 menguatkan diagnosis pada gambaran klinis yang
khas.
- Uji TUBEX: uji semikuantitatif kolometrik untuk deteksi antibodi anti S.typhi
09. Hasil positif menunjukkan infeksi Salmonellae serogroup D dan tidak
spesifik 5. typhi. Infeksi Sparatyphi menunjukkan hasil negatif. Sensitivitas
75-80% dan spesifisitas 75-90%.
- Uji Typhidot: deteksi IgM dan IgG pada protein membran luar S.typhi. Hasil
positif diperoleh 2-3 hari setelah infeksi dan spesifik mengidentifikasi IgM
dan IgG terhadap S.typhi. Sensitivitas 98%, spesifisitas 76,6%.
- Uji IgM Dipstick: deteksi khusus IgM spesifik S. typhi pada spesimen serum
atau darah dengan menggunakan strip yang mengandung antigen
lipopolisakarida S.typhi dan anti IgM sebagai kontrol. Sensitivitas 65-77% dan
spesifisitas 95-100%. Akurasi diperoleh bila pemeriksaan dilakukan I minggu
setelah timbul gejala.
- Kultur darah: hasil positif memastikan demam tifoid namun hasil negatif tidak
menyingkirkan.
Dapat dilakukan pada spesimen:
a. Darah : Pada minggu pertama sampai
akhir minggu ke-2 sakit, saat demam
tinggi
b. Feses : Pada minggu kedua sakit
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga
sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi
carriertyphoid.
e. Tata Laksana
- lstirahat dan perawatan untuk mencegah komplikasi;
- Diet lunak dan terapi suportif (antipiretik, anti-emetik, cairan yang adekuat);
Antibiotik, dengan pilihan antara lain:
- Kloramfenikol 4 x 500 mg/hari per oral/IV hingga 7 hari bebas demam;
- Tiamfenikol 4 x 500 mg;
- Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 2 minggu;
- Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/ KgBB selama 2 minggu:
- Seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
- selama 1/2 jam perinfus sekali sehari, selama 3-5 hari;
Golongan fluorokuinolon :
1. Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam tifoid yang harus
diketahui pasien dan keluarganya.
b. Selain edukasi untuk individu, edukasi terhadap keluarga dan orang- orang
terdekat juga penting seperti peningkatan higiene dan sanitasi lingkungan.2
Pencegahan
b. Harus diwaspadai pasien yang baru kembali dari daerah terjangkit epidemi
influenza.
4. Demam Dengue
a. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue,
yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue
atau demam berdarah dengue.
b. Anamnesis
Keluhan
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih tanda
dan gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.
a. Hepatomegali
• Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan awal atau dari data
populasi menurut umur
• Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
c. Trombositopenia <100.000/mm3
Adanya demam seperti di atas disertai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis,
ditambah bukti perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan
diagnosis Demam Berdarah Dengue.
e.Tata Laksana
Demam berdarah dengue (DBD) pada Pasien Anak tanpa syok
1. Bila anak dapat minum
a. Berikan anak banyak minum
• Dosis larutan per oral: 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan tiap 5 menit.
• Jenis larutan per oral: air putih, teh manis, oralit, jus buah, air sirup, atau susu.
b. Berikan cairan intravena (infus) sesuai
dengan kebutuhan untuk dehidrasi
sedang. Berikan hanya larutan kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat (RL) atau
Ringer Asetat (RA), dengan dosis sesuai berat badan sebagai
berikut:
• Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
• Berat badan 15-40 kg: 5 ml/kgBB/jam
• Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
2. Bila anak tidak dapat minum, berikan cairan infus kristaloid isotonik sesuai
kebutuhan untuk dehidrasi sedang sesuai dengan dosis yang telah dijelaskan di
atas.
3. Lakukan pemantauan: tanda vital dan diuresis setiap jam, laboratorium
(DPL) per4-6 jam.
a. Bila terjadi penurunan hematokrit dan perbaikan klinis, turunkan jumlah cairan
secara bertahap sampai keadaan klinis stabil.
b. Bila terjadi perburukan klinis, lakukan penatalaksanaan DBD dengan syok. Bila
anak demam, berikan antipiretik (Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali) per oral.
Hindari Ibuprofen dan Asetosal. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.
4. Bila anak demam, berikan antipiretik (Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali) per
oral. Hindari Ibuprofen dan Asetosal.
5. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.
Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Syok
1. Kondisi ini merupakan gawat darurat dan mengharuskan rujukan segera ke RS.
2. Penatalaksanaan awal:
a. Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung atau sungkup muka.
b. Pasang akses intravena sambil melakukan pungsi vena untuk pemeriksaan
DPL.
c. Berikan infus larutan kristaloid (RL atau RA) 20 ml/kg secepatnya.
d. Lakukan pemantauan klinis (tanda vital, perfusi perifer, dan diuresis) setiap 30
menit.
e. Jika setelah pemberian cairan inisial tidak terjadi perbaikan klinis, ulangi
pemberian infus larutan kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30
menit) atau pertimbangkan pemberian larutan koloid 10-20 ml/kgBB/jam
(maksimal 30 ml/kgBB/24 jam).
f. Jika nilai Ht dan Hb menurun namun tidak terjadi perbaikan klinis,
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi. Berikan transfusi darah
bila fasilitas tersedia dan larutan koloid. Segera rujuk.
g. Jika terdapat perbaikan klinis, kurangi jumlah cairan hingga 10 ml/kgBB/jam
dalam 2-4 jam. Secara bertahapditurunkan tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis
dan laboratorium.
h. Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
Hindari pemberian cairan secara berlebihan.
3. Pengobatan suportif lain sesuai indikasi.
c. Patogenesis
Mekanisme penularan klasik terjadi apabila manusia yang sedang viremia,
yaitu biasanya terjadi 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam, digigit
oleh nyamuk Aedes sp. dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period). Virus
dalam kelenjar air liur nyamuk akan berkembang hiak dan kemudian ditularkan ke
manusia lain yang digigit oleh nyamuk nada gigitan berikutnya. Dalam tubuh
manusia, virus memerlukan waktu 3-7 hari (intrinsic incubation period) untuk
berkembang, sebelum akhirnya menimbulkan gejala klinis.
Kekebalan individu akan terjadi setelah penyembuhan penyakit ini. Namun
belum ada kejelasan yang pasti tentang lamanya kekebalan ini bisa bertahan,
meskipun ada laporan tentang epidemi setiap 20 tahunan yang dikaitkan dengan
perubahan iklim. Serangan ulang chikungunya juga belum banyak dilaporkan.
Belum begitu jelas adanya kepekaan individu terhadap chikungunya, termasuk ada
atau tidaknya faktor ras, gender, atau karakteristik lain yang berpengaruh.
Penularan chikungunya yang cepat hingga terjadinya KLB dipengaruhi ed oleh:
1. Perubahan iklim dan cuaca yang mempengaruhi perkembangan populasi nyamuk.
2. Mobilisasi penduduk dari dan ke daerah yang terinfeksi
3. Perilaku masyarakat.
4. Sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan tempat berkembang biaknya
nyamuk.
Gambar 1.3 Patomekanisme Chikungunya
d. Manifestasi klinis
Masa inkubasi chikungunya adalah 2 – 12 hari dengan rata rata 3 – 7 hari. gejala
penyakit diawali dengan :
Demam mendadak
Ruam kulit
Limfadenopati
Artralgia
Mialgia atau artritis
Penderita dapat mengeluhkan nyeri atau ngilu saat berjalan kaki karena serangan
pada sendi sendi kaki. Dibandingkan dengan DBD, gejala chikungunya muncul
lebih dini dan perdarahan jarang terjadi.
e. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosis, dengan bahan
darah vena 5 cc pada fase akut (utama) dan fase penyembuhan.
2) Pemeriksaan hematologi rutin dapat di jumpai :
- Kadar hemoglobin yang normal
- Trombositopenia
- Leukopenia atau leukositosis
- Limfositosis
- Peningkatan laju endap darah
3) Pemeriksaan kimia klinis :
Fungsi hati yang bisa terganggu apabila terjadi hepatomegali yang ditandai
SGOT/SGPT dan bilirubin direk atau total yang meningkat
4) Pemeriksaan serologi dengan rapid diagnostic test, ELISA, hemaglutinase inhibisi
(HI), dan immunofluorescent assay (IFA) untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG
atau dengan PCR untuk memeriksa materi genetik virus.
f. Tata Laksana
Pengobatan yang diberikan meliputi:
1. Pengobatan suportif
2. Analgesik
3. lnfus bila perlu.
Pencegahan
- Pada LES derajat berat juga diberikan agen sitotoksik seperti azatioprin.
siklofosfamid. metotreksat, siklosporin. dan mikofenolat mofetil.
- Terapi suportif sesuai komplikasi organ yang terkena: jantung, paru. gastrointesinal,
ginjal. neurologi. dan hematologi. Oleh sebab itu, penanganan LES dilakukan secara
multidisiplin.
- Terapi Non-medikamentosa: Edukasi penyakit dan konseling keluarga. Penting
dilakukan edukasi menyeluruh mengenai penyakit SLE. termasuk penyebab, terapi,
beserta komplikasi yang mungkin timbul. Edukasi dilakukan pada pasien dan
keluarganya disertai dengan konseling untuk memotivasi pasien dan meningkatkan
dukungan keluarga untuk kesembuhan pasien;
Program rehabilitasi: tirah baring, terapi fisik, terapi dengan modalitas, dan
penggunaan
ortotik.
7. HIV/AIDS
a. Etiologi
HIV merupakan virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk dalam subfamili
Lentivirus dari famili Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe:
HIV-I yang menyebar luas ke seluruh dunia; dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika
Barat dan Eropa.
Sumber Penularan Infeksi HIV
- Kontak seksual (heteroseksual, homoseksual) ,melalui mukosa genital;
- Darah, produk darah (langsung menyebar hematogen) , jaringan transplantasi,
jarum suntik, spuit;infeksi HIV.
- Vertikal dari ibu ke janin/ bayi lewat infeksi intrapartum, perinatal, atau air susu
ibu.
b. Anamnesis
Keluhan
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan tertentu.
Pasien dating dapat dengan keluhan:
- Demam (suhu >37,5OC) terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
- Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
- Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari berat badan dasar.
- Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.
Faktor Risiko
- Penjaja seks laki-laki atau perempuan
- Pengguna NAPZA suntik
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan transgender
- Hubungan seksual yang berisiko atau tidak aman
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah
- Pembuatan tato dan atau alat medis/alat
c. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Berat badan turun
b. Demam
2. Kulit
a. Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering dan dermatitis
seboroik
b. Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas herpes zoster
3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis
5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru
6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau
massa
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra
8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Hitung jenis leukosit : Limfopenia dan CD4 hitung <350 (CD4 sekitar 30% dari
jumlah total limfosit)
b. Tes HIV menggunakan strategi III yaitu menggunakan 3 macam tes dengan
titik tangkap yang berbeda, umumnya dengan ELISA dan dikonfirmasi Western
Blot
c. Pemeriksaan DPL
2. Radiologi: X-ray torak. Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling
sebelumnya. Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
Konseling dan tes HIV dapat dilakukan dengan
dua cara:
1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT =Voluntary Counseling and
Testing)
2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK – PITC =
Provider-Initiated Testing and Counseling)
e. Tata Laksana
Tatalaksana HIV di layanan tingkat pertama dapat dimulai apabila penderita
HIV sudah dipastikan tidak memiliki komplikasi atau infeksi oportunistik yang
dapat memicu terjadinya sindrom pulih imun. Evaluasi ada tidaknya infeksi
oportunistik dapat dengan merujuk ke layanan sekunder untuk pemeriksaan lebih
lanjut karena gejala klinis infeksi pada penderita HIV sering tidak spesifik. Untuk
memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV.
1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4. Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada
penilaian klinis.
2. Tersedia pemeriksaan CD4
a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
Komplikasi
Komplikasi lebih umum terjadi pada anak dengan gizi buruk, anak yang belum
mendapat imunisasi, dan anak dengan imunodefisiensi dan leukemia. Komplikasi
berupa otitis media,pneumonia, ensefalitis, trombositopenia. Pada anak HIV yang
tidak diimunisasi, pneumonia yang fatal dapat terjadi tanpa munculnya lesi kulit.
e. Tata Laksana
- Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan mengganti cairan
yang hilang dari diare dan emesis.
- Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan antipiretik. Jika
terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
- Suplementasi vitamin A diberikan pada:
a. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/ hari PO diberi 2 dosis.
b. b. Usia 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
c. Usia di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
d. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai usia,
dilanjutkan dosis ketiga sesuai usia yang diberikan 2-4 minggu kemudian.
Konseling dan Edukasi
Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbilli merupakan penyakit yang
menular. Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh
sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif. Edukasi pentingnya
memperhatikan cairan yang hilang dari diare/emesis. Untuk anggota
keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin campak atau human
immunoglobulin untuk pencegahan. Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari
terpapar dengan penderita. Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan
gangguan imun, bayi usia 6 bulan -1 tahun, bayi usia kurang.
9. Kawasaki
a. Etiologi
Penyebab penyakit Kawasaki sampai saat ini belum diketahui. Diduga dipicu oleh
infeksi yang merangsang respons imun tubuh untuk menyerang sistem imun sendiri
(autoimun).1–4 Penyakit Kawasaki diduga berhubungan dengan gen tertentu seperti
SLC11A1, sehingga lebih banyak ditemukan pada orang Jepang.6 Penyakit Kawasaki
merupakan penyakit langka, sering pada anak berusia di bawah 5 tahun. Anak laki-
laki lebih sering terkena.5 Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Tomisaku
Kawasaki.
b. Anamnesis
Gejala utama penyakit Kawasaki adalah demam yang sering tidak turun dengan
obat penurun panas seperti parasetamol ataupun ibuprofen. Demam merupakan gejala
khas pada fase akut, biasanya tinggi (sekitar 39-40oC), bersifat remiten dan diikuti
iritabilitas.2–4 Meskipun demikian, terdapat laporan kasus penyakit Kawasaki tanpa
demam. Demam dapat berlangsung satu sampai dua minggu. Pada kasus yang tidak
mendapat terapi gamaglobulin intravena, demam dapat berlangsung hingga 4 minggu
dan umumnya tidak turun dengan pemberian antibiotik.
4. Injeksi konjungtiva.
c. Pemeriksaan Fisik
Gejala yang sering dialami adalah injeksi konjungtiva kedua mata, tanpa nyeri, dan
tidak terdapat sekret. Gejala ini juga timbul pada fase akut saat demam berlangsung.
Bisa disertai uveitis anterior dan iritis.Gejala lain yang sering adalah kumpulan gejala
pada mulut, seperti bibir bengkak, pecah-pecah dan berdarah dengan lidah kemerahan
dengan pembengkakan papilla (strawberry tongue). Pembesaran kelenjar getah bening
leher terjadi pada sekitar 50-75% kasus. Kelenjar getah bening yang membesar
biasanya tidak nyeri atau sedikit nyeri, non-supuratif disertai kemerahan kulit
sekitarnya.
Pada fase akut dapat ditemukan gejala ekstremitas seperti kemerahan telapak
tangan dan telapak kaki, disertai pembengkakan dan nyeri. Pada fase subakut atau
penyembuhan biasanya terjadi pengelupasan kulit area periungual. Tanda klinis utama
pada kulit adalah kemerahan area tungkai, wajah. dan perineum.4
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah:
- Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil anemia normositik dan
trombositosis
- Laju endap darah meningkat
- C-reactive protein meningkat
- Pemeriksaan fungsi hati menunjukkan inflamasi hati dan albumin serum rendah.
Pemeriksaan Lain:
Keluhan
Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian disusul timbulnya lesi kulit
berupa papul eritem yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel.
Biasanya disertai rasa gatal.
Faktor Risiko
1. Anak-anak.
2. Riwayat kontak dengan penderita varisela.
3. Keadaan imunodefisiensi.
d. Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam
berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear
drops). Vesikel akan menjadi keruh dan kemudian menjadi krusta. Sementara
proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel- vesikel baru yang menimbulkan
gambaran polimorfik khas untuk varisela. Penyebaran terjadi secara sentrifugal,
serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas atas.2
e. Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan, pemeriksaan mikroskopis dengan menemukan sel Tzanck
yaitu sel datia berinti banyak.
Komplikasi
b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella, sebuah togavirus yang
menyelimuti dan memiliki RNA genom untai tunggal. Virus ini ditularkan melalui
jalur pernapasan dan bereplikasi dalam nasofaring dan kelenjar getah bening .
Virus ini ditemukan dalam darah 5 sampai 7 hari setelah infeksi dan menyebar ke
seluruh tubuh. Virus ini memiliki teratogenik sifat dan mampu melintasi plasenta
dan menginfeksi janin mana berhenti sel dari berkembang atau menghancurkan
mereka. Selama periode inkubasi ini, pasien menular biasanya selama sekitar satu
minggu sebelum ia / dia mengembangkan ruam dan selama sekitar satu minggu
setelahnya.
Peningkatan kerentanan terhadap infeksi mungkin diwariskan karena ada
beberapa indikasi bahwa HLA-A1 atau faktor sekitarnya A1 pada haplotipe
diperpanjang terlibat dalam infeksi virus atau non-resolusi penyakit.
c. Patofisiologi
Daerah utama yang terinfeksi oleh rubella adalah nasofaring kemudian
menyebar ke kelenjar getah bening secara cepat dan viremia. ruam nampak akibat
titer serum antibody meningkat dan mempengaruhi antigen-antibodi dan
berinteraksi di kulit. Virus telah dapat ditemukan diseluruh kulit baik yang terlibat
maupun yang tidak selama masa infeksi, dan penyebarannya karena factor lain
yang mungkin berperan dalam patogenesis eksantem. Antibody HAI mencapai
puncaknya pada hari 12 – 14 setelah timbulnya ruam dan akan kembali stabil
setelah kira-kira 2 minggu kemudian.
Virus rubella mempunyai 3 polipeptida mayor yang mencakup 1 kapsid
protein dan 2 amplop glikoprotein E1 dan E2. Antibodi anti-E1 mungkin
memegang peranan utama dalam respon serologik.
d. Anamnesis
Pada anak-anak Rubella biasanya menyebabkan gejala yang berlangsung dua hari
dan meliputi:
Ruam awal pada wajah yang menyebar ke seluruh tubuh.
Demam rendah kurang dari 38,3 ° C (101 ° F).
Posterior limfadenopati servikal.
Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa gejala tambahan termasuk
berikut mungkin hadir:
1) Pembengkakan kelenjar
2) Coryza (dingin seperti gejala)
3) Sakit sendi (terutama pada wanita muda)
Infeksi Otak
Perdarahan masalah.
e. Patogenesis
Penularan terjadi melalui oral droplet, dari nasofaring, atau rute
pernafasan.Selanjutnya virus rubella memasuki aliran darah. Namun terjadinya
erupsi dikulit belum diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat
sebelum timbul erupsi di kulit. Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah
timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih lama. Selain dari darah dan sekret
nasofaring, virus rubella telah diisolasi dari kelenjar getah bening, urin,
cairanserebrospinal, ASI, cairan sinovial dan paru.Penularan dapat terjadi
biasanya sejak 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi. Daya tular
tertinggi terjadi pada akhir inkubasi, kemudian menurun dengan cepat. Dan
berlangsung hingga menghilangnya erupsi.
Rubella dapat ditularkan melalui kontak pernafasan dan memiliki masa
inkubasi antara 2-3 minggu. Penderita dapat menularkan penyakit ini selama
seminggu sebelum dan sesudah timbulnya rash (bercak - bercak merah) padakulit.
Rash pada rubella berwarna merah jambu, menghilang dalam waktu 2-3hari dan
tidak selalu muncul untuk semua kasus infeksi.
Penularan virus rubella adalah melalui udara dengan tempat masuk awal
melalui nasofaring dan orofaring. Setelah masuk akan mengalami masa inkubasi
antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya gejala. Hampir 60 % pasien akan
timbul ruam. Penyebaran virus rubella pada hasil konsepsi terutama
secarahematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri dari 2 bagian : viremia
maternaldan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat replikasi virus dalam sel
trofoblas.Kemudian tergantung kemampuan virus untuk masuk dalam barier
plasenta.Untuk dapat terjadi viremia fetal, replikasi virus harus terjadi dalam sel
endotel janin. Viremia fetal dapat menyebabkan kelainan organ secara luas. Bayi-
bayiyang dilahirkan dengan rubella kongenital 90 % dapat menularkan virus yang
infeksius melalui cairan tubuh selama berbulan-bulan. Dalam 6 bulan sebanyak 30
– 50 %, dan dalam 1 tahun sebanyak kurang dari 10 %. Dengan demikian bayi -
bayi tersebut merupakan ancaman bagi bayi-bayi lain, disamping bagi orang
dewasa yang rentan dan berhubungan dengan bayi.
12. Urtikaria
a. Etiologi
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit akibat bermacam-macam sebab.
Sinonim penyakit ini adalah biduran, kaligata, hives, nettle rash. Ditandai oleh edema
setempat yang timbul mendadak dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan
kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Dapat
disertai dengan angioedema. Penyakit ini sering dijumpai pada semua usia, orang
dewasa lebih banyak terkena dibandingkan dengan usia muda. Penderita atopi lebih
mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Penisilin tercatat
sebagai obat yang lebih sering menimbulkan urtikaria.
b. Anamnesis
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk.
Gatal sedang-berat di kulit yang disertai bentol-bentol di daerah wajah, tangan,
kaki, atau hampir di seluruh tubuh. Keluhan dapat juga disertai rasa panas seperti
terbakar atau tertusuk. Kadang-kadang terdapat keluhan sesak napas, nyeri perut,
muntah- muntah, nyeri kepala, dan berdebar-debar (gejala angioedema).
Faktor Risiko
1. Riwayat atopi pada diri dan keluarga.
2. Riwayat alergi.
3. Riwayat trauma fisik pada aktifitas.
4. Riwayat gigitan/sengatan serangga.
5. Konsumsi obat-obatan (NSAID, antibiotik– tersering penisilin, diuretik,
imunisasi, injeksi, hormon, pencahar, dan sebagainya).
6. Konsumsi makanan (telur, udang, ikan, kacang, dan sebagainya).
7. Riwayat infeksi dan infestasi parasit.
8. Penyakit autoimun dan kolagen.
9. Usia rata-rata adalah 35 tahun.
10. Riwayat trauma faktor fisik (panas, dingin, sinar matahari, sinar UV, radiasi).
c. Pemeriksaan Fisik
Lesi kulit yang didapatkan:
1. Ruam atau patch eritema.
2. Berbatas tegas.
3. Bagian tengah tampak pucat.
4. Bentuk papul dengan ukuran bervariasi, mulai dari papular hingga plakat.
5. Kadang-kadang disertai demografisme, berupa edema linier di kulit yang terkena
goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit.
6. Pada lokasi tekanan dapat timbul lesi urtika.
7. Tanda lain dapat berupa lesi bekas garukan.
Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan pemeriksaan lainnya, misalnya
pemeriksaan gigi, THT, dan sebagainya untuk menyingkirkan adanya infeksi lokal.
Tempat predileksi
Bisa terbatas di lokasi tertentu, namun dapat generalisata bahkan sampai terjadi
angioedema pada wajah atau bagian ekstremitas.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah (eosinofil), urin dan feses rutin (memastikan adanya fokus
infeksi tersembunyi).
2. Uji gores (scratch test) untuk melihat dermografisme.
3. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu per satu.
4. Tes fisik: tes dengan es (ice cube test), tes dengan air hangat.
e. Tata Laksana
Prinsip penatalaksanaan
Berdasarkan waktu berlangsungnya dilakukan dengan first- line therapy, yaitu
memberikan edukasi pasien tentang penyakit urtikaria (penyebab dan prognosis)
dan terapi farmakologis sederhana.
Urtikaria akut
Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi
saluran napas. Penanganan dapat dilakukan di Unit Gawat Darurat bersama-sama
dengan/atau dikonsultasikan ke dokter spesialis THT. Bila disertai obstruksi
saluran napas, diindikasikan pemberian epinefrin subkutan yang dilanjutkan
dengan pemberian kortikosteroid menjadi: prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari,
dosis diturunkan 5-10 mg/hari.
Urtikaria kronik
b. Anamnesis
Keluhan
Keluhan kelainan kulit berupa gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis. Keluhan dapat disertai timbulnya bercak kemerahan. Hal
yang penting ditanyakan adalah riwayat kontak dengan bahan- bahan yang
berhubungan dengan riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah
digunakan, obat sistemik, kosmetik, bahan- bahan yang dapat menimbulkan
alergi, serta riwayat alergi di keluarga.
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan oleh bahan alergen.
2. Riwayat kontak dengan bahan alergen pada waktu tertentu.
3. Riwayat dermatitis atopik atau Riwayat atopi pada diri dan keluarga
c. Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
Tanda yang dapat diobservasi sama seperti dermatitis pada umumnya
tergantung pada kondisi akut atau kronis. Lokasi dan pola kelainan kulit penting
diketahui untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebabnya, seperti di ketiak
oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan seterusnya.
Faktor Predisposisi
Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap suatu bahan yang bersifat alergen.
d. Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.
e. Tata Laksana
Topikal (2 kali sehari)
• Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
• Kortikosteroid: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat
digunakan Fluosinolon asetonid krim 0,025%).
• Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat
diberikan golongan
Betametason valerat krim 0,1% atau Mometason furoat krim 0,1%).
• Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik
topikal.
Oral sistemik
• Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg per hari selama maksimal 2 minggu, atau
• Loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.
Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahan- bahan yang
bersifat alergen, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis, memakai sabun
dengan pH netral dan mengandung pelembab serta memakai alat pelindung diri
untuk menghindari kontak alergen saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
- Konseling untuk menghindari bahan allergen di rumah saat mengerjakan
pekerjaan rumah tangga.
- Edukasi menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu
boot.
- Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Ke-6. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing; 2017.
Tim editor PB IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama. Edisi 1. Jakarta: Pengurus Besara Ikatan Dokter Indonesia; 2017.
Andriani R. Penyakit Kawasaki: Tatalaksana di Rumah Sakit dengan Fasilitas Terbatas.
Jurnal Ilmu Kesehatan Anak. Vol. 46 No. 8. RS Kharitas Bakti Pontianal: Kalimantan;
2019.