TYFOID
AIDA FITRIYANE HAMDANI-12100122582
DEFINISI
Sumber :
PAPDI VI: Bab 73 demam typhoid
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 364/MENKES/SK/VI2006 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN DEMAM TIFOID MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
FAKTOR RISIKO
Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi
makanan atau minuman yang dikomsumsi manusia telah tercemar oleh komponen
feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang
sangat berperan, pada penularan adalah :
Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.
Higiene makanan dan minuman yang rendah
Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini
diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan),sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan
yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak
dimasak, dan sebagainya.
Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran
dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan
Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai
Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid
ETIOLOGI
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella.
Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob
fakultatif.
Ukuran antara (2-4) x 0,6 um. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37C
dengan PH antara 6 - 8.
Basil ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu.
Reservoir satu-satunya adalah manusia yaitu seseorang yang sedang
sakit atau karier.
Rute transmisi: Fecal-oral (melalui makanan atau air yang
terkontaminasi, tidak cuci tangan sebelum makan)
Kasus Konfirmasi --> Demam ≥ 38 C selama min. 3 hari. Hasil kultur (+)
Kasus Suspek --> Demam ≥ 38 C selama min. 3 hari dan tinggal di daerah endemik
atau memiliki riwayat bepergian ke daerah endemik. Demam selama ≥3 hari dalam
28 hari kontak dengan pasien kasus terkonfirmasi demam tifoid atau paratifoid.
Kasus Probable --> Demam ≥ 38C selama ≥ 3 hari, dengan serodiagnosis positif atau
uji deteksi antigen (+) namun tidak dilakukan uji isolasi S. Typhi.
MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10- 14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-
lahan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas
berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1 derajat Celcius tidak
diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung
merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen,
sopor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.
MANIFESTASI KLINIS
1. Fase invasif (Minggu ke-1) :
Demam ringan dengan pola remittent, suhu
turun naik, umumnya panas badan pada malam
hari lebih tinggi dari pagi hari, dan intensitas
makin tinggi dari hari ke hari (step-ladder
pattern), disertai gejala lain (tidak spesifik)
seperti malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala,
nyeri abdomen, mual, muntah, batuk, lemas,
diare.
MANIFESTASI KLINIS
2. Akhir minggu ke-1 hingga minggu ke-2:
Demam kontinu, bradikardia relatif, pulsasi lemah, lidah
tifoid, keluhan diare dapat berubah menjadi konstipasi ,
hepatomegali, splenomegali, distensi abdomen, serta
muncul rose spot. → keluhan yang terjadi di minggu
pertama bisa jadi lebih parah di minggu ke 2.
Widal test →
dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari.
Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal 1/320 atau terdapat kenaikan titer
hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5 – 7 hari.
Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi silang dengan
non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan
malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang bervariasi dan
standaridisasi kurang baik. Oleh karena itu, pemeriksaan Widal tidak direkomendasi jika
hanya dari 1 kali pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang
dapat mengakibatkan over-diagnosis dan over-treatment
DIAGNOSIS
(3) PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kultur Salmonella typhi (gold standard)
Dapat dilakukan pada spesimen:
a.Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit,
saat demam tinggi
b.Feses : Pada minggu kedua sakit
c.Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit
d.Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk
mendeteksi carrier typhoid
--> .Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya:
SGOT/SGPT, kadar lipase dan amilase
KULTUR S. TYPHI
DIAGNOSIS
(3) PEMERIKSAAN PENUNJANG (cont.)
TUBEX test → Uji diagnostik cepat (beberapa menit) dan
mudah untuk dikerjakan, sering digunakan dalam keadaan
klinis. Uji ini digunakan untuk mendeteksi antibodi IgM
terhadap antigen O9 lipopolisakarida S.typhi pada serum
pasien. Deteksi terhadap anti O9 dapat dilakukan pada hari
ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi
sekunder. Nilai sensitivitas 100% dan nilai spesifitas 90%
.
Typhidot test → Dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG
yang terdapat pada protein membran luar Salmonella Typhi.
Hasil positif didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat
mengidentifikasi secara spesifik IgM dan IgG terhadap
antigen S.typhi seberat 50kD, yang terdapat pada strip
nitroselulosa. IgG dapat bertahan hingga 2 tahun pasca
infeksi.
TYPHIDOT TEST
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Dengue Fever
Malaria
Amebiasis
Leptospirosis
Q fever
Tuberculosis
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
TUJUAN TATALAKSANA
1.Optimalisasi pengobatan dan mempercepat
penyembuhan
2.Observasi terhadap perjalanan penyakit
3.Minimalisasi komplikasi
4.Isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap
pencemaran dan/atau kontaminasi
TATALAKSANA
1.Terapi Suportif
Istirahat tirah baring (bed rest) dan mengatur mobilisasi
Menjaga kecukupan asupan cairan (oral atau parenteral)
Diet : Pemberian makan padat dini dengan menghindari sementara sayuran
yang berserat (rendah serat), gizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori
dan protein
Konsumsi obat rutin dan tuntas
Kontrol dan monitor tanda vital
2.Terapi Simtomatik
Menurunkan demam
Mengurangi gejala gastrointestinal
TATALAKSANA
3. Terapi Definitif → Antibiotik
Alternatif lain:
Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah)
Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 2 minggu
Ampislin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu
PAPDI 2019
TATALAKSANA
Alternatif lain:
Abnormalitas anatomis
→ Pemberian Antibiotik dan pembedahan
KOMPLIKASI
A.Komplikasi Intestinal
B.Komplikasi Ekstra-Intestinal
KOMPLIKASI INTESTINAL
a. Perdarahan Usus Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami
perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat
dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya
timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat
terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh
perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan
bahkan sampai syok
KOMPLIKASI EKSTRAINTESTINAL
1. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, psikosis, dan sindrom katatonia
PROGNOSIS
Angka kematian Demam Tifoid sebesar 10%-20% pada kasus yang tidak
diobati dan 2% pada kasus yang diobati
Kematian akibat Demam Tifoid sebagian besar berhubungan dengan
malnutrisi, usia balita, dan usia lansia
Prognosis pada usia lansia lebih buruk dan bila terjadi komplikasi cenderung
semakin memburuk
Relaps terjadi pada 25% kasus
Sekitar 10% pasien mengalami mild relapse dalam 2-3 minggu, ~10%
pasien yang tidak ditangani terdapat S. typhi pada fese hingga 3 bulan, dan
1%-4% menjadi chronic asymtomatic carriage
Chronic carriage → wanita, infants, dan individu dengan biliary abnormalities
atau concurrent bladder infection
PREVENTION
1. Langkah-langkah Strategis Pencegahan Karier, Relaps dan Resistensi
Tifoid
2. Perbaikan Sanitasi Lingkungan
3. Peningkatan Higiene Makanan Dan Minuman
4. Peningkatan Higiene Perorangan
5. Pencegahan Dengan Imunisasi
6. Surveilans
.7 Definisi Kasus
8. Sistim Pencatatan dan Pelaporan
9. Penanggulangan KLB
PREVENTION
Sanitasi Lingkungan
-Penyediaan air bersih
-Penggunaan toilet bersih yang memenuhi syarat-syarat kesehatan
-Pengelolaan air limbah, kotoran, dan sampah yang tidak mencemari
lingkungan
Higienitas
-Mencuci tangan terutama sebelum makan
-Mencuci buah dan sayuran hingga bersih
-Memasak makanan hingga matang
-Memastikan dapur selalu bersih dan terhindar dari serangga atau
binatang lainnya
-Minum air matang
Vaksinasi
Vaksin tifoid dapat diberikan kepada anak dari usia 2 tahun hingga
dewasa yang berisiko tinggi terkena tifoid.