Anda di halaman 1dari 3

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Demam Tifoid

Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Oleh : Dr.Mahesa Paranadipa,M.H

Pendahuluan
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau Tyfoid fever. Demam tifoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus
halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai dengan gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi yang merupakan bakteri gram
negatif, dengan cirri mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora
fakultatif anaerob. Salmonella typhi mempunyai tiga macam antigen yaitu Antigen
O (antigen somatik), Antigen H (antigen flagella), dan Antigen Vi.
Penyakit menular ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan
jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000-
600.000 kematian. Studi yang dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia
pada anak usia 5-15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah
positif mencapai 180-194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5-15 tahun
sebesar 400-500 per 100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100-200 per 100.000
penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 penduduk.
Di Indonesia, pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid dilaporkan sebesar 81,7 per
100.000 penduduk, dengan sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk
(0-1 tahun), 148,7/100.000 penduduk (2-4 tahun), 180,3/100.000 tahun (5-15
tahun), 51,2/100.000 (>16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa
penderitaterbanyak adalah pada kelompok usia 2-15 tahun.
Tifoid dapat menurunkan produktivitas kerja, meningkatkan angka ketidakhadiran
anak sekolah, karena masa penyembuhan dan pemulihannya yang cukup lama, dan
dari aspek ekonomi biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Hasil penelitian di 5 negara
Asis (Cina, Vietnam, India, Pakistan, dan Indonesia), biaya perawatan per penderita di
rumah sakit berkisar antara USD129 di Kolkata (India) dan USD432 di Jakarta Utara
(Indonesia), sedangkan biaya non perawatan berkisar antara USD13 di Kolkata,
dengan biaya tertinggi USD67 di Hechi (Cina), diikuti Jakarta Utara, dan Karachi
(Pakistan).
Mengingat masih tingginya angka kesakitan dan akibat yang ditimbulkannya serta
pembiayaan kesehatan yang menjadi beban di era jaminan kesehatan nasional (JKN),
maka perlu sekiranya dokter selaku gatekeeper di fasilitas kesehatan tingkat pertama
atau primer memahami dan menerapkan standar pelayanan terkait demam tifoid.
Panduan Praktik Klinis
Pada anamnesis pasien akan didapati keluhan utama demam dengan ciri turun naik
terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan kenaikan suhu step-
ladder. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu
kedua. Selain itu keluhan lain yang dapat ditemui pada pasien antara lain :
1. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal
2. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare, mual,
muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah
3. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia, insomnia
4. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.
Dalam penelusuran anamnesis akan ditemui faktor risiko dari pasien antara lain:
1. Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.
2. Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya makanan yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia,
makanan yang tercemar debu atau sampah atau dihinggapi lalat.
3. Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
4. Adanya outbreak demam tifoid di sekitar tempat tinggal sehari- hari.
5. Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
6. Kondisi imunodefisiensi.
Pada pemeriksaan fisik akan didapati gejala dan tanda sebagai berikut :
1. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat.
2. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari yang
ringan, seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya delirium atau koma)
3. Demam, suhu > 37,5oC.
4. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi sebanyak 8
denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
5. Ikterus
6. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis

1
7. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama region epigastrik), hepatosplenomegali
8. Delirium pada kasus yang berat
Pada kondisi pasien datang pada keadaan yang lanjut atau datang setelah mengalami
demam berhari-hari, akan ditemui kondisi sebagai berikut :
1. Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran
seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau
dengan gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome).
2. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
3. Nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen
Untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, dokter dapat
menempuh langkah pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis. Di mana hasil laboratorium
dapat menunjukkan: leukopenia / leukositosis / jumlah leukosit normal,
limfositosis relatif, monositosis, trombositopenia (biasanya ringan), anemia.
2. Serologi
a. IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex TF)
Hanya dapat mendeteksi antibody IgM Salmonella typhi. Dapat dilakukan pada
4-5 hari pertama demam
b. Enzyme Immunoassay test (Typhidot®)
 Dapat mendeteksi IgM dan IgG Salmonella typhi
 Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
c. Tes Widal tidak direkomendasi
 Dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari.
 Interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal 1/320 atau terdapat
kenaikan titer
 hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5 – 7 hari.
 Hasil pemeriksaan Widal positif palsu sering terjadi oleh karena reaksi
silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah
endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat
antigen komersial yang bervariasi dan standaridisasi kurang baik. Oleh
karena itu , pemeriksaan Widal tidak direkomendasi jika hanya dari 1 kali
pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang dapat
mengakibatkan over-diagnosis dan over-treatment.
3. Kultur Salmonella typhi (gold standard)
Dapat dilakukan pada spesimen:
a. Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit, saat demam
tinggi
b. Feses : Pada minggu kedua sakit
c. Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit
d. Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi
carriertyphoid
4. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya: SGOT/SGPT, kadar
lipase dan amilase
Diagnosis yang dapat ditegakkan oleh dokter antara lain :
a. Suspek Demam Tifoid (suspect case).
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan
saluran cerna dan petanda gangguan kesadaran. Penegakkan diagnosis ini
hanya dapat dibuat pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Diagnosis banding kasus ini antara lain demam berdarah dengue, malaria,
leptspirosis, infeksi saluran kemih, hepatitis A, sepsis, tuberculosis milier,
endokarditis infektif, demam rematik akit, abses dalam, dan demam yang
berhubungan dengan infeksi HIV.
b. Demam tifoid klinis (probable case).
Suspek demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang
menunjukkan tifoid.
Setiap dokter harus mengetahui komplikasi dari demam tifoid. Biasanya terjadi pada
minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi antara lain perdarahan, perforasi usus,
sepsis, ensefalopati, dan infeksi organ lain.
1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati).
Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai dengan
kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari delirium sampai koma.
2. Syok septik. P
enderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia yang
berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti tekanan darah
turun, nadi halus dan cepat, keringat dingin dan akral dingin.
2
3. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis).
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga diketahui
dengan pemeriksaan feses (occult blood test).
Komplikasi ini ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto
polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas
dalam rongga perut.
4. Hepatitis tifosa. Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi
hati.
5. Pankreatitis tifosa. Terdapat tanda pancreatitis akut dengan peningkatan enzim
lipase dan amilase. Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau CT Scan.
6. Pneumonia. Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto
polos toraks
Penatalaksanaan pasien dengan diagnosis demam tifoid dibagi menjadi :
1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:
 Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi.
 Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun
parenteral.
 Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah
serat.
Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
 Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran),
kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien
2. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi
keluhan gastrointestinal
3. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik.
Antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau
Amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), atau Trimetroprim-
sulfametoxazole (Kotrimoksazol).
4. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti
dengan antibiotic lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim,
Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu
pertumbuhan tulang).
Pasien harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat rujukan lanjut (FKTRL) jika
ditemui kondisi yang memenuhi kriteri rujukan, yaitu :
1. Demam tifoid dengan keadaan umum yang berat (toxic typhoid).
2. Tifoid dengan komplikasi.
3. Tifoid dengan komorbid yang berat.
4. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.
Prognosis penyakit demam tifoid adalah bonam, namun karena penyakit ini dapat
terjadi berulang maka prognosisnya adsanationam dubia ad bonam.
REFERENSI
1. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, t.thn.)
3. Ivan Elisabeth Purba, Toni Wandra, Naning Nugrahin, Stephen Nawawi3, dan
Nyoman Kandun. Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: Tantangan
dan Peluang. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/
article/viewFile/5447/4483
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2006. (Sudoyo, et al., 2006)
5. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004. (Feigin, et al., 2004)
6. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003. (Long, et al., 2003)
7. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman’s infectious disease of children. 11th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004. (Gershon, et al., 2004)
8. Pomerans AJ, Busey SL, Sabnis S. Pediatric decision making strategies. WB
Saunders Philadelphia; 2002. (Pomerans, et al., 2002)

Anda mungkin juga menyukai