Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
kuman gram negatif Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial. Pada demam tifoid terjadi invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe
usus, dan plak Peyer.
Penyakit ini masih dijumpai luas di berbagai negara berkembang terutama
yang terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi
yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
Demam tifoid tergolong penyakit endemik yang didapat sepanjang tahun
di Indonesia. World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah kaus
demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian
tiap tahunnya. Pada tahun 2007, CDC melaporkan prevalensi kasus demam tifoid
di Indonesia sekitar 358-810 per 100.000 penduduk dengan 64% terjadi pada usia
3 sampai 19 tahun. Sedangkan menurut laporan Dirjen Pelayanan Medis Depkes
RI, pada tahun 2008, demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit
terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus
81.116 dengan proporsi 3,15%. Di hampir semua daerah endemik, insidensi
demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.
Referat ini akan membahas mengenai definisi, etiologi, patofisiologi,
epidemiologi, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, komplikasi/penyulit,
penatalaksanaan yang meliputi penatalaksanaan medikamentosa, penyulit, dan
epidemiologis, pencegahan serta prognosis dari demam tifoid.

1
REFERAT – DEMAM TIFOID
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI & ETIOLOGI


Demam tifoid disebut juga dengan Typhus abdominalis atau typhoid fever
adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Kuman ini
dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang sedikit lebih
rendah, serta mati pada suhu 70oC ataupun oleh antiseptik. Sampai saat ini
diketahui bahwa kuman yang menyerang manusia. Salmonella typhi mempunyai 3
macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (Antigen somatik) = Ohne Hauch = antigen somatik (tidak
menyebar), terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin.
b. Antigen H (Antigen Flagella) = Hauch (menyebar), terletak pada
flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
c. Antigen Vi = kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi antigen O terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid dijumpai kosmopolitan, saat ini terutama ditemukan di negara
sedang berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi, serta kesehatan
lingkungan yang tidak memenuhi syarat. Diperkirakan insidensi demam tifoid
pada tahun 1985 di Indonesia sebagai berikut:
 Umur 0 – 4 tahun : 25,32 %
 Umur 5 – 9 tahun : 35,59 %
 Umur 10 – 14 tahun : 39,09 %

2
REFERAT – DEMAM TIFOID
Survei Kesehatan Rumah Tangga 1985/1986 menunjukkan demam tifoid
(klinis) sebesar 1200 per 105 penduduk/tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia daerah endemis dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus.
Angka kejadian penyakit ini tidak berbeda antara anak laki-laki dan perempuan.
Pengaruh cuaca terutama meningkat pada musim hujan, sedangkan dari
kepustakaan barat dilaporkan terutama pada musim panas.

2.3 PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI


Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman ke dalam saluran
pencernaan. Setelah melewati asam lambung dan berada dalam usus halus, kuman
mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan
jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis
setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer)
menuju organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat
ini, kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan
berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi, berkisar 5-9 hari, kuman kembali
masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bekteremia sekunder), dan sebagian
kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya
kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan
menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa bakteremia ini, kuman mengeluarkan
endotoksin yang susunan kimianya sama dengan antigen somatik
(lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya
gejala-gejala dari demam tifoid.

2.4 GEJALA KLINIS


Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala
seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak
sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam
berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
a) Panas atau demam lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang
makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke-2 panas tinggi terus
menerus terutama pada malam hari.

3
REFERAT – DEMAM TIFOID
b) Gejala gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan
kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
c) Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan
sampai koma.

2.5 DIAGNOSTIK
1. Anamnesis
Apakah ada demam lamanya lebih dari 1 minggu, sifatnya lebih
tinggi pada sore dan malam hari. Apakah ada gangguan pada saluran cerna
seperti perut kembung atau tegang dan nyeri pada perabaan, konstipasi
atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa lendir atau tinja berwarna
hitam, anoreksia, muntah. Apakah ada gangguan kesadaran. perlu
ditanyakan lamanya serta sifatnya (apatis sampai somnolen) mengigau,
halusinasi, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Periksa adanya demam, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor
(coated tongue/typhoid tongue) dengan ujung dan tepi kemerahan dan
tremor. Periksa abdomen apakah ada perut kembung, pembesaran hati dan
limpa yang nyeri pada perabaan. Tanda komplikasi di dalam saluran cerna
seperti perdarahan (tinja berdarah/melena), Perforasi usus (pekak hati
hilang dengan atau tanpa tanda-tanda peritonitis, bising usus hilang),
Peritonitis (nyeri perut hebat, dinding perut tegang dan nyeri tekan, bising
usus melemah/hilang). Perlu juga diperiksa adanya tanda komplikasi di
luar saluran cerna dan penurunan kesadaran, tanda dehidrasi dan asidosis.
3. Laboratorium
a. Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang,
defisiensi Fe, atau perdarahan usus. Leukopenia namun jarang
kurang dari 3000/ul, anesonofilia, limfositosis relatif,
trombositopenia terutama pada demam tifoid berat.
b. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I (pada minggu ke II
mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air kemih minggu III.
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan

4
REFERAT – DEMAM TIFOID
demam tifoid/ paratyphoid. Kekurangan uji ini adalah hasilnya
tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk
pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum
ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari).
c. Reaksi Widal (+) : titer >1/200. Biasanya baru positif pada
minggu II, pada stadium rekonvalescen titer makin meninggi.
Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari
ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer
aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin
empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis
demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
 Titer O yang tinggi (>160) menunjukkan adanya infeksi
akut
 Titer H yang tinggi (>160) menunjukkan telah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi
 Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada
carrier.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
d. Identifikasi antigen : ELISA, PCR, IgM S typhi dengan TUBEX
Test cukup akurat.
Test TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya

5
REFERAT – DEMAM TIFOID
ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya
antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibody IgG dalam waktu
beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan
tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan
bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
baik daripada uji Widal.
e. Identifikasi antibodi : ELISA, typhi dot dan typhi dot M.
4. Radiologi
a) Foto thoraks apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
b) Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal
seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna
c) Pada perforasi usus tampak:
 Distribusi udara tidak merata
 Airfluid level
 Bayangan radiolusen di daerah hepar
 Udara bebas pada abdomen

2.6 DIAGNOSIS BANDING


 Influenza
 Malaria
 Bronkitis
 Sepsis
 Bronkopneumonia
 Infeksi saluran kemih
 Gastroenteritis
 Keganasan : Leukemia, Limfoma
 Tuberkulosa

6
REFERAT – DEMAM TIFOID
2.7 KOMPLIKASI/PENYULIT
Penderita demam tifoid dapat mengalami penyulit berupa otitis media,
pneumonia, ensefalopati, syok, ileus, melena, ikterus, karditis, infeksi saluran
kemih. Termasuk penyulit adalah relapse (kambuh), karier, perdarahan usus,
perforasi, gangguan status mental berat. Pada dasarnya komplikasi demam tifoid
dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Intra-intestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu
menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus
menurun sampai menghilang, defans muscular positif.
b) Ekstra-intestinal : tifoid ensefalopati, meningitis, pneumonia, syok
septik, pielonefritis, endokarditis, osteomielitis.

2.8 PENATALAKSANAAN
Pengobatan penderita demam tifoid di Rumah Sakit terdiri dari
pengobatan suportif, medikamentosa, terapi penyulit. Kadang-kadang diperlukan
konsultasi ke divisi Hematologi, Kardiologi, Neurologi, bahkan ke bagian lain
seperti divisi Bedah.
2.8.1 TATALAKSANA RAWAT INAP
Penderita yang dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid
harus dirawat dengan memperhatikan hal-hal penting meliputi 3 bagian,
yaitu:
a) Cairan dan kalori
 Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu
asupan cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung.
 Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi 4/5
kebutuhan dengan kadar natrium rendah.
 Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan.
 Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik.
 Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2.
 Pelihara keadaan nutrisi.
 Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit.

7
REFERAT – DEMAM TIFOID
b) Antipiretik
c) Diet
 Makanan tidak berserat dan mudah dicerna.
 Setelah demam turun, dapat segera diberikan makanan yang
lebih padat dengan kalori cukup.
2.8.2 PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA
Obat-obat pilihan pertama adalah Chloramphenicol,
Ampicilline/Amoxycilline atau Cotrimoxazole. Obat pilihan kedua adalah
Cephalosporine generasi III. Obat-obatan pilihan ketiga adalah
Meropenem, Azithromycine, dan Fluoroquinolone.
 Chloramphenicol diberikan dengan dosis 50mg/kgBB/hari,
terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama
14 hari. bilamana terdapat indikasi kontra pemberian
Chloramphenicol, dapat diganti dengan Ampicilline.
 Ampicilline dengan dosis 200mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4
kali. Pemberian intravena saat belum dapat minum obat,
selama 21 hari, atau
 Amoxyciline dengan dosis 100mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-
4 kali. Pemberian oral/intravena selama 21 hari, atau;
 Cotrimoxazole dengan dosis 8mg/kgBB/hari terbagi dalam 2x
pemberian oral, selama 14 hari.
Pada kasus berat, dapat diberi Ceftriaxone dengan dosis 50
mg/kgBB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80
mg/kgBB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. pada
kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance),
pilihan antibiotik adalah Meropenem, Azithromycine, dan
Fluoroquinolone.

8
REFERAT – DEMAM TIFOID
2.8.3 PENATALAKSANAAN PENYULIT
Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan
dengan manifestasi neurologik menonjol, diberi Dexamethasone dosis tinggi
dengan dosis awal 3 mg/kgBB, intravena perlahan (selama 30 menit),
kemudian disusul dengan dosis 1 mg/kgBB dengan tenggang waktu 6 jam
sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus
dengan penyulit perforasi usus.
2.8.4 PENATALAKSANAAN EPIDEMIOLOGIS
Meliputi isolasi penderita berupa isolasi gastrointestinal, sedangkan
pemutusan transmisi dengan pengelolaan disposal dan terapi pembawa kuman
(“carrier”), sedangakn pencegahan dengan melakukan imunisasi.

2.9 PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara:
umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah
peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja
dapat menurunkan insidensi demam tifoid (penyediaan air bersih,
pembuangan, dan pengelolaan sampah).
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa saja yang masuk
mulut (minuman/makanan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan
rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling)
makanan/minuman.
Pada saat ini telah ada di pasaran berbagai vaksin untuk
pencegahan demam tifoid. Vaksin chotypa dari kuman dimatikan (whole
cell) tidak digunakan lagi karena efek samping yang terlalu berat dan daya
lindungnya pendek. Dua vaksin yang aman dan efektif telah mendapat
lisensi dan sudah ada di pasaran. Satu vaksin berdasar subunit antigen
tertentu dan yang lain berdasar bakteri (whole cell) hidup yang
dilemahkan. Vaksin pertama, mengandung Vi polisakarida, diberikan
cukup sekali, subkutan atau intramuskular. Diberikan mulai usia >2 tahun.
Re-imunisasi tiap 3 tahun. kadar protektif bila mempunyai antibodi anti-Vi
1µg/ml.

9
REFERAT – DEMAM TIFOID
Vaksin Ty2la hidup dilemahkan diberikan secara oral, bentuk
kapsul enterocoated atau sirup. Diberikan 3 dosis, selang sehari pada perut
kosong. Untuk anak usia ≥ 5 tahun. Reimunisasi tiap tahun. tidak boleh
diberi antibiotik selama kurun waktu 1 minggu sebelum sampai 1 minggu
sesudah imunisasi. Penderita dinyatakan sembuh bila gejala dan tanda
sudah hilang serta tidak ada komplikasi.

2.10 PROGNOSIS
Prognosis tergantng pada umur, keadaan umum, gizi, derajat
kekebalan pendeirta, cepat dan tepatnya pengobatan serta komplikasi yang
ada.

10
REFERAT – DEMAM TIFOID
DAFTAR PUSTAKA

Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders; 2004. h.912-919.

Darmowandowo, W. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.


Surabaya: RSU Dokter Soetomo; 2008. h. 98-101.

Departemen Kesehatan RI.. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Departemen


Kesehatan RI, Jakarta. 2009.

Rampengan, N, H. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak Edisi 2. Jakarta: EGC;


2008. h. 46-64.

Rampengan, N, H. Antibiotik Terapi Demam Typhoid tanpa Komplikasi pada


Anak. Sari Pediatri, Vol. 14, No. 5. 2013.

Simanjuntak, C. H. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian.


Cermin Dunia Kedokteran No. 83. 2009.

Sudoyo, Aru W. dkk.. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2008.

Suprapto N, Karyanti MR. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid I. Tifoid.


Jakarta: Media Aescaliptus; 2014. h. 74-75.

11
REFERAT – DEMAM TIFOID

Anda mungkin juga menyukai