Anda di halaman 1dari 17

Pendahuluan

Demam tifoid atau disebut juga demam enteric berasal dari bahasa Yunan yaitu typhos
artinya kabut karena penderita sering terdapat gangguan kesadaran dari ringan hingga berat.
Penyakit ini berkaitan dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang
baik. Penularan biasanya melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi.

Jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia diperkirakan terdapat 21 juta kasus
dengan 128.000 sampai 161.000 kematian setiap tahun, kasus terbanyak terdapat di Asia
Selatan dan Asia Tenggara.2 Di Indonesia, pravelens 91% kasus demam tifoid terjadi pada
umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit,
damam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk
memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.
Banyaknya kasus di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-
rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka kematian 0.6-5%. Pemberian terapi
antibiotik yang tepat sangat penting dalam mencegah komplikasi dan mengurangi angka
kematian.
Definisi

Menurut IDAI demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang
dengan bacteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardinal dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus
dan Peyer’s patch.1

Etiologi

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif, bergerak dengan flagela, berkapsul,
tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif yang
dikarakteristikan dengan adanya antigen O, H, dan Vi pada permukaannya. Antigen O
merupakan antigen somatik yang penting untuk menentukan virulensi kuman. Bagian ini
memiliki endotoksin dan struktur kimia lipopolisakarida pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Antibodi yang terbentuk adalah IgM. Antigen H merupakan antigen flagella yang terletak
pada flagella dan fimbria kuman. Flagel ini terdiri dari badan sel yang melekat pada
sitoplasma dinding sel kuman. Antibodi yang terbentuk adalah IgG. Antigen Vi terdapat pada
kapsul(envelope) dari kuman agar terlingung dari fagositosis. Antigen ini menunjukan bahwa
individu tersebut merupakan pembawa kuman (carrier). Ketiga antigen ini akan menimbulkan
pembentukan 3 jenis antibodi yang disebut agglutinin. Bakteri ini berkembang pada media
dengan pH 6-8 pada temperatur 15-41C dengan suhu optimumnya adalah 37C. Ia dapat
hidup hingga beberapa minggu di alam bebas seperti air, es, sampah, dan debu. Reservoir
satu-satunya adalah manusia yang sakit atau karier. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan
suhu 60 selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan klorinisasi. Masa inkubasinya 7-14
hari namun pada anak lebih bervariasi sekitar 5-40 hari dengan perjalanan penyakit yang
kadang juga tidak teratur.2

Gambar 1. Salmonella typhi pada pewarnaan gram


Epidemiologi

Demam tifoid merupakan penyakit menular yang tersebar di seluruh dunia, dan
sampai sekarang masih menjadi masalah kesehatan terbesar di negara sedang berkembang dan
tropis seperti Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Latin. Insiden penyakit ini masih sangat
tinggi dan diperkirakan di seluruh dunia terdapat 21 juta kasus dengan lebih dari 100.000
kasus berakhir dengan kematian setiap tahunnya. Di Indonesia, insiden demam tifoid
diperkirakan sekitar 300 hingga 810 kasus per 100.000 penduduk per tahun atau berkisar
antara 600.000 hingga 1.500.000 per tahun dengan proporsi kasus demam tifoid sebanyak
14% hingga 29% terjadi pada anak kurang dari lima tahun, 30% hingga 44% pada anak umur
lima hingga sembilan tahun, dan sekitar 28% hingga 52% pada anak usia 10 hingga 14 tahun.
Hal ini berhubungan dengan tingkat higienis individu, sanitasi lingkungan dan penyebaran
kuman dari karier atau penderita tifoid. 3

Patofisiologi

Demam tifoid melibatkan empat proses kompleks yaitu adanya penempelan dan invasi
sel-sel M Peyer’s Patch, bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di Peyer’s Patch dan
organ lainnya, bakteri bertahan hidup melalui aliran darah, dan adanya produksi endotoksin.1

Setelah melalui periode waktu tertentu (7-14 hari) yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respon imun host maka Salmonella typhi akan keluar dari
habitatnya dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai
organ manapun. Tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Setelah memasuki peredaran
darah melalui kelenjar limfe mesenterika maka terjadi bakteremia I yang asimtomatis, lalu
bakteri akan mencapai sel retikuloendotelial dari hati dan limpa dan juga bakteri dapat masuk
ke sumsum tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan bakteri dan endotoksin yang bersifat
piogenik ke peredaran darah melalui sehingga menyebabkan bakteremia II. Bakteri yang
berada di hati akan masuk kembali ke dalam usus merangsang pelepasan sitokin pro inflamasi
yang menginduksi reaksi inflamasi di jaringan yang meradang sehingga memicu timbulnya
demam dan gejala toksemia namun kelainan patologis utama terdapat pada usus halus,
terutama pada ileum bagian distal yang terdapat kelenjer peyer. Respon inflamasi akut
menyebabkan diare. Selain itu, juga dapat menyebabkan ulserasi, peradangan, dan nekrosis.
Sebagian bakteri lainnya akan dikeluarkan bersama feses. Perdarahan dan perforasi saluran
cerna akibat adanya ulserasi sehingga terjadi ulkus yang dapat terjadi selama minggu ketiga
sakit. Perforasi Peyer’s Patch dapat menyebabkan peritonitis umum dan septikemia yang
merupakan penyebab kematian tersering pada demam tifoid. Hal ini dapat terjadi pada <5%
pasien, 1,4,5

Hati membesar karena infiltrasi dari sel-sel limfosit dan mononuklear lainnya serta
nekrosis fokal. Hal yang sama juga dapat terjadi pada limpa dan kelenjar mesentrika. Pada
pemeriksaan juga sering ditemukan peradangan dan abses pada berbagai organ salah satunya
kandung empedu yang menjadi tempat yang disenangi oleh bakteri Salmonella. Jika
penyembuhannya tidak sempurna ia akan bertahan di kandung empedu, mengalir ke dalam
usus dan menjadi karier intestinal.

Manifestasi Klinis

 Memiliki salah satu gangguan saluran pencernaan seperti diare atau konstipasi, mual,
muntah, nyeri perut. Umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut terutama regio
epigastrik disertai mual muntah. Pada awal sakit sering mengalami meteorismus (perut
kembung) dan konstipasi, namun pada minggu kedua terkadang timbul diare.
 Demam ≥ 7 hari, demam naik turun terutama pada sore dan malam hari dengan pola
intermitten dan kenaikan suhu secara bertahap setiap hari dan mencapai suhu tertinggi
pada akhir minggu pertama (step ladder temperature chart). Minggu kedua demam
terus menerus tinggi. pada anak khususnya balita demam tinggi ini dapat
menimbulkan kejang. Dalam minggu ketiga suhu tubuh perlahan-lahan turun dan
normal kembali pada akhir minggu ketiga.
 Sakit kepala dirasakan pada area frontal
 Malaise
 Penurunan nafsu makan
 Pada pemeriksaan fisik ditemukan
o Umumnya kesadaran menurun walaupun tidak dalam seperti apatis hingga
somnolen.
o Bradikardi relatif (peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti dengan
peningkatan frekuensi nadi) namun tidak sering ditemukan.
o Hepatosplenomegali
o Mulut terdapat nafas bau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah. Lidah
terlihat kotor dan ditutupi selaput putih (coated tongue). Ujung dan tepi lidah
kemerahan dan tremor
o Abdomen kembung(meteorismus) disertai nyeri difus
o Rose spot (pada hari ke-7 hingga 10) yaitu lesi makulopapular dengan diameter
sekitar 2-4 mm sering dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas, dan
punggung. Namun, lesi ini hanya dilaporkan pada 5%-30% kasus dan jarang
ditemukan pada ras Asia

Gejala pada anak biasanya tidak khas dan kebanyakan berlangsung dalam waktu
pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu. Namun semakin bertambah usia gejala akan
semakin berat menyerupai demam tifoid pada dewasa.6,7,8

Pemeriksaan Penunjang

Penegakan diagnosis demam tifoid menjadi cukup sulit bila tidak adanya gejala atau
tanda yang spesifik. Di daerah endemis, demam lebih dari satu minggu yang tidak diketahui
penyebabnya harus dipertimbangkan sebagai demam tifoid sampai terbukti penyebabnya.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang sering digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid
terdiri dari pemeriksaan darah tepi, identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan, identifikasi
kuman melalui uji serologis, serta identifikasi kuman secara molekuler.

Pemeriksaan Penunjang, yang dapat di lakukan untuk mendiagnosa demam typhoid sebagai
berikut :

 Gambaran darah tepi pada kasus demam tifoid menunjukkan adanya leukopenia
namun jarang dibawah 3000/ɥl3 dan dapat ditemukan adanya trombositopenia ringan.
Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat sekitar
20000/ɥl3 hingga 25000/ɥl3. Selain itu, dapat ditemukan adanya anemia normositik
normokrom apabila adanya perdarahan saluran cerna.
 Biakan darah, urin, feses, atau sumsum tulang, merupakan diagnosis pasti demam
tifoid apabila ditemukan bakteri Salmonella typhi
 Kultur Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid, pemilihan specimen pada
minggu pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi
bakteremia. Pada minggu kedua dan ketiga spesimen sebaiknya diambil dari kultur
tinja dengan sensitivitas <50% dan urin dengan sensitivitas 20-30%. Sampel biakan
sumsum tulang lebih sensitif dan sensitivitas pada minggu pertama juga lebih tinggi
yaitu sekitar 90% namun pengambilan sampel ini sangat invasif dan sulit untuk
dilakukan.
 Uji serologis yaitu pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi antibodi spesifik
terhadap komponen antigen Salmonella typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri.
- Uji widal, tujuan pemeriksaannya mengukur kadar antibodi terhadap antigen O
dan H dari Salmonella typhi. Pada umumnya antibodi O meningkat pada hari ke 6-
8 dan antibodi H pada hari ke 10-12 sejak awal penyakit. Idealnya uji widal
dilakukan dua kali dengan selang waktu pemeriksaan sekitar 7 hingga 14 hari.
Dikatakan uji widal positif apabila terdapat kenaikan titer agglutinin O sebesar 4
kali. Uji widal yang dilakukan satu kali saja tidak mempunyai arti penting dan
sebaiknya dihindari. Apabila pemeriksaan hanya dilakukan satu kali, maka uji
widal positif apabila titer antigen O ≥1/320.
a. Hasil positif palsu, akibat adanya reaksi silang dengan non-typhoidal
Salmonella, infeksi bakteri enterobacteriaceae lain, riwayat imunisasi
tifoid, atau standarisasi reagen yang kurang baik.
b. Hasil negative palsu, terjadi karena teknik pemeriksaan yang tidak
benar, penggunaan antibiotik sebelumnya, atau produksi antibodi tidak
adekuat.

- Uji Tubex, bertujuan untuk mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen O9


lipopolisakarida Salmonella typhi, sedangkan pemeriksaan typhidot dilakukan
untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap Salmonella typhi. Pemeriksaan
tubex disarankan untuk dilakukan apabila pasien sudah demam lebih dari lima
hari. Uji tubex dikatakan positif apabila hasil pemeriksan ≥ 6.
a. Hasil positif palsu, dapat terjadi pada pasien dengan infeksi Salmonella
enteridis
b. Hasil negative palsu, apabila pemeriksaan dilakukan terlalu cepat.

 Identifikasi kuman secara molekuler (PCR), membutuhkan waktu kurang dari delapan
jam dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan
pemeriksaan penunjang lain. Hal ini menyebabkan pemeriksaan ini lebih baik
dibandingkan pemeriksaan kultur darah yang membutuhkan waktu 5-7hari. Namun,
pemeriksaan ini relative rumit dan biaya yang mahal serta dapat beresiko positif palsu
apabila prosedurnya tidak dilakukan secara cermat karena adanya kontaminasi.6,9,10

Table 1. Perbandingan pemeriksaan penunang untuk demam tifoid

Diagnosis

Diagnosis ditegakan berdasarkan gajala klinis berupa demam, gangguan


gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini
maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tofoid. Diagnosis pasti
ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan
mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutmya.
Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan
specimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sentivitas tertinggi, hasil
positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangar invasif, sehingga tidak
dipakai dalam praktek seharu-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan specimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.1

Uji serologi Widal suatu metode serologic yang memeriksa antibodi aglutinasi
terhadap antigen somatic (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam
tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O glutenin >=1/40 dengna memakai uji Widal
slide agglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai
ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan
tetapi apabila negative tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
agglutinin sekali periksa >=1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali makan
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.

Polymerase chain reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser.
Thypi secara spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun
laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang tidak
salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya pemeriksaan
yang dapat menggantikan uji serologi Widal.1

Diagnose Banding

 Demam berdarah dengue, merupakan infeksi oleh virus dengue yang ditandai dengan
gejala demam dengue yang disertai adanya menifestasi perdarahan (uji tourniquet
positif atau perdarahan spontan seperti mimisan atau perdarahan gusi), hepatomegali,
dan dijumpai peningkatan permeabilitas kapiler (edema adanya peningkatan
hemokonsentrasi, asites, atau efusi pleura)
- Gejala klinis : demam tinggi yang timbul mendadak bersifat kontinu,
terkadang bifasik, dan berlangsung selama dua hingga tujuh hari, muka tampak
kemerahan (facial flushing) disertai nyeri otot (myalgia) dan nyeri sendi
(arthralgia), Nafsu makan menghilang dan sering disertai nyeri pada daerah
epigastrik, muntah, dan nyeri abdomen, Ruam makulopapular atau
morbiliform dapat ditemukan pada fase awal sakit namun berlangsung singkat
sehingga sering luput dari pengamatan orang tua

- Pemeriksaan penunjang : hematologi rutin ditemukan adanya leukopenia


(leukosit < 4000 sel/mm3), trombositopenia (trombosit < 100.000/L), dan
adanya peningkatan hematokrit ≥20%. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan
antigen virus dengue dan uji serologis.

Kriteria WHO, diagnosis DBD dapat ditegakkan apabila terdapat lebih dari dua
gejala klinis yaitu demam tinggi terus menerus tanpa sebab yang jelas selama dua
hingga tujuh hari, adanya hepatomegali, adanya tanda-tanda perdarahan, dan adanya
tanda-tanda syok ditambah dengan hasil pemeriksaan laboratorium trombositopenia <
100.000/L dan hematokrit terdapat peningkatan ≥ 20%. Pada dasarnya pengobatan
DBD bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.

 Tb Paru, merupakan penyakit infeksi paru menular yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis).
- Gejala klinis : berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak
naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik, demam lama (≥2 minggu) dan atau berulang tanpa
sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan
lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi atau subfebris. Keringat malam
bukan gejala spesifik Tb pada anak. Batuk lama ≥ 3 minggu bersifat non-
remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan
sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. Nafsu makan tidak ada atau
berkurang, anak tampak lesu atau malaise, disertai gagal tumbuh, memiliki
riwayat kontak dengan pasien Tb.

- Pemeriksaan penunjang : Dilakukan pemeriksaan pemeriksaan hematologi, uji


tuberkulin, dan foto toraks pada anak karena pemeriksaan mikrobiologi yang
ditemukan adanya kuman Mycobacterium tuberculosis sulit dilakukan pada
anak.

 Pneumonia, merupakan inflamasi pada parenkim paru. Sebagian besar penyakit ini
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri atau virus). Demam, menggigil, takipneu,
batuk, malaise, nyeri dada akibat pleuritis, dan retraksi sering terjadi pada bayi yang
lebih tua dan anak. Batuk awalnya kering kemudian menjadi produktif dengan dahak
purulent atau bahkan berdarah.
- Gejala klinis : Pneumonia virus lebih sering berhubungan dengan batuk,
mengi, atau stridor dan gejala demam tidak lebih dominan dibandingkan
pneumonia bakterial. Pneumonia bakterial berhubungan dengan demam yang
tinggi, menggigil, batuk, dispneu, dan pada auskultasi ditemukan adanya tanda
konsolidasi paru. Seluruh jenis pneumonia pada auskultasi akan didapatkan
ronki kering yang terlokalisir dan penurunan suara nafas.

- Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan hematologi sering ditemukan adanya


leukositosis hingga >15.000/ul seringkali, adanya dominasi neutrofil pada
hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menununjukkan bakteri sebagai
penyebab. Leukosit >30.000/ul dengan dominasi neutrofil mengarah kepada
pneumonia streptokokus. Dilakukan pemeriksaan C-reactive protein (CRP),
adanya CRP yang positif dapat mengarah kepada infeksi bakteri. Foto toraks
posisi AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam
paru, luasnya kelainan, dan kemungkinan adanya komplikasi seperti
pneumotoraks, pneumomediastinum, dan efusi pleura. Pada pneumonia
bakterial ditandai oleh adanya konsolidasi lobaris atau pneumonia berbentuk
bundar. Pada pneumonia viral dapat ditemukan adanya infiltrat
bronkopneumonia yang berbentuk seperti garis tumpeng tindih dan difus.

 Malaria, disebabkan oleh parasit plasmodium, dan ditularkan lewat tusukan nyamuk
Anopheles. Penyakit malaria diawali dengan gejala yang tidak spefisik diantaranya
lesu, sakit kepala, anoreksia, nousea, dan vomitus, bahkan terjadi demam yang tidak
teratur, kemudian diikuti gejala demam yang khas, splenomegali, dan anemi yang
dikenal dengan trias malaria.
- Gejala utama malaria yaitu demam. Jenis demam pada malaria menurut
ulangan demamnya ada 2 jenis utama yaitu tertiana dan kurtana. Demam
paroksismal tertiana yaitu demam yang berulang setiap 48 jam atau setiap hari
ketiga, sedangkan demam paroksimal kuartana yaitu demam yang berulang
setiap 72 jam atau setiap hari keempat. Serangan demam malaria terjadi selama
2-12 jam. Dengan 3 stadium yaitu stadium mengigil, puncak demam, dan
berkeringat. Dua atau tiga hari kemudian terulang kembali serangan demam
dengan stadium-stadium yang sama.

- Pemeriksaan penunjang : dilakukan pemeriksaan hapusan dara tepi dengan


pewarnaan. Hapusan darah tebal untuk memeriksa eritrosit dalam jumlah
besar. Hapusan darah tipis untuk menentukan spesies malaria dan menentukan
persentase eritrosit yang terinfeksi yang berguna juga untuk menilai respon
terhadap pengobatan.

 Leptospirosis, adalah suatu penyakit zoonis yang disebabkan leptospira. Manusia


dapat terinfeksi apabila kontak dengan tanah atau air yang terkontaminasi oleh urin
hewan yang terinfeksi. Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10
hari. Terdapat 2 fase. Fase 1 : septikemia biasanya berlangsung 4 – 7 hari ditandai
dengan demam, aseptik meningitis,mata merah, uveitis, sakit otot, rash, adenopati dan
kalau gejala berat ditemukan ikterik, gagal ginjal, aritmia, pneumositis hemorrhagik
dan gannguan sirkulasi. Fase 2 atau fase imun (4-30 hari) ditandai dengan
meningkatnya titer antibodi dengan lebih nyata gangguan hati, ginjal dan jantung.
Pada fase ini ditandai dengan demam tidak tinggi, uveitis, ruam, nyeri kepala dan
meningitis.

- Gejala klinis : Gejala klinisnya sering demam, menggigil, mual, muntah, nyeri
abdomen terkadang diare. Keluhan pasien biasanya demam yang muncul
mendadak, sakit kepala, nyeri otot, mata merah, dan mual atau muntah

- Pemeriksaan penunjang : Bakteria dapat diisolasi dari darah atau likuor


serebrospinal pada 10 hari pertama. Leptospira dapat diidentifikasi secara
langsung dari jarigan yang terinfeksi dengan menggunakan mikroskop
lapangan gelap atau dengan direct fluorescentantibody assay. Pemeriksaan lab,
Trombositopenia 80%, Kenaikan bilirubin total >2gr% atau amilase atau CPK,
Pemeriksaan urin proteinuria dan/atau hematuria. Pemeriksaan Microscopic
agglutination test (MAT) adanya kenaikan titer 4x dari pemeriksaan awal atau
Titer MAT 320 (400) lebih pada pemeriksaan satu sampel.1,6,11,12

Tatalaksana

Tatalaksana non farmakologi

 Tirah baring, dilakukan untuk mengurangi aktifitas yang membuat kondisi pasien
menjadi buruk.
 Diet lunak rendah serat karena pada demam tifoid terjadi gangguan pada sistem
pencernaan. Diet lunak rendah serat diberikan kepada pasien demam tifoid untuk
membatasi volume feses sehingga tidak merangsang saluran cerna. Selain itu juga,
bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti perforasi atau perdarahan
saluran cerna.
 Hidrasi dan perbaikan cairan secara elektrolit

Tatalaksana farmakologi

 Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama untuk pengobatan demam tifoid.


Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari per oral dibagi dalam empat kali
pemberian selama 10 hingga 14 hari.
 Obat tiamfenikol per oral yang dapat diberikan dengan dosis 75 mg/kgBB/hari selama
lima hingga enam hari
 Amoksisilin juga dapat diberikan untuk kasus demam tifoid dengan dosis 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam empat kali pemberian secara per oral.

 Sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxone, cefixim menjadi antibiotik alternatif


lini kedua untuk kasus resistensi multi obat (resistensi terhadap kloramfenikol,
amoksisilin dan cotrimoxazole). Dosis pemberian ceftriaxone yaitu 100 mg/kgBB/hari
per oral dibagi dalam satu atau dua dosis dan cefixim 5-20 mg/kgBB yang efektif
untuk anak
 Pada kasus demam tifoid berat yaitu adanya penurunan kesadaran atau perdarahan
saluran cerna dapat dilakukan pemberian deksametason intravena dengan dosis awal 3
mg/kgBB selama 30 menit dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB setiap 6 jam selama 48
jam. Demam tifoid dengan adanya penyulit seperti perdarahan saluran cerna terkadang
dapat diperlukan transfusi darah.
 Keadaan carrier kronik dimana seseorang tidak menunjukkan gejala dan terus
memiliki kultur tinja atau swab rektal yang positif untuk Salmonella typhi selama
setahun setelah pemulihan dari penyakit akut juga perlu diberikan pengobatan untuk
menghilangkan bakteri Salmonella typhi. Pengobatan yang diberikan berupa
amoksisilin atau ampisilin (100 mg /kgBB/hari) ditambah dengan probenecid.1,11-14
Gambar 2. Pengobatan demam tifoid

Komplikasi

Komplikasi terjadi pada 10% hingga 15% pasien yang terinfeksi Salmonella enterica
serotype typhi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perdarahan gastrointestinal,
perforasi usus, ensefalopati tipus, dan relaps. Perdarahan gastrointestinal terjadi pada hingga
10% dari pasien yang dirawat di rumah sakit dan berhubungan dengan adanya nekrosis dan
erosi Peyer’s patch. Dalam sebagian besar kasus, perdarahan terbatas dan tidak memerlukan
intervensi lebih lanjut atau transfusi darah. Perforasi usus terjadi pada sekitar 2% pasien yang
dirawat di rumah sakit dan biasanya terjadi di ileum. Pada perforasi usus ditandai dengan
adanya nyeri abdomen pada kuadaran kanan bawah diikuti dengan muntah, defense
musculare, dan suara redup hati menghilang. Ensefalopati tipus dapat muncul dengan
berbagai gejala termasuk delirium bahkan koma. Relaps dapat terjadi hingga 10% dari pasien
2 hingga 3 minggu setelah penghentian antibiotik.4

Pencegahan

Terdapat beberapa tindakan pencegahan untuk demam tifoid yaitu air yang aman,
makanan yang aman, sanitasi, edukasi kesehatan, dan vaksinasi. Menjaga kebersihan
sangatlah penting untuk kasus ini karena demam tifoid ditularkan melalui jalur fekal oral.
Tindakan yang paling utama adalah memastikan bahwa mendapatkan akses untuk air bersih
yang cukup untuk air minum maupun untuk kebutuhan sehari-hari seperti memasak. Selain
itu, memastikan bahwa makanan yang dikonsumsi aman artinya penanganan dan pengolahan
makanan tersebut tepat, mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan atau makan
makanan, dan menghindari makanan mentah.4,6

Tindakan pencegahan lainnya yaitu menjaga sanitasi atau kebersihan lingkungan.


Contoh tindakannya berupa fasilitas yang sesuai untuk jamban harus tersedia untuk seluruh
masyarakat, pengumpulan dan pengolahan limbah terutama selama musim hujan juga harus
dilakukan. Edukasi kepada masyarakat juga penting yang bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang semua tindakan pencegahan yang telah disebutkan. Untuk
menjangkau masyarakat sarana komunikasi yang memungkinkan untuk dilakukan contohnya
dengan menggunakan media, sekolah, dan lain-lain.4,6

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:1

 Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan),Vaksin yang mengandung


Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali dengan interval
pemberian selang sehari (hari ke-1, ke-3, ke-5). Vaksin ini dikontraindikasikan pada
wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang
minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak
berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

 Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine), Vaksin ini mengandung sel utuh
Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman
setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6- 12 tahun 0,25 mL; dan anak
1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian
melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri
kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di
kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian
pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang
ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

 Vaksin polisakarida, Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri


Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di
atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi
25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara
intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini
dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam,
dan anak kecil 2 tahun.

Prognosis

Prognosis demam tifoid bergantung kepada ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat angka mortalitas < 1%, sedangkan pada negara berkembang angka mortalitas
biasanya > 10%. Hal ini terjadi karena adanya keterlambatan dalam diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Adanya komplikasi yang terjadi seperti perdarahan saluran cerna atau
perforasi juga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Risiko untuk
menjadi carrier pada anak rendah dan meningkat sesuai usia.1

Kesimpulan

Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, yang
menular melalui fekal oral. Gejala yang tersering berupa yang timbul pada sore hari,
gangguan pencernaan berupa konstipasi atau diare. Pengobatan yang tepat dengan antibiotic
dapat mengurangi terjadinya komplikasi. Dengan menjaga kebersihan tangan dan makanan
yang bersih dapat mencegah terjadinya demam tifoid.
Daftar Pustaka

1. Soedarmo SSP, et al. Demam Tifoid. In : Buku Ajar infeksi & Pediatri tropis. Ed 2.
Jakarta; IDAI : 2008. h.338-46.
2. Medical microbiology. Salmonella. Diunduh pada tanggal 13 Juli 2021 pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK8435/
3. Cita YP. Bakteri salmonella typhi dan demam tifoid. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
Sept-Mar 2011; 6(1): 42-5.
4. Ashurst JV, Truong J, Woodbury B. Salmonella typhi [monograf internet]. 2020
[diakses pada 11 Juli 2021]. Tersedia di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519002/
5. Everest P, Wain J, Roberts M, Rook G, Dougan G. The molecular mechanisms of
severe typhoid fever. Trends in Microbiology Jul 2001; 9(7): 316-9.
6. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, dkk. Nelson ilmu kesehatan anak esensial.
Ed.6. Singapore:Elsevier;2018.
7. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Panduan praktik klinik bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan primer. 2014. Diunduh pada tanggal 13 juli 2021 di
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/Permenkes_5_2014.pdf
8. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, dkk. Update management of infectious disease
and gastrointestinal disorders. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM; 2012.
9. Setiana GP, Kautsar AP. Review artikel: perbandingan metode diagnosis demam
tifoid. Farmaka 2017; 14(1): 94-102.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi IDAI mengenai pemeriksaan penunjang
diagnostik demam tifoid [monograf internet]. 2017 [diakses pada 12 Juli 2020].
Tersedia di: http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/Rekomendasi-IDAI-mengenai-Pemeriksaan-Penunjang-
Diagnostik-Demam-Tifoid-1.pdf
11. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan menteri kesehatan Republik
Indonesia tentang pedoman pengendalian demam tifoid menteri kesehatan Republik
Indonesia [monograf internet]. 2006 [diakses pada 14 Juli 2021]. Tersedia di:
http://www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk3642006.pdf
12. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman pelayanan medis. Jakarta: IDAI; 2009. h. 47-
50, 58-62,141-49, 250-5, 323-8.
13. Rahmasari V, Lestari K. Review: manajeman terapi demam tifoid: kajian terapi
farmakologis dan non farmakologis. Farmaka 2018; 16(1): 184-94.
14. World Health Organization. Background document: the diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. Geneva: WHO; 2003. h. 1-30.
REFERAT

DEMAM TOFOID

Disusui oleh :

Stevani Sarah Priskila Rumetna

112019120

Pembimbing :

dr. Dewi Iriani, SpA

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Rumah Sakit Umum Daerah Koja Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Periode 05 Juli 2021 – 07 Agustus 2021

Anda mungkin juga menyukai