Anda di halaman 1dari 15

DEMAM TIFOID

Pembimbing:
dr. Tjio Loe Wei, Sp. FK

Disusun Oleh:
Nicky Septiana
1765050316

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMAKOLOGI


PERIODE 4 NOVEMBER – 6 DESEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2019
1. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam
tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus)
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

2. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World
Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam
tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara
berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar
dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun.
Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3

3. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S.
Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
resistensi terhadap multipel antibiotik.
4. Patogenesis
Perjalanan penyakit dari demam tifoid ditandai dengan invasi bakteri yang kemudian
bermultiplikasi dalam sel mononuclear fagositik, hati, limfa, nodus limfatikus, dan Plak Peyeri
di ileum. Masuknya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
adalah melalui makanan yang terkontaminasi bakteri tersebut. Sebagian bakteri mati oleh asam
lambung, sebagian lagi lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-
sel epitel utama (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia, kuman-kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagositosis terutama oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dalam makrofag dan seterusnya dibawa ke Plak Peyeri ileum distal, kelenjar getah
bening mesenterika, duktus torasikus, dan akhirnya masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebabkan bakterimia pertama yang asimpotamik serta menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial terutama hati dan limfa. Di dalam organ-organ ini, kuman keluar dari sel
fagositik untuk selanjutnya berkembangbiak di luar sel atau ruang sinusoid. Selanjutnya,
kuman ini masuk ke dalam sirkulasi darah kembali dan menimbulkan bakterimia yang kedua
disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, dan secara ‘intermitten’ akan
disekresikan ke dalam lumen usus. Sebgagian kuman dikeluarkan melalui feses namun
sebagiannya lagi masuk kembali ke sirkulasi darah setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang lagi, berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif, maka pada saat fagositosis
Salmonella kembali, dilepaskan sejumlah mediator radang yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam Plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi karena erosi pembuluh darah sekitar Plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding
usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat menyebabkan perforasi usus.

5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis,
akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita
yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek
3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan
jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang
timbul dapat dikelompokkan : 1) Demam satu minggu atau lebih. 2) Gangguan saluran
pencernaan. 3) Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,
gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati
dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa,
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-
tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih
pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah
pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-
kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan
harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid
tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke
7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5
6. Pemeriksaan Penunjang
6.1 . Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia,
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.
Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai
komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran
sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah
megakariosit dalam batas normal.1,4,6

6.2 Uji Serologis Widal


Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi
yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi
antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah
serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah
yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu; 1) Aglutinin O (dari tubuh kuman). 2) Aglutinin H (flagel kuman). 3)
Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada
demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih
lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap
S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
6.3 Uji Serologis TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat
(kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar
spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

7. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan
kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan
gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada
setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu
seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen
dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots
(bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan
pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-
4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2
bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis
bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
serologis, dan bakteriologis.4,5

8. Penatalaksanaan
8.1 Farmakologi
8.1.1 Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis
10-15 mg/kgBB/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya
karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih
rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake
peroral dapat diberikan via parenteral.

8.1.2 AB Chloramphenicol
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama
10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan
oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada
kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.
Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat terpilih untuk pengobatan demam
tifoid. Antibiotik lain seperti kotrimoksazol, siprofloksasin, ofloksasin, amoksisilin, dan
sefalosporin generasi ketiga menjadi alternatif obat tifoid bila kloramfenikol sudah tidak lagi
efektif. Tetapi, di negara seperti India, kloramfenikol telah digantikan dengan antibiotik
golongan kuinolon.
Aktivitas antibakteri dari kloramfenikol bersifat stereospesifik, karena hanya D(-) stereo-
isomer yang mempunyai aktivitas menghambat biosintesis protein pada siklus pemanjangan
rantai asam amino. Antibiotika ini mengikat sub-unti ribosom 50-S sel mikroba target sehingga
terjadi hambatan pembentukan ikatan peptide dan biosintesis protein. Kloramfenikol bersifat
bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisid terhadap bakteri
tertentu.
Kloramfenikol diserap secara cepat dalam saluran pencernaan. Kloramfenikol suksinat,
digunakan secara intravena dan intramuscular, merupakan sebuah prodrug yang dihidrolisis
oleh esterase menjadi kloramfenikol in vivo. Kloramfenikol suksinat secara cepat dibersihkan
dari plasma oleh ginjal.
Kloramfenikol secara luas didistribusikan dalam cairan tubuh dan mencapai
konsentrasi terapeutik dalam CSS. Kloramfenikol terdistribusi pula dalam empedu, ASI, dan
cairan plasenta. Dapat pula ditemukan pada humor aqueous setelah injeksi subkonjungtiva.
Rute eliminasi utama dari kloramfenikol adalah metabolism hepatic. Metabolit tersebut
dan kloramfenikol dieksresikan melalui urin. Pasien dengan gangguan fungsi hati mempunyai
penurunan bersihan metabolic, dan dosis harus dikurangi.
Indikasi dari penggunaan kloramfenikol antara lain demam tifoid, meningitis bacterial,
penyakit akibat riketsia, dan bruselosis.
Kloramfenikol menghambat sintesis protein membrane dalam mitokondria,
kemungkinan dengan menghambat peptidiltransferase ribosom. Hampir semua efek buruk
yang terjadi pada obat tersebut dapat dihubungkan dengan reaksi-reaksi seperti reaksi
hipersensitivitas, gangguan hematologi, dan efek toksik dan iritatif lain.
Kloramfenikol menghambat CYP hati, oleh karena itu memperpanjang waktu-paruh substrat
CYP, termasuk koumadin, fenitoin, klorpropamid, inhibitor protease HIV, rifabutin, dan
tolbutamid. Keracunan parah dan kematian terjadi karena interaksi obat-obat tersebut.
Penggunaan bersama dengan fenobarbital atau rifampin, dimana menginduksi CYP secara
poten, memperpendek waktu-paruh kloramfenikol.
Kloramfenikol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada demam
tifoid, namun kekurangannya adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya
carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.6
Dalam kajian tingkat molekuler dikemukakan bahwa bakteri S. typhi menjadi resisten
terhadap kloramfenikol akibat adanya plasmid yang memproduksi enzim chloramphenicol
acetyltransferase (CAT) yang menginaktivasi kloramfenikol. Penelitian yang dilakukan oleh
Nurtjahyani, 2007 membuktikan bahwa S. typhi yang resisten terhadap kloramfenikol jika
diambil plasmidnya, kemudian dimasukkan ke dalam kultur S. typhi yang sensitif
kloramfenikol, maka S. typhi yang sensitive ini akan berubah menjadi resisten terhadap
kloramfenikol. Terdapat juga bukti dimana plasmid IncHI mempunyai peran dalam resistensi
S. typhi terhadap kloramfenikol.

8.1.3 AB Cotrimoxazole
Merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sulfametoxazole dengan
perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5
mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian
antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.
8.1.4 AB Floroquinolon
Anggota lama kelompok senyawa antimikroba sintetik ini, terutama asam nalidiksat,
telah tersedia untuk pengobatan infeksi saluran urin selama bertahun-tahun. Signifikansi obat
relatif kecil karena penggunaan terapinya terbatas hanya pada antiseptik saluran kemih serta
cepatnya perkembangan resistensi bakteri. Berdasar dari hal tersebut diperkenalkan senyawa
baru yaitu 4-kuinolon terfluoresensi, seperti Siprofloksasin (CIPRO) dan ofloksasin
(FLOKSIN), menunjukan perkembangan terapeutik yang penting, karena aktivitas mikrobanya
lebih luas dan efektif pada pemberian secara oral untuk pengobatan berbagai jenis penyakit.
Efek samping juga relatif kecil dan resistensi mikroba tidak cepat berkembang.
Antibiotik golongan kuinolon bekerja menghambat kerja enim DNA girase pada kuman
dan bersifat bakterisidal. Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan
kelompok kuinolon terdahulu. Namun, pada golongan fluorokuinolon yang baru akan
menghambat topoisomerase II (DNA Girase) dan IV pada kuman. Enzim topoisomerase II
berfungsi menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoiling (pilinan
positif yang berlebihan) pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA dan topoisomerase
IV berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman
selesai.
Kuinolon yang lama aktif terhadap beberapa kuman gram-negatif, antara lain E.Coli,
Proteus, Klebsiella, dan Enterobacter. Kuinolon akan menghambat subunit A dari enzim DNA
girase kuman. Akibatnya replikasi DNA terhenti. Fluorokuinolon lama (siprofloksasin,
ofloksasin, norfloksasin, dll) mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat terhadap E.Coli,
Klebsiella, Proteus, H. influenza, Providencia, Serratia, Salmonella, N. meningitidis, N.
gonorrhoeae, B. catarrhalis, Yersinia enterocolitica, dan Enterobacter. Terhadap kuman Gram-
positif, daya antibakterinya kurang baik. Fluorokuinolon baru (moksifloksasin, levofloksasin)
mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman Gram-positif, Gram-negatif, serta
kuman atipik.
Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan golongan
kuinolon. Ofloksasin, levofloksasin, gatifloksasin, dan moksifloksasin adalah fluorokuinolon
yang diserap baik sekali pada pemberian oral. Penyerapan siprofloksasin dan mungkin juga
golongan fluorokuinolon lainnya terhambat bila diberikan bersama antasida. Fluorokuinolon
hanya sedikit terikat dengan protein. Golongan obat ini didistribusi dengan baik pada berbagai
organ tubuh. Dalam urin semua florokuinolon mencapai kadar yang melampaui Kadar Hambat
Minimal untuk kebanyakan kuman patogen selama minimal 12 jam. Kebanyakan
fluorokuinolon akan dimetabolisme di hati dan dieksresikan melalaui ginjal. Sebagian kecil
obat dikeluarkan melalui empedu.
Fluorokuinolon diindikasikan untuk pasien dengan keluhan infeksi saluran kemih,
infeksi saluran cerna, infeksi saluran nafas, penyakit menular seksual, infeksi tulang dan sendi,
infeksi kulit dan jaringan lunak. Pada infeksi saluran cerna, florokuinolon efektif untuk diare
yang disebabkan oleh Shigella, Salmonella, E. coli, dan Campylobacter. Siprofloksasin dan
ofloksasin mempunyai efektivitas yang baik terhadap demam tifoid.
Efek samping yang bisa timbul adalah rasa mual, muntah, rasa tidak enak diperut, sakit kepala,
pusing, hepatotoksis, perpanjangan interval QTc karena penutupan kanal kalium. Obat ini
dikontraindikasikan pada orang dengan DM. Golongan kuinolon hingga sekarang tidak
diindikasikan untuk anak (sampai usia 18 tahun) dan wanita hamil.
Golongan kuinolon dan florokuinolon berinteraksi dengan beberapa obat, misalnya
obat golongan antasida dan preparat besi yang dapat menimbulkan penurunan absorbsi
kuinolon dan florokuinolon hingga 50% atau lebih. Beberapa kuinolon juga dapat menghambat
metabolisme teofilin dalam darah sehingga dapat terjadi intoksikasi. Obat-obatan yang dapat
memperpanjang Qtc (obat antiaritmia kelas IA (kuinidin, prokainamid) dan golongan III
(amiodaron, sotalol), terfenadin, dan sisaprid).
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolasi Salmonella typhi
setempat.11 Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik
(kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2
kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol,
ampicillin, dan trimethoprim-sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap
antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan
petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten
terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan
demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.1 Fluoroquinolone
memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di
dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu
dibandingkan antibiotik lain.
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu
luoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah
levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin
terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin
diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg,
2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat
ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan
demam, hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan ciprofloxacin. Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan
FKUI mengenai efikasi dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa
komplikasi.Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek samping yang
minimal. Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di
antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di mana penurunan demam
pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari.

8.2 Non Farmakologi


Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling
membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus.
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi
biasa.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla
oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi
vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas
melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh
Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.
Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga
sebaliknya.

9. Kesimpulan
Pada demam tifoid enterik dewasa, fluorokuinolon lebih baik dibandingkan
kloramfenikol untuk mencegah kekambuhan. Hanya saja pemberian obat ini tidak dianjurkan
untuk anak. Hal ini disebabkan adanya pengaruh buruk terhadap pertumbuhan kartilago.
Kloramfenikol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid
namun kekurangan dari kloramfenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka
terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.
Penatalaksanaan Demam Tifoid 2010, merekomendasikan peng¬¬gunaan
levofloxacin, baik untuk kasus ringan maupun berat. Untuk kasus ringan diberikan
levofloxacin 500 mg/hari selama 7 hari. Sedangkan untuk kasus berat diberikan levofloxacin
500 mg secara intravena selama 3-5 hari dan secara oral selama 7 hari.
Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang
diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan
antipiretik. Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut
dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer A, Setiawati S, Syam F A, Laksmi W P. Naskah lengkap penyakit dalam.


Jakarta: FK UI, 2008.h.117,124-6
2. Sudoyo W A, Setiyohadi B, Idrus A, dkk.Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: InternaPublishing, 2009.h. 2797-800
3. Mulyana Y. Sensitivitas salmonella sp. penyebab demam tifoid terhadap beberapa
antibiotik di rumah sakit immanuel bandung. [cited 2015 Maret 10]. Available from:
URL: http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/mkb/article/viewFile/248/pdf_105
4. Susanti M, Isnaeni, Poedjiarti S. Validasi metode bioautografi untuk determinasi
kloramfenikol. Jurnal Kedokteran Indonesia 2009; 1(1): h. 15-24.
5. Protein Synthesis Inhibitors and Miscellaneous Antibacterial Agents. In: Brunton L,
Parker K, Blumenthal D, Buxton I. editors. Goodman & gilman’s manual of
pharmacology and therapeutics. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008.
p. 766-9.
6. Nelwan RHH. Pilihan Antimikroba dalam Tatalaksana Demam Tifoid. Dalam:
Mansjoer A, Setiati S, Syam AF, Laksmi PW. editor. Naskah lengkap pertemuan ilmiah
tahunan ilmu penyakit dalam 2008. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
2008. h. 118-23
7. Suswati I, Juniarti A. Sensitivitas salmonella typhi terhadap kloramfenikol dan
seftriakson di rsud dr. soetomo Surabaya dan di rsud dr. saiful anwar malang tahun
2008-2009. Jurnal Biomedika [serial online] Februari 2011 [cited 2015 Maret 10].
Available from: URL:
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/2499/Vol_3_No_1_F_S
ensitivitas%20Salmonella%20typhi%20terhadap%20Kloramfenikol%20dan%20Seftr
iakson.pdf?sequence=1
8. Phan M, Wain J. IncHI plasmids, a dynamic link between resistance and pathogenicity.
The Journal of Infection in Developing Countries. 2008 August; 2(04): 272-8
9. Setiabudy R. Golongan kuinolon dan florokuinolon. Dalam Farmakologi dan Terapi.
Edisi 5. Jakarta : Badan Penerbit FKUI ; 2012.h.718-22.
10. Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG (editor). Senyawa antimikroba : sulfonamida,
trimetropin-sulfametoksazol, kuinolon. Dalam Goodman & Gilman Dasar Farmakologi
Terapi Volume 2. Terjemahan dari Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis
of Therapeutics. Edisi 10. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2008.h.1154-62.

Anda mungkin juga menyukai