TYPOID FEVER
A. LATAR BELAKANG
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung
pada iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di Negara-negara sedang berkembang di
daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan
dan kebersihan indifidu yang kurang baik. Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai
secara epidemic, tetapi lebih sering bersifat seporadis, terpencar-pencar di suatu
daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah.
Demam tifoid dapat di temukan sepanjang tahun. Insiden tertinggi didapatkan pada
anak-anak dan tidak ada perbedaan yang nyata anatra insidensi demam tifoid pada
wanita dan pria.(1)
Tifoid Apdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran cerna dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada
saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Gejala kilnis pada anak biasanya lebih
ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10 sampai 20
hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodroma, yaitu perasaan tidak
enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Relaps dapat terjadi
pada minggu ke-2 setelah suhu badan normal kembali. Komlikasi pada usus halus
jarang terjadi,akan tetapi sering fatal, yaitu perdarahan usus, perforasi usus dan
peritonitis. Komlikasi diluar usus dapat terjadi oleh karena lokalisasi peradangan
akibat sepsis, terjadinya infeksi sekunder, masukan makanan yang kurang atau suhu
tubuh yang tinggi.(2)
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Mampu melaksankan asuhan keperawatan pada anak dengan Thypus
Abdominalis.
2. Tujuan khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajiaan pada asuhan keperawatan pada anak
dengan Thypus Abdominalis
b. Mampu melaksanakan perencanaan pada asuhan keperawatan pada anak
dengan Thypus Abdominalis
c. Mampu melaksanakan tindakan pda asuhan keperawatan pada anak dengan
Thypus Abdominalis
d. Mampu melaksanakan evaluasi pada asuhan keperawatan pada anak dengan
Typus Abdominalis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam Tifoid (Typhoid Fever) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang
saluran cerna dan ditandai dengan atau tanpa gangguan kesehatan. Diagnosis
ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Masa
tunas berkisar antara 10 sampai 20 hari.
B. Epidemiologi
Cara penyebran demam tifoid sangat berbeda di negara maju dengan negara
berkembang. Dimana dinegara maju insidensi sangat menurun sekali. Di negara yang
sedang berkembang Salmonella typhosa sering merupakan isolate salmonella yang
paling sering dengan insidens yang dapat mencapai 0,5% dan dengan angka
mortalitas yang tinggi.
Di Indonesia jarang terdapat dalam keadaan endemik. Penderita anak yang
ditemukan biasanya berumur di atas 1tahun. Sebagian besar dari penderita (80%)
yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Anak FKUI-RSCM Jakarta
berumur diatas 5 tahun. Insiden penyakit ini tidak berbeda antara anak laki-laki dan
anak perempuan.
C. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhosa, basil gram negatif, bergerak
dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam
antigen yaitu antigen O (somatik, terdiri dari zat komleks lipopolissakarida), antigen
H (flagela) dan antigen Vi. Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin)
terdapat ketiga antigen tersebut.
D. Patofisiologi
Infeksi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus. Melalui
pembuluh limfe usus halus masuk ke dalam peredaran darah sampai di organ-organ
terutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati
dan limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada
perabaan. Kemudian basil masuk kembali kedalam peredaran darah dan menyebar
keseluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak
berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak nyeri. Tukak tersebut dapat
mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh
kelainan pada usus.
F. Komlikasi
Dapat terjadi pada :
1. Usus halus
a. Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan
tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat
dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya
dapat ditemukan bila terdapat udara di ronggan peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafrkma pada foto roentgen
abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defence muskulair) dan nyeri pada tekanan.
2. Komlikasi di luar usus
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis,
kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Terjadi karean infeksi sekunder, yaitu
bronkopneumonia.
Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan
kimianya hampir sama, hanya komplikasi hematogen pada tiamfenikol lebih
jarang dilaporkan.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
Indikasi untuk pengobatan demam tifoid relaps / karier (sebab disekrasikan
lewat empedu dalam bentuk aktif).
Cotrimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak yang controversial.
Kelebihan contrimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang
resisten terhadap kloramfenikol. Penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan
timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahan obat ini adalah terjadinya skin rash (1-5%), Stevent Jhonson
Sindrom, Agranulositosis, Trombositopeni, Megaloblastik anemia. Hemolisis
eritrosit terutama pada penderita defesiensi G6PD.
Dosis oral obat ini adalah 30-40 mg/Kg/KgBB/hari untuk trimetroprim,
diberikan dalam 2 kali pemberiaan.
FOKUS INTERVENSI
1. Hipertermi b.d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus
Tujuan : Mendemontrasikan suhu dalam batas normal
Intervensi :
a. Monitoring KU dan Vital Sign (suhu klien)
R/ suhu 38 9 oC sampai 41 oC menunjukkan proses penyakit akut.
b. Monitoring suhu lingkungan, batasi atau tambahkan Linen tempat tidur
sesuai indikasi
R/ suhu ruang atau jumlah selimut harus dirubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
c. Berikan kompres hangat
R/ dapat membantu mengurangi demam.
d. Kolaborasi pemberiaan antipiretik
R/ untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
2. perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d. gangguan absorbsi nutrient.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Intervensi :
a. Dorong tirah baring
R/ menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori
dan simpanan energi.
b. Anjurkan istirahat sebelum makan
R/ menenagkan peristaltic dan meningkatkan energi untuk makan.
c. Berikan kebersihan oral
R/ mulut yang bersih dapat menigkatkan energi untuk makan.
d. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan
R/ lingkungan yang menyenangkan menurunkan stress dan lebih kondusif
untuk makan.
e. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat
R/ nutrisi yang adekuat akan menbantu proses penyembuhan.
f. Kolaborasi pemberiaan nutrisi, therapi IV sesuai indikasi
R/ program ini mengistirahatkan saluran Gastrointestinal sementara
memberikan nutrisi penting.
3. Resiko tinggi kurang volume cairan b.d. kehilangan-kehilangan sekunder terhadap
diare.
Tujuan : Mempertahankan volume cairan adekuat dengan kriteria : Membran
mukosa lembab, Turgor kulit baik, pengisian kapiler baik, tanda vital
stabi, keseimbangan masukan dan keluaran urine normal.
Intervasi :
a. Aurasi masukan dan keluaran perkiraan dan kehilangan cairan yang tidak
terlihat.
R/ memberikan informasi tentang keseimbangan cairan dan kontrol
penyakit usus juga merupakan pedoman untuk penggantian cairan.
b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, turgon kulit dan
pengisian kapiler.
c. Kaji tanda vital
R/ demam menunjukkan respon terhadap efek kehilangan cairan.
d. Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring.
R/ kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk penurunan cairan
usus.
e. Kolaborasi untuk pemberian cairan parenteral.
R/ mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggantian cairan
untuk mempertahankan kehilangan.
4. Intoleransi aktifitas b.d. peningkatan kebutuhan Metabolisme sekunder terhadap
infeksi akut.
Tujuan : Melaporkan kemampuan melakukan peningkatan toleransi aktivitas.
a. Intervensi :
Tingkatkan tirah baring dan berikan lingkungan tenang dan batasi
pengunjung.
R/ menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan.
b. Ubah posisi dengan sering. Berikan perawatan kulit yang baik.
R/ meningkatkan fungsi pernafasan dan meminimalkan tekanan pada area
tertentu untuk menurunkan resiko kerusakan jaringan.
c. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
R/ tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan karena keterbatasan
aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
d. Berikan aktivitas hiburan yang tepat seperti nonton TV, mendengarkan
radio dll.
R/ meningkatkan relaksasi dan menghemat energi.
RUJUKAN :
1. Carpenito LJ, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi VI EGC, Jakarta, 1997.
2. Doenges, ME, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III EGC, Jakarta, 2000.
3. Mansjoer, A, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV EGC, Jakarta, 2000.
4. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi XII EGC, Jakarta.
5. Staf Pengajar IKA, Ilmu Kedokteran Anak, Buku Kuliah II FKUI, Jakarta, 1995.