Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 10 MODUL 5
PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL

Disusun oleh : Kelompok 4

ERNAWATI (1810015008)

RASHIEKA ZAFIRAH (1810015026)

AULIA PAWESTRI (1810015039)

MUHAMMAD ANANTA BUANA B (1810015048)

NURUL AQIFAH CHAIDIR (1810015059)

REZHA AMELIA PRAMITA (1810015061)

AMALIYAH KURNIAWAN (1810015069)

AFIFAH ISNAINI (1810015077)

MERRY ANDANI (1810015080)

Tutor : dr. M. Buchori, Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas laporan yang
berjudul “Perdarahan Uterus Abnormal” ini tepat pada waktunya. Laporan ini kami
susun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK)
kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga terselesaikannya laporan ini, antara lain :
1. dr. Fransiska A. Sihotang, M.Res., sebagai dosen penanggung jawab pada
Blok 10 modul 5.
2. dr. M. Buchori, Sp. A selaku tutor kelompok 4 yang telah membimbing kami
dalam menyelesaikan tutorial dalam diskusi kelompok kecil (DKK)
3. Teman-teman kelompok 4 yang telah menyumbangkan pemikiran dan
tenaganya sehingga diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan
dengan baik, serta dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil
(DKK).
4. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
angkatan 2018 serta pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per
satu.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun laporan ini sangat
terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil tutorial diskusi
kelompok kecil (DKK) ini.

Samarinda, 5 Maret 2020

Kelompok 4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Setiap perempuan akan mengalami pubertas yang ditandai dengan
munculnya sebuah siklus fisiologis yang menandakan bahwa hormon-hormon
seks pada tubuh perempuan tersebut telah bekerja, tanda pubertas ini dikenal
dengan sebagai menstruasi. Siklus ini dimulai pada saat perempuan tersebut
berada pada rentang usia 10-14 tahun (dikenal sebagai haid pertama atau
menarche) dan akan berakhir pada saat menopause pada usia sekitar 40-50 tahun.
Siklus menstruasi pada setiap wanita bervariasi, mulai dari jumlah, lama, dan
interval tiap siklusnya. Secara normal banyaknya darah yang dikeluarkan pada
saat haid adalah 30-80 ml per siklus, dan lamanya 4-7 hari. Sedangkan untuk
interval normalnya berkisar antara 24-35 hari.
Perdarahan uterus abnormal adalah segala keadaan kelainan atau perubahan yang
terjadi dalam frekuensi, jumlah dan lama perdarahan. Perdarahan yang terjadi
dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah etiologi “PALM
COEIN”. Penanganan yang tepat dan tepat dari insidensi terjadinya Perdarahan
Uterus Abnormal sangat penting mengingat banyaknya perempuan yang tidak
jarang mengalami rasa frustasi akibat perdarahan yang dialami sehingga dapat
menyebabkan berbagai akibat seperti tidak nyaman untuk bekerja.

1.2 TUJUAN
Tujuan pembuatan laporan pada modul ini adalah agar laporan dapat
berguna dalam pembelajaran dan dapat menjadi referensi bagi pembaca,
sehingga pembaca dapat memahami mengenai Perdarahan Uterus Abnormal
(PUA)..
1.3 MANFAAT
Manfaat dari pembelajaran modul ini adalah agar mahasiswa dapat
mengetahui, memahami dan menjelaskan definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, prognosis dan
pencegahan dari Perdarahan Uterus Abnormal (PUA).
2.7.1 Definisi

PUA adalah istilah yang digunakan untuk mengganbarkan segala kelainan


menstruasi baik dari segi jumlah maupun lamanya menstruasi. Manifestasinya dapat
berupa perdarahan yang banyak atau sedikit dan menatruasi yang memanjnag atau
tidak beraturan.

2.7.2 Epidemiologi
PUA merupakan keluhan yang sering menyebabkan seorang perempuan
datang ke dokter dan menyebabkan perempuan tidak jarang memiliki rasa frustasi.
Data di beberapa negara industri memperlihatkan bahwa seperempat penduduk
perempuan dilaporkan pernah mengalami menoragia, 21% mengeluh siklus haid
memendek, 17% mengalami perdarahan antar haid dan 6% mengeluh perdarahan
pasca senggama. Selain menyebabkan gangguan kesehatan terbyata gangguan ini
juga dapat menyebabkan terhambatnya aktifitas sehari- hari sehingga dapat
berdampak pada bidang ekonomi.

2.7.3 ETIOLOGI
Berdasarkan Ilmu Kandungan, penyebab gangguan haid sangat banyak, dan
secara sistematis dibagi menjadi tiga kategori penyebab utama, yaitu:
a) Keadaan Patologi Panggul
Lesi Permukaan pada Traktus Genital
- Mioma uteri, adenomiosis
- Polip endometrium
- Hiperplasia endometrium
- Adenokarsinoma endometrium, sarkoma
- Infeksi pada serviks, endometrium, dan uterus
- Kanker serviks, polip
- Trauma
b) Lesi Dalam
- Adenomiosis difus, mioma uteri, hipertrofi miometrium
- Endometriosis
- Malformasi arteri vena pada uterus
c) Penyakit Medis Sistemik
- Gangguan hemostasi: penyakit von \flillebrand, gangguan faktor II, V, VII,
VIII, IX,XIII, trombositopenia, gangguan platelets.
- Penyakit tiroid, hepar, gagal ginjal, disfungsi kelenjar adrenal, SLE.
- Gangguan hipotalamus hipofisis : adenoma, prolaktinoma, stres, olahraga
beriebih.
d) Perdarahan Uterus Disfungsi
Selain ketiga faktor penyebab tersebut bila perdarahan uterus abnormal
terjadi pada perempuan usia reproduksi harus dipikirkan gangguan kehamiian
sebagai penyebab abortus, kehamilan ektopik, solusio plasenta perlu
dipikirkan karena juga memberikankeluhan perdarahan. Penyebab iatrogenik
seperti penggunaan pil kontrasepsi, alat kontrasepsidalam rahim, obat
antikoagulansia, antipsikotik, dan preparat hormon bisa juga menyebabkan
perdarahan sehingga harus dipikirkan pula saat evaluasi perdarahan
uterusabnormal.
Berdasarkan Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus Abnormal, terdapat 9
kategori utama peng-klasifikasian yang disusun berdasarkan “PALM-COEIN”
(diadopsi dari FIGO) :

i. Polip (PUA-P)
 Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan PUA.
 Lesi umumnya jinak, namun sebagian kecil atipik atau ganas.
 Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau histeroskopi,
dengan atau tanpa hasil histopatologi.

ii. Adenomiosis (PUA-A)


 Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan endometrium
pada hasil histopatologi.
 Adenomiosis dimasukkan dalam sistem klasifikasi berdasarkan pemeriksaan
MRI dan USG.
 Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup untuk
mendiagnosis adenomiosis.
 Hasil USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada miometrium
dan sebagian berhubungan dengan adanya hipertrofi miometrium.

iii. Leiomioma (PUA-L)


 Mioma uteri umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan penyebab
tunggal PUA.
 Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni hubungan
mioma uteri dengan endometrium dan serosa lokasi, ukuran, serta jumlah mioma
uteri.
 Berikut adalah klasifikasi mioma uteri :
 Primer : ada atau tidaknya satu atau lebih mioma uteri;
 Sekunder : membedakan mioma uteri yang melibatkan endometrium (mioma
uteri submukosum) dengan jenis mioma uteri lainnya;
 Tersier : klasifikasi untuk mioma uteri submukosum, intramural dan
subserosum.

iv. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)


 Meskipun jarang ditemukan, namun hiperplasia atipik dan keganasan merupakan
penyebab penting PUA.
 Klasifikasi keganasan dan hiperplasia menggunakan sistem klasifikasi FIGO dan
WHO.
v. Coagulopathy (PUA-C)
 Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik yang
terkait dengan PUA.
 Tiga belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan
hemostasis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit von
Willebrand.
vi. Ovulatory dysfunction (PUA-O)
 Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi
perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi.
 Dahulu termasuk dalam kriteria perdarahan uterus disfungsional (PUD).
 Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang, hingga
perdarahan haid banyak.
 Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik (SOPK),
hiperprolaktinemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan, anoreksia atau
olahraga berat yang berlebihan.
vii. Endometrial (PUA-E)
 Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid
teratur.
 Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostasis lokal
endometrium.
 Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti
endothelin-1 dan prostaglandin F2α serta peningkatan aktifitas fibrinolisis.
 Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan yang
berlanjut akibat gangguan hemostasis lokal endometrium.
 Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah menyingkirkan gangguan lain pada siklus
haid yang berovulasi.
Iatrogenik (PUA-I)
 Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis seperti
penggunaan estrogen, progestin, atau AKDR.
 Perdarahan haid di luar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen atau
progestin dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau breakthrough bleeding
(BTB).
 Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam sirkulasi
yang dapat disebabkan oleh sebagai berikut :
 Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi;
 Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin;
 Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti
koagulan (warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin) dimasukkan
ke dalam klasifikasi PUA-C.

viii. Not yet classified (PUA-N)


 Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit
dimasukkan dalam klasifikasi.
 Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis kronik atau
malformasi arteri-vena.
 Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian PUA.

2.7.4 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


A. Patofisiologi Pendarahan sela/breakthrough bleeding
1) Perdarahan Sela Progesteron
Pendarahan sela progesteron terjadi ketika rasio progesteron terhadap
estrogen tinggi. Pemberian progestin eksogen secara terus menerus dapat
mengakibatkan pendarahan intermiten dengan durasi yang bervariasi,
namun umumnya cukup ringan. Kondisi ini dapat dihindari jika tubuh
masih memiliki kadar estrogen yang cukup untuk mengimbangi progestin.
Contoh dari pendarahan sela progesteron adalah pendarahan yang terjadi
pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi progestin saja. Pada
perempuan yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi estrogen-
progestin dapat pula mengakibatkan terjadinya pendarahan sela
progesteron apabila komponen progestin menjadi lebih dominan
dibandingkan dengan komponen estrogennya. Gambaran histologi
pendarahan sela progesteron menggambarkan adanya “penekanan fase
sekresi” yang mengakibatkan terjadinya atropi pada jaringan
endometrium.
2) Pendarahan sela estrogen/estrogen breakthrough bleeding
Lapisan endometrium menerima signal dari estrogen dengan kadar
yang berfluktuasi. Estrogen akan memicu proliferasi endometrium
sehingga mencapai ketebalan yang tidak normal dan sangat rapuh.
Pertumbuhan endometrium yang tidak normal ini mencakup epitel, stroma
dan mikrovaskuler. Pertumbuhan lapisan endometrium yang hanya dipicu
oleh hormon estrogen saja tanpa adanya efek progesteron, akan memicu
pertumbuhan endometrium dengan kehilangan struktur yang berfungsi
untuk menunjang stroma untuk mempertahankan stabilitas lapisan
endometrium. Kapiler vena pada kondisi proliferasi endometrium yang
persisten dan hiperplasia endometrium, akan meningkat, berdilatasi dan
seringkali terbentuk saluran ireguler yang tidak normal dan rapuh
sehingga mudah menyebabkan terjadinya pendarahan. Beberapa penelitian
sebelumnya ternyata memperlihatkan, pendarahan selaestrogen yang
terjadi ternyata tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya
densitaspembuluh darah yang tidak normal, rapuh, rentan robekan. Tapi
juga disebabkan oleh karena adanya pelepasan enzym proteolitik lisosom
dari sekitar sel epitel dan sel stroma, dan juga adanya migrasi sel-sel
leukosit dan makrofag. Sel-sel imun tersebut selanjutnya memicu
pelepasan prostaglandin, terutama PGE2 (vasodilatasi), yang lebih
dominan dibandingkan dengan PGF2_ (vasokontriksi). Pendarahan yang
terjadi pada pendarahan sela estrogen adalah pola pendarahan yang
berbeda pada perempuan dengan anovulasi kronik. Jumlah dan durasi
pendarahan sela estrogen dapat bervariasi, tergantung pada jumlah dan
lamanya stimulasi estrogen tidak terlawan (unopposed estrogen) terhadap
lapisan endometrium. Paparan estrogenkronis dosis rendah biasanya
menyebabkan bercak/spotting intermiten yang umumnyaringan, namun
berlangsung lama. Sebaliknya, stimulasi estrogen dosis tinggi
dalamjangka waktu yang lama, menyebabkan amenore yang lama yang
diselingi episode pendarahan akut yang lamanya bervariasi.

B. Patofisiologi pendarahan lucut /withdrawal bleeding


Pendarahan menstruasi normal pada akhir dari siklus yang berovulasi terjadi
akibat turunnya kadar hormon estrogen dan progesteron karena korpus luteum yang
mengalami degenerasi (estrogen-progesteron withdrawal). Mekanisme yang sama
dapat terjadi ketika korpus luteum diangkat pada tindakan bedah atau ketika terdapat
gangguan pada hormon gonadotropin di fase luteal. Kejadian pendarahan yang
mengikuti penghentian pemberian estrogen dan progestin pada terapi hormone
pascamenopause yang diberikan secara siklik dan pendarahan yang terjadi pada akhir
siklus PKK dapat pula dikategorikan sebagai pendarahan lucut.
1). Pendarahan lucut estrogen
Pendarahan yang disebabkan karena turunnya kadar hormon estrogen
(estrogen withdrawal), sebelum terjadi ovulasi (fase folikular). Salah satu
contoh klinis adalah pendarahan yang terjadi pasca tindakan ooforektomi
bilateral pada fase folikular. Pendarahan yang terjadi setelah pengangkatan
indung telur dapat diperlambat dengan pemberian estrogen eksogen. Akan
tetapi pendarahan akan tetap terjadi jika terapi estrogen dihentikan.

2). Pendarahan lucut progesteron.


Pendarahan lucut progesteron adalah pendarahan yang disebabkan
penurunan kadar hormon progesteron. Dapat terjadi pada saat pemberian
progestogen dihentikan. Pendarahan lucut progesteron umumnya hanya
terjadi jika lapisan endometrium sebelumnya terpapar dengan hormon
estrogen baik yang berasal dari endogen atau eksogen terlebih dahulu.
Jumlah dan lamanya pendarahan dapat sangat bervariasi dan umumnya
berhubungan dengan kadar dan lamanya stimulasi estrogen pada
proliferasi endometrium.
C. Pendarahan pada Penggunaan Kontrasepsi Non-Hormonal
Berdasarkan penelitian dan bukti yang ada, alat kontrasepsi non-hormonal
yang berpotensi dapat menyebabkan PUA adalah metode kontrasepsi sterilisasi dan
alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).
D. Pendarahan pada Penggunaan Kontrasepsi Hormonal
1) Mekanisme terjadinya PUA pada penggunaan jenis kontrasepsi hormonal
kombinasi
Penggunaan PKK umumnya jarang menjadi masalah yang memicu
penghentian penggunaan kontrasepsi, karena >90% pengguna PKK tidak
mengalami gangguan pola pendarahan. Sebagian besar penyebab gangguan
pendarahan pada pengguna PKK adalah disebabkan oleh karena rendahnya
konsentrasi estrogen dalam sirkulasi yang dapat disebabkan akibat pasien
tidak meminum satu atau beberapa pil atau akibat interaksi dengan obat-
obatan tertentu (contohnya rifampisin), dan malabsorpsi (muntah dalam 2 jam
setelah minum pil atau diare berat). 43,44. Kejadian pendarahan irreguler
mencapai 20% dari seluruh pengguna kontrasepsi hormonal kombinasi. 20
Penggunaan PKK estrogen dosis rendah dapat memicu terjadinya pendarahan
abnormal, karena estrogen dosis rendah tidak dapat mempertahankan
integritas endometrium, sementara progestin akan menyebabkan endometrium
mengalami atropi. Kedua kondisi ini selanjutnya dapat menyebabkan
pendarahan bercak. Pada penggunaan kontrasepsi kombinasi, pendarahan
yang terjadi bervariasi tergantung jenis, dosis dan lamanya pemakaian pil
progestin, rasio dosis estrogen dan progestin, kadar estrogen (E2) dan
progesterone endogen dan respon endometrium terhadap pemberian
kontrasepsi hormonal yang sangat bersifat individual. Gambaran histologi
yang berkaitan dengan pendarahan sela pada penggunaan PKK dihubungkan
dengan adanya angiogenesis endometrium yang abnormal. Perubahan
struktural dan kerapuhan pembuluh darah yang mengkibatkan terjadinya
kerusakan dan pendarahan, yang terlihat terutama pada awal (bulan)
penggunaan kontrasepsi kombinasi dosis rendah atau yang mengandung
progestin saja.

2) Mekanisme terjadinya PUA pada penggunaan jenis kontrasepsi hormonal


progestin-only
Pendarahan sela pada pengguna kontrasepsi progestin-only disebabkan
oleh paparan endometrium terhadap progestogen dengan dosis yang relatif
konstan dan berlangsung secara terus menerus. Pendarahan sela berkaitan
dengan serangkaian gangguan molekuler yang menyebabkan kerusakan
pembuluh darah akibat gangguan angiogenesis, meningkatnya fragilitas
pembuluh darah, hilangnya integritas endotel, epitel dan stroma struktur
penunjang. Penyebab pasti kerapuhan pembuluh darah belum sepenuhnya
dimengerti. Aktivitas matriks metalloproteinase (MMP) endometrium pada
pengguna kontrasepsi progestogen meningkat, terutama MMP-9 dan aktivitas
Tissue Inhibitory Metalo Proteinase (TIMP) yang menurun. Hal ini
menyebabkan lemahnya jaringan penunjang disekitar pembuluh darah, dan di
bawah epitel, sehingga endometrium menjadi rapuh, dan terjadi kerusakan
pada pembuluh darah, yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya
pendarahan pada pengguna kontrasepsi progestin.

2.7.5 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis yang terdapat pada wanita dengan PUA umumnya


diklasifikasikan berdasarkan banyaknya jumlah pendarahan, lamanya siklus, dan
keluhan lain seperti nyeri saat haid atau dismenorea.

A. Gangguan lama dan jumlah darah haid.


1. Hipermenorea :
Terjadi perdarahan dalam jangka waktu yang lebih panjang dari
normal, dan volume darah yang keluar lebih banyak dari normal,
biasaya perdarahannya akan berlangsung lebih dari 7 hari dan volume
darah yang keluar lebih dari 80 ml setiap siklus, dan juga dapat dilihat
dengan berapa kali seorang wanita mengganti pembalut apa bila
mengganti pembalut sebanyak 8 kali atau lebih dalam sehari maka itu
dikatakan hipermenorea.
2. Hipomenorea :
Terjadi perdarahan dalam jangaka waktu yang lebih pendek dari
normal dan volume darah yang keluar lebih sedikit dari normal.
B. Gangguan pada siklus haid.
1. Polimenorea: Interval antar siklus menstruasi memendek, kurang dari
21 hari.
2. Oligomenore: Interval antar menstruasi memanjang, lebih dari 35 hari.
3. Ammenorea: Siklus haid yang memanjang lebih dari panjang siklus
oligomenore, dan tidak terjadi perdarahan haid dalam jangka waktu
tertentu (3 bulan).
C. Gangguan pendarahan diluar siklus haid.
Menometroragia: Terjadi perdarahan bercak-bercak diantara siklus
menstruasi.
D. Gangguan lain yang berhubungan dengan haid
Dismenorea: Nyeri saat haid, biasanya dengan rasa kram dan terpusat di
abdomen bawah, rasa kram dapat bervariasi mulai dari ringan hingga berat.

2.7.6 DIAGNOSIS

A. Anamnesis
Tujuan dilakukannya anamnesis adalah untuk menilai kemungkinan adanya
kelainan uterus, penambahan dan penurunan berat badan drastis, serta riwayat
kelainan hemostasis pada pasien dan keluarganya. Selain itu, perlu ditanyakan
siklus haid sebelumnya serta waktu mulai terjadinya perdarahan uterus abnormal.
Pada perempuan yang menggunakan pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat
kepatuhannya dan obat-obat lain yang diperkirakan mengganggu koagulasi. Perlu
ditanyakan hal-hal yang berkaitan dengan penyebab perdarahan dan bagaimana
jenis perdarahannya sehingga diagnosis dapat ditegakkan. Beberapa pertanyaan
yang dapat diajukan meliputi :
- Bagaimana mulainya perdarahan?
- Apakah didahului dengan siklus yang memanjang?
- Apakah terdapat oligomenorea/amenorea?
- Bagaimana sifat perdarahannya, apakah banyak atau sedikit?
- Berapa lama perdarahannya?
- Ada tidaknya keluhan terlambat haid, mual, nyeri, dan mulas?
- Apakah ada sebab iatrogenik?
- Apakah ada kehamilan atau tidak?

A. Pemeriksaan Fisik Umum


Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas
keadaan hemodinamik. Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis
servikalis dan tidak berhubungan dengan kehamilan. Selain itu juga dilakukan
pemeriksaan indeks massa tubuh, tanda-tanda hiperandrogen, pembesaran
kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid/hipertiroid, galaktorea
(hiperprolaktinemia), gangguan lapang pandang (adeno hipofisis).

B. Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk
pemeriksaan pap smear. Selain itu juga harus disingkirkan kemungkinan
adanya mioma uteri, polip, hiperplasia endometrium atau keganasan.

C. Pemeriksaan laboratorium
Perkiraan kehilangan darah selama menstruasi, perkiraan dari pasien sendiri
terhadap perkiraan darah yang hilang.
D. Penilaian Ovulasi
Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron
serum fase luteal madya atau USG transvaginal bila diperlukan.

E. Penilaian Endometrium
Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien
PUA. Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada :
- perempuan umur >45 tahun.
- terdapat faktor risiko genetic.
- USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks yang
merupakan faktor risiko hiperplasia atipik, atau kanker endometrium.
- Terdapat faktor risiko diabetes melitus, hipertensi, obesitas, nulipara.
Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan uterus
abnormal yang menetap (tidak respons terhadap pengobatan). Beberapa teknik
pengambilan sampel endometrium seperti Dilatasi dan Kuretase dan biopsi
endometrium dapat dilakukan.

F. Penilaian Kavum Uteri


Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau
mioma uteri submukosum. Bila dicurigai terdapat polip endometrium atau
mioma uteri submukosum disarankan untuk melakukan histeroskopi.
Keuntungan dalam penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat
dilakukan bersamaan.

G. Penilaian Miometrium
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis.
Miometrium dinilai menggunakan USG (transvaginal, transrektal, dan
abdominal), histeroskopi, MRI.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam penegakan diagnosis
perdarahan uterus abnormal seperti :
-USG: Meliputi USG transabdominal, USG transvaginal, maupun USG
transrektal.
-PAP SMEAR untuk menyingkirkan diagnosis keganasan
- Biopsi endometrium untuk deteksi endometrium abnormal
-Histeroskopi
-Pemeriksaan Laboratorium
Seperti pemeriksaan darah lengkap untuk menyingkirkan diagnosis adanya
gangguan pembekuan darah. Selain itu juga, pemeriksaan kadar Hb, tes
kehamilan urin, kadar tiroid (TSH, FT4), dan prolaktin.

2.7.7 TATA LAKSANA

1. Penanganan Pertama

Penanganan pertama ditentukan pada kondisi hemodinamik. Biia keadaan


hemodinamik tidak stabil segera masuk rumah sakit untuk perawatan perbaikan
keadaan umum. Bila keadaan hemodinamik stabil, segera dilakukan penanganan
untuk menghentikan perdarahan seperti tertera di bawah ini.

a. Perdarahan Akut dan Banyak

Perdarahan akut dan banyak sering terjadi pada 3 kondisi yaitu pada
remaja dengan gangguan koagulopati, dewasa dengan mioma uteri, dan pada
pemakaian obat antikoagulansia. Ditangani dengan 2 cara, yaitu dilatasi kuret dan
medikamentosa. Secara lengkap kedua cara tersebut dijelaskan Seperti di bawah
ini: .

- Dilatasi dan kuretase Tidak mutlak dilakukan, hanya bila ada kecurigaan
keganasan dan kegagaian dengan terapi medikamentosa. Perdarahan utenrs
abnormal dengan risiko keganasan yaitu bila usia > 35 tahun, obesitas, dan
siklus anor.rrlasi kronis.
- Penanganan medikamentosa Terdapat beberapa macam obat hormon yang
dapat dipakai untuk terapi perdarahan uterus abnormal.

Pilihan obat tertera seperti di bawah ini.

> Kombinasi estrogen progestin,Perdarahan akut dan banyak biasanya akan


membaik bila diobati dengan kombinasi estrogen dan progesteron dalam
bentuk pil kontrasepsi. Dosis dimulai dengan 2 x 1 tablet selama 5 - 7 hari dan
setelah terjadi perdarahan lucut dilanjutkan 1 x 1 tablet selama 3 - 5 siklus.
Dapat pula diberikan dengan dosis tapering 4 x 1 tablet selama 4 hari,
diturunkan dosis menjadi 3 x 1 tablet selama 3 hari, 2 x I lablet selama 2 hari,
1 x 1 tablet selama 3 minggu kemudian berhenti tanpa obat selama 1 minggu,
dilanjutkan pil kombinasi 1 x 1 tablet selama 3 siklus. Pemakaian pil
kontrasepsi kombinasi akan mengurangi jumlah darah haid sampai 60'/" dan
patofisiologi terjadinya kondisi anowlasi akan terkoreksi sehingga perdarahan
akut dan lanyak akan disembuhkan.

> Estrogen, Terapi esrrogen dapat diberikan dalam 2 bentuk, intra vena atau
oral, tetapi sediaan inrra vena sulit didapatkan di Indonesia. Pemberian
estrogen oral dosis tinggi cukup efektif untuk mengatasi perdarahan uterus
abnormal, yaitu estrogen konjugasi dengan dosis 1,25 mg atau l7 beta
estradiol 2 mg setiap 6 jam selama 24 jam. Setelah perdarahan berhenti
dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi. Rasa mual bisa
ter'1adi pada pemberian terapi estrogen.

> Progestin, Progestin diberikan selama 14 hari kemudian berhenti tanpa obat
selama 14 hari, diulang selama 3 bulan. Biasanya progestin diberikan bila ada
kontraindikasi terhadap estrogen. Saat ini tersedia beberapa sediaan progesrin
oral yang bisa digunakan yaitu Medroksi progesteron aserat (MPA) dengan
dosis 2 x 10 mg, Noretisteron asetat dosis 2 x 5 mg, Didrogesteron dosis 2 x
10 mg dan Normegestrol asetat dosis 2 x 5 mg. Dalam pemilihan jenis
progestin harus diperhatikan dosis yang kuat untuk menghentikan perdarahan
uterus abnormal. Progestin merupakan anti estrogen yang akan menstimulasi
aktivitas enzim 1.7 beta hidroksisteroid dehidrogenase dan sulfotranferase
sehingga mengonversi estradiol menjadi estron. Pro gestin akan mence g ah
terjadiny a endometrium hiperplasia.

b. Perdarahan lreguler

Perdarahan ireguler dapat dalam bentuk metroragia, menometroragia,


oligomenorea, perdarahan memanjang yang sudah terjadi dalam hitungan minggu
atau bulan dan berbagai bentuk pola perdarahan lainnya. Bentuk pola perdarahan
di atas digabungkan karena mempunyai penanganan yang relatlf sama.
Perdarahan ireguler melibatkan banyak macam pola perdarahan dan tentunya
mempunyai berbagai macam penyebab. Metroragia, menometroragia,
oligomenorea, perdarahan memanjang, dan lain sebagainya merupakan bentuk
pola perdarahan yang bisa terjadi. Sebelum memulai dengan terapi hormon
sebaiknya penyebab sistemik dievaluasi lebih dulu, seperti yang dilakukan di
bawah ini:

-Periksa TSH: evaluasi penyakit hipotiroid dan hipertiroid sebaiknya


dilakukan sejak awal. .

-Periksa prolaktin: bila ada oligomenorea atau hipomenorea

-Lakukan PAP smear: bila didapatkan perdarahan pascasanggama

-Bila curiga atau terdapat risiko keganasan endometrium: Iakukan biopsi


endometrium dan pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan dengan USG
transvagina. Bila terdapat keterbatasan untuk melakukan evaluasi seperti
tersebut di atas dapat segera melakukan pengobatan seperti di bawah ini,
yaitu:

> Kombinasi estrogen progestin Berikan pil kontrasepsi kombinasi dosis 1 x


1 tablet sehari, diberikan secara siklik selama 3 bulan.

> Progestin Bila terdapat kontraindikasi pemakaian pil kontrasepsi


kombinasi, dapat diberi progestin misalnya: MPA 10 mg 1 x I tablet per hari.
Pengobatan dilakukan selama 14hari dan dihentikan selama 14hari.
Pengobatan progestin diulang selama 3 bulan.

Bila pengobatan medikamentosa gagal sebaiknya dipertimbangkan untuk


dirujuk ke tempat pengobatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Pemeriksaan
USG transvagina atau infus salin sonohisterografi dilakukan untuk mendeteksi
mioma uteri dan polip endometrium. Kegagalan terapi medikamentosa bisa
menjadi pertimbangan untuk melakukan tindakan bedah, misalnya ablasi
endometrium, reseksi histeroskopi, dan histerektomi

c. Menoragia
Menoragia adalah perdarahan lebih dari 80 ml atau ganti pembalut lebih dari 6
kali per hari, dengan siklus yang normal teratur. Perhitungan jumlah darah
seringkali tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang keluar. Menoragia
dapat ditangani tanpa biopsi endometrium. Karena siklusnya yang masih
teratur jarang merupakan tanda kondisi keganasan. Walaupun demikian, bila
perdarahan lebih dari 7 hari atau terapi dengan obat gagal, pemeriksaan lanjut
menggunakan USG transvagina dan biopsi endometrium sangat dianjurkan.
Pemeriksaan faal pembekuan darah sebaiknya dilakukan. Pengobatan
medikamentosa untuk menoragia dapat dilakukan seperti di bawah ini,
yaitu:
- Kombinasi estrogen progestin Tata cara pengobatan sesuai pada pengobatan
perdarahan ireguler
- Progestin Diberikan bila terdapat kontraindikasi pemakaian estrogen. Tata
cara pengobatan sesuai dengan pengobatan perdarahan ireguler.
- NSAID (Obat anti inflamasi nonsteroid)
- AIat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) berisi Levonorgestrel AKDR
Levonorges.trel terbukti efektif dan efisien dibandingkan operasi histerektomi
pada kasus menoragia.

2. Penanganan dengan Medikamentosa Nonhormon


Penanganan medikamentosa diberikan bila tidak ditemukan keadaan
patologi pada panggul. Tujuan medikamentosa tersebut adalah mengurangi
jumlah darahyang keluar, menurunkan risiko anemia, dan meningkatkan
kualitas hidup. Medikamentosa nonhormon yang dapat digunakan untuk
perdarahan uterus abnormal adalah sebagai berikut :
a. Obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID)
Asam mefenamat diberikan dengan dosis 250 - 500 mg 2 - 4 kali sehari.
Ibuprofen diberikan dengan dosis 600 - 1.200 mg per hari. NSAID dapat
memperbaiki hemostasis endometrium dan mampu menurunkan jumlah darah
haid 20 - 5O%. Efek samping secara umum adalah dapat menimbulkan
keluhan gastrointestinal dan merupakan kontraindikasi pada perempuan
dengan ulkus peptikum
b. Antifibrinolisis

Endometrium memiliki sistem fibrinolitik. Pada perempuan dengan


keluhan menoragia ditemukan kadar aktivator plasminogen pada endometrium
yang lebih tinggi dari normal. Penghambat aktivator plasminogen atau obat
antifibrinolisis dapat digunakan untuk pengobaran menoragia. Asam
traneksamat bekerja menghambat plasminogen secara reversibel dan bila
diberikan saat haid mampu menurunkan jumlah perdarahan 40 - 5O%. Efek
samping asam traneksamat adalah keluhan gastro intestinal dan tromboemboli
yang ternyata kejadiannya tidak berbeda bermakna dibandingkan kejadian
pada populasi normal.

3. Penanganan dengan Terapi Bedah

Faktor utama yang mempengaruhi pilihan penanganan perdarahan uterus


abnormal adalah apakah penderita telah menggunakan pengobatan
medikamentosa pilihan pertarr.a dengan sedikit kesembuhan atau tidak ada
perbaikan keluhan sama sekali. Jika keadaan ini terjadi, penderita akan
menolak untuk kembali ke pengobatan medikamenrosa, sehingga terapi bedah
menjadi pilihan. Histerektomi-merupakan prosedur bedah utama yang
dilakukan pada kegagalan terapi medikamentosa. Angka keberhasilan
rcrhadap perdarahan mencapai 100%. Angka kepuasan cukup tinggi mencapai
95% setelah 3 tahun pascaoperasi. Walaupun demikian, komplikasi tetap bisa
terjadi berupa perdarahan infeksi, dan masalah penyembuhan luka operasi.
Saat ini telah dikembangkan prosedur bedah invasif minimal dengan cara
ablasi untuk mengurangi ketebalan endometrium. Cara ini diduga lebih mudah
dilakukan, dan sedikit komplikasi. Namun, tentunya masih perlu bukti dengan
dilakukan evaluasi lebih lanjut. Beberapa prosedur bedah yang saat ini
digunakan pada penanganan perdarahan uterus abnormal adalah ablasi
endometrium, reseksi transerviks, histeroskopi operatil miomektomi,
histerektomi, dan oklusi atau emboli arteri uterina.
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Perdarahan Uterus Abnormal (PUA) merupakan gambaran dari semua
kelainan pda haid/ menstruasi dalam hal jumlah maupun lamanya dengan manifestasi
klinik dapat berupa perdarahan dengan jumlah yang banyak atau sedikit dan haid
yang memanjang atau tidak beraturan. PUA dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah
satunya adalah etiologi “PALM-COEIN” yang terdiri dari Polip, Adenomiosis,
Leiomyoma Uteri, Malignancy and Hyperplasia, Coagulopathy, Ovulatory
Disfunction, Endometrial, Iatrogenik dan Not Yet Classified. Penanganan dan
kesadaran yang cepat akan tanda- tanda PUA dapat membantu prognosis PUA
menjadi lebih baik. Untuk menghindari PUA dapat dilakukanpencegahan misalnya
dengan edukasi untuk menjaga kebersihan dari organ genitalia pada wanita dan
edukasi mengenai alat kontrasepsi yang akan digunakan jika ingin menggunakan alat
kontrasepsi.

3.2. SARAN
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok, dari segi penulisan dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang kiranya dapat membangun, dari dosen-dosen yang telah
menyampaikan materi pembelajaran baik sebagai tutor maupun dosen-dosen yang
telah memberikan materi kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2018 dan dari berbagai
pihak lainnya demi kesempurnaan laporan kami kedepannya. Kami berharap semoga
laporan ini dapat berguna tidak hanya bagi para pembaca tetapi juga tentunya dapat
berguna kedepannya untuk kami sebagai penulis.
DAFTAR PUSTAKA

HIFERI-POGI. (2011). Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus Abnormal karena

Efek Samping Kontrasepsil. Jakarta.

Prawirohardjo, S., & Wiknjosastro, H. (2014). Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai