Disusun Oleh :
NIM : 021.06.0033
Kelas :A
Kelompok : 2
FAKULTAS KEDOKTERAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmatNya kami dapat melaksanakan dan menyusun laporan LBM 3 ini tepat pada
waktunya.
Laporan ini disusun untuk memenuhi prasyaratan sebagai syarat nilai SGD (Small
Group Discussion). Dalam penyusunan laporan ini, kami mendapat banyak bantuan,
masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan
ini kami menyampaikan terima kasih kepada :
1. dr. Halia Wanadiatri, M.Si. selaku tutor dan fasilitator SGD (Small Group
Discussion) kelompok 2
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, kami berharap semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
Skenario ................................................................................................................................... 1
Deskripsi Masalah ................................................................................................................... 1
BAB II .......................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 2
PENUTUP .................................................................................................................................. 14
Kesimpulan ............................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
“BENJOLAN DI LEHER”
Skenario
Nn. PA, perempuan usia 20 tahun, datang dengan keluhan utama wajah
kemerahan di sekitar pipi sejak 2 bulan yang lalu disertai dengan rambut rontok,
demam naik turun, nyeri pada sendi-sendi telapak tangan dan kaki dan sariawan.
Deskripsi Masalah
Pada skenario diatas dijelaskan terdapat perempuan beruasia 20 tahun
mengeluhkan wajah kemerahan disekitar pipi sejak dua bulan yang lalu. Bercak
kemerahan yang timbul ini bisa saja disebabkan adanya alergi namun bisa juga
merupakan gejala khas pada lupus disebut malar Butterfly rash, yaitu bercak
kemerahan yang melintas diatas hidung dan menyebar ke kedua pipi yang
gambarannya menyerupai kupu-kupu. Gejala tersebut merupakan menifestasi klinik
dari SLE (Systemic Lupus Eritematosus) yang merupakan penyakit autoimun yang
menyerang organ Lainnya. Lupus banyak dijumpai pada wanita, terutama wanita usia
reproduktif Dibanding laki-laki, dan umur terbanyak adalah pada 15-45 tahun. Pasien
juga Mengeluhkan rambur rontok, demam naik turun, nyeri pada sendi yang
Merupakan manifestasi klinik di sendi yaitu atritis dan disertai ulkus pada Mulut atau
sariawan. Keluhan penyerta yang dialami oleh nona PA merupakan Tanda dan gejala
umum yang dialami oleh penderita SLE. Untuk membantu Penegakan diagnosis
diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium dan pemeriksaan imunologi.
Melihat tanda dan gejala yang dialami Nn. PA, bisa dicurigai bahwa Nn. PA
mengalami penyakit LSE (Systemic Lupus Eritematosus) yang merupakan penyakit
autoimun yang menyerang organ Lainnya. Maka pada laporan kali ini akan dibahas
mengenai gangguan sistem imun secara umum serta SLE secara khusus dari
definisinya, klasifikasi, penyebab, tanda dan gejala, patofisiologi, pemeriksaan yang
perlu dilakukan, tatalaksana yang perlu dijalankan pada penderita SLE serta
komplikasi yang dapat terjadi.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan LBM
A. Definisi Gangguan Sistem Imunitas
Gangguan imunitas berkisar dari penyakit yang disebabkan oleh aktivitas imun
yang terlalu rendah hingga yang terlalu tinggi. Aktivitas imun yang terlalu rendah
disebabkan oleh keadaan imunodefisiensi akan mengakibatkan tubuh manusia mudah
terserang oleh infeksi dan beberapa jenis tumor. Aktivitas imun yang terlalu tinggi
dapat membuat imun yang seharusnya menyerang patogen, namun karena imun
hiperaktif membuat sel sendiri yang terserang atau dapat disebut autoimun. Penyakit
yang disebabkan karena imunodefisiensi dibedakan menjadi dua yaitu primer yang
terdiri dari Penyakit Bruton (Agammaglobulinemia X-linked) dan Severe combined
immunodeficiency (SCID), serta sekunder yang terdiri dari AIDS, kanker pada sistem
kekebalan tubuh dan virus hepatitis. Sedangkan penyakit yang disebabkan karena
autoimun seperti lupus eritematosus sistemik dan artritis reumatoid (Kumar, et al.,
2019).
B. Differential Diagnosis
1. Lupus eritematosus sistemik/systemic lupus erythematosus (SLE)
Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun
kronis dengan manifestasi klinis yang tidak sempit serta perjalanan penyakit dan
prognosis yang beragam. Istilah ‘lupus’ (bahasa Latin untuk wolf) pertama kali
digunakan untuk mendeskripsikan lesi kulit erosif (‘wolf’s bite). Moriz Kaposi adalah
orang yang pertama kali memperkenalkan lupus sebagai penyakit sistemik dengan
berbagai macam manifestasi klinis. Penyakit SLE ditandai dengan self-tolerance yang
hilang akibat fungsi imunologik yang abnormal dan produksi autoantibodi berlebih,
diikuti dengan terbentuknya kompleks imun yang akan berdampak pada jaringan
sehat.
2
Penyakit ini menyebabkan sinovitis proliferatif non supuratif yang seringkali
berkembang merusak tulang rawan sendi dan tulang di bawahnya dengan
menghasilkan artritis. Apabila berkembang dan melibatkan jaringan ekstra articular
seperti kulit, jantung, pembuluh darah, otot dan paru, artiritis reumatoid bisa
menyerupai lupus atau skleroderma. Artritis reumatoid relatif sering terjadi dengan
prevalensi kira-kira 1% dan tiga sampai lima kali lebih sering pada wanita dari pria
(Kumar, et al., 2019).
Artritis reumatoid ciri khasnya memperlihatkan sebagai artritis yang simetris,
pada dasarnya mengenai sendi kecil dari tangan dan kaki, pergelangan kaki, lutut,
pergelangan tangan, siku dan bahu. Paling sering, interfalangeal dan sendi
metakarpofalangeal yang terkena, tetapi sedikit pada sendi interfalangeal distal. Pada
pemeriksaan histologis, sendi yang terkena memperlihatkan sinovitis papiler yang
kronik, ciri khasnya:
1. Hiperplasia dan proliferasi sel synovial
2. Infiltrat sel radang perivaskular yang padat (seringkali membentuk folikel
limfoid) di sinovium yang terdiri atas sel t cd4+, sel plasma, dan makrofag
3. Vaskularisasi bertambah karena angiogenesis
4. Neutrofil dan kumpulan fibrin di permukaan sinovial dan di rongga sendi;
dan
5. Peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang di bawahnya yang penetrasi
ke sinovial dan erosi tulang periartikular. (kumar, et al., 2019)
C. Epidimiologi
SLE sering dijumpai pada wanita khususnya usia produktif, dengan umur antara
13-40 tahun. Pada lanjut usia jarang dijumpai dan umumnya manifestasinya ringan.
Rasio perbandingan jumlah wanita dan pria adalah 9:1, diduga ada keterkaitan dengan
faktor hormonal yaitu hormon ekstrogen (Tjokroprawiro, 2015).
Angka kejadian diperkirakan di antara 15 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk.
Diperkirakan prevalensi di kulit putih 5.8/100.000 penduduk, di Inggris 12,5/100.000,
Asia 17/100.000 penduduk, aborigin 11/100.000. Sedangkan pada daerah etnis Asian
sendiri frekuensi etnis: China, Jepang dan Filipina lebih tinggi dibanding India dan
Pakistan (Tjokroprawiro, 2015).
3
Mortalitas penderita SLE lima kali lebih tinggi dibanding populasi normal.
Penyebab kematian pada fase awal diakibatkan aktivitas penyakit yang tidak
terkendali. Menurut data dari RSUD Dr. Soetomo, dari 153 penderita SLE yang di
rawat inap didapatkan 30% menunjukkan aktivitas penyakit yang berat dengan
mayoritas manifestasi klinik lupus nefritis, hematologi serta lupus cerebral dengan
angka mortalitasnya mencapai 22,9%. Mortalitas SLE berbentuk bimodal pattern,
pada awal penyakit kematiannya disebabkan aktivitas penyakit yang berat atau
infeksi, sedangkan penyebab pada fase akhir penyebab kematiannya karena
kardiovaskuler yang disebabkan oleh efek samping obat-obatan atau autoimun yang
memicu kelainan vaskuler (Tjokroprawiro, 2015).
D. Etiologi
Sampai saat ini penyabab dari lupus eritematosus sistemik masih belum diketahui
dengan pasti, namun diduga karena genetik dan lingkungan yang akhirnya
menimbulkan gangguan respons imun pada penderita dengan gen yang susceptible.
Genetik mempunyai peran besar pada dalam patogenesis SLE. Penderita yang
mempunyai gen SLE memiliki risiko terkena lupus sekitar 30 kali dibanding populasi
normal. Bank Gen memfokuskan pada perbedaan satu nukleotida pada gen atau
disebut SNP yang dipakai untuk meneliti gen-gen mana yang punya peran terhadap
patogenesis penyakit. GWAS melaporkan beberapa gen yang terkait dengan SLE
yaitu HLA- DR. PTPN22, STAT4, IRFS, BLK, OX40L, FCGR2A, BANKI, SPP1,
IRAQI, TNFAIP3, C2, C4, Clq, PXK). DNA repairs (TREXI), adherence of
inflammatory cells to the endothelium (ITGAM), dan tissue response to injury (KLKI,
KLK3) (Tjokroprawiro, 2015).
HLA diduga berperanan yaitu HLA-DR dan HLA-DQ Secara klinis masing-
masing gen ini memberikan manifestasi klinis yang berbeda- beda. Pada HLA DR2
pada beberapa penelitian menunjukkan gejala lupus nefritis yang lebih menonjol,
sedang HLA DR3 gejala muskuloskeletal yang lebih menonjol. DQ1 dan DQ2 lebih
sering dengan manifestasi subakut kutaneus lupus (Tjokroprawiro, 2015).
Sinar matahari merupakan salah satu faktor pencetus SLE. Sinar matahari
khususnya ultraviolet B (UVB) merupakan trigger apoptosis sel keratinosit. Selain itu
ultraviolet diduga merubah DNA dari Ro dan RNP menjadi lebih imunogenik
(Tjokroprawiro, 2015).
4
Estrogen dan hormon prolaktin diduga mempunyai peran besar dalam patogenesis
lupus. Estrogen diduga meningkatkan kalsineurin mRNA yang menyebabkan
ekspresi CD-40 meningkat, sehingga sel T lebih sensitif terhadap estrogen. Selain itu
estrogen diduga memperpanjang umur sel-sel imun, terutama sel T dan juga
merangsang produksi sitokin serta autoantibodi oleh sel B. Berbagai studi melaporkan
bahwa konsentrasi estrogen endogen mempengaruhi aktivitas prognosis SLE, hal ini
dibuktikan pada lupus dengan kehamilan atau pemberian estrogen eksogen akan
memicu aktivitas lupus, serta aktivitas lupus menurun setelah pasca menopause
(Tjokroprawiro, 2015).
5
• Vaskulopati (livedo reticularis, tromboflebitis superfisial, fenomena
Raynaud, erythromelalgia, telangiectasia periungual)
• Sclerodactyly
• Nodul rheumatoid
• Cutis kalsinosis
• Lesi bulosa
• Urtikaria
• Eritema multiforme
• Acanthosis nigricans
• Lichen planus
• Ulkus kaki.
b. Muskuloskeletal
Penderitas SLE pada bagian muskuloskeletal biasanya mengalami
arthralgias ringan hingga artritis deformasi. Lupus arthritis biasanya non-
erosif, poliartritis inflamasi simetris yang mempengaruhi terutama sendi kecil
tangan, lutut, dan pergelangan tangan, meskipun sendi apa pun dapat terkena
(Vaillant, A.A et al 2022).
c. Hematologi
Pasien dengan SLE dan paling sering adalah anemia penyakit kronis.
Penyebab lain anemia pada SLE termasuk anemia defisiensi besi, anemia
hemolitik autoimun positif coomb, aplasia sel darah merah, dan anemia
hemolitik mikroangiopatik, yang mungkin terkait dengan sindrom antibodi
antifosfolipid (Vaillant, A.A et al 2022).
d. Neuropsikiatri
Manifestasi SSP yang paling umum adalah sakit kepala yang tidak dapat
disembuhkan dan kejang fokal (Vaillant, A.A et al 2022).
e. Ginjal
Lupus nefritis adalah komplikasi SLE yang terkenal dan umum, hal ini
dapat berkisar dari proteinuria subnefrotik ringan hingga glomerulonefritis
progresif difus yang menyebabkan kerusakan ginjal kronis. Lupus nefritis
biasanya terjadi pada awal terjadinya SLE (Vaillant, A.A et al 2022).
f. Paru
6
Pleuritis adalah manifestasi paru yang paling umum dan tidak selalu
dikaitkan dengan efusi pleura (Vaillant, A.A et al 2022).
g. Kardiovaskular
SLE dapat melibatkan lapisan jantung, termasuk perikardium,
miokardium, endokardium, dan bahkan arteri koroner (Vaillant, A.A et al
2022)
h. Gastrointestinal
SLE dapat juga dilihat dari gejala yang melibatkan gastrointestinal, pada
SLE akan muncul gelaja mual, muntah, dan nyeri abdomen (Sudoyo, 2011).
F. Patofisiologi
Penyakit SLE bersifat multifaktorial karena faktor risikonya beragam meliputi
faktor genetik, hormonal serta lingkungan, terutama sinar UV. Tahap awal penyakit
(fase preklinik) SLE sering kali menyerupai penyakit lain (Tanzilia, M.F et al 2020).
Pembentukan dan deposisi kompleks imun yang kian berkembang menyebabkan
perjalanan penyakit SLE memasuki tahap yang lebih lanjut dengan manifestasi klinis
yang makin beragam dan bersifat multiorgan. Tahap akhir perjalanan penyakit SLE
umumnya diakibatkan komplikasi jangka panjang SLE yang menyebabkan
kerusakan organ tubuh (Tanzilia, M.F et al 2020).
7
hiperaktif berasal dari stimulasi sel T dan antigen yang akan meningkatkan produksi
antibodi terhadap antigen yang terpapar pada permukaan sel apoptotik (Tanzilia, M.F
et al 2020).
G. Komplikasi
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang dapat ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II) (Sudoyo,
2011).
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3) (Sudoyo, 2011).
3. Serositis mayor (Sudoyo, 2011).
H. Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk mendiagnosa apakah seseorang terkena lupus eritematosus
sistemik atau tidak dapat melihat kriteria dari the American College of Rheumbatology
(ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan
pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka dapat
8
saja kriteria tersebut belum terpenuhi (Sudoyo, 2011). Selain ACR-1997, terdapat
klasifikasi terbaru yaitu The Systemic Lupus International Collaborating Clinics
(SLICC). Kriteria ini dibuat dengan melakukan revisi kriteria klasifikasi LES pada
dewasa untuk memperbaiki kekurangan pada kriteria ACR-1997 (Pramesti & Muktiarti,
2021).
9
Kriteria ACR-1997 dapat membantu diagnose penyakit LSE dimana diagnosis
harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan
tenggang waktu (Sudoyo, 2011). Sedangkan pada kriteria SLICC-2012 memenuhi 4 dari
11 kriteria termasuk 11 kriteria klinis dan 1 dari 6 kriteria imunologis atau nefritis lupus
yang terbukti dari hasil biopsi ginjal dengan ANA atau antibodi anti-dsDNA yang positif
(Pramesti & Muktiarti, 2021).
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED) dapat
dilakukan setiap 3-6 bulan bila stabil
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin.
10
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, protiol lipid) dapat dilakukan
setiap 3-6 bulan bila stabil
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA dengan pemeriksaan sekali diawal saja dan bukan untuk
monitoring, anti-dsDNA dan komplemen (C3,C4) dapat dilakukan setiap
3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
6. Foto polos thorax
Ketika diagnosis telah ditegakkan bahwa penyakit yang diderita memang benar
adalah SLE dan mengacu pada SKDI yang menyatakan SLE masuk kategori II. Sebagai
dokter umum diminta bisa mendiagnosa dan merujuk jika diagnosa benar, diupayakan
untuk dapat segera dirujuk kepada dokter spesialis penyakit dalam khususnya konsultan
reumatologi atau jika belum terdapat ahli reumatologi di daerah tersebut, maka pasien
dirujuk kepada dokter ahli penyakit dalam (Sudoyo, 2011).
I. Penanganan
1. Non-Farmakologi
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas
fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan
sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan
latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu
11
pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia.
Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien
SLE terlihat pada tabel
2. Farmakologi
Pengobatan medikamentosa pada kasus ini bertujuan untuk meringankan gejala
dan juga menekan dari penyebab LSE. Untuk itu beberapa obat yang dapat digunakan
yaitu golongan OAINS, Anti malaria, Steroid dan Imunosupresan / Sitotoksik. Lebih
lanjut dapat dilihat pada tabel dibawah (Sudoyo, 2011).
12
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jika melihat skenario dan pembahasan diatas dapat disimpulkan gangguan imun
yang diderita oleh Nn. PA yaitu LSE (Lupus eritematosus sistemik). LSE lebih sering
terjadi pada wanita dengan usia produktif karena pengaruh hormon estrogen dan
prolaktin. Penyebab LSE belum diketahui secara pasti. Namun diduga akibat autoimun,
lingkungan seperti paparan matahari dan hormonal yaitu hormon estrogen. Gejala khas
yang dapat ditemukan pada LSE yaitu adanya ruam malar atau ruam kupu-kupu, ulkus
oral, artritis, gangguan hematologi, Neuropsikiatri, ginjal, paru, kardiovaskuler dan
gastrointestinal. Patofisiologi yang terjadi akibat perpaduan penyebab beragam meliputi
faktor genetik, hormonal serta lingkungan, terutama sinar UV. Komplikasi yang dapat
terjadi berkaitan pada organ organ vital seperti jantung, paru dan ginjal, bahkan dapat
berujung pada kematian. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa yaitu
dengan melihat kriteria the American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997
dan dapat pula menggunakan The Systemic Lupus International Collaborating Clinics
(SLICC). Pada kriteria ACR-1997 harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi
secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. Sedangkan pada kriteria SLICC-2012
harus memenuhi 4 dari 11 kriteria termasuk 11 kriteria klinis dan 1 dari 6 kriteria
imunologis atau nefritis lupus yang terbukti dari hasil biopsi ginjal dengan ANA atau
antibodi anti-dsDNA yang positif. Ketika menemukan kasus ini, sebagai dokter umum,
kita perlu melakukan rujukan kepada dokter spesialis penyakit dalam khususnya
konsultan reumatologi. Untuk penanganan pertama dapat memberikan Edukasi,
konseling, pengobatan medikamentosa dengan OAINS, Anti-malaria, steroid,
Imunosupresan / Sitotoksik dan terapi lain
14
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, R., 2021. Diagnosis dan Pengelolaan ARTRITIS REUMATOID.
s.l.:Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Kumar, V., Abbas, A. & Aster, J., 2019. Buku Ajar Patologi Robbins 10th Edition.
s.l.:Elsevier.
Pramesti, D. L., & Muktiarti, D., 2021. Perbandingan Kriteria ACR-1997 dan SLICC-
2012 dalam Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Sari
Pediatri, 22(6), 386-93.
Tanzilia, M.F et al 2020, Tinjauan Pustaka: Patogenesis Dan Diagnosis Sistemik Lupus
Eritematosus, Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), hh 139-164
Tjokroprawiro, A., 2015. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed.2: Fakultas
15