Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 4

BLOK HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI

Disusun Oleh :

Nama : I Gede Ngurah Putra Nata Sudana

NIM : 021.06.0033

Kelas :A

Kelompok : 2

Tutor : dr. Halia Wanadiatri, M.Si

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmatNya kami dapat melaksanakan dan menyusun laporan LBM 4 ini tepat pada
waktunya.

Laporan ini disusun untuk memenuhi prasyaratan sebagai syarat nilai SGD (Small
Group Discussion). Dalam penyusunan laporan ini, kami mendapat banyak bantuan,
masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan
ini kami menyampaikan terima kasih kepada :

1. dr. Halia Wanadiatri, M.Si. selaku tutor dan fasilitator SGD (Small Group
Discussion) kelompok 2

2. Bapak/Ibu Dosen Universitas Islam Al-Azhar yang telah memberikan masukan


terkait makalah yang penulis buat.

3. Serta kepada teman-teman yang memberikan masukan dan dukungannya kepada


kami.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, kami berharap semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 30 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii

BAB I ............................................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1

Skenario ................................................................................................................................... 1

Deskripsi Masalah ................................................................................................................... 1

BAB II .......................................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 3

Pembahasan LBM ................................................................................................................... 3

A. Malaria .......................................................................................................................... 3

1. Definisi .......................................................................................................................... 3

2. Epidemiologi ................................................................................................................ 3

3. Etiologi ......................................................................................................................... 4

4. Manifestasi Klinis ........................................................................................................ 4

B. Hepatitis......................................................................................................................... 5

1. Definisi .......................................................................................................................... 5

2. Epidemiologi ................................................................................................................ 6

3. Etiologi ......................................................................................................................... 7

4. Manifestasi Klinis ........................................................................................................ 8

C. Leptospirosis ................................................................................................................. 9

1. Definisi .......................................................................................................................... 9

2. Epidemiologi ................................................................................................................ 9

3. Etiologi ....................................................................................................................... 10

4. Manifestasi Klinis ...................................................................................................... 10

5. Patofisiologi ................................................................................................................ 11

ii
6. Komplikasi ................................................................................................................. 13

7. Pemeriksaan............................................................................................................... 13

8. Tatalaksana ................................................................................................................ 14

BAB III ....................................................................................................................................... 15

PENUTUP .................................................................................................................................. 15

Kesimpulan ............................................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN
“SUDAH BANJIR, TUBUHKU DEMAM, DAN MATA
KUNING”
Skenario
Tn U., laki-laki, usia 25 tahun, datang diantar keluarganya ke UGD dengan
keluhan demam sejak 5 hari yang lalu, demam muncul mendadak, dan dirasakan terus
menerus. Ia juga mengeluh mata merah dan kekuningan, sakit kepala terutama di
bagian depan, mual muntah, nyeri otot dan nafas terasa agak berat. Jumlah BAK
pasien juga 2 hari ini menurun. Keluhan disertai pegal-pegal, sakit pada otot badan
dan sendi, nyeri otot dirasakan terutama pada kedua betis pasien. Diketahui bahwa
rumah pasien sedang terendam banjir +-2 minggu ini.

Deskripsi Masalah
Pada skenario diatas, kita dapat mengetahui laki-laki bernama Tn. U dengan usia
25 tahun mengalami keluhan demam mendadak sejak 5 hari dan dirasakan terus
menerus. Diketahui pula rumahnya terendam banjir +- 2 minggu. Mungkin saja
deman yang muncul itu diakibatkan karena adanya banjir. Bencana banjir
menimbulkan dampak buruk diberbagai sektor, salah satunya sektor kesehatan.
Kondisi lingkungan yang lembab, basah dan kotor memicu timbulnya berbagai
macam oraganisme penyebab pernyakit, seperti virus, bakteri, jamur dan parasit.
Beragam gangguan kesehatan pun lebih mudah menyebar dan menyerang siapa saja
dengan daya tubuh yang yang rendah tanpa mengenal usia. Beberapa penyakit yang
dapat timbul dan menyebabkan demam yaitu demam berdarah, malaria dan
leptospirosis. Demam merupakan kondisi terjadinya peningkatan suhu tubuh di atas
38 derajat Celsius. Umumnya, demam merupakan respons tubuh atau gejala terhadap
penyakit. Suhu tubuh yang meningkat atau demam sebenarnya merupakan salah satu
cara sistem kekebalan tubuh manusia untuk memerangi infeksi. Selain demam, Tn. U
diketahui menalami mata merah dan kekuningan, sakit kepala terutama di bagian
depan, mual muntah, nyeri otot dan nafas terasa agak berat. Hal ini mungkin saja

1
beberapa gejala yang terjadi akibat infeksi parasit, virus maupun bakteri. Salah satu
pada leptospirosis, dimana virus leptospira juga dapat masuk ke ruang anterior mata
dan menyebabkan uveitis kemerahan. Selain ke area mata, virus ini juga dapat masuk
ke otot rangka dan dapat terjadi nekrosis lokal dan vakuolisasi yang berujung pada
terasanya rasa nyeri dan sakit. Selain leptospirosis, terdapat pula beberapa penyakit
yang memiliki gejala hampir mirip yaitu hepatitis dan juga malaria. Keduanya juga
dapat menimbulkan gejala berupa mata merah dan kekuningan. Selain itu nyeri otot
dan pegal pegal juga dapat ditemuakan di penyakit ini.
Melihat tanda dan gejala yang dialamiTn. U, bisa dicurigai bahwa Tn. U
mengalami penyakit infeksi karena banjir. Terdapat beberapa penyakit yang berkaitan
dengan infeksi yaitu DBD, malaria, hepatitis, dan leptospirosis. Namun pada
kesempatan ini akan membahas tiga penyakit saja yaitu malaria, hepatitis dan
leptospirosis.

2
BAB II

PEMBAHASAN
Pembahasan LBM
“Penyakit infeksi” adalah gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme -seperti
bakteri, virus, jamur, atau parasit. Banyak mikroorganisme hidup di dalam dan di tubuh
kita. Mereka biasanya tidak berbahaya atau bahkan membantu, tetapi dalam kondisi
tertentu, beberapa mikroorganisme dapat menyebabkan penyakit. Beberapa penyakit
menular dapat ditularkan dari orang ke orang . Secara umum proses terjadinya penyakit
melibatkan tiga faktor yang saling berinteraksi yaitu, faktor penyebab penyakit (agen),
faktor manusia atau pejamu (host), dan faktor lingkungan. Proses infeksi adalah interaksi
mikroorganisme patogen dengan makroorganisme di bawah kondisi lingkungan dan
sosial tertentu (Joegijantoro, 2019).

A. Malaria
1. Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit plasmodium yang
ditularkan kemanusia melalui gigitan nyamuk anopheles betin. Ditandai dengan
demam, hepatosplenomegali dan anemia. Plasmodium hidup dan berkembang biak dalam
sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina (Plewes, et al,. 2019).

2. Epidemiologi
Dalam epidemiologi malaria ada 3 faktor yang harus selalu diperhatikan dan diselidiki
hubungannya yaitu: Host (manusia), Agent (penyebab penyakit), dan environment
(lingkungan). Manusia disebut host intermedia, dimana siklus aseksual parasit malaria
terjadi, dan nyamuk malaria disebut host definitif, dimana siklus seksual parasit malaria
berlangsung. ditemukan 67 spesies yang dapat menularkan malaria dan 24 diantaranya
ditemukan di Indonesia. Selain oleh gigitan nyamuk, malaria dapat ditularkan secara
langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah serta dari ibu
hamil kepada bayinya. Di Indonesia malaria ditemukan tersebar luas di semua pulau
dengan derajat dan berat infeksi yang berbada-beda. Penyakit tersebut dapat berjangkit di
daerah yang mempunyai ketinggian sampai dengan 1.800 meter diatas permukaan laut.

3
Kondisi wilayah dengan adanya genangan air dan udara yang panas mempengaruhi
tingkat endemisitas penyakit malaria di suatu daerah (Imbiri. 2012)

3. Etiologi
Malaria disebabkan oleh parasit protozoa, dapat hidup dan berkembang biak dalam
sel darah merah manusia. Plasmodium Penyakit ini secara alami ditularkan melalui
gigitan nyamuk Anopheles betina. Spesies Plasmodium pada manusia adalah:

a. Plasmodium falciparum (P. falciparum)


b. Plasmodium vivax (P. vivax)
c. Plasmodium ovale (P. ovale)
d. Plasmodium malariae (P. malariae)
e. Plasmodium knowlesi (P. knowlesi)

Malaria berat terutama disebabkan oleh P falciparum , tetapi juga diamati pada infeksi
P vivax dan P knowlesi . Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah
P. falciparum dan P. vivax, sedangkan P. malariae dapat ditemukan di beberapa provinsi
antara lain Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. P ovale pernah ditemukan di
Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pada tahun 2010 di Pulau Kalimantan dilaporkan
adanya P. knowlesi yang dapat menginfeksi manusia dimana sebelumnya hanya
menginfeksi hewan primata/monyet dan sampai saat ini masih terus diteliti (Subdit
Malaria Direktorat P2PTVZ , 2017).

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan sampai membahayakan jiwa.
Gejala utama demam sering didiagnosis dengan infeksi lain, seperti demam typhoid,
demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan infeksi saluran nafas. Adanya
thrombositopenia sering didiagnosis dengan leptospirosis, demam dengue atau typhoid.
Malaria sering diduga apabila ada demam dengan ikterik bahkan sering diintepretasikan
dengan diagnosa hepatitis dan leptospirosis. Penurunan kesadaran dengan demam sering
juga didiagnosis sebagai infeksi otak atau bahkan stroke. Selain itu Sifat demam akut
(paroksismal) yang didahului oleh stadium dingin (menggigil) diikuti demam tinggi
kemudian berkeringat banyak. Gejala klasik ini biasanya ditemukan pada penderita non
imun (berasal dari daerah non endemis). Selain gejala klasik di atas, dapat ditemukan
gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot . Gejala

4
tersebut biasanya terdapat pada orang-orang yang tinggal di daerah endemis (imun)
Plewes, et al,. 2019).

Untuk tanda yang dapat diukur yaitu Koma ( Skala Koma Glasgow <11 pada orang
dewasa atau Skala Koma Blantyre <3 pada anak-anak), Syok (waktu kapiler ≥3 detik,
dengan atau tanpa tekanan darah sistolik <80 mm Hg [dewasa], kurang dari 70 mm Hg
[anak-anak]), Anemia (hemoglobin <70 g/L pada orang dewasa, <50 g/L pada anak-
anak), Asidosis (defisit basa >8 mEq/L atau bikarbonat <15 mmol/L, atau laktat vena >5
mM), Hipoglikemia (glukosa darah <2,2 mmol/L atau <40 mg/dL), Gangguan ginjal
(kreatinin >265 μmol/L [3 mg/dL] atau ureum darah >20 mmol/L), Penyakit kuning
(bilirubin >50 μM [3 mg/dL] dan jumlah parasit >100.000/μL) dan Hiperparasitemia
>10% (Plewes, et al,. 2019).

5. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan dengan mikroskop

Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/lapangan/


rumah sakit/laboratorium klinik untuk menentukan:

• Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).


• Spesies dan stadium plasmodium.
• Kepadatan parasit.
b. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Sebelum menggunakan
RDT perlu dibaca petunjuk penggunaan dan tanggal kadaluarsanya.
Pemeriksaan dengan RDT tidak digunakan untuk mengevaluasi pengobatan
(Subdit Malaria Direktorat P2PTVZ , 2017).

B. Hepatitis
1. Definisi
Hepatitis didefinisikan sebagai peradangan hati yang dapat terjadi akibat berbagai
penyebab seperti penggunaan alkohol berat, autoimun, obat-obatan, atau racun. Namun,
penyebab hepatitis yang paling sering adalah karena infeksi virus dan disebut sebagai
hepatitis virus. Di Amerika Serikat, jenis hepatitis virus yang paling umum adalah

5
Hepatitis A, Hepatitis B, dan Hepatitis C. Jenis hepatitis virus lainnya adalah hepatitis D
dan E dan lebih jarang ditemui (Mehta & Reddivari,. 2021).

Hepatitis dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi akut dan kronis berdasarkan
lamanya peradangan/gangguan pada hati. Jika radang hati berlangsung kurang dari 6
bulan, maka disebut sebagai hepatitis akut dan jika berlangsung lebih dari 6 bulan disebut
sebagai hepatitis kronis. Hepatitis akut biasanya sembuh dengan sendirinya tetapi dapat
menyebabkan gagal hati fulminan tergantung pada etiologinya. Sebaliknya, hepatitis
kronis dapat menyebabkan kerusakan hati yang meliputi fibrosis hati, sirosis, karsinoma
hepatoseluler, dan gambaran hipertensi portal yang menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan (Mehta & Reddivari,. 2021).

2. Epidemiologi
Viral Hepatitis dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 1,3 juta orang telah
meninggal karena hepatitis pada tahun 2015, dan 1 dari 3 orang di dunia telah terinfeksi
virus hepatitis B atau hepatitis C. Dilaporkan, tingkat infeksi menunjukkan bahwa 2
miliar orang terinfeksi virus hepatitis B, 185 juta dengan virus hepatitis C, dan 20 juta
dengan virus hepatitis E. Virus hepatitis A mempengaruhi 90% anak-anak di daerah
endemik tinggi. Virus hepatitis akhirnya menyebabkan 1,4 juta kematian setiap tahun,
dan virus hepatitis B dan C bertanggung jawab atas sekitar 90% dari kematian tersebut
(Mehta & Reddivari,. 2021).

Tingkat infeksi Hepatitis A jauh lebih tinggi di seluruh dunia, tetapi hanya 1,5 juta
kasus yang dilaporkan setiap tahunnya. Di AS, sekitar 24.900 infeksi baru didiagnosis
setiap tahun. Diperkirakan sekitar sepertiga populasi dunia pernah terinfeksi hepatitis B,
dan sekitar 5% dari populasi ini tetap menjadi pembawa hepatitis B. Sekitar 25% dari
pembawa ini berkembang menjadi hepatitis kronis, sirosis hati, dan karsinoma
hepatoseluler. Jumlah kematian global yang terdokumentasi setiap tahun akibat infeksi
virus hepatitis B adalah 780.000.Di AS sekitar 22.600 infeksi baru didiagnosis pada tahun
2018 dan diperkirakan 862.000 orang mengalami infeksi Hepatitis B kronis (Mehta &
Reddivari,. 2021).

Virus hepatitis C adalah penyebab paling umum dari hepatitis parenteral di seluruh
dunia. Ini lazim pada 0,5% hingga 2% populasi di seluruh dunia, dengan yang paling

6
sering terkena adalah pengguna narkoba IV dan penderita hemofilia. Sekitar 71 juta orang
secara global memiliki infeksi hepatitis C kronis, dan ini menyebabkan hampir 400.000
kematian setiap tahun (Mehta & Reddivari,. 2021).

Meskipun hepatitis D tidak tercatat dengan benar, tetapi diperkirakan mempengaruhi


4% hingga 8% kasus hepatitis B akut dan 5% pasien hepatitis B kronis global. Sekitar 18
juta pasien terinfeksi virus hepatitis D secara global. Prevalensi tetap tinggi di Amerika
Selatan dan Afrika serta prevalensi juga tetap tinggi pada pekerja seks di Yunani dan
Taiwan (Mehta & Reddivari,. 2021).

Sekitar 20 juta orang diperkirakan terinfeksi virus hepatitis E secara global, dan telah
terjadi sekitar 44.000 kematian akibat infeksi virus hepatitis E. Dalam hal itu, virus
hepatitis E membawa risiko kematian yang lebih tinggi sekitar 3,3% dibandingkan
dengan infeksi virus hepatitis A meskipun rute penularannya sama dan kurang kronisitas
(Mehta & Reddivari,. 2021).

Virus hepatitis E ditularkan melalui air dan umumnya terlihat di negara berkembang
dengan akses terbatas ke sanitasi, air bersih, dan kebersihan yang buruk. Sekitar 20 juta
orang diperkirakan terinfeksi virus hepatitis E secara global, dan telah terjadi sekitar
44.000 kematian akibat infeksi virus hepatitis E. Dalam hal itu, virus hepatitis E
membawa risiko kematian yang lebih tinggi sekitar 3,3% dibandingkan dengan infeksi
virus hepatitis A meskipun rute penularannya sama dan kurang kronisitas (Mehta &
Reddivari,. 2021).

Infeksi global dengan virus hepatitis G umum terjadi dengan prevalensi di seluruh
dunia adalah sekitar 3%, dan para peneliti percaya bahwa 1 hingga 4% donor darah di
seluruh dunia adalah pembawa virus. Ada beberapa kecurigaan untuk penularan hepatitis
C secara seksual karena tingkat deteksi yang tinggi ada pada laki-laki yang berhubungan
seks dengan laki-laki dan pekerja seks profesional. Transmisi vertikal virus hepatitis G
dari ibu yang terinfeksi ke bayi baru lahir juga telah didokumentasikan, tetapi sangat
jarang (Mehta & Reddivari,. 2021).

3. Etiologi
Sebagian besar hepatitis disebabkan oleh virus hepatitis A, B, C, D, dan E. Hepatitis
A, B, C, dan D adalah endemik di Amerika Serikat dengan virus hepatitis A, B, dan C

7
yang menyebabkan 90% hepatitis virus akut di Amerika Serikat dan Hepatitis C menjadi
penyebab paling umum dari hepatitis kronis. Infeksi Hepatitis B dan C kronis dapat
menyebabkan kerusakan hati yang meliputi fibrosis hati, sirosis, karsinoma hepatoseluler,
dan gambaran hipertensi portal. Hepatitis A adalah virus RNA darikeluarga
Picornaviridae. Biasanya hadir dalam konsentrasi tertinggi dalam tinja orang yang
terinfeksi. Virus hepatitis B adalah virus DNA dan merupakan anggota keluarga
Hepadnaviridae. Virus hepatitis C adalah virus RNA dan merupakan anggota keluarga
Flaviviridae. Hepatitis D adalah virus RNA dan satu spesies dalam genus Deltavirus.
Hepatitis E adalah virus RNA dan satu spesies dalam genus Hepevirus. Virus hepatitis G
adalah virus RNA dan merupakan anggota spesies Pegivirus A dari famili Flaviviridae.
Penyebab lain yang kurang umum dari hepatitis adalah virus seperti cytomegalovirus,
virus Epstein-Barr, virus herpes simpleks, dan virus Varicella-zoster, tetapi virus ini tidak
menyerang hati secara utama (Mehta & Reddivari,. 2021).

4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis hepatitis virus dapat berbeda pada setiap individu tergantung dari
jenis virus penyebab infeksi. Pasien dapat sepenuhnya asimptomatik atau hanya bergejala
ringan saat datang. Sejumlah kecil pasien dapat hadir dengan onset cepat gagal hati
fulminan. Biasanya pasien dengan virus hepatitis melewati 4 fase, yaitu:

• Fase 1 (fase replikasi virus) - Pasien biasanya tanpa gejala pada fase ini, dan
penelitian laboratorium positif untuk penanda hepatitis.
• Fase 2 (fase prodromal) - Pasien dalam fase ini biasanya datang dengan gejala
anoreksia, mual, muntah, malaise, pruritus, urtikaria, arthralgia, dan
kelelahan. Seringkali pasien ini salah didiagnosis menderita gastroenteritis
atau infeksi virus.
• Fase 3 (fase ikterik) - Pasien dalam fase ini datang dengan urin berwarna gelap
dan feses berwarna pucat. Beberapa pasien mengalami penyakit kuning dan
nyeri kuadran kanan atas dengan pembesaran hati.
• Fase 4 (fase pemulihan) - Pasien biasanya mulai memperhatikan resolusi
gejala, dan penelitian laboratorium menunjukkan enzim hati kembali ke
tingkat normal.

8
Gejala biasanya dimulai setelah masa inkubasi berakhir, dan sembuh secara spontan
pada sebagian besar pasien. Sebagian kecil pasien mengalami demam, artralgia, atau
ruam. Selain itu, gejala yang sering terjadi mirip dengan gastroenteritis atau infeksi
saluran pernapasan virus, antara lain gejala kelelahan, mual, muntah, demam, sakit
kuning, anoreksia, dan urin berwarna gelap dan tinja berwarna pucat. Virus hepatitis B
memasuki fase prodromal setelah masa inkubasi dan memiliki gejala anoreksia, malaise,
dan kelelahan (Mehta & Reddivari,. 2021).

C. Leptospirosis
1. Definisi
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi Leptospira
interrogans semua serotipe. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau
demam banjir karena sering menyebabkan terjadinya wabah pada saat banjir. Kejadian
leptospirosis biasanya dihubungkan dengan bencana banjir, air pasang di daerah
pantai,daerah rawa (Rampengan, 2016).

2. Epidemiologi
Leptospirosis pada manusia pertama kali ditemukan oleh Van der Scheer pada tahun
1892 di Indonesia, namun isolasi baru dapat dilakukan pada tahun 1922 oleh Vervoort.
Menurut catatan Kementerian Kesehatan, selama tahun 2014 –2016 terdapat tujuh
provinsi yang melaporkan adanya kejadian leptospirosis, yaitu DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten dan
Kalimantan Selatan. Iklim yang sesuai untuk perkembangan leptospira ialah udara hangat
(25oC), tanah basah/lembab, dan pH tanah 6,2-8. Leptospira dapat bertahan hidup di
tanah yang sesuai sampai 43 hari dan di dalam air dapat hidup berminggu-minggu
lamanya. Hal ini dapat dijumpai sepanjang tahun di negara tropis sehingga kejadian
leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan negara subtropis, dengan risiko
penyakit yang lebih berat. Insiden leptospirosis di negara tropis saat musim hujan
sebanyak 5-20/100.000 penduduk per tahun. Selama wabah dan dalam kelompok risiko
tinggi paparan, insiden penyakit dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 penduduk
(Rampengan, 2016)

9
3. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira dari famili
Leptospiraceae, ordo Spirochaetales. Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di
suhu 28°C-30°C. Genus Leptospira terdiri dari dua spesies yaitu L. interrogans (bersifat
patogen) dan L. biflexa (bersifat saprofit/non-patogen). Leptospira patogen terpelihara
dalam tubulus ginjal hewan tertentu. Leptospira saprofit ditemukan di lingkungan basah
atau lembab mulai dari air permukaan, tanah lembab, serta air keran (Rampengan, 2016)

Spesies L. interrogans dibagi dalam beberapa serogrup yang terbagi lagi menjadi lebih
250 serovar berdasarkan komposisi antigennya. Beberapa serovar L. interrogans yang
patogen pada manusia antara lain L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L.
grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. bataviae, dan L.
hardjo. Berbagai spesies hewan, terutama mamalia, dapat bertindak sebagai sumber
infeksi manusia, diantaranya ialah:

• Spesies mamalia kecil, seperti tikus liar (termasuk mencit), bajing, landak
• Hewan domestik (sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, kerbau)
• Hewan penghasil bulu (rubah perak) di penangkaran
• Reptil dan amfibi mungkin juga membawa leptospira (Rampengan, 2016)

4. Manifestasi Klinis
Karakteristik perjalanan penyakit leptospirosis ialah bifasik. Masa inkubasi
leptospirosis berkisar 2-26 hari, dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai dua
fase penyakit yang khas yaitu:

• Fase leptospiremia: leptospira dapat dijumpai dalam darah. Gejala ditandai


dengan nyeri kepala daerah frontal, nyeri otot betis, paha, pinggang terutama
saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil,
mual, diare, bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui
bradikardia dan ikterus (50%). Pada sebagian penderita dapat ditemui
fotofobia, rash, urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan
limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani secara
baik, suhu tubuh akan kembali normal dan organ-organ yang terlibat akan
membaik. Manifestasi klinik akan berkurang bersamaan dengan berhentinya
proliferasi organisme di dalam darah. Fungsi organ-organ ini akan pulih 3-6

10
minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit lebih berat, demam turun
setelah hari ke7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari, lalu demam kembali.
Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun.
• Fase imun: berlangsung 4-30 hari, ditandai dengan peningkatan titer antibodi,
demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada leher,
perut, dan otot kaki dijumpai rasa nyeri. Perdarahan paling jelas saat fase
ikterik dimana dapat ditemukan purpura, petekie, epistaksis, dan perdarahan
gusi. Conjuntival injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus
merupakan tanda patognomonik untuk leptospirosis. Meningitis, gangguan
hati dan ginjal akan mencapai puncaknya pada fase ini. Pada fase ini juga
terjadi leptospiuria yang dapat berlangsung 1 minggu sampai 1 bulan. Secara
garis besar, manifestasi klinis leptospirosis dapat dibagi menjadi leptospirosis
anikterik pada sekitar 85%-90% kasus dan leptospirosis ikterik (sindroma
Weil) pada kurang lebih 10% kasus (Rampengan, 2016).

5. Patofisiologi

(Grennan, D 2019)

Leptospire patogen tersebar luas di alam dan siklus hidupnya membuatnya tetap di
lingkungan berkat penyebaran hematogen dan antar sel ke tubulus ginjal proksimal dari
berbagai inang reservoir (Brito, T.D 2018).

Masuknya leptospire biasanya melalui lecet kulit dan selaput lendir rongga mulut dan
konjungtiva. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan inang yang

11
terinfeksi, tetapi lebih sering terjadi melalui tanah, dari air yang terkontaminasi di mana
bakteri diketahui dapat bertahan dan dari urin hewan yang terinfeksi (Brito, T.D 2018).

Oleh karena itu, kegiatan pekerjaan melibatkan hewan yang terinfeksi dan tanah dan
air yang terkontaminasi adalah faktor risiko untuk mengembangkan leptospirosis.
Manusia adalah inang yang tidak disengaja, dan umumnya menunjukkan penumpahan
urin leptospires untuk durasi pendek. Dalam tubulus proksimal, leptospires menjajah sikat
reservoir perbatasan dalam jangka waktu yang lama, yang tidak menghasilkan efek
samping yang jelas dalam inang reservoir tetapi bertindak untuk menyebarkan
mikroorganisme. Namun, kita harus ingat bahwa selama infeksi manusia dan hewan,
tubulus proksimal adalah situs utama lesi penting, yang menentukan sikat perbatasan
perubahan morfologis dan imunoenzimatik, di antara perubahan lainnya (Brito, T.D
2018).

Begitu berada di dalam inang, penyebaran hematogen leptospires melalui kapiler


terjadi dan bertahan di sana selama fase septikemik penyakit, yang berlangsung selama
delapan hari pertama demam. Ini biasanya terjadi baik ketika leptospires melewati antara
sel-sel endotel. Selain itu, leptospires dapat lewat di antara sel-sel epitel, termasuk yang
melapisi tubulus ginjal, dan ini bisa menjadi cara penting untuk mencapai dan menjajah
lumen tubulus proksimal (Brito, T.D 2018).

Pada manifestasi klinis adanya nyeri pada otot yang biasanya terjadi di otot betis dan
otot dada. Adanya nekrosis pada serat otot yang terisolasi akibat dari leptospirosis
menyebabkan hilangnya lurik dan terdapat benjolan bulat sebagai endapan granular
karena makrofag yang mendeteksi antigen leptospira (Brito, T.D 2018).

Diketahui bahwa bentuk leptospirosis yang paling parah yaitu Weil Disease ditandai
dengan perdarahan pada hati dan ginjal. Penyakit kuning adalah manifestasi penting dari
disfungsi hati, tetapi mekanisme dalam leptospirosis tetap tidak sepenuhnya dijelaskan.
Penyakit kuning terutama disebabkan oleh peningkatan bilirubin terkonjugasi.
Peningkatan ini terjadi karena penghancuran persimpangan antar sel hepatosit langsung
oleh leptospire interseluler. Leptospires ditemukan bermigrasi dari sinusoid ke kapiler
bilier setelah gangguan persimpangan seluler. Empedu bocor dari kapiler bilier ke
sirkulasi darah selama induksi penyakit kuning (Brito, T.D 2018).

12
6. Komplikasi
Pada leptospirosis terdapat beberapa komplikasi yang terjadi, dimana meningitis
aseptik merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan, namun dapat pula terjadi
ensefalitis, mielitis, radikulitis, neuritis perifer pada minggu kedua karena terjadinya
reaksi hipersensitivitas. Komplikasi berat pada penderita leptospirosis berat dapat berupa
syok, perdarahan masif dan ARDS yang merupakan penyebab utama kematian
leptospirosis berat. Syok terjadi akibat perubahan homeostasis tubuh yang berperan pada
timbulnya kerusakan jaringan. Untuk komplikasi seperti gagal ginjal, kerusakan hati,
perdarahan paru, vaskulitis dan ganguan jantung berupa miokarditis, perikarditis dan
aritmia jarang ditemukan walaupun umumnya sebagai penyebab kematian (Rampengan,
2016).

7. Pemeriksaan
Diagnosis laboratorium leptospirosis melibatkan dua kelompok pengujian.
Kelompok pertama didesain untuk mendeteksi antibodi anti-leptospira, sedangkan
kelompok kedua untuk mendeteksi Leptospira, antigen Leptospira atau asam nukleat
Leptospirapada cairan tubuh maupun jaringan (Widjajanti,. 2019).

• Kultur dan Microscopic Agglutination Test (MAT) adalah gold standart untuk
diagnosis laboratorium dan yang paling banyak digunakan. Beberapa cara
penegakan diagnosis leptospirosis telah dikembangkan, di antaranya
• Skrining cepat, seperti Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), uji
aglutinasi lateks, uji aliran lateral dan dipstik IgM, tapi sayangnya
sensitivitas alat tersebut masih sangat rendah terutama pada saat fase
akut.
• Polymerase Chain Reaction(PCR), terbukti berguna untuk mendiagnosis
leptospirosis lebih awal sebelum dimulainya produksi antibodi,
sayangnya biaya operasional PCR ini sangat mahal, sehingga dirasa kurang
efisien.
• Masa akut diagnosis dilakukan dengan mengkultur bakteri Leptospira dari
darah, urin dan cairan serebrospinal; selain itu diagnosis dilakukan
melalui PCR.

13
• Masa transisi dari fase akut ke fase imun diagnosis dilakukan melalui uji
ELISA IgM dan dipstik.
• Pada saat fase imun diagnosis dilakukan melalui uji MAT, yang merupakan
standar emas penegakan diagnosis leptospirosis berdasarkan rekomendasi
dari WHO (Rampengan, 2016)

8. Tatalaksana
Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera setelah diduga
diagnosis leptospirosis, sebaiknya sebelum hari ke-5 setelah onset penyakit. Umumnya
dokter mengobati dengan antibiotik tanpa menunggu timbulnya penyakit. Pengobatan
pada leptospirosis tergantung pada tingkat keparahannya.

• Bagi penderita leptosiprosis ringan pengobatannya berupa tablet doksisiklin


dengan dosis 100 mg diminum dua kali sehari selama tujuh hari.
• Bagi penderita leptospirosis sedang dan/atau berat pengobatannya berupa
penicilin G intravena dengan dosis 1,5 MU setiap enamjam selama tujuhhari.
Jika terjadi gagal ginjal perlu dilakukan hemodialisa dan perlu
dilakukan ventilasi pernafasan mekanis jika terjadi perdarahan pada paru-
paru.
• Bagi orang yang memiliki risiko tinggi terkena leptospirosis, maka perlu
diberikan doksisiklin oral sebagai profilaksis sebesar 200 mg per minggu
selama terpapar risiko (Widjajanti,. 2019).

14
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan
“Penyakit infeksi” adalah gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme -seperti
bakteri, virus, jamur, atau parasit. Penyakit infeksi yang terkait dengan skenario ada tiga
yaitu malaria, hepatitis, dan leptospirosis. Malaria adalah
penyakit infeksi yang disebabkan parasit plasmodium yang ditularkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Malaria sering diduga apabila ada
demam dengan ikterus bahkan sering diinterpretasikan dengan diagnosa hepatitis dan
leptospirosis. ditemukan gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-
pegal, dan nyeri otot. Agar lebih pasti dapat dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop
dan Rapid Diagnostic Test. Hepatitis didefinisikan sebagai peradangan hati yang dapat
terjadi akibat berbagai penyebab seperti penggunaan alkohol berat, autoimun, obat-
obatan, atau racun. jenis hepatitis virus yang paling umum adalah Hepatitis A, Hepatitis
B, dan Hepatitis C. Jenis hepatitis virus lainnya adalah hepatitis D dan E dan lebih jarang
ditemui. Sebagian besar hepatitis disebabkan oleh virus hepatitis A, B, C, D, dan E.
Biasanya pasien dengan virus hepatitis melewati 4 fase (fase replikasi virus, fase
prodromal, fase ikterik dan fase pemulihan). Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang
disebabkan oleh infeksi Leptospira interrogans semua serotipe. Sering terjadi ketika
adanya bencana banjir maka sering disebut flood fever. Leptospirosis disebabkan oleh
bakteri dari genus Leptospira dari famili Leptospiraceae, ordo Spirochaetales. Leptospira
saprofit ditemukan di lingkungan basah atau lembab mulai dari air permukaan, tanah
lembab, serta air keran. Gejala yang ditimbulkan antara lain, nyeri kepala daerah frontal,
nyeri otot betis, paha, pinggang terutama saat ditekan, diikuti dengan hiperestesi kulit,
demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan kesadaran. Tidak sedikit
ditemukan bradikardia dan ikterus. Maka Jika dilihat sekilas, penyakit infeksi yang paling
berkaitan dengan skenario pada LBM kali ini adalah Leptospirosis. Leptospirosis
disebabkan adanya leptospire patogen. Masuknya leptospire biasanya melalui lecet kulit
dan selaput lendir rongga mulut dan konjungtiva. Penularan dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan inang yang terinfeksi, tetapi lebih sering terjadi melalui tanah, dari air
yang terkontaminasi di mana bakteri diketahui dapat bertahan dan dari urin hewan yang

15
terinfeksi. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu meningitis aseptik, ensefalitis, mielitis,
radiculitis, neuritis perifer dan pada minggu kedua karena terjadinya reaksi
hipersensitivitas. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu Kultur dan Microscopic
Agglutination Test (MAT), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), dan
Polymerase Chain Reaction(PCR). Pengobatan yang dapat diberikan yaitu obat
antibiotik seperti doksisiklin oral dan penicilin intra vena.

16
DAFTAR PUSTAKA
Brito, T.D 2018, Pathology and pathogenesis of human leptospirosis: a commented
review, Revista Instituto Medicina, Tropical Sao Paulo.

Grennan, D 2019, Leptospirosis, Journal American medical Asssociation, Vol.321 No.8.

Imbiri, J. K. (2012). ANALISIS FEKTOR RISIKO MALARIA DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS SARMI KOTA KABUPATEN SARMI TAHUN 2012 (Doctoral
dissertation, Program Pascasarjana Undip).

Joegijantoro, R., 2019. PENYAKIT INFEKSI. s.l.:Intimedia.

Kumar, V., Abbas, A. & Aster, J., 2019. Buku Ajar Patologi Robbins 10th Edition.
s.l.:Elsevier.

Mehta, P., & Reddivari, A. K. R. (2021). Hepatitis. In StatPearls [Internet]. StatPearls


Publishing.

Plewes, K., Leopold, S. J., Kingston, H. W. F., & Dondorp, A. M. (2019). Malaria: What's
New in the Management of Malaria?. Infectious disease clinics of North
America, 33(1), 39–60. https://doi.org/10.1016/j.idc.2018.10.002

Rampengan, N. H., 2016. Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 3,


Issue Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado, pp. 143-150.

Subdit Malaria Direktorat P2PTVZ , 2017. BUKU SAKU TATALAKSANA KASUS


MALARIA. s.l.:KEMETENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.

Widjajanti, W. (2019). Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan


Leptospirosis. JHECDs: Journal of Health Epidemiology and Communicable
Diseases, 5(2), 62-68.

17

Anda mungkin juga menyukai