Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION


LBM 4
“Sudah Banjir, Tubuhku Demam, dan Mata Kuning”

Disusun Oleh:

NAMA : S. K. Karyadi Putra


NIM : 021.06.0091
KELOMPOK : SGD 7
TUTOR : dr. Alfian Muhajir, M.M.
BLOK : Sistem Hematologi dan Imunologi

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya sampaikan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya saya dapat melaksanakan dan menyusun laporan Small Group
Discussion (SGD) LBM 4 yang berjudul “Sudah Banjir, Tubuhku Demam, dan
Mata Kuning” ini tepat pada waktunya. Laporan ini ditulis untuk memenuhi
persyaratan sebagai syarat nilai SGD serta Pleno dalam Blok Sistem Hematologi
dan Imunologi. Dalam penyusunan laporan ini, saya mendapat banyak bantuan,
masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui
kesampatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan
kaporan ini dengan lancar.
2. dr. Alfian Muhajir, M.M. selaku Tutor serta Fasilitator Small Group
Discussion (SGD) kelompok 7
3. Bapak/Ibu dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar yang
memberikan masukan terkait laporan yang saya buat.
4. Kakak tingkat yang berkenan memberikan masukan terkait dengan laporan
yang telah saya buat.
5. Serta kepada teman-teman dan orang tua saya yang memberikan masukan
dan dukungannya kepada saya.
Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata saya berharap semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang akan menggunakannya.

Mataram, 01 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

1.1 Skenario ......................................................................................................... 1

1.2 Deskripsi Masalah ......................................................................................... 2

BAB II .................................................................................................................... 4

PEMBAHASAN .................................................................................................... 4

2.1 Diagnosis Banding (DD) (DBD dan Malaria) dan Jenis Jenis Demam ........ 4

2.2 Definisi Leptospirosis .................................................................................. 14

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Leptospirosis .................................................... 15

2.4 Epidemiologi Leptospirosis ......................................................................... 20

2.5 Manifestasi Klinis Leptospirosis ................................................................. 21

2.6 Penegakan Diagnosis Leptospirosis ............................................................ 24

2.7 Patofisiologi Leptospirosis .......................................................................... 27

2.8 Pemeriksaan Fisik Leptospirosis ................................................................. 29

2.9 Pemeriksaan Penunjang Leptospirosis ........................................................ 30

2.10 Tata Laksana dan KIE Leptospirosis ......................................................... 32

2.11 Prognosis Leptospirosis ............................................................................. 35

BAB III ................................................................................................................. 36

KESIMPULAN.................................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Skenario
LBM 4
“Sudah Banjir, Tubuhku Demam, dan Mata Kuning”
Tn. U., laki-laki, usia 25 tahun, datang diantar keluarganya ke UGD dengan
keluhan demak sejak 5 haru yang lalu, demam muncul mendadak, dan dirasakan
terus menerus. Ia juga mengeluh mata merah dan kekuningan, sakit kepala terutama
di bagian depan, mual muntah, nyeri otot dan nafas terasa agak berat. Jumlah BAK
pasien juga 2 hari ini menurun. Keluhan disertai pegal-pegal, sakit pada otot badan
dan sendi, nyeri otot dirasakan terutama pada kedua betis pasien. Diketahui bahwa
rumah pasien sedang terendam banjir +- 2 minggu ini.

1
1.2 Deskripsi Masalah
Dalam SGD LBM 4 Pada blok Sistem Hematologi dan Imunologi yang
berjudul “Sudah Banjir, Tubuhku Demam, dan Mata Kuning”, kami mendapatkan
beberapa identifikasi masalah. Dalam scenario diceritakan bahwa Tn.U merupakan
laki-laki usia 25 tahun, yang datang dengan keluhan demam yang muncul
mendadak sejak 5 hari yang lalu. Tn. U juga mengeluhkan mata merah dan
kekuningan, sakit kepala terutama pada bagian depan, mual muntah, nyeri otot
terutama pada bagian betis, dan nafas agak terasa berat. Tn. U juga mengatakan
bahawa BAK pasien menurun 2 hari ini. Gejala-gejala ini merujuk pada penyakit
yang dikenal dengan leptospirosis.
Demam adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke
dalam tubuh ketika suhu meningkat melebihi suhu tubuh normal. Pada scenario
dikatakan bahwa Tn. U mengalami demam yang muncul mendadak sejak 5 hari
yang lalu. Demam ini dapat diakibatkan karena adanya inflamasi yang terjadi di
dalam tubuh Tn. U. Inflamasi atau peradangan ini dapat diakibatkan adanya
patogen, seperti bakteri, virus, serta parasit.
Dalam scenario dikatakan juga bahwa Tn. U mengeluhkan matanya merah
dan kekuningan. Kejadian ini dikenal sebagai ikterus. Ikterus bukan merupakan
suatu penyakit, melainkan gejala dimana sklera, membran mukosa, dan kulit
berubah menjadi kuning sebagai akibat dari kenaikan konsentrasi bilirubin dalam
darah. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang
mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
Hemoglobin yang keluar dari eritrosit yang mati akan terurai menjadi 2
zat yaitu hem dan globin. Hem yang di hasilkan dari penguraian hemoglobin
mengandung Fe atau zat besi yang di simpan dan digunakan kembali untuk
eritropoesis. Sisa dari hem selanjutnya akan diikat oleh albumin dan di bawa ke
hepar guna di ubah menjadi bilirubin (pigmen kekuningan) oleh enzim-enzim hepar
seperti glukoronidase transferase. Bilirubin ini selanjutnya akan di simpan di dalam
kandung empedu dan dibawa ke usus untuk mewarnai feses. Ketika eritrosit
mengalami lisis yang berlebihan, kandungan bilirubin juga akan meningkat dalam
tubuh, sehingga manifestasi klinis ikterus atau mata yang berwarna kekuningan
dapat muncul pada penderita leptospirosis.

2
Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang
mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
Rusaknya eritrosit ini akan dipecah oleh limfa atau spleen. Ketika hal ini terus
terjadi dan semakin banyak, dapat membuat terjadinya spleenomegali dan
hepatomegaly yang nantinya akan menampakan manifestasi klinis berupa mual
muntah.
Leptospira dapat masuk ke dalam cairan serebrospinalis pada fase
leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan
neurologi terbanyak yang terjadi akibat komplikasi leptospirosis. Hal inilah yang
menjadi salah satu penyebab timbulnya sakit kepala yang merupakan salah satu
manifestasi dari leptospirosis.
Timbulnya manifestasi klinis berupa nyeri yang muncul pada tubuh
penderita, terutama pada bagian betis (gastrocnemius) disebabkan karena adanya
reaksi kimia pada sistem imun, seperti kinin, bradykinin, dan prostaglandin. Nyeri
ini merupakan sinyal bagi tubuh ketika terjadi suatu peradangan atau inflamasi pada
tubuh penderitanya.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen
tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler
salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal
disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Hal inilah
yang menyebabkan timbulnya manifestasi klinis pasien BAK dengan frekuensi dan
jumlah yang sedikit
Materi mengenai Leptospirosis meliputi diagnosis banding (DBD dan
Malaria), definisi, etilogi, epidemiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang serta penatalaksanaan gangguan
tersebut penting untuk dipelajari untuk memahami blok Sistem Hematologi dan
Imunologi dan akan berguna di blok selanjutnya yang relevan dengan blok Sistem
Hematologi dan Imunologi.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Diagnosis Banding (DD) (DBD dan Malaria) dan Jenis Jenis Demam
Demam Berdarah Dengue
Definisi dan Etiologi
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang tergolong
kedalam golongan penyakit akut yang disebabkan oleh virus Dengue yang
ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae). Ae aegypti
merupakan vektor yang paling utama, namun spesies lain seperti Ae. albopictus
juga dapat menjadi vektor penular. Terdapat 4 jenis virus dengue yang diketahui
dapat menyebabkan penyakit demam berdarah. Yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan
DEN-4 serta DEN-5. Penyakit DBD dapat menyerang manusia dari berbagai
kelompok umur, terutama kelompok anak-anak (Sukesi, T. Y., 2018).

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan


dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik-
bintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan
mengisap cairan tumbuhan atan sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan
yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusiadari
pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari.
Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-
17.00). Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk
memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif
sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap
(beristirahat) di dalam atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah
benda-benda yang tergantung dan biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab.
Disini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina
akan meletakkan telurnya didinding tempat perkembangbiakan,sedikit diatas
permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2
hari setelah terendam air. Jentik kemudian menjadi kepompong dan akhirnya
menjadi nyamuk dewasa (Sukesi, T. Y., 2018).

4
Patofisiologi

Gambar 1 Perubahan Patofisiologis Utama pada DBD


Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom
renjatan dengue. Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang
memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi
di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi
T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma.
Interferon gamma akan mengaktivasi monosit 15 sehingga disekresi berbagai
mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, dan
histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran
plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks
virusantibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma (Sudoyo AW,
dkk, 2014),

5
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang dan Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler
dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah
pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan. Hal ini
menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi
terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan
fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan
PF4 yang merupakan pertanda degranulasi trombosit. Fenomena patofisiologi
utama menentukan berat penyakit dan membedakan demam berdarah dengue
dengan dengue klasik ialah tingginya permeabilitas dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diabetes
hemoragik (Sudoyo AW, dkk, 2014),

Manifestasi Klinis
Masa inkubasi DBD dimulai dari gigitan sampai timbul gejala, berlangsung
selama dua minggu. Darah penderita sudah mengandung virus, yaitu sekitar 1 - 2
hari sebelum terserang demam. Virus tersebut berada dalam darah selama 5 - 8 hari.
Jika daya tahan tubuh tidak cukup kuat melawan virus dengue maka orang tersebut
akan mengalami berbagai gejala DBD. Pada penderita DBD selalu terjadi
trombositopenia yang mulai ditemukan pada hari ketiga dan berakhir pada hari
kedelapan sakit. Umumnya, jumlah trombosit <100.00/mm3. Selain itu, terjadi
peningkatan nilai hematokrit ≥ 20 % dari nilai baseline yang dikarenakan kebocoran
pembuluh darah, efusi pleura, ascites, dan atau hypoproteinemia/ hipo
albuminemia. Adapun gejalan DBD lainnya adalah sebagai berikut (Sukesi, T. Y.,
2018).:
• Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari

6
• Manifestasi perdarahan ditandai dengan: Uji tourniqet positif, Petekie,
ekimosis, purpura, Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi,
Hematemesis dan atau melena
• Pembesaran hati
• Renjatan ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba penyempitan
tekanan nadi (20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan
dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien
menjadi gelisah, timbul sianosis di sekira mulut.
• Jika renjatan tidak tertangani dengan cepat maka pasien akan masuk ke fase
Dengue Syok Sindrom (DSS) (Sukesi, T. Y., 2018).

Pada pemeriksaan penunjang demam dengue (dengue fever/DF) dapat ditemukan:


• Trombositopenia dengan hitung trombosit < 100.000 sel/mikroL. Hal ini
terjadi di hari ketiga hingga kedelapan sejak onset, seringnya terjadi
sebelum atau bersamaan dengan perubahan pada hematokrit.
• Kadar hematokrit yang meningkat lebih dari 20% merupakan dasar untuk
mempertimbangkan diagnosa definitf adanya peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan kebocoran plasma (hemokonsentrasi). ini juga menjadi
tanda akan terjadinya syok
• NS1 (non-structural protein 1) antigen yang akan terdeteksi dalam serum
orang yang terinfeksi virus dengue di hari pertama demam hingga hari ke-
18
• IgM antibodi dengue yang positif sebagai tanda adanya infeksi akut.
Umumnya, IgM antibodi akan terdeteksi sekitar hari ke 5-10 sakit,
kemudian akan menurun kadarnya hingga hari ke-90.
• IgG ELISA positif, sebagai tanda pernah terinfeksi dengue di masa lalu. IgG
akan terdeteksi negatif pada fase akut dengue. Kemudian bila menjadi
positif pada masa konvalesen menunjukan infeksi dengue primer. IgG yang
positif pada fase akut dengue, kemudian meningkat empat kali pada masa
konvalesen (minimal interval 7 hari) menunjukkan infeksi dengue yang
sekunder.

7
• Pemeriksaan radiologi thoraks PA dapat dilakukan untuk melihat apakah
ada efusi pleura, namun efusi pleura dalam volume yang kecil bisa tidak
tampak pada gambaran rontgen.

Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD
dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif. Pada fase demam pasien dianjurkan untuk
mengonsumsi Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
Untuk menurunkan suhu menjadi < 39°C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat meyebabkan
gastritis, perdarahan, atau asidosis. Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per
oral, jus buah, sirop, susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan
selama 2 hari. Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase
konvalesen (Sudoyo AW, dkk, 2014), (Sukesi, T. Y., 2018).

Malaria
Definisi dan Etiologi
Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu bayi,
anak balita, dan ibu hamil. Selain itu, malaria secara langsung menyebabkan anemia
dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Penyebab Malaria adalah parasit
Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Dikenal 5
(lima) macam spesies yaitu: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale, Plasmodium malariae dan Plasmodium knowlesi. Parasit yang
terakhir disebutkan ini belum banyak dilaporkan di Indonesia (Parambang, S. J.,
dkk, 2021).

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan sampai
membahayakan jiwa. Gejala utama demam sering didiagnosis dengan infeksi lain:
seperti demam typhoid, demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan infeksi

8
saluran nafas. Adanya thrombositopenia sering didiagnosis dengan leptospirosis,
demam dengue atau typhoid. Apabila ada demam dengan ikterikbahkan sering
diintepretasikan dengan diagnosa hepatitis dan leptospirosis. Penurunan kesadaran
dengan demam sering juga didiagnosis sebagai infeksi otak atau bahkan stroke
(Sudoyo AW, dkk, 2014).

Gejala demam tergantung jenis malaria. Sifat demam akut (paroksismal)


yang didahului oleh stadium dingin (menggigil) diikuti demam tinggi kemudian
berkeringat banyak. Gejala klasik ini biasanya ditemukan pada penderita non imun
(berasal dari daerah non endemis). Selain gejala klasik di atas, dapat ditemukan
gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot .
Gejala tersebut biasanya terdapat pada orang-orang yang tinggal di daerah endemis
(imun) (Sudoyo AW, dkk, 2014), (Parambang, S. J., dkk, 2021).

Pemeriksaan fisik
• Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5 °C
• Konjungtiva atau telapak tangan pucat
• Sklera ikterik
• Pembesaran Limpa (splenomegali)
• Pembesaran hati (hepatomegali) (Cohee, L. M. dkk, 2020).

Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan dengan mikroskop
• Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/lapangan/
rumah sakit/laboratorium klinik untuk menentukan:
o Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
o Spesies dan stadium plasmodium.
o Kepadatan parasit.
• Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test).
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metoda imunokromatografi. Sebelum menggunakan RDT
perlu dibaca petunjuk penggunaan dan tanggal kadaluarsanya. Pemeriksaan

9
dengan RDT tidak digunakan untuk mengevaluasi pengobatan (Cohee, L.
M. dkk, 2020), (Parambang, S. J., dkk, 2021).

Penatalaksanaan
• Malaria falsiparum dan Malaria vivaks
Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan ACT
ditambah primakuin. Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan malaria
vivaks, Primakuin untuk malaria falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja
dengan dosis 0,25 mg/kgBB, dan untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis
0,25 mg /kgBB. Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia < 6 bulan
(Parambang, S. J., dkk, 2021).
• Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan dengan
regimen ACT yang sama tapi dosis Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5
mg/kgBB/hari (Parambang, S. J., dkk, 2021).
• Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP ditambah
dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan untuk
malaria vivaks (Parambang, S. J., dkk, 2021).
• Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari selama 3 hari,
dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
primakuin (Parambang, S. J., dkk, 2021).
• Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivax/P.ovale
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT selama 3 hari serta
primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (Parambang, S. J., dkk,
2021).
• Pengobatan malaria pada ibu hamil
Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan
pengobatan pada orang dewasa lainnya. Pada ibu hamil tidak diberikan Primakuin
(Parambang, S. J., dkk, 2021).

10
Jenis-Jenis Demam
Demam didefinisikan sebagai suatu bentuk system pertahanan non spesifik
yang menyebabkan perubahan mekanisme pengaturan suhu tubuh mengakibatkan
kenaikan suhu tubuh diatas variasi sirkadian yang normal sebagai akibat perubahan
pusat termoregulasi yang terletak dalam hiptalamus anterior. Suhu tubuh adalah
cerminan dari keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas, keseimbangan
ini diatur oleh pengatur suhu (termostat) yang terdapat di otak (hipotalamus).
Demam diartikan suhu tubuh di atas 37,2°C. Suhu tubuh normal dapat
dipertahankan pada perubahan suhu lingkungan, karena adanya kemampuan pada
pusat termoregulasi untuk mengatur keseimbangan antara panas yang diproduksi
oleh jaringan, khususnya oleh otot dan hepar, dengan panas yang hilang.
Mekanisme kehilangan panas yang penting adalah vasodilatasi dan
berkeringat.Demam yang berarti temperatur tubuh di atas batas normal, dapat
disebabkan oleh kelainan di dalam otak sendiri atau oleh bahan-bahan toksik yang
mempengaruhi pusat pengaturan suhu. (Guyton and Hall, 2019)

Gambar 1. Suhu Tubuh Pada Berbagai Keadaan (Guyton and Hall,2019)


Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung
dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang.
Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag, dan sel
kupfer mengeluarkan sitokin yang berperan sebagai pirogen endogen (IL-1, TNF-
α, IL-6, dan interferon) yang bekerja pada pusat thermoregulasi hipotalamus.
Sebagai respon terhadap sitokin tersebut maka terjadi sintesis prostaglandin,
terutama prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur

11
siklooksigenase-2 (COX-2) dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh.
Hipotalamus akan mempertahankan suhu sesuai patokan yang baru dan bukan suhu
normal (Guyton and Hall, 2019)

Gambar 2. Mekanisme Demam (Widyastuti, 2016)

Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin


melalui sinyal afferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal Macrophage
Inflammatory Protein-1 (MIP-1), suatu kemokin yang bekerja langsung terhadap
hipotalamus anterior. Berbeda dengan demam dari jalur prostaglandin, demam
melalui MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik. Menggigil ditimbulkan
agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit
juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua
mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam
sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang dialami dan
bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi (Sherwood,2019).
Batasan nilai atau derajat demam dengan pengukuran di berbagai bagian
tubuh sebagai berikut: suhu aksila/ketiak diatas 37,2°C, suhu oral/mulut diatas
37,8°C, suhu rektal/anus diatas 38,0°C, suhu dahi diatas 38,0°C, suhu di membran
telinga diatas 38,0°C. Sedangkan dikatakan demam tinggi apabila suhu tubuh diatas
39,5°C dan hiperpireksia bila suhu diatas 41,1°C. (Guyton and Hall, 2019)
Terdapat pula beberapa tipe demam antara lain:
a. Demam Kontinyu
Demam kontinu adalah keadaan di mana terjadi peningkatan suhu
tubuh 1℃ diatas rata-rata rerata suhu normal selama satu hari penuh atau
1x 24 jam. Demam kontinyu paling sering terjadi pada pasien dengan

12
pneumonia tifoid, gram negatif, infeksi sistem perkemihan, dan meningitis
akut akibat bakteri. (Sutjahjo, 2016)
b. Demam Remiten
Pada keadaan demam remiten rata-rata pasien akan mengalami
peningkatan suhu tubuh yang tidak konstan / naik turun lebih dari 2℃, dan
tidak kunjung mencapai suhu normal. Demam ini mengakibatkan penderita
mengalami pengeluaran cairan (keringat) pada saat malam hari. Demam
remiten sering terjadi pada pasien dengan penyakit malaria dan TB
(Sutjahjo, 2016)
Demam Intermiten
Demam intermiten adalah keadaan dimana terjadinya peningkatan
suhu tubuh dalam selang waktu beberapa jam dalam 1 hari. Pola demam
intermiten biasanya dapat diamati sebagai salah satu tanda gejala dari
adanya indikasi malaria, TB (tuberculosis), Infeksi patogen, sepsis, dan
limfoma. Namun, jika demam ini berlangsung selama 2 hari sering kali
disebut sebagai demam tersiana. Jika demam ini berlangsung dalam 2 hari
dengan 2 jenis demam makan disebut dengan demam kuartana (Sutjahjo,
2016)
c. Demam Quotidian
Quotidian fever terjadi ketika terjadi peningkatan suhu tubuh yang
berasal dari energi jiwa atau biasa disebut sebagai demam seharian. Kondisi
peningkatan suhu tubuh ini hanya akan bertahan selama satu hari dengan
puncak kondisi demam selama 12 jam, dan paling lama demam ini hanya
3x 24. (Trihono et al., 2012)
d. Demam Malaria
Demam malaria adalah kondisi di mana tanda gejala dari demam ini
mencakup dua jenis yaitu demam kontinu dan demam siklik. Demam siklik
sendiri adalah keadaan di mana terjadi peningkatan suhu tubuh secara
berkala selama beberapa hari namun disertai dengan periode bebas demam
selama beberapa hari sesudahnya, dan terjadi peningkatan suhu tubuh secara
berkala. Demam malaria juga bisa termasuk ke dalam replacing fever yaitu
kondisi demam berulang selama harian juga memiliki klasifikasi yang

13
berbeda tergantung pada waktu dan peningkatan suhunya hanya pada
kisaran rerata suhu normal. Bila kondisi demam bertahan selama 1-3 hari
maka termasuk ke dalam demam (malaria tertiana), namun jika pada kisaran
waktu 1- 4 hari akan disebut dengan demam quartana (malaria quartana).
(Trihono et al., 2012)
e. Demam Borreliosis
Demam borreliosis adalah keadaan di mana tubuh melakukan
mekanisme pertahanan diri terhadap infeksi bakteri zoonotik (Borrelia
recurrentis). Demam borreliosis terjadi selama berulang dalam beberapa
waktu, hingga proses infeksi teratasi dengan baik. Periodik waktu dari
demam borreliosis 3-6 hari diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi
waktu yang sama. Suhu pada derajat demam ini mencapai 39,5-40,6℃
(Sutjahjo, 2016)
f. Demam Hodgkin
Demam hodgkin adalah salah satu gejala yang muncul pada pasien
dengan kondisi limfoma/ memiliki gangguan pada sistem limfatik.
Limfoma biasanya ditandai dengan adanya pembesaran limpa dan kelenjar
getah bening, tanpa ada rasa nyeri. Pertumbuhan abnormal pada limpa
secara cepat akibat adanya abnormalitas pada sistem kekebalan tubuh / Sel-
T dapat berdampak pada terjadinya kanker kelenjar getah bening. (Trihono
et al., 2012)
g. Demam Septik
Pada kondisi demam septik terjadi peningkatan suhu tubuh yang
sangat tinggi pada saat malam hari dan berangsur turun mendekati suhu
normal pada saat fajar tiba. Tak jarang gejala demam ini disertai dengan
keadaan menggigil, dan berkeringat. Jika pada suatu waktu suhu tinggi pada
kondisi demam ini turun hingga ke rerata suhu normal maka kondisi ini
disebut dengan hektik (Sutjahjo, 2016).

2.2 Definisi Leptospirosis


Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi
Leptospira interrogans semua serotipe. Leptospirosis juga dikenal dengan nama
flood fever atau demam banjir karena sering menyebabkan terjadinya wabah pada

14
saat banjir. Menurut International Leptospirosis Society (ILS), Indonesia
merupakan negara dengan insiden leptospirosis yang tinggi, serta menempati
peringkat ketiga di dunia untuk tingkat mortalitas. Penyakit ini ditemukan pertama
kali oleh Weil pada tahun 1886, tetapi pada tahun 1915 Inada menemukan
penyebab- nya yaitu spirochaeta dari genus leptospira. Di antara genus leptospira,
hanya spesies interogans yang patogen untuk binatang dan manusia. Sekurang-
kurangnya terdapat 180 serotipe dan 18 serogrup. Satu jenis serotipe dapat
menimbulkan gambaran klinis yang berbeda, sebaliknya, suatu gambaran klinis,
misalnya meningitis aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe. Leptospirosis
memiliki manifestasi klinis yang luas dan bervariasi. Pada leptospirosis ringan
dapat terjadi gejala seperti influenza dengan nueri kepala dan mialgia. Leptospirosis
berat ditandai oleh ikterus, gangguan ginjal, dan perdarahan, dikenal sebagai
sindrom Weil (Sudoyo AW, dkk, 2014).
Leptospirosis ditularkan secara langsung dan tidak langsung dari hewan ke
manusia. Definisi penyakit zoonosa (zoonosis) adalah penyakit yang secara alami
dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya. Sumber infeksi
pada manusia biasanya akibat kontak secara langsung atau tidak langsung dengan
urin hewan yang terinfeksi. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah yang beriklim
sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena
temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup Leptospira,
sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi selama musim hujan. Leptospira dapat
menginfeksi hewan liar maupun hewan piaraan terutama mamalia seperti hewan
pengerat, sapi, anjung, kambing, domba dan babi. Infeksi yang terjadi sering
bersifat insidental karena terpapar oleh lingkungan yang telah tercemar urin hewan
terinfeksi Leptospira (Kementerian kesehatan RI, 2017).

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Leptospirosis


Leptospirosis disebabkan oleh organisme pathogen dari genus Leptospira
yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dalam Famili Trepanometaceae. Bakteri ini
berbentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya berbentuk seperti
kait sehingga bakteri sangat aktif baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju-
mundur, maupun melengkung, Ukuran bakteri ini 0,1 mm x 0,6 mm sampai 0,1 mm
x 20 mm (Kementerian kesehatan RI, 2017).

15
Gambar 2 Leptospira Melalui Mikroskop Lapangan Gelap
Genus Leptospira terbagi dalam dua serovarian yaitu L. interrogate yang
bersifat pathogen (yaitu memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit pada hewan
dan manusia) dan serovarian L. Biflexa yang bersifat non pathogen/ saprophytic
(yaitu hidup bebas dan umumnya dianggap tidak menyebabkan penyakit).
Leptospira pathogen dipelihara di alam di tubulus ginjal dan saluran kelamin hewan
tertentu. Saprophytic Leptospira ditemukan di berbagai jenis lingkungan basah atau
lembab mulai dari permukaan air dan tanah lembab. Bahkan untuk
Saprophytichalophilic (menyukai garam) Leptospira dapat ditemukan dalam air
laut (Kementerian kesehatan RI, 2017).

16
Gambar 3 Faktor Risiko Penyebaran Leptospira
Faktor risiko Leptospirosis merupakan kondisi yang melekat pada
individu (seperti riwayat, usia, jenis kelamin, dan keluarga) dan kebiasaan (seperti
aktivitas sehari-hari) yang lebih umum diantara orang yang terkena Leptospirosis
dibandingkan orang yang tidak terjangkit Leptospirosis. Faktor risiko biasanya
tidak menyebabkan penyakit tetapi hanya mengubah probabilitas seseorang (atau
risiko) untuk mendapatkan penyakit. Secara epidemiologik bahwa penyakit
dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu pertama faktor agent penyakit yang
berkaitan dengan penyebab (jumlah, virulensi, patogenitas kuman Leptospira),
faktor kedua yang berkaitan dengan faktor host (pejamu/tuan rumah/penderita)
termasuk di dalamnya adalah keadaan kebersihan perorangan, keadaan gizi, usia,
taraf pendidikan, jenis pekerjaan, sosial ekonomi dll, dan Faktor ketiga adalah
lingkungan fisik (selokan tidak terawat, banyak genangan air) lingkungan bilogik
(banyaknya populasi tikus di dalam atau sekitar rumah, hewan piaraan sebagai
hospes perantara), lingkungan sosial ekonomi (jumlah pendapatan), lingkungan
budaya (Ramadhani, dkk, 2020)
A. Umur dan jenis kelamin

17
Kasus Leptospirosis terbanyak pada umur 15 tahun – 69 tahun. Kasus
Leptospirosis pada anak jarang di laporkan, karena tidak terdiagnosis atau
manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa. Laki-laki dan perempuan
mempunyai peluang yang sama tertular Leptospirosis (Kementerian kesehatan RI,
2017).
B. Pekerjaan
Infeksi pada manusia bisa di dapat melalui pekerjaan, aktivitas di luar
pekerjaan, rekreasi, kegemaran orang yang bekerja atau melakukan aktivitas di
lingkungan yang berhubungan dengan tikus atau lingkungan yang tercemari urin
tikus terinfeksi, maka orang tersebut mempunyai risiko terinfeksi. Pekerja
laboratorium yang berhubungan dengan pertanian atau binatang, pekerja
peternakan, pekerja perkebunan karet, pekerja abbatoir, pengolahan ikan dan
unggas, jagal, penggali selokan, pekerja selokan, petani, pekerja pasar, dokter
hewan, pekerja tambang, pekerja hewan, pengelola sampah di daerah endemis
Leptospirosis. Kontak dengan air, lumpur, tanah maupun rumput yang tercemari
urin tikus terinfeksi, saat latihan militer, rekreasi seperti berenang, hiking, kamping,
berburu, memancing, berkebun dan penggunaan air tanah hujan, serta berjalan
disekitar rumah tanpa alas kaki mempunyai risiko tinggi untuk tertulari Leptospira
(Kementerian kesehatan RI, 2017).
C. Kebiasaan Penderita
Beberapa faktor yang merupakan faktor risiko kejadian Leptospirosis
menurut kebiasaan seperti kebiasaan aktifitas ditempat berair dengan kondisi
adanya luka di badan, kebiasaan tidak merawat luka dengan baik di daerah banyak
genangan air juga merupakan faktor risiko Leptospirosis. Kebiasaan tidak memakai
alas kaki, kebiasaan mandi di sungai, perilaku hidup bersih yang kurang baik seperti
keberadaan sampah di dalam rumah dan kurang pengetahuan tentang Leptospirosis
(Kementerian kesehatan RI, 2017).
D. Keberadaan Tikus
Faktor risiko kejadian Leptospirosis yang penting adalah keberadaan tikus
didalam rumah dan lingkungan di sekitar rumah. Tikus merupakan hewan penular
utama Leptospirosis (lebih dari 50%). Berdasarkan referensi penelitian hasil Brooks
dkk (2001), adanya tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4 kali lebih tinggi

18
terkena Leptospirosis. Jenis tikus yang sering sebagai reservoar terjadinya
Leptospirosis adalah tikus riul (R.norvegicus), tikus rumah (R.diardii), tikus kebun
(R. exulans) celurut rumah (Suncus murinus). Disamping keberadaan binatang
disekitar rumah juga merupakan faktor risiko seperti anjing, kucing, kambing, sapi
dan lain sebagainya (Kementerian kesehatan RI, 2017).
E. Keberadaan Hewan
Di sebagian besar negara tropis termasuk negara berkembang kemungkinan
paparan Leptospirosis terbesar pada manusia karena terinfeksi dari binatang ternak,
binatang rumah, maupun binatang liar. Di Salem distrik di Tanil Nadu India, pada
bulan Oktober tahun 2000 dilaporkan adanya seorang pekerja di pegilingan padi
yang lingkungannya banyak binatang ternak, anjing, tikus, dan kucing menderita
Leptospirosis, setelah dilakukan pemeriksaan MAT terhadap hewan-hewan
tersebut didapatkan 12 dari 23 (52, 1%) tikus, 6 dari 9 (66, 6%) kucing, 2 dari 4
(50%) anjing, 18 dari 34 (52, 9%) hewan ternak test MAT positif (Kementerian
kesehatan RI, 2017).
F. Lingkungan
Kondisi lingkungan dapat merupakan faktor risiko timbulnya Leptospirosis,
seperti di daerah rawan banjir, daerah kumuh, persawahan/perkebunan dan tempat
rekreasi (kolam renang, danau). Dari beberapa referensi penelitian diketahui
beberapa faktor risiko di lingkungan rumah dengan kondisi rumah tidak sehat,
lingkungan tanah becek banyak genangan air, selokan dekat rumah yang tidak
mengalir, sampah sekitar rumah yang tidak dikelola. Leptospira dapat bertahan
hidup di lingkungan yang ber pH mendekati netral (6,8 – 74). Curah hujan secara
tidak langsung dapat di kaitkan dengan angka kejadian Leptospira, hal ini karena
curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya banjir dan adanya
genangan air yang dapat merupakan faktor risiko Leptospirosis. Leptospira dapat
hidup berbulan-bulan dalam lingkungan yang hangat (220C) dan pH relatif netral
(pH 6, 2-8). Bila di air dan lumpur yang paling cocok untuk bakteri Leptospira
adalah dengan pH antara 7,0-7,4. Temperatur antara 280C-300C. Bakteri ini dapat
hidup dalam air yang mengenang. Karakteristik air pada sawah yang cocok untuk
bakteri Leptospira adalah air yang menggenang dengan ketinggian 5-10 cm dan pH

19
antara 6,7-8,5 (Kementerian kesehatan RI, 2017), (Zukhruf, I. A., & Sukendra, D.
M., 2020).

2.4 Epidemiologi Leptospirosis


Leptospirosis terjadi di berbagai belahan dunia tetapi pada umumnya di
wilayah tropis dan subtropis dengan curah hujan yang tinggi. Leptospirosis
merupakan penyakit endemis di sejumlah negara bahkan di dunia. Sering memiliki
distribusi musiman dan meningkat dengan adanya peningkatan curah hujan atau
peningkatan temperatur bahkan penyakit ini dapat terjadi sepanjang tahun.
Sejumlah Negara di wilayah Asia Tenggara telah melaporkan adanya kasus
Leptospirosis dari waktu ke waktu dan sebagian besar negara di wilayah Asia
Tenggara merupakan wilayah endemis Leptospirosis. Besaran masalah
Leptospirosis di setiap negara berbeda-beda dan sering dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti sosio-kultural, pekerjaan, perilaku dan faktor lingkungan. Risiko
tertular Leptospirosis semakin tinggi di wilayah pedesaan dimana masyarakat
sebagian besar merupakan petani atau peternak (Kementerian kesehatan RI, 2017).

Gambar 4 Peta Persebaran Leptospirosis di Indonesia


Pada tahun 2010 kasus Leptospirosis di Indonesia di laporkan sebanyak 410
kasus dengan 46 kasus kematian (CFR 11, 2%). Kasus tersebut ditemukan di
delapan (8) provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Timur, Bengkulu, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Selatan. Pada periode tahun 2009
sd 2011 kasus Leptospirosis di Indonesia semakin meningkat. Tahun 2011
merupakan kasus paling banyak dengan 857 kasus dengan 82 kasus kematian (CFR

20
9, 56%) hal tersebut di karenakan terjadinya KLB di provinsi Di Yogyakarta. Tahun
2012 kasus mengalami penurunan yaitu 222 kasus dan 28 kematian akan tetapi
angka kematian meningkat CFR 12, 6% di karenakan meningkatnya kasus kematian
di kota Semarang. Tahun 2013 di laporkan terjadi sebanyak 640 kasus dengan
kematian 60 kasus (CFR 9,37%) meningkatnya jumlah kasus karena terjadi KLB
di Kabupaten Sampang Madura. Terjadi peningkatan angka kematian karena terjadi
KLB di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Tengah karena intensitas hujan yang tinggi
berakibat tejadinya banjir (Kementerian kesehatan RI, 2017), (Widjajanti W.,
2019).

Beberapa wilayah di Indonesia merupakan daerah endemis Leptospirosis


namun penyakit ini telah bertahun-tahun menjadi masalah kesehatan yang sangat
tidak diperhatikan. Kegiatan penanggulangan Leptospirosis belum menjadi
kegiatan rutin di sejumlah wilayah di Indonesia. Pada keadaan banjir besar di
Indonesia di bulan januari 2002 terjadi wabah Leptospirosis terutama di Jakarta.
Kegiatan serosurvei telah di lakukan pada binatang pada saat terjadi banjir di tahun
2002, hasilnya memperlihatkan tingkat seropositif yang tinggi di antara binatang
peliharaan sebagai reservoir infeksi seperti kucing, anjing, dan ternak sapi dengan
demikian risiko infeksi pada manusia tinggi (Kementerian kesehatan RI, 2017).

2.5 Manifestasi Klinis Leptospirosis


Secara garis besar manifestasi klinis dapat dibagi menjadi leptospirosis an-
ikterik dan ikterik. Leptospirosis an-ikterik merupakan fase septik dengan gejala
demam, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual dan muntah. Fase imun terdiri dari
demam yang tidak begitu tinggi, nyeri kepla hebat, meningitis aseptik, konjungtiva
hiperemis, uveitis, hepatospenomegali, kelainan paru, dan ruam kulit. Leptospirosis
ikterik merupakan fase septik sama dengan fase an-ikterik. Manifestasi yang
mencolok terjadi pada fase imun, ditandai dengan disfungsi hepatorenal disertai
diastesis hemoragik (Sudoyo AW, dkk, 2014).
A. Mata. Pada fase akut dapat ditemukan dilatasi pembuluh darah konjungtiva,
perdarahan subkonjungtiva, dan retinal vasculitis. Sedangkan pada fase
imun, sering ditemukan iridosiklitis.

21
B. Saluran Cerna. Gejala klinik pada saluran cerna termasuk ikterus,
hepatitis, kolesistitis, pankreatitis, dan perdarahan saluran cerna. Terdapat
peningkatan ringan kadar enzim transaminase dan gamma-GT, namun pada
anak yang menderita ikterus kadar enzim transaminase dapat normal;
sedangkan bilirubin pada Weil disease dapat mencapai 30 mg/dl. Pada
leptospirosis yang disertai keluhan nyeri perut, mual dan muntah perlu
dipikirkan adanya pankreatitis.
C. Paru. Gejala klinik dapat berupa batuk, hemoptisis, dan pneumonia. Pada
pemeriksaan foto toraks dapat ditemukan infiltrat unilateral atau bilateral,
dan efusi pleura. Gangguan pernafasan dapat berkembang menjadi adult
respiratory distress syndrome (ARDS) yang memerlukan tindakan intubasi
dan ventilator.
D. Sistem Saraf Pusat. Meningitis pada leptospirosis mempunyai hubungan
yang klasik dengan fase imun. Nyeri kepala merupakan gejala awal.
Leptospira dapat ditemukan pada likuor serebrospinal pada fase
leptospiremia. Limfosit predominan terjadi pada hari ke-4. Hitung jenis
mencapai puncak antara hari ke-5 sampai hari ke-10. Meskipun lebih dari
80% ditemukan organisme pada biakan likuor serebrospinal pada kasus
meningitis, hanya setengah dari kasus tersebut terdapat tanda rangsang
meningeal.
E. Ginjal. Kelainan ginjal dapat bervariasi selama perjalanan penyakit. Pada
urinalisis dapat ditemukan piuria, hematuria, dan proteinuia yang steril.
Nekrosis tubulus akut dan nefritis interstisial merupakan 2 kelainan ginjal
klasik pada leptospirosis. Nekrosis tubulus akut dapat disebabkan langsung
oleh leptospira, sedangkan nefritis terjadi lebih lambat yang diduga
berhubungan dengan komplek antigen- antibodi pada fase imun. Fungsi
ginjal yang semula normal dapat menjadi gagal ginjal yang memerlukan
dialisis. Hipokalemia sekunder dapat terjadi akibat rusaknya tubulus.
Hiperkalemia yang berhubungan dengan asidosis metabolik dan
hiponatremia telah dilaporkan pada kasus leptospirosis. Gagal ginjal akut
yang ditandai oleh oliguria atau poliuria dapat timbul 4–10 hari setelah
gejala timbul.

22
F. Kulit. Ruam pada kulit dapat timbul dalam bentuk makulopapular dengan
eritema, urtikaria, petekie, atau lesi deskuamasi.
G. Otot. Miositis sering timbul pada minggu pertama dan berakhir hingga
minggu ketiga atau keempat dari perjalanan penyakit. Perdarahan pada otot,
sebagian pada dinding abdomen dan ekstremitas bawah menyebabkan nyeri
yang hebat dan diyakini sebagai penyebab akut abdomen.
H. Sistem Kardiovaskular. Vaskulitis akibat leptospira dapat menimbulkan
syok hipovolemik dan pembuluh darah yang kolaps. Komplikasi pada
jantung terjadi pada kasus berat. Dapat timbul miokarditis, arteritis koroner,
dan pada beberapa pasien ditemukan friction rubs. Pada pemeriksaan EKG
dapat dijumpai kelainan berupa blok AV derajat 1, inversi gelombang T,
elevasi segmen ST, dan disritmia. Perdarahan dapat terjadi pada 39% pasien
yang berupa epistaksis, perdarahan gusi, hematuria, hemoptisis, dan
perdarahan paru.
I. Kelenjar Getah Bening. Limfadenopati pada kelenjar ketah bening leher,
aksila, dan mediastium dapat timbul dan berkembang selama perjalanan
penyakit (Sudoyo AW, dkk, 2014).

Karakteristik leptospirosis ialah bifasik. Masa inkubasi leptospirosis


berkisar 2-26 hari, dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai dua fase
penyakit yang khas yaitu fase liptospiremia dan fase imun (Sudoyo AW, dkk,
2014).
• Fase leptospiremia:
Leptospira dapat dijumpai dalam darah. Gejala ditandai dengan nyeri kepala
daerah frontal, nyeri otot betis, paha, pinggang terutama saat ditekan. Gejala ini
diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan
kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%). Pada
sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash, urtikaria kulit, splenomegali,
hepatomegali, dan limf- adenopati. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien
ditangani secara baik, suhu tubuh akan kembali normal dan organ-organ yang
terlibat akan mem- baik. Manifestasi klinik akan berkurang bersamaan dengan
berhentinya prolife- rasi organisme di dalam darah. Fungsi organ-organ ini akan
pulih 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit lebih berat, demam turun

23
setelah hari ke- 7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari, lalu demam kembali. Keadaan
ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun (Sudoyo AW, dkk, 2014).
• Fase imun
Fase ini berlangsung 4-30 hari yang ditandai dengan peningkatan titer
antibodi, demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada leher,
perut, dan otot kaki dijumpai rasa nyeri. Perdarahan paling jelas saat fase ikterik
dimana dapat ditemukan purpura, petekie, epistaksis, dan perdarahan gusi.
Conjuntival injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda
patognomonik untuk leptospirosis. Meningitis, gangguan hati dan ginjal akan
mencapai puncaknya pada fase ini. Pada fase ini juga terjadi leptospiuria yang dapat
berlangsung 1 minggu sampai 1 bulan (Sudoyo AW, dkk, 2014).

2.6 Penegakan Diagnosis Leptospirosis


leptospirosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia yang
umumnya ditularkan melalui urin hewan pengerat seperti tikus. Urin tikus yang
mengandung bakteri leptospira. Bakteri ini akan masuk ke tubuh manusia dan
menginfeksi tubuh manusia. Leptospirosis sebagian besar menyerang laki-laki pada
usia produktif, bekerja di luar rumah, memiliki kontak dengan tikus dan juga air
yang terkontaminasi dengan bakteri Leptospira. Namun, leptospirosis ini kurang
dikenali, diabaikan dan tidak dilaporkan, karena dianggap sebagai demam biasa.
Gejala leptospirosis mirip sekali dengan demam dengue atau demam berdarah
dengue, malaria dan scrub thypus. Untuk melakukan konfirmasi leptospirosis
diperlukan tes laboratorium atau menggunakan Rapid Diagnostic Test (RD T),
sayangnya tidak semua wilayah memiliki laboratorium yang memadai dan tersedia
RDT leptospirosis (Kementerian kesehatan RI, 2017).

24
Tabel 1. Kriteria Penegakan Diagnosis Leptospirosis Faine
Berdasarkan kriteria di atas, leptospirosis dapat ditegakkan jika:
Presumptive leptospirosis, bila A atau A+B>26 atau A+B+C>25 Sugestive
leptospirosis, bila A+B antara 20-25. Akan tetapi kriteria diagnosis ini mempunyai
beberapa kelemahan. Pemberian nilai pada faktor-faktor epidemiologik dalam
kriteria diagnosis tersebut sangat subjektif dan tidak spesifik. Hasil pemeriksaan
serologik dalam kriteria diagnosis tersebut menjadi kendala bagi klinisi karena
pemeriksaan serologik tersebut jarang tersedia dan jika ada maka hasilnya diperoleh
setelah beberapa hari. Aplikasi kriteria diagnosis secara berlebihan dapat
menyesatkan para klinisi. Untuk menegakkan diagnosis klinik, klinisi
membutuhkan kriteria diagnosis baru yang lebih sesuai dan memudahkan dalam
menegakkan diagnosis leptospirosis. Kriteria diagnosis tersebut adalah Kriteria
Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009 (Kementerian kesehatan RI, 2017),
(Widjajanti W., 2019).
Berikut adalah kriteria diagnosis menurut WHO SEARO 2009 :
Kasus suspect
• Demam akut (≥38,5ºC) dan/ atau nyeri kepala hebat dengan: Myalgia ,
kelemahan dan/ atau , conjunctival suffusion, dan riwayat terpajan dengan
lingkungan yang terkontaminasi leptospira

25
Kasus probable (pada tingkat pelayanan kesehatan primer) Kasus suspect dengan
2 gejala di bawah ini:
• Nyeri betis
• Batuk dengan atau tanpa batuk darah
• Ikterik
• Manifestasi perdarahan
• Iritasi meningeal
• Anuria/ oliguria dan/ atau proteinuria
• Sesak napas
• Aritmia jantung
• Rash di kulit
• Berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium, kasus probable
leptospirosis adalah kasus suspect dengan IgM rapid test positif dan atau
temuan serologik yang mendukung (contoh : titer MAT ≥200 pada suatu
sampel)
DAN/ ATAU Ditemukan 3 dari di bawah ini:
• Temuan pada urin : proteinuria, pus, darah
• Neutrofilia relatif (>80%) dengan limfopenia
• Trombosit < 100.000/mm³
• Peningkatan bilirubin > 2 mg% ; peningkatan enzim hepar yang meningkat
moderat (serum alkali fosfatase, serum amilase, CPK) (Kementerian
kesehatan RI, 2017), (Widjajanti W., 2019).
Kasus confirm
Kasus confirm pada leptospirosis adalah suatu kasus suspect atau probable
dengan salah satu di bawah ini:
• Isolasi kuman leptospira dari spesies klasik
• Hasil PCR (+)
• Serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali pada titer MAT
• Titer MAT = 400 atau lebih pada sampel tunggal

26
• Apabila kapasitas laboratorium tidak dapat ditetapkan: Positif dengan 2 tes
rapid diagnostik dapat dipertimbangkan sebagai kasus confirm
(Kementerian kesehatan RI, 2017), (Widjajanti W., 2019).

2.7 Patofisiologi Leptospirosis


Leptospira dapat masuk tubuh melalui kulit yang menembus jaringan
mukosa seperti mukosa mulut, saluran cerna, saluran hidung dan konjungtiva mata.
Setelah menembus kulit atau mukosa, leptospira akan ikut aliran darah sistemik dan
terjadi replikasi serta menyebar ke berbagai jaringan dan organ tubuh Kemudian
terjadi respon imun baik seluler maupun humoral (membentuk antibodi spesifik)
yang bertujuan membunuh leptospira (Sudoyo AW, dkk, 2014).

Ada 2 hipotesis yang diduga berperan dalam pathogenesis Leptospirosis ini.


Pertama, adanya kontak langsung antara Leptospirosis yang menyebabkan reaksi
jaringan, karena Leptospira tipis dan mempunyai motilitas yang tinggi sehingga
dapat penetrasi membran mukus intak atau luka kecil dikarenakan flagella
periplasmik Kedua, pathogenesis leptospirosis melalui reaksi imunologi. Invasi
Leptospira ini akan menimbulkan reaksi imun non spesifik berupa inflamasi yang
diikuti dengan pelepasan mediator kimiawi berupa sitokin dan reaksi imun spesifik.
Kemampuan invasi kuman Leptospira disebabkan oleh sifatnya yang motil dan
kemampuan kuman memproduksi hemolisin, ensim seperti katalase, lipase,
oksidase, hialuronidase, transaminase, endotoksin dan spingomielinase yang
berperan dalam menentukan virulensinya (Sudoyo AW, dkk, 2014).

27
Gambar 5 Patofisiologi Leptospirosis
Tingkat keparahan Leptospirosis juga tergantung dari jumlah organisme
yang menginfeksi pertahanan respon imun manusia atau hewan dan virulensi strain
Leptospira yang menginfeksi. Kemudian Leptospira akan menyebar keseluruh
tubuh melalui peredaran darah sampai ke cairan cerebrospinalis dan humour aqueus
dalam bola mata. Terdapat tujuh antigen leptospira yaitu p32, p37, p41, p45, p48,
p62, p78. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang ada di
sirkulasi darah diserap oleh eritrosit sehingga eritrosit tersebut lisis. Diatesis
hemoragik pada umumnya terbatas pada mukosa dan kulit. Beberapa saat kemudian
Leptospira akan difagositosis oleh sel monosit makrofag dengan akibat jumlah
leptospira dalam peredaran darah menjadi semakin sedikit dan beberapa akhirnya
akan habis (Sudoyo AW, dkk, 2014).

28
Pada tubulus kolektivus biasanya kuman ini tidak terbasmi dan membentuk
koloni pada dinding lumen yang sewaktu waktu dapat keluar bersama urin. Di
dalam urin pada umumnya dapat diketemukan setelah hari kedelapan sampai
beberapa minggu setelah sakit. Diduga endotoksin dan ensim tertentu yang
dihasilkan oleh leptospira memegang peranan penting terjadinya Leptospirosis.
Dugaan ini diperkuat dengan adanya kemiripan gambaran histopatologi jaringan
antara penderita Leptospirosis dengan jaringn yang terinfeksi bakteri Gram negatif
penghasil endotoksin. Bukti lain bahwa pathogenesis Leptospirosis melalui invasi
kuman langsung pada jaringan ditunjukan dengan hasil biopsi pada otot
gastroknemius yang diambil pada stadium leptospiremia. Jaringan biopsi tersebut
menunjukan vakuolisasi pada sitoplasma dari myofibril. Kadang juga ditemukan
adanya infiltrasi sel polimorfonuklear (PMN). Gambaran miositis ini bersifat tidak
khas dan segera menghilang setelah memasuki minggu kedua (Sudoyo AW, dkk,
2014).

Pada keadaan lain yaitu bagaimana terjadinya meningitis pada leptospirosis


belum banyak diketahui. Gejala dan tanda meningitis timbul pada minggu kedua.
Pada saat ini leptospira sudah ditemukan di peredaran darah dan liquor cerebro
spinalis akan tetapi yang ditemukan hanyalah IgM yang spesifik dari Leptospira.
Keadaan ini menimbulkan dugaan bahwa meningitis aseptik pada leptospirosis
dapat terjadi melalui proses imunologi. Dugaan tersebut diperkuat dengan tidak
adanya bukti jaringan yang lesi pada jaringan otak pada stadium leptosperemia
(Sudoyo AW, dkk, 2014).

2.8 Pemeriksaan Fisik Leptospirosis


Dalam mendiagnosis seseorang dengan leptospirosis, langkah awal yang
dilakukan yaitu melakukan anamnesa. Anamnesa merupakan suatu kegiatan
komunikasi yang dilakukan oleh dokter kepada pasien untuk mendapatkan
informasi mengenai penyakit yang di derita sehingga lebih mudah mengaitkannya
dengan diagnosis dari pasien. Adapun hal yang perlu ditanyakan pada saat
anamnesa dan didapatkan hasil sebagai berikut (Sanyasi, R., 2018).:
• Nama, alamat, dan riwayat pekerjaan: untuk memastikan apakah terdapat
kejadian atau riwayat pekerjaan yang akan berisiko terkena leptospirosis,

29
seperti rumah dalam keadaan banjir dan bekerja sebagai petani atau bekerja
di tambang.
• Keluhan utama: berdasarkan skenario keluhan yang dirasakan oleh Tn. U
yaitu demam yang muncul mendadak dan dirasakan terus menerus sejak 5
hari yang lalu
• Keluhan penyerta: Tn. U juga mengeluhkan mata merah dan kekuningan,
sakit kepala pada bagian depan, mual muntah, nyeri otot terutama pada
bagian betis, nafas terasa agak berat, dan jumlah BAK dalam 2 hari
menurun.
• Riwayat penyakit
• Riwayat obat- obatan
• Riwayat social.

Langkah selanjutnya yaitu melakukan pemeriksaan fisik yang meliputi


inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Dalam pemeriksaan fisik pasien dengan
leptospirosis, biasanya ditemukan (Sanyasi, R., 2018).:
• Febris
• Ikterus (perubahan sklera, membran mukosa dan kulit mejadi kuning
sebagai akibat dari kenaikan konsentrasi bilirubin)
• Nyeri tekan pada otot
• Ruam kulit
• Limfadenopati
• Hepatomegali dan splenomegali
• Edema
• Konjungtiva suffision
• Gangguan perdarahan berupa ptekie, purpura, epistaksis dan perdarahan
gusi
• Kaku kuduk sebagai tanda meningitis

2.9 Pemeriksaan Penunjang Leptospirosis


Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada hasil laboratorium. Pada
sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan netropenia, terutama selama fase
awal penyakit. Anemia tidak biasa ditemukan pada leptospirosis anikterik, tetapi

30
dapat terjadi anemia berat pada sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan
ureum dapat sedikit meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat secara
ekstrim pada sindrom Weil. Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri
dari: pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi (Kementerian
kesehatan RI, 2017).
• Pemeriksaan Mikroskopik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di mikroskop
lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan gelap atau
mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin
(Kementerian kesehatan RI, 2017).

• Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada
10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam urin pada 10
hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin merupakan
media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer leptospira. Pada media
semisolid, leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah permukaan
media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur harus
dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang dibiakkan bergantung pada
fase penyakit (Kementerian kesehatan RI, 2017).

• Inokulasi Hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi
intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat ditemukan
leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini mati (8-14 hari) ditemukan
lesi hemoragik pada banyak organ (Kementerian kesehatan RI, 2017).

• Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas pemeriksaan
serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan pemeriksaan yang paling
berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi
antibodi terhadap Leptospia interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test
(MAT) yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi tersebut

31
tidak positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3-
4 minggu setelah onset gejala dan menetap selama beberapa tahun, walaupun
konsentrasinya kemudian akan menurun. Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada
tingkat serovar sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira
pada manusia dan hewan dan karena itu membutuhkan sejumlah strain (battery of
strains) Leptospira termasuk stock-culture, disamping sepasang sera dari pasien
dalam periode sakit akut dan 5-7 hari sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan
positif jika terjadi serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan
satu atau lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik leptospirosis
digunakan nilai ≥ 1:160) (Kementerian kesehatan RI, 2017).

Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic


Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT), rapid
latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent assay
(ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot. Selain uji serologi
yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji serologis penyaring yang lebih cepat
dan praktis sebagai tes leptospirosis. Uji serologis penyaring yang sering digunakan
di Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot, dan Leptotek Lateral
Flow. Saat ini juga telah dikembangkan pemeriksaan molekuler untuk diagnosis
leptospirosis. DNA leptospirosis dapat dideteksi dengan metode PCR (Polymerase
Chain Reaction) dengan menggunakan spesimen serum, urin, humor aqueous,
cairan serebrospinal, dan jaringan biopsy (Kementerian kesehatan RI, 2017).

2.10 Tata Laksana dan KIE Leptospirosis


Penatalaksanaan farmakologis untuk penderita Leptospirosis pada dasarnya
dibagi menjadi leptospirosis an-ikterik dan leptospirosis ikterik (leptospira berat)

32
Gambar 6 Tata Laksana Farmakologi Leptospirosis

• Terapi untuk kasus Leptospirosis ringan :


a. Pilihan : Doksisiklin 2X100 mg selama 7 (tujuh) hari kecuali pada
anak, ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin.
b. Alternatif (Bila tidak dapat diberikan doksisiklin), yakni
Amoksisilin 3X500mg/hari pada orang dewasa atau 10-20mg/kgBB
per 8 jam pada anak selama 7 hari. Apabila alergi terhadapa
Amoksisilin dapat diberikan Makrolid (Sudoyo AW, dkk, 2014).

• Terapi Kasus Leptospirosis berat :


a. Ceftriaxone 1-2gram IV selama 7 hari
b. Penisilin prokalin 1,5 juta unit IM per 6 jam selama 7 hari
c. Ampisilin 4x1gram IV per hari selama 7 hari
d. Terapi suportif dibutuhkan apabila ada komplikasi seperti gagal
ginjal, pendarahan organ (paru-paru, saluran verna, saluran kemih,
serebral) syok dan gangguan neurologi (Sudoyo AW, dkk, 2014).

Pengendalian Leptospirosis terdiri dari 2 cara, yaitu pencegahan primer dan


pencegahan sekunder. Pencegahan Primer adalah perlindungan terhadap orang
sehat agar terhindar dari Leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, dan

33
proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder yang
sarannya adalah orang yang sudah sakit Leptospirosis, dicegah agar orang tersebut
terhindar dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan kematian. Kegiatan
pengendalian faktor risiko Leptospirosis dilakukan pada sumber infeksi, alur
transmisi antara sumber infeksi dan manusia atau penyakit pada manusia (Sudoyo
AW, dkk, 2014).

Edukasi yang dapat diberikan dengan risiko leptospirosis yaitu


1. Edukasi terkait penyakit leptospirosis, gejala, cara penularan, faktor risiko
komplikasi
2. Edukasi terkait perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti menyimpan
makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus (yang membawa
bakteri tersebut), membersihkan tempat minuman seperti gelas, kaleng atau
botol sebelum berkontak dengan mulut atau sedotan yang memungkinkan
bakteri masuk ke tubuh
3. Menghindari atau mengurangi kontak dengan hewan yang berpotensi terkena
paparan air atau lahan yang dicemari bakteri
4. Memperhatikan secara ketat kebersihan sanitasi lingkungan misalnya kontrol
hewan pengerat seperti tikus.
5. Mencuci tangan hingga bersih dengan sabun sebelum makan, mencuci tangan,
kaki dan bagian tubuh lain dengan sabun setelah terkena banjir
6. Kebiasaan menjaga kebersihan lingkungan seperti membuang sampah pada
tempatnya serta menutup rapat tempat sampah, membersihkan air
selokan,tempat penyimpanan air atau kolam renang secara rutin, hindari adanya
tikus dalam rumah atau gedung dan bersihkan tempattempat yang kemungkinan
tercemar oleh tikus dengan desinfektan.
7. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) seperti menggunakan sarung tangan
dan sepatu boot dari karet bagi kelompok kerja yang berisiko tinggi tertular
leptospirosis
8. Selain itu, edukasi yang diberikan kepada pasien berupa anjuran untuk follow
up teratur untuk pemantauan perjalanan penyakit dan efek samping pengobatan.
(Widjajanti, W. 2018).

34
2.11 Prognosis Leptospirosis
Keganasan leptospira yang menginfeksi berhubungan baik dengan
perkembangan ikterik. Pada pasien tapa ikterik, kematian sangat jarang, tetapi
dengan terjadinya ikterik, angka kematian pada berbagai kejadian berkisar antara
15 sampai 48 persen. Penyebab kematian biasanya sekunder akibat perdarahan
(terutama saluran makanan) atau gagal ginjal. Prognosis jangka panjang setelah lesi
ginjal akut karena leptospirosis adalah baik. Kecepatan filtrasi glomerulus kembali
normal, biasanya dalam 2 bulan; meskipun demikian, beberapa pasien
megunjukkan sisa disfungsi tubulus seperti gangguan kemampuan
mengkonsentrasi. Namun, Jika pasien tidak mengalami komplikasi umumnya
adalah dubia ad bonam (Sudoyo, AW., 2014).

35
BAB III
KESIMPULAN

Leptospirosis merupakan infeksi zoonosis umum di dunia yang disebabkan


oleh Leptospira sp. bakteri Gram negatif golongan Spirochaeta. Leptospira
digolongkan menjadi dua kelompok yaitu golongan patogen dan non-patogen.
Tikus adalah reservoir utama dan bakteri ini dipelihara secara alami dalam tubulus
ginjal dan dikeluarkan melalui urin. Leptospirposis berat (dikenal sebagai sindrom
Weil) dengan gambaran klinis ikterus, gangguan fungsi ginjal, dan manifestasi
perdarahan. Manifestasi klinis leptospirosis mirip penyakit infeksi lain, seperti
demam dengue, malaria dan penyakit demam akut (acute febrile illness) lain
sehingga menyebabkan misdiagnosis. Gejala leptospirosis bervariasi, mulai
sindrom flu sampai penyakit Weil yang sering menyebabkan kematian.

Masa inkubasi biasanya 7 - 14 hari berkisar antara 2-21 hari. Ciri khas
leptospirosis adalah penyakit biphasic. Fase sistemik merupakan fase pertama yang
ditandai dengan infeksi sistemik akut yaitu ditemukannya Leptospira dalam darah
(leptospiremia) dan cairan serebrospinal. Fase ini biasanya terjadi selama 4-7 hari
diikuti oleh 1 - 3 hari periode asimtomatik. Fase kedua atau fase imun ditandai
dengan demam dan ditemukannya Leptospira dalam urin (leptospiruria). Ikterus
adalah tanda klinik penting leptospirosis berat. Infeksi Leptospira juga dapat
menimbulkan gejala meningitis dengan demam, sakit kepala dan fotofobia, tetapi
tidak fatal.

Pengobatan leptospirosis dengan antibiotik pilihan Doxycycline diberikan


200 mg per hari per oral, selama 7-10 hari untuk dewasa, sedangkan injeksi
seftriakson diberikan untuk leptospirosis berat. Pilihan antibiotik lain adalah
ampisilin au amoksisilin 4 kali/ hari, 500 mg / dosis, selama 7-10 hari. Diagnosis
leptospirosis secara klinis sulit dan diagnosis laboratorium membutuhkan peralatan
khusus dan kemampuan tenaga yang terlatih. Uji laboratorium, termasuk isolasi
bakteri, pemeriksaan molekuler DNA dan serologi Micro Agglutination Test
(MAT), masih terbatas pada laboratorium yang mampu mengembangbiakkan atau
mengultur sejumlah panel serovar leptospira. Pemeriksaan molekuler DNA dengan
metode PCR pada sampel darah atau urin dapat mendeteksi Leptospira.

36
DAFTAR PUSTAKA

Cohee, L. M., Opondo, C., Clarke, S. E., Halliday, K. E., Cano, J., Shipper, A. G.,
& Chico, R. M. (2020). Preventive malaria treatment among school-aged
children in sub-Saharan Africa: a systematic review and meta-analyses.
The Lancet Global Health, 8(12), e1499-e1511.

Handayani, F. D., Ristiyanto, R., Joharina, A. S., Rahardianingtyas, E., Mulyono,


A., & Bagus, D. (2019). Diagnosis Laboratoris Leptospirosis. Lembaga
Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LPB)

Harisa, ER. (2022). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis di


Kota Semarang.

Kemenkes. (2017). Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis. Kemetrian


Kesehatan Republik Indonesia. Sci Journas; 11: 160-162.

Parambang, S. J., Hasmono, D., & Suwarko, J. (2021). Studi Pola Pemberian
Artemisinin-Based Combination Therapy pada Pasien Malaria di RSUD
Supiori Papua. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy, 10(1).

Ramadhani, A. A., Mustofa, A., Epid, M., & Novalina, D. (2020). Systematic
Review: Analisis Faktor Faktor Risiko Yang Memengaruhi Kejadian
Leptospirosis Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur.

Sanyasi, R. D. L. R. (2018). Laporan Kasus Kejadian Luar Biasa Leptospirosis di


Magetan, Jawa Timur. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 3(1), 1.

Silbernagl, S, Lang, F (2018). Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi, EGC, Jakarta

Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors. (2014). Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI

iii
Sukesi, T. Y., Supriyati, S., & Satoto, T. T. (2018). Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue (Literature Review). Jurnal
Vektor Penyakit, 12(2), 67-76.

Sutjahjo, A. (2016). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga


University Press.

Widjajanti W. (2019). Epidemiologi, diagnosis dan pencegahann Leptospirosis, J.


Health. Epidemiol. Commun. Dis; 5(2): 62-68.

Widjajanti, W., Pujiyanti, A., & Mulyono, A. (2018). Aspek Sosio Demografi dan
Kondisi Lingkungan Kaitannya dengan Kejadian Leptospirosis di
Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016. Media Litbangkes,
28(1), 25–32.

Zukhruf, I. A., & Sukendra, D. M. (2020). Analisis Spasial Kasus Leptospirosis


Berdasarkan Faktor Epidemiologi dan Faktor Risiko Lingkungan. HIGEIA
(Journal of Public Health Research and Development), 4(4), 587-598.

iv

Anda mungkin juga menyukai