Disusun Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya sampaikan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya saya dapat melaksanakan dan menyusun laporan Small Group
Discussion (SGD) LBM 3 yang berjudul “Wajahku Merah, Sendiku Sakit” ini
tepat pada waktunya. Laporan ini ditulis untuk memenuhi persyaratan sebagai
syarat nilai SGD serta Pleno dalam Blok Sistem Hematologi dan Imunologi. Dalam
penyusunan laporan ini, saya mendapat banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesampatan ini saya
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan
kaporan ini dengan lancar.
2. dr. I Gede Ari Permana Putra, S.Ked. selaku Tutor serta Fasilitator Small
Group Discussion (SGD) kelompok 7
3. Bapak/Ibu dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar yang
memberikan masukan terkait laporan yang saya buat.
4. Kakak tingkat yang berkenan memberikan masukan terkait dengan laporan
yang telah saya buat.
5. Serta kepada teman-teman dan orang tua saya yang memberikan masukan
dan dukungannya kepada saya.
Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata saya berharap semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang akan menggunakannya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
BAB II .................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN .................................................................................................... 4
KESIMPULAN.................................................................................................... 37
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
LBM 3
“Wajahku Merah, Sendiku Sakit”
Nn. PA, perempuan usia 20 tahun, datang dengan keluhan utama wajah
kemerahan di sekitar pipi sejak 2 bulan yang lalu disertai dengan rambut rontok,
demam naik turun, nyeri pada sendi-sendi telapak tangan dan kaki, dan sariawan.
1
1.2 Deskripsi Masalah
Dalam SGD LBM 3 Pada blok Sistem Hematologi dan Imunologi yang
berjudul “Wajahku Merah, Sendiku Sakit”, kami mendapatkan beberapa
identifikasi masalah. Dalam scenario diceritakan bahwa Nn. PA merupakan
perempuan usia 20 tahun, yang datang dengan keluhan utama wajah kemerahan di
sekitar pipi sejak 2 bulan yang lalu. Kemerahan pada regio tubuh bisa diakibatkan
karena terjadinya inflamasi atau peradangan. Selain keluhan utama kemerahan pada
pipi, Nn. PA, juga memiliki keluhan penyerta berupa rambut rontok, demam naik
turun, nyeri pada sendi-sendi telapak tangan dan kaki, dan sariawan. Gejala-gejala
tersebut merupakan tanda-tanda dari suatu Systemic Lupus Erytheomatosus atau
yang disingkat dengan SLE.
Kulit yang mengalami kemerahan pada regio wajah dapat dikarenakan sinar
matahari. sinar ultraviolet merupakan faktor yang paling dikenal. Mekanisme
aksinya dapat mencakup induksi antigen di dermis atau epidermis, pelepasan materi
inti oleh sel kulit yang dirusak oleh cahaya, atau disregulasi sel imun kulit dan
akhirnya akan memunculkan manifestasi klinis berupa ruam pada kulit. Kerontokan
rambut yang dipaparkan di scenario dapat disebabkan oleh sistem imun yang
menyerang folikel rambut (penyakit autoimun). Kondisi ini menyebabkan
keluarnya sitokin proinflamasi dan kemokin. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan terhentinya produksi rambut. Akibatnya, rambut menjadi rontok dan
akhirnya menjadi botak.
Demam adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke
dalam tubuh ketika suhu meningkat melebihi suhu tubuh normal. Pada scenario
dikatakan bahwa Nn. PA mengalami demam yang naik turun. Demam ini dapat
diakibarkan karena adanya inflamasi yang terjadi di dalam tubuh Nn.PA. inflamasi
atau peradangan ini dapat diakibatkan adanya pathogen, bakteri, virus, dan juga
autoimun. Nn. PA juga mengeluhkan terjadinya nyeri pada sendi telapak tangan
dan kaki. Adanya nyeri pada sendi ini diakibatkan adanya peradangan pada sendi.
Peradangan ini dapat muncul dengan salah satu penyebabnya adalah autoimun.
2
darah, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan ANA test dan juga pemeriksaan urine.
Untuk pemeriksaan lebih lanjut akan dibahas pada pembahasan Learning Issues di
Bab II.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Kata arthritis mempunyai arti inflamasi pada sendi (“arthr” berarti sendi
“itis” berarti inflamasi). Inflamasi menggambarkan tentang rasa sakit, kekakuan,
kemerahan, dan pembengkakan. Rheumatoid arthritis merupakan suatu penyakit
autoimun, dimana target dari sistem imun adalah jaringan yang melapisi sendi
sehingga mengakibatkan pembengkakan, peradangan, dan kerusakan sendi
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai
dengan terdapatnya sinovitas erosif simetrik yang terutama mengenai jaringan
persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Pasien dengan gejala
penyakit kronik apabila tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan
persendian dan deformitas sendi yang progresif disabilitas bahkan kematian dini
(Sudoyo AW, dkk., 2014).
Etiologi
Rheumatoid arthritis banyak dihubungkan dengan gangguan regulasi imun.
Meski belum diketahui pasti pencetus dan patomekanismenya, studi yang tersedia
4
mengindikasikan peran interaksi antara komponen sistem imun adaptif dan sistem
imun bawaan. Faktor genetik, lingkungan, dan modifikasi pasca translasi
(posttranslation modification) polipeptida berperan penyebab RA. Penyebab utama
dari penyakit ini umumnya berasal dari kelainan pada sistem HLA (Human
Leukocyte Antigen), tepatnya HLA-DRB1. Perubahan alel gen tersebut
menyebabkan perubahan sekuens asam amino yang diekspresikan. Terdapat
berbagai jenis genotip HLA yang menyebabkan RA. Beberapa diantaranya dapat
menjadi agresif dan erosif dengan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Selain itu,
perubahan epigenetik juga memiliki peranan dalam patogenesis RA (Sudoyo AW,
dkk., 2014).
Epidemiologi
Rheumatoid arthritis memiliki prevalensi sekitar 1% sampai 2%. Penyakit
ini tiga kali lebih sering terjadi pada wanita, pada usia 15 sampai 45 tahun
perempuan mendominasi dengan rasio 6:1 dan pada usia lebih dari 60 tahun.
Prevalensi penyakit rheumatoid arthritis bervariasi. Prevalensi RA di Kanada
sekitar 1,0%, Amerika Serikat sekitar 0,6% pada kaukasia dewasa, Australia,
Selandia Baru dan Belanda memiliki prevalensi lebih tinggi sekitar 2,4- 2,6%
(Wong and Davis, 2010). Prevalensi RA di Indonesia, berdasarkan survei
epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah sekitar 0,3%, Malang Jawa Timur dengan
usia diatas 40 tahun prevalensinya sekitar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di
daerah Kabupaten. Pada tahun 2000 penyakit RA mencapai sekitar 4,1% dari
seluruh kasus baru di Poliklinik Reumatologi RSUP Nasional Cipto
Mangunkusumo Jakarta dan di Poliklinik Reumatologi Hasan Sadikin sekitar 9%
Terapi yang biasa digunakan untuk penyakit RA yaitu DMARD, Agen Biologik,
OAINS, dan kortikosteroid (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014), (Muhith,
A., dkk., 2018).
Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan.
Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut
dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi
• Keluhan umum
5
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun,
peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan (Sudoyo AW,
dkk., 2014).
• Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan,
lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku,
bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang
terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan
dan nyeri sendi (Sudoyo AW, dkk., 2014).
6
pada lupus dapat berlangsung konstan sepanjang hari. Karena kedua penyakit ini
memiliki karakteristik yang hampir sama, sebagian orang mengalami misdiagnosis
dengan RA ketika sebenarnya mereka memiliki lupus, atau vice versa. Ketika RA
berada pada tingkat lanjut, RA dapat menyebabkan erosi tulang dan deformitas.
Lupus tidak menyerang tulang dengan cara demikian (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2020).
Patofisiologi
7
otot dan kekuatan kontraksi otot (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014),
(Silbernagl, S, Lang, F., 2018).
Faktor Risiko
Penyebab pasti rheumatoid arthritis belum diketahui, tetapi penelitian telah
menunjukkan bahwa beberapa faktor yang dapat menyebabkan RA yaitu (The
Arthritis Society, 2015):
• Riwayat keluarga.
Apabila terdapat anggota keluarga yang terkena RA, maka beresiko tinggi
terkena RA.
• Jenis kelamin (perempuan berisiko 2-3 kali lipat lebih berisiko
dibandingkan dengan laki-laki)
• Hormon. Peningkatan hormon juga dapat berpengaruh misalnya gejala RA
meningkat selama kehamilan, wanita yang pernah menggunakan
kontrasepsi oral memiliki penurunan dalam resiko RA. Hal ini karena
adanya perubahan profil hormon, placental corticotropinreleasing hormone
secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA) yang
merupakan androgen utama pada wanita yang dikeluarkan oleh sel-sel
adrenal fetus. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis (Th2) dan
menghambat respon imun seluler (Th1). Oleh karena pada rheumatoid
arthritis Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron memiliki
efek yang berlawanan terhadap perkembangan rheumatoid arthritis.
• Umur. RA umumnya mulai berkembang pada saat usia 40 - 60 tahun. Tetapi
pada anak kecil bisa juga terjadi yang biasa disebut dengan Juvenile
rheumatoid arthritis.
• Lingkungan
• Kebiasaan merokok (Sudoyo AW, dkk., 2014).
Penatalaksanaan
Terapi Non-Farmakologis menurut Rekomendasi Ikatan Reumatologi Indonesia
tahun 2014a yaitu:
1) Edukasi Pasien.
8
Edukasi pasien meliputi penjelasan mengenai penyakit RA terhadap pasien,
bagaimana perjalanan penyakitnya, dan kondisi pasien saat ini. Pasien juga
diberitahu tentang resiko dan keuntungan pemberian obat (Sudoyo AW, dkk.,
2014).
2) Diet dan terapi komplementer.
Pengaruh diet tidak berpengaruh terhadap perjalanan penyakit, namun
disarankan untuk diet banyak makan sayuran, buah, ikan serta mengurangi
konsumsi lemak atau daging merah (Sudoyo AW, dkk., 2014).
3) Latihan atau program rehabilitasi.
Pada saat terdiagnosis RA direkomendasikan untuk melakukan latihan fisik
aerobik. Latihan fisik disesuaikan secara individual berdasarkan kondisi penyakit
dan komorbiditas yang ada. Terapi fisik dengan menggunakan laser kekuatan
rendah dan TENS (transcutaneos electrical nerve stimulation), efektif mengurangi
nyeri dalam jangka pendek. Terapi psikologis yang diberikan seperti relaksasi,
mengatasi stres, dan memperbaiki pandangan hidup yang positif, dapat membantu
pasien RA menyesuaikan hidup dengan kondisi mereka (Sudoyo AW, dkk., 2014).
Terapi Farmakologi
• Menghilangkan gejala inflamasi baik lokal maupun sistemik.
• Mencegah terjadinya destruksi jaringan.
• Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar
tetap dalam keadaan baik.
• Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar
dapat menjadi normal Kembali (Sudoyo AW, dkk., 2014).
a. Terapi DMARD
9
DMARD berfungsi mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan
integritas dan fungsi sendi serta meningkatkan produktivitas pasien RA. Golongan
DMARD yang sering digunakan pada pengobatan RA yaitu MTX (metroteksat),
sulfasalazin, leflunomid, klorokuin, siklosporin, azatioprin. DMARD bersifat slow
acting yang menghasilkan efek 1-6 bulan pengobatan. Pemberian DMARD dapat
diberikan tunggal atau kombinasi. Pada pasien yang tidak respon dengan
pengobatan DMARD dengan dosis dan waktu optimal, diberikan pengobatan
DMARD tambahan atau diganti dengan jenis DMARD lainnya (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2014).
b. Pengobatan OAINS
OAINS merupakan obat yang mampu menghambat enzim siklooksigenase
(COX) sehingga mampu menghambat pembentukan prostaglandin, prostasiklin,
dan trombokson, maka OAINS mempunyai sifat analgesik, antipiretik, dan
antiinflamasi. Pemakaian OAINS mampu mengurangi kekakuan yang terjadi pada
rheumatoid arthritis. Pemberian OAINS pada pasien RA tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit ataupun mencegah kerusakan sendi. Penggunaan OAINS pada
pasien RA harus diberikan dengan dosis efektif serendah mungkin dan dalam waktu
sesingkat mungkin. Penggunaan kombinasi OAINS harus dihindari karena tidak
akan menambah efektivitas tetapi meningkatkan efek samping. Beberapa OAINS
yang sering digunakan dalam terapi rheumatoid arthritis yaitu, diklofenak yang
merupakan turunan asam fenilasetat dan merupakan non selektif inhibitor COX,
meloxicam merupakan enolkarboksamida yang berkaitan dengan piroxicam dan
terbukti menghambat COX-2 daripada COX-1 khususunya dalam penggunaan
dosis rendah 7,5 mg/hari, celecoxib dan rofecoxib merupakan selektif COX-2.
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014).
d. Pengobatan Kortikosteroid
Kortikosteroid oral dosis rendah atau sedang dapat digunakan dalam
pengobatan rheumatoid arthritis. Kortikosteroid yang biasa digunakan dalam
pengobatan RA yaitu prednison dan metilprednisolon. Penatalaksanaan kronis
dapat digunakan prednison dosis rendah 5-10 mg/hari untuk pengendalian aktivitas
penyakit pada pasien rheumatoid arthritis. Namun, penggunaan terapi prednison
dosis rendah beresiko osteoporosis. Glukokortikoid dosis tinggi diperlukan untuk
pengobatan ekstraartikular berat pada rheumatoid arthritis. ACR
merekomendasikan pencegahan primer osteoporosis akibat glukokortikoid dengan
bisphosphonate (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014).
11
2.3 Etiologi Systemic Lupus Erythematosus
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) disebabkan oleh interaksi antara
kerentanan gen (termasuk alel HLA- DRB1, IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan
B8), pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan
menyebabkan terjadinya respon imun yang abnormal (Sudoyo AW, dkk., 2014).
• SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel HLA-
DRB1, IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan
gen, pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons
imun abnormal. Respons imun mencakup hiperreaktivitas dan
hipersensitivitas limfosit T dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi
yang tidak efektif. Hiperreaktivitas sel T dan B ditandai dengan peningkatan
ekspresi molekul permukaan seperti HLA-D danCD40L, menunjukkan
bahwa sel mudah teraktivasi oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi
pertama dan oleh molekul yang mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui
sinyal kedua. Hasil akhir anomali ini adalah produksi autoantibodi patogen
dan pembentukan kompleks imun yang mengikat jaringan target
• Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan
faktor yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi
epitop antigen didermis atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit
yang dirusak oleh cahaya, atau disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor
lingkungan lain juga terlibat dalam lupus. Pengobatan seperti prokainamid,
hidralazin, dan minosiklin dapat menyebabkan lupus eritematosus yang
diinduksi obat, penyakit yang mirip dengan SLE. Mungkin yang paling
menarik adalah beberapa obat antirematik dapat menginduksi penyakit yang
tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE
• Agen infeksius dapat berperan dalam aktivasi penyakit. Jika pasien
mengidap SLE, infeksi yang umum terjadi pada saluran napas atau saluran
kemih seringkali diikuti dengan cetusan aktivitas penyakit. Studi pada
hewan menunjukkan bahwa retrovirus dapat menginduksi fenomena
autoimun mirip SLE. Kasus SLE meningkat sejalan dengan pajanan
kimiawi, kecelakaan, atau trauma fisik dan psikologis. Belum ada pola yang
jelas dalam kemunculan SLE, dan kausalitas hubungan ini masih spekulatif
12
• Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai penyebab
SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia
produktif, peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang
sedikit lebih tinggi pada wanita pascamenopause yang menggunakan
suplementasi estrogen. Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai
penyebab SLE, namun studi yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan
bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko
terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penderita SLE yang
penyakitnya stabil (Sudoyo AW, dkk., 2014), (Fanouriakis, A., dkk., 2021).
Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS;
penyakit ini kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di
antara keturunan kulit hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan
kulit hitam di Afrika. SLE jarang terjadi pada usia prepubertas namun sering
dimulai pada usia dekade kedua hingga keempat; beberapa studi menunjukkan
puncak kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis kelamin cukup
jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat
daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai
empat kali lebih sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan
pria adalah 8:1 (Barber, M. R., dkk., 2021).
13
2.5 Manifestasi Klinis Systemic Lupus Erythematosus
Manifestasi Penyakit LES sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan
mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat dan sistem imun.
Oleh karena itu manifestasi penyakit LES sangat beragam dengan perjalanan
penyakit yang bervariasi dan memiliki risiko kematian yang tinggi, sehingga
memerlukan pengobatan yang lama dan seumur hidup. Untuk itu diperlukan
pengenalan dini serta penatalaksanaan yang tepat (Sudoyo AW, dkk., 2014),
(Darma, 2020).
• Manifestasi Konstitusional
14
Gambar 2 Ruam Erimatosa Pada Pasien SLE
Manifestasi pada kulit merupakan yang paling umum pada kelainan LES,
kejadiannya berkisar antara 80-90 dari kasus, bila diperhatikan dengan seksama 4
dari 11 kriteria diagnosis LES diantaranya merupakan kelainan pada kulit seperti:
foto sensitivitas, ruam malar, lesi diskoid serta lesi mukokutan. Manifestasi kulit
yang pertama yakni ruam malar yang ditandai oleh ruam eritematosa diatas pipi dan
jembatan hidung. Ruam ini didapatkan selama beberapa hari bahkan minggu dan
terasa sakit pada umumnya atau pruritus. Gejala klinis kulit kedua yakni
fotosensitifitas. Fotosensitifitas terwujud dalam ruam yang akan muncul setelah
terkena paparan sinar matahari dan akan berkurang sampai menghilang setelah
paparan sinar matahari dihindari. Kelainan kulit yang paling ringan berupa
fotosensitivitas dimana dapat dirasakan pada kulit yang terpapar sinar matahari
secara langsung dirasakan oleh penderita sendiri seperti rasa terbakar. Gejala klinis
selanjutnya yaitu lesi diskoid. Lesi ini sering juga berkembang di daerah yang
terpapar sinar matahari berupa peradangan dan lesi kulit jaringan parut. Lesi ini
berkembang sebagai pertumbuhan meradang dengan sisik dan penampilan seperti
kutil. Gambaran klinis lainnya yaitu kebotakan dan lesi berbentuk noduler dengan
atau tanpa disertai dengan lesi kulit diatasnya. Nodul ini sering dijumpai di daerah
kulit kepala, muka, tangan, dada, punggung, paha serta daerah bokong. (Sudoyo
AW, dkk., 2014).
15
• Manifestasi Muskolskeletal
16
LES yang memiliki profil klinis penyakit ginjal yang tampak jelas, studi
menggunakan metode pemeriksaan biopsi menunjukkan beberapa tingkat
keterlibatan ginjal pada hampir semua pasien. Glomerulonefritis biasanya
berkembang dalam beberapa tahun pertama LES dan biasanya asimptomatik. Gagal
ginjal akut maupun kronis dapat menyebabkan gejala uremia. Penyakit nefritis akut
dapat bermanifestasi sebagai hipertensi dan hematuria. Sindrom nefrotik dapat
menyebabkan edema, kegemukan, dan hiperlipidemia. Lupus nefirtis adalah
manifestasi umum dan berpotensi menghancurkan LES. Secara umum, lupus
nefritis terjadi lebih dari separuh pasien LES. Lupus nefritis terutama disebabkan
oleh deposisi kompleks imun. Klasifikasi lupus nefritis didasarkan pada biopsi
ginjal. Jika memungkinkan, biopsi harus dilakukan pada setiap pasien LES yang
dicurgai terjadi keterlibatan ginjal. Biopsi ginjal tidak perlu dilakukan secara rutin
pada pasien dengan nilai- nilai kreatinin normal dan analisis urin yang normal
(Sudoyo AW, dkk., 2014).
• Manifestasi Neuropsikiatrik
Kelainan neurologik pada LES dibagi menjadi 2 bagian, pertama kelainan
pada susunan saraf pusat dan kedua kelainan pada susunan syaraf perifer.23,24
Kelainan neurologik pada saraf pusat berupa nyeri kepala yang tidak mau hilang
dan tidak responsif dengan analgesia narkotik, kejang-kejang fokal atau general,
biasanya berhubungan dengan penyakit lupusnya yang dalam keadaan aktif, gejala
yang lain yang jarang misalnya korea, cedera serebrovaskular, meningitis, aseptik.
Sedangkan pada sistem saraf perifer yakni keluhan terutama terlibatnya saraf
kranial baik motorik atau sensorik pada mata dan nervus trigeminal misalnya pasien
dengan keluhan gangguan penglihatan, buta, odema papil, nistagmus, hilang
pendengaran, vertigo atau kelemahan otot wajah serta paralisis mirip dengan
sindrom gullian-barre atau miastenia gravis (Sudoyo AW, dkk., 2014).
• Manifestasi Paru
Pleuritis akibat manifestasi LES memiliki keluhan berupa nyeri dada baik
unilateral atau bilateral biasanya pada pinggir kostafrenikus baik anterior atau
posterior, seringkali diikuti dengan batuk, sesak napas, dan demam serta umumnya
akan berkembang menjadi suatu efusi pleura. Manifestasi kedua tersering adalah
17
manifestasi lupus pada pleura bekisar antara 30-60% dari kasus, keluhan awal
berupa nyeri pleuritik atau nyeri dada tanpa kelainan radiologik yang nyata, pada
keadaan berat dapat ditemukan suatu efusi pleura yang jelas baik dari pemeriksaan
fisik atau rontgen foto dada. Pada penumonitis lupus keadaan umumnya lebih berat
yang mana keluhan sistemik pada organ lain juga nyata misalnya pasien mengeluh
demam tinggi, sesak, batuk, nyeri dada, dan hemoptisis (Sudoyo AW, dkk., 2014).
• Manifestasi Gastrointestinal
Komplikasi gastointestinal bisa berupa kelainan pada esofagus, vaskulitis
mesenterika, radang pada usus, pankreatitis, hepatitis, dan peritonitis. Kelainan
disfagia termasuk komplikasi lupus yang jarang biasanya dihubungkan dengan
gangguan irama esofagus pada pasien manifes dengan kelianan fenomena reynoud
dihubungkan dengan antibodi hn RNP-1 protein A1. Kelainan yang sering didapat
berupa nyeri abdomen, karena vaskulitis dari pembuluh darah usus, begitu pula
lupus enteritis, yang melibatkan pembuluh darah mesenterika yang berupa
vaskulitis atau trombosis. Diagnosis ditegakkan pada pemeriksaan arteriografi akan
didapatkan kelainan berupa vaskulitis, sehingga selain keluhan nyeri abdomen juga
dapat berupa perdarahan per rektum baik pada usus besar maupun usus halus dan
bila ini terjadi diperlukan investigasi yang lebih seksama untuk mencegah
terjadinya perforasi (Sudoyo AW, dkk., 2014).
• Manifestasi Hepar
Manifestasi pada hati relatif lebih sering terjadi dibandingkan pada gastro-
intestinal, manifestasi pada hati berupa hepatitis kronis aktif, hepatitis
granulomatosa, hepatitis kronis persisten, dan steatosis. Biasanya terlihat dengan
peningkatan enzim hati seperti SGOT, SGPT, dan alkali-fosfatase. Keterlibatan hati
ini dihubungkan dengan anti fosfolipid antibodi yang menyebabkan trombosis arteri
atau vena hepatika yang akhirnya menyebabkan infark, untuk membedakan
kelainan hati karena lupus atau kelainan autoimun yang lain tidaklah mudah
ataupun kedua sangatlah sulit, biopsi hati dan adaya antibodi anti P ribosomal
mungkin akan terlihat pada hepatitis karena autoimun dibandingkan dengan
hepatitis karena lupus (Sudoyo AW, dkk., 2014).
18
• Manifestasi Kardiovaskular
Cedera vaskular autoimun LES bisa menyebabkan kerentanan terjadinya
plak aterosklerosis. Gagal jantung atau nyeri dada harus diwaspadai terjadi pada
pasien LES. Perikarditis yang bermanifestasi sebagai nyeri dada merupakan
manifestasi jantung yang paling umum. Miokaridtis juga sering terjadi pada LES
dengan gagal jantung simptomatologi. Vaskulitis koroner bermanifestasi sebagai
angina atau infark jarang dijumpai. Endokarditis Libman-Sacks seringkali tidak
terdiagnosis dalam klinik, namun data autopsi mendapatkan 50% LES disertai
dengan endokarditis Libman-Sacks. Adanya vegetasi katup yang disertai demam
harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita dengan LES
memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita
normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat hingga 50%
(Sudoyo AW, dkk., 2014).
• Manifestasi Hematologi
Sitopenia termasuk didalamnya anemia, trombositopenia, limfofenia,
leukopenia sering terjadi pada penderita LES. Anemia pada pasien LES bervariasi
antara anemia penyakit kronis, anemia hemolitik, kehilangan darah, insufisiensi
ginjal, infeksi, mielodisplasia, dan anemia aplastik. Yang sering terjadi anemia pada
LES disebabkan supresi eritropoesis karena inflamasi yang kronis. Sangat mungkin
terdapat anemia karena proses autoimun atau bukan, anemia yang didapat berupa
anemia penyakit kronis, defisiensi besi dan diikuti anemia hemolitik autoimun. Tes
comb positif pada 10% pasien LES yang signifikan adanya hemolisis (Sudoyo AW,
dkk., 2014).
19
TPO dan anti-tiroglobulin (anti-Tg) dan 68% pasien dengan LES dan penyakit
tiroid vs 5-6% pada populasi umum. Diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 dapat
dijumpai namun tidak banyak kasus didapatkan. Angka patah tulang lebih tinggi
pada pasien lupus (5x lebih tinggi dibanding populasi umum). Kekurangan vitamin
D sangat banyak dijumpai dikarenakan penderita LES menghindari paparan sinar
matahari. Penggunaan glukokortikoid juga dapat menekan fungsi hipofisis, penting
untuk selalu menurunkan dosis dari waktu ke waktu (Sudoyo AW, dkk., 2014).
20
dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014), (Silbernagl, S, Lang, F., 2018).
22
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini
tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai
penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis
dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi
penting. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki
sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah
satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2020).
23
Table: Kriteria Klasifikasi SLICC untuk SLE (Petri, 2012), (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2020).
KRITERIA KLINIS
No Kriteria Keterangan
5 Sinovitas >2 Nyeri 2 sendi atau lebih disertai dengan edema atau
sendi efusi disertai dengan kekakuan sendi pagi hari.
24
lebih dari 1 hari atau efusi perikard atau pericardial
rub atau perikarditis oleh gambaran elektrokardiografi
tanpa penyebab lain seperti infeksi, uremia dan
perikarditis Dressler
9 Anemia
hemolitik
KRITERIA IMUNOLOGI
13 Anti ds-DNA Diatas nilai normal kecuali ELISA: dua kali nilai
normal
14 Anti Sm
25
15 Antibodi anti Anti koagulan lupus anticoagulant, RPR false positif,
fosfolipid titer anticardiolipin (IgA, IgG or IgM) medium atau
tinggi dan beta 2-glycoprotein I (IgA, IgG or IgM)
26
mendapatkan informasi mengenai penyakit yang di derita sehingga lebih mudah
mengaitkannya dengan diagnosis dari pasien. Adapun hal yang perlu ditanyakan
pada saat anamnesa dan didapatkan hasil sebagai berikut:
• Keluhan utama: berdasarkan skenario keluhan yang dirasakan oleh Nn. PA,
perempuan usia 20 tahun, datang dengan keluhan utama wajah kemerahan
di sekitar pipi sejak 2 bulan yang lalu.
• Keluhan penyerta: Nn. PA, juga mengeluhkan rambut rontok, demam naik
turun, nyeri pada sendi-sendi telapak tangan dan kaki, dan sariawan.
• Riwayat social.
27
2.9 Pemeriksaan Penunjang Systemic Lupus Erythematosus
Diagnosis SLE ditegakkan tidak hanya berdasarkan manifestasi klinis saja,
namun didukung dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium
berperan dalam menunjang diagnosis SLE sekaligus memantai perjalanan penyakit
(monitoring). Adapun pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam diagnosis
dan monitoring yaitu:
Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala
mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar
95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE, misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed Connective Tissue 10 Disease
(MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang
normal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
namun dapat diulang di lain waktu jika diperlukan, seiring dengan perkembangan
penyakit SLE tersebut (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2020).
Tes ANA dapat menjadi suatu pilihan yang terutama dalam mendukung
diagnose penyakit SLE. Sebab menurut According to the American College of
Rheumatology, lenih dari 95% penderita penyakit SLE akan memberikan hasil
positif pada tes ini. Tetapi perlu diingat bahwa tidak semua hasil tes ANA yang
positif akan menunjukkan bahwa terdapat penyakit SLE, dan tidak semua orang
yang menderita penyakit SLE memberikan hasil yang positif. Oleh karena itu, tes
ini tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya diagnosis untuk penyakit SLE, tetapi
dapat menjadi penunjang yang utama untuk mendeteksi adanya penyakit autoimun.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium, yakni Obat-obatan tertentu
yang mempengaruhi hasil pengujian dan proses penuaan dapat menyebabkan
peningkatan kadar ANA (Nugraha, E. W., dkk., 2021).
29
2.10 Tata Laksana Systemic Lupus Erythematosus
Pasien SLE dalam meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup harus
mengenal terkait SLE dan menjalani pengobatan. Tujuan dari pengobatan SLE
yaitu untuk mendapatkan masa remisi yang panjang, menurunkan aktivitas penyakit
seringan mungkin dan mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar
aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal.
SLE ringan, sedang, maupun berat diperlukan gabungan strategi pengobatan atau
disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE yaitu:
1. Edukasi
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita SLE, terutama pasien yang baru terdiagnosis. Pasien
memerlukan pengetahuan akan masalah fisik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan dengan cara menghindari paparan sinar matahari atau melindungi diri
dengan menggunakan sunblock, pakaian lengan panjang, topi atau payung jika
berjalan pada siang hari untuk mencegah masalah yang disebabkan fotosensitifitas.
Disarankan bagi pasien SLE yang menderita obesitas untuk menjalani diet untuh
meminimalisir beberapa efek dari penyakit ini. dan juga diperlukan informasik akan
pengawasan berbagai fungsi organ baik berkaitan dengan aktivitas penyakit
ataupun akibat pengawasan obat-obatan. Penderita SLE juga harus menhindari
rokok (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2020).
2. Program rehabilitasi
Secara garis besar, tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program
rehabilitasi yang dimaksud melibatkan yaitu: (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2020).
1. Istirahat
2. Terapi fisik
3. Terapi dengan modalitas
4. Ortotik
5. Lain-lain
3. Pengobatan medikamentosa
a. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammantory Drugs)
30
NSAID digunakan untuk mengurangi mengurangi peradangan dan nyeri
pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID yaitu aspirin, ibuprofen,
naproxen, dan sulindac. Dan pemberian dosisnya diberikan sesuai dengan
NSAID, misalnya ibuprofen diberikan dengan dosis 30-40mg/kgBb/hari dibagi
dalam 3-4 dossi maksimal 2,4 gram/hari pada anak sedangkan pada dewasa 3,2
g/hari. Efek samping yang paling sering yaitu tidak enak perut, nyeri abdomen,
ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan
makanan untuk mengurangi efek samping (Maidhof W, Hilas O. 2012),
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2020).
b. Antimalaria
Hydroxychloroquine, merupakan jenis obat anti malaria yang ditemukan
efektif untuk pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek
samping dari obat ini yaitu diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata.
Obat ini dapat mengurangi frekuensi bekuan darah yang abnormal pada pasien
dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan serangan dari
SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah abnormal yang luas.
Dosis yang dapat diberikan yaitu 200-400 mg/hari (Maidhof W, Hilas O. 2012),
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2020).
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek yang lebih baik daripada NSAID dalam
mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif.
Kortikosteroid lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena.
Kortikosteroid bisa diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau
jaringan lainnya, atau diberikan intra vena. Pembesian dosisnya pun bervariasi.
Sehingga ada stadarisasi dosis berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Dimana dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE relatif tenang. Dosis
sedang sampai tinggi digunakan untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan
terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2020).
31
Table: Pembagian dosis kortikosteroid
Dosis sedang : > 7,5 mg, tetapi < 30 mg prednisone atau setara perhari
Dosis tinggi : > 30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau
beberapa hari
Adapun efek samping yang ditimbulkan yang tergantug pada dosis dan
waktu. Dimana efek samping yang ditemukan dirangkum pada table berikut
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2020).
32
Table: Efek Samping Pemakaian Kortikosteroid
d. Imunosupresan/ sitotoksik
Pada pasien SLE ada beberapa kelompok obat imunosupresan yang dapat
diberikan seperti azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikefenolat
mofetil. Namun, pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis,
pendarahan paru atau sitopenia akan diberikan kombinasi obat jenis kortikosteroid
dan imunosupresaa/sitotoksik. Kombinasi obat tersebut akan memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik. Berikut rangkuman dosis obat
imunosupresan/sitotoksik (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2020).
Metotreksat 7,5-20 mg/ minggu, dosis tunggal atau terbagi tiga. Dapat
diberikan juga melalui injeksi
Siklosporin A 2.5–5 mg/kg BB, atau sekitar 100 – 400 mg per hari
dalam 2 dosis, tergantung BB
33
e. Terapi lain
Adapun obat lain yang dapat digunakan pada penderita SLE yaitu:
- Intravena immunoglobulin IgS, dosis 400 mg/kgBb/ hari selama 5 hari,
dikhusukan untuk pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemolitik,
nefritis, neuropsikiatri SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang
refrakter dengan terapi konvensional
- Plasmaferesis, diberikan pada pasien SLE dengan sitopenia,
krioglobulinemia, dan lupus serberitis
- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus discoid
- Danazol pada trombositopenia refrakter
- Dehydroepiandosterone (DHEA)
- Dapson dan derivate retinoid: diberikan pada pasien SLE dengan maniefestasi
kulit yang refrakter dengan obat lainnya
- Rituximab: diberikan pada pasien SLE berat
- Belimumbab: untuk menghambat aktivitas stimulator limfosit B
- Terapi eksperimental yaitu antibody monoclonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb)
- Dialysis, transplantasi autologous stem cell (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2020).
34
Gambar 4 Algoritma penatalaksanaan SLE
35
Pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitar
dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Pasien SLE memerlukan pengetahuan
akan masalah aktivitas fisik, menguragi atau mencegah kekambuhan,
memperhatikan jika mengalami infeksi, pengaturan diet, dan pengawasan berbagai
fungsi organ. Adapun edukasi pada pasien SLE yaitu (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2020).
1. Penjelasan mengenai lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu
maupun diet, mengatasi infeksi maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis meliputi pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan diri sendiri, dang mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, perlu tidaknya
suplementasi mineral dan vitamin. Diberitahu mengenai obat-obatan yang
dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberculosis dan beberapa jenis
lainnya termasuk antibiotic.
6. Memberitahukah bahwa pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE dari
kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan
sebagainya (Sudoyo AW, dkk., 2014).
Selain itu, edukasi yang diberikan kepada pasien berupa anjuran untuk
follow up teratur untuk pemantauan perjalanan penyakit dan efek samping
pengobatan. Kostikosteroid harus dilakukan tappering off secara hati-hati. Selain
itu, juga perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin dan kimia darah setiap 3 bulan
dan pemeriksaan anti dsDNA setiap 3 – 6 bulan sekali sekaligus memantau efek
samping dari pengobatan yang diberikan karena waktu terapi yang relatif lama (H
Andrean; Raveinal. 2021).
36
BAB III
KESIMPULAN
37
DAFTAR PUSTAKA
Barber, M. R., Drenkard, C., Falasinnu, T., Hoi, A., Mak, A., Kow, N. Y., ... &
Ramsey-Goldman, R. (2021). Global epidemiology of systemic lupus
erythematosus. Nature Reviews Rheumatology, 17(9), 515-532.
Basta, F., Fasola, F., Triantafyllias, K., & Schwarting, A. (2020). Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) Therapy: The Old and The New. Rheumatology and
Therapy, 7(3), 433-446.
Fanouriakis, A., Tziolos, N., Bertsias, G., & Boumpas, D. T. (2021). Update οn the
diagnosis and management of systemic lupus erythematosus. Annals of the
rheumatic diseases, 80(1), 14-25.
Huether SE, McCance KL, editors (2019). Buku Ajar Patofisiologi. 6th Indonesia:
Elsevier
iii
Indri, A. (2020). Pola Peresepan Obat Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus
(Sle) Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Dr. Moewardi Tahun 2019 (Doctoral
dissertation, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nasional).
Kayser C, Dutra LA, Dos Reis-Neto ET, Castro CHM, Fritzler MJ, Andrade LEC.
(2022). The Role of Autoantibody Testing in Modern Personalized
Medicine. Clin Rev Allergy Immunol.
Muhith, A., Saputra, M. H., Fardiansyah, A., & Andani, L. (2018). Risk factor of
rheumatoid arthritis among elderly in UPT Panti Werdha Mojopahit
Mojokerto District Indonesia. Indian Journal of Public health Research &
Development, 9(6), 412-416.
Nugraha, E. W., Mawuntu, A. H., & Estiasari, R. (2021). Lupus Myelitis as The
Initial Manifestation of Systemic Lupus Erythematosus: A Case Report.
Jurnal Sinaps, 4(1), 13-24.
Silbernagl, S, Lang, F (2018). Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi, EGC, Jakarta
iv