Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 1


BLOK SISTEM NAUROMUSKULOSKELETAL II
“BAHUKU NYERI”

OLEH :

Putu Shanti Ayudiana Budi

019.06.0082

Kelompok 12/ Kelas B

Tutor : dr. Irsandi Rizki Farmananda, S.Ked

PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 1 yang berjudul “BAHUKU NYERI” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
(LBM) 1 yang berjudul “BAHUKU NYERI”meliputi seven jumps step yang
dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Irsandi Rizki Farmananda, S.Ked sebagai dosen fasilitator SGD 12
yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam
pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 8 April 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................4


1.1 Skenario ....................................................................................................4

1.2 Data Kasus ...............................................................................................5

1.3 Deskripsi Masalah ...................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................7


2.1 Pembahasan Brain Storming ......................................................................7

2.2 Pembahasan Diagnosis Banding .................................................................9

2.2.1 Fraktur Tertutup (Diagnosis Kerja) .........................................................9

2.2.2 Dislokasi ................................................................................................19

2.2.3 Sindroma Kompartemen ........................................................................24

2.2.4 Osteomyelitis .........................................................................................28

BAB III PENUTUP ..............................................................................................31


3.1 Kesimpulan .................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................32

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Skenario

Sesi 1

Seorang laki- laki berumur 20 tahun datang ke UGD Rumah Sakit dengan
keluhan nyeri di bahu kanan. Nyeri dialami 1 hari sebelumnya, dan nyeri
dirasakan seperti tertusuk- tusuk yang dialami sepanjang hari, berkurang saat
istirahat dan memberat bila beraktifitas. Tidak ada nyeri menjalar dan nyeri
menetap di bahu kanan.

Demam disangkal, riwayat penyakit sebelumnya tidak ada. Pasien


mengatakan 1 hari yang lalu bertabrakan motor dengan motor.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88x/
menit, pernafasan 18x/ menit, suhu 36,60 C.

Pada region bahu kanan didapatkan edema dengan ekimosis. Bahu kanan
tidak dapat digerakkan, namun siku kanan masih dapat digerakkan.
Neurovaskularisasi bagian distal masih bagus.

Apakah yang terjadi pada pasien di scenario ?

Sesi 2

Pada pemeriksaan darah di dapatkan :

LED 5 mm/ jam (<10)

Leukosit 8x 103/ μl (5,0- 10,0)

Platelet 220 x 103/ μ (150- 400)

RBC 4,5 juta/ μl (4,5- 5,5)

Batang 4% (2,0- 6,0)

4
Segmen 60% (50,0- 70,0)

Limfosit 25% (20- 40)

Monosit 2% (2,0- 8,0)

Pada pemeriksaan radiologi di dapatkan hasil :

1.2 Data Kasus

Identitas Pasien

Nama :-

Umur : 20 tahun

Jenis Kelamin : laki- laki

Data Dasar

a. Data subyektif

5
Pada anamnesis didapatkan data yaitu pasien tabrakan, pasien mengalami
nyeri yang memberat saat beraktifitas, demam disangkal oleh pasien, dan pasien
tidak memiliki riwayat penyakit.
b. Data obyektif

Pada pemeriksaan fisik didapatkan sebagai berikut :

Tekanan darah : 110/ 70 mmHg


Nadi : 88x/ menit
Laju pernapasan : 18x/ menit
Suhu tubuh : 36,60 C
Bahu kanan : gangguan mobilitas
Edema :+
Ekimosis :+

1.3 Deskripsi Masalah


1) Kenapa nyeri dirasakan seperti tertusuk- tusuk ?
2) Apakah ada hubungan antara kejadian tabrakan dengan keluhan di
skenario ?
3) Mengapa terjadi edema dan ekimosis di skenario ?
4) Mengapa pada pasien tersebut bahu kanan tidak dapat digerakan
sedangkan siku masih bisa digerakan. Apakah ada hubungan
keduanya ?
5) Apakah DD pada skenario ?

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pembahasan Brain Storming


Pada skenario diketahui bahwa seorang laki- laki berumur 20 tahun datang
ke UGD Rumah Sakit dengan keluhan nyeri di bahu kanan. Nyeri dialami 1 hari
sebelumnya, dan nyeri dirasakan seperti tertusuk- tusuk yang dialami sepanjang
hari, berkurang saat istirahat dan memberat bila beraktifitas. Tidak ada nyeri
menjalar dan nyeri menetap di bahu kanan. Keluhan yang dirasakan oleh pasien
berupa nyeri yang dirasakan seperti tertusuk- tusuk merupakan suatu tanda adanya
respon persarafan di tubuh utamanya secara local di region tersebut sebagai akibat
dari cedera di bagian bahu kanan pasien. Nyeri ini merupakan jenis dari nyeri akut
yaitu pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas
ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Nyeri akut biasanya
berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur.

Menurut anamnesis kepada pasien didapatkan data demam disangkal,


riwayat penyakit sebelumnya tidak ada. Pasien mengatakan 1 hari yang lalu
bertabrakan motor dengan motor. Dari data tersebut menandakan keluhan pasien
murni karena mengalami tabrakan sehingga menyebabkan cedera atau trauma
sehingga terjadinya gangguan pada organ tubuh pasien akibat dari tekanan yang
terjadi karena tabrakan tersebut. Dan hal ini menandakan tidak ada pengaruh dari
mikrobakterium ataupun virus dan fungi karena pasien tidak mengeluhkan demam
dimana biasanya ketika keluhan dipengaruhi oleh mikrobakterium maka tubuh
akan merespon dengan demam yang terjadi pada pasien namun pada scenario
disangkal.

Pada region bahu kanan didapatkan edema dengan ekimosis. Edema


menandakan terjadinya akumulasi cairan interstitial dibawah kulit di dalam
jaringan yang menyebabkan peningkatan tahanan cairan. Sedangkan ekimosis
merupakan tanda dari perdarahan di bawah kulit sehingga kulit menjadi kebiruan
akibat dari perdarahan kapiler darah bawah kulit yang diduga terjadi karena

7
adanya robekan akibat tulang yang mengalami cedera saat pasien mengalami
benturan.

Bahu kanan tidak dapat digerakkan, namun siku kanan masih dapat
digerakkan. Neurovaskularisasi bagian distal masih bagus. Hal ini terjadi karena
diduga pada bagian bahu terjadi diskontiunitas pad atulang yang menyebabkan
adanya gangguan mobilitas sehingga bahu kanan pasien tidka dapat digerakkan.

Oleh karena itu berdasarkan data yang terdapat di scenario maka dapat
ditentukan diagnosis banding dari pasien yang pertama yaitu fraktur tertutup, hal
ini diduga karena keluhan dari pasien yang mengalami cedera pada bahu kanan
setelah mengalami tabrakan sehingga kemungkinan besar pasien mengalami
benturan yang mengakibatkan cedera dari tulang dan terjadi fraktur. Kedua yaitu
dislokasi dimana hal ini diduga karena saat terjadi tabrakan kemudian pasien
terbentur sehingga menyebabkan keluarnya kepala sendi dari mangkok sendi dan
terjadi dislokasi. Ketiga yaitu sindroma kompartemen dan osteomilitis dimana
kedua hal ini merupakan komplikasi dari adanya fraktur yang menyebabkan
kerusakan yang lebih serius seperti sindroma kompartemen yang merupakan
disfungsi dari kompartemen bawah kulit yaitu tu;ang sedangkan osteomilitis
diduga karena terjadinya edema dan ekimosis pada pasien yang menyebabkan
timbulnya dugaan tersebut.

Sehingga didapatkan diagnosis yaitu Fraktur Terututup 1/3 Mid Klavikula


Dextra Grade Allman 1. Secara lebih spesifik didapatkan diagnosis yaitu Fraktur
Terututup Complete Diafisis Klavikula Dextra Transverse Displacement ke
Posterior dengan cedera Neurovaskular. Fraktur tertutup didapatkan dari
pemeriksaan yang tidak menandakan adanya robekan luar yang menyebabkan
terhubung dengan lingkungan luar, fraktur complete didapatan berdasarkan hasil
rontgen yang menunjukkan patahan secara keseluruhan pada bagian diafisis dari
tulang klavikula bagian dextra beserta patahan yang berjenis transverse karena
pada patahan tidak membentuk suatu sudut atau patahannya datar kemudian
dilihat adanya tanda displacement atau perpindahan tulang kea rah posterior serta
adanya ekimosis yang menandakan terjadinya gangguan pada neurovascular local
di bagian bahu atau area patahan.

8
2.2 Pembahasan Diagnosis Banding

2.2.1 Fraktur Tertutup (Diagnosis Kerja)


Definisi

Fraktur adalah kondisi hilangnya kontinuitas pada tulang, yang dapat


bersifat lengkap maupun sebagian. Fraktur merupakan cedera traumatik dengan
presentase kejadian tinggi, cedera tersebut dapat menimbulkan perubahan yag
signifikan pada kualitas hidup. Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang yang
dapat disebabkan oleh trauma fisik (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).
Fraktur yang terjadi pada individu dapat ditentukan oleh kekuatan, sudut,
tenaga, kondisi tulang, serta kondisi jaringan disekitar tulang. Fraktur lengkap
terjadi pada saat tulang mengalami patah secara keseluruhan,sedangkan fraktur
tidak lengkap terjadi pada saat tulang tidak mengalami patah secara keseluruhan
(Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).

Epidemiologi

Pada anak- anak, klavikula mudah mengalami fraktur, namun hampir selalu
terjadi union dengan cepat dan tanpa komplikasi. Pada orang dewasa, fraktur
klavikula merupakan injuri yang lebih sulit. Fraktur klavikula pada orang dewasa
sering terjadi, insidensinya 2,6- 4% dari semua fraktur dan kurang lebih 35%
merupakan cedera dari gelang bahu. Fraktur pada midshaft merupakan yang
terbanyak 69- 82%, fraktur lateral 21- 28%, dan fraktur medial yang paling jarang
2- 3% (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).

Etiologi

Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, berikut
penyebab dari fraktur adalah (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014) :
1. Kecelakaan di jalan raya, contohnya kecelakaan saat mengendarai
kendaraan bermotor
2. Cedera saat melakukan olahraga

9
3. Menyelam pada air yang dangkal
4. Luka tembak atau luka tikam
5. Gangguan metabolik tulang seperti osteoporosis yang disebabkan oleh
fraktur kompresi pada vertebra, dapat mengalami fraktur dari trauma
minor karena kerapuhan tulang akibat gangguan yang telah ada
sebelumnya.
6. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis
seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, mielitis akibat proses
inflamasi infeksi maupun non infeksi, siringmielia, tumor infiltrasi
maupun kompresi
7. Gaya secara langsung, contohnya sebuah benda bergerak menghantam
ke area tubuh di atas tulang. Gaya tidak langsung, contohnya ketika
ada kontraksi kuat dari otot menekan pada tulang dan juga tekanan
serta kelelahan dapat menyebabkan fraktur karena penurunan
kemampuan tulang dalam menahan gaya mekanikal.

Klasifikasi

Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada-tidak.nya hubungan patahan tulang


dengan dunia luar, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur terbuka
memungkinkan masuknya kuman dari luar ke dalam Iuka. Patah tulang terbuka

10
dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur
yang terjadi. Menurut garis frakturnya, patah tulang dibagi menjadi fraktur
komplet atau inkomplet (termasuk fisura dan greenstick fracture), transversa,
oblik, spiral, kompresi, simpel, kominutif, segmental, kupu- kupu, dan impaksi.
Ujung patahan tulang dapat berpindah (mengalami dislokasi) akibat adanya
berbagai kekuatan seperti cedera, conus atau kontraksi otot, dan tarikan
(Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).

Pada tipe I, terjadi pemisahan total lempeng epifisis tanpa adanya patah
tulang. Sel- sel pertumbuhan lempeng epifisis masih melekat pada epifisis.
Fraktur ini terjadi akibat adanya gaya potong (shearing force) pada bayi baru lahir
atau anak- anak kecil. Fraktur ini cukup diatasi dengan reduksi tertutup karena
masih ada pelekaran periosteum yang inrak. Prognosis biasanya baik bila
direposisi dengan cepat. Fraktur epifisis tipe II merupakan jenis fraktur yang
sering ditemukan. Pada tipe ini, garis fraktur berjalan di sepanjang lempeng
epifisis dan membelok ke metafisis sehingga membentuk suatu fragmen metafisis
seperti segitiga yang disebut tanda Thurston-Holland. Sel- sel pertumbuhan pada
lempeng epifisis masih melebar (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).

Trauma yang menghasilkan jenis fraktur ini biasanya adalah trauma bergaya
potong dan bengkok pada anak- anak yang lebih tua. Periosteum mengalami
robekan pada daerah konveks tetapi tetap utuh pada daerah konkaf. Reposisi
secepatnya tidak begitu sulit dilakukan. Reposisi tcrlambat, harus dilakukan
pembedahan. Prognosis fraktur epifisis ripe II baik, kecuali jika terjadi kerusakan
pembuluh darah. Fraktur lempeng epifisis cipe Ill merupakan fraktur intra-
arcikuler. Garis fraktur berjalan dari permukaan sc:ndi menerobos lempeng
epifisis lalu memotong sepanjang garis lempeng epifisis. Jenis frakcur
intraartikuler ini biasanya ditcmukan pada epifois os tibia bagian distal. Karena
intra-artikuler, fraktur ini harus direduksi secara akurat. Sebaiknya dilakukan
operasi terbuka dan fiksasi interna dengan pin. Fraktur lempeng epifisis tipe IV
juga merupakan fraktur intra-artikuler yang garis fraktumya menerobos
permukaan sendi ke epifisis, ke lapisan lempeng epifisis, hingga ke sebagian
metafisis. Contoh tersering fraktur jenis ini adalah fraktur kondilus lateralis

11
humeri pada anak-anak. Pengobatannya adalah reduksi rerbuka dan fiksasi interna
karena fraktur tidak srabil akibar tarikan otot. Prognosisnya jelek bila reduksi
tidak dilakukan dcngan baik. Fraktur lempeng epifisis tipe V merupakan fraktur
akibat hancurnya epifisis yang diteruskan ke lempeng epifisis. Biasanya tcrjadi
pada daerah sendi penopang badan, yaitu sendi pergelangan kaki dan sendi lutut.
Diagnosis fraktur jenis ini sulit karena secara radiologic tidak tampak kelainan.
Prognosis jelek karena dapat terjadi kerusakan sebagian atau seluruh lempeng
pertumbuhan (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).

Fraktur klavikula biasanya diklasifikasikan berdasarkan posisi dari fraktur


oleh Allman menjadi proximal (Group I), middle (Group II), dan distal (Group
III) third fractures. Pembagian secara general berhubungan dengan pendekatan
klinis yang akan dikerjakan. Karena tingginya tingkat delayed union and non-
union pada fraktur 1/3 distal, Neer membaginya menjadi tiga subklasifikasi
berdasarkan kondisi ligamentum dan derajat pergeseran. Neer tipe I (ligamentum
korakoklavikular masih intak), Neer tipe II (ligamentum korakoklavikular robek
atau lepas dari fragmen medial tetapi ligamentum trapezoid tetap intak dengan
segmen distal), dan Neer tipe III (intraartikular). Neer tipe II disubklasifikasikan
menjadi dua oleh Rockwood menjadi tipe IIA: konoid dan trapezoid melekat pada
fragmen distal dan tipe IIB: konoid lepas dari fragmen medial. Klasifikasi yang
lebih detail untuk fraktur midshaft dibuat oleh Robinson, yang berguna untuk
pengolahan data dan membandingkan hasil klinis (Rockwood and Green's. 2015).

12
Manifestasi Klinis

Salah satu cara mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis


klien, beberapa fraktur sering langsung tampak jelas. Berikut manifestasi klinis
fraktur adalah (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014) :

1. Deformitas : Pembengkakan dari pendarahan lokal dapat


menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat
menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional atau
angulasi.
2. Pembengkakan : Edema dapat muncul segera sebagai akibat dari
akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke
jaringan sekitar.
3. Memar (ekimosis) : memar terjadi karena pendarahan subkutan pada
lokasi fraktur.

13
4. Spasme otot : Sering mengiringi fraktur, spasme otot involuntar
sebenarnya berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan
lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri : Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu
mengiringi fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda
pada tiap klien. Nyeri akan terus – menerus jika fraktur tidak
diimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada sekitarnya.
6. Ketegangan : Ketegangan di atas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera
yang terjadi.
7. Kehilangan fungsi : Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang
disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan
pada tungkai yang terkena.
8. Gerakan abnormal dan krepitasi : Gerakan dari bagian tengah tulang
atau gesekan antar fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan
suara deritan.
9. Syok : Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Pendarahan
besar atau tersembunyi dapat menyebabkan syok.
10. Perubahan neurovaskular : Cedera neurovaskular terjadi akibat
kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait. Klien akan
mengeluhkan kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah
distal fraktur

Patofisiologi

Keparahan dari fraktur bergantug pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya
retak saja dan bukan patah. Jika gaya yang diterima sangat ekstrim seperti
tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping – keping. Saat terjadi fraktur,
otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami
spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar
dapat menciptakan spasme yang kuat dan bahkan mampu menggeser tulang besar

14
seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya,
namun bagian distal dapat bergeser karena gaya penyebab patah maupun spasme
pada otot- otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu
sudut atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau
berpindah (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014)..
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu. Sering terjadi cedera jaringan lunak.
Pendarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu
sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi di antara fragmen-
fragmen tulang dan di bawah periosteum. Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur
akan mati dan mencipatakan respon peradangan yang hebat. Akan terjadi
vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit serta
infiltrasi sel darah putih. Respon patofisiologis ini juga merupakan tahap awal dari
penyembuhan tulang (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologis yang diperlukan minimal adalah rontgen dengan


proyeksi anterior dan kemiringan 30 derajat sefalik. Biasanya didapatkan fraktur
pada 1/3 tengah dari tulang, fragmen bagian luar biasanya terletak lebih rendah
dari fragmen bagian dalam. Fraktur pada 1/3 lateral dapat terlewatkan, atau
perkiraan derajat pergeserannya dapat lebih rendah, kecuali jika rontgen proyeksi
bahu juga dikerjakan. Rontgen sendi sternoclavicular pada fraktur 1/3 medial juga
lebih baik dikerjakan. Saat menilai kemajuan klinis, harus diingat bahwa ‘clinical’
union biasanya mendahului ‘radiological’ union beberapa minggu sebelumnya
(Apley, A Graham & Solomon, Louis. 2010).

CT scan dengan rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan untuk


menentukan derajat pemendekan secara akurat atau untuk mendiagnosis fraktur
dislokasi sternoklavikula dan untuk meyakinkan union dari sebuah fraktur (Apley,
A Graham & Solomon, Louis. 2010).

15
Penatalaksanaan

Untuk Fraktur Klavikula 1/3 Tengah, sebagian besar akan berlanjut dengan
union yang baik, dengan kemungkinan non union di bawah 5% dan kembali ke
fungsi normal. Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling untuk
kenyamanan. Sling dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1- 3 minggu) dan pasien
disarankan untuk mulai menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti yang
menyatakan bahwa penggunaan figure-of-eight bandage memberikan manfaat dan
dapat berisiko terjadinya peningkatan insidens terjadinya luka akibat penekanan
pada bagian fraktur dan mencederai struktur saraf bahkan akan meningkatkan
risiko terjadinya non-union (Apley, A Graham & Solomon, Louis. 2010).

16
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3 tengah.
Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan lebih dari 2 cm
dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion simptomatik – terutama nyeri
dan tidak adanya tenaga saat pergerakan bahu – dan peningkatan insidens
terjadinya non-union. Sehingga dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur
klavikula akut yang mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan.
Metode yang dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan kontur
yang spesifik) dan fiksasi intramedular (Apley, A Graham & Solomon, Louis.
2010).

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke


posisi semula (reposisi) clan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Reposisi tidak harus mencapai keadaan
sempurna seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan remodeling
(proses swapugar). Cara pertama penanganan adalah proteksi saja tanpa reposisi
clan imobilisasi. Pada fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal
atau tidak akan menyebabkan cacat di kemudian hari, cukup dilakukan proteksi
saja, misalnya dengan mengenakan mitela atau sling (Apley, A Graham &
Solomon, Louis. 2010).

17
Cara kedua ialah imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap diperlukan
imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah
pengelolaan patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Cara ketiga
berupa reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi. Ini
dilakukan pada patah tulang dengan dislokasi fragmen yang nyata, seperti pada
patah rulang radius distal. Cara keempat berupa reposisi dengan traksi
terusmenetus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, lalu diikuti
dengan imobilisasi. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang bila direposisi
tulang akan bergeser kembali di dalam gips, biasanya pada frakrur mlang yang
dikelilingi oleh otot yang kuat seperti pada patah rulang femur. Cara kelima
berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Fiksasi
fragmen fraktur menggunakan pin baja yang clitusukkan pada fragmen tulang,
kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar
kulit. Alat ini dinamakan eksator eksterna (Apley, A Graham & Solomon, Louis.
2010).

Cara keenam berupa reposisi non-operatif dii.kuti dengan pemasangan


fiksator culang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operarif dengan meja traksi; setelah terjadi
reposisi, dilakukan pemasangan prostesis pada kolum femur secara operatif. Cara
ketujuh berupa reposisi operatif diikuti dengan fiksasi interna. Cara ini disebut
juga sebagai reduksi terbuka fiksasi interna (open reduction internal fixation,
ORIF), Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa pelat clan sekrup.
Keuntungan ORIF adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang
kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi segera
bisa dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang. ORIF biasanya
dilakukan pada fraktur femur, tibia, humerus, antebrakium. Cara yang terakhir
berupa eksisi fragmen patahan tulang dan menggancinya dengan proscesis,
misalnya yang dilakukan pada patah tulang kolum femur.

Komplikasi

18
Meskipun klavikula bagian proksimal terletak dekat dengan struktur vital,
kejadian pneumotoraks, ruptur pembuluh darah subklavia, dan cedera pleksus
brachialis jarang terjadi. Pada fraktur shaft yang mengalami pergeseran, non-
union terjadi pada 1- 15% kasus. Fraktur risiko meliputi usia yang bertambah tua,
besar pergeseran, komunitif fraktur, dan pasien perempuan, namun prediksi akurat
mengenai fraktur yang akan mengalami non-union sulit dikerjakan. Non-union
yang simptomatik diterapi dengan fiksasi plat dan graft tulang jika diperlukan.
Tindakan ini biasanya memuaskan dan memiliki tingkat union yang tinggi.
Fraktur klavikula 1/3 lateral mempunyai tingkat non-union yang tinggi (11,5-
40%). Pilihan terapi untuk non-union simptomatik adalah eksisi bagian lateral dari
klavikula (bila fragmen kecil dan ligamentum korakoklavikular intak) atau reduksi
terbuka, fiksasi interna dan graft tulang bila fragmen besar. Implan yang
digunakan adalah locking plates and hooked plates (Apley, A Graham & Solomon,
Louis. 2010).

2.2.2 Dislokasi
Definisi

Dislokasi sendi merupakan keadaan di mana tulang- tulang yang


membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis. Dislokasi ini dapat
terjadi pada komponen tulangnya saja yang bergeser atau seluruh komponen
tulang terlepas dari tempat yang seharusnya. Sendi bahu menjadi kasus dislokasi
yang paling sering terjadi dengan angka 45 % dari seluruh kasus dislokasi,
menyusul sendi panggul dan siku (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).

Klasifikasi
Klasifikasi dislokasi sendi berdasarkan penyebabnya adalah :
1. Dislokasi Kongenital : terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan, paling sering terlihat pada pinggul.
2. Dislokasi Spontan atau Patologik : akibat penyakit sendi dan atau
jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis
tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.

19
3. Dislokasi traumatik : kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan
saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat
anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan).
Klasifikasi dislokasi sendi berdasarkan tempat terjadi :
1. Dislokasi sendi rahang : dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena
menguap atau terlalu lebar serta terkena pukulan keras ketika rahang
sedang terbuka, akibatnya penderita tidak dapat menutup mulutnya.
2. Dislokasi sendi bahu : pergeseran kaput humerus dari sendi
gloenohumeral berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi
anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan dibawah glenoid
(dislokasi inferior).
3. Dislokasi sendi siku : cedera biasanya akibat terjatuh pada tangan
yang dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan
siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan –
tonjolan tulang siku.

4. Diskulokasi sendi jari : sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila
tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan menjadi kaku
kelak.sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau
punggung tangan.
5. Dislokasi sendi metacarpophalangeal dan interphalangeal : dislokasi

20
sendi ini disebabkan oleh hiperekstensi – ekstensi persendian.

6. Dislokasi sendi panggul : bergesernya caput femur dari sendi


panggul,berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior),
di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur
menembus acetabulum (dislokasi sentra).
7. Dislokasi sendi lutut : dislokasi ini terjadi apabila penderita mendapat
trauma dari depan dengan lutut dalam keadaan fleksi. Dislokasi ini
bersifat anterior, posterior, lateral, medial atau rotasi. Trauma juga
dapat menyebabkan dislokasi yang terjadi disertai dengan kerusakan
nervus peroneus dan arteri poplitea

Epidemiologi

Sampai saat ini, epidemiologi kasus dislokasi sendi bahu masih kurang
dipahami. Dalam sebuah studi di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kasus
dislokasi sendi bahu berupa 95% dislokasi anterior, 4% dislokasi posterior, 0,5%
dislokasi inferior, serta kurang dari 0,5% dislokasi superior. Dislokasi sendi bahu
sering ditemukan pada orang dewasa, jarang ditemukan pada anak-anak dimana
71,8% laki-laki yang mengalami dislokasi, 46,8% penderita berusia antara 15-29
tahun, 48,3% terjadi akibat trauma seperti pada kegiatan olahraga. Tingkat
dislokasi yang lebih tinggi terlihat pada perempuan yang berusia >60 tahun.
Penyebab tersering didapatkan 58,8% akibat jatuh. Kasus fraktur penyerta
komponen sendi 16% terjadi pada kasus dislokasi sendi bahu. Dislokasi sendi
umumnya jarang menyebabkan kematian, namun dapat menimbulkan penderitaan
fisik, stress mental, dan kehilangan banyak waktu. Oleh karena itu, pada kasus
dislokasi sendi akan meningkatkan angka morbiditas dibanding angka mortalitas.

Etiologi

Penyebab dislokasi sendi yang paling sering dialami adalah terjatuh. Cedera
olah raga biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki serta

21
olahraga yang beresiko jatuh, misalnya: terperosok akibat bermain ski, senam,
volley, basket, dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada
tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain
lain.Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga benturan keras pada
sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi, terjatuh dari
tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. Terjadinya ‘tear’
ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang

Patofisiologi

Cedera pada dislokasi sendi berbagai macam, seperti cedera saat trauma,
terjatuh dan cedera akibat olahraga dikarenakan beberapa hal seperti tidak
melakukan exercise sebelum olahraga memungkinkan terjadinya dislokasi,
dimana cedera olahraga menyebabkan terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi sehingga dapat merusak struktur sendi dan ligamen. Keadaan
selanjutnya terjadinya kompresi jaringan tulang yang terdorong ke depan sehingga
merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid teravulsi akibatnya tulang berpindah
dari posisi normal. Keadaan tersebut dikatakan sebagai dislokasi (Price, Sylvia.,
Wilson Lorraine. 2005).
Trauma kecelakaan karena kurang kehati-hatian dalam melakukan suatu
tindakan atau saat berkendara tidak menggunakan helm dan sabuk pengaman
memungkinkan terjadi dislokasi. Trauma kecelakaan dapat kompresi jaringan
tulang dari kesatuan sendi sehingga dapat merusak struktur sendi dan ligamen.
Keadaan selanjutnya terjadinya kompres jaringan tulang yang terdorong ke depan
sehingga merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi akibatnya
tulang berpindah dari posisi normal yang menyebabkan dislokasi (Price, Sylvia.,
Wilson Lorraine. 2005).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dislokasi sendi adalah nyeri akut yaitu nyeri yang sering
terdapat pada dislokasi sendi bahu, sendi siku, metakarpal phalangeal dan sendi

22
pangkal paha servikal, kemudian terjadi perubahan kontur sendi, perubahan
panjang ekstremitas, mengalami deformitas pada persendiaan, perubahan sumbu
tulang yang mengalami dislokasi, dan kehilangan mobilitas normal, serta terjadi
gangguan gerakan otot-otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut.
Pembengkakan dan kekakuan juga menjadi manifestasi klinis dari dislokasi sendi.

Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Dislokasi Sendi


Penatalaksanaan dislokasi sendi adalah dilakukan sebagai berikut :
1. Melakukan reposisi segera.
2. Memanipulasi secara hati – hati permukaan sendi yang diluruskan
kembali.
3. Tindakan pembedahan harus dilakukan bila terdapat tanda - tanda
gangguan neuromuskular yang berat atau jika tetap ada gangguan
vaskuler setelah reposisi tertutup berhasil dilakukan secara lembut.
Pembedahan terbuka mungkin diperlukan, khususnya kalau jaringan
lunak terjepit diantara permukaan sendi.
4. Persendian tersebut disangga dengan pemasangan gips. Misalnya pada
sendi pangkal paha untuk memberikan kesembuhan pada ligamentum
yang teregang.
5. Dislokasi reduksi yaitu dikembalikan ke tempat semula dengan
menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
6. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi atau
dikembalikan ke rongga sendi.
7. Sendi kemudian dimobilasasi dengan bidai, gips, atau traksi dan dijaga
agar tetap dalam posisi stabil, setelah reduksi dilakukan mobilisasi
halus 3- 4 kali sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran
sendi.

Komplikasi

23
Komplikasi dini yaitu fraktur disloksi, cedera pembuluh darah seperti arteri
aksilla dapat rusak. Cedera saraf antara lain saraf aksila dapat cedera, pasien tidak
dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati
rasa pada otot tesebut.

2.2.3 Sindroma Kompartemen


Definisi

Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi


peningkatan tekanan di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi
sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya.
Sindrom kompartemen, suatu keadaan yang potensial menimbulkan kedaruratan,
adalah peningkatan tekanan interstisial dalam sebuah ruangan yang tertutup,
biasanya kompartemen oseofacial ekstremitas yang nonclompliant, misalnya
kompartemen lateral, anterior dan posterior dalam tungkai serta kompartemen
volar superficial dan dalam lengan serta pergelangan tangan. Peningkatan tekanan
dapat menyebabkan gangguan mikrovaskular dan nekrosis jaringan local
(Aprianto, Petrus. 2017).

Sindrom kompartemen merupakan masalah medis akut setelah


cedera pembedahan,di mana peningkatan tekanan (biasanya disebabkan oleh
peradangan)di dalam ruang tertutup (kompartemen fasia) di dalam tubuh
mengganggu suplaidarah atau lebih dikenal dengan sebutan kenaikan tekanan
intra-abdomen. Tanpa pembedahan yang cepat dan tepat, hal ini dapat
menyebabkan kerusakan saraf danotot kematian (Aprianto, Petrus. 2017).

Epidemiologi

Sebanyak 75% kasus kompartemen sindrom diawali fraktur pada 36%


kasus. Sebagian besar kasus sindrom kompartemen terjadi pada pria dewasa
berusia 30-35 tahun, antara lain karena massa otot pada pria usia tersebut lebih

24
besar daripada wanita seusianya (10:1) dan lebih besar daripada pria berusia di
atas 35 tahun (Aprianto, Petrus. 2017).

Etiologi

Penyebab sindrom kompartemen secara umum dibedakan menjadi dua: 1.


Peningkatan volume intra-kompartemen dengan luas ruang kompartemen tetap;
dapat disebabkan oleh fraktur yang menyebabkan robekan pembuluh darah,
sehingga darah mengisi ruang intra-kompartemen. Trauma langsung jaringan otot
yang menyebabkan pembengkakan. Luka bakar yang menyebabkan perpindahan
cairan ke ruang intrakompartemen. Penurunan luas ruang kompartemen dengan
volume intra-kompartemen yang tetap. Kompresi tungkai terlalu ketat saat
imobilisasi fraktur „ Luka bakar yang menyebabkan kekakuan/ konstriksi jaringan
ikat sehingga mengurangi ruang kompartemen (Aprianto, Petrus. 2017).

Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal


yang kemudian memicu timbullnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain
(Aprianto, Petrus. 2017) :
a. Penurunan Volume Kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh :
1) Penutupan defek fascia
2) Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
b. Peningkatan Tekanan Eksternal
1) Balutan yang terlalu ketat
2) Berbaring di atas lengan
3) Gips
c. Peningkatan Tekanan pada Struktur Komparteman
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain :
1) Pendarahan atau Trauma vaskuler
2) Peningkatan permeabilitas kapiler
3) Penggunaan otot yang berlebihan
4) Luka bakar

25
5) Operasi
6) Gigitan ular
7) Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah
cedera, dimana 45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di
anggota gerak bawah (Aprianto, Petrus. 2017).

Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P


yaitu (Aprianto, Petrus. 2017) :
a. Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena, ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang palin
g pentig. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan
keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau
memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang
pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
b. Pallor (pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
c. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
d. Parestesia (rasa kesemutan)
e. Paralysis
Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala
khas, antara lain :
1) Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga.
Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
2) Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat
15-30 menit. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

26
Patofisiologi

Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal


normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa
memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan
obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus
menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi (Price,
Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).
Pada titik ini, tidak ada yang masuk ke kapiler sehingga menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam
kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan
nyeri hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intra
kompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler
akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti,
Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi
iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel
komponen tersebut. Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada
kompartemen sindrom yaitu (Aprianto, Petrus. 2017) :
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
b. Theori of critical closing pressure.
c. Tipisnya dinding vena
Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan menambah
peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang
dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi
iskemia berulang. Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara
kontraksi yang terus ± menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah (Price,
Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).

Komplikasi

27
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera,
akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :
a. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
b. Kontraktur volkan, merupakan kesrusakan otot yang disebabkan oleh
terlambat penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya
trauma pada lengan bawah.
c. Trauma vascular
d. Gagal ginjal akut
e. Sepsis
f. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

Prognosis

Sindrom kompartemen dapat bersifat sangat destruktif. Prognosis baik dapat


dicapai dengan penanganan yang cepat dan apabila sindrom kompartemen dapat
dikenali sedini mungkin. Makin lambat ditangani, makin besar risiko kerusakan
permanen otot dan saraf (Aprianto, Petrus. 2017).

2.2.4 Osteomyelitis
Definisi

Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum


dan atau kortek tulang dapat berupa eksogen (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hemotogen (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Sedangkan menurut Bruce,
osteomyelitis adalah infeksi pada tulang yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Osteomyelitis biasanya merupakan infeksi bakteri, tetapi mikrobakterium dan
jamur juga dapat menyebabkan osteomyelitis jika mereka menginvasi tulang. Jadi
pengertian osteomyelitis yang paling mendasar adalah infeksi jaringan tulang
yang mencakup sumsum atau kortek tulang yang disebabkan oleh bakteri
piogenik. Osteomyelitis dapat timbul akut atau kronik. Bentuk akut dicirikan
dengan adanya awitan demam sistemik maupun manifestasi lokal yang berjalan

28
dengan cepat. Osteomyelitis kronik adalah akibat dari osteomyelitis akut yang
tidak ditangani dengan baik.

Etiologi

Penyebab paling sering adalah staphylococcus aerus (70% - 80%).


Organisme penyebab yang lain adalah salmonela streptococcus dan
pneumococcus. Luka tekanan, trauma jaringan lunak, nekrosis yang berhubungan
dengan keganasan dan terapi radiasi serta luka bakar dapat menyebabkan atau
memperparah proses infeksi tulang. Infeksi telinga dan sinus serta gigi yang
berdarah merupakan akibat dari osteomyelitis pada rahang bawah dan tulang
tengkorak. Faktur compound, prosedur operasi dan luka tusuk yang dapat melukai
tulang pokok sering menyebabkan traumatik osteomyelitis. Osteomyelitis sering
ditemukan pada orang yang lebih tua karena faktor penyebabnya berhubungan
dengan penuaan.

Manifestasi Klinis

Gejala umum akut seperti demam, toksemia, dehidrasi, pada tempat tulang
yang terkena panas dan nyeri, berdenyut karena nanah yang tertekan kemudian
terdapat tanda-tanda abses dengan pembengkakan.

Patofisiologi

Osteomyelitis paling sering disebabkan oleh staphylococcus aureus.


Organisme penyebab yang lain yaitu salmonella, streptococcus, dan
pneumococcus. Metafisis tulang terkena dan seluruh tulang mungkin terkena.
Tulang terinfeksi oleh bakteri melalui 3 jalur : hematogen, melalui infeksi di
dekatnya atau scara langsung selama pembedahan. Reaksi inflamasi awal
menyebabkan trombosis, iskemia dan nekrosis tulang. Pus mungkin menyebar ke
bawah ke dalam rongga medula atau menyebabkan abses superiosteal. Suquestra

29
tulang yang mati terbentuk. Pembentukan tulang baru dibawah perioteum yang
terangkan diatas dan disekitar jaringan granulasi, berlubang oleh sinus-sinus yang
memungkinkan pus keluar (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).

Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium
a. Peningkatan laju endap eritrosit
b. Lukosit dan LED meningkat
2. Rontgen

Menunjukkan pembengkakan jaringan lunak sampai dua minggu kemudian


tampak bintik-bintik dekalsifikasi pada batang tulang, yang kemudian dapat
meluas dan diikuti oleh tanda-tanda pembentukan involukrom

3. Scan tulang, biasanya sebelum rontgen


4. Biopsi tulang, mengidentifikasi organisme penyebab

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang di dapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang mengarahkan kepada diagnosis Fraktur Tertutup
Klavikula Dextra 1/3 Mid, Allman Group I dimana dalam penanganannya
diperlukan terai secara farmakologi dan non farmakologi yang dapat menunjang
kesembuhan pasien dalam rangka remoedelling tulang agar dapat mempercepat
kesembuhan pasien.

31
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A Graham & Solomon, Louis. 2010. Ortopedi dan Fraktur Sistem. Apley,
Ninth edition ISE. Jakarta: CRC Press

Aprianto, Petrus. 2017. Sindrom Kompartemen Akut Tungkai Bawah. CDK-253/


vol. 44 no. 6.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/769/525
(Diunduh pada tanggal 8 April 2021)

Blom A, Warwick D, Whitehouse MR, editors. Apley & Solomon’s System of


Orthopaedics and Trauma (10th edition). New York: CRC Press, 2018

Kowalak, dkk. 2014. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC

Legiran, dkk. Dislokasi Sendi Bahu: Epidemiologi Klinis dan Tinjauan Anatomi.
Subbagian Bedah Ortopedi, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin/Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya.
https://repository.unsri.ac.id/22926/1/LK_2015_Dislokasi_Sendi.pdf
(Diunduh pada tanggal 8 April 2021)

Maharta, Gede., dkk. Manajemen Fraktur pada Trauma Muskuloskeletal. Fakultas


Kedokteran Universitas Udayana. (Diunduh pada tanggal 8 April 2021)

Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005. Patofisiologi; Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Penerbit EGC. Edisi. 6

Rockwood and Green's. 2015. Fractures in Adults. Wolters Kluwer. Eight


Edition. Vol. 1

Sjamsuhidajat, de Jong. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah; Sistem Organ dan Tindak
Bedahnya (2). Penerbit EGC. Edisi 4. Vol. 3

Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014. Handbook of Fracture. Wolters Kluwer.


Fifth Edition.

32

Anda mungkin juga menyukai