Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH DISKUSI KELOMPOK

“ Trigger 3 ”

Disusun Oleh:

TUTOR XI

Fasilitator : dr. Wisda Widiastuti,Sp.PD

Ketua : Yudis Ismiraj (1910070100081)

Sekretaris : Yeny Elfiyanti (1910070100082)

Anggota :

1.Fahri Atha Nasution (1910070100076)


2.Ikhwanul Heriyandi (1910070100077)
3.Dike Novella (1910070100078)
4.Safira Mardatillah (1910070100079)
5.Kharisma Novita Sari (1910070100080)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Rahmat,

karunia, serta taufik dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah “Trigger 3” Kami

juga berterima kasih pada dr. Letvi Mona, M.Ked (DV), Sp.DV selaku fasilitator yang telah

membimbing kami dalam pengerjaan makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan

serta pengetahuan kita. Kami menyadari apa yang tertuang dalam makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, baik dari segi penyusunan maupun pengkajian. Oleh sebab itu, kami berharap

adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang akan

datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa ada saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami bagi siapapun yang membacanya.

Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang

yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang

kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari anda demi

perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang. Semoga Allah SWT memberikan balasan

yang lebih baik atas segala keikhlasan hati dan bantuan dari semua pihak serta mendapat

rahmat dan berkah dari Allah SWT.Amin ya rabbal alamin.

Padang, 22 Desember 2021

Tutor XI

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 1

1.2 Trigger......................................................................................................................... 2

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 STEP 1 (Clarify Unfamiliar Terms)............................................................................ 3

2.2 STEP 2 (Define The Problems)................................................................................... 4

2.3 STEP 3 (BrainStormingHypothesis Or Explanation).................................................. 5

2.4 STEP 4 (Arrange Explanation Into Tentative Solution)............................................. 7

2.5 STEP 5 (Learning Objective)...................................................................................... 8

2.6 STEP 7 (Share The Result Of Information Gathering and Private Study).................. 8

BAB 3 PENUTUP

3.1 KESIMPULAN........................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1.2 Trigger 3

Seorang pasien pria, berumur 27 tahun, dibawa ke IGD RS dengan luka robek

dibagian depan-kiriatas kepala. Pasien adalah anggota gank motor yang sedang melakukan uji

nyali dengan balap liar tanpa helm, motor pasien menabrak trotoar. Pasien terjatuh dengan

kepala membentur tepi selokan, pasien masih sadar tapi lupa tentang kejadian. Saat

debridemant dan heacting luka tampak tulang kepala cekung dan ada jaringan otak yang

keluar, pasien tampak mengantuk sehingga dirujuk ke RS terdekat. Setiba di IGD RS, dokter

jaga triase melakukan pemeriksaan, didapatkan tensi 164/89 mmHg, nadi 58 kali/menit, nafas

20 kali/menit, nilai GCS = E3M5V2 = 10, pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya normal,

hemiparese tidak ada. Ditemukan luka robek regio frontal kiri ukuran 8x6x2 cm, dasar tulang

tengkorak yang patah menusuk ke otak, tampak rembesan cairan bening bersemu darah yang

mengalir dari bawah patahan tulang yang berdenyut. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan CT

scan kepala dan didapatkan gambaran fracture depressed dan hematoma intracerebral. Dokter

melakukan informed consent pada keluarga tentang tekanan tinggi intrakranial dan segera

dikonsulkan pada Dokter Spesialis Bedah Saraf untuk penatalaksaan selanjutnya.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 STEP 1(Clarify Unfamiliar Terms)

1. Depridemant : suatu proses usaha untuk membuang jaringan nekrotik dan jaringan yang
terkontaminasi dari bed luka dengan mempertahankan struktur anatomi yang penting
berupa pembuluh darah, saraf, tendo dan tulang
2. fracture depressed : fraktur pada tulang kranium dimana tabula eksterna mendesak ke
dalam ke arah durameter hingga melebihi tabula interna
3. Tekanan tinggi intrakranial : jumlah total dari tekanan yang diberikan oleh otak, darah,
dan cairan serebrospinal di dalam ruang kranium
4. Hemiparase : suatu kondisi adanya kelemahan pada salah satu sisi tubuh atau
ketidakmampuan untuk menggerakan anggota tubuh pada salah satu sisi
5. Gcs : skala neurogenik yang di pakai untuk menilai secara objektif tingkat kesadaran
seseorang
6. Hematoma intraserebral : perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak
7. Pupil bulat isokor : keadaan pupil pada medula mata memiliki besar yang sama
8. Heacting : suatu tindakan operasi kecil yang bertujuan menyatukan jaringan yang
terputus, meningkatkan proses penyambungan jaringan serta mencegah luka terbuka
yang mengakibatkan masuknya infeksi

3
2.2 STEP 2(Define The Problems)

1. Apa diagnosis pada pasien tersebut?


2. Apa saja dampak dari luka robek di bagian kiri atas kepala pada pasien?
3. Bagaimana pengaruh tekanan tinggi intrakranial pada pasien cidera kepala?
4. Apa saja klasifikasi klinis pada cidera kepala?
5. Apa makna nilai gcs pasien?
6. Apa penyebab terjadinya hematoma intraserebral?
7. Apa penyebab terjadinya fracture depressed?
8. Mengapa pada pasien tersebut perlu dilakukan depridemant dan heacting?
9. Bagaimana penanganan tekanan intrakranial pada pasien?
10. Apa saja manifestasi klinis pada cidera kepala?
11. Mengapa pada pasien didapatkan rembesan cairan bening?
12. Apa saja pemeriksaan penunjang pada cidera kepala?
13. Apa penyebab terjadinya cidera kepala?
14. Kenapa vital sign pada pasien tidak normal?

4
2.3 STEP 3(Brain StormingHypothesis Or Explanation)

1. Apa diagnosis pada pasien tersebut?


Jawaban : cidera kepala sedang gcs 10 dengan fracture depresed terbuka at frontal sinistra,
hematom intraserebral ec traumatik at frontal sinistra, udem serebri dan liqour leakage.

2. Apa saja dampak dari luka robek di bagian kiri atas kepala pada pasien?
Jawaban : pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan hematom epidural, subdural,
maupun intrakranial dan perdarahan juga akan mempengaruhi sirkulasi darah ke otak
menurun sehingga sirkulasi oksigen berkurang dan terjadinya hiposia jaringan dan
menyebabkan udem serebri.

3. Bagaimana pengaruh tekanan tinggi intrakranial pada pasien cidera kepala?


Jawaban : peningkatan tekanan intrakranial dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak dan
bisa menjadi kerusakan pada susunan saraf kranial terutama motorik dan sensorik yang
menyebabkan gangguan dalam mobilitas.

4. Apa saja klasifikasi klinis pada cidera kepala?


Jawaban : berdasarkan gcs ada 3 yaitu :
 Ringan yaitu gcs 14-15
 Sedang yaitu gcs 9-13
 Berat gcs 3-8

5. Apa makna nilai gcs pasien?


Jawaban : nilai gcs 10 pada pasien berada dalam rentang gcs cidera kepala sedang pasien
akan mengalami penurunan kesadaran hingga 30 menit- 24 jam, amnesia (24 jam - 7 hari)
serta chepalgia
6. Apa penyebab terjadinya hematoma intraserebral?
Jawaban : adanya robekan pembuluh darah di jaringan otak yang dapat menggumpalkan
darah >25 ml dalam parenkim otak yang penyebab nya berupa adanya fracture depresed,
cidera penetrasi peluru, gerakan akselerasi-deselarsi tiba-tiba.

7. Apa penyebab terjadinya fracture depressed?


Jawaban : karena adanya trauma sehingga mendorong fragmen tulang turun menekan otak
lebih dalam dan menyebabkan cairan serebrospinal keluar.

8. Mengapa pada pasien tersebut perlu dilakukan depridemant dan heacting?


Jawaban : sebagai tindakan awal pada pasien dengan fracture opendepresi yang memiliki
resiko tinggi infeksi.

9. Bagaimana penanganan tekanan intrakranial tinggi pada pasien?


Jawaban : pemasangan shunt atau selang khusus ke dalam kepala melalui lubang kecil di
tengkorak oleh dokter bedah saraf.

10. Apa saja manifestasi klinis pada cidera kepala?


Jawaban :
- cidera kepala ringan-sedang yaitu disorientasi ringan, amnesia postraumatik, sakit kepala,
mual muntah, dan gangguan pendengaran

5
- cidera sedang-berat yaitu edema serebri, kejang infeksi, tanda herniasi otak, hemiparase,
dan gangguan saraf kranial.

11. Mengapa pada pasien didapatkan rembesan cairan bening?


Jawaban : merupakan lcs yang kemungkinan lapisan meningens sudah robek.

12. Apa saja pemeriksaan penunjang pada cidera kepala?


Jawaban : Ct scan, MRI, Angiografi serebral, EEG, Pemeriksaan laboratorium.

13. Apa penyebab terjadinya cidera kepala?


Jawaban :
- trauma tajam (primer)
Yaitu trauma yang dapat menyebabkan cidera setempat dan cidera lokal kerusakan nya
berupa : contusion serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan
perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia
- trauma tumpul (sekunder)
Yaitu menyebabkan cidera menyeluruh (difusi) kerusakannya menyebar secara luas dan
terjadi dalam bentuk cidera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar
pada henisfer serebral, batang otak atau keduanya.

14. Kenapa vital sign pada pasien tidak normal?


Jawaban : kemungkinan adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh stres
traumatik yang dapat meningkatkan hormon kortiso dan adrenalin yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah

7
2.4 STEP 4(Arrange Explanation Into Tentative Solution)

18
2.5 STEP 5(Learning Objective)

Mahasiswa mampu Mengetahui, Memahami dan Menjelaskan

1. Cedera kepala

a. Definisi

b. Etiologi

c. Klasifikasi

d. Diagnosa

e. Penatalaksanaan

f. Komplikasi dan prognosis

2. Hematoma intraserebral

a. Definisi

b. Etiologi

c. Klasifikasi

d. Diagnosa

e. Penatalaksanaan

f. Komplikasi dan prognosis

3. Definisi dan etiologi udem serebri

4. Jenis-jenis fraktur

5. Patofisiologi lucid interval

6. Patofisiologi tekanan tinggi intracranial

7
2.6 Step 7 ( Share The Result And Private Study )

1. Cedera kepala

a. Definisi

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).

Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala


merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari
luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi
kognitif maupun fungsi fisik. Cedera kepala merupakan suatu trauma atau ruda
paksa yang mengenai struktur kepala yang dapat menimbulkan gangguan
fungsional jaringan otak atau menimbulkan kelainan struktural (Sastrodiningrat,
2007).

b. Etiologi

cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah


1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi yang
berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang
berlawanan (contrecoup injury)
2. Rotasi / deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang titik-titik
tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid). Rotasi yang hebat juga
menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan
cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral;
3. Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada anak-anak
yang elastis);
4. Peluru
Cenderung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan otak
merupakan masalah akibat disrupsi. Terngkorak yang secara otomatis akan menekan otak;

6
5. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misalnya kecelakaan, dipukul
dan terjatuh
6. Trauma saat lahir misalnya sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum
7. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak
8. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.

c. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:

1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di
rumah sakit < 48 jam.

2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT
scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah
sakit setidaknya 48 jam.

3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score
GCS < 9 (George, 2009).

7
d. Diagnosa

Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci untuk


mengetahui adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera kepala, gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi penting yang harus
ditanyakan adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital dan
sistem organ (Iskandar, 2002). Penilaian GCS awal saat penderita datang ke
rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala.
Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam,
mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi
sensorik, dan reflek (Sjamsuhidayat, 2010)

Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai


berikut:

1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.

2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada


mastoid (tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva
tanpa adanya batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir
ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih
tidak berwarna, positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.

3. Tingkat kesadaran (GCS)

6
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk melihat
tanda–tanda ancaman herniasi tentorial (Ginsberg, 2007)

Pemeriksaan Penunjang

1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami


gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik
eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau tanda
neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien
yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang
disebabkan oleh robekan arteri meningea media (Ginsberg, 2007).

2. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau
jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda
neurologis fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat digunakan untuk melihat letak
lesi, dan kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan
hematom subdural (Pierce & Neil, 2014).

e. Penatalaksanaan

Tatalaksana pasien di ruangan:

- Pastikan jalan nafas pasien clear, berikan oksigenasi 100% dan jangan banyak
memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat disingkirkan, bila perlu
intubasi. (IIB) - Head Up 30o (2B)

- Berikan cairan secukupnya (normal 2B 6,7, 8, 14, 16 saline) untuk resusitasi


korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfuse
darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl. (1B)

- Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS
dan pemeriksaan batang otak secara periodik.

- Berikan obat-obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri


ringan dan sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita (2B)

- Berikan obat-obatan anti muntah (misal: metoclopramide atau ondansentron) dan


anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau omeprazole) jika penderita muntah
(2B)

7
- Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera yang
tidak operable pada CT Scan. Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 g/kg. BB
pada keadaan tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 cc manitol 20%
dalam 24 jam. Penghentian secara gradual. (1B)

- Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang
dengan dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah terjadi
kejang, PHT diberikan sebagai terapi. (1B)

Beberapa penatalaksaan pada pasien cedera kepala (Tim Pusbankes, 2018):

1. Penatalaksanaan cedera kepala ringan

a. Obsevasi atau dirawat di Rumah Sakit

1) CT scan tidak ada

2) CT scan abnormal

3) Semua cedera tembus

4) Riwayat hilang kesadaran

5) Kesadaran menurun

6) Sakit kepala sedang-berat

7) Intoksikasi alcohol/obat-obatan

8) Fraktur tengkorak

9) Rhinorea/otorea

10) Tidak ada keluarga dirumah

11) Amnesia

b. Rawat jalan Tidak memenuhi criteria rawat.

6
Berikan pengertian kemungkinan kembali ke RS jika memburuk dan
berikan lembar observasi

Lembar observasi : berisi mengenai kewaspadaan baik keluarga


maupun penderita cedera kepala ringan. Apabila dijumpai gejala-gejala
dibawah ini maka penderita harus segera dibawa ke RS:

1) Mengantuk berat atau sulit dibangunkan

2) Mual dan muntah

3) Kejang

4) Perdarahan atau keluar cairan dari hidung dan telinga

5) Sakit kepala hebat

6) Kelemahan pada lengan atau tungkai

7) Bingung atau perubahan tingkah laku

8) Gangguan penglihatan

9) Denyut nadi sangat lambat atau sangat cepat

10) Pernafasan tidak teratur

2. Penatalaksanaan cedera kepala sedang (GCS 9-13)

Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih


mampu menuruti perintah-perintah.

Pemeriksaan awal:

a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah


sederhana

b. Pemeriksaan CT scan kepala

c. Dirawat untuk observasi Perawatan:

7
a. Pemeriksaan neurologis periodic

b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila


penderita akan dipulangkan Bila kondisi membaik (90%) . Bila kondisi memburuk
(10%) Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi segera lakukan
pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protocol cedera kepala
berat.

3. Penatalaksanaan cedera kepala berat (GCS 3-8)

Penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena


kesadarannya menurun.

a. Airway

1) Penderita dibaringkan dengan elevasi 20-30 untuk membantu


menurunkan tekanan intrakranial

2) Pastikan jalan nafas korban aman, bersihkan jalan nafas dari


lender, darah atau kotoran, pasang pipa guedel dan siapkan untuk intubasi
endotrakeal, berikan oksigenasi 100% yang cukup untuk menurunkan
tekanan intrakranial

3) Jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera


servikal dapat disingkirkan

b. Sirkulasi

1) Berikan cairan secukupnya (Ringer Laktat/Ringer Asetat), untuk


resusitasi korban. Jangan memberikan cairan berlebih atau yang
mengandung Glukosa karena dapat menyebabkan odema otak.

2) Atasi hipotensi yang terjadi, yang biasanya merupakan petunjuk


adanya cedera di tempat lain yang tidak tampak.

3) Berikan transfuse darah jika Hb kurang dari 10g/dl.

6
f. Komplikasi dan prognosis

Angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera otak yakni masing-masing 38% dan 29%.
Sementara pada pasien cedera otak tanpa kelainan pada CT-Scan prognosisnya membaik
dalam 24 jam dimana pasien sudah dapat kembali orientasi penuh. Gejala gegar otak (post
concussive) yakni gejalan somatik (nyeri kepala, pusing), gejala kognitif (gangguan memori
dan pemusatan perhatian), dan gejala emosional (iritabilitas, depresi) berangsur-angsur pulih
hingga dalam 12 minggu. Walaupun pemulihan mencapai 12 minggu, namun pada umumnya
pasien dapat kembali bekerja dalam waktu 1 bulan
1. Edema paru Edema paru terjadi akibat refleks chusing yang disebabkan peningaktan
tekanan intra kranial yang berakibat terjadinya peningkatan respon simpatis. Peningkatan
vasokonstriksi tubuh secara umum akan lebih banyak darah yang dialirkan ke paru.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam berpindahnya cairan ke
aleolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbondioksida dari darah akan menimbulkan
peningkatan tekanan intra kranial lebih lanjut

2. Kebocoran cairan serebrospinal Hal ini dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen
yang terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan
dengan elevasi kepala setelah beberapa hari. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini.
Walaupun pasien memiliki resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumokok). Otorea
atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis yang berulang merupakan
indikasi operasi reparatif

3. Fistel karotis-kavernosus Ditandai oleh trias gejala yaitu eksolftamos, kemosis, dan bruit
orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera.
4. Diabetes insipidus Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon anti diuretik. Pasien mensekresikan sejumlah
volume urine yang encer, menimbulkan hipernatremia dan depresi volume
5. Gangguan Intestinal Pada cedera kepala berat, akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan
perdarahan saluran cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang
simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi
erosi pada lambung.
Prognosis dipengaruhi:

- Usia

- Status Neurologis awal

- Jarak antara trauma dan tindakan bedah

- Edema cerebri

7
2. Hematoma intraserebral

a. Definisi

Hematoma intracerebral adalah hematoma yangterjadi di otak yang disebabkan oleh


pecahnya(ruptur) pada pembuluh darah otak. Hematoma dalam dapat terjadi di bagian
manapun di otak.Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun di ruang antara otak dan selaput
membran yang melindungi otak.

b. Etiologi

c. Klasifikasi

JENIS PERDARAHAN INTARKRANIAL

a.Perdarahan Intraserebral Hipertensif


 Putaminal Hemorrhage
- Perdarahan yang tersering adalah disebabkan oleh perdarahan
putaminal dengan terjadinya penekanan pada daerah
berdekatan dengan kapsula interna.

6
- Khas : onset progresif pada 20amper 2/3 pasien, dan < 1/3
mempunyai gejala mendadak dan 20amper maksimal saat
onset

 Thalamic Hemorrhage
- Umumnya perdarahan talamus kecil defisit neurologis
lebih berat dari perdarahan putaminal
- khas : hilangnya hemisensori kontralateral yang nyata yang
mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh
- Nyeri kepala terjadi pada 20-40 % pasien.
- Hidrosefalus dapat terjadi akibat penekanan jalur CSS.

 Perdarahan Pons
- Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons
ialah onset yang tiba-tiba dan terjadi koma yang dalam
dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan fatal
- Perdarahan pontin paling umum menyebabkan kematian
dari semua perdarahan otak.
- Nyeri kepala, mual dan muntah jarang.  

7
 Perdarahan Serebelum
- Lokasi yang pasti asal perdarahan di serebelum sulit diketahui.
- Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus dengan
arteri serebeli superior sebagai suplai utama.
- Batang otak sering mengalami kompresi dan distorsi sekunder
terhadap tekanan oleh gumpalan darah.

b. Perdarahan subarachnoid
 Perdarahan subarakhnoid merupakan perdarahan yang terjadi di
rongga subarakhnoid
 Perdarahan ini kebanyakan berasal dari perdarahan arterial akibat
pecahnya suatu aneurisma pembuluh darah serebral atau malformasi
arterio-venosa yang rupture, di samping juga ada sebab-sebab lainnya.
 Perdarahan subarachnoid diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu :
- Traumatic Subarachnoid Hemorrhages
- Spontaneous Subarachnoid Hemorrhages

6
c.Perdarahan Intraventrikuler Primer
 PIVH perdarahan intraserebral non traumatik yang terbatas pada
sistem ventrikel
 onset mendadak  defisit yang mengarah ke penyebab vaskuler
 Sakit kepala hebat muntah dan terdapatnya penurunan tingkat
kesadaran mengarah ke kejadian stroke perdarahan, yang ditunjang
dengan perhitungan Siriraj Stroke CT Scan atau MRI kepala
dibutuhkan

d. Perdarahan epidural
 berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung (70%) atau robekan arteri-arteri
meningens ( a. Meningea media ) (66%).

7
e.Perdarahan subdural
 Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural
( kira-kira 30 % dari cedera kepala berat).
 Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan
yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous

d. Diagnosa

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara cepat guna menemukan gejala serta tanda perdarahan
intrakranial. Gejala akut perdarahan intrakranial sering kali sulit dibedakan dari stroke
iskemik. Beberapa gejala yang sering ditemukan, antara lain :

 Nyeri kepala

 Mual, muntah

 Kejang

 Gejala neurologis fokal dan generalisata

6
 Koma[1,3]

Jika tanda-tanda di atas ditemukan, maka pasien cenderung mengalami perdarahan


intrakranial dan bukan stroke iskemik. Namun diagnosis pasti hanya ditegakkan melalui
pencitraan otak.

Untuk perdarahan intrakranial traumatik, perlu juga ditanyakan mengenai mekanisme trauma,
ada tidaknya perubahan tingkat kesadaran atau hilang kesadaran, serta riwayat penggunaan
antikoagulan.[1,3]

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terpenting untuk dilakukan adalah penilaian Glasgow coma scale (GCS)
untuk menilai seberapa parah cedera kepala (jika ada) yang terjadi pada pasien. Selain itu,
dilakukan beberapa pemeriksaan fisik lain, seperti :

 Tekanan darah: untuk memastikan adanya hipertensi dan peningkatan tekanan diastolik yang
berhubungan dengan perdarahan intrakranial

 Kaku kuduk: jika ditemukan, dapat dicurigai adanya kelainan pada selaput meninges.
Pemeriksaan kaku kuduk sebaiknya ditunda pada kasus trauma kepala sampai vertebra
servikal dipastikan aman

 Perdarahan pada retina subhialoid

 Anisokoria pupil

 Defisit neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada perdarahan intrakranial, antara lain:

 Pencitraan otak: CT Scan, MRI, dan CT- / MR- angiografi

Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, prothrombin time (PT), activated partial


thromboplastin time  (aPTT), kimia darah, toksikologi, dan skrining kelainan darah, infeksi,
dan vaskulitis

 Pemeriksaan lain: elektrokardiografi dan pungsi lumbal[3,8,9]

Pencitraan Otak

Pencitraan otak yang biasanya dilakukan:

CT Scan Kepala

7
CT Scan kepala merupakan standar diagnosis perdarahan intrakranial, dapat menggambarkan
fraktur tengkorak serta adanya hematoma dan edema perihematoma dengan baik.

CT Scan lebih dianjurkan untuk dilakukan pada pasien yang diduga mengalami perdarahan
intrakranial. CT Scan memiliki waktu pemeriksaan yang lebih cepat, dan hasil yang cukup
akurat. Hasil yang lebih akurat dan gambaran yang lebih jelas dapat dicapai dengan
penggunaan kontras. Penggunaan CT Scan dengan atau tanpa kontras didasari pada
kebutuhan klinisi, misalnya untuk melihat perdarahan aktif, kontras akan dapat menunjukkan
sumber serta lokasi perdarahan yang terjadi pada pasien.

Teknik CT Scan lain berupa CT-angiografi dapat bermanfaat untuk diagnosis aneurisma,
malformasi arteriovenosa, serta stroke iskemik.[3,9]

MRI Otak

MRI otak: mendeteksi malformasi arteriovena dan angioma kavernosus sekitar hematoma,
lebih baik dalam menggambarkan jaringan lunak dibandingkan CT Scan dan dapat
membedakan perdarahan hiperakut hingga kronis

Angiografi atau Digital Subtraction Angiography  / DSA: dilakukan pada pasien yang


dicurigai menderita penyakit Moyamoya, malformasi arteriovena, aneurisma, dan emboli.
Selain tujuan diagnostik, pada pasien emboli dan aneurisma pemeriksaan ini juga memiliki
tujuan terapeutik[3,8,10-13]

USG Doppler Transkranial

Pemeriksaan ultrasonografi Doppler transkranial dapat digunakan untuk memeriksa penyakit


Moya-Moya.[3,8,14]

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak bersifat diagnostik untuk perdarahan intrakranial, tetapi


dapat bermanfaat untuk menilai adanya faktor risiko perdarahan. Beberapa pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan :

Trombosit: melihat adanya risiko perdarahan

Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT): menilai fungsi


koagulasi darah. Pada pasien yang mendapat enoxaparin atau novel oral
anticoagulants (NOACs) seperti rivaroxaban dan apixaban, PT dan aPTT akan tetap normal

6
 Gula darah dan elektrolit: kadar gula darah perlu dipertahankan tetap normal. Hiponatremia
diasosiasikan dengan perdarahan intrakranial dan perlu dikoreksi

 Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit: memastikan adanya kelainan metabolik dan
memonitor osmolaritas darah selama diuresis. Kontrol gula darah dan natrium

 Pemeriksaan toksikologi: mengukur kadar alkohol darah jika dicurigai adanya intoksikasi
alkohol. Mengingat intoksikasi alkohol merupakan risiko perdarahan intrakranial, penurunan
kesadaran tidak boleh dianggap sebagai hanya akibat intoksikasi alkohol hingga diagnosis
perdarahan intrakranial dapat disingkirkan

Elektrokardiografi

Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya aritmia. Gambaran EKG yang dapat


ditemukan pada perdarahan intrakranial di antaranya sebagai berikut:

 Gambaran gelombang T inversi dalam

 Pemanjangan interval QT

 Gelombang J atau gelombang U

 Sinus bradikardia atau sinus takikardia

 Atrial fibrilasi

 Ventricular tachycardia

 Kompleks atrium dan ventrikel prematur

Gambaran pacemaker atrium

Atrioventricular block (AV block)

7
e. Penatalaksanaan

6
f. Komplikasi dan prognosis

Prognosis pasien dengan perdarahan intrakranial sangat bergantung dari onset, usia pasien,
volume, serta lokasi perdarahan. Komplikasi yang mungkin dialami pasien juga menjadi
faktor penentu prognosis pasien. Secara umum, semakin tua usia pasien, semakin dalam
lokasi perdarahan, serta semakin luas volume perdarahan pasien akan menyebabkan
prognosis semakin buruk. Metode ini dapat memprediksikan mortalitas 30 hari menggunakan
beberapa data seperti usia, volume perdarahan, skor Glasgow coma scale, adanya perdarahan

7
dari infratentorial, dan adanya perdarahan intraventrikular (lihat tabel 2). Skor yang lebih
tinggi menandai luaran yang lebih buruk.

Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada perdarahan intrakranial, antara lain:

 Kematian

 Sistem saraf: defisit neurologis, kejang, hidrosefalus, spastisitas, nyeri neuropati, herniasi
otak

Sistem pernafasan: pneumonia aspirasi, emboli paru

Pembuluh darah perifer: deep vein thrombosis (DVT), ulkus dekubitus[3,6]

Sistem kemih: infeksi saluran kemih

 Sistem pencernaan: perdarahan saluran pencernaan

Sistem kardiovaskular: infark miokard atau gagal jantung

 Risiko jatuh
3. Definisi dan etiologi udem serebri

Edema otak adalah keadaan kliniko-patologis berupa pembengkakan pada otak


akibat adanya peningkatan air pada otak. Edema otak dapat terjadi karena adanya
infeksi, tumor, trauma, hipoksia, gangguan metabolisme, atau hipertensi akut.
Penyebabnya dibagi ke dalam kategori neurologis dan nonneurologis. Edema otak
dapat terjadi pada semua kelompok umur, jenis kelamin, dan kelompok etnis.
Kejadian edema otak ini seringkali mengikuti kejadian stroke.

Edema otak adalah peningkatan kadar air di dalam jaringan otak baik intra maupun
ekstraselular sebagai reaksi terhadap proses-proses patologis lokal ataupun pengaruh-
pengaruh umum yang merusak (Harsono, 2005 ). Serebral Edema adalah peningkatan
volume otak yang disebabkan oleh peningkatan kadar air mutlak dalam jaringan otak.
(Raslan A, Bhardwaj A,2007)

6
4. Jenis-jenis fraktur

- Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian luar
permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan bagian luar.
- Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada daerah yang
patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya

7
pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit,
namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka
memerlukan pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya.
- Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas terjadi patah tulang
sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.

5. Patofisiologi lucid interval

Lucid interval adalah perbaikan sementara pada kondisi pasien setelah cedera otak
traumatis, setelah itu kondisi memburuk. Luci interval juga didefinisikan sebagai
periode sementara rasionalitas atau normalitas neurologis (seperti di antara periode
demensia atau segera setelah cedera kepala fatal).
Kondisi ini menunjukkan adanya hematoma ekstradural. Diperkirakan 20-50%
pasien dengan hematoma ekstradural mengalami lucid interval.

Lucid interval terjadi setelah pasien mengalami trauma kepala, kemudian masuk ke dalam
kondisi tidak sadar lagi setelah sadar saat pendarahan menyebabkan hematoma berkembang
melampaui batas dimana tubuh dapat mengimbanginya. Setelah cedera, pasien linglung
sejenak, dan kemudian menjadi relatif sadar untuk jangka waktu tertentu yang dapat
berlangsung beberapa menit atau jam. Setelah itu terjadi penurunan yang cepat saat darah
terkumpul di dalam tengkorak, menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial, yang merusak
jaringan otak. Kemudian, dapat berkembang menjadi "pseudoaneurysms" setelah trauma
yang pada akhirnya dapat pecah dan terjadi perdarahan. Hal ini merupakan faktor yang
mungkin menyebabkan penundaan hilangnya kesadaran.

6. Patofisiologi tekanan tinggi intracranial

Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan rongga kranial dan biasanya diukur
sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak. Tekanan intrakranial >15 mmHg
umumnya abnormal, akan tetapi penanganan diberikan pada tingkat berbeda tergantung
patologinya. Peningkatan TIK >15memerlukan penanganan pada pasien
hidrosefalus, sedangkan setelah cedera kepala diindikasikan jika TIK >20 mmHg

6
Kompensasi awal ketika salah satu komponen intrakranial membesar
adalah pemindahan cairan serebrospinal ke kanal spinal. Kemampuan otak beradaptasi
terhadap meningkatnya tekanan tanpa peningkatan TIK dinamakan
compliance. Perpindahan cairanserebrospinal keluar dari kranial adalah mekanisme
kompensasi pertama dan utama.

Gambaran EEG mulai berubah ketika 60% aliran darah otak menghilang.
Kompensasi ini mengubah metabolisme otak yang mengarah pada hipoksia dan
iskemia jaringan otak. Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah
pemindahan jaringan otak melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui foramen
magnum ke dalam kanal spinal.

Proses ini dinamakan herniasi dan menimbulkan kematian akibat kompresi


batang otak. Kompartemen supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari atas
otak tengah ke bawah. Bagian ini terbagi dua, yaitu kiri dan kanan yang dipisahkan
oleh falx serebri. Supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak dan
serebellum) oleh tentorium serebri. Otak dapat bergerak dalam semua kompartemen itu.

7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).

Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala


merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari luar,
yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif
maupun fungsi fisik. Cedera kepala merupakan suatu trauma atau ruda paksa yang
mengenai struktur kepala yang dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan otak
atau menimbulkan kelainan struktural (Sastrodiningrat, 2007). harus ada
penatalaksanaan yang tepat.dan Hematoma intracerebral adalah hematoma yangterjadi di
otak yang disebabkan oleh pecahnya(ruptur) pada pembuluh darah otak. Hematoma
dalam dapat terjadi di bagian manapun di otak.Darah dapat terkumpul di jaringan
otak, ataupun di ruang antara otak dan selaput membran yang melindungi otak.terdapat
komplikasi dan prognosis yang menyertainya.

6
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, H. (2017). Gambaran status fisiologis pasien cedera kepala di IGD RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2016. Dinamika Kesehatan: Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan, 8(1),
237-249.

Atmadja, A. S. (2016). Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. Cermin Dunia


Kedokteran, 43(1), 29-33.

Amri, I. (2017). Pengelolaan Peningkatan Tekanan Intrakranial. Medika Tadulako: Jurnal


Ilmiah Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, 4(3), 1-17.

Tito, A., & Saragih, S. G. (2018). Perbandingan glasgow coma scale dan gambaran midline-
shift CT-scan kepala sebagai prediktor mortalitas pasien cedera kepala. Cermin Dunia
Kedokteran, 45(4), 247-249.

Nugroho, A. (2015). Hubungan Antara Nilai PT Dan APTT dengan Volume Hematoma pada
Stroke Perdarahan Intraserebral (Doctoral dissertation, UNS (Sebelas Maret University)).

Sinukaban, C. N. (2013). Karakteristik Penderita Fraktur Pada Lansia Rawat Inap Di Rumah
Sakit Santa Elisabeth Medan Tahun 2011-2012.

cedera Mekanisme, J. Patofisiologi Cedera Kepala.

Anda mungkin juga menyukai