OLEH :
019.06.0082
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
Sesi 1
Seorang laki- laki berumur 20 tahun datang ke UGD Rumah Sakit dengan
keluhan nyeri di bahu kanan. Nyeri dialami 1 hari sebelumnya, dan nyeri
dirasakan seperti tertusuk- tusuk yang dialami sepanjang hari, berkurang saat
istirahat dan memberat bila beraktifitas. Tidak ada nyeri menjalar dan nyeri
menetap di bahu kanan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88x/
menit, pernafasan 18x/ menit, suhu 36,60 C.
Pada region bahu kanan didapatkan edema dengan ekimosis. Bahu kanan
tidak dapat digerakkan, namun siku kanan masih dapat digerakkan.
Neurovaskularisasi bagian distal masih bagus.
Sesi 2
4
Segmen 60% (50,0- 70,0)
Identitas Pasien
Nama :-
Umur : 20 tahun
Data Dasar
a. Data subyektif
5
Pada anamnesis didapatkan data yaitu pasien tabrakan, pasien mengalami
nyeri yang memberat saat beraktifitas, demam disangkal oleh pasien, dan pasien
tidak memiliki riwayat penyakit.
b. Data obyektif
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
adanya robekan akibat tulang yang mengalami cedera saat pasien mengalami
benturan.
Bahu kanan tidak dapat digerakkan, namun siku kanan masih dapat
digerakkan. Neurovaskularisasi bagian distal masih bagus. Hal ini terjadi karena
diduga pada bagian bahu terjadi diskontiunitas pad atulang yang menyebabkan
adanya gangguan mobilitas sehingga bahu kanan pasien tidka dapat digerakkan.
Oleh karena itu berdasarkan data yang terdapat di scenario maka dapat
ditentukan diagnosis banding dari pasien yang pertama yaitu fraktur tertutup, hal
ini diduga karena keluhan dari pasien yang mengalami cedera pada bahu kanan
setelah mengalami tabrakan sehingga kemungkinan besar pasien mengalami
benturan yang mengakibatkan cedera dari tulang dan terjadi fraktur. Kedua yaitu
dislokasi dimana hal ini diduga karena saat terjadi tabrakan kemudian pasien
terbentur sehingga menyebabkan keluarnya kepala sendi dari mangkok sendi dan
terjadi dislokasi. Ketiga yaitu sindroma kompartemen dan osteomilitis dimana
kedua hal ini merupakan komplikasi dari adanya fraktur yang menyebabkan
kerusakan yang lebih serius seperti sindroma kompartemen yang merupakan
disfungsi dari kompartemen bawah kulit yaitu tu;ang sedangkan osteomilitis
diduga karena terjadinya edema dan ekimosis pada pasien yang menyebabkan
timbulnya dugaan tersebut.
8
2.2 Pembahasan Diagnosis Banding
Epidemiologi
Pada anak- anak, klavikula mudah mengalami fraktur, namun hampir selalu
terjadi union dengan cepat dan tanpa komplikasi. Pada orang dewasa, fraktur
klavikula merupakan injuri yang lebih sulit. Fraktur klavikula pada orang dewasa
sering terjadi, insidensinya 2,6- 4% dari semua fraktur dan kurang lebih 35%
merupakan cedera dari gelang bahu. Fraktur pada midshaft merupakan yang
terbanyak 69- 82%, fraktur lateral 21- 28%, dan fraktur medial yang paling jarang
2- 3% (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).
Etiologi
Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, berikut
penyebab dari fraktur adalah (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014) :
1. Kecelakaan di jalan raya, contohnya kecelakaan saat mengendarai
kendaraan bermotor
2. Cedera saat melakukan olahraga
9
3. Menyelam pada air yang dangkal
4. Luka tembak atau luka tikam
5. Gangguan metabolik tulang seperti osteoporosis yang disebabkan oleh
fraktur kompresi pada vertebra, dapat mengalami fraktur dari trauma
minor karena kerapuhan tulang akibat gangguan yang telah ada
sebelumnya.
6. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis
seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, mielitis akibat proses
inflamasi infeksi maupun non infeksi, siringmielia, tumor infiltrasi
maupun kompresi
7. Gaya secara langsung, contohnya sebuah benda bergerak menghantam
ke area tubuh di atas tulang. Gaya tidak langsung, contohnya ketika
ada kontraksi kuat dari otot menekan pada tulang dan juga tekanan
serta kelelahan dapat menyebabkan fraktur karena penurunan
kemampuan tulang dalam menahan gaya mekanikal.
Klasifikasi
10
dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur
yang terjadi. Menurut garis frakturnya, patah tulang dibagi menjadi fraktur
komplet atau inkomplet (termasuk fisura dan greenstick fracture), transversa,
oblik, spiral, kompresi, simpel, kominutif, segmental, kupu- kupu, dan impaksi.
Ujung patahan tulang dapat berpindah (mengalami dislokasi) akibat adanya
berbagai kekuatan seperti cedera, conus atau kontraksi otot, dan tarikan
(Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).
Pada tipe I, terjadi pemisahan total lempeng epifisis tanpa adanya patah
tulang. Sel- sel pertumbuhan lempeng epifisis masih melekat pada epifisis.
Fraktur ini terjadi akibat adanya gaya potong (shearing force) pada bayi baru lahir
atau anak- anak kecil. Fraktur ini cukup diatasi dengan reduksi tertutup karena
masih ada pelekaran periosteum yang inrak. Prognosis biasanya baik bila
direposisi dengan cepat. Fraktur epifisis tipe II merupakan jenis fraktur yang
sering ditemukan. Pada tipe ini, garis fraktur berjalan di sepanjang lempeng
epifisis dan membelok ke metafisis sehingga membentuk suatu fragmen metafisis
seperti segitiga yang disebut tanda Thurston-Holland. Sel- sel pertumbuhan pada
lempeng epifisis masih melebar (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).
Trauma yang menghasilkan jenis fraktur ini biasanya adalah trauma bergaya
potong dan bengkok pada anak- anak yang lebih tua. Periosteum mengalami
robekan pada daerah konveks tetapi tetap utuh pada daerah konkaf. Reposisi
secepatnya tidak begitu sulit dilakukan. Reposisi tcrlambat, harus dilakukan
pembedahan. Prognosis fraktur epifisis ripe II baik, kecuali jika terjadi kerusakan
pembuluh darah. Fraktur lempeng epifisis cipe Ill merupakan fraktur intra-
arcikuler. Garis fraktur berjalan dari permukaan sc:ndi menerobos lempeng
epifisis lalu memotong sepanjang garis lempeng epifisis. Jenis frakcur
intraartikuler ini biasanya ditcmukan pada epifois os tibia bagian distal. Karena
intra-artikuler, fraktur ini harus direduksi secara akurat. Sebaiknya dilakukan
operasi terbuka dan fiksasi interna dengan pin. Fraktur lempeng epifisis tipe IV
juga merupakan fraktur intra-artikuler yang garis fraktumya menerobos
permukaan sendi ke epifisis, ke lapisan lempeng epifisis, hingga ke sebagian
metafisis. Contoh tersering fraktur jenis ini adalah fraktur kondilus lateralis
11
humeri pada anak-anak. Pengobatannya adalah reduksi rerbuka dan fiksasi interna
karena fraktur tidak srabil akibar tarikan otot. Prognosisnya jelek bila reduksi
tidak dilakukan dcngan baik. Fraktur lempeng epifisis tipe V merupakan fraktur
akibat hancurnya epifisis yang diteruskan ke lempeng epifisis. Biasanya tcrjadi
pada daerah sendi penopang badan, yaitu sendi pergelangan kaki dan sendi lutut.
Diagnosis fraktur jenis ini sulit karena secara radiologic tidak tampak kelainan.
Prognosis jelek karena dapat terjadi kerusakan sebagian atau seluruh lempeng
pertumbuhan (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).
12
Manifestasi Klinis
13
4. Spasme otot : Sering mengiringi fraktur, spasme otot involuntar
sebenarnya berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan
lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri : Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu
mengiringi fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda
pada tiap klien. Nyeri akan terus – menerus jika fraktur tidak
diimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada sekitarnya.
6. Ketegangan : Ketegangan di atas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera
yang terjadi.
7. Kehilangan fungsi : Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang
disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan
pada tungkai yang terkena.
8. Gerakan abnormal dan krepitasi : Gerakan dari bagian tengah tulang
atau gesekan antar fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan
suara deritan.
9. Syok : Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Pendarahan
besar atau tersembunyi dapat menyebabkan syok.
10. Perubahan neurovaskular : Cedera neurovaskular terjadi akibat
kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait. Klien akan
mengeluhkan kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah
distal fraktur
Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantug pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya
retak saja dan bukan patah. Jika gaya yang diterima sangat ekstrim seperti
tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping – keping. Saat terjadi fraktur,
otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami
spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar
dapat menciptakan spasme yang kuat dan bahkan mampu menggeser tulang besar
14
seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya,
namun bagian distal dapat bergeser karena gaya penyebab patah maupun spasme
pada otot- otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu
sudut atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau
berpindah (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014)..
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu. Sering terjadi cedera jaringan lunak.
Pendarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu
sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi di antara fragmen-
fragmen tulang dan di bawah periosteum. Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur
akan mati dan mencipatakan respon peradangan yang hebat. Akan terjadi
vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit serta
infiltrasi sel darah putih. Respon patofisiologis ini juga merupakan tahap awal dari
penyembuhan tulang (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).
15
Penatalaksanaan
Untuk Fraktur Klavikula 1/3 Tengah, sebagian besar akan berlanjut dengan
union yang baik, dengan kemungkinan non union di bawah 5% dan kembali ke
fungsi normal. Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling untuk
kenyamanan. Sling dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1- 3 minggu) dan pasien
disarankan untuk mulai menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti yang
menyatakan bahwa penggunaan figure-of-eight bandage memberikan manfaat dan
dapat berisiko terjadinya peningkatan insidens terjadinya luka akibat penekanan
pada bagian fraktur dan mencederai struktur saraf bahkan akan meningkatkan
risiko terjadinya non-union (Apley, A Graham & Solomon, Louis. 2010).
16
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3 tengah.
Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan lebih dari 2 cm
dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion simptomatik – terutama nyeri
dan tidak adanya tenaga saat pergerakan bahu – dan peningkatan insidens
terjadinya non-union. Sehingga dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur
klavikula akut yang mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan.
Metode yang dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan kontur
yang spesifik) dan fiksasi intramedular (Apley, A Graham & Solomon, Louis.
2010).
17
Cara kedua ialah imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap diperlukan
imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah
pengelolaan patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Cara ketiga
berupa reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi. Ini
dilakukan pada patah tulang dengan dislokasi fragmen yang nyata, seperti pada
patah rulang radius distal. Cara keempat berupa reposisi dengan traksi
terusmenetus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, lalu diikuti
dengan imobilisasi. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang bila direposisi
tulang akan bergeser kembali di dalam gips, biasanya pada frakrur mlang yang
dikelilingi oleh otot yang kuat seperti pada patah rulang femur. Cara kelima
berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Fiksasi
fragmen fraktur menggunakan pin baja yang clitusukkan pada fragmen tulang,
kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar
kulit. Alat ini dinamakan eksator eksterna (Apley, A Graham & Solomon, Louis.
2010).
Komplikasi
18
Meskipun klavikula bagian proksimal terletak dekat dengan struktur vital,
kejadian pneumotoraks, ruptur pembuluh darah subklavia, dan cedera pleksus
brachialis jarang terjadi. Pada fraktur shaft yang mengalami pergeseran, non-
union terjadi pada 1- 15% kasus. Fraktur risiko meliputi usia yang bertambah tua,
besar pergeseran, komunitif fraktur, dan pasien perempuan, namun prediksi akurat
mengenai fraktur yang akan mengalami non-union sulit dikerjakan. Non-union
yang simptomatik diterapi dengan fiksasi plat dan graft tulang jika diperlukan.
Tindakan ini biasanya memuaskan dan memiliki tingkat union yang tinggi.
Fraktur klavikula 1/3 lateral mempunyai tingkat non-union yang tinggi (11,5-
40%). Pilihan terapi untuk non-union simptomatik adalah eksisi bagian lateral dari
klavikula (bila fragmen kecil dan ligamentum korakoklavikular intak) atau reduksi
terbuka, fiksasi interna dan graft tulang bila fragmen besar. Implan yang
digunakan adalah locking plates and hooked plates (Apley, A Graham & Solomon,
Louis. 2010).
2.2.2 Dislokasi
Definisi
Klasifikasi
Klasifikasi dislokasi sendi berdasarkan penyebabnya adalah :
1. Dislokasi Kongenital : terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan, paling sering terlihat pada pinggul.
2. Dislokasi Spontan atau Patologik : akibat penyakit sendi dan atau
jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis
tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
19
3. Dislokasi traumatik : kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan
saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat
anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan).
Klasifikasi dislokasi sendi berdasarkan tempat terjadi :
1. Dislokasi sendi rahang : dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena
menguap atau terlalu lebar serta terkena pukulan keras ketika rahang
sedang terbuka, akibatnya penderita tidak dapat menutup mulutnya.
2. Dislokasi sendi bahu : pergeseran kaput humerus dari sendi
gloenohumeral berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi
anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan dibawah glenoid
(dislokasi inferior).
3. Dislokasi sendi siku : cedera biasanya akibat terjatuh pada tangan
yang dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan
siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan –
tonjolan tulang siku.
4. Diskulokasi sendi jari : sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila
tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan menjadi kaku
kelak.sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau
punggung tangan.
5. Dislokasi sendi metacarpophalangeal dan interphalangeal : dislokasi
20
sendi ini disebabkan oleh hiperekstensi – ekstensi persendian.
Epidemiologi
Sampai saat ini, epidemiologi kasus dislokasi sendi bahu masih kurang
dipahami. Dalam sebuah studi di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kasus
dislokasi sendi bahu berupa 95% dislokasi anterior, 4% dislokasi posterior, 0,5%
dislokasi inferior, serta kurang dari 0,5% dislokasi superior. Dislokasi sendi bahu
sering ditemukan pada orang dewasa, jarang ditemukan pada anak-anak dimana
71,8% laki-laki yang mengalami dislokasi, 46,8% penderita berusia antara 15-29
tahun, 48,3% terjadi akibat trauma seperti pada kegiatan olahraga. Tingkat
dislokasi yang lebih tinggi terlihat pada perempuan yang berusia >60 tahun.
Penyebab tersering didapatkan 58,8% akibat jatuh. Kasus fraktur penyerta
komponen sendi 16% terjadi pada kasus dislokasi sendi bahu. Dislokasi sendi
umumnya jarang menyebabkan kematian, namun dapat menimbulkan penderitaan
fisik, stress mental, dan kehilangan banyak waktu. Oleh karena itu, pada kasus
dislokasi sendi akan meningkatkan angka morbiditas dibanding angka mortalitas.
Etiologi
Penyebab dislokasi sendi yang paling sering dialami adalah terjatuh. Cedera
olah raga biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki serta
21
olahraga yang beresiko jatuh, misalnya: terperosok akibat bermain ski, senam,
volley, basket, dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada
tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain
lain.Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga benturan keras pada
sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi, terjatuh dari
tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. Terjadinya ‘tear’
ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang
Patofisiologi
Cedera pada dislokasi sendi berbagai macam, seperti cedera saat trauma,
terjatuh dan cedera akibat olahraga dikarenakan beberapa hal seperti tidak
melakukan exercise sebelum olahraga memungkinkan terjadinya dislokasi,
dimana cedera olahraga menyebabkan terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi sehingga dapat merusak struktur sendi dan ligamen. Keadaan
selanjutnya terjadinya kompresi jaringan tulang yang terdorong ke depan sehingga
merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid teravulsi akibatnya tulang berpindah
dari posisi normal. Keadaan tersebut dikatakan sebagai dislokasi (Price, Sylvia.,
Wilson Lorraine. 2005).
Trauma kecelakaan karena kurang kehati-hatian dalam melakukan suatu
tindakan atau saat berkendara tidak menggunakan helm dan sabuk pengaman
memungkinkan terjadi dislokasi. Trauma kecelakaan dapat kompresi jaringan
tulang dari kesatuan sendi sehingga dapat merusak struktur sendi dan ligamen.
Keadaan selanjutnya terjadinya kompres jaringan tulang yang terdorong ke depan
sehingga merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi akibatnya
tulang berpindah dari posisi normal yang menyebabkan dislokasi (Price, Sylvia.,
Wilson Lorraine. 2005).
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dislokasi sendi adalah nyeri akut yaitu nyeri yang sering
terdapat pada dislokasi sendi bahu, sendi siku, metakarpal phalangeal dan sendi
22
pangkal paha servikal, kemudian terjadi perubahan kontur sendi, perubahan
panjang ekstremitas, mengalami deformitas pada persendiaan, perubahan sumbu
tulang yang mengalami dislokasi, dan kehilangan mobilitas normal, serta terjadi
gangguan gerakan otot-otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut.
Pembengkakan dan kekakuan juga menjadi manifestasi klinis dari dislokasi sendi.
Penatalaksanaan
Komplikasi
23
Komplikasi dini yaitu fraktur disloksi, cedera pembuluh darah seperti arteri
aksilla dapat rusak. Cedera saraf antara lain saraf aksila dapat cedera, pasien tidak
dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati
rasa pada otot tesebut.
Epidemiologi
24
besar daripada wanita seusianya (10:1) dan lebih besar daripada pria berusia di
atas 35 tahun (Aprianto, Petrus. 2017).
Etiologi
25
5) Operasi
6) Gigitan ular
7) Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah
cedera, dimana 45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di
anggota gerak bawah (Aprianto, Petrus. 2017).
Manifestasi Klinis
26
Patofisiologi
Komplikasi
27
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera,
akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :
a. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
b. Kontraktur volkan, merupakan kesrusakan otot yang disebabkan oleh
terlambat penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya
trauma pada lengan bawah.
c. Trauma vascular
d. Gagal ginjal akut
e. Sepsis
f. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Prognosis
2.2.4 Osteomyelitis
Definisi
28
dengan cepat. Osteomyelitis kronik adalah akibat dari osteomyelitis akut yang
tidak ditangani dengan baik.
Etiologi
Manifestasi Klinis
Gejala umum akut seperti demam, toksemia, dehidrasi, pada tempat tulang
yang terkena panas dan nyeri, berdenyut karena nanah yang tertekan kemudian
terdapat tanda-tanda abses dengan pembengkakan.
Patofisiologi
29
tulang yang mati terbentuk. Pembentukan tulang baru dibawah perioteum yang
terangkan diatas dan disekitar jaringan granulasi, berlubang oleh sinus-sinus yang
memungkinkan pus keluar (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).
1. Laboratorium
a. Peningkatan laju endap eritrosit
b. Lukosit dan LED meningkat
2. Rontgen
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang di dapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang mengarahkan kepada diagnosis Fraktur Tertutup
Klavikula Dextra 1/3 Mid, Allman Group I dimana dalam penanganannya
diperlukan terai secara farmakologi dan non farmakologi yang dapat menunjang
kesembuhan pasien dalam rangka remoedelling tulang agar dapat mempercepat
kesembuhan pasien.
31
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A Graham & Solomon, Louis. 2010. Ortopedi dan Fraktur Sistem. Apley,
Ninth edition ISE. Jakarta: CRC Press
Kowalak, dkk. 2014. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC
Legiran, dkk. Dislokasi Sendi Bahu: Epidemiologi Klinis dan Tinjauan Anatomi.
Subbagian Bedah Ortopedi, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin/Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya.
https://repository.unsri.ac.id/22926/1/LK_2015_Dislokasi_Sendi.pdf
(Diunduh pada tanggal 8 April 2021)
Sjamsuhidajat, de Jong. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah; Sistem Organ dan Tindak
Bedahnya (2). Penerbit EGC. Edisi 4. Vol. 3
32
LAPORAN
SMALL GROUP DISCUSSION LBM 2
BLOK SISTEM NAUROMUSKULOSKELETAL II
“KAKI KU NYERI”
OLEH :
019.06.0082
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
Sesi 1
Seorang anak laki- laki berusia 10 tahun dating ke IGD Rumah Sakit dengan
keluhan lutut kiri nyeri, bengkak, dan tidak dapat digerakkan. Pada anamnesis
diketahui nyeri tersebut dialami sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri dialami
sepanjang hari, terutama pada malam hari hingga pasien tersebut tidak dapat tidur
karena nyeri. Nyeri berkurang bila di istirahatkan dan nyeri memberat bila tungkai
di gerakkan. Keluhan disertai demam dan menggigil. Pada riwayat penyakit
sebelumnya, didapatkan bahwa 1 bulan yang lalu ia mengeluh nyeri di kedua
telinga nya disertai cairan di telinga kanan. Nafsu makan berkurang, riwayat
keluarga tidak pernah mengalami seperti ini. Riwayat trauma disangkal.
Sesi 2
4
1.2 Data Kasus
Identitas Pasien
Nama :-
Umur : 10 tahun
5
Data Dasar
a. Data subyektif
b. Data obyektif
6
6) Apa saja DD pada scenario ?
7) Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berdasarkan pada skenario ?
8) Apa hubungan antara demam dan menggigil yang dialami oleh pasien
dengan keluhan lainnya ?
7
BAB II
PEMBAHASAN
Pada anamnesis diketahui nyeri tersebut dialami sejak 1 minggu yang lalu.
Nyeri dialami sepanjang hari, terutama pada malam hari hingga pasien tersebut
tidak dapat tidur karena nyeri. Nyeri berkurang bila di istirahatkan dan nyeri
memberat bila tungkai di gerakkan. Keluhan disertai demam dan menggigil.
Pasien mengalami demam menandakan bahwa adanya respon tubuh berupa
kompensasi tubuh terhadap benda atau partikel yang masuk baik itu
mikrobakterium ataupun virus. Sehingga ketika mikobakterium masuk ke dalam
tubuh maka akan membentuk suatu biofilm sehingga menimbulkan adanya
inflamasi.
8
Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign TD : 110/80 mmHg, nadi :
110x/ menit, temperature : 380C, RR : 22x/ menit. Pada pemeriksaan lokalis
didapatkan tanda- tanda edema dan kemerahan di tungkai kanan, hangat pada
perabaan. Oleh dokter jaga IGD dilakukan pemeriksaan penunjang dan
pengelolaan lebih lanjut agar komplikasi akibat penyakit tersebut dapat segera
teratasi. Pada pemeriksaan tanda vital terlihat bahwa suhu tubuh pasien meningkat
karena pasien mengalami demam. Tanda edema, kemerahan dan hangat
merupakan kualifikasi dari adanya permasalahan pada tulang baik itu
diskontinuitas ataupun disfungsi.
2.2.1 Osteomielitis
Definisi
Proses inflamasi akut atau kronis pada tulang dan struktur sekundernya
akibat infeksi oleh bakteri piogenik. Osteomielitis adalah infeksi pada tulang.
Berasal dari kata osteon (tulang) dan myelo (sum-sum tulang) dan dikombinasi
9
dengan itis (inflamasi) untuk menggambarkan kondisi klinis dimana tulang
terinfeksi oleh mikroorganisme (Kowalak, dkk. 2014).
Epidemiologi
Etiologi
10
Patogenesis dan Patofisiologi
Infeksi yang terjadi pada tulang berbeda dengan infeksi jaringan lunak
mengingat tulang terdiri atas kompartemen yang keras. Hal ini menjadikan tulang
lebih rentan terhadap kerusakan vaskular dan kematian sel karena peningkatan
tekanan intrakompartemen pada fase inflamasi akut. Apabila infeksi tidak segera
ditangani dan tekanan intrakompartemen tidak diturunkan, maka dapat terjadi
nekrosis struktur tulang. Terdapat beberapa cara bagi mikroorganisme untuk
mencapai jaringan muskuloskeletal, yaitu (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005):
11
Infeksi dapat mengakibatkan osteomielitis piogenik. artritis septik, reaksi
granulomatosa kronis (manifestasi klasik berupa tuberkulosis tulang atau sendi).
atau respons indolen terhadap organisme tertentu (misal infeksijamur), tergantung
dari tipe bakteri yang menyerang, tempat infeksi. dan respon tubuh. Infeksi
jaringan lunak yang terjadi dapat berupa sepsis akibat Iuka superfisial sampai
selulitis nekrotikans yang mengancam nyawa. Kerentanan terhadap infeksi
meningkat dengan adanya faktor lokal berupa trauma. jaringan parut. sirkulasi
yang buruk, berkurangnya kepekaan sensorik. penyakit kronis tulang atau sendi
dan adanya korpus alienum, kemudian kedua yaitu faktor sistemik seperti
malnutrisi, diabetes, gangguan vaskuler, penyakit reumatik. konsumsi steroid dan
jenis imunosupresan, serta usia (terlalu muda atau terlalu tua (Kowalak, dkk.
2014)..
Klasifikasi
12
Patofisiologi
Manifestasi Klinis
Gejala umum akut seperti demam, toksemia, dehidrasi, pada tempat tulang
yang terkena panas dan nyeri, berdenyut karena nanah yang tertekan kemudian
13
terdapat tanda-tanda abses dengan pembengkakan. Nyeri konstan dan berat pada
dekat ujung tulang yang terlibat. Gejala lain terkait septikemia, seperti malaise,
anoreksia, dan demam (dalam 24 jam). Kedua hal terse but harus menjadi dasar
diagnosis klinis acute hematogenous osteomielitis hingga terbukti sebaliknya.
Adanya riwayat trauma atau infeksi saluran pernapasan atas pada anak
memperkuat diagnosis osteomielitis (Kowalak, dkk. 2014)..
Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
14
lunak pertama terlihat pada hari-hari pertama awitan infeksi. Untuk memastikan
diagnosis klinis dapat dipakai pemeriksaan histologi dengan cara aspirasi pus atau
cairan dari abses subperiosteal. soft tissue ekstraosseus atau sendi terdekat.
dengan menggunakan jarum trokar 16-18 G. Apabila tidak ada pus. apusan aspirat
dapat diperiksa dengan pewarnaan Gram sehingga dapat membantu
mengidentifikasi tipe infeksi dan membantu pemilihan antibiotik. Aspirasi
jaringan hanya memberikan hasil positif pada 60% kasus. sementara kultur darah
positif pada kurang dari 50% kasus (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).
Tata Laksana
Prognosis
15
umumnya baik. Namun, ada kemungkinan infeksi dapat kambuh bertahun-tahun
setelah pasien sembuh, jika ada trauma baru di daerah yang sama atau jika
imunitas tubuh pasien terganggu. Pada orang dewasa, tingkat kekambuhan
osteomielitis kronis adalah sekitar 30% dalam waktu 12 bulan, bahkan pada kasus
yang melibatkan P. aeruginosa tingkat kekambuhan dapat meningkat hingga
50%.
Komplikasi
16
Artritis septik karena infeksi bakterial merupakan penyakit yang serius yang
cepat merusak kartilago hyalin artikular dan kehilangan fungsi sendi yang
ireversibe.
Epidemiologi
Insiden septik artritis pada populasi umum bervariasi 2-10 kasus per
100.000 orang per tahun. Insiden ini meningkat pada penderita dengan
peningkatan risiko seperti artritis rheumatoid 28-38 kasus per 100.000 per tahun,
penderita dengan prostes sendi 40-68 kasus/100.000/tahun. Puncak insiden pada
kelompok umur adalah anak-anak usia kurang dari 5 tahun (5 per 100.000/tahun)
dan dewasa usia lebih dari 64 tahun (8,4 kasus/100.000 penduduk/tahun
Kebanyakan artritis septik terjadi pada satu sendi, sedangkan keterlibatan
poliartikular terjadi 10-15% kasus. Sendi lutut merupakan sendi yang paling
sering terkena sekitar 48-56%, diikuti oleh sendi panggul 16- 21%, dan
pergelangan kaki 8%.
Etiologi
Klasifikasi
17
Artritis septik akut merupakan peradangan sendi akibat invasi bakteri
piogenik ke dalam sinovial yang menimbulkan infilcrasi sel radang dan efusi
purulen sehingga membuat cairan sendi menjadi kental clan menggumpal. Bila
tidak segera diobati, keadaan ini akan merusak kondrosit, kolagen, dan kartilago
sendi. Cara masuk kuman ke dalam sendi dapat secara langsung akibat trauma,
pembedahan, suntikan intraartikuler, atau secara ridak langsung melalui infeksi
hematogen. Insidens artritis septik akut paralel dengan osteomielitis akut
hematogen yang keduanya memang berkaitan. Biasanya artritis septik akut
mengenai anak yang sedang rumbuh tapi juga dapat mengenai orang dewasa
penderita diabetes melitus, anemia sel sabit, pengguna heroin, AIDS, atau mereka
yang celah menjalani splenektomi. Sendi yang biasanya terkena yaitu sendi
panggul, siku, lutut, bahu, dan pergelangan kaki. Gambaran klinis yang dmbul
pada artritis septic akut antara lain, bayi yang iritabel, demam, hambatan gerak
sendi karena nyeri, kadang dapat teraba fluktuasi akibat bertambahnya cairan
sendi. Pada pasien bayi jangan lupa uncuk memeriksa adanya infeksi di daerah
umbilicus (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).
18
Manifestasi Klinis
Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak, malaise, nyeri
lokal pada sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi, dan penurunan
kemampuan ruang lingkup gerak sendi. Sejumlah pasien hanya mengeluh demam
ringan saja. Demam dilaporkan 60-80% kasus, biasanya demam ringan, dan
demam tinggi terjadi pada 30-40% kasus sampai lebih dari 390C. Nyeri pada
artritis septik khasnya adalah nyeri berat dan terjadi saat istirahat maupun
dengan gerakan aktif maupun pasif (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).
19
destruksi sendi, osteomyelitis, ankilosis, kalsifikasi jaringan periartikular, atau
hilangnya tulang subkondral diikuti dengan sklerosis reaktif. Pemeriksaan lain
yang digunakan pada arthritis septik dimana sendi sulit dievaluasi secara klinik
atau untuk menentukan luasnya tulang dan jaringan mengalami infeksi yaitu
mengunakan CT, MRI , atau radio nuklead (Themi Protopsaltis, MD. et al.
2014).
2.2.3 Osteonekrosis
Definisi
Etiologi
Patofisiologi
20
Suplai darah dari kaput femur secara primer berasal dari cincin basiservikal
ekstrakapsuler artikuler dan cabang ke atas dari arteri medial femoralis
sirkumfleks, begitu pula kontribusi sekunder yang berasal dari inferior dan
superior arteri gluteal dan arteri ligamentum teres. Interupsi dari suplai darah
dapat terjadi secara multifaktorial, baik ekstravaskuler atau intravaskuler.
Gangguan ekstravaskuler biasanya terjadi akibat dari kasus trauma. Fraktur
proksimal femur yang terjadi pada pergeseran kolum femur mempengaruhi cicin
arteri basiservikal, sedangkan dislokasi panggul dapan mengganggu ligamentum
teres dan menyebabkan hematoma intrakapsuler, sehingga integritas dari cincin
ekstrakapsuler menjadi faktor yang penting untuk ketahanan dari kaput femur
(Kowalak, dkk. 2014).
Secara umum, osteonekrosis dari kaput femur terjadi melalui suatu alur
umum dimana terjadi penurunan aliran darah ke kaput femur yang mengarah pada
iskemia dan kematian. Alur tambahan yang menyertai dari alur utama sifatnya
bervariasi. Oklusi vaskuler dapat disebabkan trombus lokal, emboli lemak,
gelembung nitrogen, atau bentuk sel darah merah yang abnormal. Ekstravasasi
pembuluh darah akibat lemak atau elemen seluler pada rongga sumsum tulang
dapa menekan arteri dan vena. Pembuluh darah pada kaput femur dapat
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh vaskulitis, radiasi, atau bahan kimia
yang toksik. Sel tulang dapat tetap hidup apabila teradapat sirkulasi kolateral yang
cukup (Kowalak, dkk. 2014).
Setelah terjadi infark serta gangguan suplai oksigen dan nutrisi, osteosit dan
sel sumsum tulang mengalami kematian dengan pengecualian apabila mereka
dapat menerima suplai darah dari sirkulasi kolateral. Sirkulasi kolateral yang
menyuplai epifisis bersifat sangat terbatas, pengalihan fungsi kapiler menjadi
arteri kemungkinan tidak dapat memulihkan kekurangan aliran darah ke jaringan.
Selain gangguan pada vaskuler dan kematian sel, defek pada perbaikan tulang
juga merupakan komponen kunci terjadinya osteonekrosis (Kowalak, dkk. 2014).
21
pada perfusi yang berasal dari ligamentum teres yang normalnya hanya
menyediakan suplai darah sebesar 10-20% ke kaput femur. Pada pasien dengan
dislokasi panggul, suplai darah dari ligamentum teres terganggu dan perfusi dari
kaput femur bergantung pada keparahan kerusakan dari pembuluh retinakular di
sekitar kaput femur yang mengalami dislokasi serta tekanan dari hematoma
intrakapsuler (Kowalak, dkk. 2014).
22
Nontraumatik osteonekrosis (ON) dari kaput femur masih menimbulkan
tantangan yang signifikan terhadap ahli bedah orthopaedi dan merupakan penyakit
yang dapat menyebabkan kolaps kaput femur menyeluruh pada 80% pasien yang
tidak mendapatkan penanganan yang baik. Kondisi non-traumatik yang sering
dihubungkan dengan ON berjumlah banyak, beberapa diantaranya adalah
penggunaan kortikosteroid, penyalahgunaan alcohol, SLE, hemoglobinopati
termasuk anemia sel sabit, penyakit Legg-Calve Perthes, dan paparan terhadap
radiasi atau bahan sitotoksik. Mekanisme patogenesis yang terjadi akan
menyebabkan gangguan pada sirkulasi dan penyebabnya bersifat multifaktorial.
Gangguan mekanikal pembuluh darah, oklusi thrombosis intravaskuler, dan
kompresi ekstraseluler adalah tiga penyebab yang paling dapat diterima secara
umum sebagai mekanisme terjadinya ON (Kowalak, dkk. 2014).
Gejala tipkal dari pasien osteonekrosis adalah nyeri yang biasanya memiliki
onset yang berbahaya dan dipicu oleh aktivitas dan angkat beban. Radiografi
konvensional merupakan salah satu investigasi lini pertama yang mudah dan tidak
mahal dalam diagnosis osteonekrosis, namun radiograf biasa tidak sensitif untuk
mendeteksi lesi osteonekrosis pada tahap awal. Nyeri awal tidak jelas dalam
perjalanannya, biasanya disadari saat pasien duduk ke posisi berdiri, menaiki
tangga, berjalan miring, dan menahan beban. Nilai dari laboratorium seperti
activated partial thromboplastin time (aPTT) dan prohtombin time (PT) biasanya
dalam tingkat normal, meskipun pemeriksaan lebih lanjut dari etiologi akan
memberikan gambaran koagulopati atau penyakit inflamasi sendi seperti SLE.
MRI telah menjadi pemeriksaan radiologis yang menjadi pilihan secara modalitas,
karena sensitifitas dan spesifitas terhadap osteonekrosis (Themi Protopsaltis, MD.
et al. 2014).
2.2.4 Selulitis
Definisi
23
Selulitis adalah infeksi pada kulit yang meliputi dermis dan jaringan
subkutan dengan karakteristik klinis berupa gejala akut, eritema, nyeri,
edematosa, inflamasi supuratif pada kulit, jaringan lemak subkutan, atau otot dan
sering disertai gejala sistemik berupa malaise, demam, menggigil, dan nyeri lokal.
Penyebab tersering dari selulitis adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus
grup A. Faktor risiko terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan kulit),
luka terbuka di kulit, atau gangguan pada pembuluh vena maupun pembuluh
limfe. Selulitis paling sering mengenai ekstremitas bawah. Faktor risiko yang
mengakibatkan terjadinya selulitis adalah trauma (laserasi, luka bakar, abrasi, luka
remuk, fraktur terbuka), penggunaan obat-obatan intravena, gigitan binatang atau
manusia, riwayat infeksi selulitis oleh Streptococcus, tinea pedis, masektomi
radikal dengan diseksi kelenjar limfe aksilaris, graft yang diambil dari vena
Saphena magna (Kowalak, dkk. 2014).
Etiologi
Manifestasi Klinis
Gejala klinis selulitis berupa eritema dengan batas yang tidak tegas dan
cepat meluas, nyeri, edema atau bengkak yang teraba hangat dan kencang (jarang
namun bisa terjadi fluktuasi). Pada beberapa kasus selulitis dapat terjadi
pembentukan bula ataupun nekrosis pada jaringan epidermis, menyebabkan erosi
superfisial pada epidermis dan tampak sloughing. Gejala sistemik seperti demam,
menggigil dan malaise bervariasi. Hanya sekitar 66% ditemukan port d’entre
24
infeksi. Erisipelas juga merupakan bagian dari infeksi kulit dan jaringan lunak,
walaupun banyak mempunyai kesamaan klinis dengan selulitis namun
mempunyai gambaran eritema yang berbatas tegas dengan warna merah terang
yang klasik dengan permukaan menyerupai gambaran peau d’orange. Hal ini
disebabkan keterlibatan jaringan yang lebih superfisial dan batas antara kulit
normal dan sakit yang lebih jelas.
25
2.2.5 Tumor Tulang
Definisi
Tumor-tumor tulang primer dapat jinak atau ganas. Tumor yang jinak lebih
sering terjadi dibandingkan dengan tumor ganas, dan tumor-tumor yang ganas
seringkali berakibat fatal (Kowalak, dkk. 2014).
Epidemiologi
Tumor tulang relacif jarang terjadi, insidensnya hanya 0,2% dari seluruh
neoplasma yang diderita manusia. Bila dibandingkan dengan tumor jaringan
lunak, insidens tumor tulang 10 kali lebih rendah. Insidens tumor tulang jinak dan
ganas sangat erat hubungannya dengan usia penderita (lihat Tabel 42.9). Sarkoma
tulang mempunyai dua puncak insidens (bimodal peak) yaitu puncak perrama
pada usia 20-an clan puncak kedua pada usia di atas 60 tahun.
Klasifikasi
a. Osteoma
Osteoma merupakan lesi tulang yang bersifat jinak dan ditandai oleh
pertumbuhan tulang yang abnormal. Osteoma klasik berwujud sebagai suatu
benjolan yang tumbuh dengan lambat, tidak nyeri.
b. Kondroblastoma
c. Enkondroma
26
Enkondroma atatt kondroma sentrnl, adalah tumor jinak sel-sel rawan
displastik yang timbul pada metafisis tulang tubular, terutama pada tangan dan
kaki. Pada pemeriksaan radiografi didapati titik-titik perkapuran yang berbatas
tegas, membesar dan menipis.
Sifat khas dari tumor sel raksasa adalah adanya stroma vaskular dan selular
yang terdiri dari sel-sel berbentuk oval yang mengandung sejumlah nucleus
lonjong, kecil dan berwarna gelap. Sel raksasa ini merupakan sel besar dengan
sitoplasma yang berwarna merah muda; sel ini mengandung sejumlah nukleus
yang vesikular dan menyerupai sel-sel stroma.
a. Multipel Mieloma
Tumor ganas tulang yang paling sering ditemukan adalah multipel mieloma,
akibat proliferasi ganas dari sel-sel plasma. Multipel mieloma sangat jarang
terlihat pada orang-orang yang berusia di bawah 40 tahun. Laki-laki lebih sering
terkena dan orang Afrika- Amerika memiliki insiden dua kali lipat daripada
orang-orang Kaukasia.
b. Sarkoma Osteogenik
c. Kondrosarkoma
27
Kondrosarkoma merupakan tumor tulang ganas yang terdiri dari kondrosit
anaplastik yang dapat tumbuh sebagai tumor tulang perifer atau sentral. Tumor ini
paling sering menyerang laki-laki berusia di atas 35 tahun. Gejala yang paling
sering adalah massa tanpa nyeri yang berlangsung lama. Contoh, lesi perifer
seringkali tidak menimbulkan gejala-gejala tertentu untuk jangka waktu yang
lama dan hanya berupa pembesaran yang dapat diraba dan hampir tidak
menimbulkan gangguan.
d. Sarkoma Ewing
Sarkoma Ewing paling sering terlihat pada anak- anak dalam usia belasan
dan tempat yang paling sering adalah korpus tulang-tulang panjang. Penampilan
kasarnya adalah berupa tumor abu-abu lunak yang tumbuh ke retikulum sumsum
tulang dan merusak korteks tulang darisebelah dalam.
Manifestasi Klinis
28
Diagnosis (Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang)
2.2.6 Dislokasi
Definisi
29
Klasifikasi
30
gloenohumeral berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi
anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan dibawah glenoid
(dislokasi inferior).
3. Dislokasi sendi siku : cedera biasanya akibat terjatuh pada tangan
yang dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan
siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan –
tonjolan tulang siku.
4. Diskulokasi sendi jari : sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila
tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan menjadi kaku
kelak.sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau
punggung tangan.
5. Dislokasi sendi metacarpophalangeal dan interphalangeal : dislokasi
sendi ini disebabkan oleh hiperekstensi – ekstensi persendian.
6. Dislokasi sendi panggul : bergesernya caput femur dari sendi
panggul,berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior),
di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur
menembus acetabulum (dislokasi sentra).
7. Dislokasi sendi lutut : dislokasi ini terjadi apabila penderita mendapat
trauma dari depan dengan lutut dalam keadaan fleksi. Dislokasi ini
bersifat anterior, posterior, lateral, medial atau rotasi. Trauma juga
dapat menyebabkan dislokasi yang terjadi disertai dengan kerusakan
nervus peroneus dan arteri poplitea
Etiologi
Penyebab dislokasi sendi yang paling sering dialami adalah terjatuh. Cedera
olah raga biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki serta
olahraga yang beresiko jatuh, misalnya: terperosok akibat bermain ski, senam,
volley, basket, dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada
tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain
lain.Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga benturan keras pada
sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi, terjatuh dari
31
tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. Terjadinya ‘tear’
ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang
(Kowalak, dkk. 2014).
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dislokasi sendi adalah nyeri akut yaitu nyeri yang sering
terdapat pada dislokasi sendi bahu, sendi siku, metakarpal phalangeal dan sendi
pangkal paha servikal, kemudian terjadi perubahan kontur sendi, perubahan
panjang ekstremitas, mengalami deformitas pada persendiaan, perubahan sumbu
tulang yang mengalami dislokasi, dan kehilangan mobilitas normal, serta terjadi
gangguan gerakan otot-otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut.
Pembengkakan dan kekakuan juga menjadi manifestasi klinis dari dislokasi sendi
(Rockwood and Green's. 2015).
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang muncul di scenario dimana pasien dengan
keluhan utama nyeri lutut, demam, bengkak dan edema serta di dukung juga
dengan hasil pemeriksaan penunjang dari pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan radiologi maka di dapatkan dugaan bahwa pasien mengalami
Osteomielitis Hematogen Akut dimana hal ini disimpulkan karena terdapatnya
kesesuaian antara keluhan pasien di scenario dengan manifestasi klinis dari
Osteomielitis tersebut, dan karena keluhan ini timbul baru 1 minggu maka di
klasifikasikan menjadi Osteomielitis bagian Hematogen Akut sehingga diperlukan
penatalaksaan yang tepat dimana pada prinsipnya penatalaksanaan osteomyelitis
menyangkut eliminasi sumber infeksi, pemberian antibiotik yang adekuat,
melakukan sequestrektomi, debridement, dekortikasi, dan jika lesi ekstensif
dilakukan reseksi dan rekonstruksi, serta mengevaluasi dan memperbaiki sistem
daya tahan tubuh dengan meningkatkan asupan gizi ataupun suplemen dan
multivitamin.
33
DAFTAR PUSTAKA
Kowalak, dkk. 2014. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sjamsuhidajat, de Jong. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah; Sistem Organ dan Tindak
Bedahnya (2). Penerbit EGC. Edisi 4. Vol. 3
34