Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 1


BLOK SISTEM NAUROMUSKULOSKELETAL II
“BAHUKU NYERI”

OLEH :

Putu Shanti Ayudiana Budi

019.06.0082

Kelompok 12/ Kelas B

Tutor : dr. Irsandi Rizki Farmananda, S.Ked

PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 1 yang berjudul “BAHUKU NYERI” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
(LBM) 1 yang berjudul “BAHUKU NYERI”meliputi seven jumps step yang
dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Irsandi Rizki Farmananda, S.Ked sebagai dosen fasilitator SGD 12
yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam
pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 8 April 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................4


1.1 Skenario ....................................................................................................4

1.2 Data Kasus ...............................................................................................5

1.3 Deskripsi Masalah ...................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................7


2.1 Pembahasan Brain Storming ......................................................................7

2.2 Pembahasan Diagnosis Banding .................................................................9

2.2.1 Fraktur Tertutup (Diagnosis Kerja) .........................................................9

2.2.2 Dislokasi ................................................................................................19

2.2.3 Sindroma Kompartemen ........................................................................24

2.2.4 Osteomyelitis .........................................................................................28

BAB III PENUTUP ..............................................................................................31


3.1 Kesimpulan .................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................32

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Skenario

Sesi 1

Seorang laki- laki berumur 20 tahun datang ke UGD Rumah Sakit dengan
keluhan nyeri di bahu kanan. Nyeri dialami 1 hari sebelumnya, dan nyeri
dirasakan seperti tertusuk- tusuk yang dialami sepanjang hari, berkurang saat
istirahat dan memberat bila beraktifitas. Tidak ada nyeri menjalar dan nyeri
menetap di bahu kanan.

Demam disangkal, riwayat penyakit sebelumnya tidak ada. Pasien


mengatakan 1 hari yang lalu bertabrakan motor dengan motor.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88x/
menit, pernafasan 18x/ menit, suhu 36,60 C.

Pada region bahu kanan didapatkan edema dengan ekimosis. Bahu kanan
tidak dapat digerakkan, namun siku kanan masih dapat digerakkan.
Neurovaskularisasi bagian distal masih bagus.

Apakah yang terjadi pada pasien di scenario ?

Sesi 2

Pada pemeriksaan darah di dapatkan :

LED 5 mm/ jam (<10)

Leukosit 8x 103/ μl (5,0- 10,0)

Platelet 220 x 103/ μ (150- 400)

RBC 4,5 juta/ μl (4,5- 5,5)

Batang 4% (2,0- 6,0)

4
Segmen 60% (50,0- 70,0)

Limfosit 25% (20- 40)

Monosit 2% (2,0- 8,0)

Pada pemeriksaan radiologi di dapatkan hasil :

1.2 Data Kasus

Identitas Pasien

Nama :-

Umur : 20 tahun

Jenis Kelamin : laki- laki

Data Dasar

a. Data subyektif

5
Pada anamnesis didapatkan data yaitu pasien tabrakan, pasien mengalami
nyeri yang memberat saat beraktifitas, demam disangkal oleh pasien, dan pasien
tidak memiliki riwayat penyakit.
b. Data obyektif

Pada pemeriksaan fisik didapatkan sebagai berikut :

Tekanan darah : 110/ 70 mmHg


Nadi : 88x/ menit
Laju pernapasan : 18x/ menit
Suhu tubuh : 36,60 C
Bahu kanan : gangguan mobilitas
Edema :+
Ekimosis :+

1.3 Deskripsi Masalah


1) Kenapa nyeri dirasakan seperti tertusuk- tusuk ?
2) Apakah ada hubungan antara kejadian tabrakan dengan keluhan di
skenario ?
3) Mengapa terjadi edema dan ekimosis di skenario ?
4) Mengapa pada pasien tersebut bahu kanan tidak dapat digerakan
sedangkan siku masih bisa digerakan. Apakah ada hubungan
keduanya ?
5) Apakah DD pada skenario ?

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pembahasan Brain Storming


Pada skenario diketahui bahwa seorang laki- laki berumur 20 tahun datang
ke UGD Rumah Sakit dengan keluhan nyeri di bahu kanan. Nyeri dialami 1 hari
sebelumnya, dan nyeri dirasakan seperti tertusuk- tusuk yang dialami sepanjang
hari, berkurang saat istirahat dan memberat bila beraktifitas. Tidak ada nyeri
menjalar dan nyeri menetap di bahu kanan. Keluhan yang dirasakan oleh pasien
berupa nyeri yang dirasakan seperti tertusuk- tusuk merupakan suatu tanda adanya
respon persarafan di tubuh utamanya secara local di region tersebut sebagai akibat
dari cedera di bagian bahu kanan pasien. Nyeri ini merupakan jenis dari nyeri akut
yaitu pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas
ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Nyeri akut biasanya
berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur.

Menurut anamnesis kepada pasien didapatkan data demam disangkal,


riwayat penyakit sebelumnya tidak ada. Pasien mengatakan 1 hari yang lalu
bertabrakan motor dengan motor. Dari data tersebut menandakan keluhan pasien
murni karena mengalami tabrakan sehingga menyebabkan cedera atau trauma
sehingga terjadinya gangguan pada organ tubuh pasien akibat dari tekanan yang
terjadi karena tabrakan tersebut. Dan hal ini menandakan tidak ada pengaruh dari
mikrobakterium ataupun virus dan fungi karena pasien tidak mengeluhkan demam
dimana biasanya ketika keluhan dipengaruhi oleh mikrobakterium maka tubuh
akan merespon dengan demam yang terjadi pada pasien namun pada scenario
disangkal.

Pada region bahu kanan didapatkan edema dengan ekimosis. Edema


menandakan terjadinya akumulasi cairan interstitial dibawah kulit di dalam
jaringan yang menyebabkan peningkatan tahanan cairan. Sedangkan ekimosis
merupakan tanda dari perdarahan di bawah kulit sehingga kulit menjadi kebiruan
akibat dari perdarahan kapiler darah bawah kulit yang diduga terjadi karena

7
adanya robekan akibat tulang yang mengalami cedera saat pasien mengalami
benturan.

Bahu kanan tidak dapat digerakkan, namun siku kanan masih dapat
digerakkan. Neurovaskularisasi bagian distal masih bagus. Hal ini terjadi karena
diduga pada bagian bahu terjadi diskontiunitas pad atulang yang menyebabkan
adanya gangguan mobilitas sehingga bahu kanan pasien tidka dapat digerakkan.

Oleh karena itu berdasarkan data yang terdapat di scenario maka dapat
ditentukan diagnosis banding dari pasien yang pertama yaitu fraktur tertutup, hal
ini diduga karena keluhan dari pasien yang mengalami cedera pada bahu kanan
setelah mengalami tabrakan sehingga kemungkinan besar pasien mengalami
benturan yang mengakibatkan cedera dari tulang dan terjadi fraktur. Kedua yaitu
dislokasi dimana hal ini diduga karena saat terjadi tabrakan kemudian pasien
terbentur sehingga menyebabkan keluarnya kepala sendi dari mangkok sendi dan
terjadi dislokasi. Ketiga yaitu sindroma kompartemen dan osteomilitis dimana
kedua hal ini merupakan komplikasi dari adanya fraktur yang menyebabkan
kerusakan yang lebih serius seperti sindroma kompartemen yang merupakan
disfungsi dari kompartemen bawah kulit yaitu tu;ang sedangkan osteomilitis
diduga karena terjadinya edema dan ekimosis pada pasien yang menyebabkan
timbulnya dugaan tersebut.

Sehingga didapatkan diagnosis yaitu Fraktur Terututup 1/3 Mid Klavikula


Dextra Grade Allman 1. Secara lebih spesifik didapatkan diagnosis yaitu Fraktur
Terututup Complete Diafisis Klavikula Dextra Transverse Displacement ke
Posterior dengan cedera Neurovaskular. Fraktur tertutup didapatkan dari
pemeriksaan yang tidak menandakan adanya robekan luar yang menyebabkan
terhubung dengan lingkungan luar, fraktur complete didapatan berdasarkan hasil
rontgen yang menunjukkan patahan secara keseluruhan pada bagian diafisis dari
tulang klavikula bagian dextra beserta patahan yang berjenis transverse karena
pada patahan tidak membentuk suatu sudut atau patahannya datar kemudian
dilihat adanya tanda displacement atau perpindahan tulang kea rah posterior serta
adanya ekimosis yang menandakan terjadinya gangguan pada neurovascular local
di bagian bahu atau area patahan.

8
2.2 Pembahasan Diagnosis Banding

2.2.1 Fraktur Tertutup (Diagnosis Kerja)


Definisi

Fraktur adalah kondisi hilangnya kontinuitas pada tulang, yang dapat


bersifat lengkap maupun sebagian. Fraktur merupakan cedera traumatik dengan
presentase kejadian tinggi, cedera tersebut dapat menimbulkan perubahan yag
signifikan pada kualitas hidup. Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang yang
dapat disebabkan oleh trauma fisik (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).
Fraktur yang terjadi pada individu dapat ditentukan oleh kekuatan, sudut,
tenaga, kondisi tulang, serta kondisi jaringan disekitar tulang. Fraktur lengkap
terjadi pada saat tulang mengalami patah secara keseluruhan,sedangkan fraktur
tidak lengkap terjadi pada saat tulang tidak mengalami patah secara keseluruhan
(Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).

Epidemiologi

Pada anak- anak, klavikula mudah mengalami fraktur, namun hampir selalu
terjadi union dengan cepat dan tanpa komplikasi. Pada orang dewasa, fraktur
klavikula merupakan injuri yang lebih sulit. Fraktur klavikula pada orang dewasa
sering terjadi, insidensinya 2,6- 4% dari semua fraktur dan kurang lebih 35%
merupakan cedera dari gelang bahu. Fraktur pada midshaft merupakan yang
terbanyak 69- 82%, fraktur lateral 21- 28%, dan fraktur medial yang paling jarang
2- 3% (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).

Etiologi

Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, berikut
penyebab dari fraktur adalah (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014) :
1. Kecelakaan di jalan raya, contohnya kecelakaan saat mengendarai
kendaraan bermotor
2. Cedera saat melakukan olahraga

9
3. Menyelam pada air yang dangkal
4. Luka tembak atau luka tikam
5. Gangguan metabolik tulang seperti osteoporosis yang disebabkan oleh
fraktur kompresi pada vertebra, dapat mengalami fraktur dari trauma
minor karena kerapuhan tulang akibat gangguan yang telah ada
sebelumnya.
6. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis
seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, mielitis akibat proses
inflamasi infeksi maupun non infeksi, siringmielia, tumor infiltrasi
maupun kompresi
7. Gaya secara langsung, contohnya sebuah benda bergerak menghantam
ke area tubuh di atas tulang. Gaya tidak langsung, contohnya ketika
ada kontraksi kuat dari otot menekan pada tulang dan juga tekanan
serta kelelahan dapat menyebabkan fraktur karena penurunan
kemampuan tulang dalam menahan gaya mekanikal.

Klasifikasi

Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada-tidak.nya hubungan patahan tulang


dengan dunia luar, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur terbuka
memungkinkan masuknya kuman dari luar ke dalam Iuka. Patah tulang terbuka

10
dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur
yang terjadi. Menurut garis frakturnya, patah tulang dibagi menjadi fraktur
komplet atau inkomplet (termasuk fisura dan greenstick fracture), transversa,
oblik, spiral, kompresi, simpel, kominutif, segmental, kupu- kupu, dan impaksi.
Ujung patahan tulang dapat berpindah (mengalami dislokasi) akibat adanya
berbagai kekuatan seperti cedera, conus atau kontraksi otot, dan tarikan
(Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).

Pada tipe I, terjadi pemisahan total lempeng epifisis tanpa adanya patah
tulang. Sel- sel pertumbuhan lempeng epifisis masih melekat pada epifisis.
Fraktur ini terjadi akibat adanya gaya potong (shearing force) pada bayi baru lahir
atau anak- anak kecil. Fraktur ini cukup diatasi dengan reduksi tertutup karena
masih ada pelekaran periosteum yang inrak. Prognosis biasanya baik bila
direposisi dengan cepat. Fraktur epifisis tipe II merupakan jenis fraktur yang
sering ditemukan. Pada tipe ini, garis fraktur berjalan di sepanjang lempeng
epifisis dan membelok ke metafisis sehingga membentuk suatu fragmen metafisis
seperti segitiga yang disebut tanda Thurston-Holland. Sel- sel pertumbuhan pada
lempeng epifisis masih melebar (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).

Trauma yang menghasilkan jenis fraktur ini biasanya adalah trauma bergaya
potong dan bengkok pada anak- anak yang lebih tua. Periosteum mengalami
robekan pada daerah konveks tetapi tetap utuh pada daerah konkaf. Reposisi
secepatnya tidak begitu sulit dilakukan. Reposisi tcrlambat, harus dilakukan
pembedahan. Prognosis fraktur epifisis ripe II baik, kecuali jika terjadi kerusakan
pembuluh darah. Fraktur lempeng epifisis cipe Ill merupakan fraktur intra-
arcikuler. Garis fraktur berjalan dari permukaan sc:ndi menerobos lempeng
epifisis lalu memotong sepanjang garis lempeng epifisis. Jenis frakcur
intraartikuler ini biasanya ditcmukan pada epifois os tibia bagian distal. Karena
intra-artikuler, fraktur ini harus direduksi secara akurat. Sebaiknya dilakukan
operasi terbuka dan fiksasi interna dengan pin. Fraktur lempeng epifisis tipe IV
juga merupakan fraktur intra-artikuler yang garis fraktumya menerobos
permukaan sendi ke epifisis, ke lapisan lempeng epifisis, hingga ke sebagian
metafisis. Contoh tersering fraktur jenis ini adalah fraktur kondilus lateralis

11
humeri pada anak-anak. Pengobatannya adalah reduksi rerbuka dan fiksasi interna
karena fraktur tidak srabil akibar tarikan otot. Prognosisnya jelek bila reduksi
tidak dilakukan dcngan baik. Fraktur lempeng epifisis tipe V merupakan fraktur
akibat hancurnya epifisis yang diteruskan ke lempeng epifisis. Biasanya tcrjadi
pada daerah sendi penopang badan, yaitu sendi pergelangan kaki dan sendi lutut.
Diagnosis fraktur jenis ini sulit karena secara radiologic tidak tampak kelainan.
Prognosis jelek karena dapat terjadi kerusakan sebagian atau seluruh lempeng
pertumbuhan (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).

Fraktur klavikula biasanya diklasifikasikan berdasarkan posisi dari fraktur


oleh Allman menjadi proximal (Group I), middle (Group II), dan distal (Group
III) third fractures. Pembagian secara general berhubungan dengan pendekatan
klinis yang akan dikerjakan. Karena tingginya tingkat delayed union and non-
union pada fraktur 1/3 distal, Neer membaginya menjadi tiga subklasifikasi
berdasarkan kondisi ligamentum dan derajat pergeseran. Neer tipe I (ligamentum
korakoklavikular masih intak), Neer tipe II (ligamentum korakoklavikular robek
atau lepas dari fragmen medial tetapi ligamentum trapezoid tetap intak dengan
segmen distal), dan Neer tipe III (intraartikular). Neer tipe II disubklasifikasikan
menjadi dua oleh Rockwood menjadi tipe IIA: konoid dan trapezoid melekat pada
fragmen distal dan tipe IIB: konoid lepas dari fragmen medial. Klasifikasi yang
lebih detail untuk fraktur midshaft dibuat oleh Robinson, yang berguna untuk
pengolahan data dan membandingkan hasil klinis (Rockwood and Green's. 2015).

12
Manifestasi Klinis

Salah satu cara mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis


klien, beberapa fraktur sering langsung tampak jelas. Berikut manifestasi klinis
fraktur adalah (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014) :

1. Deformitas : Pembengkakan dari pendarahan lokal dapat


menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat
menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional atau
angulasi.
2. Pembengkakan : Edema dapat muncul segera sebagai akibat dari
akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke
jaringan sekitar.
3. Memar (ekimosis) : memar terjadi karena pendarahan subkutan pada
lokasi fraktur.

13
4. Spasme otot : Sering mengiringi fraktur, spasme otot involuntar
sebenarnya berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan
lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri : Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu
mengiringi fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda
pada tiap klien. Nyeri akan terus – menerus jika fraktur tidak
diimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada sekitarnya.
6. Ketegangan : Ketegangan di atas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera
yang terjadi.
7. Kehilangan fungsi : Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang
disebabkan fraktur atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan
pada tungkai yang terkena.
8. Gerakan abnormal dan krepitasi : Gerakan dari bagian tengah tulang
atau gesekan antar fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan
suara deritan.
9. Syok : Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Pendarahan
besar atau tersembunyi dapat menyebabkan syok.
10. Perubahan neurovaskular : Cedera neurovaskular terjadi akibat
kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular yang terkait. Klien akan
mengeluhkan kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah
distal fraktur

Patofisiologi

Keparahan dari fraktur bergantug pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya
retak saja dan bukan patah. Jika gaya yang diterima sangat ekstrim seperti
tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping – keping. Saat terjadi fraktur,
otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami
spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar
dapat menciptakan spasme yang kuat dan bahkan mampu menggeser tulang besar

14
seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya,
namun bagian distal dapat bergeser karena gaya penyebab patah maupun spasme
pada otot- otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu
sudut atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau
berpindah (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014)..
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari
tulang yang patah juga terganggu. Sering terjadi cedera jaringan lunak.
Pendarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu
sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi di antara fragmen-
fragmen tulang dan di bawah periosteum. Jaringan tulang di sekitar lokasi fraktur
akan mati dan mencipatakan respon peradangan yang hebat. Akan terjadi
vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit serta
infiltrasi sel darah putih. Respon patofisiologis ini juga merupakan tahap awal dari
penyembuhan tulang (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologis yang diperlukan minimal adalah rontgen dengan


proyeksi anterior dan kemiringan 30 derajat sefalik. Biasanya didapatkan fraktur
pada 1/3 tengah dari tulang, fragmen bagian luar biasanya terletak lebih rendah
dari fragmen bagian dalam. Fraktur pada 1/3 lateral dapat terlewatkan, atau
perkiraan derajat pergeserannya dapat lebih rendah, kecuali jika rontgen proyeksi
bahu juga dikerjakan. Rontgen sendi sternoclavicular pada fraktur 1/3 medial juga
lebih baik dikerjakan. Saat menilai kemajuan klinis, harus diingat bahwa ‘clinical’
union biasanya mendahului ‘radiological’ union beberapa minggu sebelumnya
(Apley, A Graham & Solomon, Louis. 2010).

CT scan dengan rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan untuk


menentukan derajat pemendekan secara akurat atau untuk mendiagnosis fraktur
dislokasi sternoklavikula dan untuk meyakinkan union dari sebuah fraktur (Apley,
A Graham & Solomon, Louis. 2010).

15
Penatalaksanaan

Untuk Fraktur Klavikula 1/3 Tengah, sebagian besar akan berlanjut dengan
union yang baik, dengan kemungkinan non union di bawah 5% dan kembali ke
fungsi normal. Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling untuk
kenyamanan. Sling dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1- 3 minggu) dan pasien
disarankan untuk mulai menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti yang
menyatakan bahwa penggunaan figure-of-eight bandage memberikan manfaat dan
dapat berisiko terjadinya peningkatan insidens terjadinya luka akibat penekanan
pada bagian fraktur dan mencederai struktur saraf bahkan akan meningkatkan
risiko terjadinya non-union (Apley, A Graham & Solomon, Louis. 2010).

16
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur 1/3 tengah.
Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan pemendekan lebih dari 2 cm
dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya malunion simptomatik – terutama nyeri
dan tidak adanya tenaga saat pergerakan bahu – dan peningkatan insidens
terjadinya non-union. Sehingga dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur
klavikula akut yang mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan.
Metode yang dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan kontur
yang spesifik) dan fiksasi intramedular (Apley, A Graham & Solomon, Louis.
2010).

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke


posisi semula (reposisi) clan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Reposisi tidak harus mencapai keadaan
sempurna seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan remodeling
(proses swapugar). Cara pertama penanganan adalah proteksi saja tanpa reposisi
clan imobilisasi. Pada fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal
atau tidak akan menyebabkan cacat di kemudian hari, cukup dilakukan proteksi
saja, misalnya dengan mengenakan mitela atau sling (Apley, A Graham &
Solomon, Louis. 2010).

17
Cara kedua ialah imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap diperlukan
imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah
pengelolaan patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Cara ketiga
berupa reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi. Ini
dilakukan pada patah tulang dengan dislokasi fragmen yang nyata, seperti pada
patah rulang radius distal. Cara keempat berupa reposisi dengan traksi
terusmenetus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, lalu diikuti
dengan imobilisasi. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang bila direposisi
tulang akan bergeser kembali di dalam gips, biasanya pada frakrur mlang yang
dikelilingi oleh otot yang kuat seperti pada patah rulang femur. Cara kelima
berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Fiksasi
fragmen fraktur menggunakan pin baja yang clitusukkan pada fragmen tulang,
kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar
kulit. Alat ini dinamakan eksator eksterna (Apley, A Graham & Solomon, Louis.
2010).

Cara keenam berupa reposisi non-operatif dii.kuti dengan pemasangan


fiksator culang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operarif dengan meja traksi; setelah terjadi
reposisi, dilakukan pemasangan prostesis pada kolum femur secara operatif. Cara
ketujuh berupa reposisi operatif diikuti dengan fiksasi interna. Cara ini disebut
juga sebagai reduksi terbuka fiksasi interna (open reduction internal fixation,
ORIF), Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa pelat clan sekrup.
Keuntungan ORIF adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang
kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi segera
bisa dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang. ORIF biasanya
dilakukan pada fraktur femur, tibia, humerus, antebrakium. Cara yang terakhir
berupa eksisi fragmen patahan tulang dan menggancinya dengan proscesis,
misalnya yang dilakukan pada patah tulang kolum femur.

Komplikasi

18
Meskipun klavikula bagian proksimal terletak dekat dengan struktur vital,
kejadian pneumotoraks, ruptur pembuluh darah subklavia, dan cedera pleksus
brachialis jarang terjadi. Pada fraktur shaft yang mengalami pergeseran, non-
union terjadi pada 1- 15% kasus. Fraktur risiko meliputi usia yang bertambah tua,
besar pergeseran, komunitif fraktur, dan pasien perempuan, namun prediksi akurat
mengenai fraktur yang akan mengalami non-union sulit dikerjakan. Non-union
yang simptomatik diterapi dengan fiksasi plat dan graft tulang jika diperlukan.
Tindakan ini biasanya memuaskan dan memiliki tingkat union yang tinggi.
Fraktur klavikula 1/3 lateral mempunyai tingkat non-union yang tinggi (11,5-
40%). Pilihan terapi untuk non-union simptomatik adalah eksisi bagian lateral dari
klavikula (bila fragmen kecil dan ligamentum korakoklavikular intak) atau reduksi
terbuka, fiksasi interna dan graft tulang bila fragmen besar. Implan yang
digunakan adalah locking plates and hooked plates (Apley, A Graham & Solomon,
Louis. 2010).

2.2.2 Dislokasi
Definisi

Dislokasi sendi merupakan keadaan di mana tulang- tulang yang


membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis. Dislokasi ini dapat
terjadi pada komponen tulangnya saja yang bergeser atau seluruh komponen
tulang terlepas dari tempat yang seharusnya. Sendi bahu menjadi kasus dislokasi
yang paling sering terjadi dengan angka 45 % dari seluruh kasus dislokasi,
menyusul sendi panggul dan siku (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).

Klasifikasi
Klasifikasi dislokasi sendi berdasarkan penyebabnya adalah :
1. Dislokasi Kongenital : terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan, paling sering terlihat pada pinggul.
2. Dislokasi Spontan atau Patologik : akibat penyakit sendi dan atau
jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis
tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.

19
3. Dislokasi traumatik : kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan
saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat
anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan).
Klasifikasi dislokasi sendi berdasarkan tempat terjadi :
1. Dislokasi sendi rahang : dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena
menguap atau terlalu lebar serta terkena pukulan keras ketika rahang
sedang terbuka, akibatnya penderita tidak dapat menutup mulutnya.
2. Dislokasi sendi bahu : pergeseran kaput humerus dari sendi
gloenohumeral berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi
anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan dibawah glenoid
(dislokasi inferior).
3. Dislokasi sendi siku : cedera biasanya akibat terjatuh pada tangan
yang dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan
siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan –
tonjolan tulang siku.

4. Diskulokasi sendi jari : sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila
tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan menjadi kaku
kelak.sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau
punggung tangan.
5. Dislokasi sendi metacarpophalangeal dan interphalangeal : dislokasi

20
sendi ini disebabkan oleh hiperekstensi – ekstensi persendian.

6. Dislokasi sendi panggul : bergesernya caput femur dari sendi


panggul,berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior),
di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur
menembus acetabulum (dislokasi sentra).
7. Dislokasi sendi lutut : dislokasi ini terjadi apabila penderita mendapat
trauma dari depan dengan lutut dalam keadaan fleksi. Dislokasi ini
bersifat anterior, posterior, lateral, medial atau rotasi. Trauma juga
dapat menyebabkan dislokasi yang terjadi disertai dengan kerusakan
nervus peroneus dan arteri poplitea

Epidemiologi

Sampai saat ini, epidemiologi kasus dislokasi sendi bahu masih kurang
dipahami. Dalam sebuah studi di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kasus
dislokasi sendi bahu berupa 95% dislokasi anterior, 4% dislokasi posterior, 0,5%
dislokasi inferior, serta kurang dari 0,5% dislokasi superior. Dislokasi sendi bahu
sering ditemukan pada orang dewasa, jarang ditemukan pada anak-anak dimana
71,8% laki-laki yang mengalami dislokasi, 46,8% penderita berusia antara 15-29
tahun, 48,3% terjadi akibat trauma seperti pada kegiatan olahraga. Tingkat
dislokasi yang lebih tinggi terlihat pada perempuan yang berusia >60 tahun.
Penyebab tersering didapatkan 58,8% akibat jatuh. Kasus fraktur penyerta
komponen sendi 16% terjadi pada kasus dislokasi sendi bahu. Dislokasi sendi
umumnya jarang menyebabkan kematian, namun dapat menimbulkan penderitaan
fisik, stress mental, dan kehilangan banyak waktu. Oleh karena itu, pada kasus
dislokasi sendi akan meningkatkan angka morbiditas dibanding angka mortalitas.

Etiologi

Penyebab dislokasi sendi yang paling sering dialami adalah terjatuh. Cedera
olah raga biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki serta

21
olahraga yang beresiko jatuh, misalnya: terperosok akibat bermain ski, senam,
volley, basket, dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada
tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain
lain.Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga benturan keras pada
sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi, terjatuh dari
tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. Terjadinya ‘tear’
ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang

Patofisiologi

Cedera pada dislokasi sendi berbagai macam, seperti cedera saat trauma,
terjatuh dan cedera akibat olahraga dikarenakan beberapa hal seperti tidak
melakukan exercise sebelum olahraga memungkinkan terjadinya dislokasi,
dimana cedera olahraga menyebabkan terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi sehingga dapat merusak struktur sendi dan ligamen. Keadaan
selanjutnya terjadinya kompresi jaringan tulang yang terdorong ke depan sehingga
merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid teravulsi akibatnya tulang berpindah
dari posisi normal. Keadaan tersebut dikatakan sebagai dislokasi (Price, Sylvia.,
Wilson Lorraine. 2005).
Trauma kecelakaan karena kurang kehati-hatian dalam melakukan suatu
tindakan atau saat berkendara tidak menggunakan helm dan sabuk pengaman
memungkinkan terjadi dislokasi. Trauma kecelakaan dapat kompresi jaringan
tulang dari kesatuan sendi sehingga dapat merusak struktur sendi dan ligamen.
Keadaan selanjutnya terjadinya kompres jaringan tulang yang terdorong ke depan
sehingga merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi akibatnya
tulang berpindah dari posisi normal yang menyebabkan dislokasi (Price, Sylvia.,
Wilson Lorraine. 2005).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dislokasi sendi adalah nyeri akut yaitu nyeri yang sering
terdapat pada dislokasi sendi bahu, sendi siku, metakarpal phalangeal dan sendi

22
pangkal paha servikal, kemudian terjadi perubahan kontur sendi, perubahan
panjang ekstremitas, mengalami deformitas pada persendiaan, perubahan sumbu
tulang yang mengalami dislokasi, dan kehilangan mobilitas normal, serta terjadi
gangguan gerakan otot-otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut.
Pembengkakan dan kekakuan juga menjadi manifestasi klinis dari dislokasi sendi.

Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Dislokasi Sendi


Penatalaksanaan dislokasi sendi adalah dilakukan sebagai berikut :
1. Melakukan reposisi segera.
2. Memanipulasi secara hati – hati permukaan sendi yang diluruskan
kembali.
3. Tindakan pembedahan harus dilakukan bila terdapat tanda - tanda
gangguan neuromuskular yang berat atau jika tetap ada gangguan
vaskuler setelah reposisi tertutup berhasil dilakukan secara lembut.
Pembedahan terbuka mungkin diperlukan, khususnya kalau jaringan
lunak terjepit diantara permukaan sendi.
4. Persendian tersebut disangga dengan pemasangan gips. Misalnya pada
sendi pangkal paha untuk memberikan kesembuhan pada ligamentum
yang teregang.
5. Dislokasi reduksi yaitu dikembalikan ke tempat semula dengan
menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
6. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi atau
dikembalikan ke rongga sendi.
7. Sendi kemudian dimobilasasi dengan bidai, gips, atau traksi dan dijaga
agar tetap dalam posisi stabil, setelah reduksi dilakukan mobilisasi
halus 3- 4 kali sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran
sendi.

Komplikasi

23
Komplikasi dini yaitu fraktur disloksi, cedera pembuluh darah seperti arteri
aksilla dapat rusak. Cedera saraf antara lain saraf aksila dapat cedera, pasien tidak
dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati
rasa pada otot tesebut.

2.2.3 Sindroma Kompartemen


Definisi

Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi


peningkatan tekanan di dalam suatu rongga anatomis tubuh yang mempengaruhi
sirkulasi dan mengancam fungsi dan kelangsungan hidup jaringan di sekitarnya.
Sindrom kompartemen, suatu keadaan yang potensial menimbulkan kedaruratan,
adalah peningkatan tekanan interstisial dalam sebuah ruangan yang tertutup,
biasanya kompartemen oseofacial ekstremitas yang nonclompliant, misalnya
kompartemen lateral, anterior dan posterior dalam tungkai serta kompartemen
volar superficial dan dalam lengan serta pergelangan tangan. Peningkatan tekanan
dapat menyebabkan gangguan mikrovaskular dan nekrosis jaringan local
(Aprianto, Petrus. 2017).

Sindrom kompartemen merupakan masalah medis akut setelah


cedera pembedahan,di mana peningkatan tekanan (biasanya disebabkan oleh
peradangan)di dalam ruang tertutup (kompartemen fasia) di dalam tubuh
mengganggu suplaidarah atau lebih dikenal dengan sebutan kenaikan tekanan
intra-abdomen. Tanpa pembedahan yang cepat dan tepat, hal ini dapat
menyebabkan kerusakan saraf danotot kematian (Aprianto, Petrus. 2017).

Epidemiologi

Sebanyak 75% kasus kompartemen sindrom diawali fraktur pada 36%


kasus. Sebagian besar kasus sindrom kompartemen terjadi pada pria dewasa
berusia 30-35 tahun, antara lain karena massa otot pada pria usia tersebut lebih

24
besar daripada wanita seusianya (10:1) dan lebih besar daripada pria berusia di
atas 35 tahun (Aprianto, Petrus. 2017).

Etiologi

Penyebab sindrom kompartemen secara umum dibedakan menjadi dua: 1.


Peningkatan volume intra-kompartemen dengan luas ruang kompartemen tetap;
dapat disebabkan oleh fraktur yang menyebabkan robekan pembuluh darah,
sehingga darah mengisi ruang intra-kompartemen. Trauma langsung jaringan otot
yang menyebabkan pembengkakan. Luka bakar yang menyebabkan perpindahan
cairan ke ruang intrakompartemen. Penurunan luas ruang kompartemen dengan
volume intra-kompartemen yang tetap. Kompresi tungkai terlalu ketat saat
imobilisasi fraktur „ Luka bakar yang menyebabkan kekakuan/ konstriksi jaringan
ikat sehingga mengurangi ruang kompartemen (Aprianto, Petrus. 2017).

Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal


yang kemudian memicu timbullnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain
(Aprianto, Petrus. 2017) :
a. Penurunan Volume Kompartemen
Kondisi ini disebabkan oleh :
1) Penutupan defek fascia
2) Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
b. Peningkatan Tekanan Eksternal
1) Balutan yang terlalu ketat
2) Berbaring di atas lengan
3) Gips
c. Peningkatan Tekanan pada Struktur Komparteman
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain :
1) Pendarahan atau Trauma vaskuler
2) Peningkatan permeabilitas kapiler
3) Penggunaan otot yang berlebihan
4) Luka bakar

25
5) Operasi
6) Gigitan ular
7) Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah
cedera, dimana 45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di
anggota gerak bawah (Aprianto, Petrus. 2017).

Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P


yaitu (Aprianto, Petrus. 2017) :
a. Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena, ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang palin
g pentig. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan
keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau
memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang
pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
b. Pallor (pucat)
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
c. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
d. Parestesia (rasa kesemutan)
e. Paralysis
Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala
khas, antara lain :
1) Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga.
Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
2) Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat
15-30 menit. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

26
Patofisiologi

Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal


normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa
memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan
obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus
menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi (Price,
Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).
Pada titik ini, tidak ada yang masuk ke kapiler sehingga menyebabkan
kebocoran ke dalam kompartemen yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam
kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan
nyeri hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intra
kompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler
akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti,
Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi
iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel
komponen tersebut. Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada
kompartemen sindrom yaitu (Aprianto, Petrus. 2017) :
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
b. Theori of critical closing pressure.
c. Tipisnya dinding vena
Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan menambah
peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang
dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi
iskemia berulang. Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara
kontraksi yang terus ± menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah (Price,
Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).

Komplikasi

27
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera,
akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain :
a. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen
b. Kontraktur volkan, merupakan kesrusakan otot yang disebabkan oleh
terlambat penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya
trauma pada lengan bawah.
c. Trauma vascular
d. Gagal ginjal akut
e. Sepsis
f. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

Prognosis

Sindrom kompartemen dapat bersifat sangat destruktif. Prognosis baik dapat


dicapai dengan penanganan yang cepat dan apabila sindrom kompartemen dapat
dikenali sedini mungkin. Makin lambat ditangani, makin besar risiko kerusakan
permanen otot dan saraf (Aprianto, Petrus. 2017).

2.2.4 Osteomyelitis
Definisi

Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum


dan atau kortek tulang dapat berupa eksogen (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hemotogen (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Sedangkan menurut Bruce,
osteomyelitis adalah infeksi pada tulang yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Osteomyelitis biasanya merupakan infeksi bakteri, tetapi mikrobakterium dan
jamur juga dapat menyebabkan osteomyelitis jika mereka menginvasi tulang. Jadi
pengertian osteomyelitis yang paling mendasar adalah infeksi jaringan tulang
yang mencakup sumsum atau kortek tulang yang disebabkan oleh bakteri
piogenik. Osteomyelitis dapat timbul akut atau kronik. Bentuk akut dicirikan
dengan adanya awitan demam sistemik maupun manifestasi lokal yang berjalan

28
dengan cepat. Osteomyelitis kronik adalah akibat dari osteomyelitis akut yang
tidak ditangani dengan baik.

Etiologi

Penyebab paling sering adalah staphylococcus aerus (70% - 80%).


Organisme penyebab yang lain adalah salmonela streptococcus dan
pneumococcus. Luka tekanan, trauma jaringan lunak, nekrosis yang berhubungan
dengan keganasan dan terapi radiasi serta luka bakar dapat menyebabkan atau
memperparah proses infeksi tulang. Infeksi telinga dan sinus serta gigi yang
berdarah merupakan akibat dari osteomyelitis pada rahang bawah dan tulang
tengkorak. Faktur compound, prosedur operasi dan luka tusuk yang dapat melukai
tulang pokok sering menyebabkan traumatik osteomyelitis. Osteomyelitis sering
ditemukan pada orang yang lebih tua karena faktor penyebabnya berhubungan
dengan penuaan.

Manifestasi Klinis

Gejala umum akut seperti demam, toksemia, dehidrasi, pada tempat tulang
yang terkena panas dan nyeri, berdenyut karena nanah yang tertekan kemudian
terdapat tanda-tanda abses dengan pembengkakan.

Patofisiologi

Osteomyelitis paling sering disebabkan oleh staphylococcus aureus.


Organisme penyebab yang lain yaitu salmonella, streptococcus, dan
pneumococcus. Metafisis tulang terkena dan seluruh tulang mungkin terkena.
Tulang terinfeksi oleh bakteri melalui 3 jalur : hematogen, melalui infeksi di
dekatnya atau scara langsung selama pembedahan. Reaksi inflamasi awal
menyebabkan trombosis, iskemia dan nekrosis tulang. Pus mungkin menyebar ke
bawah ke dalam rongga medula atau menyebabkan abses superiosteal. Suquestra

29
tulang yang mati terbentuk. Pembentukan tulang baru dibawah perioteum yang
terangkan diatas dan disekitar jaringan granulasi, berlubang oleh sinus-sinus yang
memungkinkan pus keluar (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).

Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium
a. Peningkatan laju endap eritrosit
b. Lukosit dan LED meningkat
2. Rontgen

Menunjukkan pembengkakan jaringan lunak sampai dua minggu kemudian


tampak bintik-bintik dekalsifikasi pada batang tulang, yang kemudian dapat
meluas dan diikuti oleh tanda-tanda pembentukan involukrom

3. Scan tulang, biasanya sebelum rontgen


4. Biopsi tulang, mengidentifikasi organisme penyebab

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang di dapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang mengarahkan kepada diagnosis Fraktur Tertutup
Klavikula Dextra 1/3 Mid, Allman Group I dimana dalam penanganannya
diperlukan terai secara farmakologi dan non farmakologi yang dapat menunjang
kesembuhan pasien dalam rangka remoedelling tulang agar dapat mempercepat
kesembuhan pasien.

31
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A Graham & Solomon, Louis. 2010. Ortopedi dan Fraktur Sistem. Apley,
Ninth edition ISE. Jakarta: CRC Press

Aprianto, Petrus. 2017. Sindrom Kompartemen Akut Tungkai Bawah. CDK-253/


vol. 44 no. 6.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/769/525
(Diunduh pada tanggal 8 April 2021)

Blom A, Warwick D, Whitehouse MR, editors. Apley & Solomon’s System of


Orthopaedics and Trauma (10th edition). New York: CRC Press, 2018

Kowalak, dkk. 2014. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC

Legiran, dkk. Dislokasi Sendi Bahu: Epidemiologi Klinis dan Tinjauan Anatomi.
Subbagian Bedah Ortopedi, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin/Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya.
https://repository.unsri.ac.id/22926/1/LK_2015_Dislokasi_Sendi.pdf
(Diunduh pada tanggal 8 April 2021)

Maharta, Gede., dkk. Manajemen Fraktur pada Trauma Muskuloskeletal. Fakultas


Kedokteran Universitas Udayana. (Diunduh pada tanggal 8 April 2021)

Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005. Patofisiologi; Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Penerbit EGC. Edisi. 6

Rockwood and Green's. 2015. Fractures in Adults. Wolters Kluwer. Eight


Edition. Vol. 1

Sjamsuhidajat, de Jong. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah; Sistem Organ dan Tindak
Bedahnya (2). Penerbit EGC. Edisi 4. Vol. 3

Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014. Handbook of Fracture. Wolters Kluwer.


Fifth Edition.

32
LAPORAN
SMALL GROUP DISCUSSION LBM 2
BLOK SISTEM NAUROMUSKULOSKELETAL II
“KAKI KU NYERI”

OLEH :

Putu Shanti Ayudiana Budi

019.06.0082

Kelompok 12/ Kelas B

Tutor : dr. Eko Pranata, S.Ked

PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 2 yang berjudul “KAKI KU NYERI” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
(LBM) 2 yang berjudul “KAKI KU NYERI”meliputi seven jumps step yang
dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Eko Pranata, S.Ked sebagai dosen fasilitator SGD 12 yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan
SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 13 April 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4
1.1 Skenario ................................................................................................... 4

1.2 Data Kasus .............................................................................................. 5

1.3 Deskripsi Masalah .................................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 8


2.1 Pembahasan Brain Storming ..................................................................... 8

2.2 Pembahasan Diagnosis Banding ................................................................ 9

2.2.1 Osteomielitis ........................................................................................... 9

2.2.2 Septik Artritis........................................................................................ 16

2.2.3 Osteonekrosis ........................................................................................ 20

2.2.4 Selulitis ................................................................................................. 23

2.2.5 Tumor Tulang ....................................................................................... 26

2.2.6 Dislokasi ............................................................................................... 29

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 33


3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 33

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 34

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario

Sesi 1

Seorang anak laki- laki berusia 10 tahun dating ke IGD Rumah Sakit dengan
keluhan lutut kiri nyeri, bengkak, dan tidak dapat digerakkan. Pada anamnesis
diketahui nyeri tersebut dialami sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri dialami
sepanjang hari, terutama pada malam hari hingga pasien tersebut tidak dapat tidur
karena nyeri. Nyeri berkurang bila di istirahatkan dan nyeri memberat bila tungkai
di gerakkan. Keluhan disertai demam dan menggigil. Pada riwayat penyakit
sebelumnya, didapatkan bahwa 1 bulan yang lalu ia mengeluh nyeri di kedua
telinga nya disertai cairan di telinga kanan. Nafsu makan berkurang, riwayat
keluarga tidak pernah mengalami seperti ini. Riwayat trauma disangkal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign TD : 110/80 mmHg, nadi :


110x/ menit, temperature : 380C, RR : 22x/ menit. Pada pemeriksaan lokalis
didapatkan tanda- tanda edema dan kemerahan di tungkai kanan, hangat pada
perabaan. Oleh dokter jaga IGD dilakukan pemeriksaan penunjang dan
pengelolaan lebih lanjut agar komplikasi akibat penyakit tersebut dapat segera
teratasi.

Sesi 2

4
1.2 Data Kasus

Identitas Pasien

Nama :-

Umur : 10 tahun

Jenis Kelamin : laki- laki

5
Data Dasar

a. Data subyektif

Pada anamnesis didapatkan data yaitu pasien diketahui mengalami keluhan


nyeri, nyeri tersebut dialami sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri dialami sepanjang
hari, terutama pada malam hari hingga pasien tersebut tidak dapat tidur karena
nyeri. Nyeri berkurang bila di istirahatkan dan nyeri memberat bila tungkai di
gerakkan. Keluhan disertai demam dan menggigil. Pada riwayat penyakit
sebelumnya, didapatkan bahwa 1 bulan yang lalu ia mengeluh nyeri di kedua
telinga nya disertai cairan di telinga kanan. Nafsu makan berkurang, riwayat
keluarga tidak pernah mengalami seperti ini. Riwayat trauma disangkal

b. Data obyektif

Pada pemeriksaan fisik didapatkan sebagai berikut :

Tekanan darah : 110/ 70 mmHg


Nadi : 110x/ menit
Laju pernapasan : 22x/ menit
Suhu tubuh : 380 C

1.3 Deskripsi Masalah


1) Apa hubungan keluhan yang ada di skenario dengan keluarnya cairan pada
telinga pada pasien ?
2) Jelaskan interpretasi dari pemeriksaan fisik pada scenario !
3) Mengapa pasien bisa mengalami keluhan telinga yang keluar cairan ?
4) Mengapa pasien mengalami nyeri yang terutama dirasakan pada malam
hari ?
5) Apakah ada hubungannya antara usia dengan keluhan yang ada pada
skenario ?

6
6) Apa saja DD pada scenario ?
7) Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berdasarkan pada skenario ?
8) Apa hubungan antara demam dan menggigil yang dialami oleh pasien
dengan keluhan lainnya ?

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pembahasan Brain Storming


Pada skenario diketahui bahwa seorang laki- laki berumur 10 tahun dating
ke IGD Rumah Sakit dengan keluhan lutut kiri nyeri, bengkak, dan tidak dapat
digerakkan. Keluhan nyeri pada pasien dirasakan karena adanya sinyal dari
reseptor sensoris dan motorik yang mengirimkan sinyal secara local dimana ketika
terjadi suatu kerusakan atau rupture jaringan ikat bawah kulit maka pasien akan
mengalami nyeri. Lutut bengkak dan tidak dapat digerakkan diduga terjadi karena
adanya deformitas atau gangguan mobilitas yang biasanya diawali dengan
terjadinya barotrauma yang kemudian membuat terjadinya kerusakan integritas
struktur tulang, perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali
otot, penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan
perkembangan, kekakuan sendi, kontraktur, malnutrisi, dan inflamasi.

Pada anamnesis diketahui nyeri tersebut dialami sejak 1 minggu yang lalu.
Nyeri dialami sepanjang hari, terutama pada malam hari hingga pasien tersebut
tidak dapat tidur karena nyeri. Nyeri berkurang bila di istirahatkan dan nyeri
memberat bila tungkai di gerakkan. Keluhan disertai demam dan menggigil.
Pasien mengalami demam menandakan bahwa adanya respon tubuh berupa
kompensasi tubuh terhadap benda atau partikel yang masuk baik itu
mikrobakterium ataupun virus. Sehingga ketika mikobakterium masuk ke dalam
tubuh maka akan membentuk suatu biofilm sehingga menimbulkan adanya
inflamasi.

Pada riwayat penyakit sebelumnya, didapatkan bahwa 1 bulan yang lalu ia


mengeluh nyeri di kedua telinga nya disertai cairan di telinga kanan. Nafsu makan
berkurang, riwayat keluarga tidak pernah mengalami seperti ini. Riwayat trauma
disangkal. Keluarnya cairan dari kedua telinga pada pasien diduga merupakan
manifestasi klinis dari osteomielitis karena pada penderita osteomilitis memiliki
cirri tersebut dimana menuurut analisis kelompok kami hal itu disebabkan karena
infeksi atau inflamasi yang disebabkan karena koloni bakteri tersebut.

8
Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign TD : 110/80 mmHg, nadi :
110x/ menit, temperature : 380C, RR : 22x/ menit. Pada pemeriksaan lokalis
didapatkan tanda- tanda edema dan kemerahan di tungkai kanan, hangat pada
perabaan. Oleh dokter jaga IGD dilakukan pemeriksaan penunjang dan
pengelolaan lebih lanjut agar komplikasi akibat penyakit tersebut dapat segera
teratasi. Pada pemeriksaan tanda vital terlihat bahwa suhu tubuh pasien meningkat
karena pasien mengalami demam. Tanda edema, kemerahan dan hangat
merupakan kualifikasi dari adanya permasalahan pada tulang baik itu
diskontinuitas ataupun disfungsi.

Pada hasil pemeriksaan penunjang dalam pemeriksaan darah lengkap


ditemukan peningkatan dari leukosit beserta sel batang dan segmennya. Hal itu
menandakan memang betul nyari serta keluhan pada scenario tersebut muncul
karena masuknya mikobakterium yang menginfeksi secara local sehingga pasien
mengalami nyeri, bengkak dan gangguan mobilitas. Pada pemeriksaan radiologi
ditemukan tanda adanya pus pada bagian proksimal tepatnya di daerah metafisis
dari os tibia beserta pengurangan tingkat densitas tulang yang dimana hal tersebut
merupakan tanda dari adanya osteomilitis, pada pasien onset dari keluhan 1
minggu sehingga menandakan bahwa ini jenis akut yang di dukung juga dengan
hasil rontgen dimana tanda yang muncul belum keliatan secara jelas dimana
skuestrum juga belum terlihat jelas. Oleh karena itu kelompok kami mendiagnosis
keluhan yang dialami oleh pasien adalah Osteomielitis Hematogen Akut yang
sudah sesuai dengan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang serta manifestasi klinis yang muncul pada pasien.

2.2 Pembahasan Diagnosis Banding

2.2.1 Osteomielitis
Definisi

Proses inflamasi akut atau kronis pada tulang dan struktur sekundernya
akibat infeksi oleh bakteri piogenik. Osteomielitis adalah infeksi pada tulang.
Berasal dari kata osteon (tulang) dan myelo (sum-sum tulang) dan dikombinasi

9
dengan itis (inflamasi) untuk menggambarkan kondisi klinis dimana tulang
terinfeksi oleh mikroorganisme (Kowalak, dkk. 2014).

Epidemiologi

Data Osteomielitis pasca–trauma terjadi sebanyak 47% osteomielitis dalam


beberapa kasus. Osteomielitis hematogenous utamanya merupakan penyakit pada
anak–anak, dengan 85% kasus terjadi pada pasien yang lebih muda dari 17 tahun,
dan hal ini menyumbang sekitar 20% dari kasus osteomielitis secara keseluruhan.
Sekitar 20% kasus pada pasien osteomielitis dewasa adalah hematogenous, yang
lebih sering terjadi pada laki–laki untuk alasan yang tidak diketahui. Selama 41
tahun di Amerika dari 1969 sampai 2009 ditemukan 760 kasus baru osteomielitis
dengan 59% merupakan kasus osteomielitis yang di diagnosis dengan minimal
dua kali kultur tulang disertai adanya pertumbuhan mikrobial yang sama atau satu
kultur tulang positif yang disertai kombinasi penemuan purulen dengan operasi,
inflamasi akut pada pemeriksaan histologi dengan infeksi yang konsisten, atau
adanya jalur sinus yang menghubungkan tulang (Kowalak, dkk. 2014)..

Etiologi

Penyebab paling sering adalah staphylococcus aerus (70% - 80%).


Organisme penyebab yang lain adalah salmonela streptococcus dan
pneumococcus. Luka tekanan, trauma jaringan lunak, nekrosis yang berhubungan
dengan keganasan dan terapi radiasi serta luka bakar dapat menyebabkan atau
memperparah proses infeksi tulang. Infeksi telinga dan sinus serta gigi yang
berdarah merupakan akibat dari osteomyelitis pada rahang bawah dan tulang
tengkorak. Faktur compound, prosedur operasi dan luka tusuk yang dapat melukai
tulang pokok sering menyebabkan traumatik osteomyelitis. Osteomyelitis sering
ditemukan pada orang yang lebih tua karena faktor penyebabnya berhubungan
dengan penuaan (Kowalak, dkk. 2014).

10
Patogenesis dan Patofisiologi

Infeksi yang terjadi pada tulang berbeda dengan infeksi jaringan lunak
mengingat tulang terdiri atas kompartemen yang keras. Hal ini menjadikan tulang
lebih rentan terhadap kerusakan vaskular dan kematian sel karena peningkatan
tekanan intrakompartemen pada fase inflamasi akut. Apabila infeksi tidak segera
ditangani dan tekanan intrakompartemen tidak diturunkan, maka dapat terjadi
nekrosis struktur tulang. Terdapat beberapa cara bagi mikroorganisme untuk
mencapai jaringan muskuloskeletal, yaitu (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005):

1. kontak langsung melalui Iuka terbuka (tusukan, injeksi, laserasi,


fraktur terbuka, a tau operasi).
2. penyebaran langsung dari fokus infeksi yang berdekatan, hingga
3. penyebaran tidak langsung melalui aliran darah dari tempat atau
sistem organ lain yang jauh.

11
Infeksi dapat mengakibatkan osteomielitis piogenik. artritis septik, reaksi
granulomatosa kronis (manifestasi klasik berupa tuberkulosis tulang atau sendi).
atau respons indolen terhadap organisme tertentu (misal infeksijamur), tergantung
dari tipe bakteri yang menyerang, tempat infeksi. dan respon tubuh. Infeksi
jaringan lunak yang terjadi dapat berupa sepsis akibat Iuka superfisial sampai
selulitis nekrotikans yang mengancam nyawa. Kerentanan terhadap infeksi
meningkat dengan adanya faktor lokal berupa trauma. jaringan parut. sirkulasi
yang buruk, berkurangnya kepekaan sensorik. penyakit kronis tulang atau sendi
dan adanya korpus alienum, kemudian kedua yaitu faktor sistemik seperti
malnutrisi, diabetes, gangguan vaskuler, penyakit reumatik. konsumsi steroid dan
jenis imunosupresan, serta usia (terlalu muda atau terlalu tua (Kowalak, dkk.
2014)..

Klasifikasi

Terdapat beberapa macam osteomielitis. di antaranya: acute hematogenous


osteomie/itis, subacute hematogenous osteomielitis. post-traumatic osteomielitis.
chronic osteomielitis, Garre 's sclerosing osteomie/itis. multifocal non-suppurative
osteomielitis/ chronic recurrent mu/tifoca/ osteomie/itis (Kowalak, dkk. 2014)..

Osteomielitis banyak terjadi pada anak-anak, dengan perbandingan laki-


laki: perempuan = 3: 1 karena sistem imun anak-anak yang belum sebaik orang
dewasa. Dapat terjadi pada orang dewasa dengan penurunan kekebalan seperti
pada penderita AIDS atau diabetes melitus. Predileksi terutama pada tulangtulang
panjang (femur. tibia. humerus, radius. ulna, dan fibula). Regio tulang yang paling
sering terkena adalah metafisis. Pada bayi. infeksi dapat terjadi pada epifisis
karena adanya arteri nutricium yang mempenetrasi regio fisis. Pada orang dewasa.
fisis berperan sebagai barrier, sehingga infeksi terjadi pada metafisis sehingga
tidak menyebar langsung ke sendi. Etiologi Staphylococcus aureus Streptococcus
pyogenes Streptococcus pneumonia Haemophilus influenza Kingella kingae
Pseudomonas aeruginosa (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).

12
Patofisiologi

Acute hematogenous osteomie/itis menunjukkan progresi yang khas


ditandai dengan inflamasi. supurasi. nekrosis tulang. pembentukan tulang reaktif
baru. dan resolusi serta penyembuhan atau bisa juga menjadi kronis. Gambaran
klinis pada kondisi ini sangat bervariasi. tergantung pada usia pasien. tepat
infeksi. virulensi organisme. dan respon pejamu. Literatur menyebutkan bahwa
pada anak-anak. gambaran klasik terlihat pada usia 2-6 tahun. Pada awalnya,
terjadi fokus infeksi dengan hiperemi dan edema pada tulang panjang. Terjadi
reaksi inflamasi akut dengan kongesti vaskular. eksudasi cairan, dan infiltrasi oleh
sel-sel PMN (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005). Keadaan ini berpotensi
menyebabkan peningkatan tekanan intraoseus. Berhubung jaringan tulang tidak
cukup lunak untuk mengompensasi peningkatan tekanan ini, terjadi nyeri yang
berat dan menetap disertai obstruksi aliran darah serta trombosis intravaskular.
Meskipun masih stadium awal. kombinasi aktivitas fagositik, akumulasi lokal
sitokin, faktor pertumbuhan. prostaglandin, dan enzim bakteri mengancam
terjadinya iskemik dan resorpsi pada tulang. Pada akhirnya. akan terjadi nekrosis
(Kowalak, dkk. 2014).

Manifestasi Klinis

Gejala umum akut seperti demam, toksemia, dehidrasi, pada tempat tulang
yang terkena panas dan nyeri, berdenyut karena nanah yang tertekan kemudian

13
terdapat tanda-tanda abses dengan pembengkakan. Nyeri konstan dan berat pada
dekat ujung tulang yang terlibat. Gejala lain terkait septikemia, seperti malaise,
anoreksia, dan demam (dalam 24 jam). Kedua hal terse but harus menjadi dasar
diagnosis klinis acute hematogenous osteomielitis hingga terbukti sebaliknya.
Adanya riwayat trauma atau infeksi saluran pernapasan atas pada anak
memperkuat diagnosis osteomielitis (Kowalak, dkk. 2014)..

Diagnosis

Tanda kardinal acute hematogenous osteomielitis pada anak meliputi nyeri,


demam, menolak untuk menahan beban, dan menggerakan bagian tubuh yang
terlibat, serta tidak mau disentuh pada bagian yang nyeri. Terkadang ditemukan
limfadenopati. Pada dewasa, predileksi tersering adalah vertebra torakolumbar,
kadang sering disertai riwayat prosedur urologi yang diikuti dengan demam dan
sakit punggung. Tulang lain jarang terlibat, kecuali jika terdapat diabetes,
malnutrisi, adiksi obat, leukemia, terapi imunosupresan. Pada geriatri atau
defisiensi imun, gambaran sistemik ringan dan diagnosis ini sering terlewatkan
(Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan CRP yang meningkat dalam


12-24 jam dan LED yang meningkat dalam 24-48 jam setelah awitan gejala.
Hitung leukosit meningkat dan hemoglobin dapat menurun. Namun, pada bayi
dan geriatri. tes ini kurang andal (reliable). Pada Roentgen yang diambil dalam
minggu pertama, tidak tampak infeksi tulang walaupun progresi telah terjadi,
setelah minggu pertama barulah destruksi tulang pada metafisis dan tanda pertama
pembentukan tulang reaktif. Sementara bone-scan atau scintigrafi memiliki nilai
lebih untuk diagnosis pada minggu pertama awitan infeksi. Pada MRI,
osteomielitis dapat menunjukkan adanya dark focus pada Tl -weighted image atau
bright signal pada T2- weighted image. Dengan USG, pembengkakan jaringan

14
lunak pertama terlihat pada hari-hari pertama awitan infeksi. Untuk memastikan
diagnosis klinis dapat dipakai pemeriksaan histologi dengan cara aspirasi pus atau
cairan dari abses subperiosteal. soft tissue ekstraosseus atau sendi terdekat.
dengan menggunakan jarum trokar 16-18 G. Apabila tidak ada pus. apusan aspirat
dapat diperiksa dengan pewarnaan Gram sehingga dapat membantu
mengidentifikasi tipe infeksi dan membantu pemilihan antibiotik. Aspirasi
jaringan hanya memberikan hasil positif pada 60% kasus. sementara kultur darah
positif pada kurang dari 50% kasus (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).

Tata Laksana

Prinsip tata laksana meliputi :

1. Mengistirahatkan bagian yang terinfeksi,


2. Pemberian antibiotik spektrum luas,
3. Mengurangi nyeri dan sebagai tata laksana suportif,
4. Mengidentifikasi organisme yang menginfeksi,
5. Mengeluarkan pus secepat dan sebersih mungkin serta mengurangi
tekanan intraosseus,
6. Stabilisasi tulang apabila terjadi fraktur,
7. Mengeradikasi jaringan avaskular dan nekrotik serta mengembalikan
kontinuitas apabila terjadi gap pada tulang, dan
8. Mempertahankan jaringan lunak dan kulit. Pada infeksi akut, apabila
ditangani dengan antibiotik efektif dan secara dini, penyakit ini biasanya
dapat diobati. Namun, apabila terjadi pus dan nekrosis tulang, maka
dibutuhkan tindakan drainase operatif.

Prognosis

Rentangan kesuksesan terapi osteomyelitis antara 60-90%, yang ditentukan


oleh keberhasilan debridement dan kemungkinan insufisiensi vaskular pada
tempat infeksi. Dengan pengobatan dini yang agresif, prognosis osteomielitis akut

15
umumnya baik. Namun, ada kemungkinan infeksi dapat kambuh bertahun-tahun
setelah pasien sembuh, jika ada trauma baru di daerah yang sama atau jika
imunitas tubuh pasien terganggu. Pada orang dewasa, tingkat kekambuhan
osteomielitis kronis adalah sekitar 30% dalam waktu 12 bulan, bahkan pada kasus
yang melibatkan P. aeruginosa tingkat kekambuhan dapat meningkat hingga
50%.

Komplikasi

Infeksi osteomyelitis dapat menjalar ke bagian kortek tulang dan


periosteum, sehingga terjadi penurunan suplai darah ke periosteum dan
menyebabkan nekrosis tulang. Celah di antara nekrosis tulang dapat mengandung
pus dan tulang baru/involucrum akan tumbuh pada periosteum yang terluka ini,
sehingga dapat terjadi kontraktur fleksi di atas atau di bawah area infeksi.
Beberapa komplikasi lain yang dapat terjadi apabila terapi osteomyelitis tidak
adekuat adalah artritis septic, patah tulang patologis, karsinoma sel epithelium,
pembentukan saluran sinus, abses, kelainan bentuk tulang, infeksi sistemik,
amiloidosis (jarang) serta infeksi jaringan lunak di area yang berdekatan.

2.2.2 Septik Artritis


Definisi

16
Artritis septik karena infeksi bakterial merupakan penyakit yang serius yang
cepat merusak kartilago hyalin artikular dan kehilangan fungsi sendi yang
ireversibe.

Epidemiologi

Insiden septik artritis pada populasi umum bervariasi 2-10 kasus per
100.000 orang per tahun. Insiden ini meningkat pada penderita dengan
peningkatan risiko seperti artritis rheumatoid 28-38 kasus per 100.000 per tahun,
penderita dengan prostes sendi 40-68 kasus/100.000/tahun. Puncak insiden pada
kelompok umur adalah anak-anak usia kurang dari 5 tahun (5 per 100.000/tahun)
dan dewasa usia lebih dari 64 tahun (8,4 kasus/100.000 penduduk/tahun
Kebanyakan artritis septik terjadi pada satu sendi, sedangkan keterlibatan
poliartikular terjadi 10-15% kasus. Sendi lutut merupakan sendi yang paling
sering terkena sekitar 48-56%, diikuti oleh sendi panggul 16- 21%, dan
pergelangan kaki 8%.

Etiologi

Kuman penyebab yang paling banyak adalah Staphylococcus aureus


disusul oleh Streptococcus pneumonia, Streptococcus pyogenes merupakan
kuman yang sering ditemukan dan sering pada penderita penyakit autoimun,
infeksi kulit sistemik, dan trauma. Pasien dengan riwayat intra venous drug abuse
(IVDA), usia ekstrim, imunokompromis sering terinfeksi oleh basil gram
negatif yang sering adalah Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia coli.
Kuman anaerob dapat juga sebagai penyebab hanya dalam jumlah kecil yang
biasanya didapatkan pada pasien DM dan pemakaian prostesis sendi (Price,
Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).

Klasifikasi

a. Artritis Septik Akut

17
Artritis septik akut merupakan peradangan sendi akibat invasi bakteri
piogenik ke dalam sinovial yang menimbulkan infilcrasi sel radang dan efusi
purulen sehingga membuat cairan sendi menjadi kental clan menggumpal. Bila
tidak segera diobati, keadaan ini akan merusak kondrosit, kolagen, dan kartilago
sendi. Cara masuk kuman ke dalam sendi dapat secara langsung akibat trauma,
pembedahan, suntikan intraartikuler, atau secara ridak langsung melalui infeksi
hematogen. Insidens artritis septik akut paralel dengan osteomielitis akut
hematogen yang keduanya memang berkaitan. Biasanya artritis septik akut
mengenai anak yang sedang rumbuh tapi juga dapat mengenai orang dewasa
penderita diabetes melitus, anemia sel sabit, pengguna heroin, AIDS, atau mereka
yang celah menjalani splenektomi. Sendi yang biasanya terkena yaitu sendi
panggul, siku, lutut, bahu, dan pergelangan kaki. Gambaran klinis yang dmbul
pada artritis septic akut antara lain, bayi yang iritabel, demam, hambatan gerak
sendi karena nyeri, kadang dapat teraba fluktuasi akibat bertambahnya cairan
sendi. Pada pasien bayi jangan lupa uncuk memeriksa adanya infeksi di daerah
umbilicus (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).

Pemeriksaan radiologi pada minggu pertama hanya menunjukkan


pembengkakan jaringan lunak, sedangkan pada minggu kedua baru terlihat
pelebaran ruang sendi yang nyata akibat efusi cairan sendi. Kadang ruang sendi
dapat sangat melebar jika telah terjadi subluksasio sendi akibat lemahnya
kartilago sendi dan melebarnya ruang sendi. Pada keadaan lanjut, permukaan
sendi tampak ireguler dan sela sendi justru menyempit. Diagnosis dini diperlukan
untuk segera rnulai terapi agar tidak terjadi kerusakan tulang rawan dan nekrosis
kaput yang dapat menimbulkan ankilosis permanen pada sendi. Ankilosis ini
umumnya tidak dapat dikoreksi. Pada saat diagnosis klinis ditegakkan, harus
dilakukan pungsi cairan sendi untuk mengurangi tekanan ruang sendi clan untuk
pemeriksaan kultur Tujuan pengobatan artritis septik akut adalah membasmi
infeksi, membuat agar sendi yang diserang dapat berfungsi lagi, dan mencegah
kecacatan. Selain pemberian antibiotik dan analgesik, dilakukan juga artrotomi
untuk debridemen clan inemasang pipa salir. Sendi diistirahatkan dengan bidai
dalam posisi anatomis.

18
Manifestasi Klinis

Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak, malaise, nyeri
lokal pada sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi, dan penurunan
kemampuan ruang lingkup gerak sendi. Sejumlah pasien hanya mengeluh demam
ringan saja. Demam dilaporkan 60-80% kasus, biasanya demam ringan, dan
demam tinggi terjadi pada 30-40% kasus sampai lebih dari 390C. Nyeri pada
artritis septik khasnya adalah nyeri berat dan terjadi saat istirahat maupun
dengan gerakan aktif maupun pasif (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).

Diagnosis (Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang)

Evaluasi awal meliputi anamnesis yang detail mencakup factor


predisposisi, mencari sumber bakterimia yang transien atau menetap (infeksi
kulit, pneumonia, infeksi saluran kemih, adanya tindakan- tindakan invasiv,
pemakai obat suntik, dll), mengidentifikasi adanya penyakit sistemik yang
mengenai sendi atau adanya trauma sendi (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).
Pada pemeriksaan fisik sendi ditemukan tanda- tanda eritema,
pembengkakan (90% kasus), hangat, dan nyeri tekan yang merupakan tanda
penting untuk mendiaganosis infeksi. Efusi biasanya sangat jelas/banyak, dan
berhubungan dengan keterbatasan ruang lingkup gerak sendi baik aktif
maupun pasif. Tetapi tanda ini menjadi kurang jelas bila infeksi mengenai
sendi tulang belakang, panggul, dan sendi bahu (Themi Protopsaltis, MD. et al.
2014).
Pada pemeriksaan radiologi pada hari pertama biasanya menunjukkan
gambaran normal atau adanya kelainan sendi yang mendasari. Penemuan awal
berupa pembengkakan kapsul sendi dan jaringan lunak sendi yang terkena,
pergeseran bantalan lemak, dan pelebaran ruang sendi. Osteoporosis
periartikular terjadi pada minggu pertama artritis septik. Dalam 7 sampai 14 hari,
penyempitan ruang sendi difus dan erosi karena destruksi kartilago. Pada stadium
lanjut yang tidak mendapatkan terapi adekuat, gambaran radiologi nampak

19
destruksi sendi, osteomyelitis, ankilosis, kalsifikasi jaringan periartikular, atau
hilangnya tulang subkondral diikuti dengan sklerosis reaktif. Pemeriksaan lain
yang digunakan pada arthritis septik dimana sendi sulit dievaluasi secara klinik
atau untuk menentukan luasnya tulang dan jaringan mengalami infeksi yaitu
mengunakan CT, MRI , atau radio nuklead (Themi Protopsaltis, MD. et al.
2014).

2.2.3 Osteonekrosis
Definisi

Avascular Bone Necrosis (AVN), atau yang juga dikenal dengan


osteonekrosis, nekrosis aseptik dari tulang, nekrosis iskemia tulang, dan
osteochondritis desiccans, adalah kondisi yang menyebabkan angka morbiditas
yang signifikan serta penurunan fungsi sehari-hari dari pasien. AVN melibatkan
kerusakan yang progresif dari tulang akibat dari gangguan pembuluh darah tulang,
kematian osteosit dan sel lemak dan perubahan dari arsitektur tulang.
Osteonekrosis (ON) adalah proses kematian pada tulang yang juga menyebabkan
gangguan dari suplai pembuluh darah tulang (Kowalak, dkk. 2014).

Etiologi

Faktor yang menjadi predisposisi dari Osteonekrosis kaput femur termasuk


diantaranya trauma panggul, fraktur kolum femur dan acetabulum, dislokasi
panggul, kontusio dan terkilir (bukan fraktur namun terkadang menyebabkan
intraartikular hematoma), penggunaan glukokortikoid jangka panjang dan dosis
tinggi, penggunaan alkohol jangka panjang, trombofilia, hipofibrinolisis, serta
penyakit autoimun yang mendapat terapi steroid (Price, Sylvia., Wilson Lorraine.
2005).

Patofisiologi

20
Suplai darah dari kaput femur secara primer berasal dari cincin basiservikal
ekstrakapsuler artikuler dan cabang ke atas dari arteri medial femoralis
sirkumfleks, begitu pula kontribusi sekunder yang berasal dari inferior dan
superior arteri gluteal dan arteri ligamentum teres. Interupsi dari suplai darah
dapat terjadi secara multifaktorial, baik ekstravaskuler atau intravaskuler.
Gangguan ekstravaskuler biasanya terjadi akibat dari kasus trauma. Fraktur
proksimal femur yang terjadi pada pergeseran kolum femur mempengaruhi cicin
arteri basiservikal, sedangkan dislokasi panggul dapan mengganggu ligamentum
teres dan menyebabkan hematoma intrakapsuler, sehingga integritas dari cincin
ekstrakapsuler menjadi faktor yang penting untuk ketahanan dari kaput femur
(Kowalak, dkk. 2014).

Secara umum, osteonekrosis dari kaput femur terjadi melalui suatu alur
umum dimana terjadi penurunan aliran darah ke kaput femur yang mengarah pada
iskemia dan kematian. Alur tambahan yang menyertai dari alur utama sifatnya
bervariasi. Oklusi vaskuler dapat disebabkan trombus lokal, emboli lemak,
gelembung nitrogen, atau bentuk sel darah merah yang abnormal. Ekstravasasi
pembuluh darah akibat lemak atau elemen seluler pada rongga sumsum tulang
dapa menekan arteri dan vena. Pembuluh darah pada kaput femur dapat
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh vaskulitis, radiasi, atau bahan kimia
yang toksik. Sel tulang dapat tetap hidup apabila teradapat sirkulasi kolateral yang
cukup (Kowalak, dkk. 2014).

Setelah terjadi infark serta gangguan suplai oksigen dan nutrisi, osteosit dan
sel sumsum tulang mengalami kematian dengan pengecualian apabila mereka
dapat menerima suplai darah dari sirkulasi kolateral. Sirkulasi kolateral yang
menyuplai epifisis bersifat sangat terbatas, pengalihan fungsi kapiler menjadi
arteri kemungkinan tidak dapat memulihkan kekurangan aliran darah ke jaringan.
Selain gangguan pada vaskuler dan kematian sel, defek pada perbaikan tulang
juga merupakan komponen kunci terjadinya osteonekrosis (Kowalak, dkk. 2014).

Patofisiologi osteonekrosis pada kasus trauma lebih dimengerti, disebabkan


oleh perfusi darah ke kaput femur sangat terganggu. Contohnya pada pasien
dengan fraktur subkapital, pembuluh darah pada kaput femur sangat bergantung

21
pada perfusi yang berasal dari ligamentum teres yang normalnya hanya
menyediakan suplai darah sebesar 10-20% ke kaput femur. Pada pasien dengan
dislokasi panggul, suplai darah dari ligamentum teres terganggu dan perfusi dari
kaput femur bergantung pada keparahan kerusakan dari pembuluh retinakular di
sekitar kaput femur yang mengalami dislokasi serta tekanan dari hematoma
intrakapsuler (Kowalak, dkk. 2014).

Tidak terdapat bukti kerusakan secara histologis hingga 24 sampai 72 jam


setelah terjadinya gangguan pada vaskuler. Pada pemeriksaan sumsum tulang
ditemukan nekrosis pada sel hemtopoetik, sel endotelial, dan liposit. Osteosit
mengalami atrofi dan mati, serta terjadi peningkatan jumlah dari lakuna yang
kososng. Kematian sel kemudian diikuti dengan inisiasi dari proses penyembuhan.
Kaskade inflamasi diinisiasi oleh jaringan hidup yang berdekatan, kemudian
menyebabkan pertumbuhan dari serat vaskuler pada sekitar sel-sel yang mati
(Kowalak, dkk. 2014).

22
Nontraumatik osteonekrosis (ON) dari kaput femur masih menimbulkan
tantangan yang signifikan terhadap ahli bedah orthopaedi dan merupakan penyakit
yang dapat menyebabkan kolaps kaput femur menyeluruh pada 80% pasien yang
tidak mendapatkan penanganan yang baik. Kondisi non-traumatik yang sering
dihubungkan dengan ON berjumlah banyak, beberapa diantaranya adalah
penggunaan kortikosteroid, penyalahgunaan alcohol, SLE, hemoglobinopati
termasuk anemia sel sabit, penyakit Legg-Calve Perthes, dan paparan terhadap
radiasi atau bahan sitotoksik. Mekanisme patogenesis yang terjadi akan
menyebabkan gangguan pada sirkulasi dan penyebabnya bersifat multifaktorial.
Gangguan mekanikal pembuluh darah, oklusi thrombosis intravaskuler, dan
kompresi ekstraseluler adalah tiga penyebab yang paling dapat diterima secara
umum sebagai mekanisme terjadinya ON (Kowalak, dkk. 2014).

Diagnosis (Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang)

Gejala tipkal dari pasien osteonekrosis adalah nyeri yang biasanya memiliki
onset yang berbahaya dan dipicu oleh aktivitas dan angkat beban. Radiografi
konvensional merupakan salah satu investigasi lini pertama yang mudah dan tidak
mahal dalam diagnosis osteonekrosis, namun radiograf biasa tidak sensitif untuk
mendeteksi lesi osteonekrosis pada tahap awal. Nyeri awal tidak jelas dalam
perjalanannya, biasanya disadari saat pasien duduk ke posisi berdiri, menaiki
tangga, berjalan miring, dan menahan beban. Nilai dari laboratorium seperti
activated partial thromboplastin time (aPTT) dan prohtombin time (PT) biasanya
dalam tingkat normal, meskipun pemeriksaan lebih lanjut dari etiologi akan
memberikan gambaran koagulopati atau penyakit inflamasi sendi seperti SLE.
MRI telah menjadi pemeriksaan radiologis yang menjadi pilihan secara modalitas,
karena sensitifitas dan spesifitas terhadap osteonekrosis (Themi Protopsaltis, MD.
et al. 2014).

2.2.4 Selulitis
Definisi

23
Selulitis adalah infeksi pada kulit yang meliputi dermis dan jaringan
subkutan dengan karakteristik klinis berupa gejala akut, eritema, nyeri,
edematosa, inflamasi supuratif pada kulit, jaringan lemak subkutan, atau otot dan
sering disertai gejala sistemik berupa malaise, demam, menggigil, dan nyeri lokal.
Penyebab tersering dari selulitis adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus
grup A. Faktor risiko terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan kulit),
luka terbuka di kulit, atau gangguan pada pembuluh vena maupun pembuluh
limfe. Selulitis paling sering mengenai ekstremitas bawah. Faktor risiko yang
mengakibatkan terjadinya selulitis adalah trauma (laserasi, luka bakar, abrasi, luka
remuk, fraktur terbuka), penggunaan obat-obatan intravena, gigitan binatang atau
manusia, riwayat infeksi selulitis oleh Streptococcus, tinea pedis, masektomi
radikal dengan diseksi kelenjar limfe aksilaris, graft yang diambil dari vena
Saphena magna (Kowalak, dkk. 2014).

Etiologi

Selulitis disebabkan oleh organisme yang beragam, paling sering


disebabkan oleh Streptococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Organisme
penyebab selulitis yang lain seperti golongan batang Gram negatif dan bersifat
aerob (Enterobacteriaceae, Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter), golongan
anaerob (Bacteroides, Peptococcus), H. influenza, Pneumococcus, E.colli,
Aeromonas hydrophila, Erysipelothrix rhusio-pathiae, Vibro vulnificus.

Manifestasi Klinis

Gejala klinis selulitis berupa eritema dengan batas yang tidak tegas dan
cepat meluas, nyeri, edema atau bengkak yang teraba hangat dan kencang (jarang
namun bisa terjadi fluktuasi). Pada beberapa kasus selulitis dapat terjadi
pembentukan bula ataupun nekrosis pada jaringan epidermis, menyebabkan erosi
superfisial pada epidermis dan tampak sloughing. Gejala sistemik seperti demam,
menggigil dan malaise bervariasi. Hanya sekitar 66% ditemukan port d’entre

24
infeksi. Erisipelas juga merupakan bagian dari infeksi kulit dan jaringan lunak,
walaupun banyak mempunyai kesamaan klinis dengan selulitis namun
mempunyai gambaran eritema yang berbatas tegas dengan warna merah terang
yang klasik dengan permukaan menyerupai gambaran peau d’orange. Hal ini
disebabkan keterlibatan jaringan yang lebih superfisial dan batas antara kulit
normal dan sakit yang lebih jelas.

Diagnosis (Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang)

Diagnosis selulitis di dapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi kemungkinan patogen
penyebab infeksi. Hasil kultur mikroorganisme ini berguna dalam terapi antibiotik
yang tepat sehingga mencegah kejadian resistensi antibiotik. Namun sedikit hasil
kultur yang positif pada pasien selulitis non-purulen. Perkembangan infeksi yang
meluas dengan cepat, timbulnya bula dan perubahan warna menjadi ungu
kemerahan pada kulit membutuhkan terapi dengan segera dan evaluasi
kemungkinan pembedahan (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).

Secara umum diagnosis dari selulitis berdasarkan dari gambaran morfologi


lesi dan gejala klinis. Pemeriksaan laboratorium berguna dalam menentukan
derajat keparahan infeksi dan sebagai penuntun dalam pemberian terapi.
Pemeriksaan laboratorium ini termasuk didalamnya adalah kultur darah,
pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis, kimia darah, fungsi ginjal,
glukosa darah, elektrolit, kalsium dan albumin. Pemeriksaan histologi melalui
biopsi dari lesi berguna dalam menyingkirkan kecurigaan penyakit lain seperti
eritema nodosum, vaskulitis atau selulitis eosinofilik. Pengecatan Gram
membantu sebagai identifikasi awal morfologi dari bakteri yang paling signifikan
sedangkan pemeriksaan kultur dan sensitivitas bertujuan untuk mengidentifikasi
organisme penyebab infeksi (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014).

25
2.2.5 Tumor Tulang
Definisi

Tumor-tumor tulang primer dapat jinak atau ganas. Tumor yang jinak lebih
sering terjadi dibandingkan dengan tumor ganas, dan tumor-tumor yang ganas
seringkali berakibat fatal (Kowalak, dkk. 2014).

Epidemiologi

Tumor tulang relacif jarang terjadi, insidensnya hanya 0,2% dari seluruh
neoplasma yang diderita manusia. Bila dibandingkan dengan tumor jaringan
lunak, insidens tumor tulang 10 kali lebih rendah. Insidens tumor tulang jinak dan
ganas sangat erat hubungannya dengan usia penderita (lihat Tabel 42.9). Sarkoma
tulang mempunyai dua puncak insidens (bimodal peak) yaitu puncak perrama
pada usia 20-an clan puncak kedua pada usia di atas 60 tahun.

Klasifikasi

Klasifikasi pertama yaitu Tumor- Tumor Jinak, diantaranya yaitu :

a. Osteoma

Osteoma merupakan lesi tulang yang bersifat jinak dan ditandai oleh
pertumbuhan tulang yang abnormal. Osteoma klasik berwujud sebagai suatu
benjolan yang tumbuh dengan lambat, tidak nyeri.

b. Kondroblastoma

Kondroblastoma adalah tumor jinak yang jarang ditemukan, dan biasanya


paling sering menyerang anak laki-laki yang berusia remaja. Tumor ini secara
unik ditemukan di epifisis. Tempat yang paling sering terserang adalah tulang
humerus.

c. Enkondroma

26
Enkondroma atatt kondroma sentrnl, adalah tumor jinak sel-sel rawan
displastik yang timbul pada metafisis tulang tubular, terutama pada tangan dan
kaki. Pada pemeriksaan radiografi didapati titik-titik perkapuran yang berbatas
tegas, membesar dan menipis.

d. Tumor Sel Raksasa

Sifat khas dari tumor sel raksasa adalah adanya stroma vaskular dan selular
yang terdiri dari sel-sel berbentuk oval yang mengandung sejumlah nucleus
lonjong, kecil dan berwarna gelap. Sel raksasa ini merupakan sel besar dengan
sitoplasma yang berwarna merah muda; sel ini mengandung sejumlah nukleus
yang vesikular dan menyerupai sel-sel stroma.

Klasifikasi kedua yaitu Tumor Ganas, diantaranya yaitu :

a. Multipel Mieloma

Tumor ganas tulang yang paling sering ditemukan adalah multipel mieloma,
akibat proliferasi ganas dari sel-sel plasma. Multipel mieloma sangat jarang
terlihat pada orang-orang yang berusia di bawah 40 tahun. Laki-laki lebih sering
terkena dan orang Afrika- Amerika memiliki insiden dua kali lipat daripada
orang-orang Kaukasia.

b. Sarkoma Osteogenik

Sarkoma osteogenik atau osteosarkoma merupakan neopiasma tulang primer


yang sangat ganas. Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang. Tempat yang
paling sering terserang Lumor ini adalah bagian ujung tulang panjang, terutama
lutut. Kasus sarcoma osteogenik paling banyak menyerang anak remaja dan
mereka yang baru menginjak masa dewasa, tetapi dapat juga menyerang pasien
penyakit Paget yang berusia lebih dari 50 tahun.

c. Kondrosarkoma

27
Kondrosarkoma merupakan tumor tulang ganas yang terdiri dari kondrosit
anaplastik yang dapat tumbuh sebagai tumor tulang perifer atau sentral. Tumor ini
paling sering menyerang laki-laki berusia di atas 35 tahun. Gejala yang paling
sering adalah massa tanpa nyeri yang berlangsung lama. Contoh, lesi perifer
seringkali tidak menimbulkan gejala-gejala tertentu untuk jangka waktu yang
lama dan hanya berupa pembesaran yang dapat diraba dan hampir tidak
menimbulkan gangguan.

d. Sarkoma Ewing

Sarkoma Ewing paling sering terlihat pada anak- anak dalam usia belasan
dan tempat yang paling sering adalah korpus tulang-tulang panjang. Penampilan
kasarnya adalah berupa tumor abu-abu lunak yang tumbuh ke retikulum sumsum
tulang dan merusak korteks tulang darisebelah dalam.

Manifestasi Klinis

a. Nyeri, adalah gejala tersering tumor culang, terutama tumor tulang


ganas. Bila bukan karena fraktur patologis, biasanya nyeri timbul secara
perlahan. Pada awalnya nyeri hanya timbul saat istirahat kemudian
intensitasnya meningkat sehingga menganggu tidur dan menyebar ke
sendi di dekatnya. Nyeri ini sering disalahartikan sebagai artritis akibat
trauma (Sjamsuhidajat, de Jong. 2014).
b. Massa, gejala kedua yang sering cerjadi adalah adanya massa. Pad:i
tumor jinak, rimbulnya massa bisa dalam waktu yang fam:t tRnpa
menimbulkan gejala lain. Massa disebabkan olch bagian tumor yang
menembus tulang (ekstraskeletal) atau bisa karena ekspansi tulang.
c. Keterbatasan Gerak, tumor yang muncuJ di dekat sendi seperti tumor sel
raksasa, kista tulang aneurismal yang sering terdapat di dekat metafisis
tulang panjang, osteoblastoma, kondroblastoma dan osteosarkoma, dapat
menggangu kisaran gerak sendi.

28
Diagnosis (Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang)

Biasanya gambaran radiogram dapat membantu untuk menentukan


keganasan relatif dari tumor- tumor tulang. Gambaran tepi lesi yang tidak tegas
menandakan bahwa ada proses invasi tumor ke jaringan tulang yang berada di
sekitarnya. Walaupun tanda-tanda sebelumnya menunjukkan derajat keganasan
dari suatu lesi, tetapi ada tanda-tanda radiologis spesifik yang dapat menuntun
kepada diagnosis yang lebih pasti. Misalnya,lesi radiolusen yang letaknya di
dalam epifisis suatu tulang yang sedang tumbuh cenderung merupakan suatu
kondroblastoma (Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014). Suatu lesi besar yang
destruktif, menembus bagian korteks metafisis tulang panjang seorang remaja atau
yang baru menginjak masa dewasa merupakan petunjuk adanya sarkoma
osteogenik. Suatu lesi kortikal radiolusen yang luas dan berbintik- bintik, seperti
jala, terjadi pada anak-anak mengarahkan pada sarkoma Ewing. Suatu lesi
berbentuk seperti sasaran tembak atau seperti mata sapi, dengan inti- inti yang
berpusat padat dan dikelilingi oleh daerah radiolusen dan tulang sklerotik pada
seorang yang sering mengalami nyeri pada waktu malam hari dan membaik
apabila diberi salisilat hampir pasti adalah suatu osteoma osteoid (Sjamsuhidajat,
de Jong. 2014).

2.2.6 Dislokasi
Definisi

Dislokasi sendi merupakan keadaan di mana tulang- tulang yang


membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis. Dislokasi ini dapat
terjadi pada komponen tulangnya saja yang bergeser atau seluruh komponen
tulang terlepas dari tempat yang seharusnya. Sendi bahu menjadi kasus dislokasi
yang paling sering terjadi dengan angka 45 % dari seluruh kasus dislokasi,
menyusul sendi panggul dan siku (Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005).

29
Klasifikasi

Klasifikasi dislokasi sendi berdasarkan penyebabnya adalah (Rockwood and


Green's. 2015) :
1. Dislokasi Kongenital : terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan, paling sering terlihat pada pinggul.
2. Dislokasi Spontan atau Patologik : akibat penyakit sendi dan atau
jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis
tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumatik : kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan
saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat
anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan).

Klasifikasi dislokasi sendi berdasarkan tempat terjadi (Rockwood and


Green's. 2015):
1. Dislokasi sendi rahang : dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena
menguap atau terlalu lebar serta terkena pukulan keras ketika rahang
sedang terbuka, akibatnya penderita tidak dapat menutup mulutnya.
2. Dislokasi sendi bahu : pergeseran kaput humerus dari sendi

30
gloenohumeral berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi
anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan dibawah glenoid
(dislokasi inferior).
3. Dislokasi sendi siku : cedera biasanya akibat terjatuh pada tangan
yang dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan
siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan –
tonjolan tulang siku.
4. Diskulokasi sendi jari : sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila
tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan menjadi kaku
kelak.sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau
punggung tangan.
5. Dislokasi sendi metacarpophalangeal dan interphalangeal : dislokasi
sendi ini disebabkan oleh hiperekstensi – ekstensi persendian.
6. Dislokasi sendi panggul : bergesernya caput femur dari sendi
panggul,berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior),
di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur
menembus acetabulum (dislokasi sentra).
7. Dislokasi sendi lutut : dislokasi ini terjadi apabila penderita mendapat
trauma dari depan dengan lutut dalam keadaan fleksi. Dislokasi ini
bersifat anterior, posterior, lateral, medial atau rotasi. Trauma juga
dapat menyebabkan dislokasi yang terjadi disertai dengan kerusakan
nervus peroneus dan arteri poplitea

Etiologi

Penyebab dislokasi sendi yang paling sering dialami adalah terjatuh. Cedera
olah raga biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki serta
olahraga yang beresiko jatuh, misalnya: terperosok akibat bermain ski, senam,
volley, basket, dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada
tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain
lain.Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga benturan keras pada
sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi, terjatuh dari

31
tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. Terjadinya ‘tear’
ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang
(Kowalak, dkk. 2014).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dislokasi sendi adalah nyeri akut yaitu nyeri yang sering
terdapat pada dislokasi sendi bahu, sendi siku, metakarpal phalangeal dan sendi
pangkal paha servikal, kemudian terjadi perubahan kontur sendi, perubahan
panjang ekstremitas, mengalami deformitas pada persendiaan, perubahan sumbu
tulang yang mengalami dislokasi, dan kehilangan mobilitas normal, serta terjadi
gangguan gerakan otot-otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut.
Pembengkakan dan kekakuan juga menjadi manifestasi klinis dari dislokasi sendi
(Rockwood and Green's. 2015).

32
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang muncul di scenario dimana pasien dengan
keluhan utama nyeri lutut, demam, bengkak dan edema serta di dukung juga
dengan hasil pemeriksaan penunjang dari pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan radiologi maka di dapatkan dugaan bahwa pasien mengalami
Osteomielitis Hematogen Akut dimana hal ini disimpulkan karena terdapatnya
kesesuaian antara keluhan pasien di scenario dengan manifestasi klinis dari
Osteomielitis tersebut, dan karena keluhan ini timbul baru 1 minggu maka di
klasifikasikan menjadi Osteomielitis bagian Hematogen Akut sehingga diperlukan
penatalaksaan yang tepat dimana pada prinsipnya penatalaksanaan osteomyelitis
menyangkut eliminasi sumber infeksi, pemberian antibiotik yang adekuat,
melakukan sequestrektomi, debridement, dekortikasi, dan jika lesi ekstensif
dilakukan reseksi dan rekonstruksi, serta mengevaluasi dan memperbaiki sistem
daya tahan tubuh dengan meningkatkan asupan gizi ataupun suplemen dan
multivitamin.

33
DAFTAR PUSTAKA
Kowalak, dkk. 2014. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC

Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005. Patofisiologi; Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Penerbit EGC. Edisi. 6

Rockwood and Green's. 2015. Fractures in Adults. Wolters Kluwer. Eight


Edition. Vol. 1

Salter RB. penyunting. Fractures and joint injuries-general features. Dalam:


Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system. Edisi ke-
3. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. h.207-2 4.

Sjamsuhidajat, de Jong. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah; Sistem Organ dan Tindak
Bedahnya (2). Penerbit EGC. Edisi 4. Vol. 3

Solomon L, Srinivasan H. Tuli S. Cavender S. Infection. Dalam: Solomon L.


Warwick D. Nayagam S, penyunting. Apley's system of orthopaedics and
fractures. Edisi ke-9. London: Hodder Arnold: 20 I 0. h.29-43.

Themi Protopsaltis, MD. et al. 2014. Handbook of Fracture. Wolters Kluwer.


Fifth Edition.

34

Anda mungkin juga menyukai