Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN MINI-CEX

RUFTUR LIEN

Oleh
Taufik Nazar, S. Ked
015.016.0017

Pembimbing
dr. Made Agus Suanjaya, Sp.B

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK


MADYA SMF BEDAH RSUD KOTA MATARAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL AZHAR
MATARAM
2021

1
DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1

BAB II 2

LAPORAN KASUS .................................................................................... 2


2.1 Identitas Pasien ..................................................................................... 2
2.2 Anamnesa (Alloanamnesis).................................................................. 2
2.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................ 3
2.4 PemeriksaanPenunjang : ..................................................................... 4
2.5 Diagnosis Kerja..................................................................................... 5
2.6 Penatalaksanaan ................................................................................... 5
2.7 Hasil Pemeriksaan Penunjang ............................................................. 5
2.8 Laporan Operasi ................................................................................... 6

BAB III 8

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 8


3.1 Anatomi Lien ........................................................................................ 8
3.2 Ruftur Lien.......................................................................................... 11
3.3.1.1 Definisi ................................................................................................. 11
3.3.1.2 Etiologi ................................................................................................. 11
3.3.2 Klasifikasi ............................................................................................ 12
12
Gambar 3.4 Klasifikasi ruftur lien bersarkan hemodinamik7. ............................ 13
13
Gambar 3.5 Splenic Injury Scale8. ...................................................................... 13
3.3.3 Patofisiologi ......................................................................................... 13
3.3.4 Diagnosis.............................................................................................. 13
a. Anamnesis ............................................................................................ 13
2. Pemeriksaan fisik.................................................................................. 14
3.3.5 Penatalaksanaan ................................................................................. 19

1
BAB IV 22

PEMBAHASAN ........................................................................................ 22
BAB V 25
PENUTUP ........................................................................................................... 25
5.1 KESIMPULAN ................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 26


7. National Institute of Health, Sponsored Glue Grant Consortium 2006 26
8. American association for the surgery of trauma splenic injury scale.
1949 26

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lien merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per hari dan berisi
kira-kira 1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi arteri lienalis,
variasi cabang pankreas dan beberapa cabang dari gaster (vasa Brevis). Arteri lienalis
merupakan cabang terbesar dari trunkus celiakus. Biasanya menjadi 5-6 cabang pada
hilus sebeluM memasuki lien. Pada 85 % kasus, arteri lienalis bercabang menjadi 2
yaitu ke superior dan inferior sebelum memasuki hilus. Fungsi limpa berhubungan
dengan struktur limpa dan system sirkulasinya. Aliran arteri melalui jaringan limfoid
kemudian melalui kapiler yang dilapisi sel endotel menuju system vena (closed
theory). Aliran darah masuk ke reticular meshwork yang dilapisi makrofag, dan aliran
darah kembali secara lambat ke sirkulasi vena melalui venous sinuses (open theory).
Elemen darah yang terbentuk harus melewati celah pada lapisan venous sinuses. Jika
tidak dapat melewati, darah akan terperangkap di limpa dan difagositosis oleh fagosit
limpa. Selain itu fungsi limpa yang paling penting yaitu filtrasi mekanik, yang mana
menghilangkan eritrosit senescent dan dapat berkontribusi dalam mengontrol infeksi.
Limpa penting dalam membersihkan pathogen yang berada pada eritrosit. Misalnya
parasit malaria, atau bakteri seperti Bartonella species. Filtrasi mekanik 5 oleh limpa
juga penting dalam menghilangkan bakteri yang unopsonized dan noningested dari
sirkulasi.
Trauma abdomen merupakan salah satu penyebab kematian ke-3 pada pasien trauma
dan dapat ditemukan sekitar 7–10% dari jumlah seluruh kasus trauma. Pada trauma
lien yang perlu diperhatikan adalah adanya tanda-tanda perdarahan yang
memperlihatkan keadaan hipotensi, syok hipovolemik, dan nyeri abdomen pada
kuadran atas kiri dan nyeri pada bahu kiri karena iritasi diafragma. Perdarahan lambat
yang terjadi kemudian pada trauma tumpul lien dapat terjadi dalam jangka waktu
beberapa hari sampai beberapa minggu setelah trauma. Pada separuh kasus, masa laten
ini kurang dari 7 hari. Hal ini terjadi karena adanya tamponade sementara pada laserasi
yang kecil atau adanya hematom subkapsuler yang membesar secara lambat dan
kemudian pecah.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


a. Nama : Tn. I Made Sudarpa
b. TTL : 09 September 1967
c. Usia : 54 tahun
d. Jenis Kelamin : Laki-laki
e. Alamat : Karang Sedimen
f. Pendidikan : S1
g. Pekerjaan : Pegawai Swasta
h. Agama : Hindu
i. Suku : Sasak
j. Status Perkawinan : Sudah Menikah
k. Tanggal MRS : 16-09-2021
l. No RM : 260727
2.2 Anamnesa (Alloanamnesis)
2.2.1 Keluhan utama :
Nyeri perut hebat
2.2.2 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram di antar oleh keluarganya dengan keluhan nyeri
hebat pada seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan sudah sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu.
Sebelumnya ia menabrak mobil yang sedang terparkir dipinggir jalan. Kemudian ia terjatuh dari
motor dan dibawa ke rumah sakit. Pada saat datang ke rumah sakit ia masih dalam kondisi sadar,
masih bisa berjalan, dan kemudian dilakukan rangkaian pemeriksaan fisik serta penunjang. Dari
hasil pemeriksaan tidak ditemukan tanda-tanda kelaian ataupun tanda-tanda emergensi. Akhirnya
ia dipulangkan, dua hari kemudian ia mulai merasa nyeri perut hebat, yang tidak bisa ditentukan
lokasi nyerinya. Untuk mengobati nyeri tersebut ia pergi ke salah satu dokter penyakit dalam
kemudian diberikan obat dan dievaluasi kembali 3 hari kemudian. Namun, ia merasa tidak
mengalami perbaikan nyeri terus memberat, mual muntah, badan terasa lemah, kemudian di
rumah sakit tersebut dilakukan rangkaian pemeriksaan fisik dan penunjang yaitu USG dan CT

2
Scan Abdomen. Hasil dari pemeriksaan tersebut didapkan cairan bebas 1 liter di dalam rongga
perut. Kemudian pasien dirujuk ke rumah sakit kota, dengan kondisi nyeri perut hebat, demam,
tampak pucat dan lemah. Muntah darah atau proyektil disangkal, ia masih mengingat baik orang-
orang disekitarnya, BAB dan BAK (+).
2.2.3 Riwayat penyakit dahulu
• Riwayat hipertensi : disangkal
• Riwayat diabetes mellitus : disangkal
• Riwayat asma : disangkal
• Riwayat penyakit jantung : disangkal
• Riwayat trauma dada : disangkal
2.2.4 Riwayat penyakit keluarga
• Riwayat hipertensi : disangkal
• Riwayat diabetes mellitus : disangkal
• Riwayat asma : disangkal
• Riwayat penyakit jantung : disangkal.
2.2.5 Riwayat sosial
• Merokok (-)
• Alkohol (-)
2.2.6 Riwayat alergi
• Disangkal
2.3 Pemeriksaan Fisik
• Keadaan Umum : Baik
• Kesadaran/GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
• Tanda Vital
TekananDarah : 110/65 mmHg
Respiration Rate : 20 x/menit
DenyutNadi : 70 x/menit
SuhuAksila : 36,00C
SpO2 : 98%
• Status Generalis
Kepala :normochepali
Mata :konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-)

3
THT :dalam batas normal
Toraks :
▪ Pulmo
Inspeksi :bentuk normal, simetriskiri dan kanan
Palpasi : nyeritekan (-/-), fremitus vocal normal simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi :vaskuler di seluruh lapang paru, wheezing (-), rhonki (-)
▪ Cor
Inspeksi :iktus cordis tidaktampak
Palpasi :iktus cordisteraba
Perkusi :terjaadi pelebaran batas jantung.
Auskultasi: S1 (+), S2 (+) tunggal, murmur (-), gallop (-)
▪ Abdomen
Inspeksi : tidak tampak jejas
Auskultasi : peristaltic usus (+) normal
Perkusi : timpani diseluruh regio abdomen
Palpasi : nyeri seluruh lapang perut,
Ekstremitas : akral hangat (+) edema (-) di ekstremitas bawah dan atas.
2.4 PemeriksaanPenunjang :
a. Laboratorium
Pemeriksaan tanggal 17 September 2021
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI
RUJUKAN
WBC 16.50 (H) x103/uL 3.60 – 11.00
RBC 2.72 X106/uL 4.00 – 5.40
HGB 6.6 g/dL 11.7 – 15.5
PLT 332 x103/uL 150 – 450

Pemeriksaan tanggal 19 September 2021


PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI
RUJUKAN
WBC 10.75 (H) x103/uL 3.60 – 11.00

4
RBC 2.98 X106/uL 4.00 – 5.40
HGB 7.5 g/dL 11.7 – 15.5
PLT 258 x103/uL 150 – 450
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
RUJUKAN
KOAGULASI
PT
Pasien (PT) L 2.6 detik 9.9 - 11.6
Kontrol (PT) 10.6 detik
APTT
Pasien (APTT) 29.1 detik 23.9 – 39.8
Kontrol (APTT) 25.6 detik
KIMIA DARAH
Glukosa Sewaktu 107 mg/dl 80 – 120

2.5 Diagnosis Kerja


Ruftur Lien Gride IV ec Trauma Tumpul Abdomen
Anemia Berat
2.6 Penatalaksanaan
IVFD NS Loading 1000 cc
Tranfusi 2 kolf PRC/Hari
Cito Laparatomi eksplorasi
Pro Rawat ICU
2.7 Hasil Pemeriksaan Penunjang
USG Abdomen
Tanggal 16-09-2021
Hasil:
Hepar: bentuk dan ukuran dalam batas normal
Vesica Felea: ukuran dan dinding normal, tak tampak batu atau masa, atau sludge
Pangkreas: ukuran dan ekostruktur dalam batas normal
Lien: Tidak bisa dievaluasi
Gaster: Udara normal, tak tampak masa

5
Aorta: Ukuran normal
Ginjal Kanan Kiri: Bentuk dan ukuran dalam batas normal
Vesica Urinaria: dinding tak tampak menebal, tidak tampak batu atau massa
Prostat: ukuran normal, tak tampak nodul
Regio Mc Burney: Tak tampak penebalan appendiks (diameter 1 cm) tak tampak cairan bebas
intraabdomen
Kesan:
Tampak cairan bebas intraperitoneal

2.8 Laporan Operasi


Tanggal Operasi: 19-08-2021
Operator: dr. Agus, Sp. BA Asisten: Putu S.Kep, Ners
Anestesi: dr. Sherly Sp. An Instrumen: Azizah, S. Kep, Ners
Diagnosa Pre Op: Ruftur lien
Temuan Intra Operasi:

6
1. Ditemukan apendiks udema
2. Ruftur Lien Gr IV
3. Adhesi
Tindakan Operasi:
1. Pasien berbaring supine dengan GA
2. Sterilisasi dan dropping
3. Dilakukan laparastomi dan Spleenektomi → diperdalam → buka kutis, subkutis
dan facia
4. Ditemukan rutur lien grade IV
5. Dilakukan Splenektomi total
6. Kontrol perdarahan
7. Jahit luka operasi lapis demis lapis
8. Operasi selesai
Post Op: Ruftur Lien Grade IV dan Resiko Adhesi

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Lien

Gambar 3.1 Anatomi Lien


Lien berasal dari diferensiasi jaringan mesenkimal mesogastrium dorsal. Berat rata-
rata pada manusia dewasa berkisar 75-100 gram, biasanya sedikit mengecil setelah
berumur 60 tahun sepanjang tidak disertai adanya patologi lainnya,ukuran dan bentuk
bervariasi, panjang ± 10-11cm, lebar + 6-7 cm, tebal + 3-4 cm. Lien terletak di kuadran
kiri atas dorsal di abdomen pada permukaan bawah diafragma, terlindung oleh iga ke
IX, X, dan XI. Lien terpancang ditempatnya oleh lipatan peritoneum yang diperkuat
oleh beberapa ligamentum suspensorium yaitu :

1. Ligamentum splenoprenika posterior (mudah dipisahkan secaratumpul).


2. Ligamentum gastrosplenika, berisi vasa gastrika brevis
3. Ligamentum splenokolika terdiri dari bagian lateral omentum majus
4. Ligamentum splenorenal.

Lien merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per hari dan berisi
kira-kira 1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi arteri lienalis,
variasi cabang pankreas dan beberapa cabang dari gaster (vasa Brevis). Arteri lienalis
merupakan cabang terbesar dari trunkus celiakus. Biasanya menjadi 5-6 cabang pada
hilus sebeluM memasuki lien. Pada 85 % kasus, arteri lienalis bercabang menjadi 2
yaitu ke superior dan inferior sebelum memasuki hilus.

8
Gambar 3.1 Anatomi Histologi Lien
Anatomi limpa sendiri merupakan segmental, vaskularisasi oleh arteri dan
vena yang kemudian keluar melalui trabecula. trabecula adalah pita fibrosa yang
menempel pada kapsul limpa. Parenkim limpa antara trabecula ini dibagi menjadi
daerah kecil pulpa putih yang mengelilingi arteri, zona marginal, dan daerah yang
dominan lebih besar dari pulpa merah yang membentuk 75% dari parenchyma limpa.
Kapsul limpa cukup tipis karena hanya terdiri dari beberapa lapis sel tebal. Kapsul
ini terdiri dari satu lapisan mesothelium dan beberapa lapisan jaringan fibroelastik.
arteri trabecula yang masuk limpa sebagai kelanjutan dari cabang arteri segmental
kemudian mengeluarkan cabang tegak lurus untuk membentuk arteri utama. Di
sekitar arteri sentral merupakan periarterial lymphatic sheath (PALS), yang terdiri
dari T-limfosit dan folikel dengan sel B pada berbagai tahap perkembangan. Selama
rangsangan antigenik, daerah ini dapat meluas dengan folikel lebih matang dan
sekunder. Zona marjinal adalah perbatasan antara pulpa putih dan pulpa merah dan
berisi campuranlimfatik dan makrofag.

Struktur pulpa merah terdiri korda limpa dengan area yang berhubungan yang
disebut sinus limpa. Korda limpa, juga dikenal sebagai korda Billroth, adalah
anyaman fibroblas dan sejumlah makrofag dewasa. Sinus limpa merupakan anyaman
ruang sel darah merah yang cukup acak yang berdinding tipis dan umumnya diisi
dengan sejumlah besar eritrosit.1

9
FISIOLOGI

Limpa memiliki fungsi hematopoietic selama awal perkembangan fetus, yaitu


produksi sel darah merah dan sel darah putih. Pada bulan ke 5 gestasi, sumsum tulang
mengambil peran utama fungsi hematopoiesis, dan normalnya tidak ada fungsi
hematopoiesis signifikan yang tertinggal pada limpa. Fungsi limpa berhubungan
dengan struktur limpa dan system sirkulasinya. Aliran arteri melalui pulpa putih
(jaringan limfoid) kemudian melalui kapiler yang dilapisi sel endotel menuju system
vena (“closed” theory). Aliran darah masuk ke reticular meshwork yang dilapisi
makrofag, dan aliran darah kembali secara lambat ke sirkulasi vena melalui venous
sinuses (“open” theory). Elemen darah yang terbentuk harus melewati celah pada
lapisan venous sinuses. Jika tidak dapat melewati, darah akan terperangkap di
limpa dan difagositosis oleh fagosit limpa.

Fungsi limpa yang paling penting yaitu filtrasi mekanik, yang mana menghilangkan
eritrosit senescent dan dapat berkontribusi dalam mengontrol infeksi. Limpa penting
dalam membersihkan pathogen yang berada pada eritrosit. Misalnya parasit malaria,
atau bakteri seperti Bartonella species. Filtrasi mekanikoleh limpa juga penting
dalam menghilangkan bakteri yang unopsonized dan noningested dari sirkulasi.
Fungsi filtrasi limpa penting dalam menjaga fungsi dan morfologi eritrosit.
Eritrosit normal berbentuk bikonkaf dan dapat berubah bentuk dengan mudah untuk
memfasilitasi ketika melalui lintasan mikrovaskulatur dan pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang optimal. Limpa merupakan tempat yang penting untuk
memproses eritrosit imatur dan memperbaiki atau menghancurkan eritrosit tua atau
eritrosit yang sudah rusak. Ketika eritrosit tua masuk melewati limpa, maka dapat
mengalami beberapa cara repair, termasuk menghilangkan nucleus dan membrane
sel berlebih dari sel imatur dan mengubah dari bentuk sferis bernukleus menjadi
bikonkaf tanpa nucleus yang matur.

Eritrosit juga dapat mengalami perbaikan jika terdapat kelainan pada permukaannya
seperti menghilangkan lubang dan taji (spurs). Pada kondisi asplenic, ada beberapa
perubahan pada bentuk dari eritrosit perifer, yaitu adanya target cells (immature
cells), Howell-Jolly bodies (nuclear remnant), Heinz bodies (denatured hemoglobin),
Pappenheimer bodies (iron granules), stippling, dan spur cells. Eritrosit yang telah
tua (120 hari) yang telah kehilangan aktivitas enzimatik
10
dan kekenyalan membrane akan terperangkap dan dihancurkan di limpa.
Fungsi utama limpa yang lain yaitu mempertahankan fungsi imun normal dan melawan
agen infeksius tertentu. Orang tanpa limpa akan dengan mudah menjadi resiko tinggi
overwhelming postsplenectomy infection (OPSI) dengan bakteremia fulminan,
pneumonia, atau meningitis dibandingkan orang normal dengan fungsi limpa normal.

Limpa merupakan tempat utama produksi opsonin seperti properdin dan tuftsin.
Penghilangan limpa mengakibatkan penurunan level serum dari factor-faktor tersebut.
Properdin dapat menginisiasi alternative pathway of complement activation yang
berfungsi destruksi bakteri, sel abnormal dan se lasing. Tuftsin merupakan tetrapeptide
yang meningkatkan aktivitas fagositik leukosit PMN dan fagosit mononuclear. Limpa
merupakan tempat utama pemecahan tuftsin dari rantai berat IgG.1

3.2 Ruftur Lien


3.3.1.1 Definisi
Ruptur lien atau limpa yaitu pecahnya lien yang dapat terjadi akibat ruda paksa
tajam atau tumpul, sewaktu operasi, dan yang jarang terjadi, rupture spontan.2
3.3.1.2 Etiologi
a. Trauma tajam
Dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau, atau benda tajam lainnya.
Pada luka jenis ini biasanya organ lain ikut terluka, bergantung kepada arah
trauma. Yang sering dicederai adalah paru, lambung, dan jarang pancreas,
ginjal kiri, dan pembuluh darah mesenterium.
b. Trauma tumpul
Limpa merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul abdomen
atau trauma toraks kiri bagian bawah. Keadaan ini mungkin disertai kerusakan
usus halus, hati, dan pancreas. Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau
tidak langsung karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada
olahraga luncur dan olahraga.
c. Trauma iatrogenic
Rupture limpa sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian atas,
umpamanya karena alat penarik (refraktor) yang dapat menyebabkan limpa
terdorong atau ditarik terlalu jauh sehingga hilus atau pembuluh darah sekitar

11
hilus terobek. Cedera iatrogen juga dapat terjadi akibat pungsi limpa
(splenoportografi)
d. Rupture spontan
Limpa pecah spontan sering dilaporkan pada penyakit yang disertai dengan
pembesaran limpa, seperti gangguan hematologic jinak maupun ganas,
mononucleosis, malaria kronik, sarkoidosis, dan splenomegali kongestif pada
hipertensi portal.2

3.3.2 Klasifikasi
Kerusakan pada limpa dikelompokkan atas jenis rupture kapsul, kerusakan
parenkim, laserasi luas sampai ke hilus, dan avulsi.2
Gambar 3.3 Rutur Len

12
Gambar 3.4 Klasifikasi ruftur lien bersarkan hemodinamik7.

Gambar 3.5 Splenic Injury Scale8.

3.3.2.1 Patofisiologi
Trauma limpa dapat dihasilkan oleh deselerasi cepat, kompresi, transmisi energy
melalui dinding dada posterolateral diatas limpa, atau tuskuan dari fraktur costa
yang berdekatan. Deselerasi cepat menyebakan limpa terus bergerak maju ketika
terdapat bagian yang terfiksir. Trauma yang dihasilkan oleh gaya deselerasi
menyebabkan avulsi kapsular sepanjang berbagai ligament tambahan dan fraktur
linear atau stellata dengan berbagai kedalaman. Karena karakteristik struktur dan
kepadatan limpa yang solid, energy yang di transfer ke limpa relative efisien.
Trauma yang disebabkan oleh pukulan atau terjatuh biasanya merupakan hasil dari
hantaman langsung diatas dinding dada bawah dengan transimis energy sehingga
menyebabkan laserasi limpa dan fraktur.

3.3.2.2 Diagnosis
a. Anamnesis
Perlu ditanyakan riwayat trauma sebelumnya, mekanismeterjadinya trauma. Pada
pasien yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor harus mencakup kecepatan
kendaraan, jenis tabrakan, (depan dengan depan, tabrakan samping, terserempet,

13
tabrakan dari belakang ataupun terguling), berapa besar penyoknya bagian
kendaraan kedalam ruang penumpang, jenis pengaman yang digunakan, ada atu
tidaknya airbag. Posisi pasien dalam kendaraan, dan status penumpang lainnya. Bila
meneliti pasien dengan trauma tajam, anamnesis harus diarahkan pada waktu
terjadinya trauma, jenis senjata yang digunakan (pisau, pistol, senapan), jarak dari
pelaku (terutama pada shotgun, karena insiden trauma viscera berkurang bila jarak
>3m atau 10 kaki), jumlah tikama atau tembakan, dan jumlah perdarahan eksternal
yang tercatat di tempat kejadian. Bila mungkin, informasi tambahan harus
diperoleh dari pasien mengenai hebatnya maupun lokasi dari setiap abdominalnya,
apakah ada nyeri alih ke bahu (tanda kehr).3

2. Pemeriksaan fisik
Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur limpa bergantung pada adanya organ lain
yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya kontaminasi rongga
peritoneum. Perdarahan dapat sedemikian hebatnya sehinggamengakibatkan renjatan
(syok) hipovolemik hebat yang fetal. Dapat pula terjadi perdarahan yang berlangsung
sedemikian lambat sehingga sulit diketahui pada pemeriksaan Pada setiap kasus
trauma limpa harus dilakukan pemeriksaan abdomen secara berulang-ulang oleh
pemeriksa yang sama karena yang lebih penting adalah mengamati perubahan gejala
umum (syok, anemia) dan lokal di perut (cairan bebas, rangsangan peritoneum). Pada
ruptur yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda perdarahan
intraabdomen, atau dengan gambaran seperti ada tumor intraabdomen pada bagian kiri
atas yang nyeri tekan disertai tanda anemiasekunder. Oleh karena itu, menanyakan
riwayat trauma yang terjadi sebelumnya sangat penting dalam menghadapi kasus

14
seperti ini. Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat hipovolemia
dengan atau tanpa (belum) takikardia dan penurunan tekanan darah. Penderita
mengeluh nyeri perut bagian atas, tetapi sepertiga kasus mengeluh nyeri perut kuadran
kiri atas atau punggung kiri. Nyeri didaerah puncak bahu disebut tanda Kehr, terdapat
pada kurang dari separuh kasus. Mungkin nyeri di daerah bahu kiri baru timbul pada
posisi Trendelenberg. Pada pemeriksaan fisik ditemukan massa di kiri atas dan pada
perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya hematom subkapsuler atau omentum yang
membungkus suatu hematoma ekstrakapsuler disebuttanda Ballance. Kadang darah bebas di
perut dapat dibuktikan dengan perkusi pekak geser.2
c. Pemeriksaan penunjang
- Hematologi
Pada rupture limpa biasanya terdapat penurunan hematokrit dan hemoglobin.
Meskipun pada penilaian awal sebelum resusitasi dapat menunjukkan nilai
normal. Dengan waktu yang singkat, sering terdapat leukositosis dengan kisaran
15,000 - 20,000.
- Foto polos abdomen
Disamping dapat menunjukkan adanya fraktur costa kiri, juga dapat terjadi
displacement atau kurvatura mayor pada gaster yang tampak berombak atau
membengkok-bengkok karena adanya infiltrasi hematoma pada ligament
gastrosplenika.

- Diagnostic peritoneal lavage (DPL)


Merupakan prosedur invasive yang bias cepat dikerjakan yang bermakna
mengubah rencana untuk pasien berikutnya. 98% sensitive untuk perdarahan
intraperitoneal. Harus dilaksanakan oleh tim bedah untuk pasien dengan trauma
15
tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal.
Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran atau empedu yang
keluar melalui tube DPL pada pasien dengan hemodinamik abnormal merupakan
indikasi kuat untuk laparotomi. Bila tidak ada darah segar (<10 cc) ataupun cairan
feses, dilakukan lavage dengan ringer laktat. Sesudah cairan tercampur dengan
cara menekan maupun log-roll, cairan ditampung kembali dan diperiksa
laboratorium untuk melihat isi GI, serat maupun empedu. Tes (+) bila eri >
100.000/mm3, leuko >500/ mm3, atau pengecatan gram (+) untuk bakteri.
- Focused Assessment Sonography in Trauma (FAST)
Keuntungan ultrasound adalah non invasive, cepat, dan murah. Ultrasound dapat
memberikan informasi yang hamper sama dan lebih banyak daripada DPL. Adanya
cairan intraperitoneal dapat diidentifikasi dan semikuantitatif.
- CT scan
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk diagnosis rupture limpa,
terutama pada pasien dengan hemodinamik yang masihcukup stabil dan akan di
terapi secara konservatif. Kontras CT scan akan menunjukkan kontur limpa dan
menunjukkan jumlah darah padaekstra limpa.1,3

16
DPL vs FAST vs CT scan pada trauma tumpul abdomen
DPL FAST CT scan
Indikasi • Perdarahan • Perdarahan • Perdarahan
abnormal abnormal abnormal
setelah terjadi setelah terjadi setelah terjadi
trauma tumpul trauma tumpul trauma tumpul
pada abdomen pada abdomen pada abdomen
• Trauma tajam • Trauma tajam • Trauma tajam
yang yang yang
menembus menembus menembus
rongga perut rongga perut rongga perut
dan tanpa dan harus depan atau
dilakukan dilakukan belakang dan
tindakan tindakan harus
laparatomi laparatomi dilakukan
tindakan
laparatomi
Keuntungan • Deteksi dini • Deteksi dini • Lebih spesifik
• Semua pasien • Semua pasien untuk cedera
• Cepat • Non invasive berdasarkan
• 98% sensitive • Cepat lokasi anatomi
• Deteksi cedera • 86-97% akurat • Sensitive 92-

usus • Tidak 98% akurat


memerlukan • Memvisualisasi
• Tidak
transport ke organ
memerlukan
transport ke • Murah retroperitoneal

area • Bisa dilakukan • Bisa diulang

resusitasi berulang • Non invasive

17
kerugian • Invasive • Hasil • Mahal dan
• Spesifitas bergantung memakan
operator waktu
rendah
• Distorsi karena • Trauma
• Trauma
diafragma,
diafragma, udara usus
usus, dan
gaster, dan • Trauma
pancreas luput
urinarius trac. diafragma
• Membutuhkan
usus, dan
pancreas luput Transport

18
3.3.3 Penatalaksanaan
Tipe rupture lien dan penanganannya

Tipe Penanganan
Observasi Jahitan Splenektomi Splenekt
dan/atau sebagian omi&
pembungkusan Transplan
tasi
1.Cedera kapsul + ? - -
2. Cedera parenkim
a. Sederhana + ? - -
b. Fragmentasi - + ? ?
c. kutub - + + -
3.Cedera hilus - - + ?
Avulsi - - - +
Hematom subkaps + ? - -
- = sedapat mungkin jangan dilakukan
+ = perlu dilakukan
? = belum atau tidak jelas perlu dilakukan atau tidak
1. Jika ada perdarahan yang tidak berhenti harus dibuat jahitan
(hemostasis)dengan atau tanpa pembungkusan
2. Pengelolaan bergantung pada luasnya penghancuran parenkim
a. Jahitan (hemostasis) dan pembungkusan bila perlu
b. Pengeluaran pecahan dan jaringan yang tidak vital; hemostasis:
kantong
pembungkus, jika tidak berhasil, splenektomi
c. Pengeluaran kutub (bagian) yang tidak vital; hemostasis;
kantong
pembungkus?
3. Splenektomi parsial (bagian yang non vital dibuang); hemostasis
(dengan
pembungkusan) pembungkus; jika tidak berhasil, splenektomi
4. Splenektomi
5. Jika ada perdarahan, tindakan seperti pada cedera kapsul (1)

19
1. Splenorafi

Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan limpa yang fungsional


dengan teknik bedah. Tindakan ini dapat dilakukan pada trauma tumpul maupun tajam.
Tindak bedah ini terdiri atasmembuang jaringan non vital, mengikat pembuluh darah
yang terbuka, dan menjahit kapsul limpa yang terluka. Jika penjahitan laserasi saja
kurang memadai, dapat ditambahkan dengan pemasangan kantong khusus dengan atau
tanpa penjahitan omentum.

2. Splenektomi

Mengingat fungsi filtrasi limpa, indikasi splenektomi harus


dipertimbangkan dengan benar. Selain itu splenektomi merupakan suatu
operasi yang tidak boleh dianggap ringan. Eksposisi limpa sering tidak
mudah karena splenomegali biasanya disertai perlekatan pada diafragma.
Pengikatan a.lienalis sebagai tindakan pertama suatu operasi sangat
berguna. Pembuluh ini ditemukan dengan menelusuri bursa omentalis pada
pinggir cranial pancreas. Bila limpa besar, sering dianjurkan pendekatan
laparo-torakotomi yang sekaligus menyayat diafragma sehingga daerah
eksposisi menjadi luas.Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan
limpa yang tidak dapat diatasi dengan splenorafi, splenektomi parsial yang
bias terdiri atas eksisi satu segmen dilakukan jika rupture limpa tidak
mengenai hilus dan bagian yang tidak cedera masih vital. Splenektomi total
harus selalu diikuti dengan reimplementasi limpa yang merupakan suatu
autotransplantasi. Caranya ialah dengan membungkus pecahan parenkim
limpa dengan omentum, lalu meletakannya di bekas tempat limpa atau
menanamnya di pinggang dibelakang peritoneum dengan harapan limpa
dapat tumbuh dan berfungsi kembali.2

Indikasi mutlak splenektomi:

1. Tumor primer

2. Kelainan hematologik dengan hipersplenisme jelas yang tak dapat diatasi


dengan pengobatan lain (anemia hemolitik kongenital)

20
Indikasi Relatif splenektomi:

1. Kelainan hematologik tanpa hipersplenisme jelas, tetapi


splenektomy dapat memulihkan kelainan hematologic
2. Ruptur limpa
3. Hipersplenisme pada sirosis hati dengan varises esophagus
4. Splenomegali yang mengganggu karena besarnya limpa
Komplikasi pasca splenektomi:

1. Atelektasis lobus bawah paru kiri karena gerak diafragma kiri pada
pernafasan kurang bebas
2. Trombositosis pasca bedah mencapai puncak sekitar hari ke 10
3. Sepsis pasca splenektomi (OPSS) dapat fatal dan mengacam penderita
seumur hidup. Sepsis ini pertama ditemukan pada anak, tetapi kemudian
ditemukan pada setiap keadan hiposplenisme atau asplenisme. Sepsis
biasanya disebabkan oleh pneumokokus, kadang H. influenza atau
meningokokus. Penderita dianjurkan vaksinasi dengan pneumovaks 23
(campuran vaksin berbagai pneumokokus dan pemberian amoksilin
profilaksis setiap kali ada infeksiyang menyebabkan demam > 38,50

21
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien diatas adalah kecelakaan lalu lintas tunggal, pasien saat datang ke IGD
rumah sakit ada beberapa tanda dan gejala serta pemeriksaan penunjang sama yang
mengindikasikan bahwa telah terjadi perdarahan intraabdomen akibat ruptur organ
solid terutama lien yaitu: 1) anemis pada konjungtiva 2) Hemoglobin dibawah
normal; 3) Leukosit diatas normal; 4) USGFAST adanya koleksi cairan di
hepatorenal (morison pouch), splenorenal, dan retrovesica. Anemis menunjukkan
bahwa pasien kehilangan darah yang cukup banyak sehingga waktu pengisian
pembuluh darah kapiler di perifer menjadi lambat. Dalam kondisi kekurangan darah
maka suplai darah akan dialirkan ke organ-organ penting seperti jantung, paru, otak,
dan ginjal. Hal ini menyebabkan blood flow ke organ di perifer menjadi sangat
berkurang sehingga bisa kita lihat adanya anemis di kunjungtiva. Pada pasein dalam
skenarion datang dengan kuluhan utama nyeri perut. Menurut Adityas (2019) pada
penelitian mereka tentang trauma tumpul abdomen dengan sistem blunt abdominal
trauma scoring system (BATSS) 75 % datang dengan keluhan nyeri akut abdomen,
sensasi nyeri yang dirasakan beragam tergantung dari organ yang mengalami
trauma.5 Nyeri seluruh perut baik dengan palpasi ataupun tidak, hal ini disebabkan
adanya akumulasi darah di intrabdomen yang menimbulkan iritasi pada
peritoneum. Hal ini berakibat timbulnya nyeri pada setiap pergerakan dinding
abdomen dan dikenal dengan istilah peritonismus. Hemoglobin yang rendah
berhubungan dengan adanya blood lost yang meningkat pada ruptur lien, sedangkan
leukosit yang tinggi menandakan adanya proses inflamasi akibat ruptur lien
sehingga tubuh mengeluarkan sel-sel radang akut (sel PMN) untuk counter attack
terhadap inflamasi yang telah terjadi. Pemeriksaan USGFAST telah diterima secara
luas sebagai alat untuk evaluasi trauma abdomen. Alatnya yang portabel sehingga
dapat dilakukan di area resusitasi atau emergensi tanpa menunda tindakan
resusitasi, kecepatannya, sifatnya yang non-invasif, dan dapat dilakukan berulang
kali menyebabkan FAST merupakan studi diagnostik yang ideal. Namun tetap
didapatkan beberapa kekurangan, terutama karena ketergantungannya terhadap

22
jumlah koleksi cairan bebas intraperitoneal untuk mendapatkan hasil pemeriksaan
yang positif. Adanya koleksi cairan di ke-3 area terendah di abdomen menunjukkan
bahwa ada perdarahan akut yang cukup banyak. Kedua pasien tersebut diatas sangat
beruntung bisa segera dibawa ke rumah sakit terdekat sehingga diagnosis segera
bisa ditegakkan. Hal ini tidak lepas juga dari peran tenaga medis (dokter umum dan
perawat) di IGD dalam mengenali tanda dan gejala sedini mungkin adanya
kemungkinan perdarahan internal dan segera mengkonsulkan ke spesialis bedah.
Resusitasi dan stabilisasi yang cepat dan tepat menjadi faktor penentu
penyelamatan nyawa pasien. Resusitasi dengan cairan RL (ringer lactate) bertahap
sampai 2000cc dan penilaian respon pasca resusitasi masih menjadi standar ATLS
(advanced trauma life support). Pada kondisi pasien diatas resuitasi diberikan
sebagai life support akan tetapi karena kondisi pasien masih dalam stabil sehingga
pemeriksa harus mencari sumber lain dari perdarahan yang menyebabkan kondisi
pasien mulai melemah. Sehingga dilakukan tindakan surgical resuscitation yaitu
dilakukan pembedahan guna menghentikan sumber perdarahan secara langsung.
Splenectomy total dilakukan pada pasien tersebut diatas karena ruptur lien yang
hebat dan tidak beraturan sehingga ahli bedah kesulitan dalam melakukan repair
dengan splenorraphy. Keputusan pengangkatan total lien ini juga
mempertimbangkan bahwa perdarahan masih terus berlangsung dari parenkim lien
yang robek dan hal ini sangat berbahaya apabila dibiarkan terlalu lama akibat ahli
bedah berusaha menjahit ruptur lien yang luas dan tidak beraturan.

Kehilangan darah yang semakin banyak akan menyebabkan pasien jatuh dalam
keadaan hipotermia dan DIC (disseminated intravascular coagulation) yang
mengancam nyawa dan bisa berakibat death on table (meninggal di atas meja
operasi). Memang pasien yang liennya telah diangkat merupakan pasien dengan
risiko infeksi yang signifikan, karena lien adalah jaringan limfoid terbesar dalam
tubuh. Overwhelming Post Splenectomy Infection (OPSI) adalah infeksi berat pasca
pengangkatan lien yang merupakan suatu proses fulminant serius yang membawa
tingkat kematian yang tinggi. Tanpa lien, produksi antibodi segera terhadap antigen
yang baru ditemui terganggu dan bakteri dapat berkembang biak secara cepat. Oleh
karena itu,risiko penyakit Pneumoccocusinvasif pada pasien tanpa lien adalah 12-
25 kali lebih besar dari populasi pada umumnya. Penyakit invasif pada pasien

23
asplenic karena organisme yang berkapsul seperti Streptcoccuspneumoniae (50%-
90%), Neisseriameningitides, Hemophilusinfluenzae, dan Streptococcuspyogens
(25%) menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihantanpa hambatan. Namun
risiko tersebut bisa diatasi dengan beberapa cara yaitu: 1) melakukan implantasi
lien yang masih sehat dengan cara memotong kecil-kecil parenkim lien dan
menjahitkan pada omentum (penggantung usus); 2) memberikan vaksin
pneumovax 23/pneuimune 23 untuk mencegah infeksi Pneumococcus dan
Hemophilusinfluenzae; 3) pemberian antibiotika broad spectrum pasca operasi
sampai leukosit normal kembali; 4) pemberian antibiotika (penicilline,
erythomycin, trimethroprim sulfomethoxazole) setiap bulan dianjurkan, terutama
bila ada infeksi yang menyebabkan demam diatas 38,5°C; 5) Setiap penderita post
splenektomi dianjurkan supaya segera memeriksakan ke dokter setiap kali
menderita panas. Penderita tersebut supaya langsung diberi pengobatan antibiotika
dan dievaluasi lebih lanjut, untuk mendapat perawatan medis yang sempurna.

24
BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram di antar oleh keluarganya dengan
keluhan nyeri hebat pada seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan sudah sejak
kurang lebih 2 minggu yang lalu. Kunjungtiva anemis, tidak terdapat jejas pada
area abdomen, ballance sign (+), WBC meningkat, RBC menurun, HB menurun
tanda dari proses inflamasi akut serta blood lost. Dari hasil FAST USG dan CT
Scan ditemukan cairan bebas intraperitonum. Kemudian dilakukan laparastomi
serta splenektomi dari temuan operasi didapatkan ruftur lien grade IV.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Townsend, C.M. 2008. Sabiston : Textbook of


Surgery, the biological basis ofmodern surgical partice,
18th ed. Saunders
2. De Jong, Wim dan Sjamsyuhidayat, R. 2004. Buku Ajar
Ilmu Bedah Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
3. Ikatan Ahli bedah Indonesia. 2004. Advanced Trauma Life Support
untuk dokter, 7th
ed. IKABI.
4. Jones, P., 2010, Postsplenectomy Infection Strategies for
prevention ingeneral practice. Australian Family
Physician Vol. 3. No.6.
5. Adityas Sukmadi Karjosukarso, I Ketut Wiargitha, Tjokorda Gde Bagus

Mahadewa, 2019. Validitas diagnostik Blunt Abdominal Trauma

Scoring System (BATSS) pada trauma tumpul abdomen di RSUP

Sanglah Denpasar, Bali. E-journal. MEDICINA

6. Sander A M. 2018. Kasus Serial Ruptur Lien Akibat Trauma Abdomen:

Bagaimana Pendekatan Diagnosis Dan Penatalaksanaannya. E-

Journal UMM. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

Malang

7. National Institute of Health, Sponsored Glue Grant


Consortium 2006
8. American association for the surgery of trauma splenic
injury scale. 1949
9. ACLS. 2018. Abdominal and Pelvic Trauma HAL 82

26
27

Anda mungkin juga menyukai