RUFTUR LIEN
Oleh
Taufik Nazar, S. Ked
015.016.0017
Pembimbing
dr. Made Agus Suanjaya, Sp.B
1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
BAB II 2
BAB III 8
1
BAB IV 22
PEMBAHASAN ........................................................................................ 22
BAB V 25
PENUTUP ........................................................................................................... 25
5.1 KESIMPULAN ................................................................................... 25
2
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2
Scan Abdomen. Hasil dari pemeriksaan tersebut didapkan cairan bebas 1 liter di dalam rongga
perut. Kemudian pasien dirujuk ke rumah sakit kota, dengan kondisi nyeri perut hebat, demam,
tampak pucat dan lemah. Muntah darah atau proyektil disangkal, ia masih mengingat baik orang-
orang disekitarnya, BAB dan BAK (+).
2.2.3 Riwayat penyakit dahulu
• Riwayat hipertensi : disangkal
• Riwayat diabetes mellitus : disangkal
• Riwayat asma : disangkal
• Riwayat penyakit jantung : disangkal
• Riwayat trauma dada : disangkal
2.2.4 Riwayat penyakit keluarga
• Riwayat hipertensi : disangkal
• Riwayat diabetes mellitus : disangkal
• Riwayat asma : disangkal
• Riwayat penyakit jantung : disangkal.
2.2.5 Riwayat sosial
• Merokok (-)
• Alkohol (-)
2.2.6 Riwayat alergi
• Disangkal
2.3 Pemeriksaan Fisik
• Keadaan Umum : Baik
• Kesadaran/GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
• Tanda Vital
TekananDarah : 110/65 mmHg
Respiration Rate : 20 x/menit
DenyutNadi : 70 x/menit
SuhuAksila : 36,00C
SpO2 : 98%
• Status Generalis
Kepala :normochepali
Mata :konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-)
3
THT :dalam batas normal
Toraks :
▪ Pulmo
Inspeksi :bentuk normal, simetriskiri dan kanan
Palpasi : nyeritekan (-/-), fremitus vocal normal simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi :vaskuler di seluruh lapang paru, wheezing (-), rhonki (-)
▪ Cor
Inspeksi :iktus cordis tidaktampak
Palpasi :iktus cordisteraba
Perkusi :terjaadi pelebaran batas jantung.
Auskultasi: S1 (+), S2 (+) tunggal, murmur (-), gallop (-)
▪ Abdomen
Inspeksi : tidak tampak jejas
Auskultasi : peristaltic usus (+) normal
Perkusi : timpani diseluruh regio abdomen
Palpasi : nyeri seluruh lapang perut,
Ekstremitas : akral hangat (+) edema (-) di ekstremitas bawah dan atas.
2.4 PemeriksaanPenunjang :
a. Laboratorium
Pemeriksaan tanggal 17 September 2021
PEMERIKSAAN HASIL UNIT NILAI
RUJUKAN
WBC 16.50 (H) x103/uL 3.60 – 11.00
RBC 2.72 X106/uL 4.00 – 5.40
HGB 6.6 g/dL 11.7 – 15.5
PLT 332 x103/uL 150 – 450
4
RBC 2.98 X106/uL 4.00 – 5.40
HGB 7.5 g/dL 11.7 – 15.5
PLT 258 x103/uL 150 – 450
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
RUJUKAN
KOAGULASI
PT
Pasien (PT) L 2.6 detik 9.9 - 11.6
Kontrol (PT) 10.6 detik
APTT
Pasien (APTT) 29.1 detik 23.9 – 39.8
Kontrol (APTT) 25.6 detik
KIMIA DARAH
Glukosa Sewaktu 107 mg/dl 80 – 120
5
Aorta: Ukuran normal
Ginjal Kanan Kiri: Bentuk dan ukuran dalam batas normal
Vesica Urinaria: dinding tak tampak menebal, tidak tampak batu atau massa
Prostat: ukuran normal, tak tampak nodul
Regio Mc Burney: Tak tampak penebalan appendiks (diameter 1 cm) tak tampak cairan bebas
intraabdomen
Kesan:
Tampak cairan bebas intraperitoneal
6
1. Ditemukan apendiks udema
2. Ruftur Lien Gr IV
3. Adhesi
Tindakan Operasi:
1. Pasien berbaring supine dengan GA
2. Sterilisasi dan dropping
3. Dilakukan laparastomi dan Spleenektomi → diperdalam → buka kutis, subkutis
dan facia
4. Ditemukan rutur lien grade IV
5. Dilakukan Splenektomi total
6. Kontrol perdarahan
7. Jahit luka operasi lapis demis lapis
8. Operasi selesai
Post Op: Ruftur Lien Grade IV dan Resiko Adhesi
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Lien merupakan organ paling vaskuler, dialiri darah sekitar 350 L per hari dan berisi
kira-kira 1 unit darah pada saat tertentu. Vaskularisasinya meliputi arteri lienalis,
variasi cabang pankreas dan beberapa cabang dari gaster (vasa Brevis). Arteri lienalis
merupakan cabang terbesar dari trunkus celiakus. Biasanya menjadi 5-6 cabang pada
hilus sebeluM memasuki lien. Pada 85 % kasus, arteri lienalis bercabang menjadi 2
yaitu ke superior dan inferior sebelum memasuki hilus.
8
Gambar 3.1 Anatomi Histologi Lien
Anatomi limpa sendiri merupakan segmental, vaskularisasi oleh arteri dan
vena yang kemudian keluar melalui trabecula. trabecula adalah pita fibrosa yang
menempel pada kapsul limpa. Parenkim limpa antara trabecula ini dibagi menjadi
daerah kecil pulpa putih yang mengelilingi arteri, zona marginal, dan daerah yang
dominan lebih besar dari pulpa merah yang membentuk 75% dari parenchyma limpa.
Kapsul limpa cukup tipis karena hanya terdiri dari beberapa lapis sel tebal. Kapsul
ini terdiri dari satu lapisan mesothelium dan beberapa lapisan jaringan fibroelastik.
arteri trabecula yang masuk limpa sebagai kelanjutan dari cabang arteri segmental
kemudian mengeluarkan cabang tegak lurus untuk membentuk arteri utama. Di
sekitar arteri sentral merupakan periarterial lymphatic sheath (PALS), yang terdiri
dari T-limfosit dan folikel dengan sel B pada berbagai tahap perkembangan. Selama
rangsangan antigenik, daerah ini dapat meluas dengan folikel lebih matang dan
sekunder. Zona marjinal adalah perbatasan antara pulpa putih dan pulpa merah dan
berisi campuranlimfatik dan makrofag.
Struktur pulpa merah terdiri korda limpa dengan area yang berhubungan yang
disebut sinus limpa. Korda limpa, juga dikenal sebagai korda Billroth, adalah
anyaman fibroblas dan sejumlah makrofag dewasa. Sinus limpa merupakan anyaman
ruang sel darah merah yang cukup acak yang berdinding tipis dan umumnya diisi
dengan sejumlah besar eritrosit.1
9
FISIOLOGI
Fungsi limpa yang paling penting yaitu filtrasi mekanik, yang mana menghilangkan
eritrosit senescent dan dapat berkontribusi dalam mengontrol infeksi. Limpa penting
dalam membersihkan pathogen yang berada pada eritrosit. Misalnya parasit malaria,
atau bakteri seperti Bartonella species. Filtrasi mekanikoleh limpa juga penting
dalam menghilangkan bakteri yang unopsonized dan noningested dari sirkulasi.
Fungsi filtrasi limpa penting dalam menjaga fungsi dan morfologi eritrosit.
Eritrosit normal berbentuk bikonkaf dan dapat berubah bentuk dengan mudah untuk
memfasilitasi ketika melalui lintasan mikrovaskulatur dan pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang optimal. Limpa merupakan tempat yang penting untuk
memproses eritrosit imatur dan memperbaiki atau menghancurkan eritrosit tua atau
eritrosit yang sudah rusak. Ketika eritrosit tua masuk melewati limpa, maka dapat
mengalami beberapa cara repair, termasuk menghilangkan nucleus dan membrane
sel berlebih dari sel imatur dan mengubah dari bentuk sferis bernukleus menjadi
bikonkaf tanpa nucleus yang matur.
Eritrosit juga dapat mengalami perbaikan jika terdapat kelainan pada permukaannya
seperti menghilangkan lubang dan taji (spurs). Pada kondisi asplenic, ada beberapa
perubahan pada bentuk dari eritrosit perifer, yaitu adanya target cells (immature
cells), Howell-Jolly bodies (nuclear remnant), Heinz bodies (denatured hemoglobin),
Pappenheimer bodies (iron granules), stippling, dan spur cells. Eritrosit yang telah
tua (120 hari) yang telah kehilangan aktivitas enzimatik
10
dan kekenyalan membrane akan terperangkap dan dihancurkan di limpa.
Fungsi utama limpa yang lain yaitu mempertahankan fungsi imun normal dan melawan
agen infeksius tertentu. Orang tanpa limpa akan dengan mudah menjadi resiko tinggi
overwhelming postsplenectomy infection (OPSI) dengan bakteremia fulminan,
pneumonia, atau meningitis dibandingkan orang normal dengan fungsi limpa normal.
Limpa merupakan tempat utama produksi opsonin seperti properdin dan tuftsin.
Penghilangan limpa mengakibatkan penurunan level serum dari factor-faktor tersebut.
Properdin dapat menginisiasi alternative pathway of complement activation yang
berfungsi destruksi bakteri, sel abnormal dan se lasing. Tuftsin merupakan tetrapeptide
yang meningkatkan aktivitas fagositik leukosit PMN dan fagosit mononuclear. Limpa
merupakan tempat utama pemecahan tuftsin dari rantai berat IgG.1
11
hilus terobek. Cedera iatrogen juga dapat terjadi akibat pungsi limpa
(splenoportografi)
d. Rupture spontan
Limpa pecah spontan sering dilaporkan pada penyakit yang disertai dengan
pembesaran limpa, seperti gangguan hematologic jinak maupun ganas,
mononucleosis, malaria kronik, sarkoidosis, dan splenomegali kongestif pada
hipertensi portal.2
3.3.2 Klasifikasi
Kerusakan pada limpa dikelompokkan atas jenis rupture kapsul, kerusakan
parenkim, laserasi luas sampai ke hilus, dan avulsi.2
Gambar 3.3 Rutur Len
12
Gambar 3.4 Klasifikasi ruftur lien bersarkan hemodinamik7.
3.3.2.1 Patofisiologi
Trauma limpa dapat dihasilkan oleh deselerasi cepat, kompresi, transmisi energy
melalui dinding dada posterolateral diatas limpa, atau tuskuan dari fraktur costa
yang berdekatan. Deselerasi cepat menyebakan limpa terus bergerak maju ketika
terdapat bagian yang terfiksir. Trauma yang dihasilkan oleh gaya deselerasi
menyebabkan avulsi kapsular sepanjang berbagai ligament tambahan dan fraktur
linear atau stellata dengan berbagai kedalaman. Karena karakteristik struktur dan
kepadatan limpa yang solid, energy yang di transfer ke limpa relative efisien.
Trauma yang disebabkan oleh pukulan atau terjatuh biasanya merupakan hasil dari
hantaman langsung diatas dinding dada bawah dengan transimis energy sehingga
menyebabkan laserasi limpa dan fraktur.
3.3.2.2 Diagnosis
a. Anamnesis
Perlu ditanyakan riwayat trauma sebelumnya, mekanismeterjadinya trauma. Pada
pasien yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor harus mencakup kecepatan
kendaraan, jenis tabrakan, (depan dengan depan, tabrakan samping, terserempet,
13
tabrakan dari belakang ataupun terguling), berapa besar penyoknya bagian
kendaraan kedalam ruang penumpang, jenis pengaman yang digunakan, ada atu
tidaknya airbag. Posisi pasien dalam kendaraan, dan status penumpang lainnya. Bila
meneliti pasien dengan trauma tajam, anamnesis harus diarahkan pada waktu
terjadinya trauma, jenis senjata yang digunakan (pisau, pistol, senapan), jarak dari
pelaku (terutama pada shotgun, karena insiden trauma viscera berkurang bila jarak
>3m atau 10 kaki), jumlah tikama atau tembakan, dan jumlah perdarahan eksternal
yang tercatat di tempat kejadian. Bila mungkin, informasi tambahan harus
diperoleh dari pasien mengenai hebatnya maupun lokasi dari setiap abdominalnya,
apakah ada nyeri alih ke bahu (tanda kehr).3
2. Pemeriksaan fisik
Tanda fisik yang ditemukan pada ruptur limpa bergantung pada adanya organ lain
yang ikut cedera, banyak sedikitnya perdarahan, dan adanya kontaminasi rongga
peritoneum. Perdarahan dapat sedemikian hebatnya sehinggamengakibatkan renjatan
(syok) hipovolemik hebat yang fetal. Dapat pula terjadi perdarahan yang berlangsung
sedemikian lambat sehingga sulit diketahui pada pemeriksaan Pada setiap kasus
trauma limpa harus dilakukan pemeriksaan abdomen secara berulang-ulang oleh
pemeriksa yang sama karena yang lebih penting adalah mengamati perubahan gejala
umum (syok, anemia) dan lokal di perut (cairan bebas, rangsangan peritoneum). Pada
ruptur yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan syok, tanda perdarahan
intraabdomen, atau dengan gambaran seperti ada tumor intraabdomen pada bagian kiri
atas yang nyeri tekan disertai tanda anemiasekunder. Oleh karena itu, menanyakan
riwayat trauma yang terjadi sebelumnya sangat penting dalam menghadapi kasus
14
seperti ini. Penderita umumnya berada dalam berbagai tingkat renjat hipovolemia
dengan atau tanpa (belum) takikardia dan penurunan tekanan darah. Penderita
mengeluh nyeri perut bagian atas, tetapi sepertiga kasus mengeluh nyeri perut kuadran
kiri atas atau punggung kiri. Nyeri didaerah puncak bahu disebut tanda Kehr, terdapat
pada kurang dari separuh kasus. Mungkin nyeri di daerah bahu kiri baru timbul pada
posisi Trendelenberg. Pada pemeriksaan fisik ditemukan massa di kiri atas dan pada
perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya hematom subkapsuler atau omentum yang
membungkus suatu hematoma ekstrakapsuler disebuttanda Ballance. Kadang darah bebas di
perut dapat dibuktikan dengan perkusi pekak geser.2
c. Pemeriksaan penunjang
- Hematologi
Pada rupture limpa biasanya terdapat penurunan hematokrit dan hemoglobin.
Meskipun pada penilaian awal sebelum resusitasi dapat menunjukkan nilai
normal. Dengan waktu yang singkat, sering terdapat leukositosis dengan kisaran
15,000 - 20,000.
- Foto polos abdomen
Disamping dapat menunjukkan adanya fraktur costa kiri, juga dapat terjadi
displacement atau kurvatura mayor pada gaster yang tampak berombak atau
membengkok-bengkok karena adanya infiltrasi hematoma pada ligament
gastrosplenika.
16
DPL vs FAST vs CT scan pada trauma tumpul abdomen
DPL FAST CT scan
Indikasi • Perdarahan • Perdarahan • Perdarahan
abnormal abnormal abnormal
setelah terjadi setelah terjadi setelah terjadi
trauma tumpul trauma tumpul trauma tumpul
pada abdomen pada abdomen pada abdomen
• Trauma tajam • Trauma tajam • Trauma tajam
yang yang yang
menembus menembus menembus
rongga perut rongga perut rongga perut
dan tanpa dan harus depan atau
dilakukan dilakukan belakang dan
tindakan tindakan harus
laparatomi laparatomi dilakukan
tindakan
laparatomi
Keuntungan • Deteksi dini • Deteksi dini • Lebih spesifik
• Semua pasien • Semua pasien untuk cedera
• Cepat • Non invasive berdasarkan
• 98% sensitive • Cepat lokasi anatomi
• Deteksi cedera • 86-97% akurat • Sensitive 92-
17
kerugian • Invasive • Hasil • Mahal dan
• Spesifitas bergantung memakan
operator waktu
rendah
• Distorsi karena • Trauma
• Trauma
diafragma,
diafragma, udara usus
usus, dan
gaster, dan • Trauma
pancreas luput
urinarius trac. diafragma
• Membutuhkan
usus, dan
pancreas luput Transport
18
3.3.3 Penatalaksanaan
Tipe rupture lien dan penanganannya
Tipe Penanganan
Observasi Jahitan Splenektomi Splenekt
dan/atau sebagian omi&
pembungkusan Transplan
tasi
1.Cedera kapsul + ? - -
2. Cedera parenkim
a. Sederhana + ? - -
b. Fragmentasi - + ? ?
c. kutub - + + -
3.Cedera hilus - - + ?
Avulsi - - - +
Hematom subkaps + ? - -
- = sedapat mungkin jangan dilakukan
+ = perlu dilakukan
? = belum atau tidak jelas perlu dilakukan atau tidak
1. Jika ada perdarahan yang tidak berhenti harus dibuat jahitan
(hemostasis)dengan atau tanpa pembungkusan
2. Pengelolaan bergantung pada luasnya penghancuran parenkim
a. Jahitan (hemostasis) dan pembungkusan bila perlu
b. Pengeluaran pecahan dan jaringan yang tidak vital; hemostasis:
kantong
pembungkus, jika tidak berhasil, splenektomi
c. Pengeluaran kutub (bagian) yang tidak vital; hemostasis;
kantong
pembungkus?
3. Splenektomi parsial (bagian yang non vital dibuang); hemostasis
(dengan
pembungkusan) pembungkus; jika tidak berhasil, splenektomi
4. Splenektomi
5. Jika ada perdarahan, tindakan seperti pada cedera kapsul (1)
19
1. Splenorafi
2. Splenektomi
1. Tumor primer
20
Indikasi Relatif splenektomi:
1. Atelektasis lobus bawah paru kiri karena gerak diafragma kiri pada
pernafasan kurang bebas
2. Trombositosis pasca bedah mencapai puncak sekitar hari ke 10
3. Sepsis pasca splenektomi (OPSS) dapat fatal dan mengacam penderita
seumur hidup. Sepsis ini pertama ditemukan pada anak, tetapi kemudian
ditemukan pada setiap keadan hiposplenisme atau asplenisme. Sepsis
biasanya disebabkan oleh pneumokokus, kadang H. influenza atau
meningokokus. Penderita dianjurkan vaksinasi dengan pneumovaks 23
(campuran vaksin berbagai pneumokokus dan pemberian amoksilin
profilaksis setiap kali ada infeksiyang menyebabkan demam > 38,50
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien diatas adalah kecelakaan lalu lintas tunggal, pasien saat datang ke IGD
rumah sakit ada beberapa tanda dan gejala serta pemeriksaan penunjang sama yang
mengindikasikan bahwa telah terjadi perdarahan intraabdomen akibat ruptur organ
solid terutama lien yaitu: 1) anemis pada konjungtiva 2) Hemoglobin dibawah
normal; 3) Leukosit diatas normal; 4) USGFAST adanya koleksi cairan di
hepatorenal (morison pouch), splenorenal, dan retrovesica. Anemis menunjukkan
bahwa pasien kehilangan darah yang cukup banyak sehingga waktu pengisian
pembuluh darah kapiler di perifer menjadi lambat. Dalam kondisi kekurangan darah
maka suplai darah akan dialirkan ke organ-organ penting seperti jantung, paru, otak,
dan ginjal. Hal ini menyebabkan blood flow ke organ di perifer menjadi sangat
berkurang sehingga bisa kita lihat adanya anemis di kunjungtiva. Pada pasein dalam
skenarion datang dengan kuluhan utama nyeri perut. Menurut Adityas (2019) pada
penelitian mereka tentang trauma tumpul abdomen dengan sistem blunt abdominal
trauma scoring system (BATSS) 75 % datang dengan keluhan nyeri akut abdomen,
sensasi nyeri yang dirasakan beragam tergantung dari organ yang mengalami
trauma.5 Nyeri seluruh perut baik dengan palpasi ataupun tidak, hal ini disebabkan
adanya akumulasi darah di intrabdomen yang menimbulkan iritasi pada
peritoneum. Hal ini berakibat timbulnya nyeri pada setiap pergerakan dinding
abdomen dan dikenal dengan istilah peritonismus. Hemoglobin yang rendah
berhubungan dengan adanya blood lost yang meningkat pada ruptur lien, sedangkan
leukosit yang tinggi menandakan adanya proses inflamasi akibat ruptur lien
sehingga tubuh mengeluarkan sel-sel radang akut (sel PMN) untuk counter attack
terhadap inflamasi yang telah terjadi. Pemeriksaan USGFAST telah diterima secara
luas sebagai alat untuk evaluasi trauma abdomen. Alatnya yang portabel sehingga
dapat dilakukan di area resusitasi atau emergensi tanpa menunda tindakan
resusitasi, kecepatannya, sifatnya yang non-invasif, dan dapat dilakukan berulang
kali menyebabkan FAST merupakan studi diagnostik yang ideal. Namun tetap
didapatkan beberapa kekurangan, terutama karena ketergantungannya terhadap
22
jumlah koleksi cairan bebas intraperitoneal untuk mendapatkan hasil pemeriksaan
yang positif. Adanya koleksi cairan di ke-3 area terendah di abdomen menunjukkan
bahwa ada perdarahan akut yang cukup banyak. Kedua pasien tersebut diatas sangat
beruntung bisa segera dibawa ke rumah sakit terdekat sehingga diagnosis segera
bisa ditegakkan. Hal ini tidak lepas juga dari peran tenaga medis (dokter umum dan
perawat) di IGD dalam mengenali tanda dan gejala sedini mungkin adanya
kemungkinan perdarahan internal dan segera mengkonsulkan ke spesialis bedah.
Resusitasi dan stabilisasi yang cepat dan tepat menjadi faktor penentu
penyelamatan nyawa pasien. Resusitasi dengan cairan RL (ringer lactate) bertahap
sampai 2000cc dan penilaian respon pasca resusitasi masih menjadi standar ATLS
(advanced trauma life support). Pada kondisi pasien diatas resuitasi diberikan
sebagai life support akan tetapi karena kondisi pasien masih dalam stabil sehingga
pemeriksa harus mencari sumber lain dari perdarahan yang menyebabkan kondisi
pasien mulai melemah. Sehingga dilakukan tindakan surgical resuscitation yaitu
dilakukan pembedahan guna menghentikan sumber perdarahan secara langsung.
Splenectomy total dilakukan pada pasien tersebut diatas karena ruptur lien yang
hebat dan tidak beraturan sehingga ahli bedah kesulitan dalam melakukan repair
dengan splenorraphy. Keputusan pengangkatan total lien ini juga
mempertimbangkan bahwa perdarahan masih terus berlangsung dari parenkim lien
yang robek dan hal ini sangat berbahaya apabila dibiarkan terlalu lama akibat ahli
bedah berusaha menjahit ruptur lien yang luas dan tidak beraturan.
Kehilangan darah yang semakin banyak akan menyebabkan pasien jatuh dalam
keadaan hipotermia dan DIC (disseminated intravascular coagulation) yang
mengancam nyawa dan bisa berakibat death on table (meninggal di atas meja
operasi). Memang pasien yang liennya telah diangkat merupakan pasien dengan
risiko infeksi yang signifikan, karena lien adalah jaringan limfoid terbesar dalam
tubuh. Overwhelming Post Splenectomy Infection (OPSI) adalah infeksi berat pasca
pengangkatan lien yang merupakan suatu proses fulminant serius yang membawa
tingkat kematian yang tinggi. Tanpa lien, produksi antibodi segera terhadap antigen
yang baru ditemui terganggu dan bakteri dapat berkembang biak secara cepat. Oleh
karena itu,risiko penyakit Pneumoccocusinvasif pada pasien tanpa lien adalah 12-
25 kali lebih besar dari populasi pada umumnya. Penyakit invasif pada pasien
23
asplenic karena organisme yang berkapsul seperti Streptcoccuspneumoniae (50%-
90%), Neisseriameningitides, Hemophilusinfluenzae, dan Streptococcuspyogens
(25%) menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihantanpa hambatan. Namun
risiko tersebut bisa diatasi dengan beberapa cara yaitu: 1) melakukan implantasi
lien yang masih sehat dengan cara memotong kecil-kecil parenkim lien dan
menjahitkan pada omentum (penggantung usus); 2) memberikan vaksin
pneumovax 23/pneuimune 23 untuk mencegah infeksi Pneumococcus dan
Hemophilusinfluenzae; 3) pemberian antibiotika broad spectrum pasca operasi
sampai leukosit normal kembali; 4) pemberian antibiotika (penicilline,
erythomycin, trimethroprim sulfomethoxazole) setiap bulan dianjurkan, terutama
bila ada infeksi yang menyebabkan demam diatas 38,5°C; 5) Setiap penderita post
splenektomi dianjurkan supaya segera memeriksakan ke dokter setiap kali
menderita panas. Penderita tersebut supaya langsung diberi pengobatan antibiotika
dan dievaluasi lebih lanjut, untuk mendapat perawatan medis yang sempurna.
24
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram di antar oleh keluarganya dengan
keluhan nyeri hebat pada seluruh lapang perut. Nyeri dirasakan sudah sejak
kurang lebih 2 minggu yang lalu. Kunjungtiva anemis, tidak terdapat jejas pada
area abdomen, ballance sign (+), WBC meningkat, RBC menurun, HB menurun
tanda dari proses inflamasi akut serta blood lost. Dari hasil FAST USG dan CT
Scan ditemukan cairan bebas intraperitonum. Kemudian dilakukan laparastomi
serta splenektomi dari temuan operasi didapatkan ruftur lien grade IV.
25
DAFTAR PUSTAKA
Malang
26
27