LAPORAN KASUS
Disusun Oleh:
Alfiani Rosyida Arisanti 209.121.0013
Andira Aulia Rahmah 209.121.0022
Usqi Krizdiana 209.121.0027
Pembimbing:
dr. Andre Steven Tjahja B., Sp.KFR.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga Laporan Kasus Laboratorium Ilmu
Rehabilitasi Medik yang berjudul “Aspek Rehabilitasi Medik pada Pasien Ca
Mammae” ini dapat terselesaikan sesuai rencana yang diharapkan.
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Madya serta guna menambah ilmu pengetahuan mengenai permasalahan
penyakit Ca Mammae khususnya dalam aspek rehabilitasi medik. Penyusun
menyampaikan terima kasih kepada pembimbing kami, dr. Andre Steven Tjahja B.,
Sp.KFR. atas segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan kepada kami
selama proses pembuatan dan perbaikan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Untuk itu,
saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan
makalah ini. Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima
kasih.
Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta
rekan-rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang
kedokteran.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Judul
Kata Pengantar .............................................................................................................2
Daftar Isi ......................................................................................................................3
BAB I. Pendahuluan ………………………...…………………………………… ...4
BAB II. Status Pasien
1. Anamnesis .........................................................................................................5
2. Pemeriksaan Fisik .............................................................................................6
3. Diagnosis...........................................................................................................8
4. Problem List ......................................................................................................8
5. Planning Therapy ..............................................................................................9
6. Resume..............................................................................................................9
BAB III. Tinjauan Pustaka
a. Aspek Rehabilitasi pada Pasien Ca Mammae…………………………………11
b. Limfedema dan Kaitannya pada Pasien Ca Mammae………………………..15
BAB IV. Penutup
a. Simpulan .........................................................................................................27
b. Saran ...............................................................................................................28
Daftar Pustaka ..........................................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker payudara merupakan jenis kanker terbanyak dan penyebab kematian nomor dua
pada wanita di Amerika Serikat dengan usia antara 20–59 tahun.1 Insiden kanker payudara
berdasarkan Age Standardized Ratio(ASR) disebagian besar negara di Asia masih rendah,
walaupun angka tersebut melebihi dari 50 per 100.000 penduduk (World Standardized Rate)
di Manila, Filipina dan Karachi Selatan Pakistan.2 Di Indonesia kanker payudara merupakan
jenis kanker kedua terbanyak setelah kanker leher rahim, insidennya berdasarkan ASR pada
tahun 2000 adalah 20,6 per 100.000 penduduk.3
Kanker payudara memiliki beberapa modalitas terapi, salah satunya adalah
pembedahan berupa Modified Radical Mastectomy (MRM).4 Namun pada beberapa pasien
ditemukan arm morbidity yang muncul setelah dilakukan pembedahan, dimana hal tersebut
sangat mempengaruhi Quality Of Life (QOL) pasien.5 Beberapa hal yang dinilai pada arm
morbidity adalah derajat nyeri, limfedema, disability dan gangguan Range Of Motion (ROM)
atau lingkup gerak sendi pada bahu.5,6 Gangguan lingkup gerak sendi bahu pada pasien pasca
tindakan pembedahan merupakan akibat dari beberapa faktor, yaitu teknik pembedahan dengan
diseksi kelenjar getah bening (KGB) aksila, flap yang terlalu tipis, dan proses penyembuhan
luka operasi seperti subcutaneous fibrosis dan scarring. Faktor-faktor lain berupa umur pasien,
program latihan gerakan bahu pasca operasi, Body Mass Index (BMI) pasien juga mempunyai
peran dalam terjadinya gangguan lingkup gerak sendi bahu pasca MRM.7,8
Gangguan lingkup gerak sendi bahu sering muncul bersamaan dengan komplikasi lain
seperti nyeri kronik dan limfedema yang mengakibatkan masalah fisik, psikologis dan sosial
bagi penderitanya.9 Oleh karena itu deteksi awal dan latihan gerakan pada lengan pasca
pembedahan mastektomi sangat penting dalam hal pencegahan terjadinya gangguan pada
lingkup gerak sendi bahu pasien. Di Canada ditemukan sebanyak 69,5% pasien yang
mengalami gangguan dari lingkup gerak sendi bahu.10 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Thasmut dan Kakuda didapatkan 1,5% - 50% pasien yang mengalami gangguan lingkup gerak
sendi pada bahu pasca tindakan pembedahan pada karsinoma payudara.7
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik mengangkat laporan kasus aspek
rehabilitasi medik pada pasca MRM, sehingga dapat mengantisipasi dan mencegah terjadinya
komplikasi yang mungkin terjadi.
4
BAB II
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 67 Tahun
Jenis kelamin : perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Alamat : Blitar
Status Pernikahan : Menikah
Suku : Jawa
Tanggal periksa : 1 Oktober 2015
5
5. Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien telah melakukan tiga kali operasi. Operasi pertama adalah operasi
pengangkatan payudarayang dilakukan kurang lebih satu tahun yang lalu, operasi kedua
merupakan operasi pengambilan sisa jaringan yang adayang dilakukan 6 bulan yang lalu
dan operasi ketiga dilakukan untukmengambil kelenjar getah bening kurang lebih 3 bulan
yang lalu. Sebelumnya pasien juga telah melakukan kemoterapi dan radioterapi di RS.
Syaiful Anwar Malang. Pasien juga melakukan terapi alternatif.
1. Status generalis
Keadaan Umum tampak cukup sehat, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6), status
gizi kesan lebih.
LLA Dextra : 33 cm
LLS Sinistra :43 cm
Bagian Pergerakan Sendi Kekuatan Otot
Tubuh Pergerakan ROM Otot MMT
Shoulder Fleksi Full/0-110o Fleksor 5/5
Ekstensi Full/0-20o Ekstensor 5/5
Abduksi Full/0-112o Abduktor 5/5
Adduksi Full/0-35o Adduktor 5/5
Internal Rotasi Full/0-40o Int. Rotator 5/5
Eksternal Rotasi Full/0-28o Eks. Rotator 5/5
Elbow Fleksi Full/0-110o Fleksor 5/5
Ekstensi Full/0- (-15)o Ekstensor 5/5
Pronasi Full/Full Pronator 5/5
Supinasi Full/Full Supinator 5/5
Wrist Fleksi Full/Full Fleksor 5/5
Ekstensi Full/Full Ekstensor 5/5
Radial Deviasi Full/Full Radial Deviator 5/5
Ulnar Deviasi Full/Full Ulnar Deviator 5/5
Fingers Fleksi MCP Full/0-50o Fleksor 5/5
Ekstensi MCP Full/Full Ekstensor 5/5
6
3. Pemeriksaan neurologis
Reflek tendon dalam
Bisep : +2/+2
Triseps : +2/+2
Patella : +2/+2
Achilles : +2/+2
Reflek patologis : babinski -/-, Hoffmann tromner -/-
Sensorik : N N
N N
III. DIAGNOSIS
Limfaedema Post Masektomi Radikal Sinistra + Stiffness Shoulder Sinsitra
V. PLANNING TERAPI
1. Terapi Rehabilitasi medik
TENS di lengan kiri
MLDV (Manual Lymph Drainage Vodder)
Strengthening exercise shoulder Sinistra
7
2. KIE
Disarankan kepada pasien untuk lebih sering mengelevasikan tangan kiri pasien
lebih tinggi dari posisi jantung.
Disarankan kepada pasien untuk melakukan gerakan menggenggam dan
menggerakkan lengan kanan agar terjadi kontraksi otot sehingga aliran darah vena
dan limfe lebih baik.
VI. RESUME
Ny, S, usia 67 tahun, Pasien datang periksa ke poli rehabilitasi medik rumah sakit mardi
waluyo dengan keluhan bengkak pada tangan kiri sejak 1 bulan yang lalu. Tangan tiba-tiba
membesar, awalnya di lengan bagian bawah kemudian mulai membesar di lengan bagian
atas juga. Karena membesar tangan mulai sulit untuk digerakkan. Baik bagian atas bawah
maupun jari-jari pasien mulai sulit untuk menggenggam sempurna seperti sebelumnya.
Pasien juga mengeluhkan tangan kirinya sering terasa nyeri dan kaku-kaku di pagi hari atau
saat bangun tidur serta di malam hari hingga membuat pasien sulit untuk tidur. Nyeri
berkurang jika tangan kiri dikompres dengan air hangat. Pasien merasa tangannya terasa
tebal tetpi masih terasa dantidak mati rasa. Pasien tidakmengeluhkan adanya kesemutan dan
tidak terasa lemas.
Pasien memiliki riwayat Ca mammae, didagnosa kurang lebih dua tahun yang lalu.
Sebelumnya pasien telah melakukan tiga kali operasi. Operasi pertama adalah operasi
pengangkatan payudara yang dilakukan kurang lebih satu tahun yang lalu, operasi kedua
merupakan operasi pengambilan sisa jaringan yang adayang dilakukan 6 bulan yang lalu
dan operasi ketiga dilakukan untuk mengambil kelenjar getah bening kurang lebih 3 bulan
yang lalu. Sebelumnya pasien juga telah melakukan kemoterapi dan radioterapi di RS.
Syaiful Anwar Malang. Pasien juga melakukan terapi alternatif.
Dari pemeriksaan fisikdidapatkan hambatan pada ROM anggota gerak atas sinistra antara
lain bagian shoulder fleksi 0-110o, ekstensi 0-20o, abduksi 0-112o, adduksi 0-35o, internal
rotasi 0-40o, dan eksternal rotasi 0-28o. untuk bagian elbow fleksi 0-110o dan ekstensi 0- (-
15)o, untuk bagian finger fleksi MCP 0-50o.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik disimpulkan bahwa diagnose pasien adalah
Limfaedema Post Masektomi Radikal Sinistra + Stiffness Shoulder Sinsitra.
Penatalaksannan pasien dibidang fisioterapi berupa pemberian TENS shoulder sinsitra,
MLDV dan strengthening padabagian tangan kiri. Selain itu pasien di KIE juga untuk
melakukan latihan di rumah untuk meningkatkan aliran darah vena dan limfe agar lebih
optimal.
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
9
biologis, psikologis, sosial, personal dan emosional. Ada beberapa tips untuk mengatasi fatigue
yaitu: berolahraga ringan, tidur cukup, melakukan aktivitas yang disukai, tidak memaksakan
tubuh melakukan kegiatan jika sudah tidak mampu, makan cukup, bergizi dan menghindari
makanan berlemak tinggi, melakukan terapi alternatif seperti pijat, relaksasi, meditasi, yoga.
Bila didapatkan dugaan awal adanya neuropati, elektromiografi dan pengamatan
kecepatan konduksi saraf dapat segera dikerjakan. Pengamatan ini sebagai diagnosa maupun
prognosa, yang menjadi acuan pengobatan dan terapi rehabilitasi. Pasien-pasien dengan gejala
klinis neuropati ditangani dengan fleksibilitas, koordinasi dan latihan penguatan dan
penggunaan pertolongan ambulasi dan berat-ringannya alat bantu bila diperlukan.
Masalah rehabilitasi medik yang dapat terjadi pada pasien Ca mammae antara lain :
- nyeri
- gangguan fungsi fisik : keterbatasan sendi bahu
- gangguan penampilan fisik/kosmetik
- gangguan fungsi psikis/emosi
- perubahan kulit pada area radiasi : burn like appearance
- gangguan sensibilitas ekstremitas atas
- metastasis
Tujuan rehabilitasi antara lain: meminimalisasi kelainan dan disfungsi bahu/lengan melalui
pengembalian bertahap gerak sendi dan bahu, pemeliharaan fungsi fisik, psikososial serta
kualitas hidup, dan persiapan vokasional.
Program rehabilitasi pada pasien Ca mammae meliputi :
1. Fisioterapi
a. Latihan pernapasan
b. Latihan batuk efektif
2. Okupasi terapi
Latihan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
3. Sosiomedik
Motivasi dan edukasi keluarga untuk menjaga dan
membantu penderita dalam pengobatan penyakitnya
4. Ortesa protesa : dapat diberikan breast prosthesis
5. Psikologi
Gambar 3.1: Breast prosthesis.2
10
a. Memberikan dukungan mental dan konseling pada pasien untuk tidak menyerah/putus
asa dalam menghadapi penyakitnya.
b. Memberi motivasi kepada pasien agar konsisten melaksanakan program pengobatan yang
diberikan baik terapi bedah onko, radioterapi dan rehabilitasinya.
c. Edukasi pada pasien dan keluarga tentang penyakitnya.
Program rehabilitasi tersebut dapat dilakukan baik untuk persiapan sebelum operasi
maupun dalam perawatan setelah operasi. Dalam suatu penelitian prospektif pada pasien
karsinoma mamma disimpulkan bahwa pasien yang menerima fisioterapi mempunyai fungsi
gerakan yang lebih baik dibandingkan kelompok yang tidak mendapat fisioterapi. Program
latihan di rumah juga harus digalakkan. Sedangkan pasca-operasi atau selama radioterapi
latihan ROM bermanfaat untuk mencegah kontraktur.1
Sebelum dilakukan pembedahan, penderita disiapkan secara optimal, program
rehabilitasi yang dilakukan antara lain:
1. Persiapan psikologis.
Persiapan psikologis bertujuan untuk membantu klien mempersiapkandiri dalam
memhadapi operasi, perawta diharapkan mengetahui informasi dokter kepada pasien
maupun keluarga, tentang macam tindakan yang akn dilakukan manfaatdan akibat yang
mungkin muncul dan terjadi serta memberikan penjelasan tentang prosedur-prosedur yang
akan dilakukan sebelum operasi.
2. Psikososial
Persiapan psikososial di tujukan menghindari adanya gangguan hubungan sosisal dan
interpersonal dan peran dimasyarakat, akiabt perubahan kondisi kesehatan dimana klien
seolah-olah klien tidak mampu menerima simpati dariorang lain, meraik diri dari pergaulan
dan merasa canggung dan bersoislaisasi dengan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
3. Fisioterapi : latihan pernapasan dan latihan batuk efektif
Sedangkan program rehabilitasi pada perawatan sesudah operasi antara lain :
1. Psikologi
Payudara merupakan alat vital seseorang ibu dan wanita, kelainan atau kehilangan akibat
operasi payudara sangat terasa oleh pasien,haknya seperti dirampas sebagai wanita normal,
ada rasa kehilangan tentang hubungannya dengan ssuami, dan hilangnya daya tarik serta
serta pengaruh terhadap anak dari segi menyusui.
11
2. Mobilisasi fisik
Komplikasi yang berhubungan dengan masektomi radikal adalah edema, nyeri, imobilitas
dan kosmetik yang buruk. Ajari pasien tentang pengaturan posisi yang sesuai, jangkauan
gerak, pengendalian rasa nyeri dan aktivitas. 3
Pada pasien pasca mastektomi perlu adanya latihan-latihan untuk mencegah atropi otot-
otot kekakuan dan kontraktur sendi bahu, untuk mencegah kelainan bentuk (diformity) lainnya,
maka latihan harus seimbang dengan menggunakan secara bersamaan.
Latihan awal bagi pasien pasca mastektomi :
a. Pada hari pembedahan, melenturkan dan meluaskan gerakkan jari membalik-balik lengan
b. Hari 1-22
o Latihan lingkup gerak sendi untuk siku, pergelangan tangan dan jari lengan daerah yang
dioperasi.
o Untuk sisi sehat latihan lingkup gerak sendi lengan secara penuh
o Untuk lengan atas bagian operasi latihan isometrik.
o Latihan relaksasi otot leher dan thoraks
o Aktif mobilisasi
c. Hari 3-52,3
o Latihan lingkup gerak sendi untuk bahu sisi operasi (bertahap)
o Latihan relaksasi
o Aktif dalam sehari-hari dimana sisi operasi tidak dibebani dan pada ekstremitas superior
yang tidak terkena.
d. Hari 6 dan seterusnya
o Bebas gerakan
o Edukasi untuk mempertahankan lingkup gerak sendi dan usaha untuk mencegah atau
menghilang timbulnya lymphedema.2
o Aktivitas berdiri tegak dan kehidupan sehari-hari (ADLs) dan aktivitas penguatan
selama program pasien di rumah
o Kompresi dengan perban elastis 3
12
B. LIMFEDEMA DAN KAITANNYA PADA PASIEN CA MAMMAE
a. Definisi Limfedema
Limfedema (Lymphedema) merupakan suatu kondisi pembengkakan yang disebabkan
oleh karena abnormalitas atau disfungsi sistem limfatik yang menimbulkan akumulasi
abnormal cairan limfatik di interstisial yang mengandung protein dan debris sel dengan berat
molekul besar. Limfatik atau kelenjar getah bening berfungsi dalam transportasi senyawa
kimia dan sel imun esensial. Jika tidak ditata laksana, limfedema dapat berkembang menjadi
inflamasi kronis, infeksi dan pengerasan kulit, yang pada akhirnya, menyebabkan kerusakan
pembuluh limfatik lebih lanjut dan distorsi bentuk bagian tubuh yang terkena.4-9
b. Etiologi Limfedema dan Kaitannya pada Pasien Ca Mammae
Ca Mammae memiliki kaitan yang erat dengan limfedema. Para ahli memperkirakan
bahwa 5-40% wanita yang menjalani operasi pengangkatan benjolan atau payudara mengalami
limfedema pada level tertentu. Pada pasien Ca Mammae dengan limfedema memiliki beberapa
kemungkinan mekanisme atau penyebab yang mendasarinya dan menjadi resiko kejadiannya
lebih tinggi, diantaranya :13
memiliki kanker payudara yang sudah menginvasi kelenjar getah bening
menjalani operasi pengangkatan seluruh bagian payudara (mastektomi)
kelenjar getah bening maupun pembuluh getah bening seluruhnya juga diangkat
(pembuluh getah bening di ketiak/ node axilaris).
menjalani radiasi sesudah operasi pengangkatan kelenjar getah bening
gemuk/obesitas
perokok berat
memiliki diabetes.
Secara umum, berdasarkan penyebabnya limfedema dapat digolongkan menjadi
limfedema primer dan limfedema sekunder. Limfedema primer terjadi pada sistem limfatik itu
sendiri, sedangkan limfedema sekunder disebabkan oleh penyakit lain. Limfedema primer
lebih jarang terjadi dibanding limfedema sekunder. Adapun penyebab pada masing-masing
jenisnya adalah : 10,11
Penyebab Limfedema Primer : jarang, terjadi paling sering pada wanita, biasanya
disebabkan oleh gangguan perkembangan pembuluh getah bening dalam tubuh.
Penyebab spesifiknya meliputi:
13
1. Penyakit Milroy (limfedema bawaan): kelainan bawaan yang dimulai pada masa bayi
dan menyebabkan kelenjar getah bening tidak terbentuk secara normal, menyebabkan
limfedema.
2. Penyakit Meige (limfedema praecox): sering menyebabkan gangguan pada anak usia
limfedema atau sekitar puberitas, namun dapat terjadi juga pada usia 20-an atau awal
30-an. Hal ini menyebabkan pembuluh getah bening untuk membentuk tanpa katup
yang menjaga cairan getah bening mengalir ke belakang, sehingga sulit bagi tubuh
untuk mengeringkan cairan limfe dari kaki dengan benar.
3. Limfedema tarda : langka dan biasanya dimulai setelah usia 35 tahun.
Penyebab Limfedema Sekunder : limfedema disebabkan oleh kondisi atau prosedur
yang merusak kelenjar atau pembuluh getah bening, seperti:
1. Bedah : limfedema dapat berkembang jika kelenjar getah bening dan pembuluh getah
bening diambil contoh pada operasi kanker payudara mungkin termasuk pengambilan
satu atau lebih kelenjar getah bening di ketiak untuk mencari bukti bahwa kanker telah
menyebar.
2. Radiasi pengobatan kanker: radiasi dapat menyebabkan jaringan parut dan peradangan
dari kelenjar atau pembuluh getah bening sehingga membatasi aliran cairan getah
bening.
3. Kanker: jika sel kanker memblokir pembuluh limfatik, limfedema dapat terjadi.
Misalnya, tumor yang tumbuh di dekat kelenjar getah bening bisa menjadi cukup
besar untuk memblokir aliran cairan getah bening.
4. Infeksi. : infeksi pada kelenjar getah bening dapat membatasi aliran cairan getah
bening dan menyebabkan limfedema. Parasit juga dapat memblokir pembuluh getah
bening. Limfedema adalah infeksi paling umum terjadi di daerah tropis dan subtropis
dan lebih mungkin terjadi di negara berkembang.
14
berprotein ke interstisium, menyebabkan peningkatan tekanan onkotik interstisial yang
mengimbangi pertambahan cairan.
Cairan interstisial dalam keadaan normal berkontribusi terhadap makanan jaringan.
Sekitar 90% cairan kembali ke sirkulasi melalui jalan masuk kapiler vena. Sisa 10% terdiri dari
protein berat molekul tinggi dan air yang diikatnya, terlalu besar untuk melewati dinding
kapiler vena. Hal itu mengakibatkan sisa
tersebut mengalir ke kapiler limfe yang
tekanannya di bawah tekanan atmosfer
dan dapat menampung protein ukuran
besar dan air yang menyertainya. Protein
kemudian berjalan melalui berbagai
Gambar 3.2: Patofisiologi limfedema.11
nodus limfe penyaring sebelum bergabung dengan sirkulasi vena.
Pada keadaan patologis, kapasitas transport limfe berkurang. Hal ini menyebabkan
volume normal cairan interstisial melebihi tingkat pengembalian limfatik, menyebabkan
stagnasi protein dengan berat molekul besar di interstisium. Hal ini biasanya terjadi setelah
aliran berkurang 80% atau lebih. Akibatnya, dibandingkan dengan bentuk edema lain yang
konsentrasi proteinnya lebih rendah, edema ini mengandung kadar protein yang tinggi atau
limfedema, dengan konsentrasi protein 1,0-5,5 g/mL. Tekanan onkotik yang tinggi di
interstisium ini menyebabkan akumulasi air meningkat di interstisium.
Akumulasi cairan interstisium menyebabkan
dilatasi masif dari saluran keluar yang ada dan
inkompetensi katup yang menyebabkan aliran balik dari
jaringan subkutan ke pleksus dermal. Dinding limfatik
menjadi fibrosis, dan thrombi fibrinoid terakumulasi di
dalam lumen, menyumbat kanal limfe yang
Gambar 3.3: Limfedema pada
tersisa. Shunt limfovena spontan mungkin terbentuk. Nodus
ekstremitas atas dan bawah bagian
limfe mengeras dan menyusut, kehilangan arsitektur aslinya. kanan.14
Di interstisium, akumulasi protein dan cairan menginisiasi reaksi radang. Aktivitas
makrofag meningkat, menghasilkan destruksi serat elastis dan produksi jaringan fibro-
sklerotik. Fibroblast bermigrasi ke interstisium dan deposit kolagen. Akibat dari reaksi radang
ini adalah perubahan dari pitting edema ke edema nonpitting sebagai karakteristik khas
15
limfedema. Akibatnya, pengawasan imun lokal tertekan, dan infeksi kronik, dan juga
degenerasi maligna sampai limfangiosarkoma dapat terjadi.
d. Kategori Limfedema
The International Society of Lymphology membagi limfedema dalam beberapa kategori: 12
Stadium 1 : kulit yang diberi tekanan akan meninggalkan celah (pit) yang membutuhkan waktu
beberapa saat untuk kembali lagi (pitting edema). Kadang pembengkakan dapat
dikurangi dengan mengelevasi ekstremitas selama beberapa jam.
Stadium 2 : area yang bengkak bila ditekan tidak membuat celah (non-pitting edema) dan
bengkak tidak berkurang dengan elevasi ekstremitas. Jika tidak diobati, jaringan
di ekstremitas akan secara bertahap semakin keras dan menjadi fibrotik.
Stadium 3 : terjadi setelah limfedema yang tidak diobati, jangka lama, dan progresif. Pada
stadium ini terdapat perubahan besar pada kulit dan mungkin berupa penonjolan
dan pembengkakan. Meskipun limfedema respon dengan pengobatan, pada
keadaan ini jarang reversibel.
e. Diagnosis Limfedema
Diagnosis limfedema yang tepat dapat dilakukan dengan beberapa uji diagnostik,
diantaranya adalah:
• Anamnesa dan pemeriksaan fisik
Anamnesa dan pemeriksaan fisik sangat penting dilakukan untuk semua pasien
pembengkakan kronis.15-17 Limfedema primer dan sekunder memiliki karakteristik khas
yang berbeda. Anamnesa terkait onset usia, lokasi-lokasi pembengkakan, nyeri dan gejala
lain, riwayat pengobatan yang menyebabkan bengkak, perjalanan progresifitas
pembengkakan, dan faktor-faktor terkait onset progresifitas misalnya kanker, cidera, atau
infeksi. Riwayat penyakit keluarga penting untuk mendiagnosis limfedema herediter.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan sistem vaskular (limfatik, vena dan arteri), kulit dan
jaringan lunak pada bagian tubuh yang bengkak, palpasi nodus limfatikus, serta melihat
perubahan sistem tubuh yang berhubungan dengan berbagai karakter limfedema herediter.18-
19
Informasi uji diagnostik dan imaging harus disertakan bersama dengan anamnesa dan
pemeriksaan fisik untuk memperoleh diagnosis yang tepat.
16
• Soft tissue imaging
Magnetic resonance imaging (MRI), computed tomography (CT) dan beberapa tipe
ultrasound (US) dapat digunakan untuk deteksi cairan berlebih dalam jaringan. MRI, CT-
scan dan US dapat menunjukkan peningkatan cairan interstisiel namun tidak dapat
mengidetififkasi penyebabnya. Tekhnik imaging ini harus dikombinasikan dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik serta uji imaging yang lain.19 Pada kondisi lain misalnya heart
failure atau protein yang rendah di darah pada penyakit liver atau malnutrisi dapat
menyebabkan penumpukan cairan berlebih pada jaringan. MRI, US dan CT-scan mungking
juga dibutuhkan untuk mencari penyebab limfedema, khususnya jika ada kecurigaan
limfedema yang diakibatkan oleh karena kanker yang tidak tertangani.
17
• Pengukuran volume
Pengukuran volume ekstremitas (lengan dan kaki) merupakan pemeriksaan standar untuk
mendeteksi limfedema kususnya jika dilakukan dengan tepat dan rutin. Pengukuran volume
ekstremitas dapat digunakan untuk mengetahui kuantitas perkembangan dan tingkat
keparahan limfedema dan mengamati respon pengobatan. Volume diukur dengan 3 metode
utama: 21
1. Pengukuran pita : digambarkan dalam bentuk interval, dengan rumus geometrik untuk
menghitung volume total. Tekhnik ini biasanya akurat jika dilakukan dengan tepat dan
cara yang sama di setiap waktu pemeriksaannya serta dengan pemeriksa yang sama.
2. Perometry : menggunakan infra-red optical electronic scanner dan komputer untuk
menghitung volume tiap bagian tubuh. Perometry akurat jika posisi bagian tubuhnya
tepat dan sama di tiap waktu pemeriksaan, mesin akan mengkalibrasi keakuratannya.
3. Water displacement (perpindahan air): pemeriksaan ‘gold standard’ untuk menilai
volume. Bagian tubuh akan diukur dengan membenamkannya pada silinder besar dan air
yang keluar atau tumpah (displaced) akan diukur.
Pengukuran volume tidak dapat menggolongkan limfedema dengan tipe lain edema dan
tidak dapat mendiagnosis edema ekstremitas post-operative menjadi kronik limfedema.
Pemeriksaan ini baik digunakan untuk melihat efek terapi dari pada untuk mendiagnosis.
18
• Uji perubahan biomekanikal jaringan 21
Limfedema menyebabkan kulit dan jaringan subkutan yang terkena menjadi inflamasi dan
mengeras (fibrotik). Metode yang tepat untuk mengukur tekstur kulit dan resistensi secara
kuantitatif adalah dengan cara tissue dielectric constant dan tonometry.
Tissue dielectric constant untuk mengukur komposisi air dalam jaringan. Uji ini
digambarkan melalui alat yang lewat dan arus elektrik dengan frekuensi spesifik di satu
lokasi kulit dan mengukur gelombang refleksi yang kembali. Gelombang refleksi yang
terbentuk mengindikasikan jumlah air yang ada dalam jaringan.
Tonometry adalah alat yang digunakan untuk mengukur jumlah kekuatan yang dibutuhkan
jaringan untuk menekuk yang memberikan pengukuran spesifik terhadap jumlah derajat
kekokohan atau fibrosisnya. Alat ini sangat sulit digunakan dan dipengaruhi oleh banyak
faktor lingkungan.
• Uji genetik 21
Pada pasien limfedema primer, konseling genetik dan pemeriksaan genetik penting
dilakukan. Penentuan karyotype menunjukkan adanya abnormalitas kromosom seperti
Turner’s syndrome yang dapat berhubungan dengan limfedema. Tipe lain limfedema primer
juga memiliki gen spesifik. Misalnya, Milroy’s disease memilik defek spesifik pada gen
FLT4 yang memproduksi vascular endothelial growth factor receptor 3 (VEGFR-3). Gen
FOXC2 dan SOX18 juga berhubungan dengan limfedema. Sebagian besar limfedema
herediter tidak terdeteksi pada pemeriksaan genetik kromosom. Pada limfedema primer
lanjut, uji genetik memiliki manfaat yang kecil, namun konseling genetik mungkin
dibutuhkan sesuai kasus masing-masing.
Vascular Imaging21
Beberapa edema disababkan oleh karena penyakit atau abnormalitas sistem kardiovaskuler
(jantung, arteri dan vena). Pada pasien limfedema primer, evaluasi vaskuler penting
dilakukan. Juga pada beberapa kondisi misalnya congestive heart failure, deep venous
thrombosis (DVT), venous insufficiency, dan beberapa kondisi arterial yang berkembang
menjadi pembengkakan atau kondisi limfedema. Pada limfedema sekunder dari kanker,
obstruksi pada vena juga berkontribusi dalam derajat keparahan edema. Pemeriksaan
kardiovaskuler yang umum untuk mengevaluasi edema kompleks diantaranya:
echocardiogram, venous ultrasound dan arterial ultrasound dengan ankle brachial index
19
(ABI). Pemeriksaan ultrasound vena untuk melihat adanya trombus dapat mengevaluasi
penyebab yang mendasarijika didapatkan abnormalitas pembuluh darah di dada, abdomen
atau pelvis, pemeriksaan imaging lain, misalnya computed tomography venogram atau
arteriogram mungkin dapat digunakan.
Uji Diagnostik Lainnya21
Tidak ada pemeriksaan darah yang spesifik pada limfedema. Pada kondisi medis lain
misalnya hypothyroidism (myxedema) atau kadar protein rendah (hypoproteinemia) dapat
menyebabkan edema dan dapat dilakukan jika evaluasi pembengkakan yang lain sudah
dilakukan. Planing X-rays mungkin dibutuhkan pada limfedema herediter untuk evaluasi
kondisi ortopediknya.
f. Penatalaksanaan Limfedema 21
Penatalaksanaan limfedema dikenal dengan istilah Complete Decongestive therapy
(CDT) atau disebut dengan Combined, Complex or Comprehensive Decongestive Therapy.
CDT adalah terapi utama pada limfedema atau terapi “gold standard” yang aman dan efektif.
CDT terdiri dari fase reduktif inisial (Fase I) diikuti dengan fase pemeliharaan atau
maintenance (Fase II). Pada fase I, tujuan utama adalah mengurangi ukuran pada bagian yang
terkena dan memperbaiki kondisi kulitnya. Potimalnya pada fase ini, CDT dilakukan tiap hari
(5 hari/minggu) sampai volume cairan berkurang sampai stabil, yang dapat tercapai sekitar 3
sampai 8 minggu. Setelah fase I, kemudian dilanjut dengan Fase II, dimana terapi ini
merupakan fase penatalaksanaan yang individualistik. Program self-management terdiri dari
self-lymph drainage (juga disebut Simple Lymphatic Drainage), latihan limfatik di rumah,
regimen perawatan kulit, dan pakaian komplesi elastik atau bandage yang pemilihan
aplikasinya secara individual. Fase pemeliharaan atau maintenance (Fase II) harus
dimonitoring perubahannya secara periodik, untuk melihat perkembangan terapi atau kondisi
medik kronis lainnya. Fase II CDT dan monitoring medik periodik penting dilakukan untuk
keberhasilan terapi limfedema jangka panjang.
20
4. meningkatkan status fungsional pasien
5. mengurangi ketidaknyamanan dan memperbaiki kualitas hidup
6. mengurangi resiko selulitis dan Stewart-Treves-Syndrome, yang sering menyebabkan
angiosarkoma
2. Compression bandaging
Compression bandaging (bebat kompresi) merupakan tekhnik spesifik yang menggunakan
beberapa lapisan dari beberapa material untuk membuat kompresi gradien yang aman dan
efektif. Beberapa komponen yang dapat digunakan dalam
bebat kompresi adalah:
a. Lapisan bebat tubular
b. Bebat jari
Gambar 3.4: Compression Sleeve dan
c. Polyester, kapas, atau bantalan busa di bawah balutan
Compression Bandage.13
d. Lapisan multiple dari bebat bidang pendek (short-stretch bandage) yang melapisi
ekstremitas
Material busa yang melapisi balutan merupakan tekhnik standar pada bagian tubuh
dengan limfedema. Short-stretch bandage memiliki limit kekuatan saat menekan. Dapat
menekan sekitar 40-60% dari lengan yang diistirahatkan, jika dikombinasikan dengan long-
stretch bandage dapat menekan hingga >140%. Mekanisme kerja tekhnik ini adalah
memompa untuk memindahkan cairan interstisial ke sirkulasi vaskular circulation. Sealin
itu juga dapat mengurangi kekerasan pada jaringan (fibrosis). Compression Bandaging
adalah bagian dari Fase I CDT. Pada pasien dengan limfedema berat dapat menggunakan
21
compression bandaging dalam jangka waktu lama di rumah sebagai bagian dari Fase II.
Pada kepala dan leher tidak diperbolehkan melakukan tehnik ini.
22
Terapi Khusus
Intermittent Pneumatic Compression Therapy (IPC)
IPC, juga dikenal dengan terapi pompa kompresi, dapat digunakan pada Fase I CDT atau
sebagai terapi lanjutan di rumah (Fase II CDT). Tekanan pompa yang direkomendasikan
umumnya sekitar 30-60 mmHg, tekanan yang lebih tinggi atau lebih rendah juga
diperbolehkan, menyesuaikan kondisi individu pasien. Terapi ini biasanya dilakukan selama
satu jam. IPC tidak dilakukan sebagai terapi single. Terapi ini dilakukan bersama terapi standa
CDT Fase II. Untuk mengontrol edema, pakaian kompresi, atau short-stretch bandage, harus
digunakan bersama terapi pompa dan juga saat erapi IPC selesi.
Terapi Operatif
Terapi operatif pada limfedema bukan merupakan terapi kuratif, tetapi terapi ini adalah cara
khusus untuk mengontrol kondisi yang berat. Terapi ini digunakan untuk: mengurangi berat
dari ekstremitas yang terkena, meminimalkan frekuensi terjadinya inflamasi, memperbaiki
kecacatan kosmetik, atau menyesuaikan ukuran ekstremitas dengan pakaiannya. Beberapa
macam tekhnik operasi yang digunakan adalah:
(a) Operasi eksisional, diantaranya debulking dan liposuction
Debulking merupakan operasi untuk mengambil jaringan konektif yang mengerasdan
lipatan jaringan lemak lain yang besar pada bagian tubuh yang terjadi limfedema.
Liposuction merupakan tekhnik untuk mengambil deposit jaringan lemak pada bagian tubuh
yang terjadi limfedema dalam waktu yang lama.
(b) Pencangkokan
Pencangkokan (grafts) dapat dilakukan untuk mengambil pembuluh limfatik ke area yang
bengkak untuk mengalirkan cairan interstisial berlebih.
(c) Rekonstruksi limfatik microsurgical
Tekhnik microsurgical dan supramicrosurgical (pembuluh yang lebih kecil) dilakukan
untuk memindahkan pembuluh limfatik ke area yang bengkak untuk mengalirkan cairan
interstisial berlebih. Operasi melibatkan hubungan pembuluh limfatik dan vena, nodus
limfatik dan vena, atau pembuluh limfatik ke pembuluh limfatik.
Terapi Farmakologi
Pada limfedema tidak ada terapi obat atau suplemen khusus. Diuretik mungkin efektif untuk
memindahkan cairan dari intersisiel ke jaringan dan diindikasikan pada pasien dengan tikanan
23
darah yang tinggi dan sakit jantung. Diuretik yang berlebihan juga dapat menyebabkan
dehidrasi, terganggunya keseimbangan elektrolit, dan kerusakan jaringan.
Suplemen alami
Selenium dilaporkan bermanfaat untuk pasien limfedema pada kanker kepala dan leher.
Bromelain, senyawa yang ditemukan pada nanas, memiliki efek anti-inflamasi, antikoagulan,
efek enzimatik, and diuretik.
Terapi alternatif, integratif dan komplementer
Beberapa terapi yang mungkin digunakan namun belum ada penelitian lanjutan secara medis
diantaranya laser dingin, stimulasi elektrik, terapi vibrasi, terapi gerak, terapi endermologi dan
aqualimfatik. Semua tehknik ini dikombinasikan dengan komponen-konponen CDT.
Akupuntur menunjukkan beberapa manfaat pada gejala kanker dan terapi kanker, diantaranya
kelelahan, panas dan demam, nyeri sendi dan otot, neuropati dan mual.
24
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Telah diperiksa seorang perempuan usia 67 tahun, dengan keluhan bengkak pada tangan kiri
sejak 1 bulan yang lalu. Tangan tiba-tiba membesar, awalnya di lengan bagian bawah
kemudian mulai membesar di lengan bagian atas juga. Karena membesar tangan mulai sulit
untuk digerakkan. Baik bagian atas bawah maupun jari-jari pasien mulai sulit untuk
menggenggam sempurna seperti sebelumnya. Pasien juga mengeluhkan tangan kirinya sering
terasa nyeri dan kaku-kaku di pagi hari atau saat bangun tidur serta di malam hari hingga
membuat pasien sulit untuk tidur. Nyeri berkurang jika tangan kiri dikompres dengan air
hangat. Pasien merasa tangannya terasa tebal tetpi masih terasa dantidak mati rasa. Pasien
tidakmengeluhkan adanya kesemutan dan tidak terasa lemas.
Pasien memiliki riwayat Ca mammae, didagnosa kurang lebih dua tahun yang lalu.
Sebelumnya pasien telah melakukan tiga kali operasi. Operasi pertama adalah operasi
pengangkatan payudara yang dilakukan kurang lebih satu tahun yang lalu, operasi kedua
merupakan operasi pengambilan sisa jaringan yang adayang dilakukan 6 bulan yang lalu dan
operasi ketiga dilakukan untuk mengambil kelenjar getah bening kurang lebih 3 bulan yang
lalu. Sebelumnya pasien juga telah melakukan kemoterapi dan radioterapi di RS. Syaiful
Anwar Malang. Pasien juga melakukan terapi alternatif.
Dari pemeriksaan fisikdidapatkan hambatan pada ROM anggota gerak atas sinistra antara
lain bagian shoulder fleksi 0-110o, ekstensi 0-20o, abduksi 0-112o, adduksi 0-35o, internal rotasi
0-40o, dan eksternal rotasi 0-28o. untuk bagian elbow fleksi 0-110o dan ekstensi 0- (-15)o, untuk
bagian finger fleksi MCP 0-50o.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik disimpulkan bahwa diagnose pasien adalah
Limfaedema Post Masektomi Radikal Sinistra + Stiffness Shoulder Sinsitra. Penatalaksannan
pasien dibidang fisioterapi berupa pemberian TENS shoulder sinsitra, MLDV dan
strengthening padabagian tangan kiri. Selain itu pasien di KIE juga untuk melakukan latihan di
rumah untuk meningkatkan aliran darah vena dan limfe agar lebih optimal.
B. Saran
a. Untuk dapat berhasil dan berdaya guna, aspek rehabilitasi yang diberikan pada pasien Ca
Mammae perlu motivasi untuk tetap berusaha membuat catatan perkembangan dan
melanjutkan tindakan rehabilitasi.
b. Dalam melaksanakan rehabilitasi perlu adanya hubungan interpersonal yang terbuka antara
dokter muda, terapis, pasien/keluarga pasien, dokter rehabilitasi medik maupun tim
kesehatan lainnya, sehingga terjalin kerjasama dalam peningkatan mutu rehabilitasi pasien.
25
DAFTAR PUSTAKA
14. Tim bedah rekonstruksi rumah sakit Memorial Chang Gung. 2015. Pengobatan Lymphedema. Update: 10-3-
2015 Chang Gung Memorial Hospital . International medical center. All Available from: http://www.chang-
gung.com/id/features.php?id=32
15. Bernas, M et al. 2010. Lymphedema: How do we diagnose and reduce the risk of this dreaded complication of
breast cancer treatment? Curr Breast Cancer Rep 2, 53-58.
16. Szuba, A et al. 2003. The third circulation: radionuclide lymphoscintigraphy in the evaluation of lymphedema.
J Nucl Med, 44, 43-57
17. Szuba, A et al. 1997. Lymphedema: anatomy, physiology and pathogenesis. Vasc Med, 4,321-6
18. Wang, Z.. 2005. Clinical Report of congenital lymphatic malformations and partial gigantism of the hands
associated with a heterogenous karyotype. Am J Medical Genetics 132A, 106-107
19. Gupta, N et al. 2006. A female with hemihypertrophy and chylous ascites- Klippel Trenaunay Syndrome or
Proteus Syndrome: a diagnostic dilemma. Clin Dysmorphol. 15: 229-231
20. Szuba, A et al. 2003. Diagnosis and treatment of concomitant venous obstruction in patients with secondary
lymphedema. J Vasc Intervent Radiol. 13,799-803
21. NLN Medical Advisory Committee. 2011. TOPIC: The Diagnosis And Treatment Of Lymphedema. Position
Statement of the National Lymphedema Network. 116 New Montgomery Street, Suite 235. San Francisco.
26