Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

“ Kekerasan Seksual pada Anak ”

Oleh :
Kadek Adi Sagita Reka Baya

(H1A320010)

Dosen Pembimbing:
dr. Irawanto Rochadi Bima Sakti, Sp.FM., M.H.Kes.

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan
Kasus yang berjudul “Kekerasan Seksual” tepat pada waktunya. Tugas ini
dibuat dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara
Barat (Fakultas Kedokteran Universitas Mataram). Tugas ini juga merupakan
salah satu bentuk pembelajaran dan peningkatan pemahaman terhadap kasus
pada bagian forensic.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan teman-teman
yang telah memberikan dukungan terhadap tugas ini. Terima kasih juga
kepada dr. Irawanto Rochadi Bima Sakti, Sp.FM.,M.H.Kes selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga tugas ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Terima
kasih.

Mataram, 12 Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..………………………………………………………...1
KATA PENGANTAR………………………………………….……………..2
DAFTAR ISI………………………………………………….….……………
3
BAB I Pendahuluan…………………………………..
………………………..4
1.1 Latar Belakang…………………………..…………………………….4
1.2 Tujuan Umum ………………………………………………………...4
1.3 Tujuan Khusus………………………………………………………...4
BAB II Laporan
Kasus………………………………………………………...6
2.1 Identitas Korban……………………………………………………….6
2.2 Kronologi Kejadian……………………………………………………
6
2.3 Dokumentasi…………………………………………………………..7
2.4 Hasil
Pemeriksaan……………………………………………………..7
2.5 Deskripsi Luka………………………………………………………...8
BAB III Tinjauan
Pustaka……………………………………………………..9
3.1 Kekerasan Seksual………………………………………………….....9
3.2 Persetubuhan…………………………………………………………10
3.3 Dasar Hukum Kekerasan Seksual……………………………………11
BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………11
BAB IV
KESIMPULAN……………………………………………………..15
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..16
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kekerasan seksual didefinisikan sebagai adanya hubungan atau kontak
seksual antara individu tanpa yang tidak sesuai dengan hukum 1. Kekerasan
seksual merupakan setiap penyerangan yang bersifat seksual, baik dengan
adanya persetubuhan maupun tidak, tanpa memperdulikan hubungan antara
pelaku dengan korban yang dapat dilakukan dengan paksaan atau tanpa
paksaan, baik dengan kekerasan fisik atau ancaman melakukan kekerasan.
Kekerasan seksual tanpa unsur paksaan biasanya dilakukan dengan cara
membujuk atau melakukan tindakan lain dengan tujuan memperdaya korban
sehingga sering terjadi pada anak-anak karena keterbatasan pengalaman dan
penalaran berpikir5.
Di Indonesia untuk tiap tahunnya kasus kekerasan seksual
mengalami peningkatan tidak hanya kalangan dewasa, remaja dan anak
bahkan balita menjadi korban2. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) pada tahun 2011 telah terjadi 2.275 kasus kekerasan terhadap anak,
yang mana 887 kasus merupakan masalah kekerasan seksual. Pada tahun 2012
kekerasan seksual meningkat menjadi 1028 kasus dan pada tahun 2013 sekitar
1.266 anak menjadi korban kekerasan seksual2.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014
dalam pasal 1 ayat 1, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Perlindungan terhadap anak ialah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan hrkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi3.
Kekerasan seksual terhadap anak saat ini masih menjadi fenomena
gunug es, hal ini disebabkan karena kebanyakan anak yang menjadi korban
kekerasan seksual enggan melapor2. Hal ini diakibatkan berbagai macam
misalnya malu, takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tidak
tahu harus melaporkan kasusnya ke mana, namun karena seiring dengan
meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual
yang dilaporkan pun mengalami peningkatan7.
Ilmu kedokteran forensik berperan penting dalam upaya pembuktian
hukum adanya tindak pidana kekerasan seksual. Sebagai contohnya dalam hal
pelaporan yang merupakan langkah awal dari rangkaian prosedur dalam
mengungkapkan kasus kekerasan seksual. Salah satu komponen penting
dalam proses pengungkapan kasus kekerasan seksual adalah visum et
repertum (VeR) yang dapat memperjelas perkara dengan pemaparan dan
interpretasi bukti-bukti fisik akibat kekerasan seksual7.
1.2 Tujuan Umum
Untuk Mengetahui tanda-tanda persetubuhan pada kasus kekerasan
seksual yang dapat menunjang aspek medikolegal.
1.3 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi kekerasan seksual, persetubuhan
2. Mengetahui aspek hukum yang mengatur kasus kekerasan seksual
3. Mengetahui tanda-tanda persetubuhan pada kasus kekerasan seksual
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identititas Pasien


Nama : Jasmine Amelia Larasati
Umur : 12 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar SMP
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama/Suku : Islam/Sasak
Alamat : Jalan Koperasi. Gang Memet, Lingkungan Palembak,
Kelurahan Dayan Peken, Kecamatan Ampenan, Kota
Mataram
2.2 Kronologi Kejadian
Awalnya pelapor (ibu korban) mencari anaknya sekitar pukul 19.00
WITA karena tidak pulang Pada hari minggu tanggal 26 Juni 2021. Saat itu
ibu korban sempat menanyakan keberadaan anaknya kepada teman korban,
namun diberitahukan bahwa anaknya berada di TKP kemudian ibu korban
menghampiri TKP dan setelah sampai di TKP, ibu korban melihat korban
Bersama 3 orang teman lakinya korban, namun setelah pelapor bertemu
dengan korban dan menanyakan apa yang korban lakukan di TKP, korban
mengaku sudah melakukan hubungan persetubuhan dengan pacarnya
sebanyak 2 kali, dengan adanya pristiwa tersebut, ibu korban merasa
keberatan dan melaporkan kejadian tersebut ke SPKT Polresta Mataram

2.3 Dokumentasi

2.4 Hasil Pemeriksaan


Pasien dibawa ke IGD RS Bhayangkara dalam keadaan sehat,
kesadaran baik, emosi tenang, rambut rapi, penampilan bersih, dan sikap
selama pemeriksaan sangat membantu. Pasien merupakan anak berumur dua
belas tahun dengan tinggi badan seratus lima puluh empat sentimeter dan
berat badan tiga puluh kilogram. Pakaian rapi tanpa robekan dan tanpa
kancing terputus. Saat dilakukan pemeriksaan tekanan darah menunjukan
normal yakni 90/70 mmHg, nadi 123 x/menit, frekuensi pernafasan 20
x/menit dan suhu 36,8 derajat celscius.
Tidak ditemukan kelainan pada bagian kepala, badan, dan anggota
gerak. Pada alat kelamin terdapat luka robek lama pada selaput dara sampai
dasar kelamin pada arah jam dua, lima, enam, sepuluh, dan sebelas. Selain itu,
pada pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium urin PP test (kehamilan)
dengan hasil negatif.
2.5 Deskripsi Luka

Regio : alat kelamin (Selaput dara)

Koordinat :-

Jenis Luka : luka robek


Karakteristik : luka robek lama pada selaput
dara sampai dasar kelamin di
arah jam 5, 6,10, dan 11.

Ukuran :-

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kekerasan Seksual


Kekerasan seksual didefinisikan sebagai segala jenis kegiatan atau
hubungan seksual yang dipaksakan dan atau tanpa persetujuan dari korban
dan mengharuskan adanya persetubuhan. Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dalam Bab XIV tentang kekerasan terhadap
kesusilaan. Pasal 285 tentang perkosaan mengatakan barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, akan diancam pidana penjara paling lama dua
belas tahun. Sedangkan persetubuhan dengan wanita dibawah umur diatur
dalam pasal 287 ayat 1 yang mengatakan barang siapa bersetubuh dengan
seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatuhnya
harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalua umurnya
tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, akan diancam dengan
pidana penjara paling lama Sembilan tahun7.
Menurut Adzkar dan teman-teman dalam bukunya, kekerasan seksual
diartikan sebagai;
a. Serangan seksual perbuatan kearah tubuh terutama perempuan baik secara
fisik atau psikis. Dilakukan dengan menggunakan penis, atau anggota tubuh
lainnya yang bukan organ seksual, benda-benda dan atau dengan serangan
psikis berupa ucapan lisan, intimidasi, Bahasa tubuh atau gerkaan tubuh yang
bernada seksual
b. Untuk merendahkan martabat
c. Dilakukan dengan relasi kuasa tidak terbatas pada gender, usia, atau kelas
sosial
d. Tidak adanya persetujuan dari korban
e. Dengan tujuan mendapat kepuasan seksual atau untuk mendapatkan
keuntungan secara ekonomi, atau tujuan lain. Missal dalam eksploitasi seksual
f. Dilakukan dengan bujuk rayu, tipu daya, janji-janji palsu, atau membuat
korban tidak berdaya8.
3.2 Persetubuhan
Persetubuhan didefinisikan sebagai penetrasi penis ke dalam vagina.
Adapun tanda-tanda yang dapat ditemukan ialah:
1. tanda langsung
a. Adanya robekana pada selaput dara
b. Luka lecet atau memar di lliang senggama
c. Ditemukan sperma
2. Tanda tidak langsung
a. Kehamilan
b. Penyakit hubungan seksual7.
Saat memeriksa korban, tentukan besar orifisium, apakah sebesar
ujung jari kelingking, jari telunjuk atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga
ditentukan ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau
telunjuk dimasukkan dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai terasa tepi
selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran
pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-kira 2,5 cm.
lingkaran yang memungkinkan terjadinya persetubuhan adalah minimal 9
cm7.
Tidak ditemukannya robekan pada selaput dara tidak membuktikan
bahwa pada wanita itu tidak terjadi penetrasi, sebaliknya adanya robekan pada
selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau benda
lain yang masuk ke dalam vagina). Apabila pada persetubuhan disertai dengan
ejakulasi dan ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di
dalam liang vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila
ejakulat tidak mengandung sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan
dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka
perkiraan saat terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut
masalah alibi yang sangat penting dalam proses penyidikan. Dalam waktu 4-5
jam postcoital sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak, sperma
masih dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam
postcoital, dan masih dapat ditemukan 7-8 hari bila wanita yang menjadi
korban meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat
ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya
penyembuhan dicapai dalam waktu 7-10 hari postcoital7.
3.3 Dasar Hukum Kekerasan Seksual
Persetubuhan tertera pada Bab XIV KUHP Tentang Kekerasan
Terhadap Kesusilaan:
1. Persetubuhan dalam perkawinan: Pasal 288 KUHP
2. Persetubuhan di luar perkawinan
Dengan persetujuan si wanita
- Tanpa ikatan
a. Wanita < 15 tahun: (287 KUHP)
b. Wanita > 15 tahun: (284 KUHP)
- Dengan ikatan
a. Wanita < 21 tahun
 Pemberian/janji uang/barang (293 KUHP)
 Asuhan/Pendidikan (294 KUHP)
b. Wanita > 21 tahun
 Bawahan (294 KUHP)
 Dalam pengawasan (294 KUHP)
Tanpa Persetujuan
- Dengan kekerasan/ancaman (285 KUHP)
- Si wanita pingsan/tidak berdaya (286 KUHP)7.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien merupakan seorang anak berjenis kelamin perempuan sehat jasmani


dan rohani, saat ini berusia 12 tahun dan berstatus sebagai pelajar. Pasien mengakui
sudah berhubungan badan dengan pacarnya sebanyak 2 kali, dengan adanya hal
tersebut ibu pasien merasa keberatan dan melaporkan kejadian tersebut ke SPKT
Polresta Mataram.
Berdasarkan hal tersebut mengenai kondisi yang dialami pasien, jika ditinjau
dari definisi kekerasan seksual, pasien telah menjadi korban kekerasan seksual.
Terdapat beberapa arti kata dari kekerasan seksual, baik dari arti kata secara legal,
sosial, maupun medis. Salah satu pengertian kekerasan seksual adalah segala jenis
bentuk perbuatan atau hubungan seksual dengan atau tanpa paksaan dan tanpa
persetujuaan dari korban6.
Jika ditinjau dari segi usia pasien yang baru berumur 12 tahun, Menurut data
dari sistem peradilan di Chile, Malaysia, Meksiko, Peru, dan Amerika Serikat, sekitar
1/3 atau 2/3 korban kekerasan seksual berusia kurang dari atau sama dengan 15
tahun, hal ini menunjukan bahwa perempuan berusia remaja lebih rentan menjadi
korban kekerasan seksual daripada wanita dewasa4. Menurut bagian Kedokteran
Forensik RSUP Sanglah, kejahatan seksual banyak ditemukan pada usia antara 12-25
tahun, hal ini mungkin diakibatkan karena lingkungan keluarga yang kurang
harmonis, ekonomi yang kurang, dan pendidikan yang relatif rendah10.
Pada kasus ini, pelaku yang melakukan tindak kekerasan seksual ialah pacar
korban yang mana dalam catatan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2017,
ditemukan bahwa pacar adalah pelaku kekerasan seksual terbanyak dalam ranah
pribadi. Dalam penelitian yang dilakukan ditemukan 15% korban mengaku tidak
pernah melakukan hubungan seksual dengan pelaku, sedangkan 35% korban
mengaku sering berhubungan badan dengan pelaku sebelumnya. Sehingga dapat
disimpulkan peristiwa kekerasan seksual yang terjadi memiliki kesempatan besar
untuk mengalami kekerasan seksual secara berulang kali dalam kurun waktu yang
lama5. Hal ini disebabkan karena korban tidak berani mengatakan rahasia perihal
tindakan seksual kepada orang lain termasuk keluarga sendiri, dikarenakan adanya
ancaman, kehormatan, dan pemberian argumen dari pelaku yang mengatakan bahwa
tindakan tersebut adalah tanda cinta pelaku kepada korban6. Hal ini dapat terlihat
pada kasus yang mana korban tidak melaporkan tindakan kekerasan seksual yang
telah dialami, melainkan laporan tersebut didapat oleh karena laporan orang tua
korban.
Dalam pemeriksaan selaput dara didapatkan adanya luka robekan lama pada
arah jarum jam dua, lima, enam, delapan, sepuluh, dan sebelas. Luka ini disebabkan
oleh kemungkinan adanya penetrasi ke dalam vagina. Namun tidak terdapat
kesesuaian antara kronologi kejadian dengan luka-luka, dimana tidak ditemukannya
tanda-tanda peradangan yang menandakan adanya luka baru. Menurut penelitian
untuk mengevaluasi adanya luka-luka pada kasus kekerasan seksual anak, dapat
dilihat dalam waktu 72 jam, selebihnya akan sulit untuk melihat tanda-tanda
peradangan dikarenakan kondisi penyembuhan yang sangat cepat pada mukosa
superfisial3.
Pada laporan kasus ini didapatkan luka robek pada arah jam 5, 6, 8, 10, dan
11. Menurut Anil Aggrawal (2014) dalam bukunya yang berjudul Forensic Medicine
and Toxicology, lokasi tersering luka robek hymen tepatnya pada daerah posterior
sekitar posisi arah jam 6 atau posterolateral sekitar arah jam 5 dan jam 7, atau bahkan
untuk kasus yang jarang bisa terjadi pada arah jam 4 dan jam 8. Hal ini terjadi
dikarenakan dibandingkan pada bagian anterior, lokasi anatomi pada perianal
terfiksasi lebih kearah posterior, sehingga sebagai akibatnya jaringan lebih sering
mengalami banyak tekanan pada lokasi posterior ketika terjadi regangan maksimal.
Kemudian alasan lain dikarenakan pada sisi anterior terdapat jaringan periuretra yang
menopang hymen, sedangkan pada sisi posterior tidak ada yang menopang9.
Pada kasus ini juga untuk luka-luka yang ditemukan hanyalah luka robek di
area genital dan tidak ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan fisik pada anggota
tubuh lain seperti luka-luka ringan, luka gores, memar, lecet akibat kuku yang
menunjukan adanya perlawan dari korban. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan di RSUP Sanglah yang mana jenis kejahatan seksual yang paling banyak
ditemui adalah kasus perzinahan dan persetubuhan yang mana tidak banyak korban
yang menunjukan adanya tanda-tanda kekerasan fisik sebagai bukti adanya
perlawanan10. Sehingga dapat disimpulkan pada kasus kekerasan seksual pada korban
tidak ditemukan adanya kekerasan fisik, maka kemungkinan korban secara sukarela
melakukan persetubuhan

Berdasarkan kasus kekerasan seksual ini dimana perempuan berusia kurang


dari 15 tahun dan dilakukan dengan persetujuan maka dalam aspek hukum diatur
dalam KUHP pasal 287 ayat (1) yang berbunyi “Barang siapa yang bersetubuh
dengan perempuan yang bukan istrinya sedang diketahuinya atau harus patut
disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun atau kalua umurnya
tidak ternyata, bahwa belum mampu untuk kawin dihukum penjara selama-lamanya 9
tahun. Kemudian ayat (2) berbunyi bahwa penuntutuan hanya dilakukan atas
pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu
hal berdasarkan pasal 291 dan 294. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
pada pasal 32 ayat (2) berbunyi: penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan
dengan syarat sebagai berikut:
a. Anak telah berumur 14 tahun atau lebih
b. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tahun atau
lebih.

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil wawancara dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap


pasien di Instalasi Gawat Daruray Rumah Sakit Bhayangkara diketahui bahwa telah
diperiksa seorang korban perempuan berusia dua belas tahun, tinggi badan seratus
lima puluh empat sentimeter dan berat badan tiga puluh kilogram. Kulit berwarna
sawo matang dengan status gizi cukup
1. Hasil pemeriksaan luar ditemukan:
a. Tidak terdapat luka-luka pada anggota tubuh lain
b. Terdapat luka robek lama pada selaput dara sampai dasar kelamin pada
arah jam dua, lima, enam, delapan, sepuluh, dan sebelas.
Hal-hal tersebut di atas dapat disebabkan oleh persentuhan benda tumpul
2. Telah dilakukan pemeriksaan yang sesuai dengan SOP Instalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit Bhayangkara Mataram
3. Kualifikasi luka tersebut tidak menimbulkan halangan dalam menjalankan
aktivitas/pekerjaannya sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sachs CJ, Ladd M, Chapman J. Sexual Assault History and Physical. 2021.
Statpearls [Internet]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448154/
2. Noviana Pi. Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanganannya. Sosio
Inf [Internet]. 2015;1(1):13–28. Available from:
http://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/download/87/55
3. Christian CW, Lavelle JM, De Jong AR, Loiselle J, Brenner L, Joffe M. Forensic
evidence findings in prepubertal victims of sexual assault. Pediatrics. 2000;106(1
I):100–4.
4. Daher M. World report on violence and health. J Med Liban. 2003;51(2):59–63.
5. Pusat U, Padang MD. PROFIL KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI RUMAH
SAKIT Kekerasan seksual merupakan setiap penyerangan bersifat seksual , maupun
tidak , tanpa mempedulikan korban . Hal ini tidak hanya perempuan dengan paksaan
atau tanpa paksaan , ancaman melakukan kekerasan . Keke. 2019;1(1):36–50.
6. Perempuan ST. Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan. Lex
Soc. 2013;1(2):39–49.
7. Ratna Dewi P, I MG, Falamy R, Ramkita N. Pemeriksaan Fisik Dan Aspek
Medikolegal Kekerasan Seksual Pada Anak Dan Remaja. Vol. 53, Journal of
Chemical Information and Modeling. 2017. 1689–1699 p.
8. Ahsinin A, Dkk. Buku Saku : Mencegah dan Menangani Kekerasan Seksual
terhadap Perepuan dan Anak di Lingkungan Pendidikan. 2013;118–20.
9. Aggrawal A. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. 2014
10. Wijaya CK, Alit IBP. Gambaran Bukti Medis Kasus Kejahatan Seksual yang Diperiksa
di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik RSUP Sanglah Periode Januari 2009 – Desember 2013.
E-Journal Med. 2017;6(9):1–6.

Anda mungkin juga menyukai