PENDAHULUAN
Page | 1
Acute coronary syndrome (ACS) saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan
utama di dunia. Sejak tahun 1990 prevalensi ACS terus meningkat, pada tahun 2004
American Heart Association (AHA) memperkirakan prevalensi ACS di Amerika Serikat
mencapai 13.200.000 jiwa. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun
2013, ACS menjadi penyebab kematian terbanyak dengan mencapai jumlah 7 juta jiwa
kematian setiap tahunnya di seluruh dunia, hal ini terutama terjadi di negara berkembang
(WHO, 2013).
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 di Indonesia,
prevalensi ACS mencapai 9,3% dan menempati peringkat ke-3 sebagai penyebab
kematian terbanyak setelah stroke dan hipertensi (Depkes RI, 2008).
Manifestasi klinis ACS antara lain dapat berupa unstable angina pectoris (UAP), non-
ST elevation myocardial infarction (N-STEMI) serta ST elevation myocardial infarction
(STEMI). Acute coronary syndrome merupakan kasus gawat yang harus didiagnosis
segera, disertai manajemen yang benar untuk menghindari morbiditas dan mortalitas.
Dikarenakan angka mortalitas ACS yang tinggi, beberapa modalitas yang berbeda telah
digunakan untuk meningkatkan efektivitas identifikasi penyakit ini lebih cepat (McCaig,
et al., 2001).
Page | 2
BAB II
LAPORAN KASUS
Page | 3
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat penyakit maag : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat peyakit keluarga :
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat penyakit maag : disangkal
d. Riwayat sosial : Merokok (+) 2 bungkus/hari ( +24 batang/hari),
alkohol (-)
e. Riwayat alergi : (+)
f. Riwayat pengobatan : (-)
g. Riwayat Gizi : pasien makan secara teratur dan harus makan yang berisi daging,
terutama daging babi. Menyukai makan-makanan gorengan, namun tidak
menyukai sayur ataupun buah-buahan.
2.3 Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaraan : compos mentis
- GCS :E4V5M6
- Tanda vital : TD 100/60 mmHg, Nadi 80x/menit, RR 24x/menit, Suhu 36,50C
(axilla).
- BB : 50 kg, TB : 158 cm, IMT : 20,08 kg/m2
A. Status Generalis
Kulit : Warna sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor cukup,
tidak tampak bekas operasi.
Kepala : Simetris, normocephali, rambut beruban, distribusi merata, tidak
tampak jejas trauma dan kelainan kongenital, tidak tampak bekas operasi
Muka : Simetris, tidak tampak ada jejas trauma, tidak tampak ada
kelainan kongenital, tampak adanya nodul pada regio mandibula Sinatra.
Mata : Pupil bulat isokor dengan diameter3mm/3mm, konjungtiva
anemis tidak ada (-/-), sklera ikterik tidak ada (-/-), terdapat reflek cahaya pada
kedua mata (+/+).
Page | 4
Hidung : Discharge tidak ada (-/-), nafas cuping hidung tidak ada, deviasi
septum tidak ada, deformitas tidak ada
Mulut/Gigi: Bibir sianosis tidak ada, lidah kotor tidak ada, carries tidak ada,
mukosa tidak hiperemis, tonsil T0-T0
Telinga : Simetris, discharge tidak ada (-/-), tidak ada kelainan kongenital
Leher : Deviasi trakea tidak ada, JVP normal (5+2 cm H2O), pembesaran
KGB tidak ada, kelenjar tiroid dan kelenjar limfe tidak ada pembesaran (-/-).
Pemeriksaan Thorax (depan dan belakang)
- Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang
tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda – tanda
peradangan.
- Palpasi :
nyeri tekan
- -
- -
- -
Fremitus vokal normal kanan dan kiri sama.
- Perkusi
sonor redup pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
- Auskultasi
vesikular rhonki wheezing
- - - - + +
+ + - - - -
+ + - - - -
Pemeriksaan Jantung
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Page | 5
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya massa, tidak
tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : peristaltik usus 6x/menit
- Perkusi : timpani diseluruh regio abdomen, nyeri ketok sudut costovertebra
tidak ada.
- Palpasi : nyeri tekan (-)
o Hepar : tidak terdapat pembesaran hepar dan tidak terdapat nyeri tekan.
o Lien : tidak terdapat pembesaran lien dan tidak terdapat nyeri tekan.
o Ginjal : tidak terdapat pembesaran ginjal kanan dan kiri dan tidak terdapat
nyeri tekan, dan tidak nyeri ketok costovertebra.
Ekstermitas : Ekstermitas atas dan bawah hangat, nyeri [-], sianosis [-], edema [-],
CRT <2 detik.
Page | 6
1) Hasil EKG (27-05-2019)
Page | 7
2) Hasil EKG (29-05-2019)
Page | 8
3) Rontgen Thoraks
Kesan
Bronchitis emphysematous
Cor kesan normal
Efusi pleura bilateral minimal
Atherosclerosis aortae
Page | 9
PCT 0.10 0.01-9.99 %
P-LCR 23.5 0.1-99.9%
2.7 Planning
Cek lipid profil
2.8 Penatalaksanaan
Page | 10
- Methylprednisolon 2x62,5 mg IV
29 Mei 2019
Keluhan :
Pasien merasa sesak (+), nyeri dada kiri berkurang (+), nyeri uluhati (-), BAB
keras, BAK (+) Normal, Tidur biasa
KU : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD: 110/70 mmHg, N : 100x/menit, RR : 26x/mnt, T : 35,8°C (axilla),
SpO2 : 97%
Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemia (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+),Pupil bulat
isokor dengan diameter3mm/3mm.
THT : masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-), mukosa bibir
sianosis (-), Tonsil T1/T1, Tonsil hiperemis (-)
Pemeriksaan Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm H2O,
deviasi trakea (-)
Pemeriksaan Thorax
Pulmo (depan dan belakang) :
- Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang
tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda – tanda
peradangan.
- Palpasi :
nyeri tekan
- +
- +
- +
Fremitus vokal normal kanan dan kiri sama.
- Perkusi
Page | 11
sonor redup pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
- Auskultasi
vesikular rhonki wheezing
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Cor :
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya massa,
tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : peristaltik usus 6x/menit
- Perkusi :
Timpani Pekak
- + - + - +
- + - + - +
- - - + + +
Page | 12
- - -
- - -
o Hepar : tidak terdapat pembesaran hepar dan tidak terdapat nyeri tekan.
o Lien : tidak terdapat pembesaran lien dan tidak terdapat nyeri tekan.
Ekstermitas : : Ekstermitas atas dan bawah hangat, nyeri [-], sianosis [-], edema [-],
CRT <2 detik.
Diagnosis : PPOK
NSTEMI
Terapi :
- O2 4 lpm via nasal canul
- Nebulizer combivent + pulmicort
- IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
- Asetosal 160 mg (1 x 80 mg) PO
- Clopidogrel 1 x 75 mg PO
- Diazepam 3x5 mg PO
- Simvastatin 0-0-20 mg PO
- ISDN 3x5 mg PO
- Laxadin 3x10 cc
- Arixtra 1x2,5 mg sc
- Cefotaxim 3x1 gr IV
- Azitromisin 1x500 mg PO
- Metil prednisolon 2x6 2,5 mg IV
Monitoring vital sign
Planning : cek lipid profil
30 Mei 2019
Keluhan :
Pasien merasa sesak (+), nyeri dada kiri (+), nyeri ulu hati (-), konstipasi (+),
sesak pada saat mengedan, BAK (+) Normal, tidur biasa
KU : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Page | 13
Tanda Vital : TD: 100/70 mmHg, N : 90x/menit, RR : 24x/mnt, T : 35,3°C (axilla), SpO2 :
95%
Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemia (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+),Pupil bulat
isokor dengan diameter3mm/3mm.
THT : masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-), mukosa bibir
sianosis (-), Tonsil T1/T1, Tonsil hiperemis (-)
Pemeriksaan Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm H2O,
deviasi trakea (-)
Pemeriksaan Thorax
Pulmo (depan dan belakang) :
- Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang
tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda – tanda
peradangan.
- Palpasi :
nyeri tekan
- +
- +
- +
Fremitus vokal normal kanan dan kiri sama.
- Perkusi
sonor redup pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
- Auskultasi
vesikular rhonki wheezing
+ + - - - -
+ + - - - -
Page | 14
+ + - - - -
Cor :
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya massa,
tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : peristaltik usus 6x/menit
- Perkusi :
Timpani Pekak
- + - + - +
- + - + - +
- - - + + +
Page | 15
- Asetosal 160 mg (1 x 80 mg) PO
- Clopidogrel 1 x 75 mg PO
- Diazepam 3x5 mg PO
- Simvastatin 0-0-20 mg PO
- ISDN 3x5 mg PO
- Laxadin 3x10 cc
- Arixtra 1x2,5 mg sc
- Cefotaxim 3x1 gr IV
- Azitromisin 1x500 mg PO
- Metil prednisolon 2x6 2,5 mg IV
- Laktulosa 3x1 C
31 Mei 2019
Keluhan :
Pasien merasa sesak (+), nyeri dada kiri (+), nyeri ulu hati (-), konstipasi (+),
sesak pada saat mengedan, BAK (+) Normal, sering mengigau dan keringat
malam hari.
KU : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD: 110/70 mmHg, N : 84x/menit, RR : 20x/mnt, T : 36,0°C (axilla), SpO2 :
95%
Page | 16
Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemia (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), Pupil bulat
isokor dengan diameter3mm/3mm.
THT : masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-), mukosa bibir
sianosis (-), Tonsil T1/T1, Tonsil hiperemis (-)
Pemeriksaan Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm H2O,
deviasi trakea (-)
Pemeriksaan Thorax
Pulmo (depan dan belakang) :
- Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang
tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda – tanda
peradangan.
- Palpasi :
nyeri tekan
- +
- +
- +
Fremitus vokal normal kanan dan kiri sama.
- Perkusi
sonor redup pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
- Auskultasi
vesikular rhonki wheezing
+ + - - - -
+ + - - - -
- - - - + +
Page | 17
Cor :
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya massa,
tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : peristaltik usus 6x/menit
- Perkusi :
Timpani Pekak
- + - + - +
- + - + - +
- - - + + +
Page | 18
- Azitromisin 1x500 mg PO
- Metil prednisolon 2x6 2,5 mg IV
- Laktulosa 3x1 C
- Asetosal 160 mg (1 x 80 mg) PO
- Clopidogrel 1 x 75 mg PO
- Diazepam 3x5 mg PO
- ISDN 3x5 mg PO
- Laxadin 3x10 cc
- Simvastatin 0-0-20 mg
- Arixtra 1x2,5 mg sc
Monitoring : vital sign, EKG tiap 24 jam
Page | 19
Irama : sinus, reguler
Heart Rate (HR) : 126 x/menit
Aksis : normal
Gelombang P: normal
Interval PR : normal
Kompleks QRS: normal, tidak ada gelombang Q patologis
Segmen ST: ST Depresi
Gelombang T: normal
Interval QT: normal
Kesimpulan : Irama sinus takikardi, reguler, dengan HR 126 x/menit dan terdapat ST-
depresi yang mengindikasikan adanya Iskemia miokard.
Terapi :
- Aminopilin bolus 120 mg
- Lanjut drip aminophilin 120 mg dalam NaCl 0,9% 10 tpm
- Nebulizer combivent + pulmicort tiap 6 jam
- Terapi lain lanjut
1 Juni 2019
Keluhan :
Pasien merasa sesak (+), nyeri dada kiri sebelah kiri (+), nyeri ulu hati (-),BAB
(+) normal, BAK (+) Normal.
KU : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD: 110/70 mmHg, N : 90x/menit, RR : 20x/mnt, T : 36,0°C (axilla), SpO2 :
95%
Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali
Page | 20
Mata : konjungtiva anemia (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), Pupil bulat
isokor dengan diameter3mm/3mm.
THT : masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-), mukosa bibir
sianosis (-), Tonsil T1/T1, Tonsil hiperemis (-)
Pemeriksaan Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm H2O,
deviasi trakea (-)
Pemeriksaan Thorax
Pulmo (depan dan belakang) :
- Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang
tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda – tanda
peradangan.
- Palpasi :
nyeri tekan
- +
- +
- +
Fremitus vokal normal kanan dan kiri sama.
- Perkusi
sonor redup pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
- Auskultasi
vesikular rhonki wheezing
+ + - - - -
+ + - - - -
- - - - - -
Cor :
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Page | 21
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya massa,
tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : peristaltik usus 6x/menit
- Perkusi :
Timpani Pekak
+ + + - - -
+ + + - - -
+ + + - - -
Page | 22
- Simvastatin 0-0-20 mg PO
- Arixtra 1x2,5 mg sc
Monitoring : vital sign, EKG tiap 24 jam
2 Juni 2019
Keluhan :
Pasien merasa sesak (+), nyeri dada kiri sebelah kiri (-), nyeri ulu hati (-),BAB
(+) normal, BAK (+) Normal.
KU : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD: 110/70 mmHg, N : 89x/menit, RR : 20x/mnt, T : 36,0°C (axilla), SpO2 :
95%
Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemia (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), Pupil bulat
isokor dengan diameter3mm/3mm.
THT : masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-), mukosa bibir
sianosis (-), Tonsil T1/T1, Tonsil hiperemis (-)
Pemeriksaan Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm H2O,
deviasi trakea (-)
Pemeriksaan Thorax
Pulmo (depan dan belakang) :
- Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang
tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda – tanda
peradangan.
- Palpasi :
nyeri tekan
- +
- +
- +
Fremitus vokal normal kanan dan kiri sama.
- Perkusi
Page | 23
sonor redup pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
- Auskultasi
vesikular rhonki wheezing
+ + - - - -
+ + - - - -
- - - - - -
Cor :
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya massa,
tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : peristaltik usus 6x/menit
- Perkusi :
Timpani Pekak
+ + + - - -
+ + + - - -
+ + + - - -
Page | 24
Hasil pemeriksaan EKG :
Page | 25
- ISDN 3x5 mg PO
- Laxadin 3x10 cc
- Simvastatin 0-0-20 mg PO
- Arixtra 1x2,5 mg sc
- Bisolvon 3x1 C
- Cefotaxim 3x1 gr IV
- Azitromisin 1x500 mg (hentikan)
- Moxifloxacin 1x400 mg IV
- Metil prednisolon 2x6 2,5 mg IV
- Laktulosa 3x1 C
Monitoring : vital sign
3 Juni 2019
Keluhan :
Pasien merasa sesak berkurang (membaik), nyeri dada kiri sebelah kiri (-), nyeri
ulu hati (-), BAB (+) normal, BAK (+) Normal.
KU : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tanda Vital : TD: 100/60 mmHg, N : 103/menit, RR : 28x/mnt, T : 36,0°C (axilla), SpO2 :
95%
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : normocephali
- Mata : konjungtiva anemia (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek
cahaya (+/+), Pupil bulat isokor dengan diameter3mm/3mm.
- THT : masa (-), sekret (-), deviasi septum nasi (-), benda asing (-), mukosa bibir
sianosis (-), Tonsil T1/T1, Tonsil hiperemis (-)
- Pemeriksaan Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-/-), PKGB (-), JVP 5cm + 2cm
H2O, deviasi trakea (-)
- Pemeriksaan Thorax
Pulmo (depan dan belakang) :
Page | 26
- Inspeksi : normochest, dada simetris kanan dan kiri, tidak ada gerakan napas yang
tertinggal, tidak nampak adanya massa, tidak ada tampak adanya tanda – tanda
peradangan.
- Palpasi :
nyeri tekan
- +
- +
- +
Fremitus vokal normal kanan dan kiri sama.
- Perkusi
sonor redup pekak
+ + - - - -
+ + - - - -
+ + - - - -
- Auskultasi
vesikular rhonki wheezing
+ + - - + +
+ + - - - +
- - - - - -
Cor :
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas kanan : ICS 5 linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS 5 linea midklavikula sinistra
Batas atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
Batas pinggang : ICS 3 linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
- Inspeksi : distensi tidak ada, asites tidak ada, tidak tampak adanya massa,
tidak tampak adanya tanda – tanda peradangan
- Auskultasi : peristaltik usus 6x/menit
- Perkusi :
Page | 27
Timpani Pekak
+ + + - - -
+ + + - - -
+ + + - - -
Pasien Pulang
Kesan Umum : Baik
GCS : E4V5M6
Page | 28
Tanda-tanda vital : TD: 120/90 mmHg, N : 80/menit, RR : 26x/mnt, T : 36,1°C (axilla)
Obat yang di beri :
- Cefixim 2x200 mg PO
- Asetosal 160 mg (1 x 80 mg) PO
- Bisoprolol 1x2,5 mg PO
- Clopidogrel 1 x 75 mg PO
- ISDN 3x5 mg (kalau nyeri dada timbul) PO
- Simvastatin 0-0-20 mg PO
- Metil prednisolon 3x4 mg PO
Page | 29
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Page | 30
C. Patofisiologi
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4, tumuor necrosis factor
(TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS).
Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan
merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar
danhipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit
CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi(PDPI, 2011).
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak
langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang
rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan
kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada
tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan
peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan
asidosis respiratorius. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring kapiler
pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk
mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian,
gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasai emfisema.
Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada region hepar
menandakan terjadinya gagal jantung (PDPI,2011).
Page | 31
Gambar 3.1. Patogenesis PPOK (PDPI,2011)
D. Manifestasi Klinis
1. Batuk Kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi
sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
2. Berdahak
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang
pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik
batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.
3. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan.
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Keluhan
b. Riwayat penyakit sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
• Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).
• Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding).
• Penggunaan otot bantu napas.
• Hipertropi otot bantu napas.
• Pelebaran sela iga
b. Palpasi
• Pada emfisema fremitus melemah.
• sela iga melebar.
c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorongke bawah.
d. Auskultasi
• suara napas vesikuler normal, atau melemah.
Page | 32
• terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa.
F. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pasien PPOK adalah dengan megatasi keluhan, mencegah
progesivitas penyaikit, meningkatkan status kesehtan, mencegah dan mengobati
komplikasi, mencegah dan mengobati eksaserbasi (Putra, R.T, 2013).
a. Non farmakologi
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru (Soedarsonk, 2010)
2. Memperbaiki nutrisi
Memperbaiki nutrisi bagi penderita emfisema sangat perlu diperhatikan.
Nutrisi yang adekuat membantu pemulihan keadaan bagi penderita emfisema.
Nutrisi yang diberikan pada pasien dapet diberika secara langsung mlalui
pasokan makanan melalui mulut ataupun melalui infus.
3. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen diperlukan apabila saturasi oksigen penderita berada
dibawah 90%. Pemberian oksigen bertujuan untuk menghindari keadaan
meningkatnya kadar CO2 dalam tubuh penderita dimana penderita mengalami
asidosis respirastorik yang dapat berujung pada keadaan asidosis metabolic.
b. Farmakologis
1. Bronkodilator
2. Antiinflamasi
3. Mukolitik
4. Anti muskarinik
5. Antibiotik
G. Komplikasi
Komplikasi dari PPOK adalah Ca Paru, gagal nafas, gagal jantung kanan, Kor Pulmonal.
Page | 33
3.2 Non-ST Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
A. Definisi
Berdasarkan spektrum SKA, NSTEMI didefinisikan sebagai gambaran EKG depresi
segmen ST atau inversi gelombang T prominen dengan biomarker nekrosis yang positif
( mis, troponin) dengan tidak dijumpainya elevasi segmen ST pada gambaran EKG dan
sesuai dengan gambaran klinis (rasa tidak nyaman pada dada atau sesuai dengan angina)
(Anderson JL dkk, 2014).
B. Patofisiologi
Ciri khas patofisiologi kondisi NSTEMI adalah akibat ketidakseimbangan antara
suplai dan demand oksigen miokard. Mekanisme yang paling sering terlibat dalam
ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh menurunnya suplai oksigen ke miokard,
melalui lima mekanisme dibawah ini: (Anderson JL dkk, 2014)
1. Yang paling sering disebabkan oleh menyempitnya arteri koroner yang disebabkan
oleh trombus yang terdapat pada plak ateroskelotik yang terganggu dan biasanya
nonoklusif. Mikroemboli dari agregat trombosit dan komponen-komponen dari plak
yang terganggu tersebut diyakini bertanggung jawab terhadap keluarnya markers
miokard pada pasien-pasien NSTEMI. Trombus/plak oklusif juga dapat
menyebabkan sindroma ini namun dengan suplai darah dari pembuluh darah
kolateral. Patofisiologi molekuler dan seluler paling sering yang menyebabkan plak
aterosklerotik terganggu adalah inflamasi arterial yang disebabkan oleh proses non
infeksi (mis, lipid teroksidasi), dapat pula oleh stimulus proses infeksi yang
menyebabkan ekspansi dan destabilisasi plak, ruptur atau erosi, dan trombogenesis.
Makrofag yang teraktivasi dan limfosit T yang berada pada plak meningkatkan
ekspresi enzim-enzim seperti metalloproteinase yang menyebabkan penipisan dan
disrupsi plak yang dapat menyebabkan NSTEMI.
2. Penyebab lain yang juga sering adalah obstruksi dinamis, yang dapat dipicu oleh
spasme fokal terus menerus dari segmen arteri koroner epicardial (Prinzmetal’s
angina). Spasme lokal ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos vaskular dan
atau disfungsi endotel. Spasme pembuluh darah besar dapat terjadi pada puncak
obstruksi atau plak, yang mengakibatkan angina yang berasal dari campuran kondisi
tersebut atau NSTEMI/UA. Obstruksi koroner dinamik dapat pula disebabkan oleh
disfungsi mikrovaskular difus, sebagai contoh akibat disfungsi endotel atau konstriksi
abnormal dari pembuluh darah kecil intramural.
Page | 34
3. Penyempitan pembuluh darah tanpa spasme atau trombus. Kondisi ini terjadi pada
pasien dengan atherosklerosis progresif atau akibat restenosis setelah percutaneous
coronary intervention (PCI).
4. Diseksi arteri koroner (dapat terjadi sebagai penyebab SKA pada wanita-wanita
peripartum).
5. UA sekunder, yang kondisi pencetus nya terdapat diluar arteri koroner. Pasien
dengan UA sekunder biasanya, namun tidak selalu, memiliki penyempitan
atherosklerotik koroner yang membatasi perfusi miokard dan sering memiliki angina
kronik stabil. UA sekunder dapat dipresipitasi oleh kondisi-kondisi seperti
peningkatan kebutuhan oksigen miokard (demam, takikardia, tirotoksikosis),
penurunan aliran darah koroner (hipotensi) atau penurunan pasokan oksigen miokard
(anemia atau hipoksemia).
C. Diagnosa
Gejala utama dari NSTEMI adalah nyeri dada yang khas. Diagnosis kerja NSTEMI
dipikirkan dengan menyingkirkan diagnosis lain berdasarkan EKG (tidak didapatinya ST
elevasi persisten), selanjutnya biomarker-biomarker seperti troponin akan membedakan
NSTEMI dengan UA, modalitas imaging digunakan untuk menyingkirkan diferensial
diagnosis (Hamm CW dkk, 2011).
1. Anamnese
Nyeri dada akut adalah salah satu alasan utama pasien-pasien datang ke unit
gawat darurat dan diketahui pasien selama ini sebagai pertanda SKA, namun setelah
Page | 35
evaluasi lebih lanjut hanya sekitar 15-20% pasien dengan nyeri dada akut yang betul-
betul mengalami SKA. Sehingga perlu pula diketahui gejala-gejala lain yang sering
dialami namun kurang diwaspadai oleh pasien NSTEMI. Oleh karena itu pendekatan
yang tepat akan keluhan nyeri dada harus dilakukan (Daga LC dkk, 2011; Aderson
JL dkk, 2014). Presentasi klinis dari NSTEMI meliputi berbagai gejala yang cukup
luas. Presentasi klinis yang selama ini umum diketahui antara lain: (Hamm CW dkk,
2011).
- Nyeri angina yang berdurasi panjang (> 20 menit) saat istirahat
- Angina onset baru (kelas II atau III berdasarkan klasifikasi Canadian
Cardiovascular Society (CCS))
- Destabilisasi baru dari yang sebelumnya angina stabil dengan setidaknya
memenuhi karakteristik angina kelas III CCS (crescendo angina), atau
- Angina post infark miokard
Gambaran klinis nyeri dada pada NSTEMI adalah rasa berat atau tekanan pada
daerah retrosternal (angina) yang menjalar hingga ke lengan kiri, leher, atau rahang,
yang dapat bersifat intermiten (umumnya berlangsung selama beberapa menit) atau
persisten. Keluhan ini dapat diikuti dengan keluhan lainnya seperti fatik yang
ekstrim, diaphoresis, nausea, nyeri perut, dyspnoea, dan syncope. Dapat pula
didapati keluhan tidak khas lainnya seperti epigastric pain, masalah pencernaan,
nyeri dada seperti ditikam, nyeri dada dengan ciri pleuritik, atau bertambahnya sesak
napas (Hamm CW dkk, 2011).
Munculnya keluhan-keluhan tersebut setelah aktifitas fisik atau berkurang saat
istirahat atau setelah penggunaan nitrat, mendukung diagnosis iskemia. Dalam
anamnese perlu pula ditanyakan dan dievaluasi adanya faktor resiko standar seperti
usia, diabetes mellitus, hipertensi, merokok, riwayat keluarga, episode angina,
konsumsi aspirin, riwayat serupa mengalami hal yang sama, penyakit jantung
koroner sebelumnya, dislipidemia, dan lain sebagainya (Daga LC dkk, 2011). Penting
pula mengidentifikasi kondisi-kondisi klinis lainnya yang dapat mencetuskan
NSTEMI seperti anemia, infeksi, inflamasi, demam dan kelainan metabolik atau
endokrin (umumnya tiroid) (Hamm CW dkk, 2011).
Pasien-pasien yang mengalami NSTEMI tidak selalu datang dengan keluhan
rasa tidak nyaman pada daerah dada. Studi Framingham adalah studi pertama yang
menunjukkan bahwa setengah dari pasien infark miokard tidak menunjukkan gejala
dan tidak disadari oleh pasien. Canto et al menemukan bahwa sepertiga dari 434.877
Page | 36
pasien yang telah dikonfirmasi mengalami infark miokard pada National Registry of
Myocardial Infarction datang ke rumah sakit dengan gejala selain rasa tidak nyaman
pada daerah dada. Kondisi ini sepertinya lebih sering muncul pada pasien-pasien
berusia tua, wanita, memiliki diabetes dan atau memiliki gagal jantung sebelumnya
(Aderson JL dkk, 2014).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada NSTEMI bisa saja normal. Setiap pasien dengan SKA
harus diukur tanda-tanda vital nya (tekanan darah dikedua lengan jika disangkakan
diseksi, frekuensi detak jantung, dan suhu) dan selanjutnya harus menjalani
pemeriksaan fisik jantung dan dada yang lengkap.2 Tujuan utama dari pemeriksaan
fisik adalah untuk menyingkirkan penyebab nyeri dada non kardiak dan kelainan
jantung non iskemik (emboli paru, diseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung katup)
atau kemungkinan penyebab diluar jantung seperti penyakit paru akut
(pneumothoraks, pneumonia, efusi pleura) (Daga LC dkk, 2011; Hamm CW dkk,
2011).
Pemeriksaan fisik seperti diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus takikardia,
suara jantung ketiga atau keempat, ronkhi basah basal, dan hipotensi menunjukkan
kemungkinan area iskemik yang luas dan beresiko tinggi.5 Pemeriksaan fisik lain
Page | 37
seperti pucat, banyak keringat dan tremor dapat mengarahkan ke kondisi-kondisi
pencetus seperti anemia dan tirotoksikosis (Hamm CW dkk, 2011).
Perbedaan tekanan darah pada anggota gerak atas dan bawah, nadi yang
iregular, murmur jantung, friction rub, nyeri saat palpitasi dan massa regio abdomen
adalah pemeriksaan fisik yang mungkin didapati pada kondisi selain NSTEMI
(Hamm CW dkk, 2011).
D. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
EKG 12 lead saat istirahat merupakan alat diagnostik lini pertama dalam
penilaian pasien-pasien yang disangkakan NSTEMI. EKG harus didapat dalam 10
menit setelah kontak medis pertama dan secepatnya diinterpretasikan oleh dokter.
Karakteristik abnormalitas gambaran EKG yang ditemui pada NSTEMI adalah
depresi segmen ST atau elevasi transient dan atau perubahan pada gelombang T
(inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normal) (Daga
LC dkk, 2011; Hamm CW dkk, 2011).
Jumlah lead yang menunjukkan depresi segmen ST dan derajat depresi
segmen ST mengindikasikan luas dan keparahan iskemia dan berkorelasi dengan
prognosis. Deviasi segmen ST yang baru, bahkan hanya 0,05 mV merupakan hal yang
penting dan spesifik dalam hal iskemik dan prognosis. Depresi segmen ST > 2 mm
meningkatkan resiko mortalitas. Inversi gelombang T juga sensitif untuk iskemik
namun kurang spesifik, kecuali bila ≥ 0,3mV baru dinyatakan bermakna (Daga LC
dkk, 2011; Kumar A. dan Cannon CP, 2009).
Jika EKG inisial normal atau inkonklusif, perekaman EKG ulangan sebaiknya
dilakukan saat pasien mengalami gejala dan gambaran EKG ini dibandingkan dengan
gambaran EKG saat pasien dalam kondisi asimtomatis. Perbandingan dengan EKG
sebelumnya akan sangat bernilai pada pasien-pasien dengan kelainan jantung
terdahulu, seperti hipertropi ventrikel kiri atau infark miokard sebelumnya.
Perekaman EKG sebaiknya diulangi setidaknya pada 3 jam (6-9 jam) dan 24 jam
setelah masuk ke rumah sakit. Pada kondisi dimana terjadi nyeri dada berulang atau
muncul gejala-gejala lainnya, pemeriksaan EKG dapat diulangi secepatnya (Hamm
CW dkk, 2011).
Harus diingat bahwa gambaran EKG normal tidak menyingkirkan
kemungkinan NSTEMI. Terutama iskemik pada daerah arteri sirkumfleks atau
Page | 38
iskemik ventrikel kanan terisolasi dapat luput dari gambaran EKG 12 lead, namun
dapat terdeteksi pada lead V7-V9 dan pada lead V3R dan V4R.3
Page | 39
Peningkatan troponin jantung juga dapat terjadi pada injuri miokard yang tidak
berhubungan dengan pembuluh koroner (Hamm CW dkk, 2011).
Page | 40
atau bukti adanya iskemik yang sedang berlangsung ataupun infark miokard.
Multidetector computed tomography (CT) tidak digunakan untuk mendeteksi iskemia,
namun menawarkan kemungkinan untuk menyingkirkan adanya PJK. CT
angiography, jika tersedia dapat digunakan untuk menyingkirkan SKA dari etiologi
nyeri dada lainnya (Hamm CW dkk, 2011).
Angiografi koroner merupakan pemeriksaan baku emas untuk mengetahui dan
menilai keparahan penyakit arteri koroner. Angiografi urgent dilakukan untuk
tindakan diagnostik pada pasien-pasien dengan resiko tinggi dan dengan diagnosis
banding yang tidak jelas (Hamm CW dkk, 2011).
E. Diagnosis Banding
Berikut dibawah ini adalah kondisi-kondisi yang berasal dari jantung maupun non
jantung yang menyerupai NSTEMI :
F. Terapi
Pasien dengan sangkaan SKA harus dievaluasi dengan cepat. Keputusan yang dibuat
berdasarkan evaluasi awal terhadap pasien memiliki konsekuensi klinis dan ekonomis
yang bermakna. Pasien NSTEMI atau diduga NSTEMI yang dalam keadaan stabil
sebaiknya dirawat inap dan menjalani tirah baring dengan monitoring ritme EKG
Page | 41
berkelanjutan dan diobservasi akan kemungkinan iskemik berulang. Pasien dengan resiko
tinggi, termasuk mereka dengan rasa tidak nyaman pada dada yang terus menerus dan
atau hemodinamik tidak stabil sebaiknya dirawat di unit koroner (coronary care unit) dan
diobservasi setidaknya 2448 jam (Daga LC dkk, 2011).
Terdapat empat komponen utama terapi pada NSTEMI yaitu terapi antiiskemia,
antiplatelet/antikoagulan, terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi), dan perawatan
sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS. 9 Terapi fibrinolitik (thrombolitik)
menggunakan streptokinase, urokinase, tenekteplase atau preparat lainnya sebaiknya tidak
digunakan pada pasien dengan NSTEMI (Daga LC dkk, 2011).
1. Terapi Suportif
Pemberian oksigen dilakukan bila saturasi oksigen <90%, distres pernafasan,
atau memiliki resiko tinggi untuk terjadi hipoksemia (Paxinos G dkk, 2012;
ACCF/AHA, 2013).
Untuk mengatasi nyeri dapat diberikan nitrogliserin sublingual atau buccal
spray (0.4mg). Nitrogliserin dapat diberikan setiap 5 menit dengan total 3 dosis
pemberian. Jika nyeri masih menetap atau pasien dengan hipertensi ataupun gagal
jantung , nitrogliserin intra vena dapat diberikan (dosis inisial 5-10 ug/menit dengan
peningkatan 10 ug/menit sampai tekanan darah sistolik turun dibawah 100 mmHg).
Pemberian nitrogliserin dikontraindikasikan pada pasien yang mengkonsumsi
sildenafil dalam 24 jam sebelum masuk rumah sakit atau 48 jam untuk tadalafil
(Paxinos G dkk, 2012; ACCF/AHA, 2013).
Morfin dapat digunakan untuk mengatasi nyeri, walaupun terdapat beberapa
observasi yang mengindikasikan adanya peningkatan mortalitas pada SKA dengan
penggunaan nya. Sedangkan NSAID disarankan untuk dihentikan pengunaannya pada
pasien NSTEMI, karena dijumpai peningkatan resiko mortalitas, reinfark, hipertensi,
gagal jantung dan ruptur miokard sehubungan dengan penggunaannya (Paxinos G
dkk, 2012).
Tabel 3.4. Terapi suportif pada NSTEMI (Hamm CW dkk, 2011)
Page | 42
2. Terapi Anti Iskemik
a. Penghambat Reseptor Beta
Penghambat beta harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien-pasien
yang tidak memiliki tanda gagal jantung ataupun low-output state, peningkatan
resiko syok kardiogenik atau kontraindikasi relatif lain terhadap penghambatan
reseptor beta (interval PR >0,24 detik, blok jantung derajat 2 atau 3, asma aktif,
penyakit saluran nafas reaktif) (Paxinos G dkk, 2012). Penghambat reseptor beta
mengurangi insidensi iskemik berulang dan serangan infark miokard berikutnya.
Preparat oral ini sebaiknya dilanjutkan sampai waktu yang tak terbatas, terutama
pada pasien-pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang berkurang. Penghambat
reseptor beta intravena dapat diberikan apabila tidak dijumpai kontraindikasi.
Pada pasienpasien yang dikontraindikasikan menggunakan preparat penghambat
beta dapat menggunakan non-dihydropyridine calcium channel blocker (mis,
verapamil atau diltiazem) sebagai terapi inisial dengan memperhatikan bahwa
pasien tersebut tidak mengalami disfungsi ventrikel kiri yang signifikan atau
kontraindikasi lainnya (Paxinos G dkk, 2012).
b. Nitrat
Keuntungan terapeutik dari penggunaan nitrat berhubungan dengan efek
venodilator yang menyebabkan penurunan preload miokard dan volume end
diastolik ventrikel kiri yang akhirnya menyebabkan penurunan konsumsi oksigen
miokard. Selain itu nitrat akan menyebabkan dilatasi arteri koroner normal
maupun arteri koroner yang mengalami aterosklerotik dan meningkatkan aliran
kolateral koroner.3 Pada pasien dengan NSTEMI yang memerlukan perawatan
rumah sakit, penggunaan nitrat intravena lebih efektif dibandingkan nitrat
sublingual untuk mengurangi gejala dan depresi segmen ST. Dosis harus di up
titrasi sampai gejala (angina atau dyspnoe) berkurang atau munculnya efek
samping (sakit kepala atau hipotensi) (Hamm CW dkk, 2011).
c. Calcium Channel Blocker
Calcium channel blockers merupakan obat vasodilator dan beberapa
diantaranya memiliki efek langsung terhadap konduksi atrioventrikular dan denyut
jantung. Terdapat tiga sub kelas dari calcium blocker yaitu dihydropyridines
(nifedipine), benzothiazepines (diltiazem), dan phenylethylamines (verapamil).
Ketiga sub kelas ini memiliki derajat yang bervariasi dalam hal vasodilatasi,
penurunan kontraktilitas miokard dan penghambatan konduksi atrioventrikular.
Page | 43
Nifedipin dan amlodipin memiliki efek vasodilatasi perifer yang paling besar,
sementara diltiazem memiliki efek vasodilator yang paling kecil (Hamm CW dkk,
2011).
3. Terapi Antiplatelet
a. Aspirin
Aspirin sebaiknya diberikan kepada semua pasien kecuali ada kontraindikasi,
dosis inisial aspirin non enterik 150-300 mg dikunyah. Selanjutnya 75-100 mg per
hari dalam jangka panjang dikatakan memiliki efikasi yang sama dengan dosis
besar dan memiliki resiko intoleran saluran cerna yang lebih kecil (Daga LC dkk,
2011;Hamm CW dkk, 2011).
b. P2Y12 Reseptor Inhibitor
Clopidogrel direkomendasikan pada seluruh pasien dengan dosis inisial 300
mg selanjutnya diikuti 75 mg per hari. Pada pasien yang dipertimbangkan untuk
menjalani PCI, loading dose 600 mg disarankan untuk mencapai penghambatan
fungsi trombosit yang lebih cepat. Clopidogrel harus dipertahankan setidaknya
selama 12 bulan kecuali terdapat resiko perdarahan.1 Penelitian Triton TIMI-38
menunjukkan bahwa pada pasien-pasien dengan SKA yang menjalani PCI,
ternyata prasugrel secara signifikan menurunkan insidensi kejadian iskemik baik
dalam jangka panjang maupun pendek. Namun berhubungan dengan peningkatan
resiko perdarahan, terutama pada pasien berusia > 75 tahun, berat badan < 60 kg
dan pasien-pasien dengan riwayat TIA, stroke atau perdarahan intrakranial.1 Obat
golongan P2Y12 Reseptor Inhibitor baru yang cukup menjanjikan sebagai obat
anti platelet adalah Ticagrelor. Seperti prasugrel, Ticagrelor memiliki onset of
action yang lebih cepat dan konsisten dibandingkan clopidogrel, namun juga
memiliki offset of action yang lebih cepat sehingga pemulihan fungsi platelet
menjadi lebih cepat (Hamm CW dkk, 2011).
c. Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Inhibitors
Tiga obat yang termasuk golongan GP IIb/IIIa receptor inhibitors yang
disetujui untuk penggunaan klinis adalah abciximab yang merupakan suatu
fragmen monoklonal antibody; eptifibatide sebuah peptide siklik; dan tirofiban
yang merupakan molekul peptidomimetik.3 Studi terbaru mengenai SKA tidak
menemukan keuntungan dalam penggunaan GP IIb/IIIa dalam SKA (Daga LC
dkk, 2011).
4. Terapi Antikoagulan
Page | 44
Antikoagulan digunakan pada terapi NSTEMI untuk menghambat
pembentukan dan atau aktivitas thrombin sehingga dapat mengurangi kejadian-
kejadian yang berhubungan dengan pembentukan thrombus. Antikoagulan
direkomendasikan untuk semua pasien sebagai tambahan terapi anti platelet.1,3
Terdapat beragam jenis antikoagulan yang tersedia, dan pemilihannya didasarkan
pada resiko iskemik, kejadian perdarahan dan pilihan strategi manajemen inisial
( urgent invasif, early invasif atau konservatif) (Daga LC dkk, 2011;Hamm CW dkk,
2011). Jenis antikoagulan antara lain:3 - Indirect inhibitors koagulasi (butuh anti
trombin untuk aksi penuhnya) :
Indirect thrombin inhibitors : unfractionated heparin (UFH), lob molecular
weight heparin (LMWHs)
Indirect factor Xa inhibitors : LMWHs, fondaparinux
Direct inhibitors koagulasi
Direct factor Xa inhibitors : apixaban, rivaroxaban, otamixaban
Direct thrombin inhibitors (DTIs): bivalirudin, dabigatran
a. Low Molecular Weight Heparin
Salah satu LMWH yang sering digunakan adalah enoxaparin yang merupakan
antikoagulan pilihan baik pada pasien-pasien yang direncanakan untuk tindakan
konservatif ataupun tindakan invasif. Dengan dosis 1 mg/kgBB dua kali sehari,
enoxaparin dapat dihentikan 24 jam setelah strategi invasif dilakukan. Dan
sebaiknya diberikan selama 3 hingga 5 hari untuk pasien yang direncanakan
tindakan konservatif (Daga LC dkk, 2011). Pada pasien-pasien NSTEMI yang
telah mendapat enoxaparin dan akan menjalani PCI, tidak dibutuhkan dosis
enoxaparin tambahan jika suntikan sub kutan sebelumnya < 8 jam sebelum PCI.
Namun bila suntikan sub kutan enoxaparin terakhir > 8 jam sebelum PCI,
diperlukan dosis tambahan 0,3 mg/kgBB IV bolus. Tidak disarankan mengganti
antikoagulan dengan jenis yang lain.3 LMWH dieliminasi sebagian melalui
ginjal. Resiko akumulasi meningkat seiring dengan penurunan fungsi ginjal,
sehingga mengakibatkan peningkatan resiko perdarahan. Sebagian besar LMWH
dikontraindikasikan pada kasus-kasus gagal ginjal dengan CrCl < 30 ml/menit.
Namun, enoxaparin dapat diberikan dengan dosis 1mg/kg BB satu kali sehari pada
pasien-pasien dengan CrCl < 30 ml/menit (Hamm CW dkk, 2011).
b. Fondaparinux
Page | 45
Fondaparinux direkomendasikan atas dasar efikasi yang paling baik dan profil
keamanan nya. Fondaparinux paling sedikit menyebabkan komplikasi perdarahan
dan memiliki bioavailabilitas 100 % setelah disuntikkan secara sub kutan dengan
waktu paruh 17 jam serta diekskresikan oleh ginjal. Dosis yang direkomendasikan
adalah 2,5 mg/hari. Fondaparinux dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki
CrCl < 20 ml/menit. Tambahan UFH dengan dosis 50-100 U/kg BB bolus
diperlukan selama PCI karena didapatinya insidensi trombosis kateter yang sedikit
tinggi.1,3 Tidak ditemukan kasus heparin induced trombositopenia (HIT) akibat
penggunaan fondaparinux, sehingga monitoring jumlah trombosit tidak
diperlukan. Monitoring terhadap aktivitas anti Xa, activated partial thromboplastin
time (aPTT), activated clotting time (ACT), prothrombin dan thrombin time tidak
memiliki pengaruh yang signifikan (Hamm CW dkk, 2011).
c. Unfractionated Heparin
UFH kurang baik diabsorpsi melalui rute sub kutan, sehingga penggunaan
infus intravena menjadi rute pemberian yang lebih dipilih. Dengan dosis bolus
inisial 60-70 IU/kgBB (maksimal 5000 IU) diikuti infus inisial 12-15 IU/kg/jam
(maksimal 1000 IU/jam). Batas terapeutik UFH cukup sempit, sehingga
diperlukan monitoring aPTT secara berkala, dengan target optimal 50-75 detik
(1,5-2,5 kali batas teratas nilai normal). Pada nilai aPTT yang lebih tinggi, resiko
komplikasi perdarahan akan meningkat, tanpa adanya efek anti trombotik. Efek
antikoagulan UFH akan hilang dengan cepat dalam beberapa jam setelah
penghentian, sehingga dalam 24 jam penghentian terapi terdapat resiko reaktivasi
proses koagulasi dan meningkatkan resiko kejadian iskemik berulang meskipun
diberikan bersamaan dengan aspirin.3 Pada setting PCI, UFH diberikan sebagai
bolus dengan pemantauan ACT. Dosis pemberian UFH pada setting PCI adalah
70-100 IU/kg atau 50-60 IU/kg bila dikombinasikan dengan GP IIb/IIIa receptor
inhibitors (Hamm CW dkk, 2011).
d. Direct Thrombin Inhibitor
Bivalirudin saat ini direkomendasikan sebagai antikoagulan alternatif untuk
urgent dan elektif PCI pada pasien-pasien NSTEMI resiko sedang atau tinggi.
Bivalirudin menurunkan resiko perdarahan dibandingkan dengan UFH/LMWH
plus GP IIb/IIIa inhibitor, namun membutuhkan tambahan bolus heparin selama
PCI untuk mencegah stent thrombosis (Daga LC dkk, 2011).
Tabel 3.5. Terapi NSTEMI (Hamm CW dkk, 2011).
Page | 46
5. Revaskularisasi koroner
Kateterisasi jantung diikuti oleh revaskularisasi telah terbukti mencegah
iskemik berulang dan atau memperbaiki hasil akhir jangka pendek dan jangka
panjang. Berdasarkan keakutan resiko, waktu pelaksanaan angiografi dibagi menjadi
4 kategori, yaitu: (Hamm CW dkk, 2011)
- invasive (< 72 jam);
urgent invasive (<120 min);
early invasive (<24 h);
- primarily conservative
a. Strategi invasif (<72 jam setelah kontak medis pertama)
Pada pasien dengan resiko akut yang lebih sedikit dan tanpa pengulangan
gejala, angiografi dapat dilakukan dalam batas waktu 72 jam. (ESC).
Strategi Urgent Invasif ( < 120 menit)
Urgent invasif angiografi sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien dengan
resiko sangat tinggi, dengan ciri sebagai berikut :
- Angina refrakter (mengindikasikan adanya infark miokard yang sedang
berlangsung tanpa adanya abnormalitas ST)
Page | 47
- Angina berulang meskipun dengan terapi antiangina yang kuat,
berhubungan dengan ST depresi (2mm) atau gelombang T negatif yang
dalam
- Gejala klinis gagal jantung atau hemodinamik tidak stabil (syok)
- Aritmia yang mengancam nyawa (fibrilasi ventrikel atau ventrikular
takikardia)
Strategi Early Invasif (<24 jam setelah kontak medis)
Kebanyakan pasien memberi respon terhadap terapi anti angina inisial,
namun resiko semakin meningkat dan membutuhkan angiografi yang diikuti
dengan tindakan revaskularisasi. Pasien-pasien dengan resiko tinggi ditandai
dengan skor resiko GRACE > 140 dan atau dijumpainya setidaknya satu dari
kriteria resiko tinggi primer pada tabel 6 sebaiknya menjalani evaluasi invasif
dalam 24 jam (Hamm CW dkk, 2011).
Tabel 3.6. Kriteria resiko tinggi yang perlu dilakukan manajemen invasi
(Hamm CW dkk, 2011)
b. Terapi Konservatif
Pada strategi konservatif dapat dilakukan tindakan angiografi elektif ataupun
tidak sama sekali. Pasien yang memenuhi semua kriteria dibawah ini dapat
dikatakan memiliki resiko rendah dan tidak rutin menjalani evaluasi early invasif,
yaitu: (Hamm CW dkk, 2011)
- Tidak ada nyeri dada berulang
- Tidak ada tanda-tanda gagal jantung
- Tidak dijumpai abnormalitas pada EKG awal atau EKG kedua (pada 6-9 jam)
Page | 48
- Tidak dijumpai peningkatan kadar troponin (pada saat datang maupun pada 6-9
jam)
- Tidak dijumpai inducible iskemi
Penatalaksanaan lebih lanjut untuk pasien-pasien ini sesuai dengan untuk
evaluasi penyakit arteri koroner stabil. Sebelum keluar dari rumah sakit, stress test
untuk merangsang iskemi akan berguna untuk rencana terapi kedepan dan
dibutuhkan sebelum angiografi elektif (Hamm CW dkk, 2011).
6. CABG
Jika angiogram menunjukkan gambaran ateromatos namun tidak dijumpai lesi
kritis pada koroner, pasien akan disarankan untuk mendapat terapi medis. Pada pasien
dengan kelainan pada single-vessel, PCI dengan stenting pada culprit lesion adalah
pilihan pertama. Pada pasien dengan kelainan multi vessel, keputusan mengenai PCI
ataupun CABG harus dipertimbangkan berdasarkan individu pasien masing-masing.
Tindakan sekuensial, yang terdiri dari PCI pada culprit lesion diikuti dengan tindakan
CABG pada daerah non culprit lesion yang terbukti iskemi dan atau berdasarkan
penilaian fungsi, kelihatannya dapat bermanfaat pada beberapa pasien.3 CABG
biasanya disarankan pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang kompleks yang
tidak dapat dilakukan PCI, seperti kelainan koroner left main dengan triple
vessel,oklusi total dan kelainan yang difus. Sangat penting pula untuk tetap
memperhitungkan resiko perdarahan, karena pasien-pasien ini sedang dalam terapi
antiplatelet yang agresif. Keuntungan CABG adalah yang paling baik setelah
beberapa hari stabilisasi dengan terapi medis dan penghentian terapi antiplatelet
(Daga LC dkk, 2011).
Page | 49
Gambar 3.5 Penatalaksanaan NSTEMI Secara Skematis (Anderson JL dkk,
2014)
Page | 50
dari berapa kadar kolesterol, inisiasi dini dimulai setelah masuk ke rumah sakit.
Target LDL yang diharapkan < 70 mg/dl (Daga LC dkk, 2011). Penggunaan terapi
antitrombotik jangka panjang setelah keluar dari RS pada pasien NSTEMI dapat
dilihat pada gambar 3.6.
G. Prognosis
Sejumlah metode untuk penilaian resiko kematian dan kejadian iskemik pada pasien-
pasien dengan NSTEMI telah cukup dikenal, hal ini memberikan dasar pengambilan
keputusan bagi tindakan terapeutik (Anderson JL dkk, 2014). Thrombolysis In
Myocardial Infarction (TIMI) skor, Platelet glycoprotein IIb/IIIa in Unstable agina:
Receptor Suppression Using Integrilin (PURSUIT) skor, dan Global Registry of Acute
Coronary Events (GRACE) RSs skor dapat dihitung dengan menggunakan variabel-
ariabel tertentu yang dinilai saat pasien masuk ke rumah sakit (Goncalves PA dkk, 2005).
Salah satu skor yang sering dipakai yaitu TIMI skor dapat dilihat di table (Myrtha R,
2011).
Page | 51
Dengan skor TIMI dapat dinilai semua sebab mortalitas, resiko infark miokard baru
atau berulang, atau iskemik berulang yang berat yang membutuhkan tindakan
revaskularisasi dalam 14 hari. Skor 0-1 berarti resiko untuk mengalami semua hal diatas
tersebut adalah 4,7%, skor 2 resiko 8,3%, skor 3 resiko 13,2%, skor 4 resiko 19,9 %, skor
5 resiko 26,2%, skor 6-7 resiko 40,9 %.2 Untuk skor TIMI < 3 dikatakan resiko rendah,
skor TIMI 3-4 resiko menengah dan skor TIMI 5-7 adalah resiko tinggi (Daga LC dkk,
2011).
Page | 52
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Page | 53
peningkatan enzim CKMB yaitu 40 U/L dengan rentang nilai normal 0 – 24 U/L. Dari
gejala, gambaran EKG dan peningkatan enzim jantung, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pasien mengalami NSTEMI.
Pasien NSTEMI atau diduga NSTEMI yang dalam keadaan stabil sebaiknya
dirawat inap dan menjalani tirah baring dengan monitoring ritme EKG berkelanjutan dan
diobservasi akan kemungkinan iskemik berulang. Pasien dengan resiko tinggi, termasuk
mereka dengan rasa tidak nyaman pada dada yang terus menerus dan atau hemodinamik
tidakstabil sebaiknya dirawat di unit koroner (coronary care unit) dan diobservasi
setidaknya 24-48 jam.
Terdapat empat komponen utama terapi pada NSTEMI yaitu terapi antiiskemia,
antiplatelet/antikoagulan, terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi), dan perawatan
sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS. Terapi fibrinolitik (thrombolitik)
menggunakan streptokinase, urokinase, tenekteplase atau preparat lainnya sebaiknya
tidak digunakan pada pasien dengan NSTEMI.
Page | 54
DAFTAR PUSTAKA
Anderson JL, Adams CD, Antman EM, Bridges CR, Califf RM, Casey DE, et al. 2012
ACCF/AHA Focused Update Incorporated Into the ACCF/AHA 2007 Guidelines for
the Management of Patients With Unstable Angina/Non–ST-Elevation Myocardial
Infarction A Report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. diunduh dari
http://circ.ahajournals.org/ by guest on March 4, 2014
Daga LC, Kaul U, Mansoor A. Approach to STEMI and NSTEMI. J Assoc Physicians India.
2011 Dec;59 Suppl:19-25.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit paru
Obstruktif Kronik (PPOK). Jakarta.
Goncalves PA, Ferreira J, Aguiar C, Gomes RS.TIMI, PURSUIT, and GRACE risk scores:
sustained prognostic value and interaction with revascularization in NSTEACS.
European Heart Journal (2005) 26, 865–872
Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC Guidelines for
the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent
ST-segment elevation The Task Force for the management of acute coronary
syndromes (ACS) in patients presenting without persistent ST-segment elevation of the
European Society of Cardiology (ESC). European Heart Journal (2011) 32, 2999–3054.
Khader A. Systemic effect in COPD. Pulmon 2007; 9(1):1-3
Kumar A, Cannon CP. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management, Part I.Mayo
Clin Proc. 2009;84(10):917-938
Myrtha R. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA). CDK. 2011;38(7)
NTCM. EKG Pada Iskemia, Infark Miokard. PERKI-DKI Jaya
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut Edisi ke-4. 2018.
Roisin RR, Rabe KF, Anzueto A, Bourbeau J, Calverley P, Casas A et al. Global initiative for
chronic obstructive lung disease. Medical communications resources; 2008.p. 1-32. 2.
Page | 55