Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Tindak Kejahatan Seksual Yang Dilakukan Oleh Pelaku Anak

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada bagian/SMF Instalasi Forensik dan Medikolegal di Rumah Sakit Umum
Daerah Langsa Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama

Pembimbing :
dr. Netty Herawati, M. Ked. (For). Sp. F. M., M. H

Disusun Oleh:
Mahmud Hary Pranggono
Nana Trebna Zulvia
Misra Laila

BAGIAN / SMF INSTALASI FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA

LANGSA

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Tindak Kejahatan Seksual Yang Dilakukan Oleh Pelaku Anak”. Salawat beserta
salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat
manusia ke masa yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Penyusunan referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Instalasi Forensik dan Medikolegal
Rumah Sakit Umum Daerah Langsa Fakultas Kedokteran Abulyatama Banda
Aceh. Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan
kepada dr. Netty Herawati, M. Ked. (For). Sp. F. M., M. H yang telah bersedia
meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan referat ini.
Akhir kata penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi
para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada
umumnya dan Ilmu Forensik dan Medikolegal khususnya. Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk referat ini.

Langsa, Oktober 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................... 2
Daftar Isi........................................................................................................ 3
Bab 1. Pendahuluan....................................................................................... 4
Bab 2. Tinjauan Pustaka................................................................................ 5
2.1 Definisi Kejahatan Seksual................................................................ 5
2.2 Kejahatan Seksual Berdasarkan Umur............................................... 6
2.3 Faktor-faktor Kejahatan Seksual Pelaku Anak.................................. 6
2.4 Epidemiologi Kejahatan Seksual Pelaku Anak.................................. 7
2.5 Prilaku Pada Kejahatan Seksual Pelaku Anak................................... 7
2.6 Macam-macam Kekerasan Seksual................................................... 9
2.7 Pemeriksaan Korban/Pelaku Pelecehan Seksual............................... 10
2.8 Undang-undang Kejahatan Seksual Pelaku Anak.............................. 18
2.9 Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Pelecehan Seksual.............................................................................. 18
2.10 Dualisme Kewenangan Mengadili Perkara Anak Sebagai Pelaku .
Kejahatan Pelecehan Seksual di Aceh............................................... 22

Daftar Pustaka................................................................................................ 24

3
BAB 1
PENDAHULUAN

Jumlah kejahatan seksual setiap tahunnya semakin meningkat dan selalu


saja korban paling banyak adalah perempuan dan anak-anak. Semakin banyaknya
korban menggambarkan bahwa kejahatan seksual ini tidak ada hentinya dan
semakin sulit dibendung, hal ini menjadi tanggung jawab pihak-pihak terkait
untuk memperkecil maraknya kejahatan seksual karena dampak yang dirasakan
amat besar bagi korban. Begitu kompleksnya dampak atau efek yang ditimbulkan
para pelaku kejahatan seksual pada korban, membuktikan betapa seriusnya
perilaku tersebut, inilah yang menjadi menarik karena kasus kejahatan seksual
tidak akan terjadi jika tidak ada pelaku1.
Umumnya para pelaku kejahatan seksual dilakukan oleh orang dewasa,
yang secara umum penyebab bisa diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang menekan
seperti kondisi sosial-ekonomi yang lemah, individu yang memiliki kepribadian
patologis. Akan tetapi kejahatan seksual tidak hanya mampu dilakukan oleh orang
dewasa saja. Data menunjukkan bahwa banyak kejahatan seksual yang dilakukan
anak-anak. Survei yang dilakukan Yayasan Kita dan Buah Hati, yang dipantau
langsung oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menghasilkan sebuah
data yang menyebutkan bahwa 95 persen anak berusia sekolah dasar, sudah
menjadi pelaku kekerasan seksual1.
Aceh memiliki Qanun sebagai hukum syariat, namun pada kenyataannya
di Kota Langsa, semua perkara-perkara anak yang berkonflik dengan hukum oleh
kejaksaan masih diajukan kepada Pengadilan Negeri, walaupun anak yang
berkonflik dengan hukum tersebut melakukan kejahatan yang juga diatur didalam
qanun Hukum Jinayat. Keadaan ini terjadi terhadap perbuatan pidana pelecehan
seksual. Secara nasional seorang anak yang berkonflik dengan hukum melakukan
perbuatan pidana pelecehan seksual terhadap anak sebagai korbannya diancam
dengan hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak2.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kejahatan Seksual


Terdapat beberapa definisi dari kekerasan seksual, secara legal, sosial,
maupun medis. Secara luas, kekerasan seksual diartikan sebagai segala jenis
kegiatan atau hubungan seksual yang dipaksakan dan/atau tanpa persetujuan
(consent) dari korban. Sedangkan dalam arti sempit, kekerasan seksual disamakan
dengan perkosaan (rape), dan mengharuskan adanya persetubuhan, yaitu penetrasi
penis ke dalam vagina. Definisi tersebut dapat saja berbeda, bergantung dari
hukum yang dianut di suatu negara.
Definisi dan jenis kekerasan seksual yang dianut Indonesia diambil dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu dalam Bab XIV tentang
Kejahatan terhadap Kesusilaan. Pasal utama adalah pasal 285 tentang Perkosaan
yang berbunyi, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam
karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Sedangkan Persetubuhan dengan Wanita di Bawah Umur diatur dalam
pasal 287 ayat 1 yang berbunyi, “Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita
di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa
umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum
waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.” Dalam pasal 289 – 294 KUHP, diatur pula tentang perbuatan cabul
sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan. Perbuatan cabul dimaknai
sebagai semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual
sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan.
Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in
conflict with the law), dimaknai sebagai seseorang anak yang telah mencapai usia
12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, kemudian disangka atau dituduh sebagai pelaku tindak pidana
dan atau yang menjadi korban atau saksi tindak pidana meski melihat dan/atau
mendengar sendiri terjadinya tindak pidana. Jika dilihat dari usianya, maka

5
tindakan atau perilaku pencabulan yang dilakukan tidak dapat dikatagorikan
sebagai pelaku tindak kriminal saja tetapi sebagai anak yang telah melakukan
kesalahan dalam bertindak (doing wrong # crime) atau sebagai korban3,4.

2.2 Kejahatan Seksual Berdasarkan Umur


Pada masa usia 5-18 tahun, anak belum memiliki tingkat kestabilan emosi
dan tingkat pendidikan yang cukup mengenai perbuatan yang baik dan perbuatan
yang buruk. Pada usia tersebut anak berada pada masa krisis identitas sehingga
anak bisa saja melakukan apapun dalam berinteraksi guna memperoleh jati
dirinya5.
Monks, Knoers & Haditono membedakan masa anak dan remja atas empat bagian,
yaitu: 1) masa anak atau masa pra-pubertas (10-12 tahun), 2) masa remaja awal
atau pubertas (12-15 tahun), 3) masa remaja pertengahan (15- 18 tahun) dan 4)
masa remaja akhir (18- 21 tahun). Remaja awal hingga akhir inilah yang disebut
masa adolesen1.

2.3 Faktor-faktor kejahatan seksual pelaku anak


Faktor-faktor pemicu kejahatan seksual yakni: Faktor pertama yakni faktor
dalam diri yang meliputi rasa tidak aman, keterampilan sosial yang buruk,
konsentrasi yang buruk dan gelisah, dan implusif. Faktor kedua yakni faktor
berbasis keluarga juga memicu kejahatan seksual oleh anak yang meliputi: orang
tua yang menggunakan penyalahgunaan zat, kriminalitas orang tua, ibu yang
masih remaja atau muda, adanya perselisihan perkawinan, kekerasan dalam rumah
tangga, penelantaran, dan kekerasan, orang tua yang tidak pantas, dan kurangnya
pengawasan orang tua atau keterlibatan orang tua.
Adapun Faktor-faktor sekolah termasuk kegagalan akademis, putus
sekolah, membolos, lampiran miskin untuk sekolah, dan manajemen perilaku
yang tidak memadai dan faktor lingkungan dan masyarakat, yakni seperti kerugian
sosial ekonomi, kekerasan dan kejahatan lingkungan, dan norma budaya terkait
agresi dan kekerasan, Pemikiran-pemikiran anak inilah yang terkadang tidak
mampu anak operasionalkan dengan baik karena kalah dengan ego anak. Sehingga
memungkinkan anak salah dalam mengambil keputusan dan tindaakn mereka1.

6
2.4 Epidemiologi Kejahatan Seksual Pelaku Anak
Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mencatat, kasus
pelanggaran hak anak pada 2018 mencapai 4.885 kasus. Jumlah ini meningkat
dibandingkan pada 2017 yang mencapai 4.579 kasus. Ketua KPAI Susanto
merinci, dari jumlah itu kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) masih
menduduki urutan pertama, yaitu mencapai 1.434 kasus, disusul kasus terkait
keluarga dan pekerja sosialan alternatif mencapai 857 kasus. Selanjutnya,
pornografi dan siber mencapai 679 kasus, pendidikan berjumlah 451 kasus,
kesehatan dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) mencapai 364
kasus, trafficking dan eksploitasi anak mencapai 329 kasus. Kasus ABH
didominasi kasus kekerasan seksual. Laki-laki mendominasi sebagai pelaku
dibandingkan anak perempuan. Sepanjang tahun 2018, pelaku laki-laki berjumlah
103, sedangkan pelaku berjenis kelamin perempuan, berjumlah 58 anak3.

2.5 Prilaku Pada Kejahatan Seksual Pelaku Anak


Perubahan-perubahan yang mengesankan dalam kognisi sosial menjadi
ciri perkembangan anak dan remaja. Anak dan remaja mengembangkan
egosentrisme khusus, mengundang perhatian, menginterpretasikan kepribadian
seperti para ahli menginterpretasikan kepribadian. Pada masa remaja ialah dimana
masa pengambilan keputusan meningkat, remaja mengambil keputusan tentang
masa depan, teman-teman mana yang dipilih. Transisi dalam pengambilan
keputusan muncul kira-kira pada usia 11-12 tahun dan pada usia 15- 16 tahun.
Tahap psikososial remaja menurut Erikson yakni identitas dan kebingungan peran.
Selama masa ini, remaja mulai memiliki suatu perasaan bahwa ia adalah manusia
yang unik dan menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya. Akan tetapi karena
peralihan yang sulit dari masa anak-anak ke remaja, perubahan sosial dan historis
remaja mengalami kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas, kondisi
yang demikian ini mengakibatkan remaja merasa terisolasi, hampa, cemas, dan
bimbang. Kondisi tersebut mengakibatkan remaja mengalami gangguan-gangguan
meliputi penyalahgunaan obat-obatan, alkohol, kenakalan, kehamilan remaja,
bunih diri, dan gangguan-gangguan makan.

7
Beralih pada hubungan sosial remaja, mereka selain membuka hubungan
sosial dengan orang tua juga akan lebih banyak membuka hubungan dengan
teman sebaya, sehingga orang tua akan dihadapkan dengan tuntutan remaja akan
otonomi dan tanggung jawab membingungkan dan membuat marah orang tua.
Orang tua melihat remaja mereka melepaskan diri dari gangguan mereka. Berbeda
halnya dengan hubungan remaja dengan teman sebaya, waktu mereka akan lebih
banyak tersita dan dihabiskan dengan teman sebaya. Perlu diketahui remaja akan
menghadapi tekanan dari teman sebaya berupa konformitas yang itu dapat bersifat
positif atau negatif. Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang
kehidupan manusia, yang menjembatani masa anak-anak dengan masa dewasa.
Perkembangan di masa remaja diwarnai oleh interaksi antara faktor-faktor
genetik, biologis, lingkungan, dan sosial. Remaja dihadapkan pada perubahan
biologis yang dramatis, pengalaman-penglaman baru, serta tugas perkembangan
baru.
Relasi dengan orang tua dapat terwujud di dalam sutau bentuk yang
berbeda dari sebelumnya, interaksi dengan kawan-kawan menjadi lebih akrab:
pada masa ini mereka juga mengalami pacaran maupun eksplorasi seksual dan
kemungkinan melakukan hubungan seksual. cara berpikir remaja lebih abstrak
dan idealistik. Perubahan fisik yang terjadi memicu minat terhadap citra tubuh.
Remaja memilki rasa ingin tahu dan seksualitas yang hampir tidak dapat
dipuaskan. Remaja memikirkan apakah dirinya menarik secara seksual, cara
melakukan hubungan seksual, dan bagaimana nasib kehidupan seksualitas
meraka.
Mayoritas remaja mengembangkan identitas identitas seksual yang
matang, meskipun sebagian besar diantra mereka mengalami masa yang rentan
dan membingungkan. Mengembangkan identitas seksual, Identitas seksual adalah
pengenalan dasar tentang seks diri secara anatomis yang sangat berhubungan
dengan kondisi biologis, yaitu kondisi anatomis dan fisiologis, organ seks,
hormon, dan otak dan saraf pusat. Menguasai perasaan seksual dan membentuk
rasa identitas seksual merupakan proses yang bersifat multiaspek dan panjang. Hal
ini mencakup kemampuan belajar untuk mengelola perasaan seksual.
mengembangkan identitas seksual melibatkan lebih dari sekedar perilaku seksual.

8
identitas seksual muncul dalam konteks faktor-faktor fisik, sosial, budaya, dan
kebanyakan lingkungan masyarakat memberikan batasan terhadap perilaku
seksual remaja.
Identitas seksual remaja mencakup aktivitas, minat, gaya perilaku, dan
indikasi yang mengarah pada orientasi seksual. Beberapa remaja sangat aktif
secara seksual yang lainnya tidak aktif sama sekali hal ini karena remaja hidup
dalam lingkungan religious yang ketat. Tingkah laku seksual anak ini berawal dari
rasa ingin tahu anak setelah mendapatkan sumber-sumber informasi seks,
kemudian anak lebih banyak mengeksplor informasi tersebut dan mulai
melakukan percobaan dalam berhubungan seksual dengan teman kencan. Sumber-
sumber koping dapat meliputi pengetahuan individu tentang seksualitas,
pengalaman masa lalu yang positif tentang seksualitas, adanya individu yang
mendukung termasuk pasangan seksualitas, dan norma sosial atau budaya yang
mendorong ekspresi seksual yang sehat. Tingkah laku seksual remaja biasanya
sifatnya meningkat atau progresif-necking, petting, hubungan seksual, dan pada
beberapa kasus, seks oral. Jumlah remaja yang mengaku telah meningkat secara
signifikan selama abad kedua puluh, dan jumlah perempuan yang telah melakukan
hubungan seks meningkat lebih cepat dari pada laki-laki. Selama remaja
mengembangkan identitas seksual mereka, mereka juga mengikuti aturan seksual
tertentu, yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan.
Remaja yang rawan cenderung menunjukkan tingkah laku seksual yang
tidak bertanggungjawab. Remaja yang tidak merasa berarti, yang tidak memiliki
kesempatan yang memadai untuk belajar dan bekerja, dan yang merasa memiliki
kebutuhan untuk membuktikan sesuatu pada dirinya sendiri dengan seks, adalah
mereka yang beresiko melakukan tingkah laku seksual yang tidak bertanggung
jawab. Remaja yang tidak berencana melanjutkan pendidikannya ketingkat yang
lebih tinggi, seperti universitas, cenderung tidak menunda hubungan seks dari
pada mereka yang berencana melakukan pendidikannya1.

2.6 Macam-macam Kekerasan Seksual


Kekerasan Seksual Ringan4:
 Pelecehan seksual

9
 Gurauan porno,
 Siulan, ejekan dan julukan
 Tulisan/gambar
 Ekspresi wajah,
 Gerakan tubuh
 Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban,
melecehkan dan atau menghina korban.
 Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan seksual berat.
Kekerasan Seksual Berat4:
 Pelecehan, kontak fisik: raba, sentuh organ seksual, cium paksa,
rangkul, perbuatan yang rasa jijik, terteror, terhina
 Pemaksaan hubungan seksual
 Hubungan seksual dgn cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan
 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain, pelacuran tertentu.
 Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan / lemahnya
korban.
 Tindakan seksual + kekerasan fisik, dengan atau tanpa bantuan alat
yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera.

2.7 Pemeriksaan Korban/Pelaku Pelecehan Seksual


Anamnesis
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa
awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah
yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin
terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus.
Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain:
- Umur atau tanggal lahir,
- Status pernikahan,
- Riwayat paritas dan/atau abortus,
- Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid),

10
- Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau
setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat
kontrasepsi lainnya),
- Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA),
- Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu), serta
- Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.
Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan 5W+1H yang terkait kejadian
kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “head to toe”. Artinya,
pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke
ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan
umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka
pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk ”life
saving” terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik,
perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan
umum dan khusus. Pemeriksaan fisik umum mencakup:
- tingkat kesadaran,
- keadaan umum,
- tanda vital,
- penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain),
- afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya),
- pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas),
- status generalis,
- tinggi badan dan berat badan,
- rambut (tercabut/rontok)
- gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga),
- kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah),
- tanda-tanda perkembangan seksual sekunder,
- tanda-tanda intoksikasi NAPZA, serta

11
- status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Untuk mempermudah pencatatan luka-luka, dapat digunakan diagram tubuh
seperti pada gambar berikut :

Gambar 1. Diagram tubuh manusia untuk pencatatan luka

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait


dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup
pemeriksaan:
- daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani;
- penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut pubis
yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau perlengketan
rambut pubis akibat cairan mani;
- daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan pada
jaringan lunak, bercak cairan mani);
- labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan
pada jaringan lunak atau bercak cairan mani;
- vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah),
apakah ada perlukaan;

12
- hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan,
adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila
ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai
arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan
mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda
penyembuhan pada tepi robekan;
- vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
- serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan dan
adanya cairan atau lendir;
- uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan;
- anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis;
- mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis,
- daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari
bercak mani atau air liur dari pelaku; serta
- tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.
Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah
pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi
(Gambar 2). Pada jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat
menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan
traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan penelusuran
tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan dengan
robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang, sedangkan
robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.

13
Gambar 2. Beragam jenis selaput dara

Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput dara atau
bila dilakukan dengan kasar dapat merusak selaput lendir daerah vulva dan vagina
ataupun laserasi, terutama daerah posterior fourchette. Robekan selaput dara akan
bermakna jika masih baru, masih menunjukan adanya tanda kemerahan disekitar
robekan. Pada beberapa korban ada yang memiliki selaput dara yang elastis
sehingga tidak mudah robek. Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala
jika : korban dengan selaput dara yang sebelumnya telah robek lama, korban
diperiksa sudah lama, korban yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang
tidak lengkap.

Gambar 3. Beragam jenis selaput dara

14
Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat
penting.Selain melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan
pemotretan bukti-bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter
membuat visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu
diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter
mendeskripsi temuan secara detil setelah pemeriksaan selesai.
Menentukan ada tidaknya persetubuhan:
 Tanda langsung
- Adanya robekan selaput dara
- Luka lecet atau memar di lliang senggama
- Ditemukan sperma
 Tanda tidak langsung
- Kehamilan
- Penyakit hubungan seksual
Pemeriksaan Korban
a. Pemeriksaan Tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak.
Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti
apakah sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung jari
kelingking, jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga ditentukan
ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau telunjuk
dimasukkan dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara
menjepit ujung jari, beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran pada titik itu
diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-kira 2,5 cm. Lingkaran yang
memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut Voight adalah minimal 9 cm.
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak dapat
dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya robekan
pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda (penis atau
benda lain yang masuk ke dalam vagina.
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat
tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina
merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung

15
sperma, maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah:
enzim asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin
maapun spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih
rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian
enzim fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar asam fosfatase yang
terdapat dalam vagina (berasal dari wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah
bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin dapat
dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat secara pasti
pula menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi persetubuhan;
maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu
tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan:
pertama, memang tidak ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi
tanda-tandanya tidak dapat ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan saat
terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang
sangat penting di dalam proses penyidikan. Dalam waktu 4-5 jam postkoital
sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak; sperma masih dapat
ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam postkoital, dan masih
dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang menjadi korban meninggal.
Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses
penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan tersebut
dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.
b. Pemeriksaan Pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat dilakukan pada
pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat. Dari bercak tersebut
dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa bercak yang
telah ditemukan adalah air mani serta dapat menentukan adanya sperma.

16
c. Pemeriksaan Pelaku
 Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan, dapat
dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit kelamin.
 Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan sebagainya.
Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga tidak perlu
ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal dari darah
deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk dilakukan. Trace
evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa.
Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di
kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat
berita acara pembungkusan dan penyegelan.
Pembuktian Kekerasan
Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang
menjadi korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering
ditemukan, yaitu di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan
tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital. Luka-luka akibat
kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks)
serta luka-luka memar.
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau jejak
berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa
pada wanita korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter harus
menggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et Repertum
yang dibuat, oleh karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan mencakup
dua pengertian: pertama, memang tidak ada kekerasan, dan yang kedua kekerasan
terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau bekas tersebut sudah hilang.
Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban tidak
berdaya merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan adanya racun atau obat-obatan yang kiranya dapat
membuat wanita tersebut pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa

17
pada setiap kasus kejahatan seksual, pemeriksaan toksikologik dan psikiatri
menjadi prosedur yang rutin dikerjakan4.

2.8 Undang-undang Kejahatan Seksual Pelaku Anak


Berikut undang-undang yang ada kaitannya dengan pencabulan dengan pelaku
anak serta sistem peradilan pidana anak yaitu5:
a. Pasal 2 Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
b. Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
c. UU No. 11 Tahun 2012,
d. KUHP Bab XIV Buku II Pasal 281-303
e. Pasal 289 KUHP
f. Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

2.9 Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana


Pelecehan Seksual
Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Berdasarkan pada hukum
internasional anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang disangka
atau dituduh melakukan tindak pidana dan harus berhadapan dengan sistem
peradilan pidana diamana anak tersebut berumur di bawah 18 tahun. Sistem
peradilan pidana anak tidak hanya memaknai dengan sekedar penanganan saja
akan tetapi harus dicari akar permasalahannya mengapa anak melakukan tindak
pidana dan juga mencari upaya untuk mencegah perbuatan tersebut terulang
kembali.
Berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA), ada 3 (tiga) golongan mengenai anak yang berhadapan
dengan hukum, yakni:

18
1. Anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dimana anak tersebut
berusia 12 tahun namun belum mencapai 18 tahun dapat dikatakan sebagai
anak yang berkonflik dengan hukum.
2. Anak yang belum berusia 18 tahun yang telah mengalami penderitaan
serta menyebabkan kerugian baik fisik maupun mental pada anak, dimana
hal ini disebut juga dengan anak yang menjadi korban tindak pidana.
3. Anak yang belum berusia 18 tahun dimana anak tersebut dapat
memberikan keterangan untuk kepentingan penerapan peradilan tentang
suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan dialaminya. Maka dari itu
anak tersebut dikatagorikan sebagai anak yang menjadi saksi tindak
pidana.
Perlindungan hukum harus diberikan kepada anak yang sedang berkonflik
dengan hukum dikarenakan agar tidak terjadi diskriminasi dalam sistem peradilan
pidana anak. Perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
memiliki hak untuk mendapat perlindungan-perlindungan yang meliputi:
a. Perlakuan secara manusiawi terhadap anak sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak.
b. Penyedian petugas pendampingan khusus sejak dini.
c. Untuk kepentingan terbaik anak, maka sanksi yang diberikan harus
sesuai dan tepat.
d. Dalam melindungi anak dari labelisasi, maka harus diberikan
perlindungan dari pemberitaan yang disiarkan di media massa.
Jenis pemidanaan anak tidak diatur secara tegas dalam KUHP. Sebelum
dihapuskannya Pasal 45 KUHP, hakim dapat memberikan putusan secara
alternatif yaitu:
a. Dikembalikan kepada orangtua atau walinya tanpa pidana.
b. Diserahkan kepada pemerintah atau lembaga sosial untuk dididik
sebagai anak Negara tanpa dijatuhi pidana.
c. Dipidana terhadap seseorang yang belum dewasa, yang belum berusia
16 tahun yang dituntut atas perbuatan yang telah dilakukan.
Apabila tidak adanya upaya hukum lain yang memberikan keuntungan
bagi anak, maka penjatuhan pidana terhadap anak merupakan upaya hukum

19
terakhir yang diberikan dimana upaya hukum tersebut bersifat ultimum remedium.
Penjatuhan pidana bagi anak diberikan apabila kejahatan yang dilakukan sudah
sangat meresahkan keluarga dan masyarakat. Masyarakat mengganggap kejahatan
tersebut sudah tidak dapat ditolerir dan merugikan banyak orang. Hakim dapat
menerapkan Pasal 47 ayat (1,2, dan 3) KUHP apabila hakim memang harus
menjatuhkan pidana kepada anak yang telah melakukan tindak pidana.
Penerapan sanksi pidana tidak hanya diterapkan kepada orang dewasa saja,
tetapi juga diterapkan kepada anak apabila sudah tidak ada lagi upaya hukum
yang menguntungkan bagi anak. Penerapan sanksi pidana ini terjadi apabila
kejahatan yang dilakukan berupa suatu tindakan pelecehan seksual. Anak yang
melakukan pelecehan seksual, secara khusus belum diatur dalam undang-undang.
Mengatasi hal tersebut maka digunakanlah Pasal 76 E Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan mengenai larangan
kepada setiap orang untuk melakukan kekerasan dan ancaman kekerasan serta
serangkaian kebohongan dan membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul.
Bagi setiap orang yang diketahui telah melanggar Pasal 76 E tersebut akan
dikenakan pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 82 Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu akan dikenakan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun serta paling lama 15 tahun dan akan dikenakan
denda paling banyak sebesar lima milyar rupiah. Apabila pelaku kejahatan seksual
tersebut adalah orang tua, wali, pendidik, dan pengasuh anak maka pidananya
akan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana yang seharusnya.
Pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan ke anak apabila umur anak
telah mencapai 14 tahun. Seorang anak akan dimintai pertanggungjawaban pidana
dengan ancaman pidana yang diberikan paling lama 1/2 (setengah) dari masa
pidana orang dewasa apabila anak tersebut ketika melakukan tindak pidana telah
berumur di atas 12 tahun akan tetapi belum mencapai 14 tahun. Pidana penjara
dapat dijatuhkan paling lama 10 (sepuluh) tahun apabila anak tersebut diancam
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup.
Untuk melindungi hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum, maka
dibuatlah UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai
dasar acuan dalam perlindungan hak terhadap anak. Upaya diversi yang diberikan

20
pada anak yang berkonflik dengan hukum merupakan bentuk implementasi dari
keadilan restorative (Restorative Justice) guna untuk melindungi hak-hak pada
anak yang berkonflik dengan hukum.
Perkara anak yang tidak wajib diupayakan diversi adalah perkara anak
yang tindak pidananya diancam dengan pidana penjara diatas 7 (tujuh) tahun atau
merupakan pengulangan tindak pidana. Diversi memberikan jaminan
perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem
peradilan pidana anak Indonesia. Diversi dan pendekatan keadilan restoratif
dimaksudkan untuk menghindari anak dari proses peradilan sehingga dapat
menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum serta
diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial seperti sebelumnya.
Diversi pada anak pelaku pelecehan seksual tidak dapat diupayakan
dikarenakan dalam kasus pelecehan seksual dikenakan pidana penjara paling lama
15 tahun dan denda paling banyak lima milyar rupiah, dimana hal tersebut sesuai
dalam ketentuan Pasal 76 E Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Berdasarkan pada pasal yang dilanggar oleh anak sebagai
pelaku pelecehan seksual maka putusan berupa diversi tidak dapat diupayakan
oleh hakim, dan sanksi yang diberikan berupa sanksi tindakan yang terdapat
dalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Pada kasus pelecehan seksual, anak yang berkonflik dengan hukum telah
mendapat perlindungan hukum berupa pemenuhan hak-hak anak seperti mendapat
bantuan hukum, terhindar dari penangkapan dan penahanan, pemberian keadilan
di muka pengadilan, identitas anak dirahasiakan dari publik serta persidangan
yang dilakukan tertutup. Meskipun hak-hak anak telah terpenuhi akan tetapi anak
yang melakukan tindak pidana pelecehan seksual tidak dapat diupayakan diversi.
Diversi dapat diupayakan apabila masa pidananya maksimal 7 tahun sedangkan
dalam kasus pelecehan seksual dijatuhkan pidana paling lama 15 tahun. Apabila
diversi tidak dapat diupayakan, maka anak yang melakukan tindak pidana
pelecehan seksual akan dikenakan pidana penjara sebagai upaya terakhir6.

21
2.10 Dualisme Kewenangan Mengadili Perkara Anak Sebagai Pelaku
Kejahatan Pelecehan Seksual di Aceh
Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah
provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan kehidupan masyarakat
Aceh. Kenyataannya qanun tidaklah sama persis dengan peraturan daerah.
Walaupun dari segi qanun disebutkan sebagai peraturan daerah, tetapi dia diberi
kekuatan khusus yaitu merupakan peraturan pelaksanaan langsung untuk undang-
undang dalam urusan otonomi khusus. Dengan kata lain qanun merupakan
pelaksanaan yang hirarkis berada langsung dibawah Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Terjadi dualisme kewenangan mengadili perkara anak sebagai pelaku
kejahatan pelecehan seksual di Aceh dikarenakan ada dua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang digunakan untuk penegakan hukum perkara tersebut
yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) dimana kewenangan
mengadili ada pada Pengadilan Negeri sedangkan Qanun Nomor 6 Tahun 2014
tentang Hukum Jinayat, kewenangan mengadili ada pada Mahkamah Syar’iyah.
Faktor penyebab kejaksaan penggunaan UUPA dalam dakwaannya karena
menurutnya sarana dan prasarana bagi sistem peradilan pidana anak lebih
memadai di Pengadilan Negeri dibandingkan dengan Mahkamah Syar’iyah untuk
dibeberapa wilayah aceh2.

22
BAB 3
KESIMPULAN

Secara luas, kekerasan seksual diartikan sebagai segala jenis kegiatan atau
hubungan seksual yang dipaksakan dan/atau tanpa persetujuan (consent) dari
korban. Sedangkan dalam arti sempit, kekerasan seksual disamakan dengan
perkosaan (rape), dan mengharuskan adanya persetubuhan, yaitu penetrasi penis
ke dalam vagina.Pada masa usia 5-18 tahun, anak belum memiliki tingkat
kestabilan emosi dan tingkat pendidikan yang cukup mengenai perbuatan yang
baik dan perbuatan yang buruk. Pada usia tersebut anak berada pada masa krisis
identitas sehingga anak bisa saja melakukan apapun dalam berinteraksi guna
memperoleh jati dirinya
Faktor-faktor kejahatan seksual pada pelaku anak faktor dalam diri, faktor
berbasis keluarga, faktor sekolah, faktor lingkungan dan masyarakat
Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mencatat, kasus pelanggaran hak
anak pada 2018 mencapai 4.885 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada
2017 yang mencapai 4.579 kasus, Laki-laki mendominasi sebagai pelaku
dibandingkan anak perempuan.
Pada korban dan pelaku kekerasan seksual dilakukan pemeriksaan mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan pada hukum internasional anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang disangka atau dituduh melakukan tindak pidana dan harus
berhadapan dengan sistem peradilan pidana diamana anak tersebut berumur di
bawah 18 tahun. Sistem peradilan pidana anak tidak hanya memaknai dengan
sekedar penanganan saja akan tetapi harus dicari akar permasalahannya mengapa
anak melakukan tindak pidana dan juga mencari upaya untuk mencegah perbuatan
tersebut terulang kembali.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Ulfiyatun K, Lubabin F. Dinamika Psikologis Anak Pelaku Kejahatan


Seksual. J Psikol Tabularasa. 2015;10(1):89-102.
2. Maros H, Juniar S. Dualisme Kewenangan Mengadili Perkara Anak
Sebagai Pelaku Kejahatan Pelecehan Seksual Di Kota Langsa-Aceh.
2018;5(2):1-23.
3. Irmayani NR. PROBLEMATIKA PENANGANAN TERHADAP ANAK
PELAKU TINDAK KEKERASAN SEKSUAL SELAMA
MENJALANKAN PROSES HUKUM (Kasus di Provinsi Kalimantan
Barat). Sosio Konsepsia. 2019;8(3):287-302. doi:10.33007/ska.v8i3.1795
4. Ratna Dewi P, I MG, Falamy R, Ramkita N. Pemeriksaan Fisik Dan Aspek
Medikolegal Kekerasan Seksual Pada Anak Dan Remaja. Vol 53.; 2017.
5. Wibowo HE, Rochaeti N. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam
Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Pencabulan Dengan Pelaku Anak.
Law Reform. 2015;11(2):216. doi:10.14710/lr.v11i2.15769
6. Mahayanti NMAD, Putu Tuni Cakabawa Landrade. Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual. Kertha
Wicara J Ilmu Huk. 2019;8(2):1-17.

24

Anda mungkin juga menyukai