Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ANTI KEKERASAN SEKSUAL

Nama kelompok:
1. Desta Indriyanti
2. Intan Desvi Anjani
3. Nadiva Desvi Anjani
4. Noni Riskyana Gustya

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


SERULINGMAS MAOS CILACAP
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt atas segala kemampuan rahmat Dan hidayah-nya
sehingga penulis dapat menyelasaikan tugas makalah yang Berjudul "Kekerasan Seksual" pada mata
kuliah bahasa indonesia. Kehidupan yang layak dan sejahtera merupakan hal yang sangat wajar dan
diinginkan oleh setiap manusia.
Adapun makalah “Kekerasan Seksual” ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadar sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari
segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu saran dan kritik sangat kami harapkan
supaya kami dapat memperbaiki makalah ini dan untuk pembelajaran di masa mendatang.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah Pancasila tentang Kekerasan seksual ini
dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.
Cilacap, 6 Desember 2022

Penyusun

I
DAFTAR ISI
Kata pengantar ...............................................................................................................I
Daftar isi ..........................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................2
2.1 Dilihat dari Sudut Pandang Agama.............................................................................2
2.2 Dilihat dari Sudut Pandang Pancasila.........................................................................5
2.3 Dilihat dari Sudut Pandang Kewarganegaraan...........................................................7

BAB III Penutup ..............................................................................................................8


Daftar Pustaka ..................................................................................................................9

II
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelecehan seksual adalah aksi tidak senonoh yang melibatkan tindakan fisik maupun non-fisik dengan
sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan ini merupakan salah satu jenis kekerasan seksual
yang paling sering memakan korban. Menurut Komnas Perempuan Indonesia, setidaknya ada 6 perilaku
yang mencerminkan pelecehan seksual, yaitu: siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual,
menunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan
gerakan atau isyarat yang bersifat seksual. Perilaku tersebut dapat menimbulkan rasa tidak nyaman,
tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga berpotensi menyebabkan masalah kesehatan dan
Dewasa, anak-anak, laki-laki, dan perempuan juga bisa menjadi pelaku atau korban.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan di atas, penulis mengidentifikasi masalah yang
ada dalam penelitian ini sebagai berikut :
1 . Kekerasan Seksual di lihat dari sudut pandang Agama
2. Kekerasan Seksual di lihat dari sudut pandang Pancasila
3. Kekerasan Seksual di lihat dari sudut pandang Kewarganegaraan

1.3Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah di uraikan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan:
1. Untuk mengetahui Kekerasan Seksual dari sudut pandang Agama
2. Untuk mengetahui Kekerasan Seksual dari sudut pandang Pancasila
3. Untuk mengetahui Kekerasan Seksual dari sudut pandang Kewarganegaraan

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kekerasan Seksual dari sudut pandang Agama
Dalam agama Islam, kekerasan seksual ini sangat tidak terpuji, kekerasan seksual dipandang sebagai
perbuatan yang tercela karena Islam telah mengajarkan kepada seluruh umatnya untuk saling
menghormati dan menghargai kepada siapapun tanpa melihat posisi, jabatan, umur, bahkan jenis kelamin
dari seseorang tersebut. Maka dari itu Islam turut menyerukan untuk menghapus kekerasan seksual,
mulai dari pelecehan seksual sampai ke eksploitasi seksual. Agama islam sangatlah melarang para
umatnya untuk memegang anggota badan dari seorang perempuan, bahkan memandang yang
menimbulkan syahwat. Karena hal tersebut sangat dikhawatirkan dapat menimbulkan serta mendekati
zina.
HaI ini sudah dijelaskan dalam firman Allah surah An-Nur ayat 30-31
“KatakanIah kepada Iaki-Iaki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu, Iebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.”
Setiap manusia memiliki hak untuk dihargai, dicintai, dan diperlakukan secara adil. Namun kenyataan
miris mesti diakui oleh bangsa Indonesia bahwa sampai saat ini masih banyak kasus kekerasan seksual
yang terjadi. Kekerasan seksual tentu bukanlah kasus yang asing didengar oleh manusia pada zaman ini.
Entah itu wanita maupun pria, anak-anak hingga orang tua, memakai baju yang terbuka maupun yang
tertutup sekalipun, semuanya tetap berpotensi menjadi korban kekerasan seksual. Komnas Perempuan
yang merupakan lembaga negara yang berfungsi sebagai penegak hak asasi manusia perempuan
Indonesia telah meluncurkan CATAHU (Catatan Tahunan) 2022 yang berisikan rangkaian catatan
pelaporan kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2021. Berdasarkan data CATAHU tercatat
338.496 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Angka ini memperlihatkan peningkatan
yang signifikan yaitu sebesar 50% dari tahun 2020 sehanyak 226.062 kasus. Menurut data CATAHU
2022, dalam kurun waktu 10 tahun tercatat kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun 2012 hingga
2021, tahun 2021 merupakan tahun dengan jumlah kasus kekerasan berbasis gender tertinggi di
Indonesia.
Lalu bagaimana pandangan agama-agama di Indonesia terhadap kasus kekerasan seksual yang
merajalela? Pada dasarnya semua agama mengecam dan melarang perbuatan kekerasan seksual. Seluruh
agama di Indonesia bahkan di seluruh dunia tentunya menjunjung tinggi kehormatan seorang manusia
dan melarang tindakan kekerasan dalam bentuk apapun. Berdasarkan ajaran agama Islam, Islam
mengharamkan segala bentuk kekerasan dan penindasan termasuk kekerasan seksual.

2
Allah SWT berfirman, “…Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan
pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan
kehidupan duniawi.” (QS. An-Nur: 33). Kekerasan seksual merupakan bentuk paksaan terhadap korban,
bukanlah hal yang diinginkan korban. Agama Khonghucu juga mengajarkan bahwa “Yang tidak susila
jangan dilihat, yang tidak susila jangan didengar, yang tidak susila jangan dibicarakan, dan yang tidak
susila jangan dilakukan.” (Kitab Sabda Suci XII:1.2) sesuai yang disabdakan oleh Nabi Kongzi. Dari
sudut pandang agama tersebut dapat dipastikan bahwa kejahatan seksual sangatlah dilarang keras oleh
agama. Kekerasan seksual merupakan suatu hal yang tidak susila sehingga janganlah kita melakukannya.
Berdasarkan ajaran agama Hindu, manusia yang melakukan kekerasan dan menyakiti orang lain sangat
bertentangan dengan dharma. Dharma merupakan kebenaran absolut yang dipercayai oleh agama Hindu.
Jangankan melakukan kekerasan seksual, menyakiti orang lain dengan kata-kata saja sudah bertentangan
dengan dharma. Nah, sebagai seorang manusia sudah seharusnya kita menghindari tindakan asusila yang
bertentangan dengan hak asasi manusia. Hal ini tertera didalam sila ke-3 dalam Pancasila Buddhis, sila
ini secara khusus merujuk pada tindakan seksual yang kurang pantas. Apa yang dimaksud tindakan
seksual yang kurang pantas? Hal ini dirinci dalam penjelasan tentang dasa akusala kamma atau sepuluh
karma hitam yang perlu kita hindari untuk memastikan kebahagiaan di kehidupan mendatang.

3
2.2 Bullying dari sudut pandang Pancasila
Kasus pelecehan seksual sering terjadi salah satunya karena pelaku kurang memahami makna dari dasar
negara Indonesia yaitu pancasila. Nilai-nilai luhur yang tercantum dalam pancasila sangat diperlukan
untuk menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat. Apabila pancasila dijadikan
sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari maka pelaku akan sadar bahwasannya hal yang
dilakukannya tersebut adalah salah dan melanggar salah satu sila pancasila yaitu sila kedua yaitu
kemanusiaan yang adil dan beradab./ Nilai kemanusiaan yang tercantum dalam pancasila mengajarkan
untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta berbuat adil terhadap sesama. Tidak berlaku
semena-mena terhadap orang lain. Oleh karena itu, pentingnya nilai pancasila terutama sila kedua sebagai
pegangan dalam menangani kasus pelecehan seksual.
Memberikan perlindungan hukum dan mendukung korban untuk bisa memberanikan diri apabila kasus
pelecehan seksual terjadi lagi. Harus ada lembaga sosial yang membantu korban untuk sembuh dari
trauma akibat dari kasus pelecehan seksual. Hal ini merupakan salah satu penerapan dari sila kedua
pancasila.
Perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak untuk menanggulangi kasus ini. Selain memberikan
hukuman kepada pelaku, masyarakat sebaiknya bergotong-royong untuk meningkatkan keamanan
khususnya di lingkungan sekitar kampus yang menjadi daerah rawan. Namun, hal yang terpenting adalah
mencegah kasus ini tidak terulang kembali dengan cara menerapkan nilai-nilai pancasila mulai dari dini.
Pentingnya pendidikan pancasila diterapkan mulai dari bangku sekolah dasar untuk menanamkan butir-
butir nilai pancasila. Selain itu, pentingnya pendidikan dini tentang kesehatan reproduksi kepada anak-
anak agar nantinya mereka dapat memahami sehingga mampu menolak kejadian yang berkaitan dengan
kekerasan seksual. Dengan adanya kesadaran akan pentingnya penanaman nilai pancasila dimulai dari
dini terutama nilai kemanusiaan diharapkan dapat berhasil mencegah bertambahnya kasus pelecehan
seksual yang ada di Indonesia.

Kesimpulan

Maraknya kasus pelecehan sosial di Indonesia menjadi momok tersendiri bagi perempuan. Pasalnya
pelaku pelecehan seksual bisa berasal dari lingkungan keluarga atau dari kalangan terpandang sekalipun.
Perlu tindakan serius untuk menanganinya. Dengan adanya kesadaran akan pentingnya penanaman nilai
pancasila dimulai dari dini terutama nilai kemanusiaan diharapkan dapat berhasil mencegah
bertambahnya kasus pelecehan seksual yang ada di Indonesia.

4
2.3 Kekerasan Seksual dari sudut pandang Kewarganegaraan
Perlindungan Hukum
Pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana tersebut terdapat pada KUHP mengenai kejahatan
kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan. Pencabulan (pasal 289 -296 ; 2) penghubungan pencabulan (pasal
286-288). Padahal dalam kenyataan, apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual mungkin belum
masuk dalam kategori yang dimaksud dalam pasal -pasal tersebut. Dari definisi umum tersebut maka
pelecehan seksual diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang
dilakukan secara sepihak dan tid ak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran dan penolakan atau
penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit
maupun ekplisit dalam membuat keputusan menyangkut karir atau pekerjaanya, menganggu ketenan gan
bekerja, mengitimidasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak nyaman bagi si
korban.
Konsepsi kekerasan menurut KUHP, sebagaimana tertuang dalam pasal 289 KUHP, diartikan membuat
orang pingsan atau tidak berdaya. Apakah suatu peng gunaan kekerasan harus menimbulkan rasa sakit
dan luka, pingsan atau tidak berdaya. Pengertian tersebut diatas hanya memberikan penjelasan
penggunaan kekerasan secara fisik, padahal masih ada bentuk penggunaan kekerasan secara psikis seperti
pada pelecehan seksual, hal ini tidak terangkum dalam KUHP.
Demikian juga kejahatan seksual dalam RUU KUHP terdapat pada bab Tindak Pidana Kesusilaan dalam
mencakup 56 pasal (467 -504), terbagi dalam sepuluh bagian, seperti: pelanggaran kesusilaan itu sendiri,
pornograf i dan pornoaksi, perkosaan, zina dan perbuatan cabul (mulai tindak pidana bagi pasangan yang
tinggal bersama tanpa ikatan “perkawinan yang sah” sampai dengan persetubuhan dengan anak-anak),
perdagangan anak untuk tujuan pelacuran,
penganiayaan terhadap hew an, pencegahan kehamilan, hal -hal yang berhubungan dengan pengguguran
kandungan, pengemisan, bahan yang memabukkan sampai dengan perjudian.
Selain itu penggunaan istilah dalam tindak pidana perkosaan dan pecabulan tetap mengunakan kata
persetubuhan. Hal ini akan membuat tindak pidana perkosaan tipis bedanya dengan pencabulan yang
akan menyebabkan kasus perkosaan akan menjadi kasus pencabulan bila tidak ditemukan bukti-bukti
adanya kekerasan atau perlawanan dari korban.
Pelecehan seksual yang sering terjadi tidak dapat dijerat pelakunya karena tidak mencukupi unsurnya
untuk kasus pencabulan atau perkosaan. Menggunakan pasal -pasal yang tidak relevan dengan kasus
sehingga tidak memberikan keadilan dan mereduksi nilai kekerasan yang dialami oleh perempuan, mis
alnya kasus pelecehan seksual menjadi kasus pencabulan. Dalam masyarakat, perempuan dianggap
merupakan “milik” masyarakat. Sehingga setiap tingkah lakunya dikontrol yang menyebabkan
perempuan kehilangan kendali atas tubuh dan bahkan jiwanya. Dalam kondisi seperti ini perempuan
berada dalam posisi yang rentan terhadap kekerasan seksual yang dilakukan oleh individu maupun
komunitas serta sulit terbebas dari siklus kekerasan yang terjadi tersebut.
Bagaimana dengan persoalan HAM? Dalam konvensi Internasional ( khususnya yang lebih diratifikasi
pemerintah Indonesa), berkaitan dengan perlindungan hak asasi perempuan, maka pada tanggal 10
Desember 1948 menekankan bahwa “setiap manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat dan
hak -haknya”. Artinya, hak asasi ma nusia (HAM) merupakan suatu hak yang melekat pada diri manusia,
yang bersifat sangat mendasar dan mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan
bakat, cita -cita dan martabatnya. Hak bersifat universal, artinya ia dimiliki setiap manusia ta npa
membedakan bangsa, ras, agama maupun jenis kelamin. Secara objektif, prinsip perlindungan terhadap
HAM antara negara yang satu dengan yang lain adalah sama. Tetapi secara subjektif, dalam
pelaksanaanya tidak demikian. Artinya, pada suatu waktu ada persamaan hakikat terhadap apa yang
sebaiknya dilindungi dan diatur, tetapi pada saat yang bersamaan ada perbedaan persepsi dan penafsiran
HAM antara negara yang satu dengan negara yang lain. Keadaan ini lebih disebabkan oleh adanya
perbedaan latar belakang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan juga perbedaan kepentingan
nasional dari masing -masing negara.

5
Sejak awal “Universal Declaration of Human Rights” ini memang dimaksudkan sebagai
common standard of achievement for all peoples and all nations. In i berarti bahwa deklarasi tersebut
hanya memberikan garis besar bagi negara -negara dalam menentukan apa yang selayaknya dihormati
sebagai HAM. Secara yuridis deklarasi tidak meletakkan suatu kewajiban apa pun yang bersifat
mengikat. Tidak ada satu negara atau kekuatan apa pun yang dapat memaksakan dipatuhinya deklarasi
ini.
Kendatipun deklarasi tersebut hanya merupakan anjuran moral saja, pada kenyataanya mempunyai peran
yang cukup besar dalam mendorong masyarakat internasional untuk menyusun suatu konvensi, baik
internasional maupun regional yang berkaitan dengan HAM. Beberapa diantaranya adalah: the European
convention on human right 1950, convention relating to the status of refugees 1951, convention on the
political right of women 1953, convention agai nst discrimination in education 1960, international
convenant on economic, social and cultural rights 1966, international convenant on civil and political
rights 1966, international convention on the elimination of all forms of racial discrimination 1966,
convention on the elimination of all forms of discrimination against women 1979, convention on the right
of the child 1989, dan The Viena Declaration on Human Rights 1993.
Pada tahun 1979, majelis umum PBB mengesahkan konvensi yang sangat bernilai kemanusi an tinggi
yaitu Elimination of all forms of discrimination against women (CEDAW). Lebih dari 130 negara
menyetujui untuk melaksanakan sebagian besar dari konvensi tersebut. Banyak Negara

telah berusaha untuk mengubah atau untuk menyelaraskan undang -undang dan kebiasaan yang ada
dalam masyarakat guna meningkatkan persamaan derajat dan hak -hak perempuan.
Walaupun konvensi tersebut sangat komprehensif, masih banyak terlihat praktek -praktek penggunaan
kekerasan terhadap perempuan, seperti masih ditemukannya pe rdagangan perempuan, dengan ancaman
atau penggunaan kekerasan.
The Viena Declaration on Human Rights 1993 pada pasal 18 dan 38 menggolongkan kekerasan terhadap
perempuan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Bilamana tindakan kekerasan dikaji
menurut pandangan hak asasi manusia, sebenarnya tindakan kekerasan itu harus dapat dicegah karena
bertentangan dengan hak asasi manusia dan menghalangi pemenuhan dari kebutuhan dasar manusia.
Meskipun demikian penggunaan kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas memang kadangkala tidak
dapat dihindari terutama oleh para penegak hukum. Oleh karena itu satu-satunya cara dapat dilaksanakan
adalah membatasi dan mengendalikan penggunaan tindakan kekerasan itu.
Pelecehan seksual termasuk tindak kekerasan terhadap p erempuan, yang perlu digugat karena
merupakan manifestasi ketidakadilan sehubungan dengan peran dan perbedaan gender. Pelecehan seksual
sebagai salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan bukanlah masalah individu semata-mata,
melainkan lebih merupakan masalah kejahatan yang berakar pada nilai- nilai budaya, sosial, ekonomi,
dan politik di dalam masyarakat tersebut. Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan penghambat
kemajuannya serta menghalanginya menikmati hak asasi dan kebebasan, yang juga menghambat
tercapainya kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Tindak kekerasan terhadap perempuan
dianggap sebagai pelanggaran hak asasi dan telah disepakati dalam konferensi dunia tentang hak asasi
manusia di Wina 1993. Akan tetapi belum ban yak orang yang mengetahui bahwa tindakan kekerasan,
termasuk pelecehan seksual, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Dari beberapa pengamatan di lapangan dapat disimpulkan bahwa bukan saja banyak korban yang tidak
tahu haknya, malahan mereka takut melaporkannya. Disamping itu ditemukan juga, bahwa banyak para
penegak hukum juga tidak tahu hak -hak yang dipunyai korban, sehingga mereka sudah merasa puas
kalau sudah mampu menegakkan hak -hak pelaku kejahatan (seperti tertuang dalam KUHAP).

6
Korban kejahatan pelecehan seksual dengan kekerasan mempunyai kewajiban di samping hak. Adapun
hak-hak korban kejahatan pelecehan seksual sampai pada kekerasan fisik adalah sebagai berikut:
mendapat bantuan fisik (pertolongan pertama kesehatan, pakaian), mendapat bantuan dalam
menyelesaikan masalahnya baik dari tingkat awal seperti pelaporan maupun proses selanjutnya, misalnya
pendampingan oleh pengacara dan sebagainya, mendapatkan rehabilitasi dan pembinaan antara lain
meminta untuk tidak diekspose di media secar a besar-besaran dan terbuka, dilindungi dari kemungkinan
adanya ancaman dari pihak pelaku kejahatan atau keluarganya, mendapatkan restitusi ganti kerugian,
kompensasi dari pihak pelaku, dan menggunakan rechtsmiddelen (upaya hukum).
Hak-hak korban tersebut diatas, perlu diadvokasi sehingga trauma secara psikologis bisa berkurang dan
terlebih lagi penanganan hukum terhadap pelaku bisa ditegakkan. Dalam mengadvokasi korban sangat
diperlukan, oleh sebab itu peran volunter dan mungkin juga peran perguruan tinggi juga sangat
diharapkan dalam perlindungan kepada korban.

Kesimpulan
Perempuan adalah makhluk yang tidak berbeda dengan laki -laki, tetapi secara kultural berbeda dengan
laki-laki. Secara tradisional perempuan tampak “as the preserver of the social o rder and standard bearers
of morality and decency”. Perempuan adalah pelindung dari tatanan sosial dan penjaga nilai-nilai
moralitas dan kesusilaan. Sungguh berat tugas yang dipikulkan kepada

perempuan. Cacat sedikit saja perilaku perempuan, maka sejumlah penilaian yang negatif akan
terlemparkan kepadanya. Lain halnya dengan kaum laki -laki yang secara arogan selalu merasa sebagai
pemimpin dan pejuang kehidupan, sehingga seolah -olah mereka tidak pernah bersalah. Oleh karena itu
bilamana perempuan menjadi kor ban suatu kejahatan dengan kekerasan (dalam hal ini pelecehan
seksual) yang terguncang terlebih dahulu adalah moralitas dan rasa susilanya. Sedangkan kalau kaum laki
-laki yang terguncang adalah harga dirinya.
Nilai yang harus dikorbankan oleh seseorang perempuan korban kejahatan jauh lebih besar daripada nilai
yang dikorbankan oleh seorang laki -laki korban kejahatan. Misalnya, di Indonesia perempuan korban
perkosaan (apalagi yang masih gadis) akan menanggung malu sepanjang hayatnya. Sementara itu, hukum
di Indonesia kurang memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan, apalagi korban pelecehan
seksual. Di sisi lain pelecehan seksual terhadap perempuan termasuk sebagai pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Oleh sebab itu peran kita adalah ikut memikirkan bagaimana meringankan beban yang
ditanggung oleh korban atas kejadian pelecehan seksual, dan ikut memikirkan bagaimana cara menekan
jumlah kejadian pelecehan seksual di masyarakat

PENUTUP
Kesimpulan
Maraknya kasus pelecehan sosial di Indonesia menjadi momok tersendiri bagi perempuan. Pasalnya
pelaku pelecehan seksual bisa berasal dari lingkungan keluarga atau dari kalangan terpandang sekalipun.
Perlu tindakan serius untuk menanganinya. Dengan adanya kesadaran akan pentingnya penanaman nilai
pancasila dimulai dari dini terutama nilai kemanusiaan diharapkan dapat berhasil mencegah
bertambahnya kasus pelecehan seksual yang ada di Indonesia.
Dalam agama Islam, kekerasan seksual ini sangat tidak terpuji, kekerasan seksual dipandang sebagai
perbuatan yang tercela karena Islam telah mengajarkan kepada seluruh umatnya untuk saling
menghormati dan menghargai kepada siapapun tanpa melihat posisi, jabatan, umur, bahkan jenis kelamin
dari seseorang tersebut. Maka dari itu Islam turut menyerukan untuk menghapus kekerasan seksual,
mulai dari pelecehan seksual sampai ke eksploitasi seksual. Agama islam sangatlah melarang para
umatnya untuk memegang anggota badan dari seorang perempuan, bahkan memandang yang
menimbulkan syahwat. Karena hal tersebut sangat dikhawatirkan dapat menimbulkan serta mendekati
zina.

Saran
Dengan adanya makalah atau penelitian ini penulis dapat mengetahui secara mendalam tentang
Kekerasan Seksual ,serta penulis berharap dengan adanya karya ilmiah ini juga dapat berguna bagi
pelajar, mahasiswa dan semua kalangan serta semua pihak.
Melalui makalah ini supaya kita bisa memahami lebih lanjut tentang Kekerasan Seksual dengan baik
sehingga dapat membentuk generasi yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik .Maka nantinya akan
lahirlah ilmuan-ilmuan dari Indonesia .

DAFTAR PUSTAKA

Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta: Penerbit Nuansa.


Budi, Ardjo Miriam, 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Ratih Dwi. Mengenali Jenis Pelecehan Seksual, Bukan Cuma Rayuan.
Solihin Daud /Kekerasan Seksual Dalam Pandangan Islam Dan Pancasila
Swara Rahima. Islam Menolak Kekerasan Seksual
9

Anda mungkin juga menyukai