Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH TUGAS KELOMPOK

“ANALISIS RADIKALISME BASIS AGAMA DALAM PERISTIWA SERANGAN


BOM BUNUH DIRI DI SURABAYA ”

Dosen Pengampu:
M. Jodi Setianto,S.H.,M.H.

Nama Kelompok :

1. Gede Sukhwan Oka Winawan 2114101183


2. Putu Gita Sunia Sari 2114101187
3. Gede Eka Pratama 2114101191
4. Ni Putu Evi Nirmala Sari 2114101205
5. Putu Satya Mahesa Ariartha 2114101209

5F
MATA KULIAH HUKUM ANTI RADIKALISME
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Berkat restu dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Analisis Radikalisme Basis Agama Dalam Peristiwa
Serangan Bom Bunuh Diri Di Surabaya” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Hukum Anti
Radikalisme. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
“Analisis Radikalisme Basis Agama Dalam Peristiwa Serangan Bom Bunuh Diri Di
Surabaya” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami ucapkan terimakasih kepada Bapak M. Jodi Setianto,S.H.,M.H. Selaku dosen


mata kuliah Hukum Anti Radikalisme yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami
juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Meski demikian, kami menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan makalah ini yang masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun akan kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Singaraja, 12 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................3
1.3 Tujuan Makalah...........................................................................................................3
1.4 Manfaat Makalah.........................................................................................................3
BAB II.......................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.......................................................................................................................5
2.1 Definisi Terkait Radikalisme.......................................................................................5
2.2 Faktor - Faktor Dan Akar Penyebab Radikalisme Dalam Beragama Terutama Dalam
Peristiwa Serangan Bom Bunuh Diri di Surabaya..................................................................5
2.3 Kondisi Aparat Keamanan Dan Masyarakat Umum Dalam Menghadapi Peristiwa
Serangan Bom Bunuh Diri Di Surabaya.................................................................................7
2.4 Radikalisme Berbasis Agama Berdasarkan Perspektif Hukum Positif Di Indonesia10
2.5 Peran Perguruan Tinggi dalam Mencegah Maraknya Radikalisme..........................11
BAB III....................................................................................................................................13
PENUTUP...............................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan................................................................................................................13
3.2 Saran..........................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aspirasi-aspirasi berbagai kelompok keagamaan terlihat semakin menguat,
dan gesekan-gesekan antar pemeluk di era global ketika demokratisasi diluaskan
semakin mudah melahirkan konflik. Salah satu negara yang besar dan penuh
keberagaman adalah Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk
sebanyak 254,9 juta jiwa, kekayaan yang melimpah, keragaman etnis, budaya dan
agama. Dengan semua keberagaman itu, bangsa Indonesia telah memiliki pengalaman
yang sangat kaya dan menarik yang dapat menjadi pembelajaran yang berharga bagi
masa depan bangsa, sekaligus menjadi model bagi bangsa lain tentang bagaimana
mengelola keragaman etnis, budaya dan agama dalam kehidupan modern yang sangat
kompleks.
Agama adalah pedoman hidup yang diberikan Tuhan kepada umat manusia,
agar kehidupan mereka di dunia menjadi sejahtera, dan mereka akan selamat kelak di
akhirat. Doktrin-doktrin agama bersifat ideal dan menghendaki para pemeluknya
mengamalkan doktrin tersebut dalam bentuk yang paling baik. Namun terkadang
pengamalannya jauh dari bentuk ideal yang dikehendaki agama tersebut. Seringkali
agama menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda, dalam arti bahwa
wujud dari pengamalan ajaran suatu agama berbeda jauh dari ajaran yang sebenarnya
diinginkan oleh agama itu sendiri. Semua agama menyerukan perdamaian, persatuan
dan persaudaraan. Akan tetapi pada tataran pengamalan, agama menampakkan diri
sebagai kekuatan yang garang, beringas, penyebar konflik, bahkan terkadang sampai
menimbulkan peperangan.
Vernon mengklasifikasikan tiga sikap pemerintah terhadap agama yaitu:
pertama, “the government support one religion and reject or discriminates against all
other”, negara hanya mengakui satu agama tertentu, dan lazimnya bersikap
diskriminatif terhadap agama lainnya. Tipe seperti ini akan melahirkan tekanan dan
penindasan terhadap pemeluk agama lain, atau paling tidak para penganut agama lain
dipandang sebagai warga negara kelas dua. Keberpihakan terhadap salah satu agama
dapat melahirkan kediktatoran. Kedua, “the government support religion in general,
but give no marked preferential treatment to any one religion”.
Pada tipe ini, negara tidak berpihak kepada salah satu agama. Semua agama
diberi hak hidup dan ditempatkan sejajar. Menganut suatu agama dipandang sebagai

1
hak asasi manusia yang harus dilindungi namun tetap secara tegas dipisahkan dari
kehidupan sosial politik. Hal ini dikarenakan keterlibatan agama dalam sosial politik
dianggap dapat menimbulkan diktatorisme dan menghambat kemajuan negara.
Ketiga, “the government rejects all religion in general, and directly or indirectly
engages in activities designed to eradicate religion from the society”. Pada tipe ini
negara yang menganutnya adalah negara-negara komunis yang menolak semua agama
karena dipandang sebagai penghalang kemajuan. Sebenarnya, Apapun sikap
pemerintah yang diambil dalam kaitannya dengan posisi agama dalam negara dan
kehidupan sosial, berbagai knsekuensi tetap akan ada pada setiap pilihan itu.
Dalam hal ini Indonesia dikategorikan dalam kriteria sikap yang kedua yaitu
dimana negara bersikap netral dan menghormati keberadaan agama yang berlaku di
negaranya. Indonesia merupakan salah satu negara yang sebagian besar merupakan
pemeluk agama Islam. Sekalipun demikian, Indonesia bukanlah negara teokrasi yang
menjadikan ajaran Islam sebagai konstitusinya, sebab di samping umat Islam yang
merupakan mayoritas, terdapat pula pemeluk agama lain yang juga menjadi pemilik
sah negeri ini. Indonesia juga bukan negara sekuler, karena agama dipandang sebagai
salah satu modal pembangunan, dan berperan dalam kehidupan sosial bangsa
Indonesia. Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang mengakui enam agama sebagai agama yang sah
untuk dipeluk oleh warga negaranya, dan masih ada pula kepercayaan lokal yang
tumbuh dengan subur di negeri ini. Keenam agama tersebut adalah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Karena kemajemukannya dalam agama
indonesia memperoleh predikat. “The Meeting Place of World Religions” Sebagai
konsekuensinya, Indonesia harus menghadapi konflik-konflik yang bersumber dari
perbedaan agama. Tragedi yang menimpa warga Ahmadiyah, Syiah, dan konflik
agama yang sering terjadi telah menodai harmoni kehidupan keberagamaan. Kilas
balik dari kekerasan yang pernah terjadi lebih kejam berlangsung dalam konflik
antaretnis dan antaragama, seperti Pontianak, Sampit, Ambon, dan Poso. Bahkan,
dalam beberapa bulan terakhir, menguatnya kembali isu tindakan radikalisme agama
yang ditandai dengan kehadiran gerakan ISIS yang terus merebak di beberapa wilayah
nusantara, menggejolaknya ancaman terorisme Poso, adanya pencekalan akibat
penggunaan nama Muhammad dan Ali di bandara yang diidentikan dengan teroris,
semakin memperuncing ketidakstabilan kehidupan keberagamaan dan bangsa.

2
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana definisi terkait radikalisme?
b. Bagaimana faktor - faktor dan akar penyebab radikalisme dalam beragama
terutama dalam peristiwa serangan bom bunuh diri di surabaya ?
c. Bagaimana kondisi aparat keamanan dan masyarakat umum dalam menghadapi
peristiwa serangan bom bunuh diri di surabaya?
d. Bagaiamana radikalisme berbasis agama berdasarkan Perspektif hukum positif di
Indonesia?
e. Bagaimana peran Perguruan Tinggi dalam mencegah maraknya radikalisme?

1.3 Tujuan Makalah


Adapun tujuan penulisan makalah ini agar penulis dan pembaca mengetahui:
a. Untuk mengetahui definisi terkait radikalisme
b. Untuk mengetahui faktor - faktor dan akar penyebab radikalisme dalam
beragama terutama dalam peristiwa serangan bom bunuh diri di surabaya
c. Untuk mengetahui kondisi aparat keamanan dan masyarakat dan masyarakat
umum dalam menghadapi peristiwa serangan bom bunuh diri di surabaya?
d. Untuk mengetahui radikalisme berbasis agama berdasarkan Perspektif hukum
positif di Indonesia
e. Untuk mengetahui peran perguruan tinggi dalam memecah maraknya
radikalisme

1.4 Manfaat Makalah


1. Bagi Penulis
a. Menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki keahlian profesional,
dengan keterampilan, pengetahuan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
b. Mengasah pengetahuan yang diberikan saat menempuh pendidikan di
Universitas Pendidikan Ganesha.
c. Menambah pengetahuan dan membentuk pola pikir mahasiswa-mahasiswi agar
terkontroktif baik.

2. Bagi Pembaca

3
a. Makalah ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan
ilmu pengetahuan dan bagi makalah sejenis, sehingga mampu menghasilkan
hasil makalah yang lebih mendalam.
b. Makalah ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi mahasiswa-
mahasiswi dalam pelaksanaan pembuatan tugas yang serupa di waktu yang
akan datang.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Terkait Radikalisme
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang
keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi
agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi,
sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan kekerasan
kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan paham
keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa. Lebih jauh
dipaparkan bahwa radikalisme.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia ikhtiar baru tahun 1995 adalah
suatu paham aliran yang menghendaki perubahan secara drastic. Sedangkan menurut
kamus ilmiah popular radikalisme adalah inti dari perubahan. Sementara radikalisme
agama berarti, prilaku keagamaan yang menyalahi syariat, yang mengambil karakter
keras sekali antara dua pihak yang bertikai, yang bertujuan merealisasikan target-
target tertentu, atau bertujuan merubah situasi sosial tertentu dengan cara yang
menyalahi aturan agama. Dari konteks di atas dapat dipahami bahwa radikalisme
agama adalah prilaku keagamaan yang menghendaki perubahan secara drastis dengan
mengambil karakter keras yang bertujuan untuk merealisasikan target-target tertentu.

2.2 Faktor - Faktor Dan Akar Penyebab Radikalisme Dalam Beragama Terutama
Dalam Peristiwa Serangan Bom Bunuh Diri di Surabaya
Paham Radikalisme Berkembang Di Indonesia Disebabkan Empat Faktor Utama:
1) Pertama, adanya beberapa ajaran dalam agama yang disalahpahami. Dalam Islam
ada ajaran jihad dan mati syahid, yang ironisnya dianggap membenarkan aksi-aksi
keras teroris.

5
2) Kedua adalah mengenai adanya persoalan kesejahteraan di masyarakat, seperti
kemiskinan dan kesenjangan sosial. Telah banyak fakta di lapangan menyuguhkan
kenyataan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial mampu membuat seseorang
melakukan apa pun yang menguntungkan, walaupun itu jelas terlarang seperti
radikalisme.
3) Ketiga adalah adanya ideologi negara agama. Pada tahap tertentu ideologi negara
agama turut menyuburkan paham terorisme. Karena sebagaimana diakui para
teroris, mereka menjalankan semua aksinya dengan tujuan mendirikan negara
agama. Bagi mereka, pemerintahan yang ada saat ini (termasuk Indonesia)
mengikuti sistem kafir.
4) Keempat adalah adanya paham salafisme. Ideologi negara agama terus bertahan
karena mengendap di balik kecenderungan salafisme di kalangan pemeluk agama.
Salafisme adalah kecenderungan yang membayangkan masa lalu sepenuhnya suci,
ideal, sempurna, tanpa kekurangan apa pun. Pada era suci inilah negara agama
diyakini pernah ada dan berdiri tegak dengan nilai-nilai luhur yang dipraktikkan
paripurna.

Selanjutnya akar penyebab kasus teror bom di Surabaya dan Sidoarjo tersebut
merupakan berasal dari faktor hati nurani sesat, actus humanus dan prinsip bonum
faciendum, malum vitandum.
1) Dalam kasus pengeboman bunuh diri yang terjadi di Sidoarjo dan Surabaya
tersebut, mereka jelas menggunakan hati nurani yang sesat. Meskipun otak
mereka telah dicuci dan hanya patuh pada perintah orang yang mereka percayai,
mereka tetap masih memiliki hati nurani. Mereka membiarkan hati nuraninya
menjadi sesat dan tumpul. Dengan alasan membela agama, mereka melakukan hal
tersebut. Dengan alasan membela kelompoknya, mereka melakukan hal tersebut.
Seharusnya mereka tak membiarkan hati nuraninya menjadi sesat seperti itu
dengan alasan apapun.
2) Yang kedua adalah ditinjau dari faktor teori actus humanus. Jika pelaku tersebut
adalah manusia, seharusnya mereka memakai akal dan budinya sebelum
melakukan aksinya tersebut. Mereka mengetahui dan menghendaki untuk
melakukan itu, dengan demikian mereka juga bertanggung jawab atas
perbuatannya. Mereka meyakini bahwa mereka sekeluarga akan masuk surga.
Tokoh besarnya, seperti Nurdin M. Top, dia hanya menyuruh dan mengarahkan

6
anggotanya untuk melakukan bom bunuh diri sedangkan dirinya sendiri tidak
pernah melakukannya. Sedangkan Dita ini ingin menunjukkan bahwa dirinya
tidak hanya bisa mengarahkan tapi juga menunjukkan sehingga kedepannya agar
ada potensi lagi keluarga yang juga bisa saja melakukan seperti itu.
3) Mereka telah terdoktrin bahwa setelah melakukan aksi bom bunuh diri tersebut
mereka sekeluarga akan mati bersama dan masuk surga bersama-sama padahal
jelas tidak seseorang masusk surga karena hal seperti itu. Jangankan masuk surga,
mencium baunya saja tidak. Mereka juga mudah sekali mengkafirkan muslim
yang lain. Halal darahnya yang dikafirkan bagi kelompok mereka. Sesama muslim
saja mereka membunuh dan mengkhafirkan apalagi kepada yang non muslim.
Islam tak pernah mengajarkan seperti itu.
4) Justru mereka malah melakukan kejahatan dan menjauhi kebaikan.
Mengkhafirkan dan memusnahkan orang-orang yang tidak sepaham atau
seideologi dengan mereka itu bukan sebuah jihad dan bukan mati nya juga bukan
mati sahid. Tindakan seperti ini juga telah merusak image dari agama Islam yang
sesungguhnya.

2.3 Kondisi Aparat Keamanan Dan Masyarakat Umum Dalam Menghadapi


Peristiwa Serangan Bom Bunuh Diri Di Surabaya
 Penjelasan bila kondisi masyarakat kuat dan aparat keamanan siap maka
stabilitas nasional kokoh dengan indikasi sebagai berikut :
a. Serangan aksi bom bunuh diri tidak akan berpengaruh bagi negara karena
masyarakat dan aparat keamanan bersinergi/bersatu dalam menghadapi teroris.
Kondisi ini dapat tercapai bila masyarakat mempunyai pemahaman yang sama
bahwa teroris merupakan musuh negara sehingga mendukung aparat
pemerintah untuk bersama-sama memberantas terorisme dari Indonesia.
b. Kelompok teroris berupaya membaur dan menutupi identitasnya di tengah
masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat berperan aktif dalam menangkal
terorisme melalui laporan bila ada orang baru di lingkungannya yang dianggap
mencurigakan. Aparat bertindak sigap dalam melakukan deteksi terhadap
kemungkinan timbulnya aksi teror di wilayahnya.
c. Keutuhan antar umat beragama tetap terjaga. Hal ini dapat terjadi karena
masyarakatnya sadar bahwa mereka tak mau terpecah-pecah karena menjadi
sasaran serangan teroris yang ingin masyarakat dengan keyakinan yang tidak

7
sama saling benci satu sama lain. Aparat pemerintah juga profesional dalam
menyelesaikan semua permasalahan terkait aksi serangan terorisme.
d. Tidak ada propaganda negatif yang dapat mempengaruhi masyarakat.
Kelompok teroris setelah melancarkan aksinya selalu mengumumkan
keberhasilan serangannya dan menyudutkan aparat. Bentuk propaganda
negatif seperti ini tidak akan berpengaruh terhadap masyarakat karena sadar
bahwa hal tersebut merupakan bagian dari rencana dari kelompok teroris
untuk memisahkan kedekatan masyarakat dengan apparat dalam bersinergi
memberantas terorisme dan paham radikal.
e. Kelompok teroris tidak dapat melancarkan aksi serangan susulan. Hal ini
terjadi karena kelompok tersebut tidak lagi memiliki ruang gerak dalam
beraktivitas mengingat posisinya yang terdesak oleh sinergi masyarakat dan
aparat keamanan.
f. Tidak ada penolakan dari masyarakat yang mempertanyakan kebijakan
pemerintah dalam menangani aksi terorisme di wilayahnya. Hal itu terjadi
karena masyarakat sadar bahwa langkah-langkah yang dilakukan aparat
keamanan adalah dalam rangka melindungi warga dan mencegah terjadinya
aksi serangan susulan kelompok teroris.

 Penjelasan jika kondisi masyarakat lemah dan aparat keamanan siap maka
stabilitas nasional lemah dengan indikasi sebagai berikut :
a. Masyarakat mudah terguncang bila mendengar adanya aksi serangan teroris.
Hal ini dapat terjadi karena masyarakat tidak sepaham dengan aparat dalam
menangani aksi serangan teroris. Masyarakat juga tidak memiliki kesadaran
berperan aktif dalam membantu aparat dalam memberantas kelompok teroris
di wilayahnya.
b. Kelompok teroris aktif melakukan perekrutan tertutup guna melakukan aksi
serangan susulan. Akibat masyarakat yang tidak memiliki kesadaran dalam
memahami bahaya paham radikal maka kelompok teroris memiliki ruang
gerak untuk terus beraktivitas dalam mengembangkan organisasinya. Mereka
akan terus berupaya merekrut anggota baru dari kelompok kecil masyarakat
yang dapat dipengaruhi guna melancarkan serangan susulan.
c. Timbul saling curiga antar umat beragama. Bila kelompok teroris melakukan
serangan terhadap salah satu umat beragama dan masyarakat tidak peduli

8
terhadap berkembangnya paham radikalisme di tengah warga maka dapat
dipastikan akan timbul kerenggangan hubungan antar umat beragama karena
tidak adanya persatuan dalam masyarakat. Kondisi ini merupakan masalah
serius yang harus segera dibenahi aparat keamanan guna meredam
berkembangnya paham radikal di tengah masyarakat.
d. Kelompok teroris dengan kondisi terdesak tetap melakukan aksi teror berupa
propaganda negatif guna menimbulkan keresahan dan kegelisahan bagi
masyarakat umum.
e. Kelompok teroris merencanakan metode serangan baru yang tidak terdeteksi
oleh aparat keamanan. Dengan kondisi masyarakat yang rapuh karena tidak
memiliki kesadaran keamanan maka kelompok teroris memiliki ruang untuk
melancarkan aksi serangan baru. Aksi tersebut direncanakan dengan matang
dan menggunakan metode baru yang belum pernah digunakan sebelumnya.
Hal itu guna mengantisipasi kewaspadaan aparat keamanan.
f. Masih terjadi penolakan dari sebagian komponen masyarakat yang
mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam menangani aksi teroris dengan
melanggar HAM. Akibat kesadaran yang kurang tentang penting keamanan
maka sebagian masyarakat ada yang mempertanyakan kebijakan pemerintah
dalam menangani aksi terorisme. Aksi ini secara tidak langsung akan
menghambat aparat dalam menangani perkembangan kelompok radikal di
wilayahnya.

 Jika kondisi masyarakat kuat dan aparat keamanan tidak siap maka
stabilitas nasional terganggu dengan indikasi sebagai berikut:
a. Masyarakat tidak takut dan terpengaruh dengan aksi teroris. Meski kondisi
aparat keamanan dalam kondisi tidak siap sehingga tidak dapat mencegah
berbagai aksi teror tetapi dengan masyarakat yang peduli dengan persatuan
dan kesatuan bangsa akan menciptakan lingkungan yang ketat dalam
mengawasi segala aktivitas dalam kegiatan tersebut.
b. Kelompok teroris berkonsolidasi dengan memanfaatkan ketidaksiapan aparat
keamanan. Meski masyarakat menyadari bahaya dari paham radikalisme yang
dibawa oleh kelompok teroris tetapi akibat kinerja aparat keamanan yang
lemah membuat kelompok tersebut memiliki waktu dan ruang untuk terus
melancarkan aksinya.

9
c. Muncul rasa tidak percaya dari umat beragama terhadap kinerja aparat
keamanan. Masyarakat akan meragukan kemampuan aparat dalam melindungi
negara dari ancaman serangan teroris. Hal ini membuat masyarakat secara
swadaya akan membentuk petugas keamanan untuk melindungi asetnya dari
kemungkinan tindakan penjarahan akibat kondisi chaos.
d. Masih kerap muncul propaganda negatif melalui media sosial yang dapat
memecah belah persatuan bangsa. Lemahnya aparat pemerintah dalam
mengatasi berbagai isu negatif membuat suasana dalam negeri menjadi panas
dengan munculnya pihak pro dan kontra dalam menilai kebijakan pemerintah.
e. Kelompok teroris masih berupaya melaksanakan aksi serangan susulan.
Memanfaatkan lemahnya kinerja aparat maka kelompok teroris terus berupaya
mengembangkan organisasinya melalui perekrutan dan mempersiapkan aksi
serangan selanjutnya.
f. Kerap timbul penolakan dari berbagai komponen masyarakat yang
mempertanyakan kinerja aparat dan kebijakan pemerintah dalam menangani
aksi terorisme. Akibat kondisi yang tidak kondusif membuat berbagai
komponen melancarkan aksi demo mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.

2.4 Radikalisme Berbasis Agama Berdasarkan Perspektif Hukum Positif Di


Indonesia
Pengeboman di Surabaya ini adalah aksi radikalisme yang dapat disebut juga
dengan aksi terorisme yang pasti memakan korban. Tujuan utama dari tindakan
iniadalah teror yang menimbulkan kerusakan. Dengan demikian para teroris adalah
orang-orang yang sudah terpengaruh oleh paham destruksionisme. Tindak pidana
teoirisme dalam hukum pidana positif,sebagaimana dirumuskan dalam Undang-
undang No. 5 Tahun 2018 menyebutkan bahwa ”Tindak pidana terorisme adalah
segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini” (Pasal 1 ayat 1 UU. No. 5 Tahun 2018).
Adapun ketentuan pidana bagi pelaku terorisme sebagaimana yang terdapat
dalam Pasal 6 Undang-undang No. 5 Tahun 2018 menegaskan bahwa ancaman pidana
bagi pelaku terorisme adalah penjara 5 hingga 20 tahun, penjara seumur hidup, hingga
pidana mati. Sedangkan dalam pasal 10A diatur lebih detil mengenai pidana yang
memiliki keterkaitan dengan tindak terorisme, seperti pidana bagi orang yang
membawa, menyimpan, mengangkut, memperdagangkan senjata yang akan

10
digunakan untuk melancarkan aksi terorisme. Hukumannya bervariasi, mulai 2 tahun,
3 tahun, 7 tahun, hingga pidana mati. Semuanya tergantung pada tingkat keterlibatan
orang tersebut dalam aksi tindak pidana terorisme.
Semua gerakan yang dilakukan oleh pelaku radikalis sangat menyimpang
dengan makna Pancasila dan UUD NRI 1945. Banyak gerakan radikalisme yang
mengatasnamakan agama tertentu. Tentu dalam sila pertama pancasila yang berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, di dalam sila ini tidak mengartikan tentang bagaimana
gerakan radikalisme di sebarkan, tetapi sila tersebut memberi tahu bahwa semua
masyarakat yang berada di Indonesia mempunyai hak memeluk agamanya sendiri-
sendiri.

2.5 Peran Perguruan Tinggi dalam Mencegah Maraknya Radikalisme


Perguruan Tinggi adalah lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi
lembaga yang melahirkan para pemikir, peneliti, seorang yang ahli dalam bidang
ilmunya, menguasai IPTEK, akan tetapi juga menjadi manusia yang berpandangan
dan berwawasan luas, demokratis, mampu memecahkan permasalahan dan dapat
mengikuti perkembangan jaman. Akan tetapi pada sisi lain, Kampus juga menjadi
lingkungan yang menjanjikan bagi pengusung paham radikal. Mereka membidik para
mahasiswa yang secara psikologis masih dalam proses pencarian jati diri. Dalam
banyak kasus, pegiat paham radikal membidik mahasiswa yang “polos”, artinya yang
tidak memiliki latar belakang keagamaan kuat.Kepolosan mahasiswa ini
dimanfaatkan oleh pengusung paham radikal dengan memberikan doktrinasi
keagamaan yang monolitik, kaku, dan jauh dari kontekstualisasi. Pada proses inilah
radikalisme ditanamkan dan disebarluaskan melalui sistem kaderisasi yang ketat dan
cenderung tertutup.Berangkat dari gambaran proses kaderisasi yang dilakukan oleh
kelompok radikal keagamaan yang membidik mahasiswa “polos” sebagai generasi
penerusnya dan dilakukan tertutup, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1. Pertama, mahasiswa yang tidak memiliki latar belakang keagamaan yang kuat,
justru merekalah yang memiliki semangat belajar keagamaan yang cukup tinggi.
Ironisnya, semangat tersebut justru ditangkap oleh kelompok radikal, sehingga
mahasiswa mudah terdoktrinisasi dan terjebak dalam ajaran radikal.
2. Kedua, pola tertutup dalam kaderisasi paham radikal menjadi titik penting
proses doktrinasi paham radikal itu sendiri, dimana semakin eksklusif suatu
perkaderan maka radikalisasi semakin tidak terbendung.

11
Berdasarkan uraian diatas, maka, upaya yang efektif untuk mencegah kampus
dari radikalisasi adalah dengan melakukan strategi yang berlawan dari dua
kesimpulan penting diatas.Pertama, kampus harus memberikan fasilitas belajar
keagamaan yang proporsional kepada mahasiswa, terutama untuk menampung
mereka yang sesungguhnya memiliki semangat belajar agama cukup tinggi, sekalipun
tidak memiliki latar belakang keagamaan yang kental.Sehingga mereka tidak belajar
agama kepada kelompok radikal dan eksklusif yang berbahaya.Kedua, kampus secara
berkala harus mengupayakan penyebaran ajaran keagamaan dengan suasana terbuka
dan menekankan moderatisme. Selain mampu membendung radikalisme dan
mencegah bibit teroris, kedua upaya itu bisa menjadi strategi untuk membangun
moralitas mahasiswa yang seimbang dengan keunggulannya secara akademik.
Salah satu contohnya adalah adanya mata kuliah pendidikan anti radikalisme
di prodi ilmu hukum Universitas Pendidikan Ganesha Melalui pendidikan anti
radikalisme, diharapkan semangat saling menghargai perbedaan akan mengalir dalam
darah setiap generasi dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya generasi
baru yang anti radikal diharapkan mampu menolak paham radikal yang saat ini
berkembang. dimana dalam hal ini Pendidikan memainkan peran penting dalam
mencegah terjadinya aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia. Pendidikan yang
baik dapat membentuk karakter yang kuat dan memperkuat pemahaman nilai-nilai
Pancasila, toleransi, dan kebhinekaan dimana

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang
keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada pondasi
agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi,
sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan kekerasan
kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan paham
keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa. Pengeboman
di Surabaya ini adalah aksi radikalisme yang dapat disebut juga dengan aksi
terorisme,sebagaimana diatur dalam dalam hukum pidana positif Undang-undang No.
5 Tahun 2018

adapun beberapa faktor Faktor - faktor dan akar penyebab radikalisme dalam
beragama terutama dalam Paham radikalisme berkembang di Indonesia disebabkan
beberapa faktor utama yaitu adanya beberapa ajaran dalam agama yang
disalahpahami. adanya persoalan kesejahteraan di masyarakat, seperti kemiskinan dan
kesenjangan sosial. adanya ideologi negara agama dan yang terakhir adalah adanya
paham salafisme.

Dapat dipastikan bahwa kondisi stabilitas nasional masih kokoh mengingat


serangan bom bunuh diri tersebut tidak berpengaruh karena dampaknya dapat segera
diatasi karena kondisi masyarakat yang kuat (tidak terpecah belah) dan aparat
keamanan yang siap dalam mengatasi segala ancaman yang dapat menurunkan
kewibawaan pemerintah di mata dunia.

3.2 Saran

13
Berdasarkan pokok pembahasan tulisan yang telah dipaparkan sebelumnya,
besar harapan penulis semoga apa yang ada dalam pokok pembahasan makalah ini
bermanfaat bagi pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi, penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna akan tetapi besar
harapan makalah ini bermakna bagi pembaca. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat diharapkan agar makalah ini nantinya dapat disusun
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Usman, S., Qodir, Z., & Hasse, J. (2014). Radikalisme agama di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1-240.
Nurdin Sibaweh, Udi Rusadi (2021) Pemaknaan Radikalisme Agama Dalam Koran Kompas
(Analisis Resepsi Pemberitaan Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral,
Makasar).Communication, Vol. 12 No.2. 83-94
Eko Setiawan.2022.Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral Makasar Dalam Kajian Pierre
Bourdieu. Jurnal Al Hikmah, Vol 20 No 1
August Corneles Tamawiwy (2019). Bom Surabaya 2018 Terorisme Dan Kekerasan Atas
Nama Agama. Vol 4. No 2. Universitas Kristen Duta Wacana. Yogyakarta
Mustofa, Imam. 2018. Terorisme, Antara Aksi dan Reaksi: Gerakan Islam Radikal
sebagai Respon terhadap Imperialisme Modern. Jurnal Religia, Vol 15
No.1.
Naharong, Abdul Muis. 2019. Terorisme Atas Nama Agama. Jurnal Refleksi, Vol
13, No.5.
Asrori, A. (2015). Radikalisme di Indonesia: Antara historisitas dan antropisitas. Kalam, 9(2),
253-268.

14

Anda mungkin juga menyukai