Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH UNSUR SARA

“PENISTAAN AGAMA”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK II
-
-
-
-
-
-
-
YAYASAN BUDI MULIA SRIWIJAYA
AKADEMI KEBIDANAN BUDI MULIA PALEMBANG
2021-2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Adapun dalam penulisan makalah ini, materi yang akan
dibahas adalah Tentang MAKALAH PENISTAAN AGAMA.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan penulisan makalah ini.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan dapat menambah wawasan kita serta dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Palembang,Desember 2021
Penyusun,
Kelompok 2

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I
A.Latar belakang..................................................................................................................1
B.Perumusan masalah..........................................................................................................2
C.Tujuan...............................................................................................................................2
BAB II
A.Pengertian SARA.............................................................................................................3
B.Pensitaan Agama menurut sudut pandang sosiologi........................................................4
C.Tindakan pidana penistaan Agama..................................................................................4
D.Undang-undang yang mengatur tentang penistaan Agama..............................................5
E.Kasus penistaan Agama oleh Ahok..................................................................................6
BAB III
1.Kesimpulan.......................................................................................................................8
2.Saran.................................................................................................................................8
DAFTAR PUSAKA........................................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Kami mengangkat tema tentang penistaan agama ini karena, dengan marak nya pemberitaan di
media-media sosial tentang Gubernur DKI (ahok), yang melakukan tindak pidana Penistaan
agama. Berdasarkan hal tersebut kami pun meneliti bagaimana tindak penistaan agama bila
dilihat dari sudut pandang sosiologi.
Dalam Sosiologis, Agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam
perilaku sosial tertentu. Berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun
kelompok. Oleh karena itu, setiap perilaku yang diperankan akan terkait dengan sistem
keyakinan dari ajaran Agama yang dianut. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan
dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Agama yang menginternalisasi sebelumnya.
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan
dan berhimpit saling menciptakan dan meniadakan.

1
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat di rumuskan masalah dalam penelitian Penistaan Agama adalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud penistaan agama dalam sudut pandang sosiologi ?
2. Mengapa penistaan agama termasuk kedalam suatu tindak pidana ?
3. Apakah ada undang-undang yang mengatur tentang penistaan agama ?

C. Tujuan
Pada dasarnya tujuan penulisan atau penyusunan makalah unsur SARA ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dalam penulisan atau penyusunan
makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Pancasila, dan tujuan
khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk membahas tentang unsur SARA dalam hal
penistaan Agama.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian SARA
SARA adalah kepanjangan dari Suku, Agama, Ras dan Antargolongan telah menjadi
salah satu pokok konflik sosial yang rupanya sangat sensitif bagi sebagian besar publik. Salah
satu alasannya adalah karena multikulturalisme yang terdapat dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.
Keberagaman suku, ras, dan agama menjadi isu sensitif semenjak praktik politik identitas mulai
digunakan oleh para elit politik dalam kampanye-kampanyenya. Mobilisasi massa menggunakan
konten SARA dirasa menjadi salah satu jalan tercepat dan termudah untuk menarik simpati dan
dukungan. Dan pada praktiknya, hal ini memberikan hasil yang cukup signifikan.
Dalam konsep SARA ada pengertian konflik horisontal yang dimotori oleh suku, agama dan ras
dan juga konflik vertikal yang bersumber pada perbedaan "ekonomi-politik" antar-golongan
(Taufik A.Mullah, 1997).
Dalam sejarahnya, banyak rentetan kerusuhan dan konflik selalu didasarkan pada sentimen dan
konsep SARA. Hal ini dikonstruksikan oleh para pemegang kekuasaan. Mereka cenderung tidak
pernah bergeming dari perspektif lain dalam memahami penyebab kerusuhan, kecuali SARA
yang selalu dijadikan sebagai tersangka utama dan kausa prima dari gejolak sosial tersebut.
Dampak sosiologis dari kondisi seperti ini membuat konstruksi sosial tentang makna SARA
dalam masyarakat lebih didominasi oleh perspektif rezim. SARA dipandang oleh negara sebagai
sumber perpecahan dan konflik sosial.
Hal ini lantas menjadikan SARA sebagai suatu pengetahuan atau realitas yang ditabukan. SARA
oleh masyarakat selalu dilihat sebagai sebuah potensi konflik daripada energi politis yang dapat
mewujudkan demokrasi dan kemajemukan sosial.
Tetapi pada sudut lain (berdasarkan temuan-temuan historis) SARA justru dijadikan arena
pemberdayaan dan demokrasi. Elemen-elemen dalam SARA tidak selalu terpisah secara kaku.
Ada kemungkinan terjadi hal yang oleh seorang sosiolog bernama Peter Blau (1964) dinamakan
cross cutting afiliation. Misalnya, ada orang-orang yang berbeda ditinjau dari etnis tetapi
disatukan dalam agama, ekonomi, dan kepentingan yang sama.
Karena SARA merupakan kenyataan sosial maka keberadaannya tidak dapat dilenyapkan.
Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apapun, termasuk menuju unifikasi
melalui "monolitikisasi" masyarakat, cenderung akan menimbulkan keresahan, gejolak sosial,
kerusuhan massa, dan pasti berakhir dengan disintegrasi sosial.

3
B.Penistaan Agama Menurut Sudut Pandang sosiologi
Agama merupakan sebuah realitas yang telah hidup dan mengiringi kehidupan manusia
sejak dahulu kala. Bahkan Agama akan terus mengiringi kehidupan manusia entah untuk
beberapa lama lagi. Fenomena ini akhirnya menyadarkan manusia bahwa baik Agama maupun
manusia tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan.
Bung Karno Mengatakan bahwa manusia Indonesia harus beragama secara beradab, menekankan
prinsip Ketuhanan yang berkeadaban atau Ketuhanan yang berkebudayaan, dalam arti orang
yang mengaku beragama harus memiliki budi pekerti luhur dan sikap saling menghormati satu
sama lain.
Semua agama, suku, dan ras mempunyai hak yang sama untuk berpolitik membangun bangsa
lebih berkeadaban dan berkebudayaan, berkualitas jiwa dan raga, serta sejahterah. Al-Quran
dengan tegas menjelaskan “berlomba-lombalah kamu (Manusia) dalam menegakkan dan
menebarkan kebajikan”[3]. Semua manusia apapun agamanya harus berlomba-lomba dalam
menegakkan dan menyebarkan kebajikan untuk semua, tidak hanya untuk diri sendiri.
C.Tindakan Pidana Penistaan Agama
Sebagaimana halnya dengan ilmu sosial lainya, obyek sosiologi adalah masyarakat yang
dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di
dalam masyarakat.
Setiap masyarakat dibangun atas norma-norma dan nilai-nilai tertentu. Dalam masyarakat
tertentu norma-norma dan nilai-nilai digunakan sebagai standar untuk menghakimi kelakuan
setiap manusia. Norma-norma di praktekan selama mereka konsisten dengan ajaran ajaran dan
perintah-perintah islam. Dalam masyarakat islam, nilai-nilai ini membentuk pola kelakuan yang
di inginkan yang secara sosial dibenarkan oleh maysarkat.
Nilai-nilai ini dapat dibagi menjadi dua bagian, positif dan negatif.
Dilihat dari perspektif Sosiologi Agama, Bambang Pranowo berpandangan, dalam delik
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia secara sosiologi hukum dapat
dikategorikan sebagai delik yang rawan sosial karena menyangkut dimensi keyakinan batin
orang / kelompok terhadap agama yang dianutnya. Dan ini rawan terjadi konflik horizontal.

4
D.Undang-undang yang mengatur tentang Penistaan Agama
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama Presiden Republik Indonesia,Menimbang :
a. bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan Masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional dan
pembangunan Nasional Semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur, perlu mengadakan
peraturan untuk mencegah penyalah-gunaan atau penodaan agama;
b. bahwa untuk pengamanan revolusi dan ketentuan masyarakat, soal ini perlu diatur dengan
Penetapan Presiden;
Mengingat:
1. pasal 29 Undang-undang Dasar;
2. pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar;
3. penetapan Presiden No. 2 tahun 1962 (Lembara-Negara tahun 1962 No. 34);
4. pasal 2 ayat (1) Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960;
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau pernodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia;
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa.[7]
Pasal 28 UU ITE
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

5
E.Kasus penistaan agama oleh Ahok
Kasus yang menyeret Ahok bermula ketika mantan politikus Golkar dan Gerindra ini
melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 27 September 2016 lalu. Di
sana, dia menggelar dialog dengan masyarakat setempat, sekaligus menebar 4.000 benih ikan.
Dalam video resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Youtube, Ahok meminta warga
tidak khawatir terhadap kebijakan yang diambil pemerintahannya jika dia tak terpilih kembali.
Namun, dia menyisipkan Surah Al Maidah ayat 51.
Rupanya, kalimat yang disampaikannya menuai polemik. Semua media online bernama
MediaNKRI menyebarkan video tersebut melalui media sosial. Hal itu juga memantik perhatian
seorang dosen, Buni Yani.
Buni lantas men-download video tersebut, menerjemahkannya dan mengunggahnya kembali
lewat akun Facebook miliknya. Unggahan Budi Yani lantas menjadi viral dan dia jadi tersangka
memantik permusuhan bernuansa suku, agama, dan ras.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan video Ahok yang menyinggung
surah Al-Maidah 51 saat berbicara di Pulau Seribu adalah penistaan agama. Setelah melakukan
kajian, MUI menyebut ucapan Ahok memiliki konsekuensi hukum.
Fatwa MUI itu membuat sejumlah umat Muslim juga melaporkan Ahok ke polisi. Mereka
menganggap Ahok telah melakukan penistaan agama melalui kata-katanya. Salah satunya Front
Pembela Islam (FPI).
Di bawah kepemimpinan Muhammad Rizieq Syihab, FPI menjadi garda terdepan untuk meminta
aparat kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut. Mereka menggelar demo di depan Balai Kota
DKI Jakarta pada 14 Oktober 2016 lalu. Merasa tidak ditanggapi, mereka lantas mengumumkan
akan menggelar Demo lanjutan, aksi ini diberi nama Demo Bela Islam jilid II, yang digelar 4
November 2016 lalu.
Demo pun digelar, masyarakat memenuhi jalan protokol di pusat pemerintahan. Seputar jalan
Medan Merdeka, hingga MH Thamrin dipenuhi lautan manusia.
Para pendemo mendesak agar Presiden Jokowi hadir dan menemui mereka, namun hingga
malam permintaan itu tak dipenuhi. Sayangnya, aksi damai yang berlangsung pada siang harinya
dirusak dengan kericuhan di depan Istana. Polisi dan pendemo terlibat bentrokan fisik, mulai dari
lemparan batu, botol hingga dibalas dengan tembakan gas air mata.
Melihat aksi mulai berlangsung anarkis, Jokowi kembali ke Istana jelang tengah malam. Dia
menggelar rapat terbatas secara mendadak. Lewat tengah malam, dia meminta rakyat agar tenang
dan tetap beraktivitas.
Di hari yang sama, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengumumkan gelar perkara akan
dilakukan secara terbuka. Kebijakan itu diambil berdasarkan permintaan Jokowi. Gelar perkara
pun dilaksanakan Selasa (15/11). Semua pihak dipanggil, termasuk anggota DPR. Dimulai pukul
09.15 WIB, gelar perkara resmi ditutup pukul 20.30 WIB.

6
Esok harinya, Bareskrim Polri meningkatkan status kasus dugaan penistaan agama dari
penyelidikan menjadi penyidikan.
Penyidik juga menetapkan Gubernur non-aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebagai
tersangka.
Kehebohan kasus Ahok tak sampai di situ. Usai ditetapkan sebagai tersangka, sejumlah eleman
masyarakat yang mengatasnamakan Gerakan Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-
MUI) mendesak kasus Ahok segera disidangkan.
Aksi ini berlanjut dengan Aksi Bela Islam Jilid 2 yang digelar 2 Desember 2017 atau disebut
212. Inilah aksi terbesar selama ini dengan pengikut mencapai jutaan orang. Demo berikutnya
masih digelar hingga Aksi 505 yang digelar Sabtu, (5/5) kemarin.
Kasus dugaan penistaan agama ini membuat perolehan suara Ahok- Djarot amblas. Pada putaran
kedua, Anies Baswedan- Sandiaga Uno berhasil memenangkan Pilkada DKI Jakarta.
Sidang kasus Ahok berlangsung lebih dari 20 kali. Mengundang berbagai macam ahli, mulai ahli
komunikasi sampai ahli agama.
Pada sidang ke-21 yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara di Kementerian Pertanian,
Jakarta Selatan, ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto. Ahok divonis lebih
berat dari tuntutan. Dalam penuntutan, Ahok dituntut jaksa satu tahun penjara dengan dua tahun
percobaan.
"Terbukti secara sah melakukan tindak pidana penodaan agama, penjara 2 tahun," kata Dwiarso,
Selasa (9/5).
Ahok sempat menyatakan akan banding, namun urung dilakukan. Ahok malah menyatakan
mundur dari jabatan Gubernur DKI. Permohonan pengunduran diri tersebut telah ditandatangani
mantan Bupati Belitung Timur itu tertanggal 23 Mei 2017.
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono mengatakan, Basuki atau akrab
disapa Ahok itu langsung mengirimkan surat pengunduran diri kepada Presiden Joko Widodo.

7
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa penistaan agama bisa
membuat perpecahan dalam suatu kelompok sosial karena menyangkut dimensi keyakinan batin
orang atau kelompok terhadap agama yang dianutnya. Seperti diatur dalam Pasal 156 a KUHP
barang siapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke- Tuhanan Yang Maha Esa.
2. Saran
Sebaik-baik langkah sebagai warga negara yang baik adalah menghindari ujaran dan
tindakan yang dapat saling mencedarai hati satu sama lain. Jauhi tindakan yang dapat merugikan
baik umat Islam Indonesia khusunya maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Umat
muslim tanah air juga perlu mewaspadai tindakan-tindakan yang bersifat provokatif menyangkut
kasus dugaan penistaan agama.

8
DAFTAR PUSAKA
1. Sumber Lain
https://nofalliata.wordpress.com/agama-islam-dan-sekte-sektenya/agama-dalam-
perspektif-sosiologis- 3/[25 November 2016]
http://media-merdeka.com/2016/11/inilah-pandangan-sejumlah-pakar-terkait-kasus-
penistaan-agama- ahok.html [6 Desember 2016].
http://agil-asshofie.blogspot.co.id/2016/11/politisasi-agama-sumber-perpecahan.html [ 11
Desember 2016].
2. Undang-undang, KUHP, KUHAP

Anda mungkin juga menyukai