Anda di halaman 1dari 12

REKAYASA IDE

“Peranan Umat Beragama dalam Penanggulangan Konflik Bersifat


SARA di Masyarakat”

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Kristen)


Dosen Pengampu : Pdt. LUHUT SIMARMATA, M.Th

Disusun oleh :

Okta Emelia Tampubolon (7172220019)


Renta Ulima Panjaitan (7173220030)
Natasia Abigael Br Jawak (7172220018)
Windi Juliaty Sihombing ( 7173520066)

Akuntansi Kelas C

Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Medan
T.A.2018/2019

2
KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis ingin mengucapkan rasa syukur kepada TUHAN YANG


MAHA ESA ,karena telah memberikan rahmat, kesehatan, serta kelapangan waktu kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan Rekayasa ide ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu Pendidikan Agama
Kristen , Bapak Luhut Simarmata, M.Th yang telah memberikan tugas Rekayasa ide ini serta
telah membimbing dan memberikan arahan terhadap penulis sehingga Rekayasa ide ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih juga terhadap semua rekan-rekan yang
telah memberikan saran, pengarahan, bantuan serta dukungan kepada saya secara langsung
maupun tidak langsung dalam membantu penyelesaian Rekayasa ide ini.

Dalam penulisan Rekayasa ide ini, disadari sepenuhnya belum sempurna bahwa
masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penulisan maupun materi.
Untuk itu diharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun guna dapat
menyempurnakan kelengkapan Rekayasa ide di masa yang akan datang.

Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dalam penulisan Rekayasa ide ini, Semoga Rekayasa ide ini dapat bermanfaat dan
dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

Medan, 02 Mei 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah....................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3. Tujuan Makalah..................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
BAB III....................................................................................................................7
PENUTUP...............................................................................................................7
A. Kesimpulan...............................................................................................7
B. Saran.........................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Agama mengemban fungsi memupuk persaudaraan. Walaupun  fungsi tersebut
telah dibuktikan dengan fakta-fakta konkrit dari zaman ke zaman, namun disamping
fakta yang positif itu terdapat pula fakta yang negatif, yaitu fakta perpecahan antar
manusia yang kesemuaannya bersumber pada agama. Perpecahan tidak akan terjadi
jikalau tidak ada konflik (bentrokan) terlebih dulu. Lebih lanjut secara sepintas telah
disoroti pula masalah perpecahan dalam konteks krisis kewibawaan agama. Demikian
pun dijabarkan juga masalah bentrokan (konflik) antara agama dan ilmu pengetahuan,
meskipun hanya secara singkat.

SARA adalah merupakan singkatan dari Suku agama dan Ras antar Golongan
serta adat istiadat. Keempat hal tersebut adalah merupakan isu penting jika dikaitkan
dengan peristiwa pertentangan dan konflik dalam masyarakat. Dalam suatu tatanan
sosial masyarakat perbedaan antara suku ras dan agama sangatlah majemuk dan
beragam. Keberagaman tersebut sesungguhnya menjadi salah satu kekayaan tersendiri
yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia.

Disisi lain isu SARA terkadang mendatangkan dampak negatif dan bahkan
berdampak pada terjadinya pertentangan dan konflik yng berkepanjangan yang justru
merugikan dan bahkan mengahambat laju pembangunan. Secara khusus terdapatnya
perbedaan Suku di Indonesia disebabkan oleh karena  indonesia adalah merupakan
negara yang terdiri dari beberapa pulau yang memiliki karakter masyarakat,
kebudayaan, kebiasaan, adat istiadat dan kepercayaan yang berbeda. Kemajemukan
tersebut yang menjadi ciri khas dari negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam
konteks wawasan Nusantara keterpaduan dan persatuan yang terjalin menjadi
wawasan nusantara mejadi kebanggaan tersendiri. Di Indonesia terdapat Suku-suku
diantaranya Bugis, Makasar, Menado, Jawa, Sunda, Batak dan sebagainya.
Selain kemajemukan suku tersebut dengan karakteristik yang berbeda juga
terdapat kemajemukan dan perbedaan kepercayaan yang dianut oleh maisng-masing
kelompok atau suku tertentu. Di indonesia terdapat lima macam agama yang diakui

1
diantaranya Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha, dan terdapat beberapa jenis
aliran kepercayaan yang dapat dijalankan oleh pemeluknya di Negara Republik
Indonesia.
Disamping memiliki dampak positif dari kemajemukan tersebut, disisi lain
sesungguhnya sangat rentan untuk terjadi konflik pertentangan antara suku, agama
dan ras. Konflik tersebut harus di eliminir seminimal mungkin agar tidak terjadi
konflik yang berkepanjangan. akan tetapi dari keberagaman tersebut sejarah telah
membuktikan bahwa telah terjadi pertentangan dan konflik yang berkepanjangan yang
dilatar belakangi oleh isu SARA.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan SARA ?
2. Apa contoh konflik SARA yang ada di Indonesia secara umum?
3. Bagaimana peranan umat beragama dalam mengatasi konflik SARA di tengah
masyarakat?

1.3. Tujuan Makalah


1. Mengetahui cara penyelesaian kasus atau konflik SARA dengan baik.
2. Dapat mengetahui permasalahan mengenai Kerukunan Umat Beragama dan solusi
yang dapat diberikan mengenai masalah tersebut.
3. Dapat mengkaji materi mata kuliah Pendidikan Agama Kristen tentang kerukunan
umat beragama.
4. Dapat menyuarakan mengenai pendapat dan pemikiran.
5. Menambah pengetahuan baru atau wawasan baru.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan)

SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen
identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan.
Dalam pengertian lain SARA dapat disebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan
yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan
karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian
yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan
manusia untuk membeda-bedakan yang lain. SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga
Katagori :

a) Kategori pertama yaitu Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh
individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan
maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan
menghina identitas diri maupungolongan.
b) Kategori kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh
suatuinstitusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung,
sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur
organisasi maupun kebijakannya.
c) Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos tradisi dan ide-ide
diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.

2. Contoh Konflik SARA yang Ada di Indonesia Secara Umum

Akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang dianggap menjadi salah satu sebab
terjadinya berbagai gejolak sosial di negara kita. Perkelahian antara suku Madura dan suku
Dayak di Kalimantan Barat, perkelahian antara suku Makasar dan penduduk asli Timor
yang kemudian berkembang menjadi pergesekan antaragama Katolik dan Islam,
merupakan contoh peristiwa SARA (suku, agama, ras, antar golongan) di negara kita.
Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan suku bangsa, maka masalah SARA merupakan hal
biasa. Dalam masalah SARA ada beberapa hal yang perlu dicermati adalah :

3
a) Pertama, hubungan antara suku pribumi dan non pribumi sampai saat ini belum dapat
dipecahkan, dan tetap menjadi pemicu potensial timbulnya konflik sosial.
b) Kedua, SARA muncul kembali sebagai faktor pendorong timbulnya "nasionalisme
daerah"berupa upaya memisahkan suatu wilayah dari wilayah Republik Indonesia,
meskipun masalah ini secara historis seharusnya sudah selesai ketika bangsa ini
memproklamasikan Sumpah Pemuda 1928.
c) Ketiga, ada gejala bergesernya sebab pemicu: timbulnya gejolak sosial dari masalah
SARA ke masalah yang bersifat struktural.
d) Keempat, seimbang antara suku dalam akses mereka pada sumber alam.
e) Kelima, pada tingkat makro lain seperti belum terciptanya birokrasi yang secara
politis netral.

Perspektif seperti ini akan melihat masalah sebenarnya yang kini dihadapi bangsa
ini, karena SARA hanya merupakan limbah masalah dasar itu serta wahana
mobilisasimasyarakat guna menarik perhatian pemerintah untuk menyelesaikan masalah
dasar tersebut. Indonesia memang perlu perubahan apabila ingin memasuki abad ke-21
dengan utuh sebagai suatu bangsa. SARA tak akan mampu memicu terjadinya suatu
ketegangan apabila tak terkait dengan faktor struktural yang ada dalam masyarakat.
Singapura dan Malaysia adalah negara multietnik dan multibudaya, namun hubungan antar
etnik relatif harmonis. Hipotesis kelompok kami, karena Pemerintah Malaysia dan
Singapura –berserta aparaturnya- termasuk pemerintahan yang bersih, baik dari segi
ekonomi maupun politik. Karena aparatur kedua pemerintahan itu bersih, maka keadilan
pun terjamin. Masih sulit untuk mengatakan bahwa kita telah memiliki suatu pemerintahan
yang bersih. Akibatnya, keadilan sulit dicapai.Sekelompok etnik tertentu, yang bekerja
sama dengan aparatur negara yang tak bersih, mampu lebih cepat memanfaatkan
kesempatan yang diciptakan pemerintah. Hal ini kemudian menimbulkan masalah SARA
atau sikap anti terhadap suku tertentu. Tapi kita perlu memahami bahwa masalah tersebut
muncul karena kelompok etnik itu mengalami political insecurity dalam masyarakat,
sehingga mereka perlu mencari security melalui aliansi dengan aparatur pemerintah yang
mengalami economic insecurity. Gejala menarik yang terjadi di negara kita, adanya satu
birokrasi yang merupakan bagian suatu organisasi sosial politik (orsospol).
Ketidaknetralan birokrasi itudapat memancing ketegangan sosial yang manifestasinya
adalah pada tindakan SARA. Contohnya, beberapa gejolak sosial pada Pemilu 1997,
seperti terjadi di Pekalongan. Dalam hal ini, kita dapat mendeteksi adanya political

4
insecurity di kalangan aparatur, yakni takut kehilangan jabatan apabila orsospol tertentu
kalah. Political insecurity itu sering dimanifestasikan dalam tingkah laku yang bersifat
overakting, yang dapat menimbulkan reaksi keras dari orsospol lain, yang pada akhirnya
menimbulkan tindakan SARA. Bagaimanapun, SARA adalah bagian dari bangsa dan
negara Indonesia. Kita tak dapat menghindar dari masalah ini.

3. Peranan umat beragama dalam mengatasi konflik SARA di tengah masyarakat


1. Tanggung jawab yang lebih besar pada yang lebih besar.
Jika kerukunan hanya menjadi urusan dan perjuangan yang kecil akan menjadi
sia-sia. Tidak ada perubahan yang berarti bisa terjadi tanpa dukungan umat
mayoritas yang banyak dan militer yang kuat. Lebih mulus lagi bila juga
memeroleh dukungan dari birokrasi yang berkuasa. Seperti tidak mungkin ada
demokrasi tanpa mereka, juga tidak akan ada kerukunan tanpa mereka.
2. Kerukunan harus diupayakan terus- menerus.
Kerukunan harus diupayakan terus-menerus. Tidak hanya menjadi topik
seminar setelah ada konflik, melainkan dirawat dan ditumbuhkan terus-
menerus melalui pengalaman bersama. Saat mengupayakan kerukunan terus-
menerus kebebasan harus ditata. Kebebasan yang liar dan binal akan
menghancurkan kebebasan itu sendiri. Masing-masing menata kebebasannya
sendiri dengan bertanggung jawab, dan dengan ini masing-masing
mewujudkan kerukunan beragama dan sekaligus memelihara kebebasan itu
sendiri. Selain itu, kerukunan harus diupayakan langkah demi langkah dengan
mengupayakan kesepakatan-kesepakatan minimal yang semakin maju melalui
pengalaman perjalanan bersama.
3. Tugas mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama adalah tugas
bersama: lembaga-lembaga keagamaan, umat beragama serta pemerintah.
4. Kita harus menerobos dan merobohkan tembok prasangka religius. Hal
tersebut kita lakukan dalam rangka meneladani sikap Yesus Kristus.
Yesus Kristus telah menerobos dan merobohkan tembok prasangka
rasial dan religius sebagaimana tercatat dalam Yohanes 4:1-42. Menurut ayat
3 Tuhan Yesus dan para murid berniat meninggalkan Yudea (Israel bagian
selatan) menuju Galilea (Israel bagian utara). Lalu, di ayat 4 tertulis, “Ia harus
melintasi daerah Samaria.” Perhatikan kata harus dalam kalimat itu. Samaria
adalah bagian tengah Israel. Sebenarnya sangat wajar bila orang melintasi

5
wilayah tengah dalam perjalanan dari selatan ke utara atau sebaliknya. Orang
Yahudi menghindari wilayah Samaria kecuali bila sangat terpaksa. Mereka
lebih bersedia berputar jalan daripada harus melintasi daerah orang Samaria,
sebab mereka enggan bertemu dengan orang Samaria. Ada tembok prasangka
antara kedua etnik itu.
Sebagai seorang yang berbangsa Yahudi dan beragama
Yahudi, sebenarnya bisa dimengerti seandainya Yesus juga berprasangka
terhadap orang Samaria. Ternyata Yesus tidak berprasangka demikian!
Sebaliknya, Yesus malah mengambil langkah yang menerobos dan
merobohkan tembok prasangka itu. Ia menyapa seorang Samaria (lih. ay. 7).
Tentu saja para murid-Nya menjadi heran (lih. ay. 27). Lalu Yesus melakukan
terobosan yang lebih mengejutkan lagi. Ia menerima baik ajakan orang
Samaria untuk menginap di rumah orang Samaria (lih. ay. 40). Bayangkan
kebingungan para murid-Nya ketika tiba waktu makan. Seumur-umur mereka
belum pernah makan dari piring dan mangkok orang Samaria sebab menurut
aturan agama Yahudi pinggan dan cawan orang beragama lain adalah najis
atau haram.
Selain empat hal di atas, untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama umat
beragama perlu mengembangkan sikap proeksistensi ketimbang koeksistensi (Sitompul
2006, 49). Di dalam koeksistensi kita memang mengakui orang lain dan merasa cukup
kalau tidak saling mengganggu. Sedangkan proeksistensi mencakup saling menghargai
dan berupaya mengembangkan kehidupan bersama yang harmonis dan dinamis. Ini
berkait erat dengan pengakuan bahwa umat beragama lain mempunyai “legitimasi
religius” yang tidak berhak kita nilai apakah benar atau salah. Umumnya umat beragama
masih terjebak pada sikap superior atau eksklusivisme, merasa diri sendiri satu-satunya
yang benar, sedangkan yang lain salah. Walaupun tidak diungkapkan terang- terangan,
paling tidak “di kalangan sendiri” gencar diucapkan. Sikap merelatifkan agama bahwa
semua agama itu sama juga tidak baik. Menyamakan semua agama berarti merendahkan
penghayatan religius kita sendiri. Penghayatan agama atau spiritualitas adalah sesuatu
yang personal, eksistensial dan menentukan bagi kualitas hidup kita, sesuatu yang tidak
mungkin disamaratakan begitu saja dengan penghayatan orang lain.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Salah satu tantangan terhadap pengembangan kerukunan adalah adanya
peristiwa-peristiwa lokal yang mengarah pada peningkatan benturan dan konflik
SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Adanya cara-cara melaksanakan
dakwah, penginjilan, dan misi yang melecehkan dan menghakimi agama lain juga
merupakan tantangan terhadap pengembangan kerukunan.
Kerukunan yang kita usahakan dan kembangkan bukanlah sekadar “rukun-
rukunan,” melainkan kerukunan yang benar-benar autentik dan dinamis. Kerukunan
yang autentik bukanlah kerukunan yang diusahakan hanya oleh karena alasan-alasan
praktis, pragmatis dan situasional, tetapi semangat kerukunan yang benar-benar keluar
dari hati yang tulus dan murni. Kerukunan itu benar-benar dapat keluar dari hati yang
tulus dan murni karena ia didorong dari suatu keyakinan iman yang dalam sebagai
perwujudan dari ajaran agama yang diyakini.
Oleh sebab itu, kerukunan bukanlah sekadar masalah politis atau teknis.
Kerukunan juga tidak kurang adalah masalah teologis atau masalah keyakinan iman.
Bertolak dari situ, umat beragama yang lain bukan saingan atau ancaman apalagi
musuh, melainkan sebagai saudara-saudara sesama ciptaan Tuhan yang oleh Tuhan
ditempatkan untuk hidup bersama dan bekerja bersama bagi kebaikan bersama dan
oleh karena itu untuk dikasihi. Kerukunan yang autentik akan terwujud oleh
keyakinan yang eksistensial seperti ini dan bukan hanya oleh kesepakatan-
kesepakatan formal saja.

B. Saran
Kita perlu merenungkan kembali cara kita menghayati agama kita masing-
masing. Meskipun agama adalah pilihan pribadi, ia juga berdampak bagi hubungan-
hubungan sosial. Di dalam keluarga besar Bangsa Indonesia yang pluralistik, cara-
cara kita menghayati dan mengungkapkan iman memainkan peranan penting agar kita
terhindar dari konflik-konflik yang tidak perlu dan tidak produktif.

7
DAFTAR PUSTAKA

Nurwardani, Paristiyanti, dkk. 2016. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan

Agama Kristen. Jakarta : Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Cetakan ke- I.

http://ayuknowledge.blogspot.com/2015/03/contoh-makalah-sara.html.

Anda mungkin juga menyukai