Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS BENCANA SOSIAL

DALAM RANGKA MANAJEMEN KONFLIK


ATASI DAMPAK MULTIKULTURAL
DI KABUPATEN MANOKWARI PAPUA BARAT

Disusun Oleh :

Dimas Satrio Yudho


29.1868
J4/32

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI


KAMPUS NUSA TENGGARA BARAT
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat-
Nyalah tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah
yang berjudul “ANALISIS BENCANA SOSIAL MANAJEMEN KONFLIK
ATASI DAMPAK MULTIKULTURAL” ini dalam rangka pengembangan salah
satu tri darma perguruan tinggi, yaitu bidang pendidikan.

Tulisan ini dapat penulis selesaikan berkat adanya bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada Bapak Dr.
Drs. I Gusti Ngurah Suwetha, M.Si. . selaku dosen kami yang telah memberikan
bimbingan, waktu, dan ilmunya dalam mengajar kami walau ditengah situasi pandemi
seperti ini. Penulis Menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan-
kekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang
penulis miliki. Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca akan penulis terima
dengan senang hati demi perbaikan naskah penelitian lebih lanjut.
Semoga Makalah ini memberikan informasi dan bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Praya, 21 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… i


DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..….... ii

BAB I........................................................................................................................1
PENDAHULUAN....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Indentifikasi Masalah......................................................................................2
1.3 Rumusan Masalah............................................................................................2
BAB II......................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................4
2.1 Landasan Teori................................................................................................4
2.2 Landasan Normatif.........................................................................................6
2.3 Kegunaan Penulisan........................................................................................8
BAB II......................................................................................................................9
METODE PENULISAN..........................................................................................9
BAB IV...................................................................................................................10
ANALISA FOKUS PENULISAN.........................................................................10
2.1 Masyarakat Multikultur....................................................................................10
2.1.1 Masyarakat Multikultur........................................................................10
2.1.2 Dampak Masyarakat Multikultur..........................................................11
2.2 Karakteristik Konflik Sosial & Penyelesaianya...............................................12
2.2.1 Karakteristik Konflik Sosial.................................................................12
2.2.2 Konflik Sosial dan Penyelesaiannya.....................................................15
2.2.3 Peran Para Aktor Perdamaian dan Kearifan Lokal...............................16
2.2.4 Potensi Membangun Perdamaian.........................................................17
BAB III...................................................................................................................19
PENUTUP..............................................................................................................19
3.1 Simpulan......................................................................................................19
3.2 Saran............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konflik sosial yang anarkis selalu terjadi antarkomunitas (horizontal) dan
komunitas dengan para elite birokrasi (vertikal) seolah menjadi potensi yang
terus menerus menghantui dan mengancam ketertiban sosial, yang pada
gilirannya tak menutup kemungkinan akan mengancam integrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Konflik berdarah yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia akhir-
akhir ini, yaitu konflik antarumat beragama di Kuningan, Pandeglang,
Tasikmalaya, Bekasi, dan Temanggung, menunjukkan pada kita semua, betapa
rentannya masyarakat Indonesia jatuh dalam tindak kekerasan yang berujung
pada perilaku anarkis. Hanya karena perbedaan keyakinan, seorang warga
masyarakat rela menganiaya bahkan sampai menghilangkan nyawa sesama.
Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan di hati kita mengapa bangsa yang
sejak lama telah dikenal sebagai bangsa yang ramah dan penuh toleransi
mendadak berubah menjadi bangsa yang lebih mengedepankan kekuatan otot
dibandingkan kekuatan otak untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya
(Anonim, 2011).
Masifnya kekerasan sosial dalam bentuk apapun, sebenarnya representasi
dari manusia-manusia tanpa nurani dan akal sehat serta jauh dari peradaban.
Egoisme dan arogansi kebenaran atas nama kelompok, kebenaran mayoritas,
seringkali menjadi satu-satunya cara untuk melegitimasi tindak kekerasan.
Lemahnya penegakan kepastian hukum terhadap kasus-kasus kekerasan sosial
yang bersifat massal dan atau melibatkan para elite tertentu, telah memberi ruang
toleransi dan pembenaran terhadap munculnya aksi-aksi kekerasan sosial. Perlu
dicermati bahwa konflik sosial anarkis yang berlatar belakang perbedaan agama,
budaya, dan atau keyakinan tidak pernah selesai dengan dialog, bahkan dalam
dialog seringkali menyisakan berbagai potensi konflik, dominasi serta
pembenaran oleh sekelompok yang merasa mayoritas, sehingga kebenaran

1
menjadi semu menurut kacamata mayoritas, dan kondisi inilah yang sering
muncul dalam dialog, bukan solusi yang ada, tetapi melahirkan berbagai
persoalan baru dan laten. Pemerintah saat ini, secara resmi hanya mengakui enam
agama: Islam, Protestan, Katolik Roma, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Meskipun bukan negara Islam, Indonesia adalah yang paling padat penduduknya
di dunia yang mayoritas penduduknya muslim. Sebagian besar umat Hindu
adalah Hindu Bali, dan sebagian besar umat Buddha di zaman modern Indonesia
adalah etnis Cina. Meski sekarang agamaagama minoritas, Hindu dan Buddha
tetap menentukan pengaruh dalam kebudayaan Indonesia.
Konflik sosial yang berlatar belakang SARA tumbuh ibarat gunung es,
dan layaknya bom waktu yang siap meledak kapan dan di mana saja. Sehubungan
dengan persoalan di atas, penelitian tentang anilisa bencana sosial dalam rangka
manejemen konlflik masyarakat multikultural yang memengaruhi konflik sosial
di Kabupaten Manokwari Papua Barat melalui studi kuantitatif dengan analisis
jalur menjadi sesuatu yang penting dilakukan, mengingat Kabupaten Manokwari
yang sering mengalami konflik dan gesekan antar umat beragama, oleh itu
diperlukan upaya khusus untuk mencegah konflik tersebut terjadi.

1.2 Indentifikasi Masalah


Dari uraian dalam latar belakang masalah tersebut, maka identifikasi
permasalahan yang diambil pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Adanya konflik yang diakibatkan oleh pengaruh identitas sosial kelompok
2. Adanya Pengaruh kepribadian dan keyakinan para pelaku dalam konflik sosial
yang anarkis
3. Adanya Pengaruh sosial ekonomi terhadap terjadinya konflik sosial yang
anarkis ?
4. Adanya Bagaimana Pengaruh perilaku komunikasi terhadap terjadinya konflik
sosial yang anarkis
5. Adanya Peran Para Aktor Perdamaian dan Kearifan Lokal
6. Adanya Potensi Membangun Perdamaian

2
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengaruh identitas sosial kelompok terhadap terjadinya konflik
sosial yang anarkis ?
2. Bagaiamana Pengaruh sosial ekonomi terhadap terjadinya konflik sosial yang
anarkis ?
3. Seperti Apakah Karakteristik Konflik Sosial ?
4. Bagaimanakah Konflik Sosial dan Penyelesaiannya ?
5. Seperti apa Peran Para Aktor Perdamaian dan Kearifan Lokal ?
6. Bagaimana Potensi Membangun Perdamaian ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Pengertian Konflik
Menurut Robbins dalam Sopiah (2008:57), konflik adalah suatu proses
yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi
secara negatif atau akan segera mempengaruhi secara negatif pihak lain.
Sedangkan menurut Nimran mengartikan konflik sebagai kondisi yang
dipersepsikan ada diantara pihak-pihak atau lebih merasakan adanya
ketidaksesuaian antara tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian
tujuan pihak lain. Menurut Bahasa konflik dapat diartikan dengan perbedaan;
pertentangan dan perselisihan (Veithzal R & Deddy M.,2003:274).
Pada hakikatnya konflik adalah suatu bentuk hubungan atau interaksi
antara manusia baik individual maupun kelompok yang menandai sifat
bertentangan atau berlawanan (antagonistik) dalam mencapai suatu tujuan yang
timbul akibat adanya perbedaan kepentingan, emosi/psikologi dan nilai. Setiap
manusia adalah individu yang unik. Artinya setiap orang memiliki pendirian dan
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan perasaan dan
pendirian inilah yang menjadi faktor penyebab konflik sosial. Tidak satupun
masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan
kelompok masyarakat lainnya.
2.1.2 Komponen Konflik
Menurut Veithzal R & Deddy M (2003:283), secara umum konflik itu terdiri
atas tiga (3) komponen, yaitu:
1. Interest (kepentingan), yakni sesuatu yang memotivasi orang untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu. Motivasi ini tidak hanya dari bagan keinginan
pribadi seseorang, tetapi juga peran dan statusnya.
2. Emotion (emosi), yang sering diwujudkaan melalui perasaan yang menyertai
sebagian besar interaksi manusia seperti marah, kebencian, takut, penolakan.

4
3. Values (nilai), yakni komponen konflik yang paling susah dipecahkan karena
nilai itu merupakan hal yang tidak bisa diraba dan dinyatakan secara nyata,
nilai berada pada kedalam akar pemikiran dan perasaan tentang benar dan
salah, baik dan buruk yang mengarahkan dan memelihara perilaku manusia
2.1.3 Penyebab Konflik
Menurut Yadiman & Rycko Amelza (2013:3-4) penyebab terjadinya
konflik sosial antara lain yaitu :
1. Perbedaan kepentingan antar kelompok antar kelompok sosial, seperti
perbedaan kepentingan politik, ekonomi, sosial, buudaya, agama dan
sejenisnya merupakan faktor penyebab timbulnya konflik.
2. Perbedaan pola kebudayaan seperti perbedaan adat istiadat, suku bangsa,
agama, paham politik, pandangan hidup, dan budaya darah sehingga
mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan, bahkan bentrokan di
antara anggota kelompok sosial tersebut.
3. Adanya perbedaan antar kelompok sosial, baik secara fisik maupun mental,
atau perbedaan kemampuan, pendirian, dan perasaan sehingga menimbulkan
pertikaian atau bentrokan di antara mereka.
4. Perbedaan individu Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor
penyebab terjadinya konflik, biasanya perbedaan individu yang menjadi
sumber konflik adalah perbedaan pendirian dan perasaan.
5. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan
itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat
memicu terjadinya konflik sosial
2.1.4 Sumber Konflik Sosial
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber dari berbagai macam sebab.
Begitu beragamnya sumber konflik yang terjadi antarmanusia, sehingga sulit itu
untuk dideskripsikan secara jelas dan terperinci sumber dari konflik. Hal ini
dikarenakan sesuatu yang seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada
kelompok manusia tertentu ternyata tidak menjadi sumber konflik, demikian
sebaliknya. Suatu konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat, salah paham,
ada pihak yang dirugikan, dan perasaan sensitif.
1. Perbedaan pendapat Suatu konflik yang terjadi karena perbedaan pendapat
di mana masingmasing pihak merasa dirnya benar, tidak ada yang mau
mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam,
maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
2. Salah paham Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat
menimbulkan konflik.
3. Ada pihak yang dirugikan Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap
merugikan yang lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak
lain sehingga seseorang yang dirugikan merasa kurang enak, kurang
senang atau bahkan membenci.
4. Perasaan sensitif Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering
menyalahartikan tindakan orang lain.
2.2 Landasan Normatif
Konflik sosial yang berdampak besar pada masalah kemanusiaan
menjadikan konflik sosial sebagai salah satu dari jenis-jenis pelanggaran HAM.
Sebagai Negara yang kaya akan suku, agama dan budaya membuat Indonesia
dikenal sebagai Negara demokrasi dengan tingkat toleransi yang tinggi. Namun,
maraknya konflik sosial yang terjadi menunjukkan bahwa fungsi toleransi tidak
berjalan dan ada yang salah dengan cara kita merawat kekayaan itu sebagai
kekuatan.
Salah satu upaya mencegah terjadinya konflik sosial adalah dengan cara merawat
kemajemukan bangsa Indonesia yang dimiliki melalui dibumikannya kembali 4
Pilar Bangsa Indonesia, yaitu :
 Menjaga keutuhan NKRI
 Menghayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila;
 Menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasar pada UUD
1945; (baca : Manfaat UUD Republik Indonesia Tahun 1945 bagi Warga

6
Negara serta Bangsa dan Negaradan Peran Konstitusi dalam Negara
Demokrasi)
 Mempererat rasa persatuan sebagai bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal
Ika
Guna menangani konflik sosial yang terjadi di Indonesia disahkanlah Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial.
Adapun hal-hal yang diatur dalam PP ini adalah sebagai berikut :
 Upaya pencegahan konflik;
 Berbagai tindakan darurat yang diperlukan guna menyelamatkan dan
melindungi korban;
 Penggunaan kekuatan TNI sebagai bantuan; (baca : Tugas dan Fungsi
TNI-Polri)
 Pemulihan paska konflik;
 Partisipasi masyarakat dalam penanganan konflik, dan
 Dilakukannya monitoring dan evaluasi.
Peraturan Pemerintah ini merupakan landasan hukum bagi pemerintah dalam
menangani konflik sosial dengan tujuan :
 Terciptanya kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai, dan
sejahtera;
 Terpeliharanya kehidupan bermasyarakat yang damai dan harmonis;
 Ditingkatkannya rasa tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara;
 Terpeliharanya keberlangsungan fungsi pemerintahan;
 Terlindunginya jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum;
 Terlindunginya dan terpenuhinya hak korban;
 Pemulihan kondisi fisik dan mental masyarakat;
 Pemulihan sarana dan prasarana umum.
Dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2012 tentang Penanganan Konflik Sosial diharapkan penanganan konflik sosial
akan lebih baik karena melibatkan berbagai pihak. Hal ini juga menunjukkan
kehadiran negara dalam melindungi hak dan kewajiban warga negara

2.3 Kegunaan Penulisan


Adapun manfaat penelitian ini adalah memberikan masukan kepada
pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Manokwari agar lebih
memerhatikan identitas sosial, sosial ekonomi masyarakat setempat dan juga
perlunya memberdayakan tokoh-tokoh formal dan informal di daerah tersebut,
agar konflik-konflik sosial tidak terjadi lagi.

8
BAB II
METODE PENULISAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdan
dan Taylor, metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati (Moleong, 2004 : 4). Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini disesuaikan dengan tujuan pokok penelitian yaitu untuk
mendiskripsikan penemuan tentang mediasi penal yang tepat digunakan untuk
menangani konflik pada masyarakat multikultural di Kabupaten Manokwari.
Lokasi yang diambil dalam penelitian ini adalah Kabupaten Manokwari
Papua Barat karena masyarakat Manokwari merupakan miniature masyarakat
multicultural, selain itu juga Manokwari merupakan tembat kelahiran penulis,
sehingga penulis paham betul tentang kondisi ril dilapangan seperti apa,
Pengumpulan data dilakukan dengan menggabungkan antara observasi,
wawancara dan dokumentasi. Observasi dilakukan pada kondisi sosial-budaya
masyarakat Kabupaten Manokwari, pola interaksi, konflik yang terjadi, dan
mekanisme masyarakat dalam menyelesaikan konflik. Kemudian dilakukan
wawancara kepada subjek dan informan penelitian, yaitu tokoh adat, juru bicara
dari masing-masing suku yang ada di Manokwari, masyarakat, kepala desa,
perangkat desa, camat, petugas kecamatan, polisi yang berada di wilayah
administrative Kabupaten Manokwari. Terakhir, mengkaji dokumen berupa
dokumen profil Kabupaten Manokwari, dan data konflik/sengketa yang terjadi di
Kabupaten Manokwari, media cetak maupun elektronik yang memberitakan
tentang konflik di Manokwari. .
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
metode analisis dari Miles, dimana tahap analisis Miles mencakup pengumpulan
data, reduksi data, penyajian data, verifikasi data/penarikan kesimpulan (Milles
dan Huberman, 1999 : 19)
BAB IV
ANALISA FOKUS PENULISAN

2.1 Masyarakat Multikultur


2.1.1 Masyarakat Multikultur
Usman Pelly, (2003), menyatakan masyarakat multikultural adalah
masyarakat negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti
kota atau sekolah, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan
yang berbeda-beda dalam kesederajatan. Pada hakikatnya masyarakat
multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku yang
masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang berbeda-beda.
Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun
memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antarindividu di
masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup
berdampingan secara damai (peace co-exixtence) satu sama lain dengan
perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya.
Pada dasarnya suatu masyarakat dikatakan multikultural jika dalam
masyarakat tersebut memiliki keanekaragaman dan perbedaan. Keragaman dan
perbedaan yang dimaksud antara lain, keragaman struktur budaya yang berakar
pada perbedaan standar nilai yang berbeda-beda, keragaman ras, suku, dan
agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit, rambut, raut muka, postur
tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial dalam masyarakat.
Selain itu, masyarakat Multikultural dapat diartikan sebagai berikut:
1. Pengakuan terhadap berbagai perbedaan dan kompleksitas kehidupan dalam
masyarakat.
2. Perlakuan yang sama terhadap berbagai komunitas dan budaya, baik yang
mayoritas maupun minoritas.
3. Kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan,
baik secara individu ataupun kelompok serta budaya.
4. Penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan saling
menghormati dalam perbedaan.

10
5. Unsur kebersamaan, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai
dalam perbedaan.
Indonesia merupakan masyarakat multikultural. Hal ini terbukti di
Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang masing-masing mempunyai
struktur budaya yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat dilihat dari perbedaan
bahasa, adat istiadat, religi, tipe kesenian, dan lain-lain. Pada dasarnya suatu
masyarakat dikatakan multikultural jika dalam masyarakat tersebut memiliki
keanekaragaman dan perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksud
antara lain, keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar
nilai yang berbeda-beda, keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri
fisik seperti warna kulit, rambut, raut muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta
keragaman kelompok sosial dalam masyarakat.

2.1.2 Dampak Masyarakat Multikultur


Keanekaragaman dalam masyarakat ternyata memunculkan berbagai
persoalan bagi bangsa Indonesia. Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia
umumnya muncul sebagai akibat keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat,
seperti konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah,
Papua, dan lain-lain.
Di Kalimantan Barat adanya kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan
hukum terhadap suku asli Dayak dan suku Madura menimbulkan kekecewaan
yang mendalam. Akhirnya, perasaan ini meledak dalam bentuk konflik
horizontal. Masyarakat Dayak yang termarginalisasi semakin terpinggirkan
oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Sementara penegakan hukum
terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kasus konflik Poso di Sulawesi Tengah yang bernuansa SARA mula-
mula terjadi pada tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda
Kristen yang mabuk melukai seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo.
Kemudian pada pertengahan April 2000, terjadi lagi konflik yang dipicu oleh
perkelahian antara pemuda Kristen yang mabuk dengan pemuda Islam di
terminal bus Kota Poso. Perkelahian ini menyebabkan terbakarnya permukiman
orang Pamona di Kelurahan Lambogia. Selanjutnya, permukiman Kristen
melakukan tindakan balasan.
Tragedi Mei 1998 di Jakarta adalah suatu bencana yang mungkin sulit
dilupakan oleh warga Indonesia keturunan Cina. Peristiwa yang menyebabkan
ratusan warga keturunan Cina meninggalkan Jakarta itu merupakan suatu bukti
ketidak harmonisan hubungan antar etnik dibalik jargon-jargon keberhasilan
proses pembauran dan keharmonisan hubungan antar etnik. Program program
pemerintah Orde Baru yang menekankan pada stabilitas dan keamanan
memang cukup efektif selama 32 tahun tetapi ternyata “semu”, sebab justeru
akibatnya sekarang cukup luar biasa, memporak-porandakan tatanan yang
sudah mapan. Tidak hanya masalah dengan etnik Cina, tetapi ternyata rentetan
kejadian berikutnya mulai dari peristiwa Sambas, Ambon, dan Sampit
merupakan akibat dari kebijakan yang salah itu. Dari tiga contoh kasus tersebut
terlihat betapa perbedaan mampu memicu munculnya konflik sosial.
Perbedaan-perbedaan yang disikapi dengan antisipasi justru akan menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan banyak orang. Oleh karena itu, bagaimana kita
bersikap dalam keanekaragaman benar-benar perlu diperhatikan.

2.2 Karakteristik Konflik Sosial & Penyelesaianya


2.2.1 Karakteristik Konflik Sosial
Karakteristik Konflik Sosial Konflik sosial yang terjadi di Kabupaten
Manokwari secara umum karena perbedaan identitas dan ekonomi, ekslusivitas
pemukiman dan etnosentrisme, dan lemahnya tindakan aparat keamanan dalam
menindak tegas para pelaku kejahatan. Disamping itu juga terjadi akumulasi
konflik dan tidak pernah dapat diselesaikan secara tuntas. Segregasi etnik,
persaingan akses sumberdaya ekonomi dan tanah, dan berbedaan nilai-nilai
budaya dan agama dapat menjadi sumber konflik.
Konflik-konflik sosial yang terjadi, pertama, bersumber pada konflik
horizontal antara warga masyarakat, dan konflik vertikal antara warga
masyarakat setempat dengan pemerintah dan perusahaan. Konflik sosial
horizontal cenderung bersifat ekspresif dan spontan, sedangkan konflik konflik

12
sosial vertikal cenderung bersifat instrumental dan terorganisir. Kedua, karena
kebijakan Pemerintah Daerah yang tidak partisipatif. Ketiga, konflik antara
masyarakat dengan perusahaan, karena tidak terjadi kesepakatan pemberian
ganti kerugian secara layak. Keempat, konflik dalam perebutan sumberdaya
laut yang tidak cepat diantisipasi sebelumnya oleh Pemerintah Daerah dan
aparat keamanan. Kelima, konflik akibat main hakim sendiri terhadap tindak
kejahatan oleh warga dari kelompok tertentu terhadap warga dari kelompok
lain.
1. Konflik Faktor Ideologi
Potensi konflik ideologi agama di Kabupaten Manokwari cukup tinggi,
yaitu antar kelompok warga pemeluk agama yang sama dengan aliran yang
berbeda dan antar kelompok warga pemeluk agama yang berbeda. Realitas
menunjukkan bahwa berbagai aktivitas yang secara nyata dapat mengganggu
kerukunan hidup antar umat beragama adalah penghinaan terhadap agama lain,
salah faham, menganggu kegiatan peribadatan, menonjolkan identitas
keagamaan, lemahnya koordinasi, sikap eksklusifisme, diskriminasi, perijinan
pendirian tempat ibadah, fanatisme beragama secara sempit, munculnya aliran
baru yang dianggap sesat, dan kesadaran hukum.
2. Konflik Faktor Ekonomi
Konflik berdasarkan faktor ekonomi ini yang paling banyak terjadi, baik
pada konflik potensial maupun pada konflik terbuka. Pada suatu kondisi
tertentu, letupan konflik dalam ruang atau dimensi ekonomi menjadi tidak
terhindarkan, bahkan dalam konflik kekerasan dan destruktif. Konflik-konflik
faktor ekonomi ini juga dapat berkembang dalam konflik vertikal dan
horizontal. Seperti ketika konflik yang tadinya murni karena berebut
sumberdaya ekonomi kemudian berhimpitan dengan akumulasi stereotipe dan
prasangka etnik, dapat cepat meluas dan tindakannya bisa menjadi lebih keras.
Jika dilihat dalam kerangka struktural, jumlah penduduk di kabupaten
Manokwari semakin meningkat; terjadi pemekaran wilayah pemerintahan
tingkat Kecamatan dan jumlah perusahaan juga semakin banyak.
Semua membutuhkan tanah untuk permukiman, bangunan, jalan dan juga
sebagai sumber kehidupan, sehingga mempengaruhi nilai tanah. Situasi
perebutan tanah merupakan perwujudan dari konflik potensial dan rentan
terhadap munculnya beragam konflik pertanahan. Banyak konflik sosial yang
berawal dari sengketa tanah, hal ini antara lain disebabkan lemahnya alas hak
dan batas-batas yang tidak jelas. Pemerintah daerah belum optimal dalam
menyelesaikan konflik-konflik yang didasarkan pada faktor ekonomi.
Kesenjangan ekonomi dan akses terhadap sumberdaya ekonomi sering menjadi
sebab terjadi gesekan dari masalah yang kecil menjadi besar dan meluas.
3. Konflik Faktor Sosial-Budaya
Konflik-konflik yang terjadi bersumber dari faktor sosial-budaya biasanya
bersifat spontan dan dalam bentuk amuk massa. Konflik-konflik seperti ini
sering terjadi dengan tindak kekerasan, sehingga memakan korban jiwa dan
kerugian harta benda. Konflik faktor sosial budaya, seperti psikososial, penting
diwaspadai karena mudah berimpit dengan faktor-faktor lainnya. Konflik
bernuansa etnik terjadi dalam bentuk kekerasan ketika berhimpitan dengan
kepentingan ekonomi. Berakar pada perebutan sumberdaya ekonomi, dapat
mengembangkan sentimen dan stereotip etnik, serta pandangan subordinasi
antar kelompok.
Pada situasi nyata dapat berkembang tindakan-tindakan diskriminasi,
kurang menghargai pluralisme, dan ’adu kekuatan’ melalui berbagai upaya
untuk menciptakan dominasi. Etnosentrisme tidak akan menimbulkan konflik
tanpa didukung oleh anggapan yang berlebihan tentang nilai-nilai budaya yang
dianutnya. Klaim berlebihan secara absolut dan pengakuan terhadap identitas
etnik tertentu yang melekat dalam masyarakat majemuk dapat menjadi sebab
munculnya konflik. Peluang konflik akan lebih besar jika klaim-klaim itu
berhimpitan dengan faktor psikososial dan ekonomi.
Konflik-konflik sosial bermuansa etnik juga banyak yang dipicu oleh
tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota etnik tertentu dan main hakim
sendiri yang dilakukan oleh kelompok etnik lain. Ketika, yang diduga penjahat
itu tertangkap kemudian terjadi amuk massa sampai menimbulkan korban luka

14
atau bahkan meninggal dunia, maka situasi ini mudah berkembang menjadi
konflik yang bernuansa etnik yang disertai dengan kekerasan.

2.2.2 Konflik Sosial dan Penyelesaiannya


Pada umumnya konflik terjadi karena perebutan sumberdaya yang tidak
mampu diantisipasi dengan baik. Dampaknya sangat besar, yaitu terjadi korban
jiwa, kehilangan harta benda, dan trauma berkepanjangan. Konflik-konflik
terjadi dapat karena persaingan dalam berbagai sektor, khususnya dalam akses
sumberdaya alam dan ekonomi. Konflik sosial dapat terjadi karena ekslusivitas
pemukiman, perbedaan adat istiadat, aktivitas keagamaan, rendahnya toleransi
dan akulturasi, renggangnya kerjasama dan kehidupan bersama, kesenjangan
ekonomi, kecemburuan sosial, dan tindakan main hakim sendiri. Kondisi dan
situasi tersebut sudah memproduksi bibit-bibit permusuhan, sehingga apabila
hadir faktor pemicunya mudah membangkitkan emosi dan terjadi amuk massa.
Masing-masing pihak tidak saling memahami satu sama lain.
Nilai-nilai lokal saling meminggirkan, anti sosial dan cenderung tertutup
oleh ego kelompok. Pemaknaan nilai-nilai lokal sudah mengalami pergeseran,
sehingga tidak mampu bekerja secara efektif (fungsional) dalam menjaga dan
membangun perdamaian. Penyelesaian konflik sosial cenderung mengutamakan
mekanisme tradisional, yaitu mengutamakan keterlibatan para pihak berkonflik
yang dimediasi oleh aparat Polri dan TNI, dan para pejabat pemerintah daerah
yang ditunjuk dan berwenang dalam menyelesaikan konflik.
Ada kasus konflik sosial yang terdapat unsur tindak pidana tetap diproses
secara hukum. Tetapi ada kasus konflik sosial yang bernuansa etnik, meskipun
ada unsur pidananya, berdasarkan kesepakatan bersama para pihak hanya
diselesaikan secara tradisional, tidak diproses secara hukum. Secara umum
penanganan konflik sosial melalui mekanisme sosiokultural masih lemah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem deteksi dini (early warning systems)
masyarakat masih lemah. Bukan berarti bahwa konflik-konflik sosial yang
sudah didamaikan itu sudah dianggap selesai, melainkan masih tersisa perasaan
negatif satu sama lain, dan belum sembuh benar dari trauma dan berbagai
perasaan negatif lainnya akibat konflik.
Timbul kembali konflik-konflik kekerasan, selain masih lemahnya sistem
deteksi dini juga masih lemahnya sistem respon dini (early respon systems).
Pada satu sisi, konflik sosial yang terjadi secara berulang karena
penyelesaiannya menggunakan pendekatan yang dianggap menguntungkan diri
mereka masing-masing. Masing-masing pihak ingin memperoleh kemenangan,
sedangkan yang lain harus dikalahkan. Penyelesaian ini tidak berlangsung lama,
karena ketika pihak lawan merasa kuat maka perlawanan akan dilakukan lagi.
Konflik-konflik yang terjadi sebelumnya dapat diselesaikan dengan cara damai
tetapi sebenarnya bersifat semu, karena pihak yang lemah merasa mendapat
tekanan dari pihak yang kuat, ketika terjadi konflik kembali terbuka pelung
berkembang menjadi konflik kekerasan. Dalam konflik agraria terdapat
beberapa kasus yang mana pihak yang satu tetap menggunakan mekanisme non
litigasi (mediasi), sedangkan pihak yang lain tetap menggunakan jalur hukum.

2.2.3 Peran Para Aktor Perdamaian dan Kearifan Lokal


Keterlibatan para aktor dalam membangun perdamaian sudah cukup baik,
dan masih perlu ditingkatkan. Aktor-aktor perdamaian yang memiliki relevansi
terhadap upaya membangun perdamaian adalah tokoh masyarakat, aparat
pemerintah, aparat keamanan (TNI, Polri); LSM, Perguruan Tinggi, Media
massa, Ormas, FKUB; Tagana, dan pihak swasta. Untuk mendukung aktor-
aktor penggiat perdamaian perlu merevitalisasi nilai-nilai, pengetahuan, dan
kearifan lokal, seperti nilai harga diri, toleransi, persaudaraan, gotong royong,
tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati.
Nilai-nilai dasar tersebut perlu dipahami dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, perilaku hidup damai perlu terus dijaga, dipelihara dan
dikembangkan secara arif sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat
luar dan masyarakat setempat. Jika dilihat dari tahapan membangun
perdamaian, yaitu pre-emptive, prefentif, dan penegakan hukum, maka peran
para aktor perdamaian masih terkonsentrasi pada penegakan hukum

16
dibandingkan peran mereka pada aspek yang lainnya. Sistem koordinasi antar
berbagai pihak masih lemah terutama dalam aspek preemptive dan preventive.
Oleh karena itu, penguatan pada kedua aspek tersebut sangat diperlukan
dalam membangun perdamaian secara menyeluruh (peace building) di masa
yang akan datang. Dalam beberapa kasus perdamaian pascakonflik, aparat
keamanan sering hadir. Namun demikian, peran dalam penyelesaian konflik
dan tindak kejahatan di dalam masyarakat belum cukup, selain masih perlu
ketegasan dalam menerapkan hukum parannya dalam situasi prakonflik juga
penting. Sistem intelijen yang memadai, sistem kontrol terhadap dinamika
kelompok, tingkat kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat berpengaruh
terhadap kualitas deteksi dini terhadap setiap konflik yang mungkin muncul
dapat segera dikendalikan.
2.2.4 Potensi Membangun Perdamaian
Konflik-konflik sosial potensial dan aktual di wilayah Kabupaten
Manokwari adalah beragam, baik dilihat dari bentuknya (vertikal maupun
horizontal) maupun sumbernya (faktor ekonomi, ideologi atau agama, etnik,
dan psikososial). Penyelesaian konflik ada yang sudah tuntas dan ada yang
masih tersisa, dengan melibatkan semua stakeholder. Namun demikian, potensi
membangun perdamaian dapat dilakukan sejauh konflik-konflik sosial tersebut
selalu dalam pengawasan dan pengendalian.
Pertama, membangun atau memperkuat kembali nilai-nilai lokal yang
terkandung dalam falsafah hidup masing masing kelompok sosial dengan latar
belakang budaya dan agama yang berbeda yang sudah mengalami
pendangkalan. Contohnya, nilai-nilai dasar Pi-il Pesenggiri dalam kehidupan
masyarakat adat Lampung. Nilai-nilai tersebut semakin memudar, sehungga
perlu dikuatkan kembali.
Kedua, membentuk forum komunikasi lintas budaya dan agama sangat
diperlukan dengan tujuan untuk saling memahami, beradaptasi, saling
menghormati dan toleran atas segala perbedaan. Forum komunikasi ini
diharapkan dapat dibentuk dan dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat,
bukan merupakan program intervensi yang tergantung dari pihak luar.
Meskipun demikian dukungan dari pihak luar sangat diperlukan untuk
memperkuat keberdayaan masyarakat.
Ketiga, mengembangkan berbagai kegiatan positif bagi warga
masyarakat, terutama pada kalangan pemuda yang mengarah pada upaya
membangun perdamaian. Dalam banyak kasus konflik sosial diawali oleh
tindakan para pemuda yang kemudian menjadi konflik antar kelompok yang
lebih luas.
Keempat, penegakan hukum yang berkeadilan dan kebijakan
pemerintah daerah yang mensejahterakan semua pihak adalah penting dalam
memperkuat, mengembangkan dan memelihara perdamaian. Perdamaian lebih
sulit dilakukan justru pada konflik potensial dan terbuka yang bersifat vertikal,
khususnya yang berdasarkan faktor ekonomi antara warga masyarakat dengan
perusahaan. Masyarakat menekankan pada mekanisme tradisional melalui
mediasi, sedangkan perusahaan menekankan pada mekanisme rasional melalui
jalur hukum. Keduanya sulit mencapai titik temu, sehingga perdamaian yang
belum selesai di wilayah tertentu sudah terjadi konflik lagi di wilayah lain.
Kelima, memperbanyak kegiatan penunjang seperti program keserasian
sosial, pembentukan pemuda pelopor perdamaian dan program-program
bantuan dari berbagai pihak. Terutama program-program pembangunan dari
pemerintah daerah dan pemerintah pusat berbasis pemberdayaan masyarakat
untuk meningkatkan kesejahteraan. Proses perdamaian secara menyeluruh
(peace building) perlu dilakukan pascakonflik, terutama dalam mengatasi akar
persoalan ideologi, ekonomi dan sosial-budaya

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Masyarakat di Kabupaten Manokwari rawan terhadap bencana sosial yang
didasari oleh faktor ideologi (agama, kepercayaan), ekonomi dan sosial-budaya.
Konflik potensial dan aktual yang bersumber pada faktor ekonomi (khususnya
tanah) adalah yang dominan. Hal ini terjadi, pertama, karena kebijakan
pembangunan, khususnya kebijakan pertanahan yang kurang memperhatikan
kepentingan masyarakat setempat. Kedua, karena terjadi perubahan nilai tanah
akibat bertambahnya jumlah penduduk, perluasan lembaga pemerintahan, dan
berkembangnya perusahaan yang semua memerlukan tanah.
Konflik terjadi secara vertikal dan horizontal. Konflik vertikal lebih
terorganisir, sedangkan konflik horizontal bersifat spontan dan dalam bentuk
amuk massa. Konflik horizontal lebih mudah dan lebih cepat diselesaikan
daripada konflik vertikal. Kepentingan ekonomi lebih dominan sebagai faktor
yang mendasari konflik sosial (infrastruktur konflik), kemudian faktor ideologi
(agama, kepercayaan) dan sosial-budaya sebagai pendukungnya. Penyelesaian
konflik cenderung mengutamakan cara musyawarah untuk mencapai mufakat
melalui mediasi yang difasilitasi oleh aparat keamanan dan pemerintah daerah
setempat. Konflik-konflik sosial yang mungkin terjadi pada masa mendatang
dalam beragam bentuk, frekuensi, intensitas dan ekskalasinya, bersumber dari
dan dipicu oleh beragam faktor. Kemungkinan didasarkan pada banyak kasus
konflik yang terjadi sebelumnya, baik konflik horizontal maupun vertikal.
Konflik-konflik sosial dapat terjadi dari faktor hubungan psikososial,
kepentingan ekonomi, perbedaan nilai-nilai (agama dan etnisitas), dan faktor
kesenjangan struktural.
Oleh karena itu sinergi antar aktor (multistakeholder) dengan
memanfaatkan nilai-nilai lokal dapat mempercepat dan memperkuat penyelesaian
damai dan membangun perdamaian ke depan dapat dikembangkan dengan
melibatkan multistakeholder secara sinergis dan dengan melakukan revitalisasi
kelembagaan dan kearifan lokal
3.2 Saran
Dalam identitas sosial sebaiknya lebih diperhatikan kembali sebab
merupakan bagian dari interaksi sosial yang dapat mengidentifikasi keberadaan
suatu konflik. Faktor sosial ekonomi sebaiknya menjadi bahan pertimbangan
pemerintah desa setempat dalam hal menanggulangi potensi konflik yang bisa
terjadi. Keberadaan tokoh formal dan informal di desa sebaiknya dapat
diberdayakan kembali dalam upaya sebagai fasilitator yang bersifat netral bagi
penyelesaian konflik yang bisa terjadi. Motif yang dimiliki oleh orang desa
masih terbatas pada aspek keyakinan beragama, maka sebaiknya motif ini perlu
dialihkan pada motif-motif lainnya sehingga potensi konflik bisa diminimalisir.

20
DAFTAR PUSTAKA

 Anonim. (2011). Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan.


Yogyakarta:UGM.
 Johnson, D.P. (1990). Teori Sosiologi: Klasik dan Modern (Jilid II).
Terj. Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia.
 Prijana. (2005). Metode Sampling Terapan Untuk Penelitian Sosial.
Bandung: Humaniora.
 Osborne, R. dan B. van Loon. 1998. Mengenal Sosiologi: For
Beginners. Ed. Richard Appignanesi. Terj. Siti Kusumawati A.
Bandung: Mizan.
 Rakhmat, Jalaluddin. (1990). Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda.
 Sears, David. O. Dkk. (1985). Psikologi Sosial (Jilid I). Jakarta:
Erlangga.
 Taylor, D.M. and F.M. Moghaddam. (1994). Theories of Intergroup
Relations, International Social Psychological Perspectives. London:
Praeger Publishers
 Algifari, 1997, Analisis Regresi, Teori, Kasus, dan Solusi, Edisi
Pertama, STIE YKPN Yogyakarta.
 Anoraga, Pandji. 1995. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
 Arikunto, Suharsimi, 1992. Manajemen Penelitian, Cetakan ke-5,
Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
 As’ad, Moh, 1987, Seri Ilmu Sumber Daya Manusia Psikologi Industri,
Cetakan kedua, Liberty, Jogjakarta. As'ad, Moh., 1991, Psikologi
Kerja, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
 Atmosoeprapto, Kisdarto, 2000, Produktivitas Aktualisasi Budaya
Perusahaan, Cetakan Kedua, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
 Azwar, Saifudin, 1997, Validitas dan Reliabilitas, Cetakan pertama.
Liberty, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai