Anda di halaman 1dari 17

CRITICAL BOOK REPORT

Analisis Kemajemukan Masyarakat Indonesia

Dosen Pengampu:
Maryatun Kabatiah, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 5

Anne Margareth : 3211111010


Bella Natasiya : 3211111005
Desi Natalia Pasaribu : 3211111015
Fani Azhari Tanjung : 3212111006
Putri Arpani : 3212111001
Risa Elvina Nasution : 3212311005

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah penulis Panjatkan Kehadirat Allah SWT, Tuhan


Yang Maha Esa, karena limpahan rahmat dan karunia-Nya berupa kesempatan dan
pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Critical Book
Report Mata Kuliah Studi Masyarakat Indonesia.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Maryatun
Kabatiah, S.Pd., M.Pd selaku dosen mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia yang
telah memberi kesempatan dan kepercayaannya kepada penulis untuk membuat dan
menyelesaikan Laporan Tugas Critical Book Report ini, sehingga penulis
memperoleh banyak ilmu, informasi, pengalaman, dan pengetahuan selama
penyusun membuat dan menyelesaikan tugas ini.
Penulis berharap semoga tugas ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, penulis memahami bahwa tugas ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya hasil yang lebih baik lagi.

Medan, 02 Maret 2024

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
A. Konsep dan Struktur Masyarakat Majemuk Indonesia .................................3
B. Faktor Penyebab Kemajemukan Serta Hubungan Dominan Dan Minoritas 6
C. Potensi Konflik dalam Masyarakat Majemuk ...............................................8
BAB III PENUTUP ..............................................................................................12
A. Kesimpulan .................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu tujuan utama pembangunan negara adalah kemajemukan
masyarakat Indonesia. Kemajemukan akan memberi masyarakat Indonesia
kemampuan untuk membentuk hubungan yang harmonis dan mendukung satu sama
lain dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Kemajemukan juga dapat membantu masyarakat Indonesia mengatasi masalah saat
ini, seperti perbedaan budaya, pendidikan, dan ekonomi. Kemajemukan juga akan
memungkinkan masyarakat Indonesia untuk melakukan upaya yang lebih besar
untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan ekonomi, budaya, dan
sosial.
Indonesia adalah rumah bagi berbagai kelompok etnis, agama, bahasa, dan
tradisi karena sifatnya yang kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau.
Kebersamaan ini tidak hanya tercermin dalam keragaman demografis dan
geografis, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan sosial, budaya, dan politik. Di
Indonesia, berbagai suku bangsa seperti Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, dan
masih banyak lagi hidup berdampingan dengan baik. Selain itu, Indonesia memiliki
banyak agama utama, seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya. Ini
menempatkan Indonesia di antara negara yang memiliki tingkat kemajemukan
agama tertinggi di dunia. Meskipun demikian, kemajemukan masyarakat Indonesia
menghadirkan tantangan tersendiri dalam hal mempertahankan keseimbangan,
penyelesaian konflik, dan pemberdayaan seluruh elemen masyarakat. Oleh karena
itu, untuk memahami dinamika sosial, budaya, dan politik yang berkembang di
Indonesia, menganalisis kemajemukan masyarakat Indonesia menjadi penting.
Dengan demikian, kemajemukan masyarakat Indonesia menunjukkan
keragaman etniknya. Loyalitas masyarakat Indonesia berasal dari loyalitas etnik
dan nasional, yang saling melengkapi. Konflik dapat dicegah dalam masyarakat
majemuk yang multi-etnik, dengan mengembangkan kebudayaan nasional yang

1
dapat mengambil manfaat dari budaya lokal dan meningkatkan kesejahteraan
umum (Handoyo et al., 2015).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka
telah dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dan struktur masayarakat majemuk Indonesia?
2. Bagaimana faktor penyebab kemajemukan serta hubungan dominan dan
minoritas?
3. Bagaimana potensi konflik dalam masyarakat majemuk?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diketahui tujuan dari penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis konsep dan struktur masayarakat majemuk Indonesia
2. Menganalisis faktor penyebab kemajemukan serta hubungan dominan dan
minoritas
3. Menganalisis potensi konflik dalam masyarakat majemuk

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep dan Struktur Masyarakat Majemuk Indonesia


Adapun konsep dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut: (1) Konsep
Masyarakat, kata Masyarakat berakar dari kata dalam bahasa arab, musyarak, atau
‘syaraka’ yang berarti “saling bergaul, ikut serta,berpartisipasi”. Sedangkan dalam
bahasa inggris yaitu society yang berasal dari bahasa latin, yaitu socius yang berarti
“kawan. Masyarakat merupakan suatu komunitas yang saling bergantung dengan
yang lain. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang hidup dalam kelompok dan
juga adat, mempunyai organisme yang terbatas di banding jenis makhluk lain
ciptaan Tuhan. Dalam konsep Masyarakat terdapat ciri-ciri Masyarakat Indonesia,
Masyarakat desa, Masyarakat madya dan juga Masyarakat modern; (2) Konsep
Kebudayaan, budaya berasal dari bahasa sansekerta buddhaya. Kebudayaan istilah
culturel yang merupakan bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan.
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi pengetahuan dan sistem ide
atau pun gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia. Masyarakat tidak dapat
dibayangkan tanpa kebudayaan dan sebaliknya kebudayaan hanya relevan karena
masyarakat yang menciptakannya. Seorang antrpologi, memeberikan defenisi
mengenai kebudayan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang di dapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Masyarakat merupakan kelompok manusia yang berada di bawah tekanan
serangkaian kebutuhan dan di bawah pengaruh atas kepercayaan, ideal dan juga
tujuan tersatukan dalam suatu rangkaian kesatuan dalam kehidupan bersama.
Memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang harus memenuhi empat
syarat agar berfungsi, yaitu (1) penyesuaian masyarakat dengan lingkungan, (2)
anggota masyarakat harus sepakat akan ketentuan untuk memilih, mengetahui, dan
memahami tujuan kolektif dengan menyusun struktur tertentu, (3) penentuan
anggota masyarakat agar dapat memainkan peranan dan mematuhi nilai-nilai serta
menyelesaikan konflik dalam berinteraksi, (4) terjadi integrasi dari keadaan

3
masyarakat, individu, dan institusi dikontrol oleh unsur atau bagian tertentu agar
sistem sosial terpelihara. Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya
Masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasa di lakukan
secara terpaksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara, sebelum
adanya perang dunia kedua, Masyarakat negara jajahan di anggap masyarakat
majemuk, akan tetapi setelah terjadinya perang kedua masyarakat majemuk antara
lain Indonesia, Malaysia, dan Suriname.
Struktur Masyarakat Indonesia dapat di lihat dari dua aspek, yaitu horizontal
dan juga vertical, Aspek horizontal lebih bersifat alamiah (natural) karena berasal
dari unsur bawaan, orang-orangnya menerima ketentuan (hukum) Sang Pencipta
terhadap identitas mereka tanpa bisa memilih, dan kemajemukan secara horizontal
ini tidak dapat diukur berdasarkan kualitas dari unsur-unsur yang membuat
keragaman. Sedangkan vertikal melihat kemajemukan sosial sebagai sesuatu yang
diciptakan manusia atau masyarakat. Dimensi vertikal ini menunjuk pada kualitas:
atas-bawah, tinggi-rendah, dan kualitas lain yang muncul sebagai hasil penilaian
(judgement) masyarakat. Perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat
kedaerahan sering kali di anggap sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat
majemuk. Suatu istilah yang dikenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan
Masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda. Masyarakat Indonesia
pada masa Hindia Belanda menurut Furnivall ialah merupakan suatu masyarakat
majemuk, yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih yang hidup
sendiri-sendiri tanpa adanya pembaruan satu sama lain di dalam kesatuan politik.
Masyarakat Indonesia di sebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah tropis di mana
mereka yang berkuasa dan mereka yang di kuasai memiliki perbedaan ras. Orang-
orang Belanda sebagai golongan minoritas kendati jumlahnya semakin bertambah
terutama pada akhir abad ke-19 adalah penguasa yang memerintah sebagian besar
orang Indonesia pribumi (bumiputra) yang merupakan warga negara kelas tiga di
negerinya sendiri. Golongan timur asing baik Tionghoa maupun NonTionghoa
menempati posisi kelas menengah di antara kedua golongan di atas.
Orang-orang Belanda datang ke Indonesia untuk bekerja, tetapi mereka tidak
tinggal menetap di sana. Kehidupannya semata-mata berada di seputar

4
pekerjaannya. Mereka memandang masalah-masalah kemasyarakatan, politik, dan
ekonomi yang tejadi di Indonesia tidak sebagai warga negara melainkan sebagai
kapitalis atau majikan dari buruh-buruh mereka. Orang-orang timur asing, terutama
orang-orang Tionghoa seperti halnya orang-orang Belanda datang ke Indonesia
semata-mata untuk kepentingan ekonomi. Demikian pula, orang-orang pribumi
(bumiputra) seperti halnya orang-orang Belanda dan orang-orang Tionghoa tidak
utuh pula. Kehidupan mereka tidak lebih daripada kehidupan pelayan di negerinya
sendiri. Kerena hidup atas dasar pola pemikiran dan cara hidup sendiri-sendiri
terpisah dari lainnya, maka masyarakat Indonesia zaman kolonial tidak memiliki
suatu kehendak Bersama.
MB. Smith menganalisis bahwa masyarakat majemuk juga memiliki berbagai
kelompok yang kebudayaannya berbagai ragam, sering berlangsung perpecahan
dan pertentangan. Dari sisi politik, masyarakat majemuk dikuasai oleh satu
kelompok minoritas yang juga memiliki kebudayaan sendiri. Masyarakat majemuk
ini berwujud bukan atas dasar sistem nilai yang sama, tetapi oleh adanya konflik
dan paksaan. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk atau
masyarakat plural karena masyarakatnya terbagi-bagi menurut kebudayaan,
kekerabatan, suku bangsa, etnik, ras, dan agama. Berbeda dengan Furnivall yang
mengartikan pluralitas masyarakat Indonesia dalam konteks masyarakat kolonial
yang menggolong-golongkan masyarakat kolonial ke dalam tiga kategori, yaitu
golongan Eropa, golongan Timur Asing (Tionghoa dan Non-Tionghoa) dan
golongan Pribumi (Bumiputra), maka pluralitas masyarakat Indonesia pasca
kolonial harus dipahami dalam konteks perbedaan-perbedaan internal diantara
golongan pribumi.
Perbedaan suku bangsa, etnik, ras, budaya, dan agama sebagai dimensi
horizontal dari struktur masyarakat Indonesia merupakan fakta sosial yang tak
terbantahkan dan hingga kini menjadi persoalan klasik bagi upaya integrasi
nasional Indonesia. Berbeda dengan dimensi horizontal, dimensi vertikal struktur
masyarakat Indonesia yang menjadi semakin penting artinya dari waktu ke waktu,
dapat dicermati dari semakin tumbuhnya polarisasi sosial berdasarkan kekuatan
politik dan kekayaan. Dengan semakin meluasnya pertumbuhan sektor pelapisan

5
sosial antara sejumlah besar orang-orang yang secara ekonomis dan politis
berposisi lemah pada lapisan bawah dan sejumlah kecil orang-orang yang relatif
kaya dan berkuasa pada lapisan atas menjadi semakin mengeras. Proses timbuhnya
ketimpangan tersebut memiliki akarnya di dalam struktur ekonomi Indonesia pada
zaman Hindia Belanda yang diistilahkan oleh Boekes ebagai dual economy.

B. Faktor Penyebab Kemajemukan Serta Hubungan Dominan Dan Minoritas


Konflik kemajemukan masyarakat terjadi dikarenakan Keanekaragaman etnis
menimbulkan sejumlah persoalan serius Dan secara potensial mudah terpecah.
Kaum minoritas dan mayoritas Semakin banyak berselisih mengenai berbagai hal,
seperti hak berbahasa, Otonomi daerah, perwakilan politik, kurikulum pendidikan,
tuntutan Lahan, imigrasi, kebijakan naturalisasi bahkan lambang-lambang nasional
Seperti lagu kebangsaan dan hari-hari besar nasional. Selanjutnya Studi tentang
etnik, yaitu mengenai sekelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang
sama tampaknya berkembang dari aspek biologis kepada aspek kebudayaan, untuk
akhirnya berhenti pada aspek politik, yaitu peranannya dalam kehidupan
kenegaraan. Ada kesan bahwa persoalan etnik merupakan persoalan masa lampau,
persoalan sebelum datangnya modernisasi. Dari sisi politik, perhatian lebih
difokuskan pada partai politik, pemilu, pemerintahan, birokrasi, demokrasi, dan hak
asasi manusia. Etnik baru menjadi perhatian ilmu politik setelah etnik tersebut
mengorganisasi diri menjadi kekuatan politik untuk memengaruhi kebijakan
pemerintah masyarakat Indonesia yang multi etnik memiliki lebih dari 1000 etnis
atau subetnis.
Didorong oleh berbagai kekecewaan berlarut dalam negara nasionalnya
masing-masing, muncul gerakan-gerakan etnik yang mengajukan beraneka ragam
tuntutan politik minimal untuk mendapatkan perhatian dan otonomi secara
maksimal untuk mendirikan negara etnik sendiri (home-rule) seperti halnya yang
dialami Indonesia pada masa pemerintahan reformasi. Toffler melihat abad ke-21
sebagai abad penuh masalah etnik. Koentjaraningrat termasuk sedikit orang yang
percaya bahwa loyalitas etnik dan loyalitas nasional dapat saling melengkapi
terutama untuk kasus Indonesia. Dalam bukunya berjudul Masalah
Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Koentjaraningrat (1993: 5) memiliki

6
pandangan positif bahwa loyalitas etnik dan loyalitas nasional mendominasi dua
bidang kehidupan yaitu kehidupan pribadi dan kehidupan umum Konsep
masyarakat pendefinisiannya oleh para ahli secara beragam, dipengaruhi sudut
pandang yang digunakan. Konsep masyarakat indonesia perlu dibedakan dengan
konsep Warga Negara Indonesia (WNI).
Masyarakat Indonesia merupakan konsep yang bersifat sosiologis dan
antropologis, sedangkan WNI lebih bersifat yuridis. Struktur masyarakat Indonesia
dapat dilihat secra horizontal dan secara vertikal. Terdapat perbedaan-perbedaan
dalam masyarakat di Indonesia dilihat dari kategori tersebut di antaranya adalah
perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan kedaerahan. Secara vertikal
perbedaan dapat dilihat dari tingkatan-tingkatan sosial, misalnya tingkatan
kekayaan dan status sosial Kemajemukan masyarakat Indonesia ditekankan pada
keragaman etnik di Indonesia. Loyalitas masyarakat Indonesia terwujud dalam
loyalitas etnik dan loyalitas nasional, keduanya dapat saling melengkapi. Dalam
masyarakat majemuk yang multietnik diakui mudah terjadi konflik, namun dapat
diupayakan pencegahannya dengan memperkuat pengembangan kebudayaan
nasional yang sumber-sumbernya dapat diambil dari budaya lokal dan peningkatan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Kemajemukan masyarakat Indonesia terjdi karena Ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya pluralitas masyarakat Indonesia. Keadaan geografis
wilayah Indonesian yang terdiri dari 3.000 lebih pulau yang tersebar di daerah
equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat, lebih dari 1.000 mil
dari utara ke selatan, merupakan pengaruh besar terjadinya pluralitas suku bangsa
Indonesia. Faktor kedua, yaitu letak Indonesia yang berada diantara samudera
Indonesia dan samudera Pasifik, sangat berpangur akan terjadinya pluralitas agama
di dalam masyarakat. Letak indonesia yang berada ditengah-tengah jalur
persimpangan perdagangan dunia, memungkinkan Indonesia menerima pengaruh
kebudayaan bangsa lain melalui pedagang asing. Iklim yang berbeda-beda dan
struktur tanah yang tidak sama antara daerah di kepulauan Nusantara ini,
merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional di Indonesia.

7
Selanjutnya Perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan, merupakan
ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah ini diperkenalkan oleh
Furnivall sebagai penggambaran masyarakat Indonesia dimasa Hindia Belanda.
Masyarakat majemuk (plural societies), yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas
dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama
lain yang berada pada satu kekuasaan politik. Masyarakat Indonesia merupakan tipe
masyarakat daerah tropis, dimana meraka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai
memiliki perbedaan ras. Dalam masyarakat majemuk manapun, mereka yang
tergolong sebagai minoritas selalu didiskriminasi. Ada yang didiskriminasi secara
legal dan formal, seperti yang Perjuangan hak-hak minoritas hanya mungkin
berhasil Jika masyarakat majemuk Indonesia kita perjuangkan untuk dirubah
menjadi masyarakat Multikultural. Karena dalam masyarakat multikultural itulah,
hak-hak untuk berbeda diakui dan dihargai.

C. Potensi Konflik dalam Masyarakat Majemuk


Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses intoraksi yang alamiah,
karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalanya menjadi
lain jika konflik sosial yang berkembang di masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu
yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis. Akhir-akhir ini,
intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat kian
meningkat, terutama konflik sosial yang bersifat horisontal yakni konflik yang
berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan
timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.
Beberapa fenomena yang merebak yang nota bene melibatkan institusi penegak
hukum antara lain kasus SARA dan isu penistaan agama serta pemaksaan kehendak
oleh kelompok mayoritas yang ekstrim. Sejaran mancatat telah terjadi berbagai
kasus kerusuhan dibeberapa tempat di Indonesia, antara lain Ambon, Poso, Maluku,
GAM di Aceh, kasus Ketapang antara orang Dayak dan Madura, kasus Jakarta
tahun 2008 yang mengorbankan banyak warga negara Indonesia keturunan
Tionghoa, penistaan agama bahkan politik aliran pada saat PILKADA DKI yang
secara masif menggunakan label agama sehingga masyarakat seakan terpecah
belah, Kian merebak kasus-kasus kekerasan dengan motif terorisme, kerusuhan

8
antara kampung di Jakarta Selatan yang menelan korban jiwa. Kasus kerusuhan
massa terbuka antar etnis di Jakarta Selatan, Penyerangan terhadap kelompok
Ahmadiyah di Banten, kerusuhan dan pembakaran rumah ibadah di Temanggung,
bom bunuh diri di Solo, mengangkat issue agama dalam pemenangan pilkada dan
berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya,
Konflik sosial berbau SARA (agama) ini ticak boleh dianggap remeh dan
harus segera diatasi secara mendasar dan proporsional agar tidak menciptakan
disintegrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan
fenomena konflik tersebut. Apakah fenomena konflik ini merupakan peristiwa
incidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merupakan
budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukan
kepada kita bahwa masih ada problem mendasar yang belum terselesaikan
menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu
pihak dan sikap keagamaan yang terwujud dalam perilaku kebudayaan di pihak
lain. Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horizontal
(perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan
vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan
atau pekerjaan yang diraihnya.
Dalam hal yang pertama, porkembangan ekonomi pasar membuat beberapa
kelompok masyarakat, khususnya dari etnik tertentu yang memiliki tradisi dagang,
naik peringkatnya dan menimbulkan kecemburuan sosial oleh masyarakat sotompat
yang mandeg perkembangan ekonominya. Dalam hal kedua, kelompok masyarakat
etnis dan agama tertentu, yang semula berada di luar mainstream. Hal ini dapat
menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik
ekonomi tertentu seperti kasus-kasus kerusuhan anti etnis beberapa waktu yang
lalu. Pernyataan mendasar yang perlu direnungkan dan dicari jalan keluarnya
adalah sampai sejauh mana peran negara dalam mengatur dan memberi efek jera
bagi penyulut korusuhan?
Mengacu pada pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan
memeluk agama bagi para pengikutnya hal tersebut di atas juga tidak maksimal
dilakukan orang pembuat dan pelaksana karena kasus-kasus pemaksaan, intimidasi,

9
pengrusakan bahkan pembakaran rumah ibadah dan penusukan/pemukulan penceta
dan jemaat yakni kasus Bekasi, Bogor, Sawangan, Depok dan lain-lain
mengangkibat timbulnya ketakutan dari kasus-kasus kerusuhan tersebut di atas.
Ketidaknyamanan dalam masyarakat di satu pihak dan di pihak lain bisa menyulut
emosi dan merusak tatanan demokrasi serta mengganggu rasa solidaritas
berkehidupan sebagai makluk sosial. Dalam perkembangan terjadi komunikasi dan
interaksi yang intensif antara sesame penduduk pendatang dan penduduk setempat.
Termasuk terjadinya perkawinan antar etnik dan agama. Beberapa masyarakat
pendatang, karena keuletan dan mau bekerja keras, dapat membangun rumah
termasuk juga membangun rumah ibadah yakni masjid serta menyekolahkan anak
hingga ke perguruan tinggi. Menurut pengamatan awal setelah berhasil dalam
kehidupan ada kecenderungan mereka memanggil anggota kerabat yang ada di
kampung halaman untuk bekerja membantu usaha dagang mereka.
Penduduk asli dapat menerima kedatangan mereka bahkan hidup bersama
saling berinteraksi dilandasi oleh faktor kepentingan atau kebutuhan masing-
masing yang sifatnya reksiprokal, artinya dari aspek ekonomi penduduk setempat
memerlukan jasa penduduk pendatang dan penduduk pendatang membutuhkan
upah untuk memenuhi kelangsungan hidup pribadi dan keluarga (simbiosis
mutualism).Dalam proses interaksi sosial masing-masing etnis mempertahankan
corak perilaku budaya yang mereka anut dari tempat asal masing-masing seperti
agama, bahasa, jenis makanan, bentuk interaksi serta aktivitas sosial dan budaya
yang berkaitan dengan lingkaran sekitar daur hidup misalnya kelahiran,
perkawinan, kematian. Sampai tahun 1992, sikap-sikap primordial sangat kental
melekat dan mewarnal corak kehidupan dan interaksi sosial mereka.
Konflik, menurut Coser, adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau
tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber- sumber kekayaan
yang persediaannya tidak mencukupi, di mana pihak-pihak yang berselisih tidak
hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga
memojokkan, merugikan, atau menghancurkan lawan mereka (Veeger, 1993: 211).
Konflik sebagai sebuah fenomena sosial yang tak dapat dielakkan karena secara
alamiah, individu, atau kelompok bereaksi terhadap situasi kelangkaan sumber

10
daya, sebagai akibat pembagian fungsi dalam masyarakat, diferensiasi kekuasaan
dan kompetisi yang terbatas akan penawaran barang-barang, status, kekuasaan, dan
peran-peran yang bernilai (Mitchell, 1994: 7). Dengan mengutip pendapat Robert
Lee, Mitchell (1994: 8) menyatakan bahwa masyarakat tanpa konflik adalah
masyarakat mati dan disukai atau tidak konflik merupakan realitas dari kehidupan
manusia (human existence) dan dengan itu perilaku sosial dapat dipahami.
Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan
yang akan menyudahi konflik melalui konflik (Campbell, 1994: 134). Kedamaian
dan harmoni akan menjadi hasil akhir sejarah perang dan revolusi kekerasan dan
itu akan dicapai melalui sebuah tatanan masyarakat tanpa kelas yang disebut dengan
masyarakat komunis. Bagi Marx, konflik sosial lebih terjadi di antara kelompok-
kelompok atau kelas-kelas ketimbang di antara individu-individu. Konflik sosial
tidak terjadi sebagai akibat sifat kompetitif, agresif, dan egois individu manusia,
melainkan lebih disebabkan oleh kontradiksi dalam sistem kapitalsime. Marx
percaya bahwa konflik-konflik internal atau kontradiksi-kontradiksi sistem
kapitalis berkembang penuh sampai pada titik penghancuran diri, perebutan dengan
kekerasan atas sarana- sarana produksi yang menjadi milik pribadi akan membuka
jalan menuju kehidupan sejati yang bebas, membahagiakan, dan penuh
persaudaraan bagi semua manusia (Campbell, 1994: 136).
Masyarakat modern dengan sistem kapitalisme menuntut adanya. pembagian
kerja dan dengan pembagian kerja lahirlah kelas-kelas dalam masyarakat kapitalis
meliputi buruh upahan, kapitalis, dan pemilik tanah (Johnson, 1994: 148). Dalam
perkembangannya, kelas-kelas tersebut secara bertahap akan berubah menjadi dua
kelas utama yang senantiasa berhadapan, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar.
Munculnya kelas- kelas tersebut, di mana yang satu lebih dominan ketimbang yang
lain menyebabkan lahirnya konflik. Kondisi-kondisi seperti itulah yangmendorong
pemikiran Marx tentang sejarah masyarakat dan ia sampai pada kesimpulan bahwa
sejarah semua masyarakat sesungguhnya merupakan sejarah perjuangan kelas.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
konsep dan struktur masyarakat majemuk Indonesia ditandai oleh dua ciri nya yang
bersifat unik. Secara horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan
sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan
agama, adat serta perbedaan- perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Konsep masyarakat majemuk di
Indonesia, dilihat dari struktur sosialnya, memiliki berbagai perbedaan budaya dan
adat istiadat di antara suku-suku yang ada. Di antara suku tersebut juga memiliki
dominasi agama berlainan.
Adapun faktor penyebab terjadinya kemajemukan ialah Tidak adanya
persamaan pandangan (perception) antar kelompok sosial tentang tujuan atau
patokan masing-masing kelompok, Norma-norma sosial tidak lagi berfungsi
dengan baik sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama, Adanya pertentangan
norma-norma dalam masyarakat sehingga menimbulkan kebingungan bagi anggota
masyarakat itu sendiri, Lemahnya konsekuensi sanksi yang diberikan kepada pihak-
pihak yang melakukan pelanggaran atas norma, Tindakan-tindakan anggota
masyarakat sudah tidak lagi sesuai dengan norma-norma masyarakat. Tindakan
yang tidak sesuai dengan norma-norma akan memicu pertentangan sosial sebab
kehidupan sosial telah kehilangan pegangan untuk menentukan langkah
kehidupannya.
Dalam pembahasan tersebut hubungan dominan dan minoritas, yaitu
keberadaan dan kehidupan minoritas yang dilihat dalam pertentangannya dengan
mereka yang dominan, merupakan sebuah pendekatan untuk melihat minoritas
dengan segala keterbatasannya, dan dengan diskriminasi dan perlakuan yang tidak
adil dari mereka yang tergolong dominan. Dalam perspektif ini, dominan –
minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan yang terwujud dalam struktur

12
hubungan kekuatan, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat local. Bila kita
melihat minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan mayoritas, maka yang
akan dihasilkan ialah hubungan mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan
yang populasinya kecil (minoritas).
Adapun potensi konflik dalam masyarakat majemuk yaitu Dalam proses
interaksi sosial masing-masing etnis mempertahankan corak perilaku budaya yang
mereka anut dari tempat asal masing-masing seperti agama, bahasa, jenis makanan,
bentuk interaksi serta aktivitas sosial dan budaya yang berkaitan dengan lingkaran
sekitar daur hidup misalnya kelahiran, perkawinan, kematian. Sampai tahun 1992,
sikap-sikap primordial sangat kental melekat dan mewarnal corak kehidupan dan
interaksi sosial mereka.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Sakban. 2018. Multikultural & Keberagaman Sosial. Mataram.


Handoyo, E. et al. (2015) Studi Masyarakat Indonesia, Penerbit Ombak.
Kewuel, H. K. (2017). Pluralisme, Multikulturalisme, dan Batas-batas Toleransi.
Malang: Program Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Brawijaya.
Unimed, T. D. (2017). Studi Masyarakat Indonesia. Medan: Akasha Sakti.

14

Anda mungkin juga menyukai