KELOMPOK 5
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmatnya sehingga Kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Masyarakat Indonesia Sebagai Masyarakat Majemuk”.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Sistem Sosial dan Politik, meningkatkan kesadaran diri sendiri dan mahasiswa/i dalam
mempelajari Sistem Sosial dan Politik serta mampu untuk mengetahui tentang Masyarakat
Indonesia sebagai Masyarakat Majemuk.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca serta nilai-nilai yang baik dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat menambah referensi keilmuan masyarakat.
Kelompok 5
ii
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN...................................................................................................................... 1
BAB II ........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
2.4 Masyarakat majemuk dilihat dari perspektif agama dan budaya ............................... 5
PENUTUP ................................................................................................................................ 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia tersebar dari sabang sampai merauke, terdiri dari berbagai macam agama,
suku bangsa, budaya, dan ras. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia disebut masyarakat
majemuk atau multiculture. Masyarakat majemuk adalah suatu kondisi dimasyarakat yang terdiri
dari berbagai perbedaan (diferensiasi sosial) yang terdiri dari berbagai strata, ekonomi, ras, suku
bangsa, agama dan budaya yang berjalan dengan apa adanya. Kemajemukan masyarakat
Indonesia dapat berpotensi membantu bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang bersama.
Sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat-masyarakat negara jajahan adalah contoh-contoh dari
masyarakat majemuk, antara lain Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan dan Suriname.
Identitas bangsa Indonesia tidak terlepas dari keberadaan bangsa Indonesia yang bhineka.
Oleh sebab itu identitas bangsa Indonesia merupakan batu-bangunan fundasi bangsa Indonesia.
Identitas bangsa Indonesia terwujud dari ramuan kebhinekaan etnis Indonesia atau kebhinekaan
identitas etnis dari berbagai suku bangsa Indonesia (Tilaar, 2007:xvi).
Masyarakat Indonesia secara demografis maupun sosiologis merupakan wujud dari bangsa
yang majemuk..Pada satu sisi,kemajemukan budaya ini merupakan kekayaan bangsa yang sangat
bernilai, namun pada sisi yang lain keragaman kultural memiliki potensi bagitu terjadinya
disintegrasi atau perpecahan bangsa. Pluralitas budaya ini sering kali dijadikan alat untuk
memicu munculnya konflik suku bangsa, agama, ras dan antargolongan (SARA), meskipun
sebenarnya faktor-faktor penyebab dari pertikaian tersebut lebih pada persoalan-persoalan politik,
ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Uni Soviet dan Yugoslavia bisa menjadi cermin
untuk memahami kegagalan suatu negara dalam mengelola perbedaan kultural.
1
2. Untuk mengetahui pengaruh apa yang terjadi jika masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat majemuk ?
3. Untuk mengetahui konflik apa yang terjadi jika masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat majemuk ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
3. Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, yaitu masyarakat yang antara komunitas
atau kelompok etnisnya terdapat kelompok minoritas, tetapi mempunyai kekuatan kompetitip
di atas yang lain, sehingga mendominasi politik dan ekonomi.
4. Masyarakat majemuk dengan fragmentasi, yaitu masyarakat yang terdiri atas sejumlah besar
komunitas atau kelompok etnis, dan tidak ada satu kelompok pun yang mempunyai posisi
politik atau ekonomi yang dominan.
4
pemicu atau pengarus yang dapat menimbulkan masalah negatif tentang kemajemukan
masyarakat Indonesia.
Pengaruh negatifnya antara lain :
a. Primordial
Karena adanya sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa lalu
tetap bertahan sampai kini.
b. Stereotip Etnik
Interaksi sosial dalam masyarakat majemuk sering diwarnai dengan stereotip etnik yaitu
pandangan (image) umum suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain (Horton &
Hunt). Cara pandang stereotip diterapkan tanpa pandang bulu terhadap semua anggota
kelompok etnis yang distereotipkan, tanpa memperhatikan adanya perbedaan yang
bersifat individual.
c. Potensi Konflik
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940) adalah
kehidupan masyarakatnya berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi
mereka (secara essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial yang
melekat pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya mereka dalam satu
unit politik tertentu.
5
Dalam perspektif keagamaan, semua kelompok agama belum yakin bahwa nilai dasar dari
setiap agama adalah toleransi. Akibatnya, yang muncul adalah intoleransi dan konflik. Padahal
agama bisa menjadi energy positif untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan Negara
yang adil dan sejahtera (Wahyudi, 2008). Alangkah indahnya jika keragaman suku, agama, ras, dan
antara golongan yang biasa disingkat dengan “SARA” dapat dijadikan modal bersama untuk
membangunIndonesia. Semua elemen bangsa ditempatkan sebagai kekayaan sosial yang berharga
diperlakukan adil, serta punya kesempatan berkembang dan berperan membangun negeri. Namun
pada kenyataan kerusuhan yang sering terjadi di Indonesia berlatar belakang SARA, sehingga
kemajemukan bukan dijadikan modal dasar pembangunan Indonesia, tetapi seolah-olah menjadi
beban. Hal ini mencerminkan bahwa bahsa kita sedang mengalami disorientasi nilai solidaritas
menyangkut kepedulian sosial dan penghargaan atas potensi individu dan kelompok lain.
Perspektif sistem budaya dikatakan, bahwa masyarakat majemuk dapat bersatu melalui
penganutan nilai-nilai umum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat, akan semakin kuat pula
perekat bagi mereka. Nilai-nilai umum itu bersumber pada budaya dominan masyarakat multi etnik
yang menjadi acuan perilaku yang terpola. Yang penting dalam kehidupan pada masyarakat
majemuk adanya pengakuan dan penerimaan akan perbedaan. Dengan adanya pengakuan dan
penerimaan justru berdampak positif bagi kehidupan keagamaan kita. Oleh sebab itu, demokrasi
dan toleransi harus terkait dalam komunitas masyarakat politik maupun masyarakat sipil
(Misrawi,2008). Sehubungan dengan kedua hal tersebut, dipandang penting adanya toleransi dalam
kehidupan masyarakat plural yang demokratis.
6
Di Indonesia,konflik antar kelompok yang menjadikan perbedaan latar belakang budaya
sebagai “alat pemantik” sudah lama berlangsung dan beberapa diantara konflik itu dilakukan
lewat penyerangan fisik yang sudah mengarah pada tataran prasangka yang paling tinggi, yaitu
eksterminasi (extermination). Secara konseptual, tindakan eksterminasi diekspresikan dalam
wujud pemusnahan terhadap kelompok etnis tertentu (genocide atau ethnic cleansing). Tentu
masih segar dalam ingatan kita “Peristiwa Sanggau Ledo,Sambas dan Sampit” (konflik antara
etnis Dayak/Melayu dengan Madura), “Peristiwa Ambon dan Poso” (konflik antar agama)
dan“Peristiwa Mei 1998” (konflik politik yang berimbas pada kebencian terhadap warga
Tionghoa). Pelajaran yang bisa kita peroleh dari pertikaian antar kelompok tersebut adalah
bahwa sifat dan kedalaman konflik yang terjadi sudah mengarah pada upaya untuk
menghilangkan satu kelompok kultural oleh kelompok kultural yang lain. Tindakan yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai sudah tidak lagi memberi penghargaan kepada nilai-
nilai kemanusiaan.
Secara konseptual, potensi konflik yang besar dalam masyarakat Indonesia yang majemuk
ini disebabkan oleh terbelahnya masyarakat ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas
kultural mereka. Ting-Toomey (1999:30) menjelaskan identitas kultural sebagai perasaan
(emotional significance) dari individu-individu untuk ikut memiliki (sense of belonging) atau
berafiliasi dengan kultur tertentu. Masyarakat yang terbelah kedalam kelompok-kelompok itu
kemudian melakukan identifikasi kultural, yaitu menegaskan diri mereka sebagai representasi
dari sebuah budaya partikular. Identifikasi kultural ini (Rogers & Steinfatt, 1999:97) pada
gilirannya akan menentukan mereka ke dalam ingroup atau outgroup. Pernyataan-pernyataan di
atas memberikan suatu gambaran bahwa usaha untuk membangun sebuah bangsa yang majemuk,
yaitu kondisi masyarakat yang memberi apresiasi terhadap perbedaan-perbedaan kultural, ras
dan etnis (Speight dalamDeetz,1993:433) atau pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda
dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan memberi manfaat satu sama lain
(Rogers&Steinfatt,1999:238) masih dalam tahapan mencari bentuk. Multikulturalisme, menurut
Shuter (dalamDeetz, 1993:433) mempersyaratkan pemeliharaan (preservation) yang tidak dapat
dirubah dari setiap budaya, yaitu nilai-nilainya, pandangan-pandangannya (worldviews) dan
pola-pola komunikasinya. Potensi konflik sebagai konsekuensi dari sifat kemajemukan yang
menjadi ciri masyarakat Indonesia telah mewujud dalam berbagai bentuk pertikaian SARA,
terutama konflik antaretnis yang telah terjadi di hampir semua wilayah Indonesia, mulai dari
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua. Meskipun telah dinyatakan secara tegas
olehaparat pemerintah sebagai bukan konflik antar etnis, namun pertikaian antara 2 (dua)
kelompok warga (Betawi dan Madura) di Cengkareng Jakarta beberapa waktu yang lalu yang
7
dipicu oleh kecelakaan lalu lintas (serempetan mobil), sebenarnya perwujudan nyata dari
pertikaian antar etnis. Pertikaian SARA yang terjadi di hampir sepanjang jalur negeri ini
sebenarnya ingin menegaskan kembali bahwa sifat kemajemukan yang dimiliki masyarakat
Indonesia merupakan persoalan yang perlu dikelola dengan serius. Dalam arti, perlu ada
penanganan yang sifatnya mendasar, karena pertikaian terbuka (manifest) maupun konflik yang
tersembunyi (latent) terjadi silih berganti. Penanganan terhadap konflik SARA yang dilakukan
pemerintah selama ini masih sebatas mengurangi ketegangan dengan bertindak sebagai
fasilititator atau penengah, misalnya mencari solusi damai dengan mengundang dan
mempertemukan pemimpin-pemimpin kelompok yang bertikai. Cara penyelesaian seperti ini
tidak akan pernah menyentuh akar persoalan dari kelompok-kelompok yang bertikai, karena
alternatif penyelesaian yang ditawarkan cenderung bersifat formalitas,tanpa melewati sebuah
proses dialog yang matang. Perjanjian Malino yang diprakarsai oleh Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla pada saat itu menjadi contoh tentang solusi konflik yang
cenderung formal.
Temuan-temuan studi yang berkaitan dengan cara dan kinerja pemerintah dalam menangani
konflik SARA selama ini, mengindikasikan bahwa ada tantangan besar yang harus dihadapi oleh
pemerintah, yaitu bagaimana mengupayakan cara pemecahan terbaikuntuk menyelesaikan
konflik SARA yang sudah mengakar. Dalam wujud yang lebih konkrit, kebijakan atau langkah-
langkah strategis apa yang akan ditempuh oleh pemerintah dalam mengelola masyarakat
Indonesia yang majemuk yang memungkinkan setiap orang.
Dari kelompok kultural yang beragam dapat meminimalkan kesalahpahaman yang selama ini
terjadi. Data hasil jajak pendapat yang dilakukan surat kabar Kompas (14 Agustus2006)
menunjukkan bahwa sepertiga (31,5%) dari sebanyak 984 responden di beberapa kota besar di
Indonesia tidak memiliki kebanggaan terhadap pemerintah, bahkan hamper separuh dari mereka
(44,2%) tidak merasa bangga dengan kinerja lembaga perwakilan rakyat (MPR, DPR, DPD).
Dalam hal toleransi terhadap perbedaan etnis, 32,1% responden berpendapat bahwa toleransi
tersebut cenderung melemah, demikian halnya dengan 27,7% responden yang menilai rendahnya
tenggang rasa terhadap perbedaan agama. Temuan studi ini pada akhirnya memberikan
peringatan kepada kita semua bahwa kebanggaan sebagai bangsa Indonesia sekarang ini justru
sedang mengalami penurunan.
Salah satu potensi (negatif) dari karakteristik masyarakat yang majemuk, seperti yang
dikemukakan sebelumnya adalah konflik. Pertikaian SARA di Indonesia yang sifatnya sudah
mengakar memberikan indikasi bahwa pemahaman masyarakat tentang pluralitas atau
kemajemukan budaya masih sangat terbatas. Masyarakat hampir tidak pernah mendapatkan
pengetahuan yang bisa memberikan pencerahan kepada mereka tentang makna pluralitas
kultural. Di masa lalu, masyarakat ditabukan untuk membicarakan secara terbuka persoalan-
persoalan yang berhubungan dengan perbedaan-perbedaan SARA. Menurut sosiolog UGM,
8
Heru Nugroho (2000:145), SARA selalu dijadikan “kambing hitam” sebagai penyebab
munculnya permasalahan sosial di tengah masyarakat. Ironisnya popularitas SARA sebagai
sumber gejolak sosial tidak pernah menjadi wacana untuk diperdebatkan secara terbuka apalagi
tuntas di tingkatan publik. Justru sebaliknya,perdebatan yang mengarah pada topik SARA terus
dibatasi. Sebagai sebuah wacana. SARA telah menempati wilayah yang sangat elitis, SARA
hanya mampu ditembus atau dimanipulasi oleh para elite penguasa. Akibat dari pelarangan
membicarakan SARA sebagai wacana yang terbuka adalah munculnya distorsi pengetahuan.
Persoalan SARA tidak pernah dipahami sebagai kenyataan ontologis yang harus dikaji secara
rasional, tetapi SARA lebih dilihat sebagai permasalahan yang tidak pernah terjadi secara nyata.
Ringkasnya, SARA seharusnya perlu dipahami sebagai wilayah pertikaian yang tanpa henti,
baik konflik yang tersembunyi maupun konflik yang terbuka.
Sebagai wilayah dengan masyarakat yang majemuk, kecamatan Kota Gajah memiliki adat
kebudayaan yang beragam dan dilestarikan oleh masing-masing masyarakat adatnya. Beberapa
diantaranya masih dipertahankan orisinalitasnya, dan beberapa diantaranya terasimilasi dan bahkan
terakulturasi dengan adat dan budaya suku lain. Proses asimilasi dan akulturasi di kecamatan Kota
gajah terjadi secara dinamis dan toleran. Keberadaan masing-masing suku dianggap setara sehingga
dapat saling menghargai satu sama lain. Interaksi sosial dan amalgamasi merupakan faktor yang
cukup efektif untuk menyesuaikan perbedaan-perbedaan adat dan budaya yang ada. Pementasan
tarian tradisional Lampung yang diikuti pementasan tarian daerah suku pendatang moment
peringatan hari besar kenegaraan dan acara resmi tertentu merupakan wujud assimilasi untuk
mempersempit perbedaan dan sentimen kesukuan.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Disebut masyarakat majemuk
karena masyarakat Indonesia berasal dari berbagai macam suku, agama, ras, dan budaya.
Masyarakat menjadi beragam karena orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia datang dan
menetap di suatu tempat. Mereka membawa kebudayaan dan adat istiadat mereka ke tempat
tinggal mereka yang baru. Hal-hal yang menyebabkan keragaman budaya di suatu daerah antara
lain adalah: agama, adat istiadat, tingkat pendidikan, kesenian, dan macam-macam jenis
pekerjaan. Banyak hal yang muncul akibat dari kemajemukan ini, misalnya konflik, yang
merupakan salah satu potensi negatif dari karakteristik masyarakat yang majemuk,. Pertikaian
SARA di Indonesia yang sifatnya sudah mengakar memberikan indikasi bahwa pemahaman
masyarakat tentang pluralitas atau kemajemukan budaya masih sangat terbatas. Hal ini bisa saja
ditepis dengan menyelesaikan dan menanggapinya dengan akal sehat.
Terlepas dari hal negatif dari masyarakat majemuk ini, banyak hal positif yang dapat
dirasakan oleh masyarakatnya, antara lain kemajemukan ini bisa menjadi jalan untuk saling
mengenal satu sama lain, menciptakan kebersamaan dan rasa persaudaraan, memperkokoh
persatuan dan kesatuan, serta membentuk budaya masyarakat yang saling tolong menolong.
10
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Lustari. 2015. Masyarakat Majemuk dan Bhinneka Tunggal Ika Budaya di Indonesia.
Ginting, R., & Aryaningrum, K. (2009). Toleransi dalam masyarakat plural. Majalah
Lontar, 23(4).
Heddy Shri Ahimsa & Putra. (2002). Corak Hubungan Masyarakat Majemuk di Indonesia dalam
Rangka Pembangunan Nasional. Jurnal Ketahanan Nasional. VII (2).
Heru Nugroho. (2000) Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar,.
Kesuma, T. A. R. P. (2017). Pola integrasi dalam masyarakat majemuk (Studi ketahanan sosial
di Kecamatan Kotagajah, Lampung). JIPSINDO (Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Indonesia), 4(2), 184-212.
Kompasiana. (2016). Pengaruh Kemajemukan Masyarakat di Indonesia.
Parsudi Suparlan. (2000) Masyarakat Majemuk dan Perawatannya, dalam Jurnal Antropologi
Indonesia, No. 63 Tahun XXIV, September-Desember,.
Sumartana, Th.: (2005) Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta:
Interfidei,.
11