Anda di halaman 1dari 229

PERKAWINAN BEDA AGAMA SEBAGAI HARMONISASI UMAT

BERAGAMA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN SOSIOLOGI HUKUM

(STUDI KASUS DI DESA GADINGKULON)

OLEH:
MOHAMMAD RIF’AN ASOFIK

NPM 22202012004

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

PERKAWINAN BEDA AGAMA SEBAGAI HARMONISASI UMAT


BERAGAMA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN SOSIOLOGI HUKUM
(STUDI KASUS DI DESA GADINGKULON)

Pembimbing I,

Dr. Moh. Muhibbin, S.H, M.H


NIDN:

Pembimbing II,

Dr. Dzulfikar Rodafi, Lc. MA

NIDN:
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


1.1 Konteks Penelitian ....................................................................................... 1
1.2 Fokus Penelitian ........................................................................................ 14
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 14
1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................. 15
1.5 Penegasan Istilah ....................................................................................... 16
BAB II KAJIAN TEORI ...................................................................................... 18
2.1 Penelitian Terdahulu .................................................................................. 18
2.2 Landasan Teori ........................................................................................... 26
2.2.1 Diskursus Perkawinan Beda Agama ..................................................... 26
2.2.2 Diskursus Harmonisasi Umat Beragama .............................................. 31
2.2.3 Perkawinan Beda Agama Sebagai Harmonisasi Umat Beragama ........ 50
2.2.4 Konsep Perkawinan Beda Agama Sebagai Harmonisasi Umat
Beragama……………………………………………………………………50
2.2.5 Perkawinan Beda Agama Perspektif Hukum Islam .............................. 58
2.2.6 Diskursus Sosiologi Hukum ............................................................... 109
2.2.7 Perspektif Sosiologi Hukum Tentang Problematika Perkawinan Beda
Agama… ...................................................................................................... 119
2.2.8 Perspektif Teori Hukum Progresif Tentang Perkawinan Beda
Agama……………………………………………………………………..135
2.3 Kerangka Berpikir .................................................................................. 141
BAB III METODE PENELITIAN..................................................................... 144
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian .............................................................. 144
3.2 Kehadiran Penelitian................................................................................ 145
3.3 Latar Penelitian ........................................................................................ 146
3.4 Sumber Data Penelitian ........................................................................... 147
3.5 Prosedur Pengumpulan Data ................................................................... 148
3.6 Teknis dan Analisis Data ......................................................................... 151
3.7 Pengecekan Keabsahan Data ................................................................... 153
3.8 Tahapan Penelitian .................................................................................. 156
BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ........................... 158
4.1 Paparan Data ............................................................................................ 158
4.1.1 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Desa Gadingkulon Kec. Dau
Kab. Malang Sebagai Harmonisasi Umat Beragama................................... 158
4.1.2 Konsep Perkawinan Beda Agama Sebagai Harmonisasi Umat Beragama
Perspektif Pasangan Suami-Istri di Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab.
Malang……………………………………………………………………..169
4.2 Temuan Penelitian ................................................................................... 175
4.2.1 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Desa Gadingkulon ............ 175
4.2.2 Konsep Perkawinan Beda Agama Sebagai Harmonisasi Umat Beragama
Perspektif Pasangan Suami-Istri di Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab.
Malang……………………………………………………………………..177
BAB V PEMBAHASAN .................................................................................... 182
5.1 Perspektif Hukum Islam Tentang Perkawinan Beda Agama di Desa
Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang ............................................................. 182
5.2 Perspektif Sosiologi Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama di Desa
Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang ............................................................. 199
5.3 Perspektif Pasangan Suami-Istri Tentang Konsep Harmonisasi Umat
Beragama di Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang ............................... 211
BAB VI PENUTUP ............................................................................................ 215
6.1 Kesimpulan ............................................................................................... 215
6.2 Saran ......................................................................................................... 219
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 220
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Penelitian


Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tentunya sama-sama

saling membutuhkan satu sama lain, dan hal ini menjadi keyakinan semua

ajaran agama yang ada di Indonesia. Relasi yang terjalin antar umat beragam di

Indonesia mustahil untuk dipungkiri. Baik itu yang terjadi dalam circle

perkantoran (kerja) akademis (belajar) bermain dan interaksi sosial lainnya.

Komunikasi yang terjalin kemudian berlanjut menjadi hubungan baik dan tidak

jarang yang berujung pada jalinan perkawinan. Karena manusia tidak

diciptakan sendiri, akan tetapi membutuhkan pasangan untuk menjaga

harmonisasi kehidupan di bumi. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami-istri, dengan tujuan

membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasaran

Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang

pluralis. Salah satu sisi pluralis (kemajemukan) bangsa Indonesia adalah

keragaman agama yang dipeluk dan kepercayaan yang diyakini oleh

penduduknya. Itu artinya di Indonesia yang hidup dan berkembang adalah

agama kepercayaan yang tidak tunggal namun beragam (plural). Seperti agama

Islam, Kristen, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu.2

Kemajemukan agama pada satu sisi merupakan modal kekayaan budaya karena

dengan adanya pluralitas agama dapat menjadi sumber inspirasi, akan tetapi

1
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1
2
Julita Lestari, Pluralisme Agama di Indonesia: Tantangan dan Peluang Bagi Keutuhan
Bangsa. Jurnal Al-Adyan Jurnal Of Religious Studies,2020), hlm. 30

1
jika kesadaran masyarakat masih minimalis dalam memahami keberagaman

justru akan menimbulkan konflik sosial. Terutama jika kemajemukan itu tidak

bisa dikelola, disikapi dengan dewasa, dan diantara sesama pemeluk agama

tidak bisa saling menghargai dan menghormati. Sebab dalam masyarakat

multikultural sulit untuk dihindari berkembangnya paham-paham atau cara

hidup yang didasarkan pada egosentrisme, primordialisme, politik aliran, dan

sektarianisme. Oleh karena itu para Founding Father NKRI memiliki semboyan

“Bhineka Tunggal Ika” yaitu meskipun masyarakat Indonesia plural tapi tetap

menjunjung tinggi persatuan. Maka semboyan itu menjadi penting untuk

dipedomani agar tercipta sinergi positif dari pluralitas agama yang nantinya

dapat melahirkan sikap beragama yang harmonis dan terintegrasi.3

Dalam konteks NKRI pluralisme agama yang terjadi tentunya

menimbulkan juga pluralisme hukum.4 Mislanya, dalam permasalahan

perkawinan beda agama, yang mana masing-masing ajaran agama memiliki

ketentuan hukumnya sendiri. Sedangkan dalam perspektif agama yang ada di

Indonesia, perkawinan merupakan bagian terpenting dari seseorang. Itu artinya

doktrin di masing-masing agama tidak memberikan ruang untuk pelaksanaan

perkawinan beda agama, meskipun demikian dalam realitasnya tidak dapat

dipungkiri bahwa hal itu terjadi. Tak jarang hal seperti ini justru menimbulkan

konflik dan reaksi keras di kalangan masyarakat.

Meskipun sudah ada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang dijadikan

payung hukum guna mengatur perkawinan secara nasional. Namun

3
Abdul Jamil Wahab, Monografi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta:
Litbangdiklat Press, 2019), hlm. 1
4
Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum Waris dan Keadilan Perempuan, (Yayasan
Pustaka Obor Indonosia, 2016),hlm. 21

2
problematika tentang perkawinan beda agama masih menjadi salah satu isu

popular dalam hal pluralisme agama. Pada umumnya masyarakat memandang

bahwa praktik perkawinan beda agama merupakan suatu hal yang masih

dianggap tabu untuk dilakukan, tanpa melihat sisi positif yang dapat

ditimbulkan dari adanya perkawinan beda agama tersebut. Misalnya,

terciptanya harmonisasi dalam keluarga meskipun berbeda keyakinan yang

dengan itu tidak menutup kemungkinan mampu menghadirkan terciptanya

harmonisasi umat beragama.

Perkawinan Beda Agama bukanlah suatu fenomena yang baru, sebab sejak

zaman Nabi Muhammad Saw, atau bahkan sejak pra Islam pelaksanaan

perkawinan beda agama sudah ada. Misalnya perkawinan yang dilakukan

antara putri Rasul Muhammad Saw, yaitu Syaidatinah Zainab dan Abul Ash

bin Rabi’ yang mana Abul Ash bin Rabi’ pada saat itu merupakan orang non-

Muslim. Bahkan juga ada beberapa sahabat yang telah melakukan perkawinan

beda agama baik itu dengan perempuan Musyrik,5 Yahudi atau pun Nasrani.6

Misalnya, Utsman ibn ‘Affan, Thalhah ibn Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman,

dan Sa’ad ibn Abi Waqas. Nabi juga mempunyai budak perempuan Kristen

Koptik bernama Maria al-Qitbiyah. Dari perempuan ini Nabi punya anak laki-

laki yaitu Ibrahim. Hal demikian juga dilakukan oleh beberapa tabi’in dan

generasi sesudahnya, mereka juga melakukan perkawinan dengan Ahl-Al-

5
Ibn Ashir, Al-Kamil Fi at-Tarikh, Jilid II , (Bairut: Dar al-Fikr, 1975), hlm. 206
6
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu, Jilid II, (Bairut: Dar al-Fikr, 2008),
hlm.153

3
Kitab. Maka dengan demikian dalam perspektif sejarah perkawinan beda

agama sudah dilangsungkan oleh umat Islam dari generasi ke generasi.7

Legalitas perkawinan beda agama dalam perspektif ajaran agama-agama

yang ada di Indonesia juga menjadi kajian yang menarik untuk di elaborasi.

Misalnya dalam perspektif hukum Islam, perkawinan beda agama sejatinya

masih diperselisikan oleh para ulama. Seperti tentang hukum perkawinan

antara laki-laki Muslim dengan Perempuan non-Muslimah masih terjadi silang

pendapat diantara para ulama. Akan tetapi mayoritas ulama (jumhur al-ulama)

bersepakat memperbolehkan (menghalalkan) perkawinan antara laki-laki

Muslim dengan perempuan kitábiyyah berdasarkan teks atau pun konteks al-

Qur’an pada surat al-Ma’idah ayat 5.8 Sedangkan terkait dengan hukum

perkawinan antara perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim baik itu

dalam perspektif ulama klasik dan kontemporer bersepakat atas

keharamannya.9 Meskipun tidak menutup kemungkinan masih ada sebagian

dari cendikiawan Muslim yang memperbolehkan hal tersebut.

Sementara itu terkait dengan terminologi dan ruang lingkup diksi Ahl-Al-

Kitab yang kemudian menjadikan dampak pada silang pendapat tentang hukum

perkawinan beda agama antara laki-laki Muslim dengan perempuan kitábiyyah.

Mayoritas ulama lebih condong untuk membatasi terminologi Ahl-Al-Kitab

dengan Yahudi dan Nasrani saja, sebab dalam perspektif para ahli

perbandingan agama keduanya (Yahudi-Nasrani) termasuk agama-agama

7
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, (Kairo: Dar al Fath lil Alamiy Arabiy 2009),
hlm. 215
8
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama Di Indonesia: Telaah Syariah dan
Qanuniah, (Ciputat Tangerang: Lentera Hati, 2015), hlm. 146
9
Zainuddin, Telaah Kritis Perkawinan Beda Agama Malalui Tafsir Maqasidi, (Jakarta:
Program Pascasarjana Institut PTIQ, 2021), hlm. 259-260

4
samawi. Meskipun ada ulama yang memiliki pendapat lain dalam memaknai

terminologi Ahl Al-Kitab dengan mengatakan bahwa agama-agama ardhi yaitu

agama non-Yahudi dan non-Nasrani selama para pemeluknya memiliki kitab

suci maka agama tersebut termasuk dalam kategori Ahl-Al-Kitab.10 Pendapat

lain disampaikan oleh Rasyid Ridha yang merupakan murid dari Imam

Muhammad Abduh, menyatakan bahwa Majusi, Sabi’in, Hindu

(Brahmanisme), Buddha, Konfucius, Shinto dan agama-agama lainnya dapat

dikategorikan sebagai Ahl-Al-Kitab yang mengandung ajaran Tauhid. Bahkan

Rasyid Ridha dalam kitabnya menyatakan, bahwa laki-laki Muslim yang

diharamkan oleh Allah Swt. menikah dengan perempuan-perempuan Musyrik

adalah perempuan Musyrik Arab masa lalu. Sedangkan orang-orang Majusi,

Sabi’in, dan penyembah berhala di India, Cina dan sejenisnya adalah Ahl-Al-

Kitab yang mana kitab mereka mengandung ajaran-ajaran monotheisme

(Tauhid) sampai saat ini, dan oleh karena itu hukumnya halal menikahi

perempuan-perempuan dari mereka.11

Dalam hemat penulis, terjadinya perbedaan pendapat diantara ulama

tentang hukum perkawinan beda agama dalam perspektif hukum Islam,

menegaskan satu hal bahwa suatu dalil yang sama ketika dipahami oleh orang-

orang yang berbeda, maka akan memungkinkan untuk melahirkan produk

hukum yang berbeda. Oleh karena itu hukum perkawinan beda agama sampai

saat ini masih di perselisihkan oleh para ulama dan praktiknya pun cukup

10
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama Di Indonesia: Telaah Syariah dan
Qanuniah…, hlm. 147
11
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. VI, (Beirut: Dar-Al Ma’arif, t.t.,),
hlm.193

5
beragam. Hal ini bisa dilihat dari refrensi lain yaitu tentang surat yang

dikirimkan Umar kepada Hudzaifah sebagaimana berikut:

‫أتزع ُم أهنا‬ ِّ ":‫ فكتب إليه عمر‬،‫ تزوج حذيفة يهودية‬:‫عن شقيق قال‬
ُ ":‫ فكتب إليه‬،"‫خل سبيلها‬
."‫ ولكن أخاف أن تعاطوا املومسات منهن‬،‫" ال أزعم أهنا حرام‬:‫ فقال‬،" ‫حر ٌام فأخلي سبيلها؟‬

“Diriwayatkan dari Syaqiq dia berkata bahwa Hudzaifah menikah dengan

perempuan Yahudiyah, kemudian Umar mengirim surat kepadanya, dan

berkata: “Ceraikan perempuan tersebut”. Kemudian Hudzaifah mengirim

surat kepada Umar dan mempertanyakan sikap Umar itu seraya Hudzaifah

bertanya, “Apakah Anda menyangka bahwa (perkawinan kami yaitu antara

Hudzaifah dan Yahudiyah) itu haram hukumnya sehingga Anda memintaku

untuk mmenceraikannya? Kemudian Umar menjawab, “Saya tidak

berpendapat seperti itu (bukan begitu maksud saya) Hudzaifah”, “Saya hanya

khawatir kalau-kalau perkawinanmu dengan Yahudiah itu akan menjadi

preseden buruk bagi perempuan-perempuan Yahudi lainnya.12

Ilustrasi lain juga bisa dilihat dari komentar yang disampaikan oleh Sayyid

Muhammad Rasyid Ridha bahwa dalam perspektifnya secara yuridis formal

hukum Islam memperbolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan

kitábiyyah. Disisi lain Rasyid Ridha juga menyayangkan dan menyatakan

ketidaksukaannya pada perilaku sebagian orang-orang Mesir dan Turki yang

menikahi perempuan non-Muslimah Eropa tanpa terlebih dahulu

mempertimbangkan lebih matang tentang maslahah dan madharat-nya.13

12
Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz VI, (Beirut: Dar Iḥya’ al-Turath al-
’Arabiy, 1999) hlm. 63. Lihat juga dalam al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, karya Husain
bin ‘Audah al-‘Awaisyah vol. VI, hal. 106 -107
13
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. VI, hal. 195-196

6
Diskursus perkawinan beda agama akhir-akhir ini kembali mencuat ke

publik dan menjadi bahan diskusi yang menarik baik itu di circle akademik

atau pun masyarakat secara umum. Mensoal tentang perkawinan beda agama,

meskipun tema ini bukanlah isu yang baru namun tetap menarik untuk

diperbincangkan. Permasalahan perkawinan beda agama tidak saja bersentuhan

dengan norma fundamental agama yang diakui di Indonesia, akan tetapi juga

bersentuhan dengan aturan hukum yang sampai sekarang belum ditetapkan

payung hukumnya oleh pemerintah yang mengatur tentang perkawinan beda

agama, tentu saja hal itu membuka peluang diskusi yang akan terus berlanjut.

Misalnya jika dilihat dalam perspektif sosiologi hukum yang mana inti dari

kajian ilmu ini adalah mempelajari tentang hubungan timbal balik antara

hukum dengan gejala-gejala sosial yang dilakukan secara analitis dan empiris.14

Terjadinya perkawinan beda agama dalam perspektif sosiologi hukum

adalah merupakan akibat dari terjadinya gradasi moral, moral yang selama ini

menjadi dasar dari terbentuknya hukum dimasyarakat sudah mulai luntur. Fakta

hukum yang terjadi bahwa perkawinan beda agama tersebut merupakan suatu

wujud dari ketidakpatuhan terhadap undang-undang. Hal ini bukan tanpa

alasan, sebab selama ini dari pihak pemerintah yang merupakan pemangku

kebijakan hukum tidak tegas dan tidak menghilangkan sikap ambivalensi

dalam permasalahan perkawinan beda agama. Hal ini terlihat dalam realitasnya

bahwa pelaksanaan perkawinan beda agama memang tidak dapat dilakukan di

Kantor Urusan Agama akan tetapi dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan

perkawinan beda agama dianggap sah jika dilakukan di luar negeri. Hal ini

14
Amran Saudi, Sosiologi Hukum: Penegakan, Realitas dan Nilai Moralitas Hukum,
(Jakarta: Kencana, 2018), hlm. 3

7
tentunya menimbulkan interprestasi yang berbeda dan juga menimbulkan

keresahan di tengah-tengah masyarakat.15

Bahkan di Pengadilan Negeri Surabaya pernah terjadi kasus penetapan

Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby tentang permohonan perkawinan beda agama

yang diajukan oleh seorang Muslim dengan nama inisial RA yang berencana

akan melaksanakan perkawinan dengan wanita beragama Kristen yang

bernama inisial EDS. Dalam penetapan terhadapat permohonan tersebut Hakim

PN Surabaya memiliki tiga dasar pertimbangan yaitu. Pertama, Pasal 29 ayat

(1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 jo PP No. 9 1975 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Perkawinan. Kedua, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan. Ketiga, Pasal 35 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2006 Tentang

Administrasi. Atas dasar pertimbangan tersebut Hakim memutuskan bahwa: (a)

Hakim mengabulkan permohonan Para Pemohon. (b) Hakim memberikan izin

kepada Para Pemohon untuk melangsungkan Perkawinan beda agama

dihadapan Pejabat Kantor Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kotamadya

Surabaya. (c). Hakim memerintahkan kepada Pejabat Kantor Dinas

Kependudukan Catatan Sipil Kotamadya Surabaya untuk melakukan

Pencatatan Perkawinan beda agama yang diajukan oleh Pemohon.16 Sedangkan

dalam kasus yang sama terjadi di Pengadilan Negeri Semarang, Hakim PN

Semarang menyatakan bahwa “sebenarnya terdapat persoalan tentang

perkawinan beda agama ini, karena pemerintah telah memberikan jalan

15
Setiyowati, Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia: Rekontruksi Peraturan
Perundang-undangan Berbasik Nilai Keadilan, (Malang: Setara Press, 2021), hlm. 9
16
Rafiqun Najib, Analisis Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby Terkait Legalitas
Kawin Beda Agama Perspektif Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo, (Malang: Program
Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah PascaSarjana UIN Malang, 2022), hlm. 82

8
alternatif melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan (Adminduk). Menurutnya, bagi mereka yang akan melakukan

perkawinan beda agama dapat dilakukan melalui permohonan izin kepada

Pengadilan Negeri”.17

Jauh sebelum itu upaya untuk mendapatkan keadilan hukum tentang

pelaksanaan perkawinan beda agama juga dilakukan oleh pasangan Andi

Vonny Gani P dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan. Kasus ini bermula

ketika mereka hendak melangsungkan perkawinan beda agama, yang mana

Andi Vonny ini merupakan seorang wanita beragama Islam dan Adrianus

Peturs merupakan laki-laki beragama Kristen. Keduanya hendak melakukan

perkawinan akan tetapi ditolak oleh KUA Kecamatan Tanah Abang, dan

Kantor Catatan Sipil Jakarta.18 Atas penolakan tersebut kemudian mereka

mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah

melakukan permeriksaan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan

penetapan Nomor 382/Pdt.P/1986/PN.JKT.Pst., tanggal 11 April 1986.

Pengadilan membenarkan alasan KCS menolak kehendak melakukan

perkawinan tersebut karena hukum perkawinan tidak mengatur perkawinan

beda agama. Pemohon tidak putus asa kegagalan ditingkat pertama tidak

menyurutkan tekad keduanya untuk melangsungkan perkawinan, sehingga

putusan PN Jakarta Pusat tersebut diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

17
Setiyowati, Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia: Rekontruksi Peraturan
Perundang-undangan Berbasik Nilai Keadilan, hlm.6
18
Surat Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang No.K2/MJ-I/834/III/1986
tanggal 5 Maret 1986 dan Surat Kantor Catatan Sipil No.655/1.1755.4/cs/1986 Tanggal 5 Maret
1986.

9
MA melalui putusan Nomor 1400/K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989

memutuskan membatalkan penetapan PN Jakarta Pusat Nomor tanggal

No.382/PDT/P/1986/PN.JKT.PST., tanggal 11 April 1986 dan mengadili

sendiri yang amar pokoknya memerintahkan Pencatatan Sipil Provinsi Daerah

Khusus Ibu Kota Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi

Vonny Gani P. dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan. Apa yang dilakukan

oleh pasangan Andi Vonny dan Andrianus Petrus tersebut sebatas mengurai

dari sudut hukum positif yang berlaku di Indonesia dan pastinya hal tersebut

sangat berkaitan dengan sosiologi hukum. Sebab putusan MA tersebut menjadi

Yurisprudensi pengadilan tingat pertama dalam mengadili permohonan atas

dasar penolakan pencatatan ke pengadilan, dan akhir-akhir ini banyak menjadi

pilihan yang ditempuh oleh pasangan yang akan melakukan perkawinan beda

agama.19

Terjadinya problematika seperti ini apakah memang benar-benar terjadi

karena ketidaktegasan peraturan tentang hukum perkawinan, atau dapat

dikatakan bahwa hukum yang ada saat ini (UUP 1974) tidak sesuai dengan

kebutuhan atau hukum tersebut tidak bersenyawa dalam kehidupan masyarakat

Indonesia yang pluralis ini. Atau juga tidak menutup kemungkinan bahwa

hukum yang ada sudah tepat dan dapat diimplementasikan serta dikembangkan

lagi untuk dijadikan sebagai instrumen perubahan sosial yakni sebagai sarana

terpenting guna memelihara ketertiban, sehingga dapat menjadi ruang gerak

bagi perubahan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini hukum dapat tampil

19
Imron Rosyadi, Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam, (Jakarta:
Kencana,2022, ),hlm.209

10
kedepan memainkan perannya sebagai penunjuk arah dan memberi jalan bagi

terciptanya perubahan.20

Dalam realitasnya memang sudah diterapkan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun sayang di dalamnya tidak mengatur

tentang perkawinan beda agama, padahal sebagaimana umumnya diketahui

bahwa NKRI ini adalah bangsa yang sangat pluralis, baik itu dalam segi

Agama, Budaya, Bahasa dan lainnya. Itu artinya peluang terjadinya perkawinan

beda agama di Indonesia sangatlah terbuka, meskipun dalam ajaran (doktrin)

agama-agama yang ada di Indonesia melarang dan tidak menghendaki

terjadinya perkawinan beda agama, namun dalam realitas di masyarakat kasus-

kasus perkawinan beda agama selalu bermunculan dalam kehidupan sosial.

Sebagaimana kasus yang pernah terjadi di tahun 1986 yang dikenal dengan

kasus Andi Vonny yang mana kasus ini justru terjadi pasca diberlakukannya

UU Perkawinan di Indonesia. Indonesia Conference On Religion and Peace

(ICRP) memberikan data bahwa sejak 2005 hingga bulan maret 2022 sudah ada

1.425 pasangan beda agama yang melangsungkan perkawinan di Indonesia.21

Faktanya diantara pelaku perkawinan beda agama tersebut dapat mencapai

keharmonisan dalam menjalani maligai rumah tangga, meskipun tidak mungkin

terhindar dari namanya problematika. Akan tetapi tidak adanya payung hukum

yang memberikan penaungan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama ini

lah yang justru memunculkan masalah. Diantaranya adalah persepsi dari

masyarakat dan keluarga cenderung negatif terhadap pelaku perkawinan beda

20
Roni Efendi, Perkawinan Beda Agama Dalam Paradigma Sosiologis Jurisprudence,
(Institut Agama Islam Negeri Batu Sangkar, Jurnal Hukum Islam, 2020), vol.5 No.01 Januari-Juni,
hlm.51
21
https://populis.id/read13644/jangan-kaget-ini-jumlah-pasangan-nikah-beda-agama-di-
indonesia?page= 1 diakses pada 20 Agustus 2023.

11
agama dan resistensi yang begitu besar juga dialami oleh mereka. Masalah lain

yang terasa rumit dirasakan oleh para pelaku perkawinan beda agama adalah

status hukumnya yang masih kontroversial, merenggangnya hubungan

persaudaraan antara suami atau istri dengan keluarga masing-masing, susahnya

mempertahankan keimanan dan menjalankan kewajiban, baik itu sebagai umat

beragama ataupun sebagai suami istri serta kewajiban mereka sebagai orang tua

kepada anak-anaknya.

Itulah realita dari para pelaku perkawinan beda agama yang kendatipun

sangat beresiko dengan berbagai macam problematika yang ada, nyatanya

masih banyak yang melakukannya. Itu artinya problematika perkawinan beda

agama masih sangat menarik untuk dikaji dan di elaborasi lagi secara ilmiah.

Maka dalam penelitian ini, peneliti memilih tempat penelitian (locus) nya ada

di Desa Gadingkulon Kecamatan. Dau. Kabupaten. Malang, yang mana

ditempat tersebut terdapat pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan

beda agama.

Secara geografis Desa Gadingkulon terletak pada lereng kaki Gunung

Kawi bagian utara dan lereng kaki Gunung Panderman bagian selatan. Secara

administratif Desa Gadingkulon terletak di wilayah Kecamatan Dau Kabupaten

Malang. Desa ini memiliki tiga Dusun yaitu Dusun Sempu, Dusun Krajan, dan

Dusun Princi. Berdasarkan data administrasi Pemerintahan Desa Tahun 2019,

jumlah penduduk Desa Gadingkulon adalah 3.995 jiwa dengan rincian laki-laki

1.997 dan perempuan 1.998, dan jumlah penduduk demikian ini tergabung

dalam 1.258 KK. Terkait dengan pemeluk agama yang ada di Desa

Gadingkulon mayoritas adalah umat Islam dengan jumlah 3.941 dengan

12
perincian 1.952 laki-laki, dan 1.989 perempuan. Sedangkan jumlah pemeluk

agama Kristen di Desa Gadingkulon berjumalah 183, sebanyak 100 merupakan

laki-laki, dan 83 perempuan. Sementara pemeluk agama Katholik berjumlah

15, laki-laki 11 dan perempuan 4. Pemeluk agama paling minoritas di Desa

Gadingkulon berjumlah 1 perempuan beragama Budhha dan 1 perempuan

beragama Hindu.22

22
Laporan Statistik Penduduk Berdasarkan Agama Desa Gadingkulon, Kecamatan Dau,
Kabupaten Malang. Tahun 2022

13
1.2 Fokus Penelitian
Berangkat dari latar belakang yang penulis jelaskan diatas, penulis tertarik

untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut tentang “Perkawinan Beda Agama

Sebagai Harmonisasi Umat Beragama Perspektif Hukum Islam dan Sosiologi

Hukum (Studi Kasus di Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang )”. Guna

memudahkan dalam melakukan penelitian ini, maka kajiannya hanya untuk

mencari jawaban atas pertanyaan berikut ini :

1. Bagaimana Hukum Perkawinan Beda Agama Perspektif Hukum Islam dan

Sosiologi Hukum?

2. Bagaimana Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Desa Gadingkulon

Kec. Dau Kab. Malang?

3. Bagaimana Konsep Perkawinan Beda Agama Sebagai Harmonisasi Umat

Beragama Perspektif Pasangan Suami-Istri di Desa Gadingkulon Kec. Dau

Kab. Malang ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mendapatkan data objektif terkait dengan perkawinan beda Agama

dalam Perspektif Hukum Islam dan Sosiologi Hukum sebagai upaya

Harmonisasi Umat Beragama di masyarakat Desa Gadingkulon Kec. Dau

Kab. Malang.

2. Untuk menambah khazanah literatur tentang perkawinan beda agama

dalam Perspektif Hukum Islam dan Sosiologi Hukum.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di desa

Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang dan bagaimana cara menjalani

14
maligai rumah tangga yang harmonis sebagai bentuk nyata harmonisasi

umat beragama.

1.4 Kegunaan Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran yang nyata dan manfaat

besar, baik secara teoritis maupun praktis:

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1. Secara teoristis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi pengetahuan bagi masyarakat umum tentang perkawinan

beda agama sebagai harmonisasi umat beragama.

2. Dapat digunakan sebagai landasan bagi penelitian berikutnya, yang

memiliki relevansi dengan masalah yang disajikan dalam penelitian

ini.

3. Memperkaya refrensi bagi Mahasiwa Pasca Sarjana Unisma jurusan

Hukum Keluarga Islam.

4. Memberikan masukan kepada pemangku kebijakan hukum terkait

dibutuhkannya payung hukum perkawinan beda agama guna

menciptakan keadilan hukum dan menjaga harmonisasi umat

beragama di Indonesia.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan Program Magister Strata 2

(S2), pada Program Studi Magister Hukum Keluarga Islam (MHKI),

di Universitas Islam Malang (UNISMA).

15
2. Memberikan wawasan dan pengalaman praktis di bidang penelitian

mengenai perkawinan beda agama sebagai harmonisasi umat

beragama.

1.5 Penegasan Istilah

1.5.1 Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama diartikan sebagai suatu perkawinan yang

dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan

yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

1.5.2 Perspektif

Perspektif adalah sudut pandang, dalam konteks tesis ini sudut pandang

yang akan penulis gunakan yaitu sudut pandang hukum Islam dan

Soiologi hukum tentang perkawinan beda agama sebagai harmonisasi

umat beragama.

1.5.3 Hukum Islam

Hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia merupakan salah satu

hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hukum Islam dianut dan

ditaati oleh umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di

Indonesia. Dalam praktiknya, Hukum Islam adalah salah satu bagian

sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yang mempunyai peranan

yang amat penting dan menentukan dalam mengatur kehidupan bangsa

Indonesia.

16
1.5.4 Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang

secara analitis dan empiris menganalisis dan mempelajari hubungan

timbal balik antara hukum dan gelaja-gejala sosial lainnya.

1.5.5 Harmonisasi

Harmonisasi jika dilihat secara ontologis berasal dari kata harmoni yang

dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pernyataan rasa, aksi, gagasan

dan minat, keselarasan, keserasian.

1.5.6 Umat Beragama

Kata umat beragama berasal dari dua suku kata, yakni umat dan

beragama. Umat sendiri diartikan sebagai para penganut suatu agama

atau nabi. Dan beragama artinya memeluk atau menjalankan agama.

Maka dengan demikian maka yang dimaksud dengan agama adalah

kepercayaan kepada Tuhan, cara berbakti kepada Tuhan, beragama,

memeluk agama.

17
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Dalam tesis ini, peneliti memasukan penelitian terdahulu yang dapat

dijadikan sebagai bahan perbandingan untuk menguatkan arah penelitian.

Tentunya penulis perlu mengungkapkan beberapa hasil penelitian terdahulu

yang muatannya relevan dengan penelitian penulis. Adapun beberapa

penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya antara lain

adalah:

2.1.1 Disertasi M. Thahir Maloko yang berjudul “Nilai Kemanusiaan dalam

Perkawinan (Telaah atas Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum

Islam)”.23

Disertasi tersebut membahas tentang ada dua pandangan ulama

(hukum Islam) terhadap perkawinan beda agama yatitu: Pertama,

mengharamkan dengan pertimbangan mendasar adalah tidak terjadinya

harmonisasi dalam perkawinan beda agama dengan kata lain perkawinan

beda agama tidak mengantarkan penganutnya pada terciptanya keluarga

sakinah, mawaddah dan rahmah. Kedua, membolehkan dengan syarat

yaitu, perkawinan beda agama dalam arti ahli kitab, karena ahli kitab

senilai dengan harta dan tidak mempunyai hak pilih kecuali harus tunduk

dan patuh terhadap apa yang diinginkan oleh tuannya. Perkawinan beda

agama harus berorientasi pada nilai-nilai (values) kemanusiaan yaitu

23
M. Thahir Maloko, Nilai Kemanusiaan dalam Perkawinan (Telaah atas Perkawinan
Beda Agama Menurut Hukum Islam), (Makassar: Disertasi Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Alauddin, 2015).

18
kesamaan dalam berumah tangga yang dapat menciptakan relasi baik yang

disebabkan dari wujud saling mencintai, nilai harmonisasi dalam rumah

tangga (demokratis), serta memelihara maslahat atau harkat martabat

(daruriyat al-khamsah) yaitu suatu aturan yang harus di implementasikan

dalam rumah tangga agar tercapai kemaslahatan hidup, seorang suami

harus menjadi pemimpin yang bertangung jawab atas kehidupan keluarga.

2.1.2 Disertasi Moh. Zeinudin yang berjudul “Rekontruksi Hukum Perkawinan

Beda Agama di Indonesia Berbasis Nilai Keadilan Bermartabat”.24

Fokus penelitian dalam disertasi ini adalah tentang bentuk-bentuk

praktek perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia. Sedangkan

penelitian disertasi ini merupakan penelitian yang mengkombinasikan

antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis yang

menggunakan paradigma konstruktivisme. Pendekatan dalam disertasi ini

menggunakan pendekatan yuridis normatif, yuridis sosiologis, historis,

kasus, dan pendekatan filosofis.

Hasil penelitian dalam disertasi ini adalah sebab tidak diaturnya

perkawinan beda agama secara jelas dalam UUP, mengakibatkan

perkawinan beda agama terus terjadi dalam berbagai bentuk praktek

dengan memanfaatkan celah-celah hukum tersebut dari masa ke masa.

Perkawinan beda agama dilakukan dengan tiga bentuk praktek, yaitu

dengan praktek mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan,

dilaksanakan diluar negeri, dan dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil.

24
Moh. Zeinnudin, Rekonstruksi Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia Berbasis
Keadilan Bermartabat, (Semarang: Disertasi Pascasarjana Universitas Islam Sultan Agung, 2019).

19
2.1.3 Tesis Buhari Pamilangan yang dengan judul “Implikasi Perkawinan Beda

Agama Perspektif Hukum Islam di Kec. Sangalla Selatan Kab.Tana

Toraja”.25

Fokus penelitian dalam tesis ini adalah tentang sebab terjadinya

perkawinan beda agama, dan bagaimana implikasi yang ditimbulkan

akibat perkawinan beda agama, serta bagaimana cara meminimalisir

terjadinya perkawinan beda agama di Kec.Sanggala Selatan Kab. Tana

Toraja. Sedangkan dalam tesis ini menggunakan jenis penelitian kualitatif

deskriptif dengan menggunakan pendekatan teologis, yuridis, historis dan

sosiologis kultural.

Hasil penelitian yang diperoleh dalam tesis ini adalah terdapat

beberapa faktor penyebab terjadinya perkawinan beda agama diantaranya

adalah pengetahuan tentang agama masih minim, perasaan suka dan cinta

yang berlebih, kebebasan perempuan dalam memilih calon suami, serta

legitimasi perkawinan beda agama yang mengantongi buku nikah yang

dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil setelah mendapatkan putusan dari

Pengadilan Negeri untuk mencatatkan perkawinannya. Sedangkan

implikasi yang timbul dari perkawinan beda agama adalah terjadi

problematika tentang agama dan sekolah anak. Sementara upaya

meminimalisir terjadinya perkawinan beda agama adalah dengan

memaksimalkan peran orang tua untuk membentengi anak-anak nya

melalui kontrol dan pengajaran akidah akhlak. Peran KUA

memaksimalkan Penyuluh Agama Islam disetiap desa dan lain sebagainya.

25
Buhari Pamilangan, Implikasi Perkawinan Beda Agama Perspektif Hukum Islam di
Kec. Sangalla Selatan Kab.Tana Toraja, (Palopo: Program Pasca Sarjana Insitut Agama Islam
Negeri Palopo, 2022).

20
2.1.4 Tesis Oktafiani Palufi Katry dengan judul “Pernikahan Beda Agama

Dalam Masyarakat Kota Palu (Analisis Sosiologis)” yang disusun pada

tahun 2018.26

Fokus penelitian dalam tesis ini adalah tentang perkawinan beda

agama yang idealnya terlarang dari segi hukum agama dan hukum negara.

Akan tetapi pada realitanya banyak par paelaku yang melakukan

perkawinan beda agama. Sedangkan teori yang digunakan dalam tesis ini

adalah teori sosial dengan analisis sosiologi terkait dengan mengapa para

pelaku melakukan perkawinan beda agama sebagai jalan hidupnya serta

kendala apa saja yang dirasakan setelah melakukan perkawinan beda

agama. Adapun jenis penelitian tesis ini menggunakan Field Research

yaitu penelitian lapangan, dan menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan fenomenologis, yakni peneliti berusaha memahami arti

peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam

situasi tertentu.

Hasil penelitian yang diperoleh dalam tesis ini adalah konsep

mengenai pernikahan sebagaimana yang telah dikemukakan oleh

informan, yaitu kebahagiaan dan kenyamanan yang ditimbulkan oleh

perasaan dari pasangan, dan kebahagiaan dapat ditimbulkan jika

kebutuhan terpenuhi. Adapun faktor yang menjadi penyebab seseorang

melakukan pernikahan beda agama dalam perspektif psikologis

diantaranya adalah perasaan cinta, penghargaan terhadap diri, serta

kesamaan pola pikir (visi-misi). Sedengkan faktor lain yang menyebabkan

26
Oktafiani Palufi Katry, Pernikahan Beda Agama Dalam Masyarakat Kota Palu (Analisis
Sosiologis), Tesis diterbitkan (Palu: Program Pasca Sarjana Insitut Agama Islam Negeri, 2018)

21
terjadinya pernikahan beda agama adalah faktor pendidikan agama yang

minimalis, kebebasan dalam memilih pasangan, serta desakan faktor

ekonomi.

2.1.5 Artikel Muhammad Ilham dalam Jurnal Taqnin dengan judul “Nikah Beda

Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan Hukum Nasional”.27

Artikel ini membahas tentang nikah beda agama yang ditinjau dari

segi hukum Islam dan hukum nasional. Hasil dari penelitian ini adalah

bahwa perkawinan beda agama sering terjadi di masyarakat Indonesia

padahal dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan

tentang larangan perkawinan beda agama. Begitu juga dalam KHI Pasal 40

ayat c dan Pasal 44, serta Fatwa MUI.

2.1.6 Artikel Ken Ismi Rozana yang berjudul “Fikih Perkawinan Beda Agama

Sebagai Upaya Harmonisasi Agama: Studi Perkawinan Beda Agama di

Jember”.28

Artikel ini mengkaji tentang konsep perkawinan beda agama

sebagai upaya harmonisasi umat beragama. Dengan menggunakan metode

konten analisis sebagai upaya membaca konsep perkawinan beda agama

baik itu dalam perspektif hukum Islam, dan hukum Indonesia. Sedangkan

pendekatan yang dilakukan dalam artikel ini adalah menggunakan

pendekatakan fenomenologis sebagai metode untuk melihat praktek

perkawinan beda agama di Kota Jember. Hasil penelitian artikel ini adalah

keharmonisan agama di Kota Jember dapat dilihat dari beberapa contoh

27
Muhammad Ilham, Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan Hukum
Nasional, TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 2, No. 1 Januari 2020, 43-58
28
Ken Ismi Rozana, Fikih Perkawinan Beda Agama Sebagai Upaya Harmonisasi
Agama: Studi Perkawinan Beda Agama di Jember, Fikrah: Jurnal Ilmu Akidah dan Studi
Keagamaan, Vol. 2, No. 1, 2016

22
misalnya tentang sikap toleransi dan saling menghargai menjadi kunci

dari terciptanya keharmonisasian keluarga dalam perkawinan beda agama.

Tabel 1.1

No Nama /Perguruan Judul Persamaan Perbedaan


Tinggi/ Tahun

1. M. Thahir Maloko/ Nilai Persamaannya Perbedaanya adalah


Pascasarjana Kemanusiaan adalah Sama- penelitian ini lebih
Universitas Islam dalam sama spesifik mengkaji
Negeri Alauddin/ Perkawinan mengkaji tentang perkawinan
2015 (Telaah atas tentang beda agama
Perkawinan Perkawinan perspektif nilai
Beda Agama Beda Agama kemanusiaan dan
Menurut Hukum Islam dan
Hukum Islam) tanpa studi kasus,
sedangkan penelitian
yang ingin peneliti
lakukan adalah lebih
spesifik tentang
kajian perkawinan
beda agama sebagai
harmonisasi umat
beragama perspektif
hukum Islam dan
Sosiologi hukum
dengan studi kasus di
desa Gadingkulon
Kec.Dau Kab.
Malang

2. Moh.Zeinnudin/ Rekonstruksi Persamaanya Perbedaannya adalah


Pascasarjana Hukum adalah Sama- penelitian ini
Universitas Islam Perkawinan sama mengkombinasikan
Sultan Agung/2019 Beda Agama mengkaji antara penelitian
di Indonesia tentang hukum normatif
Berbasis Perkawinan dan penelitian
Keadilan Beda Agama
hukum sosiologis
Bermartabat
sedangkan
penelitian yang
ingin peneliti
lakukan adalah
menggunakan jenis
penelitian
menggunakan Field
Research (Studi
Kasus)

23
menggunakan
metode kualitatif
dengan pendekatan
fenomenologis
3. BuhariPamilangan/ Implikasi Persamaanya Perbedaannya adalah
Program Pasca Perkawinan adalah Sama- penelitian ini
Sarjana Insitut Beda Agama sama menggunakan jenis
Agama Islam Perspektif mengkaji penelitian kualitatif
Negeri Palopo/ Hukum Islam tentang deskriptif dengan
2022 di Kec. Perkawinan menggunakan
Sangalla Beda Agama pendekatan teologis,
Selatan Serta Sama- yuridis, historis dan
Kab.Tana sama studi sosiologis kultural,
Toraja kasus sedangkan
penelitian yang
ingin peneliti
lakukan adalah
menggunakan jenis
penelitian
menggunakan Field
Research (Studi
Kasus)
menggunakan
metode kualitatif
dengan pendekatan
fenomenologis
2 Oktafiani Palufi Pernikahan Persamaanya Lebih spesifik
Katry/Program Beda Agama adalah Sama- mengkaji tentang
Pasca Sarjana Dalam Sama Perkawinan Beda
Insitut Agama Masyarakat mengkaji Agama prespektif
Islam Negeri/ 2018 Kota Palu tentang Sosiologis sedangkan
(Analisis Perkawinan penelitian yang
Sosiologis) Beda Agama ingin peneliti
Serta sama- lakukan adalah
sama studi menggunakan jenis
kasus penelitian
menggunakan Field
Research dan
menggunakan
perspektif hukum
Islam serta
sosiologi hukum

3 Muhammad Ilham/ Nikah Beda Sama-sama Lebih spesifik


TAQNIN: Jurnal Agama dalam mengkaji mengkaji tentang
Syariah dan Kajian Hukum tentang Perkawinan Beda
Hukum, Vol. 2 No. Islam dan Perkawinan Agama prespektif

24
1 Januari /2020 Tatanan Beda Agama hukum Islam dan
Hukum tatanan hukum
Nasional Nasional

4 Ken Ismi Rozana/ Fikih Sama-sama menggunakan


Fikrah: Jurnal Ilmu Perkawinan mengkaji pendekatakan
Akidah dan Studi Beda Agama tentang fenomenologis
Keagamaan, Vol. Sebagai Upaya Perkawinan Studi Kasus
2, No. 1,/2016 Harmonisasi Beda Agama
dilakukan di Kota
Agama: Studi Sebagai
Perkawinan Harmonisasi
Jember
Beda Agama Umat
di Jember Beragama
Sama-sama
Studi kasus

25
2.2 Landasan Teori

2.2.1 Diskursus Perkawinan Beda Agama

2.2.1.1 Definisi Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama merupakan perkawinan yang dilakukan oleh

pasangan (laki-laki dan perempuan) yang memiliki agama yang berbeda.

Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang mana di dalam UUP tersebut

tidak mengatur perkawinan beda agama sehingga tidak ada ruang bagi

pasangan beda agama untuk melakukan perkawinan di Indonesia atau

dengan kata lain perkawinan beda agama dianggap tidak sah.29

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah satu-satunya

pasal yang mengatur sah tidaknya perkawinan beda agama yang

menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (ayat 1)” dan “tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

(ayat 2)”, artinya secara tegas disebutkan bahwa tidak ada, atau tidak sah,

perkawinan yang dilakukan diluar dari hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya.30

Sedangkan dalam perspektif yang lain yaitu menurut pasal 26 KUH

Perdata dijelaskan bahwa Undang-Undang memandang soal perkawinan

hanya dalam hubungan perdata.31 Dan dalam pasal 81 KUH Perdata juga

29
Setiyowati, Hukum Perkawinan di Indonesia: Rekontruksi Peraturan Undang-Undang
Berbasis Nilai Keadilan, (Malang:Setara Press, 2021), hlm. 3
30
Ibid.
31
KUH Perdata Pasal 26 Tentang Perkawinan.

26
dikatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh

diselenggarakan sebelum kedua belah pihak membuktikan kepada pejabat

bahwa perkawinan mereka telah dilaksanakan dihadapan Pegawai Catatan

Sipil.32 Dengan demikian maka begitu nampak jelas perbedaan pengertian

tentang perkawinan menurut KUH Perdata dan menurut UU Nomor 1

tahun 1974. Bahwa perkawinan dalam perspektif KUH Perdata hanya

sebagai “Perikatan Perdata.”33 Sementara itu dalam perspektif UU Nomor

1 Tahun 1974 perkawinan yang dimaksud tidak hanya sebagai ikatan

perdata akan tetapi juga sebagai “Perikatan Keagamaan.”

Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa yang dimaksud

dengan perkawinan beda agama adalah perkawinan campuran, padahal

bukan demikian, sebab yang dimaksud dengan perkawinan beda agama itu

tidak sama dengan perkawinan campuran, melainkan istilah perkawinan

beda agama tersebut berdiri sendiri. Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Maka dengan demikian berdasarkan Undang-Undang ini, perkawinan

antar agama tidak termasuk dalam perkawinan campuran melainkan

memiliki pengertian tersendiri.34

32
KUH Perdata Pasal 81 Tentang Perkawinan.
33
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 40
34
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 57.

27
Pengertian Perkawinan beda agama adalah akad perkawinan yang

dilakukan oleh pasangan (calon suami dan calon istri) yang berbeda

agamanya, yaitu yang dilakukan antara laki-laki Muslim dengan

perempuan non-Muslim, atau antara perempuan Muslimah dengan laki-

laki non-Muslim,35 yang secara tersirat ataupun tersurat dinyatakan tidak

memiliki ruang untuk dilakukan di Indonesia dan tidak terakomodasi oleh

peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) di Indonesia

serta masih diperselisihkan oleh hukum Islam.

2.1.2.2 Sejarah Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama dalam perspektif sejarah sejatinya

bukanlah suatu fenomena yang baru, sebab jika dilihat dalam tinjaun Islam

sejak zaman Nabi Muhammad Saw, atau bahkan sejak pra Islam

pelaksanaan perkawinan beda agama sudah ada. Misalnya perkawinan

yang dilakukan antara putri Rasul Muhammad Saw, yaitu Syaidatinah

Zainab dengan Abul Ash bin Rabi’. Yang mana Abul Ash bin Rabi’ ini

merupakan musuh Nabi dalam Perang Badar dan Perang Uhud, dan

selama enam tahun Abul Ash bin Rabi’ mengikuti agama lamanya untuk

kemudian masuk Islam tanpa ada pembaharuan perkawinan. Bahkan juga

ada beberapa sahabat yang telah melakukan perkawinan beda agama baik

itu dengan perempuan Musyrik, Yahudi atau pun Nasrani.36

35
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia: Telaah Syariah dan
Qanuniah, (Ciputat: Lentera Hati, 2015), hlm. 136
36
Faqihuddin Abdul Kodir, Relasi Mubadalah Muslim Dengan Umat Berbeda Agama:
Inspirasi Teladan Nabi Muhammad Saw, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2022), hlm. 30

28
Misalnya, Utsman ibn ‘Affan, Thalhah ibn Abdullah, Khudzaifah

ibn Yaman, dan Sa’ad ibn Abi Waqas. Nabi juga mempunyai budak

perempuan Kristen Koptik bernama Maria al-Qitbiyah. Dari perempuan

ini Nabi punya anak laki-laki yaitu Ibrahim. Hal demikian juga dilakukan

oleh beberapa tabi’in dan generasi sesudahnya, mereka juga melakukan

perkawinan dengan ahl al-Kitab. Maka dengan demikian dalam Perspektif

sejarah perkawinan beda agama sudah dilangsungkan oleh umat Islam dari

generasi ke generasi.37

Setidaknya ada lima jenis perkawinan yang pernah terjadi

disepanjang sejarah umat manusia yang kisahanya diabadikan dalam al-

Qur’an.38 Yaitu:

1) Perkawian antara laki-laki Muslim dengan perempuan kafir.

Perkawinan ini dapat terlihat pada perkawinan antara Nabi Nuh dan

Nabi Luth yang keduanya memiliki istri, kafir, fasik, dan munafik.

2) Perkawinan antara perempuan Muslim dengan laki-laki Kafir. Contoh

perkawinan seperti ini dilakukan oleh Siti Asyiah dengan Fir’aun.

Yang mana Fir’aun tidak hanya kafir, akan tetapi juga orang yang

mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan.

3) Perkawinan antara sesama Kafir seperti perkawinan antara Abu Lahab

dengan istrinya yaitu Ummu Jamil dan perkawinan pada umumnya

antara laki-laki Kafir dengan perempuan Kafir wajar terjadi.

37
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, (Kairo: Dar al Fathm 1990), hlm. 215
38
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agma di Indonesia Telaah Syariah dan Qanuniah,
(Tangerang: Lentera Hati, 2015), hlm. 97

29
4) Perkawinan antar sesama Muslim yaitu perkawinan yang paling ideal

dan paling banyak terjadi. Perkawinan jenis ini merupakan perkawinan

yang disyariatkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para ulama salafus

shalih.

5) Perkawinan beda agama antara laki-laki Muslim dengan perempuan

non-Muslim yaitu seperti perkawinan yang dilakukan oleh sahabat

Utsman r.a, dengan istrinya bernama Na’ilah binti al-Faradhah al-

Kalbiyyah yang merupakan seorang perempuan beragama Nasrani dan

kemudian masuk Islam. Begitu juga perkawinan yang dilakukan oleh

Hudzaifah r.a. dengan seorang perempuan Yahudi yang merupakan

salah seorang penghuni al-Mada’in. sedangkan Jabir r.a. pernah

ditanya tentang perkawinan seorang Muslim dengan orang Yahudi dan

Nasrani, kemudian dia menjawab, “Kami menikah dengan mereka

pada zaman invasi kota Kufah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash”.

Perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia dalam dimensi

sejarah sudah terjadi sejak masa Kerajaan Majapait yaitu perkawinan yang

telah dilakukan oleh Prabu Kertawijaya yang beragama Hindu

mempersunting Putri Champa, yang merupakan bibi dari Sunan Ampel

yang beragama Islam.39 Hal yang sama juga dilakukan oleh Rakai Pikatan

dari dinasti Sanjaya yang beragama Hindu menikahi Pramodarwani dari

dinasti Sailendra yang memeluk agama Budha. Sedangkan dalam kasus

lain tentang praktik perkawinan beda agama yang dalam hemat penulis

dapat dijadikan sebagai starting point, untuk memulai mengelaborasi

39
Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya, (Surabaya: Diantama, 2004), hlm.45

30
sejarah perkawinan beda agama adalah kasus perkawinan beda agama

yang paling menyita perhatian publik di Indonesia terjadi pada tahun 1986

yang dikenal dengan kasus Andi Vonny.40

2.2.2 Diskursus Harmonisasi Umat Beragama

2.2.2.1 Definisi Harmonisasi Umat Beragama

Istilah harmonisasi dalam diskursus ini berasal dari kata harmoni yang

dalam istilah bahasa Yunani disebut harmonia, yaitu terikat secara serasi

dan sesuai. Sedangkan kata harmonisasi menurut kamus besar bahasa

Indonesia (KBBI) diartikan dengan suatu upaya pencarian keselarasan41.

Diksi keselarasan yang dimaksud disini memiliki arti bahwa manusia

sebagai makhluk sosial sejatinya dituntut untuk hidup secara damai dan

berdampingan serta meminimalisir adanya konflik atau perpecahan dalam

berbagai aspek. Harmonisasi dapat juga disebut sebagai sebuah keteraturan

sosial yang dapat diartikan sebagai suatu sistem kemasyarakatan, pola

hubungan, dan kebiasaan yang berjalan lancar demi tercapainya tujuan

masyarakat.

Sementara itu, untuk menegaskan bahwa keteraturan sosial adalah suatu

keadaan di mana hubungan-hubungan sosial berlangsung secara selaras,

serasi dan harmonis menurut nilai-nilai dan norma-norma agama yang

berlaku.42 Sedangkan secara etimologis kata umat beragama berasal dari dua

40
https://www.hukumonline.com/berita/a/kisah-kawin-beda-agama--menantang-arus-dan-
problematik-klasik-lt64746ef01ec5f/?page=5 . diakses pada 28 Agustus 2023.
41
Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ( Jakarta:
Balai Pustaka , 2018). hlm. 1201
42
Siti Miftahul Jannah dan Muhammad Nawir, Harmonisasi Agama (Studi Kasus
Koeksistensi Umat Beragama di Kecamatan Lamasi Kabupaten Luwu), Jurnal Pendidikan
Sosiologi, VI, (Juli, 2018), hlm. 3

31
suku kata, yaitu umat dan beragama. Bahwa yang dimaksud dengan umat

adalah para penganut suatu agama atau nabi. Sementara kata beragama

memiliki arti yaitu memeluk (menjalankan) agama. Artinya seorang yang

beragama adalah orang yang memiiki kepercayaan kepada Tuhan, dan siap

untuk berbakti kepada-Nya.43

Maka dengan demikian harmonisasi (kerukunan) antar umat beragama

sebagaimana yang sudah diamantkan oleh Peraturan Bersama Menteri

Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, bahwa yang

dimaksud dengan kerukunan (harmonisasi) umat beragama adalah keadaan

hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling

pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan, dalam

mengamalkan ajaran agamanya, dan kerjasama dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.44

2.2.2.2 Sejarah Harmonisasi Umat Beragama

Problematika universal yang tidak dapat dihindari oleh setiap pemeluk

agama adalah perosalan yang berkaitan dengan proses pemahaman atas

ajaran agamanya. Dan sampai kapan pun hal itu akan terus berlanjut,

dikarenakan adanya perbedaan yang mendasar antara watak agama dengan

realitas manusia.45Maka demi terciptanya kesejahteraan bersama dalam

43
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2006), hlm. 9
44
Ibid.., hlm. 10
45
Erina Dwi Parawati, Manajemen Kerukunan Umat Beragama: Solusi Menuju Harmoni,
(Kudus: Guepedia, 2021), hlm. 3

32
mengharmoniskan relasi umat beragama maka dibutuhkan kepedulian

seluruh umat manusia sebagai mahluk beragama yang bermartabat. Untuk

itu rasa saling memiliki dan saling memahami tentang makna serta hakikat

hidup manusia sangatlah penting. Dengan diharapkan muncul rasa perhatian

serta kepedulian terhadap makhluk lain. Seperti memberikan jaminan sosial,

agama, hak untuk hidup harmonis, memberikan bantuan, dan lain

sebagainya. Dibawah ini penulis jelaskan tentang sejarah harmonisasi umat

beragama:

2.2.2.2.1 Harmonisasi Umat Beragama di Masa Rasulullah Saw

Memang tidak sedikit dari umat Islam yang masih merasa

kesulitan, secara teologis, untuk memiliki relasi Islami dengan orang yang

berbeda agama. Padahal jika merujuk pada sumber-sumber biografi Nabi

Muhammad Saw. baik itu yang ada dalam al-Qur’an, dan dibeberapa

kitab-kitab hadits, ataupun pada sejarah kehidupan (sirah), dapat

ditemukan teladan akhlak mulia Rasul Saw. saat berinteraksi dengan orang

yang berbeda agama, mulai dari kehidupan Rasul Saw. saat masih kecil,

remaja, dewasa, hingga pada saat Rasul Saw. menerima wahyu,

berdakwah, dan ketika berhijrah dari Madinah ke Makkah, bahkan sampai

akhir hayat beliau.46

Terkait dengan relasi harmonis Rasul Saw. dengan orang yang

berbeda agama dapat dilihat di berbagai riwayat hadits populer seperti

riwayat Imam Bukhari, Muslim, dan kitab hadits lainnya yang

46
Faqihuddin Abdul Kodir, Relasi Mubadalah Muslim Dengan Umat Berbeda Agama,
(Yogyakarta: IRCiSol, 2022), hlm. 26

33
menjelaskan bahwa Rasul Saw. memiliki relasi harmonis dengan berbagai

kolega dan tetangga yang berbeda agama. Misalnya, saling berkunjung

memenuhi undangan makan,47saling memberi hadiah,48 melakukan

transaksi jual beli,49 bahkan Rasul Saw. menerima khidmat (pelayan) dari

orang yang berbeda agama,50 hingga diakhir hayatnya beliau masih

berhutang dengan cara gadai kepada orang Yahudi.51

Dibawah ini penulis jelaskan lebih detail terkait dengan relasi

harmonis yang dicontohkan oleh Rasul Saw. bersama umat yang berbeda

agama.

2.2.2.2.1.1 Relasi Harmonis Rasul Saw. Pra Islam

Di masa pra Islam atau lebih dikenal sebutan masa Jahiliah

dimana semua orang yang berada di circle Rasul Muhammad Saw.

sebelum datangnya Islam, tentu saja beragama sebagaimana agama

yang dipeluk oleh nenek moyangnya masing-masing. Misalnya di

Makkah pada saat itu, mayoritas penduduknya menuhankan Allah Swt.

akan tetapi juga ada yang menyembah berhala. Ada juga yang

beriman pada agama Yahudi atau Kristen meskipun hanya minoritas.

Dan beberapa yang lainnya beriman secara tauhid (mengesahkan Allah

Swt), yang dikenal dengan sebutan hunafa yaitu orang-orang yang

lurus, tetapi tidak terikat dengan agama tertentu.

47
Lihat. Musnad Ahmad, hadits no. 13403 dan 14068
48
Lihat. Shahih al-Bukhari, hadits no. 2650 dan Sunan Abu Dawud, hadits no. 4515
49
Lihat. Shahih al-Bukhari, hadits no. 2135
50
Lihat. Shahih al-Bukhari, hadits no. 1371
51
Lihat. Shahih al-Bukhari, hadits no. 2593 dan 4507

34
Tentu saja di masa pra-Islam Rasul Saw. berinteraksi dengan

masyarakat sekitar. Hal ini dipertegas dengan berbagai sumber sejarah

yang menyatakan bahwa relasi Rasul Saw. dengan orang yang beda

agama sangat baik (harmonis). Harmonisasi umat beragama di

contohkan oleh Rasul Saw. yang dikenal dengan julukan al-Amin

(dipercaya), jujur, dan saling tolong-menolong. Tidak sedikit para

keluarga, tetangga, dan masyarakat pada umumnya sering kali

menitipkan barang mereka untuk disimpan, bahkan hal itu terus

berlangsung setelah Rasul Saw. menerima wahyu, meskipun mereka

masih tetap tidak beriman dengan Islam yang dibawa oleh Rasul Saw.

Apa yang dicontohkan oleh Rasul Saw. berupa akhlak mulia dalam

menjalin relasi dengan orang beda agama ini juga di ikuti oleh para

sahabat, seperti Abu Bakar ash-Shidiq dan sahabat-sahabat lainnya.

Bahkan ketika Rasul Saw. dimusuhi oleh orang kafir Quraisy karena

keimanan dan dakwahnya, justru beliau didukung dan dilindungi oleh

beberapa tetua (tokoh) yang lain untuk beriman kepada ajaran yang

dibawah oleh Rasul Muhammad Saw, dan ini semua karena kekuatan

akhlak mulia Rasul Saw. dalam menjalin relasi harmonis dengan

orang-orang yang berbeda agama.52

Tidak sedikitpun terbesit dalam hati Rasul Saw. untuk membenci

atau bahkan memusuhi siapa pun hanya karena berbeda agama. Hal itu

terbukti dengan tiga putri beliau, yaitu Ruqayah Ra. Ummu Kultsum

Ra. dan Zainab Ra. yang melakukan perkawinan dengan orang-orang

52
Lihat. Shahih al-Bukhari, hadits no.2341

35
yang tidak beriman dengan kenabian beliau. Tetapi beliau hanya

meminta suami dari Ruqayah Ra. dan Umi Kalsum Ra. yaitu Utbah

dan Utaibah, untuk menceraikan karena sikap permusuhan mereka

kepada Rasul Saw. bukan karena ketidakberimanan mereka kepada

Islam yang dibawa oleh Rasul Saw. Sedangkan, suami Zainab Ra.

yang bernama Abul’ Ash bin ar-Rabi’, sekalipun tidak beriman, tetap

memiliki relasi yang baik dengan Rasul Saw. Karena itu, Rasul Saw.

tidak mengusiknya, tetap menghormati, dan memiliki hubungan yang

baik dengannya. Hingga akhirnya terjadi peristiwa ketika Abul ‘Ash

bin Rabi’ berkonflik dan menjadi musuh perang Rasul Saw. sampai

Abul ‘Ash ditawan dan dibebaskan karena mendapatkan jaminan dari

Zainab. Akhirnya, Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ masuk Islam beberapa bulan

sebelum fathu Makkah, pada tahun ke-8 Hijriah. Artinya, sekitar 19

tahun, setelah ada agama Islam, Rasul Saw. tetap menjalin relasi

harmonis dengan menantunya yang tidak (belum) masuk Islam.53

2.2.2.2.1.2 Relasi Harmonis Rasul Saw. Saat Dakwah di Makkah

Tentunya dakwah Rasul Saw. saat di Makkah tidak berjalan lancar,

sebab tidak semua orang saat itu beriman dengan ajaran yang dibawah

oleh Rasul. Adapun mereka yang tidak beriman, ada yang memusuhi

dan menghalangi dakwah Rasul Saw. secara keras, meskipun ada juga

yang tidak memusuhi dan menghalangi dakwah beliau, bahkan juga

ada yang memberi support secara totalitas sekalipun mereka belum

53
Faqihuddin Abdul Kodir, Relasi Mubadalah Muslim Dengan Umat Berbeda Agama,
(Yogyakarta: IRCiSol, 2022), hlm. 31

36
beriman, hal itu terjadi disebabkan kekuatan akhlak mulia Rasul Saw.

dalam menjalin relasi dengan orang yang berbeda agama. Rasul Saw.

selalu mencotohkan perbuatan baik dan sama sekali tidak

menunjukkan sikap permusuhan selama fase dakwah di Makkah.

2.2.2.2.1.3 Relasi Harmonis Rasul Saw. Saat Dakwah di Madinah

Komunitas Islam pada masa Rasul Muhammad Saw. di Madinah,

memperlihatkan nilai-nilai (values) Islam yang sesungguhnya sehingga

kebersamaan dengan umat lain seperti Yahudi, dan sebagian kecil

umat Nasrani dan juga para penyembah berhala terjalin dengan

harmonis (baik). Pertentangan kaum Yahudi di Madinah dengan kaum

musyrikin di Mekkah menjadikan kaum lain selalu merasa khawatir

dan takut akan terbentuknya komunitas tersebut. Hal ini dapat dilihat

dari berbagai utusan yang di utus oleh Rasul Saw. ke berbagai Negara

tetangga didasarkan pada semangat menyebarkan agama sebagaimana

hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan

mereka terhadap umat Islam sehingga menjadi besar dan kuat tanpa

harus terjadi pertikaian dan peperangan yang dapat menimbulkan

korban jiwa.

Keberagaman masyarakat Madinah dengan berbagai suku dan

pemeluk agama yang berbeda disertai adanya naskah Piagam Madinah

yang dirancang oleh Rasul Muhammad Saw. dapat dijadikan bukti

sebagai fakta sejarah bahwa ditemukan adanya keberagaman yang

berlangsung harmonis dengan jaminan kebebasan menjalankan agama

dan kepercayaan masing-masing. Larangan saling mengganggu dan

37
mengusik kaum Muslimin dan Yahudi. Jika hal itu terjadi maka Rasul

Muhammad Saw. menjadi hakim. Dan apabila Madinah diserang dari

luar maka kedua pihak (kaum Muslimin dan Yahudi) sama-sama wajib

untuk mempertahankannya secara bersama.54

Pondasi politik dengan hadirnya konstitusi Islam di Madinah

menjadikan Rasul Saw. sebagai pemimpin agama dan kepala Negara.

Maka dengan demikian masyarakat semakin terorganisir dengan baik.

Fakta sejarah tersebut akhirnya menjadikan inspirasi yang tersaji yang

tidak ada habis-habisnya untuk dijadikan refrensi dalam

memformulasikan prinsip-prinsip keteraturan masyarakat yang

bercorak pluralistik.

Realitas sejarah membuktikan rasa kebersamaan dan saling

menghormati, hal itu dibuktikan dengan adanya izin dalam mendirikan

berbagai gereja ketika Islam berkuasa dan semua agama berada

dibawah kekuasaan Islam. tidak ada perbedaan seperti banyaknya

pembangunan gereja pada pemerintahan Islam di Mesir. Bahkan para

ahli kitab diberi ruang untuk melakukan kebebasan bekerja, mencari

kehidupan dan memangku jabatan tertentu dalam pemerintahan. Kaum

Muslimin juga banyak memberikan kebebasan kepada non-muslim

disaat Islam menguasai Spanyol untuk berpartisipasi dalam politik dan

hal ini juga dilakukan saat Islam menguasai non-muslim di Suriah.

Selain itu Islam juga mengatur kebebasan dalam hal ekonomi dan

pembangunan dan penggunaan gereja.

54
Muhammad Ashri, Hukum Internasional dan Hukum Islam Tentang Sengketa dan
Perdamaian (Cet I : Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 186

38
Dengan demikian maka dapat disimplifikasi bahwa nilai-nilai

ajaran Islam sebagai kebutuhan yang komprehensif memuat berbagai

ajaran teologis dan keteraturan sosial masyarakat baik itu dalam aspek

politik, ekonomi, sejarah, budaya dan tentunya dalam hal kebebasan

beragama. Beragamnya pilihan keyakinan ikut memberikan

kontribusinya dalam mewarnai dunia dan menciptakan mozaik

kehidupan yang indah sebagaimana yang ada di Indonesia. Perbedaan

tidak lagi dipertentangkan tetapi kontruksi kebersamaan tetap terjaga

sehingga masyarakat perlu memahami arti perdamaian, kebersamaan,

dan keharmonisan dalam interaksi umat beragama.

2.2.2.2.2. Harmonsasi Umat Beragama di Masa Walisongo

Agama (Islam) bersumberkan wahyu dan memiliki norma-normanya

sendiri. Karena bersifat normatif, maka Islam cenderung menjadi permanen.

Sedangkan budaya yang merupakan buatan manusia, karenanya ia terus

berkembang sesuai dengan konteks-perkembangan zaman dan cenderung

untuk selalu berubah (dinamis). Adanya perbedaan ini tidak menjadikan

terhalanginya kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk

budaya.55 Penjelasan diatas dapat dibuktikan sebagaimana pada masa awal

pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa yang sangat kuat diwarnai oleh

kebudayaan setempat (pribumi).56 Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur para

bangsawan yang melestarikan tradisi Jawa-Hindu. Begitu kentalnya unsur-

55
Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam. Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh
Hingga Paham Kebangsaan, ed. Akhmad Sahlm, Munawir Aziz (Bandung: Mizan Media Utama,
2016), hlm. 33
56
Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), hlm. 47

39
unsur kebudayaan pribumi dalam masyarakat Muslim Jawa maka berkat

perpaduan antara keduanya, baik dalam bentuk harmonisasi, kompromi,

asimilasi atau akulturasi, Islam bisa terus eksis dalam masyarakat Jawa.

Dalam konteks Islam Tradisi seperti itulah sesungguhnya Islam yang

dibawa dan diajarkan Walisongo. Semenjak menginjakkan kakinya di tanah

Jawa, Walisongo menyadari bahwa Islam yang ada di masyarakat Jawa

sangat kaya akan tradisi-budaya, ibarat “sepasang kekasih” yang saling

mendukung eksistensinya satu sama lain, sehingga mustahil untuk dipisahkan.

Menyadari akan adanya hal ini, Walisongo berinisiatif untuk menjadikan

tradisi-budaya sebagai media dakwah. 57

Walisongo yang merupakan ulama sentral di Jawa, selain sebagai guru,

mursyid, kyai, pembimbing rohani, juga adalah sebagai budayawan yang

berpandangan luas. Mereka memahami bahwa untuk mengubah pendirian

masyarakat Jawa terhadap kepercayaan Hindu-Budha, harus dilakukan dengan

cara yang baik, yaitu cara yang disukai oleh masyarakat Jawa, dengan tidak

mengusik secara paksa eksistensi budaya mereka. Untuk itu, strategi yang

dibangun Walisongo adalah ojo nabrak tembok (tidak menentang arus). Hal

ini dicontohkan misalnya dalam konteks wayang, Walisongo terutama Sunan

Kalijaga, telah memodifikasi bentuk dan cerita wayang, agar sesuai dengan

ajaran Islam. Walisongo berhasil merumuskan strategi dakwahnya secara

57
Muh. Fajar Shodiq, Harmonisasi Islam dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Tim
Gerbang Media Aksara, 2022), hlm.xiv

40
sistematis terutama tentang bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan

Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan sangat mapan.58

Kondisi masyarakat sebelum Walisongo masih kuat mengikuti tradisi

ajaran agama nenek moyang, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh ajaran

atau kepercayaan yang lain. Berbeda dengan pola dakwah sebelum Walisongo,

pada zaman Walisongo lebih menekankan pada pola mengenalkan budaya

baru di tengah institusi kuasa kerajaan, yaitu budaya agama Islam yang

berintegrasi dengan budaya lokal atau nilai-nilai kearifan lokal. Pada abad ke-

9 H/14 M, masyarakat Indonesia memeluk Islam dengan massal. Para pakar

sejarah berpendapat bahwa masuknya penduduk pribumi ke agama Islam

secara bersama-sama disebabkan ketika itu kaum muslimin telah memiliki

kekuatan besar dan penuh arti dengan ditandainya kehadiran beberapa

kerajaan Islam di Nusantara. Seperti kerajaan Aceh, Malaka, Demak, Cirebon

dan Ternate. Pesatnya Islamisasi saat itu juga disebabkan oleh surutnya

kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu Budha di Nusantara, seperti

Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.59

Strategi dakwah Wali Songo dalam mengembangkan ajaran Islam di

bumi Nusantara dimulai dengan berbagai langkah strategis diantara adalah:

Pertama, Tadrij (bertahap). Tentunya tidak ada ajaran yang diberlakukan

secara mendadak dan instan, pasti semuanya membutuhkan proses adaptasi.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan secara lahir terlihat bertentangan dengan

ajaran Islam. Misalnya, mereka dibiarkan minum tuak, makan babi, atau

58
KH. Said Aqil Siraj, Meneladani Strategi Kebudayaan Para Wali, dalam. Atlas Wali
Songo. Agus Sunyoto, (Jakarta: Pustaka Iman dan LESBUMI PBNU, 2016), hlm. x
59
Wahyu Ilaihi, Pengantar Sejarah Dakwah ( Cet. Ke- 4 , Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2018), hlm. 171

41
mempercayai para dayang dan sanghyang. Secara bertahap mereka itu

diluruskan. Kedua, ‘adamul haraj (tidak menyakiti), Para Wali Songo

membawa Islam tidak dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak

mengusik agama dan kepercayaan mereka, akan tetapi justru kehadiran Islam

yang dibawa oleh para Wali Songo mampu memperkuat tradisi-budaya

dengan cara yang Islami.

Para Wali Songo sadar betul bahwa kenusantaraan yang multietnis,

multibudaya, dan multibahasa ini bagi mereka adalah anugerah Allah Swt.

yang tiada tara. Begitu juga dengan kondisi alamnya yang ramah, memiliki

iklim tropis, tidak ekstrem. Ditambah dengan kehadiran keanekaragaman

hayati yang sangat kaya dengan sumber mineral. Ini yang oleh para Wali

Songo dipahami, sehingga mereka mensyukuri dengan tidak merusak

mengilangkan tradisi-budaya-bahasa, yang sangat pluralis ini atas nama Islam

dan sebagainya. Tentu saja anugerah yang agung ini patut disyukuri dengan

dilestarikan dan dikembangkan, bukan diingkari dengan dirusak dan

dihilangkan atas nama kemurnian agama atau atas nama kemodernan. Sebab

Islam hadir dibawa oleh Wali Songo justru merawat, memperkaya, dan

memperkuat budaya-tradisi-bahasa- Nusantara sehingga bisa berdiri sejajar di

samping peradaban dunia yang lain. Hal ini lah yang menjadikan strategi

dakwah Wali Songo sebagai manifestasi harmonisasi umat beragama.

2.2.2.2.3 Strategi Pengelolaan Harmonisasi Umat Beragama di Indonesia

Dalam memahami makna dan peran agama, setiap orang memiliki

perspektif yang pastinya berbeda satu sama lain. Dari dimensi ritual ibadah

42
misalnya, dimaknai sebagai bentuk pengabdian kepada Allah Swt. secara

mutlak dan totalitas serta berbuat baik sesama manusia dan makhluk lainnya

sebagai bentuk prilaku khalifah yang tunduk kepada sang khaliq. Perilaku

tersebut ada yang baik, ada yang buruk dan lainnya sebagai pengorbanan

untuk suatu keyakinan.60

Ajaran Islam merupakan ajaran yang kafah dan syumul. Islam

mengatur semua aspek kehidupan umat manusia, misalnya dalam aspek sosial,

politik, budaya, pendidikan, kesehatan dan yang lainnya tanpa terkecuali lini

kehidupan umat manusia diatur sedemikian rupa oleh Islam. Sebab dalam

Islam jaminan hidup tidak hanya untuk individu Muslim saja, akan tetapi

jaminan hidup juga dilakukan secara sosial dan kebersamaan sehingga

jaminan hidup akan terus berkelanjutan tanpa batas bagi penganutnya meliputi

kebebasan beragama bagi non-muslim. Hal ini sejalan dengan fakta sejarah

bahwa, agama Islam yang menunjukkan ragam kehidupan dan keyakinan yang

tidak menghalangi untuk hidup berdampingan antar pemeluk agama.61

Fakta sejarah menegaskan bahwa pada masa Rasul Saw. yang

kemudian dilanjutkan oleh generasi khulafa Rasyidin dan para sahabat-sahabat

lainnya, serta dinasti-dinasti Islam hingga hadirnya kerajaan-kerajaan Islam

yang telah mengharumkan citra Islam di mata dunia, relasi sosial antar tokoh

agama dilakukan dengan jalinan komunikasi yang baik (harmonis) dan

dipenuhi dengan sikap tangung jawab. Umat Islam menyakini kebenaran yang

dianutnya tetapi mereka tidak mengklaim kebenaran individu secara mutlak

60
Abdul Jamil Wahab, Manajemen Konflik Keagamaan Analisis Latar Belakang Konflik
Keagamaan Aktual (Cet I : Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014), hlm. 8
61
Firman Muhammad Arif, Maqashid As Living Law dalam Dinamika Kerukunan Umat
Beragama di Tana Luwu, ( Sleman: Deepublish, 2018), hlm. 3

43
yang dianutnya sehingga mereka menutup diri dengan pendapatnya dengan

kalimat hanya Allah Swt. yang Maha Tahu mana yang benar.62

Harmonisasi antar umat beragama hampir selalu digambarkan sebagai

tingkat kerukunan dalam menjalani relasi antara pemeluk agama, yaitu

umumnya antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama lainnya.

Hubungan antar umat beragama ini merupakan suatu kondisi yang bersifat

dinamis dan fluktuatif. Pada waktu tertentu hubungan dapat berjalan dengan

sangat harmonis, sementara di waktu lain dapat sebaliknya. Untuk itu,

pemahaman yang sungguh-sungguh tentang potret keharmonisan umat

beragama tidak bisa hanya diperoleh berdasarkan informasi sekilas pada

wilayah atau waktu tertentu, tetapi perlu dikonfirmasi dengan beberapa teori

para ahli, agar terlihat pola harmonisasi yang terjadi.63

Dibawah ini penulis jelaskan tentang beberapa strategi pengelolaan

harmonisasi umat beragama yang masih relevan untuk di implementasikan di

Indonesia yang penulis ambil dari berbagai perspektif.

2.2.2.2.3.1 Perspektif Siti Mas’udah

Dalam teori pranata sosial karakteristik keharmonisan masyarakat tidak

lepas dari kehidupan dalam bermasyarakat, dimana harmonisasi masyarakat

menjadi faktor penting dalam membangun karakter masing-masing individu

yang terlibat langsung di dalam pranata sosial itu sendiri. Ada beberapa hal

62
Abdul Jamil Wahab, Manajemen Konflik Keagamaan Analisis Latar Belakang Konflik
Keagamaan Aktual. hlm. 9
63
Abdul Jamil Wahab, Syariat Islam Dan Kerukunan Antar Umat Beragama Di Aceh.
Lihat. Monografi Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: LITBANGDIKLAT PRESS, 2019), hlm.
7

44
yang perlu diperhatikan dalam teori pranata sosial diantaranya yang dapat

dijadikan sebagai strategi pengelolaan harmonisasi umat beragama adalah:

2.2.2.2.2.3.1 Pranata Keluarga

Keluarga merupakan organisasi terkecil dalam kehidupan

bermasyarakat, dan setiap individu di dalamnya memiliki tugas atau peran

masing-masing dalam keluarga itu sendiri. Di dalam keluarga di ajarkan

bagaimana bersikap yang baik terhadap antar sesama individu, dan juga dalam

keluarga itu sendiri mempunyai fungsi-fungsi sebagai perlindungan, setiap

anggota keluarga mempunyai rasa saling menjaga satu sama lain antara

anggota keluarga. Fungsi pengawasan, keluarga menjadi pengawas setiap

perilaku yang di lakukan setiap anggota keluarga. Perilaku individu yang

dibentuk oleh keluarga tidak terlepas dari orang tua yang memaikan peran

penting dalam keluarga. Orang tua yang berpengetahuan luas dan mampu

mengelola emosi dengan baik akan dapat menjalankan fungsi keluarga secara

maksimal.64

2.2.2.2.2.3.2 Pranata Agama

Agama merupakan pedoman bagi setiap individu, dan menerima

semua konsekuen dari aturan-aturan yang telah di berikan oleh agama yaitu

melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Walaupun dalam kenyataanya di dalam kehidupan bermasyarakat ada yang

tidak mempunyai agama atau kepercayaan yang di sebut dengan atheis.

Pranata agama mempunyai fungsi-fungsi sebagai pedoman setiap individu


64
Siti Mas’udah, Sosiologi Keluarga: Konsep, Teori, dan Permasalahan Keluarga,
(Kencana: Jakarta, 2023), hlm. 11

45
dalam hubunganya dengan Tuhanya, antar sesama individu, dan lingkungan.

Dalam agama di ajarkan bagaimana memaknai dan menghayati hidup. Agama

juga menuntun terbentuknya moral masyarakat yang baik, mendukung

keutuhan sistem sosial, dan dapat menyatukan setiap individu baik secara

lahiriyah maupun simbolik, selain itu agama juga diartikan sebagai suatu yang

mampu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat,

demikian juga sebaliknya, perkembangan masyarakat membawa pengaruh

terhadap pola kehidupan beragama. Hal ini bukan berarti agama secara

subtansi mengalami perubahan, tetapi yang terjadi adalah perubahan

masyarakat dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama.65

Setidaknya dengan memperhatikan kedua pranata sosial diatas relasi

umat beragama dapat terjalin dengan harmonis, karena keluarga dan agama

merupakan pilar dapat menjadi strategi utama dalam mengelola keharmonisan

umat beragama.

2.2.2.2.3.2 Perspektif Abdurrahman Abdulkadir Kurdi

Mengatakan bahwa ciri dasar sistem politik Islam adalah berorientasi

pada ukhuwah (persamaan), ‘adalah (keadilan), hurriyah (kebebasan),

nasionalisme muslim, dan status non-muslim dibawah sistem Islam.66 Hal ini

sejalan dengan apa yang diajarkan dalam al-Qur’an, bahwa konsep

keberagaman dijelaskan di surat al-Isra’ ayat 73-75 yang mengajarkan tentang

prinsip kebersamaan, saling menghargai dan menghormati dengan non-

65
M. Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian : Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan
Beragama di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017),hlm. 8
66
Abdurrahman Abdulkadir Kurdi, The Islamic State A Study in The Islamic Holy
Constitution, hlm. 81

46
muslim yang begitu jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan

toleransi itu bukan berarti ikut melaksanakan ibadah pemeluk agama lain.

‫َوإن ََكدو ۟إ لَ َي ْف ِتنون ََك ع َِن ٱٱ ذ َِّل ٓى َٱ ْو َح ْينَآ إلَ ْي َك ِلتَ ْف َ َِت َى عَلَ ْينَا غَ ْ َْيهۥ ۖ َوإ ًذإ ذّلٱ ذَّتَذوكَ َخ ِل ًيل َولَ ْو ََل ٓ َٱن ثَبذتْنَ َٰ َك لَقَدْ ِك ذ‬
‫دت‬
ِ ِ ِ
‫ات ذُث ََل ََتِد َ ََل عَلَ ْي َنا ن َِص ًْيإ‬ِ ‫تَ ْر َكن إلَْيْ ِ ْم شَ ْي ًٔـا قَ ِل ًيل إ ًذإ ذ َّل َذ ْقنَ َٰ َك ِض ْع َف ٱٱلْ َح َي ٰو ِة َو ِض ْع َف ٱٱلْ َم َم‬
ِ ِ

“Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami

wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap

Kami, dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat

yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-

hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-

benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda sesudah di

dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu

tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami.”

Dapat diambil benang merah dari firman Allah Swt. diatas, bahwa

kandungan dari surat al-Isra’ ayat 73-75 tersebut menginformasikan dengan

menguatkan hati Rasul Saw. menetapkan perannya dengan menjaga kesucian

dari berbagai keburukan dan tipu daya orang-orang yang berbuat jahat

kepadanya. Terdapat di dalamnya pemahaman yang keliru mengenai konsep

keberagaman. Tawaran terhadap Rasul Saw. untuk sekedar duduk-duduk

bersama mereka, dan berjanji akan mengikuti dakwah Rasul Saw. akan tetapi

Allah Swt. membuka rahasia tentang potensi buruk jika mengikuti kemauan

pemeluk agama lain, hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam ayat 73 pada

surat al-Isra’ diatas. Jika sudah menjadi sahabat maka akan terasa sulit untuk

47
menolak ajakan-ajakannya, jika sudah terjadi hal itu tidak menutup

kemungkinan yang terjadi selanjutnya adalah menjerumuskan keyakinan.

Ketika memahami konsep damai yang diajarkan oleh Islam sebagaimana

yang termaktub dalam ayat diatas, maka konsep Islam jauh dari bibit-bibit

permusuhan, saling membenci, bermusuhan dan mencari kesalahan, sehingga

dapat di simplifikasi bahwa sikap toleransi dan saling menghargai merupakan

seruan dasar agama Islam. Itu artinya, umat Muslimin dapat dijadikan contoh

(role model) yang baik bagi bangsa-bangsa dunia sejak dulu sampai saat ini

dalam hal menjunjung tinggi sikap toleransi, tenggang rasa dan saling

menghormati satu sama lain. Selama kaum non-muslim masih bersedia hidup

berdampingan, memahami keadaan, masing-masing tidak membuat makar

terhadap akidah umat Muslimin serta mampu menjaga stabilitas kehidupan

sosial bernegara, tentu semua akan berjalan dengan harmonis relasi antar umat

beragama.67

2.2.2.2.3.3 Perspektif Muhammad Said al-‘Asymawi

Ia mengatakan bahwa prinsip dasar dalam beragama pada dasarnya

adalah berorientasi, mengarahkan dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.

Maka oleh karena itu, sejatinya agama tidak hanya terbatas pada letak

geografis tempat dan waktu serta dalam Negara saja, akan tetapi lebih dari

itu.68Artinya Islam tidak hanya menjelaskan ragam kewajiban individual

seperti membangun kepribadian yang Islami, penyucian jiwa dan bimbingan

67
Muhammad Ashri, Hukum Internasional dan Hukum Islam Tentang Sengketa dan
Perdamaian (Cet I : Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 186
68
Muhammad Said al-Asymawi, Ushul al-Syari’ah, diterjemahkan oleh Lutfi Tomafi
dengan judul : Nalar Kritis Syari’ah (Cet I: Yogyakarta, LKiS, 2004), hlm. 96-97

48
rohani namun juga Islam harus memainkan perannya dalam ketertiban

bermasyarakat. Islam senantiasa dilandaskan untuk menuntun manusia kepada

kebahagiaan yang hakiki yaitu kebahagian dunia dan akhirat.

2.2.2.2.3.4 Perspektif Bahrul Hayat

Kondisi ideal keharmonisan akan terwujud dalam kehidupan umat

beragama jika memiliki tiga komponen yaitu, pertama, sikap saling mengakui

dan menyadari pluralitas. Kedua, adanya sikap saling menghormati (toleransi).

Ketiga, adanya sikap saling bekerjasama (resiprokal). Bahrul Hayat juga

menjelaskan, untuk tercapainya stabilitas nasional, disamping

mengoptimalkan modal sosial, dibutuhkan kebijakan dan strategi lainnya yaitu

implementasi pembangunan yang berkeadilan dalam bidang politik, sosial,

ekonomi, dan pendidikan.69

2.2.2.2.3.5 Perspektif Zainal Abidin Bagir

Setidaknya ada tiga strategi pengelolaan keragaman agama menuju

masyarakat terintegrasi yaitu, pertama, politik rekognisi. Strategi ini terkait

dengan sejauh mana entitas-entitas yang plural dalam masyarakat termasuk

negara menghormati dan mengakui perbedaan dan keragaman agama. Kedua,

politik representasi. Representasi diperlukan untuk menghadirkan aspirasi

warga negara dalam ranah publik. Ketiga, politik restribusi. Strategi ini dalam

ranah kehidupan adalah dalam struktur ekonomi politik, yaitu siapa yang

69
Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama, (Jakarta: PT. Saadah Cipta
Mandiri, 2012), hlm. 160-161

49
menguasai dan memiliki apa? Apa yang dilakukan negara sebagai pelindung

rakyat.70

2.2.4 Konsep Perkawinan Beda Agama Sebagai Harmonisasi Umat Beragama

Seiring dengan perkembangan zaman, dan di era globalisasi yang modern

serta teknologi yang semakin canggih ini, banyak perkawinan yang tidak sesuai

dengan aturan dan hukum yang berlaku. Ikatan perkawinan tinggalah ikatan yang

tanpa makna dan harapan. Banyak masalah yang timbul dalam kehidupan

masyarakat tentang perkawinan beda agama. Meskipun sudah ada hukum

perkawinan nasional yang berfungsi untuk mengatur masalah perkawinan, namun

tidak bisa di pungkiri bahwa pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang

masih menggunakan aturan adat istiadat dari masing-masing agama ataupun

sukunya masing-masing. Sehingga dalam melangsungkan Perkawinan ada banyak

yang melanggar aturan hukum yang sudah di atur. Salah satu di antaranya ialah

Perkawinan beda agama.

Demi keberlangsungan terciptanya kesejahteraan bersama dalam

mengharmonisasikan umat beragama, maka dibutuhkan keperdulian dari seluruh

umat manusia sebagai makhluk beragama yang menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu rasa saling

memiliki dan saling memahami tentang makna dan hakikat hidup sangatlah

penting bagi manusia. Sebab dengan demikian akan mampu menumbuhkan rasa

perhatian serta keperdulian diantara satu dengan yang lain. Seperti memberikan

70
Zaenal Abidin Bagir,Pluralisme Kewargaan: Dari Teologi ke Politik, dalam
Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia. (Bandung: Mizan, 2011),
hlm.94

50
rasa aman sebagai bentuk jaminan sosial, agama, dan hak untuk hidup harmonis,

dan lain sebagainya.

Dalam mewujudkan harmonisasi hidup antar agama salah satu konsep

yang bisa ditempuh demi menghindari konflik tentang masalah perkawinan beda

agama adalah dengan cara dialog antar umat beragama yang di dalamnya

membahas tentang solusi atas masalah tersebut. Selain itu dalam hemat penulis,

ada beberapa konsep agar menjaga sekaligus mewujudkan harmonisasi umat

beragama dalam perkawinan beda agama yaitu:

a. Menghilangkan rasa curiga atau permusuhan terhadap pemeluk agama lain71

b. Tidak menyudutkan seseorang apabila melakukan kesalahan

c. Keharmonisan agama dapat terwujud dengan sempurna apabila adanya sikap

saling toleransi, memahami dan kesadaran tidak boleh untuk memaksakan

kehendak dalam menyakini suatu kepercayaan. Karena kebebasan beragama

adalah kebebasan setiap orang untuk mengamalkan agama yang menjadi

keyakinannya. Kebebasan beragama akan melahirkan sikap toleran dalam

kehidupan beragama. Sikap ini tidak akan pernah terwujud dalam masyarakat

yang tidak menghormati kebebasan untuk memeluk agama sesuai dengan

keyakinannya. Hal ini sejalan dengan apa yang di firmankan oleh Allah Swt.

dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256.

2.2.3 Perkawinan Beda Agama Sebagai Harmonisasi Umat Beragama

Perkawinan dalam perspektif Islam memiliki orientasi untuk harmonis.

Hal ini sejalan dengan apa yang difirmankan oleh Allah Swt. dalam QS. ar-

Rum ayat 21. Ayat ini memiliki spirit yang mengindikasikan bahwa

71
https://news.detik.com/berita/d-6285503/fkub-ungkap-3-hlm-ini-jadi-alasan-adanya-
penolakan-gereja-di-cilegon. diakses pada tanggal 10 Agustus 2023.

51
keharmonisan rumah tangga adalah merupakan tujuan utama dari perkawinan.

Salah satu indikasi keharmonisan suami-istri adalah apabila masing-masing

diantara mereka mampu menjadi rumah bagi satu sama lain. Itu artinya

diantara suami-istri bisa saling memahami, toleransi dan lain sebagainya

hingga menjadikan mereka tenang, nyaman. Sebab dalam hemat penulis salah

satu hikmah dari perkawinan yang dapat di ambil dari ayat diatas adalah

masing-masing pasangan (suami-istri) dapat mersakan ketenangan dengan

kehadiran yang lain, terutama saat dalam kondisi-keadaan di terpa oleh

berbagai problematika kehidupan.72 Terlebih problematika itu adalah

berbedanya keyakinan yang ada di dalam keluarga. Tentu ini bukan hal yang

mudah untuk dijalani, sebab perbedaan keyakinan yang ada tidak menutup

kemungkinan akan menghadirkan masalah baru jika tidak mampu disikapi

dengan bijaksana.

Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan beberapa langkah agar perkawinan

beda agama tetap harmonis sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Nurcholish

dalam bukunya sebagaimana berikut:

a. Sebelum melakukan perkawinan beda agama calon pasangan suami-istri harus

terlebih dahulu menyelesaikan pemahaman tentang menumbuhkan rasa

toleransi, empati, simpati.

b. Yakinlah bahwa pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan beda

agama memiliki masalah yang sama dengan mereka yang menikah seagama.

Artinya, perbedaan karakter, latar belakang, hobby, pendidikan, pekerjaan,

72
Syaikh Rasyid Ridha, al-Hayah az-Zaujiyyah, diterjemahkan oleh M.Syarif
Hidaytullah dengan Judul: Membangun Keluarga Samawa,(Jakarta: Turos, 2023), hlm. 12

52
penghasilan, tidak menutup kemungkinan menjadi pemicu dari polemik dalam

perkawinan.

c. Berumah tangga adalah merupakan seni dalam mengelola perbedaan. Sebab

yang namanya masalah pasti akan bertandang. Tidak perduli pasangan itu

seagama atau pun beda agama.

d. Memiliki kemampuan dalam menghadapi masalah, artinya pasangan suami-

istri yang melakukan perkawinan beda agama harus lebih bijak dalam

menyelesaikan masalah, bukan menghindarinya akan tetapi menghadapinya.

e. Terkait dengan pola mendidik anak, pasangan suami-istri yang melakukan

perkawinan beda agama bisa bersepakat dalam perjanjian. Misalnya jika anak

laki-laki ikut agama Ayah, jika anaknya wanita ikut agama Ibu. Ada juga

perjanjian lainnya, jika anak pertama ikut agama Ibu, dan anak kedua ikut

Ayah.73

Problematika perkawinan beda agama di Indonesia sudah berjalan lama tanpa

hambatan dan menimbulkan konflik sosial, bahkan perkawinan beda agama

menjadi salah satu wahana untuk terciptanya kesepahaman diantara masing-

masing pemeluk agama yang berawal dari ikatan cinta kasih sayang antar suami-

istrti dalam menjalani maligai rumah tangga perkawinan, menunju kerukunan dan

keharominsan antar umat beragama. Perkawinan beda agama dalam konteks

Indonesia tidak saja menjadi isu yang pelik dan rumit, namun juga dalam

perspektif doktriner disinyalir dapat menimbulkan saling curiga diantara umat

beragama, karena dianggap sebagai strategi untuk merekut umat baru sebagai

pengikut agama tertentu. Maka oleh karena itu diskursus tentang perkawinan beda

73
Ahmad Nurcholish, 101 Menjawab Masalah Nikah Beda Agama, (Tangsel: Harmoni
Mitra Media, 2012), hlm. 279

53
agama dalam konteks Indonesia seharusnya dilihat dari dimensi kerangka

kerukunan antar umat beragama yang proporsional.74

Dalam perspektif hukum agama Islam yang nanti akan penulis jelaskan,

terkait dengan hukum perkawinan beda agama, masih menjadi diskursus yang

menimbulkan silang pendapat, meskipun secara tegas fatwa MUI mengatakan

haram tentang pelaksanaan perkawinan tersebut. Namun faktanya, dengan fatwa

tersebut nyatanya sebagian masyarakat masih saja mengabaikan hukum tersebut

dan menempuh berbagai jalan untuk bisa melakukan perkawinan dengan

kekasihnya walaupun keyakinan mereka berbeda. Sehingga menghasilkan

keluarga beda agama. Hal ini akan mengakibatkan kesulitan penerapan agama

anak dan pendidikan akhlak pada anak. Realitas tersebut tentunya masih terjadi di

Indonesia dan akan terus terjadi, jika tidak dibuat payung hukum oleh pemilik

kebijakan hukum maka masalah terkait polemik perkawinan beda agama akan

terus berlangsung.

Berikut ini penulis jelaskan terkait beberapa faktor penyebab perkawinan beda

agama.75

1. Dalam realitasnya masyarakat Indonesia sangat heterogen.

Sebagaimana yang umumnya kita ketahui bahwa di Indonesia terdiri dari

berbagai macam-macam suku bangsa, juga adanya agama yang beraneka

ragam. Hal ini sangat berpengaruh dalam pergaulan sehari-hari, dalam

74
Lathifah Munawaroh, Harmonisasi Umat Beragama Melalui Pernikahan Beda Agama,
(Kudus: Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan,2017), Vol.5 No.1, hlm. 204-205
75
Hutapea, Bonar. “Dinamika Penyesuaian Suami-Istri Dalam Perkawinan Berbeda
Agama (The Dynamics Of Marital Adjustment In The Interfaith Marriage) dalam Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 16 No. 01. 5 Maret 2018. Jakarta, hlm. 111

54
kehidupan bermasyarakat, bergaul begitu erat dan tidak membedakan agama

yang satu dengan yang lainnya.

2. Rasa cinta yang mendalam terhadap kekasih

Alasan utama perkawinan beda agama adalah adanya rasa cinta dan kasih

sayang yang sangat kuat diantara pasangan, sehingga mereka merasa tidak ada

yang bisa memisahkan. Cinta yang seperti ini dapat membutakan hati dan

pikiran. Sebab bagi mereka cinta sejati harus dipersatukan tanpa

memperdulikan aturan agama dan perundang-undagan yang ada. Bahkan

mereka berkeyakinan bahwa rasa cinta yang ada mampu mengharmoniskan

perbedaan keyakinan mereka.

3. Pemahaman agama yang masih minimalis.

Pemahaman agama yang masih minimalis menjadikan salah satu faktor

penyebab perkawinan beda agama. Hal ini dikarenakan kurangnya pendidikan

agama sejak di rumah, disekoah atau pun di lingkungan masyarakat. Maka

oleh karena itu, hal ini menyebabkan banyak aturan, tuntunan agama yang

tidak diketahui sehingga anturan, tuntunan agama tersebut tidak di

implementasikan dengan baik dan merata. Misalnya dalam urusan

perkawinan, masih ada umat Islam yang belum atau tidak mengetahui bahwa

perkawinan beda agama itu tidak diperbolehkan. Atau mereka mengetahui

akan tetapi karena satu dan lain alasan mereka akhirnya melakukannya.

Bahkan dalam hemat penulis, larangan tentang perkawinan beda agama

samapai saat ini belum diajarkan disekolah atau pun universitas. Paling

55
banyak justru disosialisasikan oleh para penceramah di masjid agar tidak

melakukan hal itu.76

4. Hamil di luar Nikah

Tidak sedikit mereka pasangan muda-mudi atau bahkan di kalangan tua

melakukan hubungan seksual dalam kondiri diluar perkawinan yang sah

sehingga hal ini menjadikan hamil di luar nikah. Terlebih di era globalisasi

seperti ini. Peran Negara, lembaga pendidikan dan yang paling fundamental

adalah orang tua, keluarga untuk mencegah terjadinya hal demikian. Sebab

jika terlanjur hamil diluar ikatan perkawinan, ketentuan agama dan hukum

rumah tangga tidak lagi menjadi dasar dari perkawinan. Karena mereka akan

lebih berorientasi hanya untuk menutupi rasa malu anak yang tidak memiliki

ayah, meskipun agama mereka berbeda. Bahkan dibeberapa kasus ditemukan

bahwa kehamilan di luar nikah dilakukan dengan motif sengaja untuk

menekan berbagai pihak yang tidak menerima perkawinan beda agama.77

5. Komitmen pra nikah untuk bersikap toleransi terhadap agama masing-masing

pasca nikah.

Tidak jarang diantara pasangan yang akan melakukan perkawinan beda

agama membuat perjanjian, bahwa nanti disaat menjalani maligai rumah

tangga mereka komitmen untuk mampu mengimplementasikan nilai-nilai

toleransi.

6. Komitmen kebebasan anak dalam memilih agama

76
Abd. Halim Talli, Penundukan Hukum Dalam Pernikahan Beda Agama Perspektif
Hukum Islam (Studi Kasus di Tondon Mamullu Kecamatan Makale Kabupaten Tana Toraja),
Jurnal Qaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Keluarga, Vol. 4. No.3 Agustus 2023
77
Eka Cahyani Ikhwan, Penundukan Hukum Dalam Pernikahan Beda Agama Perspektif
Hukum Islam (Studi Kasus di Tondon Mamullu Kecamatan Makale Kabupaten Tana Toraja),
Jurnal Qaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Keluarga, Vol. 4. No.3 Agustus 2023

56
Begitu juga dengan komitmen untuk memberikan kebebasan pada anak

dalam memilih agama. Sebab mereka sama-sama memiliki pemahaman bahwa

tidak ada paksaan dalam hal keyakinan beragama.

7. Kurangnya pemahaman tentang hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia

sehingga menyamaratakan pemahaman tentang perkawinan dari berbagai

agama.

Selain faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan beda agama yang

sudah penulis jelaskan diatas. Perkawinan beda agama juga memiliki dampak.

Perkawinan beda agama mempunyai dampak hukum, bagi pasangan perkawinan

beda agama dinyatakan sah apabila dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil

setempat. Dengan sahnya perkawinan beda agama tersebut, maka akan

menimbulkan dampak hukum baik terhadap suami-istri, harta kekayaan maupun

anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, hal ini sebagaimana yang telah

diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.78 Berikut

ini penulis jelaskan tentang dampak dari perkawinan beda agama:

1). Dampak Perkawinan Beda Agama Terhadap Suami istri79

a. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah

tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).

b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).

78
Wedya Laplata, Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Yuridis (Studi
Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta), Jurisprudence, Vol. 4 No. 2 September 2014, hlm. 82
79
Nancy, Hubungan Nilai Dalam Perkawinan Dan Pemaafan Dengan Keharmonisan
Keluarga. Dalam Jurnal Psikodimensia Vol. 13 No.1, Januari – Juni 2014, hlm. 84 – 97

57
c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat2).

2). Dampak Perkawinan Beda Agama Terhadap Harta Kekayaan


a. Timbul harta bawaan dan harta bersama.
b. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap
harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.
c. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
3). Dampak Perkawinan Beda Agama Terhadap Anak
a. Kedudukan anak. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak
yang sah (Pasal 42) dan Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
b. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, Kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut
kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45), Anak wajib menghormati
orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik, dan Anak yang dewasa
wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas
sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).

2.2.5 Perkawinan Beda Agama Perspektif Hukum Islam

Perkawinan dalam perspektif Islam adalah merupakan ikatan suci dan

dipandang sebagai ibadah, sehingga perkawinan merupakan ibadah yang

pelaksanaanya sangat sakral. Dalam diskursus Islam perkawinan disebut sebagai

al-munakahat yang kajian ini dibahas khusus dalam berbagai literatur kitab fiqh.80

Dalam perspektif hukum Islam masih terjadi silang pendapat terkait dengan

hukum perkawinan beda agama antara seorang laki-laki Muslim dengan

perempuan non-Muslim, dalam bacaan penulis setidaknya dari pendapat para ahli

hukum Islam sementara ini ada yang mengatakan hukumnya Makruh dan ada

yang menyatakan Haram ada juga yang mengatakan Mubah. Sedangkan terkait

80
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ala Mazahib al-Arbaa’ah, juz 4, (Beirut: Dar-al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2014), hlm. 7

58
dengan hukum perkawinan beda agama antara perempuan Muslimah dengan laki-

laki non-Muslim para ahli hukum Islam bersepakat bahwa hukumnya adalah

Haram baik itu dari ahli hukum Islam klasik atau pun kontemporer.

Secara yuridis formal terkait dengan hukum dasar perkawinan beda agama

memang ada dari sebagian ahli hukum Islam yang mengatakan hukumnya boleh

(mubah), kendati demikian hukum perkawinan beda agama yang tadinya boleh

dapat berubah menjadi makruh dan bahkan haram. Atau bisa juga sebaliknya,

artinya meskipun hukum dasar perkawinan beda agama itu dihukumi haram oleh

sebagian ahli hukum fiqh, namun dalam keadaan tertentu bisa berubah menjadi

mubah, makruh dan atau bahkan menjadi wajib. Misalnya, perkawinan beda

agama yang dilakukan semata-mata karena terpicu cinta buta atau dipicu oleh

harta benda, atau bisa jadi motifnya karena semata-mata status sosial atau profesi.

Jika demikian kasus yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan beda agama

maka hukumnya menjadi makruh li at-Tahrim atau bahkan menjadi haram.81

Sedangkan terkait dengan silang pendapat tentang diksi musyrik yang ada

dalam QS. al-Baqarah ayat 221, dan term ahl al-kitab yang ada dalam QS. al-

Ma’idah ayat 5. Masing-masing ahli hukum Islam memiliki pendapat yang

berbeda. Sebagian ahli hukum Islam mengatakan bahwa yang dimaksud term

Musyrik dalam ayat 221 surat al-Baqarah adalah sebuah istilah yang digunakan

untuk menyebut orang-orang yang menyekutukan Allah Swt. dengan yang lain,

seperti patung atau pun beda sejenisnya (watsaniyah). Sementara sebagian yang

lainnya tidak mengatakan demikian. Term ahl al-kitab yang ada dalam QS. al-

81
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agma di Indonesia Telaah Syariah dan
Qanuniah, hlm. 169-170

59
Ma’idah ayat 5 meskipun dalam al-Qur’an memberi toleransi kepada laki-laki

Muslim untuk melakukan perkawinan dengan perempuan dari ahl al-kitab, akan

tetapi ulama mutaakhirin mengharamkan dengan alasan karena akidah ahl al-

kitab yang meyakini Isa adalah anak Allah Swt. sudah masuk dalam terminologi

musyrik.82 Tentunya silang pendapat yang terjadi diantara para ahli hukum Islam

berdasarkan argumentasinya masing-masing. Dibawah ini penulis jelaskan terkait

dengan cakupan makna antara ahl al-kitab, kafir, dan Musyrik.

2.2.5.1 Diskursus Tentang Ahl al-Kitab

Sebagai ajaran yang datang setelah agama-agama Ibrahim atau Semitik,

sudah barang tentu Islam harus memiliki konsep harmonisasi dan toleransi dalam

hal berinteraksi dengan agama-agama sebelumnya. Sebab Islam hadir tidak

sebagai realitas yang tunggal dan eksklusif dalam arus interaksi sosial. Terkait

dengan konsep ahl al-kitab dan problematikanya sangat relevan dengan kajian

perkawinan beda agama dan cukup banyak diungkap serta dielaborasi dalam al-

Qur’an. Maka untuk menguraikan tentang pengertian ahl al-kitab dan cakupan

maknanya seperti yang di informasikan dalam al-Qur’an penulis akan terlebih

dahulu menjelaskan secara terpisah dari dua kata tersebut, yaitu kata ahl dan al-

kitab.

Kata ahl yang terdiri dari tiga huruf yaitu alif, ba, dan lam yang secara

literal memiliki arti ramah, suka, atau senang.83 Kata ahl dapat juga diartikan

dengan orang yang tinggal bersama dalam suatu tempat tertentu. Sedangkan

82
Imron Rosyadi, Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam, (Kencana: Jakarta,
2022), hlm. 197
83
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1986), hlm.
20

60
dalam refrensi lain kata ahl juga dapat diartikan sebagai komunitas atau

masyarakat. Dari penjelasan tersebut kemudian kata ahl digunakan untuk

menunjuk kepada sesuatu yang memiliki hubungan yang sangat dekat. Sementara

dalam al-Qur’an kata ahl ini disebut sebanyak 125 kali. Dan kata tersebut

ditemukan penggunaannya secara bervariasi.

Selanjutnya terkait dengan kata al-kitab yang terdiri dari huruf kaf, ta’,

dan ba’ yang secara literal memberikan arti menghimpun sesuatu dengan sesuatu

yang lain. Term al-kitab kemudian berkembang dan diartikan sebagai tulisan.

Karena tulisan itu sendiri menunjukkan rangkaian dari beberapa huruf. Termasuk

juga firman Allah Swt. dan sabda Nabi Muhammad Saw. disebut dengan al-kitab

karena merupakan himpunan dari beberapa lafaz. Dalam al-Qur’an term al-kitab

ditemukan sebanyak 319 kali dengan berbagai bentuk pengertian yang bervariasi

diantaranya adalah memiliki arti tulisan, kitab, ketentuan, dan kewajiban.

Term al-kitab kemudian diartikan sebagai sesuatu hal yang menunjuk

kepada kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Rasul-Nya dengan

penggunaannya yang bersifat umum. Artinya term al-kitab yang menunjukkan arti

sebagai kitab suci mencakup semua kitab yang diturunkan oleh Allah Swt, baik

itu kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. atau kepada Nabi

sebelumnya. Maka dari penjelasan diatas penulis dapat mensimplifikasi bahwa

yang dimaksud dengan al-kitab adalah mengacu kepada komunitas atau kelompok

pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang diwahyukan oleh Allah Swt.

kepada Nabi-Rasul-Nya.

61
Diskursus tentang alh al-kitab perspektif al-Qur’an akan penulis jelaskan

disini agar mempermudah di dalam memhami tentang problematika perkawinan

beda agama. Term ahl al-kitab dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 31 kali yang

terdapat di dalam 9 surat, yang mana 8 surat turun di Madinah. Dan hanya 1 surat

yaitu al-Ankabut yang diturunkan di Makkah. Dari penjelasan tersebut dapat

dinyatakan bahwa diskursus dalam al-Qur’an tentang ahl al-kitab pada umumnya

diungkapan pada periode Madinah, dan sedikit sekali kajian tersebut dibahas di

periode Makkah. Hal ini dikarenakan pada periode Madinah interaksi antara umat

Islam dan ahl al-kitab khususnya Yahudi baru terjadi.

2.2.5.2 Silang Pendapat Diantara Ulama Tentang Batasan Ahl al-Kitab

Dalam diskursus hukum Islam terutama dalam lingkup Fiqh sudah umum

diketahui bahwa pasti terjadi silang pendapat diantara para ahli hukum.

Sebagaimana yang sudah penulis singgung diatas, jika dilihat dari konteks

interpretasi tentang makna ahl al-kitab maka mayoritas di circle (kalangan) umat

Islam akan mengatakan bahwa ahl al-kitab adalah Yahudi-Nasrani saja. Akan

tetapi di era kontemporer ini ada sebagian mufasir yang memasukkan Majusi

(Zoroaster) dan Shabi’in sebagai bagian dari ahl al-kitab.84 Hal ini sejalan dengan

al-Qur’an surat al-Hajj ayat 17.

َ ٰ ‫إّلل ي َ ْف ِصل بَيْنَ ْم ي َ ْو َم إلْ ِق ٰي َم ِِۗة ِإ ذن‬


‫إّلل‬ َ ْ ‫ٰصى َوإلْ َمج ْو َس َو ذ ِإَّل ْي َن َإ‬
َ ٰ ‫ْشك ْوْٓإ ۖ ِإ ذن‬ ‫ِإ ذن ذ ِإَّليْ َن ٰإ َمن ْوإ َو ذ ِإَّليْ َن هَاد ْوإ َو ذ‬
ٰ ٰ ‫إلصابِـ ْ َي َوإلنذ‬
ِ
‫َشء شَ هِ ْيد‬ َْ ‫ك‬ ٰ ِ ‫عَ ٰٰل‬

Andi Eka Putra, Konsep Ahl al-Kitab dalam al-Qur’an Menurut Penafsiran
84

Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid, (Jurnal: Al-Dzikra. Vol.X.No.1, 2016), hlm. 45

62
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin, orang

Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di

antara mereka pada hari Kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala

sesuatu.

Surat al-Hajj ayat 17 diatas oleh sebagian ulama kontemporer dijadikan

sebagai dasar bahwa al-Qur’an sendiri sebetulnya menyebut kalangan

Shabi’in dan Majusi sebagai komunitas dari ahl al-kitab. Sedangkan disisi

lain menyatakan bahwa agama seperti Majusi, Shabi’in apalagi Hindu,

Budha dan Konghucu bukanlah termasuk dari golongan ahl al-kitab.

Sementara itu M.Quraish Shihab yang mengutip pendapat al-Madudi

menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga

sebagai kitab suci samawi, maka mereka juga termasuk dalam pengertian ahl

al-kitab seperti orang-orang Majusi. Bahkan pada perkembangannya,

pendapat ini justru diperluas lagi oleh para mujtahid kontemporer sehingga

cakupannya meliputi agama Budha dan Hindu termasuk dari ahl al-kitab

sehingga hal ini memberikan implikasi hukum tentang kebolehan (halal) laki-

laki Muslim melakukan perkawinan dengan wanita-wanita pemeluk agama

tersebut.85

Untuk lebih memperjelas terkait dengan silang pendapat diantara

beberapa ahli tentang makna ahl al-kitab penulis menyebutkan beberapa

pendapat ahli sebagai berikut:

85
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan,), hlm.367

63
a. Imam Abu Hanifah

Terkait dengan makna dan cakupan ahl al-kitab Imam Abu

Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai

salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah Swt.

maka ia termasuk ahl al-kitab. Itu artinya dalam circle mazhab Imam Abu

Hanifah tidak membatasi bahwa yang dimaksud ahl al-kitab hanya

penganut agama Yahudi dan Nasrani saja.86

b. Imam as- Syafi’i

Bagi Imam as-Syafi’i terkait dengan arti ahl al-kitab hanya khusus

untuk agama Yahudi-Nasrani saja yang memiliki keturunan dari Bani

Israil. Sedangkan untuk bangsa lain jika tidak keturunan dari Bani Israil

meskipun beragama Yahudi-Nasrani tetap tidak termasuk kategori ahl al-

kitab.87

c. Imam al-Thabari

Imam al-Thabari yang merupakan ulama ahli tafsir terkemuka

memberikan perspektifnya terkait dengan permasalahan ini dengan

mengatakan bahwa dalam kitabnya Imam al-Thabari menjelaskan yang

dimaksud dengan ahl al-kitab adalah mereka yang memeluk agama

Yahudi-Nasrani baik itu dari keturunan Bani Israil atau pun tidak.88

d. Imam al-Syahrastani

Dalam perspektifnya bahwa pemeluk agama Yahudi-Nasrani yang

secara jelas memiliki kitab suci maka disebut sebagai ahl al-kitab.

86
Badran Abu al-‘Aynayn Badran, al-‘Alaqah al-Ijtima’iyah bayna al-Muslimin wa
Ghayr al-Muslimin, (Iskandariyah: Mu’assasah Syabab al-Jami’ah, 1984), hlm. 40-41
87
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm.366
88
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-
Qur’an, (Beirut-Lebanon,Mu’assasah al-Risalah,1994), Juz VI, hlm. 102

64
Sedangkan bagi pemeluk agama Majusi yang hanya memiliki kitab yang

serupa dengan kitab suci tidak termasuk dari ahl al-kitab, akan tetapi

mereka disebut dengan syibh ahl al-kitab.89

e. Ibn Hazm

Dalam kitabnya Ibn Hazm menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan ahl al-kitab adalah termasuk orang Majusi.90

f. Muhammad Abduh

Dalam kitab tafsirnya Muhammad Abduh memberikan pengertian

bahwa yang dimaksud dengan ahl al-kitab adalah meliputi umat Yahudi-

Nasrani, dan Shabiun.91 Apa yang disampaikan oleh Muhammad Abduh

ini sejalan dengan pendapatnya Abu al-‘Aliyah. Mereka berlandaskan

ayat 62 dari surat al-Baqarah.

َ‫إلصابِــ ْ َي َم ْن ٰإ َم َن ِِب ٰ ِّلل َوإلْ َي ْو ِم ْ ٰإَل ِخ ِر َو َ َِع َل َصا ِل ًحا فَلَه ْم َإ ْجر ْه ِع ْند‬ ٰ ٰ ‫ِإ ذن ذ ِإَّل ْي َن ٰإ َمن ْوإ َو ذ ِإَّل ْي َن هَاد ْوإ َوإلنذ‬
‫ٰصى َو ذ‬
ِ
.‫َر ِ ٰ ِّب ْم َو ََل خ َْوف عَلَْيْ ِ ْم َو ََل ْه َ َْي َ نز ْو َن‬

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-

orang Nasrani dan orang-orang sabi'in, siapa saja (di antara mereka)

yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan,

mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada

mereka, dan mereka tidak bersedih hati.

g. Maulana Muhammad Ali

Menyatakan bahwa kaum Kristen, Yahudi, Majusi, Budhis dan

Hindu (Shikh), semuanya termasuk dari ahl al-kitab. Meskipun dalam


89
Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm.209
90
Ibn Hazm, al-Muhalla,( Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz VI, hlm.445
91
Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Karim Juz Amma, (Kairo: Dar wa Mathabi’ al-
Sya’b, t.th), hlm.101

65
ajaran agama Kristen Yesus Kristus disebut sebagai Allah atau anak

Allah sehingga dapat disebut syirk, akan tetapi kaum Kristen

diperlakukan sebagai ahl al-kitab, bukan sebagai musyrik. Itu artinya,

semua bangsa yang memeluk agama yang pernah diturunkan oleh Allah

Swt, harus diperlakukan sebagai ahl al-kitab. Meskipun agama mereka

sekarang berbau syirk karena kesalahannya.92

h. Muhamamd Rasyid Ridha

Secara terang Rasyid Ridha menyatakan bahwa selain Yahudi-

Nasrani seperti Majusi, Shabi’un termasuk dari golongan ahl al-kitab.

Bahkan diluar dari itu Rasyid Ridha mengatakan termasuk golongan ah

al-kitab adalah agama Hindu, Budha, dan Shinto.93

2.2.5.3 Diskursus Tentang Pengertian Kafir dan Musyrik

Setelah menjelaskan tentang pengertian ahl al-kitab serta silang

pendapat diantara para ahli diatas, selanjutnya penulis akan menjelaskan

tentang pengertian Kafir dan Musyrik. Sebab dalam kajian ini (perkawinan

beda agama) terminologi Kafir atau Musyrik juga merupakan hal fundamental

selain terminologi ahl al-kitab. Dari informasi yang penulis temukan terutama

dalam al-Qur’an diperoleh bahwa predikat kafir terlihat secara eksplisit

diberikan kepada ahl al-kitab. Sementara untuk predikat Musyrik menjadi

samar-samar apa termasuk ahl al-kitab atau tidak. Sebab jika dilihat dari sikap

dan perilaku ahl al-kitab, ada indikasi mereka termasuk ke dalam cakupan

Musyrik. Akan tetapi hal tersebut tidak diungkapkan secara eksplisit dalam al-

92
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, terjemahan R. Kaelan dan M.Bahrun
dengan judul Islamologi(Jakarta: Ikhtiar Baru, 1977),hlm. 412
93
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al Ma’rifah, t.th),
Juz IV, hlm. 188-190

66
Qur’an. Maka dengan demikian wajar jika sementara ini para ahli al-Qur’an

masih silang pendapat terkait dengan posisi Musyrik tidaknya ahl al-kitab.94

Terjadinya perbedaan interpretasi dan pandangan terkait dengan hal ini,

juga berimplikasi terhadap hukum dalam konteks sosial kemasyarakatan yang

cukup jauh berbeda, yaitu perbedaan yang lahir sebagai akibat dari perbedaan

mengenai kedudukan ahl al-kitab dalam posisi Kafir atau Musyrik. Untuk

lebih jelas didalam memahami terminologi dan cakupan makna tentang Kafir

dan Musyrik, akan penulis jelaskan sebagai berikut:

a. Kafir

Secara literal, kata kafir memiliki akar kata yaitu kaf, fa’,ra’ yang

mempunyai arti “Menutupi”.95 Dari pengertian ini, maka muncul beberapa

ungkapan yang pada dasarnya dapat dikembalikan kepadanya, seperti

malam disebut kafir karena ia menutupi siang, petani disebut kafir karena

pekerjaannya menutupi benih dengan tenah, demikian juga dengan awan

disebut kafir karena ia menutupi matahari, bahkan tempat yang jauh dan

terisolisir dari keramaian juga disebut kafir karena keterisolirannya tempat

tersebut tertutup dari dunia luar.

Dalam bacaan penulis, term kafir dengan berbagai bentuk kata

jadiannya disebut sebanyak 525 kali di dalam al-Qur’an. Secara umum,

pengertian kafir yang tercantum dalam al-Qur’an dapat dikembalikan

pengertiannya kepada kebahasaan diatas. Misalnya: pertama, term Kafur

yang ada dalam QS. al-Insan ayat 5 muncul kata kafir yang diartikan

94
Muhammad Galib, Ahl al-kitab: Makna dan Cakupannya,(Yogyakarta:
IRCiSoD,2016), hlm.105
95
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif,
2020),hlm.1217

67
sebagai nama suatu mata air di surga yang airnya putih, baunya sedap serta

enak rasanya. Kedua, term Kuffar dalam bentuk jamak dari kata Kaffir

dalam QS. al-Hadid ayat 20 yang memiliki arti para petani. Ketiga, term

Kaffarah, yang berarti denda untuk penebus dosa atas kesalahan tertentu.

Term ini terdapat dalam QS. al-Ma’idah ayat 45, 89, dan 95. Dalam ayat

tersebut Kaffarah diberikan dalam bentuk sedekah atau berpuasa.

Keempat, term Kaffara-Yukaffiru, yang memiliki arti menutupi,

menghilangkan, atau menghapuskan. Tersebut didalam al-Qur’an kata itu

sebanyak 14 kali dan semuanya berkaitan dengan penghapusan dosa.

Dari penjelasan diatas dalam hemat penulis, dapat dipahami bahwa

term kufr dalam al-Qur’an tidak selamanya mengidikasikan kepada

pengertian pengingkaran terhafap Tuhan dan Rasul-Nya. Itu artinya,

perilaku kufr tidak selamanya datang dari orang-orang Ateis, Musyrik, dan

atau non-Muslim lainnya. Sebab tidak menutup kemungkinan orang yang

mengaku sebagai Muslim pun bisa saja terjerumus ke dalam perilaku kufr

dalam pengertiannya yang tertentu. Terkait dengan pengertian kufr seperti

yang dimaksud dari penjelasan terakhir diatas, diantaranya dijelaskan

dalam firman Allah Swt. pada surat Ibrahim ayat 7. Yaitu :

‫َو ِإ ْذ َتَ َ ذذ َن َ برُّ ُْك لَى ْن شَ َك ْر ُْت َ ََل ِزيْدَ نذ ُْك َولَى ْن َك َف ْر ُْت ِإ ذن عَ َذ ِ ْإِب لَشَ ِديْد‬
ِ ِ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu

bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika

kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”

68
Ayat diatas mengindikasikan bahwa orang yang menutup-nutupi

nikmat Allah Swt. atau tidak berterimakasih atas nikmat yang

dianugerahkan oleh Allah Swt. kepadanya dalam hidup ini, maka orang

tersebut termasuk kategori kufr nikmat. Maka kufr dalam konteks ini bisa

saja terjadi kepada orang-orang yang beriman sekalipun.96 Sedangkan

dalam perspektif terminologi hukum, term kufr tidak disepakati oleh para

ulama terkait batasannya. Hal ini disebabkan karena masih terjadinya

silang pendapat terkait dengan batasan iman. Misalnya, batasan yang di

jelaskan oleh circle Asy’ariyah, yang mengatakan bahwa iman diartikan

sebagai pembenaran terhadap Rasul Saw. dan ajaran-ajaran yang

dibawanya. Sedangkan kufr adalah kebalikan dari itu, yakni mengingkari

atau mendustakan terhadap ajaran-ajaran yang dibawanya.97

Sedangkan terkait dengan penggunaan term kufr yang diartikan

sebagai lawan dari iman disebutkan sebanyak 232 kali dalam benuk fi’il

madly, (kata kerja bentuk lampau) di dalam al-Qur’an. Dan hal yang

dimaksud dalam bentuk masa lampau ini menunjuk antara lain orang-

orang yang telah berbuat kufr, baik itu dari umat terdahulu (yaitu sebelum

diutusnya Nabi Muhamamd Saw), ataupun yang hidup di masa turunnya

al-Qur’an. Secara ekplisit, ahl al-kitab teridentifikasi dalam QS. surat al-

Bayyinah ayat 1 sebagai orang-orang kafir (al-ladzina kafaru)

sebagaimana orang-orang Musyrik.

96
Muhammad Galib, Ahl al-kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 106-108
97
Abu Hamid al-Ghazali, Fayshal al-Tafriqah dalam al-Qusur al-‘Awali, (Kairo: Dar al-
Thaba’ah al-Muhammadiyyah, 1930 H), hlm. 128

69
Dalam perspektif Syaikh Wahbah Zuhaily ketika menginterpretasikan

term kufr dalam ayat tersebut ia mengatakan bahwa mereka orang-orang

yang menentang dan menolak kerasulan Muhammad Saw.98 Itu artinya

kekafiran ahl al-kitab yang dijelaskan dalam ayat diatas sama halnya

dengan kekafiran yang melekat pada orang-orang Musyrik, yaitu sama-

sama menolak dan menentang ajaran Rasul Muhammad Saw.

Dalam al-Qur’an juga dijelaskan selain pengungkapan term kufr

menggunakan bentuk fi’il madli, ternyata juga diungkapkan dalam bentuk

fi’il mudlari’ yaitu kata kerja bentuk sedang dan akan datang. Hanya saja

implementasinya jika term kufr berbentuk fi’il mudlari’ tidak selamanya

mengindikasikan peristiwa yang sedang dan akan terjadi. Karena

terkadang suatu peristiwa yang sudah lampau, diungkap kembali dengan

menggunakan kata kerja fi’il mudlari’.

Selain dari dua yang sudah penulis jelaskan diatas, term kufr dalam al-

Qur’an juga dijelaskan dengan bentuk masdar (infinitif) sebanyak 40 kali.

Yang pada dasarnya, term kufr dalam bentuk ini mengindikasikan makna

lawan dari iman, misalnya seperti yang ada dalam surat al-Nisa’ ayat 155.

‫إّلل َوقَ ْت ِلهِم ْ َإّلنْ ِب َيا َء ِبغ ْ َِْي َح ٰق َوقَ ْو ِلهِ ْم قلوب َنا غ ْلف ب َ ْل َط َب َع ذإّلل عَلَْيْ َا بِك ْف ِر ِ ْه‬
ِ ‫فَ ِب َما ن َ ْق ِضهِ ْم ِميثَاقَه ْم َوك ْف ِر ِ ْه ِبآ ٓ ََي ِت ذ‬
‫لا‬ َ ‫فَ َل ي ْؤ ِمن‬
ً ‫ون إ ذَل قَ ِلي‬
ِ
Maka (Kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan), disebabkan

mereka melanggar perjanjian itu, dan karena kekafiran mereka terhadap

keterangan-keterangan Allah dan mereka membunuh nabi-nabi tanpa

98
Wahbah Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1991), juz XXX, hlm.341

70
(alasan) yang benar dan mengatakan: "Hati kami tertutup". Bahkan,

sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya,

karena itu mereka tidak beriman kecuali sebahagian kecil dari mereka.

Ayat diatas mengindikasikan sikap dan perilaku orang-orang Yahudi

yang sangat buruk. Mereka tidak hanya menolak dalam hal percaya kepada

ayat-ayat Allah Swt. akan tetapi juga melanggar perjanjian dengan-Nya.

Bahkan juga membunuh rasul yang diutus kepada mereka. Terakhir term

kufr dalam al-Qur’an juga ada yang berbentuk isim fa’il yaitu kata kerja

benda yang berarti pelaku diungkapkan sebanyak 175. Terkait dengan

term kufr yang berbentuk isim fa’il ini menunjukkan tiga cakupan hal

sekaligus, yaitu adanya peristiwa, terjadinya peristiwa dan pelaku dari

peristiwa itu sendiri. Itu artinya term kufr dalam bentuk isim fa’il cakupan

maknanya lebih komplit dibandingkan dengan kekafiran yang diungkap

dalam bentuk lainnya, karena predikat yang diberikan itu lebih melekat

atau permanen.99

Dari keterangan diatas penulis dapat mensimplifikasikan bahwa yang

dimaksud dengan term kufr secara umum dalam konteks kekafiran ahl al-

kitab terletak pada keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah Swt. Hal

ini sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat, 70,

98,dan 99. Perubahan terhadap ajaran dasar nabi dan rasul yang dibawa

kepada mereka. Ini sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat al-

Ma’idah ayat 73. Pelanggaran terhadap janji yang telah mereka ikrarkan

terhadap Allah Swt. hal ini seirama dan sejalan dengan al-Qur’an surat al-

99
Muhammad Galib, Ahl al-kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 109

71
Nisa’ ayat 225. Serta pengingkaran mereka terhadap ajaran yang dibawa

oleh Rasul Muhammad Saw. yang mana hal ini relevan dengan surat al-

Baqarah ayat 89 dan surat al-Ma’idah ayat 59.100

b. Musyrik

Kata Musyrik merupakan isim fa’il dari asyraka, yusyriku, isyrakan

yang secara literal memiliki makna menjadikan “seseorang atau sesuatu

sebagai sekutu”.101Sedangkan term syirk jika dilihat dari perspektif

terminologi diartikan sebagai “membuat atau menjadikan sesuatu selain

Allah sebagai tambahan obyek pemujaan, dan atau tempat untuk

menggantungkan harapan dan dambaan.”102

Term syirk terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 168 kali dengan

berbagai bentuk kata jadiannya. Dan pengertian yang terkandung di

dalamnya, secara umum dapat dikembalikan kepada arti kebahasaan. Itu

artinya, tidak semua term yang berasal dari kata dasar syaraka mencakup

makna mensekutukan Allah Swt. Meskipun memang term itu yang paling

banyak dipakai dalam al-Qur’an. Dalam hemat penulis, di dalam al-Qur’an

term syirk yang berbentuk fi’il madli (kata kerja lampau) disebut sebanyak

18 kali dan kesemuanya mengindikasikan pengertian tentang

mensekutukan Allah Swt. dan perbuatan tersebut tergolong sebagai dosa

besar, karena perbuatan tersebut termasuk pengingkaran terhadap ke-Esa-

an Allah Swt, baik itu dari segi sifat, dzat, ataupun perbuatan-Nya. Terkait

100
Muhammad Galib, Ahl al-kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 110
101
A.W Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2020),hlm.715
102
Muhammad Galib, Ahl al-kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 111-112

72
dengan diskurus apakah ahl al-kitab mencakup juga Musyrik, maka dapat

penulis jelaskan sebagaimana berikut.

Bahwa dalam al-Qur’an terdapat kalimat al-ladzina asyraku (orang-

orang yang berbuat syirk) yang ditemukan dalam tiga ayat yang ketiganya

mengindikasikan makna berbeda antara komunitas ahl al-kitab dan

Musyrik. Yaitu pada ayat ke-186 dalam surat Ali Imran, pada surat al-

Ma’idah ayat 82, dan pada ayat ke-17 dalam surat al-Hajj. Dari tiga ayat

tersebut mereka yang teridentifikasi sebagai orang-orang Musyrik adalah

mereka yang menyembah berhala, meskipun mereka juga mengakui

keberadaan Allah Swt. Hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam surat

Yasin ayat 38 dan surat al-Zukhruf ayat 9. Sedangkan terkait dengan term

syrik yang berbentuk kata kerja fi’il mudlari di dalam al-Qur’an disebut

sebanyak 52 kali, yang cakupan maknannya menunjukkan kepada

perbuatan mensekutukan Allah Swt.

Sementara itu term syrik yang berbentuk isim masdar dalam Qur’an

disebut sebanyak 5 kali, dua kali menjelaskan makna syrik yaitu dalam

QS. Luqman ayat 13, dan surat Fathir ayat 14. Untuk tiga lainnya hanya

menunjukkan pengertian keterlibatan dalam suatu pekerjaan, yaitu pada

ayat ke-22 surat Saba’, surat Fathir ayat 40, dan surat Ahqaf ayat 4. Selain

itu dalam al-Qur’an term syrik juga disebutkan dalam bentuk fi’il amr

(perintah) disebutkan sebanyak dua kali. Terdapat juga dalam bentuk isim

fa’il term syrik disebut dalam al-Qur’an sebanyak 51 kali, dan dua kali

diantaranya disebutkan dengan bentuk musyrik. Yaitu dalam QS. al-

Shaffat ayat 33, dan QS. al-Zukhruf ayat 39. Kedua ayat ini tidak

73
bermakna syrik akan tetapi mengindikasikan makna orang-orang kafir

termasuk kedalam golongan orang-orang musyrik. Sedangkan sisanya

yang berjumlah 49 kali diantaranya diungkapkan dengan bentuk musyrik,

baik itu dalam bentuk tunggal atau jamak semuanya menjelaskan tentang

makna orang-orang Musyrik.103

Sebagaimana yang penulis jelaskan diatas bahwa secara tegas al-

Qur’an memberikan perdikat kafir kepada ahl al-kitab. Sedangkan para

ulama sepakat bahwa kekafiran mereka dilihat dari aspek aqidah Islam.

Dan mereka bersilang pendapat untuk memposisikan mereka kedalam

konteks syirk, serta implikasi hukumnya. Hal ini sejalan dengan apa yang

disampaikan oleh al-Razi bahwa, masih terjadi silang pendapat diantara

para ulama tentang term Musyrik, apakah orang-orang kafir dari circle

(kalangan) ahl al-kitab tercakup dalam Musyrik atau tidak. Ada sebagian

ulama yang menyatakan bahwa mereka (orang-orang kafir dari ahl al-

kitab) bukan termasuk kategori Musyrik. Sedangkan disisi lain mayoritas

ulama mengatakan bahwa term Musyrik juga mencakup pula orang-orang

Kafir dari kalangan ahl al-kitab.104

Beberapa ayat yang mendukung pendapat mayoritas ulama diatas

adalah ayat 30-31 dalam surat al-Taubah. Yang mana dalam perspektif al-

Razi ayat ini secara tegas menyebutkan bahwa ahl al-kitab (Yahudi-

Nasrani) sebagai Musyrik. Akan tetapi dalam hemat penulis, apa yang

menjadi kesimpulan dari pendapat al-Razi ini termasuk argumentasinya

103
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2014),hlm. 291
104
Muhammad Galib, Ahl al-kitab: Makna dan Cakupannya, hlm.113. lihat juga dalam
Tafsir al-Kabir, Fahr al-Razi, (Beirut: Dal al-Fikr,1985), hlm.59-60

74
yang didukung dengan ayat diatas yang menyatakan bahwa ahl al-kitab

termasuk Musyrik masih kurang tepat. Sebab ayat 30-31 dalam surat al-

Tuabah itu tidak secara ekplisit memberikan predikat Musyrik kepada ahl

al-kitab. Mereka hanya diidentifikasi melakukan perbuatan syirk, dan

tidak secara otomatis mereka disebut Musyrik. karena dalam ayat tersebut

menggunakan kata kerja mudlari’ dan bukan bentuk isim fa’il.105

Sedangkan alasan lain yang dapat melemahkan pendapat al-Razi diatas

adalah bahwa term Musyrik bisa juga ditunjukan kepada orang-orang yang

memang menganut paham Politeisme. Padahal ajaran dasar ahl al-kitab

adalah Monoteisme.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Harun Nasution bahwa, pada

mulanya, Yahudi, Kristen dan Islam itu sama-sama agama yang memiliki

dasar keyakinan dan Tauhid atau ke-Esa-an Tuhan. Dalam terminologi

modern disebut dengan istilah Monoteisme.106 Selain itu argumentasi

hukum yang disampaikan oleh al-Razi diatas juga dirasa lemah jika

dibenturkan dengan misalnya ayat ke-105 dalam surat al-Baqarah, surat ali

Imran ayat 186, surat al-Hajj ayat 17, dan ayat ke 1 dan 6 pada surat al-

Bayyinah yang mana secara eksplisit membedakan makna antara Musyrik

dan ahl al-kitab.

2.2.5.4 Perkawinan Beda Agama Perspektif Al-Qur’an

Dalam perspektif al-Qur’an ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang

hukum perkawinan beda agama diantaranya adalah:

a. QS. al-Baqarah ayat 221

105
Muhammad Galib, Ahl al-kitab: Makna dan Cakupannya, hlm. 113
106
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI-Press, 1985), jilid 1.
hlm. 22

75
ِ ْ ‫ْش َكة ذولَ ْو َإ ْ َْع َب ْت ُْك َو ََل ت ْن ِكحوإ إلْم‬
‫ْش ِك ْ َي َح ّٰت‬ ِ ْ ‫َو ََل تَ ْن ِكحوإ إلْم‬
ِ ْ ‫ْش ٰك ِت َح ّٰت ي ْؤ ِم ذن ِۗ َو َ ََل َمة ُّم ْؤ ِمنَة خ َْْي ِ ٰم ْن ُّم‬

‫ْشك ذولَ ْو َإ ْ َْع َب ُْك ِۗ إولٰٰۤى َك يَدْ ع ْو َن ِإ ََل إلنذا ِر ۖ َو ٰإّلل يَدْ ع ْوْٓإ ِإ ََل إلْ َجنذ ِة َوإلْ َم ْغ ِف َر ِة‬ ِ ْ ‫ي ْؤ ِمن ْوإ ِۗ َولَ َع ْبد ُّم ْؤ ِمن خ َْْي ِ ٰم ْن ُّم‬
ِ
‫ِ ِِب ْذ ِن ٖه َوي َب ِ ٰي ٰإيٰتِ ٖه ِللنذ ِاس لَ َعلذه ْم ي َ َت َذ ذكر ْو َن‬

Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka

beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik

daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan

janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan

yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki

yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik

hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga

dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya

kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.

b. QS. al-Mumtahanah ayat 10

‫ٰ ٓ ََيُّيُّ َا ذ ِإَّل ْي َن ٰإ َمن ْوْٓإ ِإ َذإ َج ٰۤا َءك إلْم ْؤ ِمنٰت مهٰجِ ٰرت فَا ْمتَ ِحن ْوه ذ ِۗن َإ ّٰلل َإ ْع َل ِ ِِبيْ َماِنِ ِ ذن فَ ِا ْن عَ ِل ْمتم ْوه ذن م ْؤ ِمنٰت فَ َل‬

ٓ ‫تَ ْرجِ ع ْوه ذن ِإ ََل إلْكفذا ِِۗر ََل ه ذن ِحل لذه ْم َو ََل ْه َ َِيل ُّ ْو َن لَه ذ ِۗن َو ٰإت ْو ْه ذما ٓ َإنْ َفق ْوإ ِۗ َو ََل جنَ َاح عَلَ ْي ُْك َإ ْن تَ ْن ِكح ْوه ذن ِإ َذإ‬

ِۗ ‫إّلل ِۗ َ َْيُك بَيْنَ ُْك‬


ِ ٰ ‫ٰإتَيْتم ْوه ذن إج ْو َره ذ ِۗن َو ََل ت ْم ِسك ْوإ ِب ِع َص ِم إلْ َك َوإ ِف ِر َو ْس َـل ْوإ َما ٓ َإنْ َف ْق ْت َولْي َْس َـل ْوإ َما ٓ َإنْ َفق ْوإ ِۗ ٰذ ِل ُْك ح ُْك‬

‫َو ٰإّلل عَ ِل ْي َح ِك ْي‬

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan

mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji

(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;

jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka

76
janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-

suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-

orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami)

mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu

menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan

janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan

perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar

yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka

meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya

yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di

antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

c. QS. al-Ma’idah ayat 5

‫َوإلْم ْح َصنٰت ِم َن إلْم ْؤ ِمن ِٰت َوإلْم ْح َصنٰت ِم َن ذ ِإَّل ْي َن إ ْوتوإ إلْ ِك ٰت َب ِم ْن قَ ْب ِل ُْك ِإ َذإ ٓ ٰإتَيْتم ْوه ذن إج ْو َره ذن م ْح ِصنِ ْ َي غَ ْ َْي‬

‫م َسا ِف ِح ْ َي َو ََل متذ ِخ ِذ ْ ٓي َإخْدَ ِۗإن‬

Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga

kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan

perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang

yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin

mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk

menjadikan perempuan piaraan.

77
d. QS. al-Baqarah ayat 105

‫ْش ِك َي َٱن ي َ ذن َل عَلَ ْيُك ِ ٰم ْن خ َْْي ِ ٰمن ذربٰ ُِْك ِۗ َوٱٱ ذّلل َ َْي َت ُّص ب َِر ْ َْح ِت ِهۦ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬
ِ ْ ‫ذما ي َ َو ُّد ٱ ذ َِّل َين َك َفرو ۟إ ِم ْن َٱهْلِ ٱلْ ِك َت َٰ ِب َو ََل ٱلْم‬

‫َمن ي َشَ آء َوٱٱ ذّلل ذو ٱٱلْفَضْ لِ ٱٱلْ َع ِظ ِي‬

Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada

menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.

Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi)

rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.

e. QS. al-Bayyinah ayat 1

ِ ْ ‫لَ ْم يَك ِن ذ ِإَّل ْي َن َك َفر ْوإ ِم ْن َإهْلِ إلْ ِك ٰت ِب َوإلْم‬


‫ْش ِك ْ َي م ْن َف ِكٰ ْ َي َح ّٰت تَآ ِتْيَ م إلْ َب ِي ٰنَة‬

Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang

musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada

mereka bukti yang nyata.

f. QS. al-Bayyinah ayat 6

ُّ َ ‫ْش ِك ْ َي ِ ْف َنَ ِر َ ََجّنذ َ خ ِ ِِٰل ْي َن ِفْيْ َاِۗ إو ٰلٰۤى َك ْه‬


‫ْش إلْ َ َِبي ذ ِِۗة‬ ِ ْ ‫ِإ ذن ذ ِإَّليْ َن َك َفر ْوإ ِم ْن َإهْلِ إلْ ِك ٰت ِب َوإلْم‬
ِ
Sungguh, orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-

orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di

dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk.

g. QS. an-Nisa’ ayat 25

‫إلْم ْح َصنٰ ِت إلْم ْؤ ِمن ِٰت فَ ِم ْن ذما َملَ َك ْت َإيْ َمان ُْك ِ ٰم ْن فَ َت ٰيتُِك إلْم ْؤ ِمن ِ ِٰۗت َو ٰإّلل َإ ْع َل ِ ِِبيْ َما ِن ُْك ِۗ ب َ ْعض ُْك ِ ٰم ْن ب َ ْعض‬

ٓ ‫فَانْ ِكح ْوه ذن ِ ِِب ْذ ِن َإ ْه ِله ذِن َو ٰإت ْوه ذن إج ْو َره ذن ِِبلْ َم ْعر ْو ِف م ْح َصنٰت غَ ْ َْي م ٰس ِف ٰحت ذو ََل متذ ِخ ٰذ ِت َإخْدَ إن فَ ِا َذٱ‬

78
‫َش إلْ َع َن َت ِمنْ ُْك ِۗ َو َإ ْن‬ ِۗ ِ ‫إ ْح ِص ذن فَ ِا ْن َإت ْ ََي ِب َفا ِحشَ ة فَ َعلَْيْ ِ ذن ِن ْصف َما عَ َٰل إلْم ْح َصنٰ ِت ِم َن إلْ َع َذ‬
َ ِ ‫إب ٰذ ِ ََل ِل َم ْن خ‬

‫ت َْص َِب ْوإ خ َْْي ل ذ ُْك ِۗ َو ٰإّلل غَف ْور ذر ِح ْي‬

Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi

perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi

perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah

mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang

lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka

dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena

mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan

pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain

sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami),

tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka

setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak

bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-

orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan

zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha

Pengampun, Maha Penyayang.

h. QS. an-Nisa ayat 141

ِ ٰ ‫ذ ِإَّل ْي َن ي َ َ ََتبذص ْو َن ب ُِْك ِۗ فَ ِا ْن ََك َن لَ ُْك فَ ْتح ِ ٰم َن‬


‫إّلل قَال ْوْٓإ َإلَ ْم نَك ْن ذم َع ُْك ۖ َوإ ِْن ََك َن لِ ْل ٰك ِف ِر ْي َن ن َِصيْب قَال ْوْٓإ َإلَ ْم ن َ ْس تَ ْح ِو ْذ‬

‫عَلَ ْي ُْك َون َ ْم َن ْع ُْك ِ ٰم َن إلْم ْؤ ِم ِن ْ َي ِۗ فَ ٰاّلل َ َْيُك بَيْنَ ُْك ي َ ْو َم إلْ ِق ٰي َم ِة ِۗ َولَ ْن ذ َّْي َع َل ٰإّلل لِ ْل ٰك ِف ِر ْي َن عَ َٰل إلْم ْؤ ِم ِن ْ َي َس ِب ْي ًل‬

(yaitu) orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada

dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka berkata,

“Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?” Dan jika orang kafir

79
mendapat bagian, mereka berkata, “Bukankah kami turut

memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?” Maka Allah

akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak

akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang

beriman.

2.2.5.5 Perkawinan Beda Agama Perspektif Hadits

a. Hadits Tentang Perkawinan Zainab dan Abu al-As ibn al-Rabi’

‫ « َٱ ْسلَ َم ْت َزيْنَب ِبنْت‬:‫ ع َِن إ ْب ِن َع ذباس قَا َل‬،‫ ع َْن ِع ْك ِر َم َة‬،‫ ع َْن دَإو َد ْب ِن إلْح َص ْ ِي‬،‫ع َْن إ ْب َرإ ِه َي ْب ِن م َح ذمد‬
ِ
‫ فَآَقَ ذر َُها إلنذ ِ ُّب ﷺ عَ َٰل‬،‫ ذُث َٱ ْس َ َل ب َ ْعدَ َذ ِ ََل‬،- ‫ْش ًَك‬
ِ ْ ‫ م‬:‫ ي َ ْع ِن‬- ِ ‫ َو َز ْوَجَا إلْ َعاص ْبن ذإلربِيع‬،‫إلنذ ِ ِ ٰب ﷺ‬

»‫ِن ََك ِ ِِح َما‬

‘Abd al-Razzāq dari Ibrāhīm ibn Muḥammad dari Dāwud ibn Ḥuṣain

dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbās berkata: Telah masuk Islam Zainab

putri Nabi Saw dan suaminya Abū al-‘Aṣ ibn Rabīʻ – yakni musyrik –

kemudian sesudah itu ia masuk Islam, lalu Nabi mengakui atas

pernikahan mereka.

ِ ‫ ع َْن َع ْب ِد ذ‬،‫ ع َْن َٱبِي ِه‬،‫ ع َْن َ َْع ِرو ْب ِن ش َع ْيب‬،َ‫ ع َِن إلْ َح ذجاجِ بْ ِن َٱ ْر َطآَة‬،‫ع َْن َْح ْيد‬
:‫إّلل ْب ِن َ َْعرو قَا َل‬

‫ ذُث َٱ ْس َ َل فَ َر ذدهَا إلنذ ِ ُّب ﷺ ِبنِ ََكح‬،‫« َٱ ْسلَ َم ْت َزيْنَب إبْنَة إلنذ ِ ِ ٰب ﷺ قَ ْب َل َز ْو َِجَا َٱ ِِب إلْ َع ِاص ب َِس نَة‬

107»‫ج ِديد‬
َ

Abd al-Razzāq dari Ḥumaid dari al-Ḥajjāj ibn Arṭa’ah dari ‘Amr ibn

Shuʻaib dari Ayahnya dari ‘Abdullah ibn ‘Amr berkata: Telah masuk

107
Al-Ḥāfiẓ al-Kabīr Abī Bakr ‘Abd al-Razzāq ibn Hammām al-Ṣan’ānī, al-Muṣannaf,
(Beirut: Majlis Ilmi, t.th.), jilid. 7, hlm. 168

80
Islam Zainab putri Nabi Saw sebelum berpisah dengan suaminya ‘Abī

al-‘Āṣ, kemudian ‘Abī al-‘Āṣ masuk Islam, maka Nabi Saw

mengembalikannya dengan pernikahan yang baru.

b. Penjelasan tentang Hadits

Hadits diatas dalam bacaan penulis termasuk hadist yang

kontroversi. Meskipun demikian hadits diatas yang menjelaskan

tentang perkawinan antara Zainab binti Rasul Muhammad Saw. yang

menikah dengan Abu al-Ash saat itu masih non-Mulim, ada yang

berpendapat bahwa perkawinan mereka diulang setelah Abu al-Ash

masuk Islam. Sedangkan disisi lain ada juga yang berpendapat bawah

perkawinan mereka tidak diulang sekalipun Abu al-Ash sudah masuk

Islam. Dalam hemat penulis terkait hadits diatas merupakan kategori

Munqati’ karena terdapat seorang mukharrij yang tidak semasa yaitu

Humaid yang mana ia meriwayatkan hadist kepada ‘Abd al-Razzaq

dengan selisih usia yang sangat jauh. Selain itu Humaid sebagai

mukharrij kondisinya masih samar-samar menerima hadits tidak

langsung bertemu dengan al-Hajjaj Ibn Artaah yang merupakan

gurunya.

2.2.5.6 Perkawinan Beda Agama Perspektif Mufassir

Dalam hemat penulis di dalam mencermati ayat-ayat diatas setidaknya ada

beberapa perspektif Mufassir yang menarik untuk dielaborasi terkait dengan

hukum perkawinan beda agama.

2.2.5.6.1 Perkawinan beda agama Perspektif Imam al-Thabari

81
Imam al-Thabari dalam kitabnya menjelaskan tentang surat al-

Baqarah ayat 221 bahwa asbabun nuzul dari ayat diatas masih terjadi

silang pendapat di circle ulama ahli ta’wil. Silang pendapat tersebut

adalah: apakah ayat tersebut diturunkan dengan maksud untuk setiap

perempuan musyrikah atau kah ayat tersebut diturunkan hanya untuk

sebagian saja dari para perempuan musyrikah?. Kemudian Imam al-

Thabari menjelaskan bahwa terdapat sebagian ulama ahli ta’wil yang

menyatakan bahwa ayat tersebut diturunkan dengan tujuan untuk

mengharamkan perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki muslim dengan

perempuan musyrikah dari segala jenis kemusyrikan apapun. Misalnya

perempuan musyrikah yang menyembah berhala, atau juga kemusyrikan

seperti perempuan Yahudiah, Nasraniyah, atau Majusiah.108

Imam al-Thabari kemudian menjelaskan bahwa keharaman

melakukan perkawinan dengan ahl al-kitab dihapuskan (nasakh) dengan

surat al-Ma’idah ayat 4-5:

‫ َو َط َعام ذ ِإَّل ْي َن إ ْوتوإ إلْ ِك ٰت َب ِحل ل ذ ُْك ۖ َو َط َعام ُْك ِحل‬...‫إلط ِ ٰي ٰبت‬
‫ي َْس َـل ْون ََك َما َذإ ٓ إ ِح ذل لَه ْ ِۗم ق ْل إ ِح ذل لَُك ذ‬

...‫لذه ْم ۖ َوإلْم ْح َصنٰت ِم َن إلْم ْؤ ِمن ِٰت َوإلْم ْح َصنٰت ِم َن ذ ِإَّل ْي َن إ ْوتوإ إلْ ِك ٰت َب ِم ْن قَ ْب ِل ُْك‬

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi

mereka?” Katakanlah,” Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang

baik-baik…Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan

makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi)

Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-
108

Qur’an, (Beirut-Lebanon, Mu’assasah al-Risalah,1994), hlm. 594

82
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-

perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga

kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu,…

Selain pendapat diatas Imam al-Thabari juga menjelaskan tentang

pendapat yang kedua dari ulama ahli ta’wil bahwa surat al-Baqarah ayat

221 ini diturunkan dengan tujuan untuk mengharamkan perkawinan

dengan perempuan musyrikah Arab saja, dan ayat tersbut tidak dihapus

(nasakh) dengan ayat manapun tanpa ada pengecualian, akan tetapi ayat

tersebut memiliki arti umum secara dhahir dan mengandung arti khusus

secara ta’wil.109

Dari keterangan diatas dapat di simplifikasikan bahwa dalam

perspektif Imam al-Thabari pendapat hukum yang utama dari kedua

pendapat ahli ta’wil terhadap surat al- Baqarah ayat 221 adalah apa yang

dikatakan oleh Qatadah yang sejalan dengan firman Allah Swt. yaitu “dan

janganlah kamu menikahi wanita musyrik sebelum ia beriman”.

Term Musyrik yang dimaksud dalam ayat tersebut tidak

mengindikasikan untuk perempuan ahl al-kitab. Mengapa demikian,

karena dalam ayat ke- 5 surat al-Ma’idah Allah Swt. berfirman: “dan

dihalalkan bagimu menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan di

antara ahli kitab sebelum kalian”. Hal ini menjadi dasar dari

diperbolehkannya seorang laki-laki muslim melakukan perkawinan dengan

seorang wanita dari kalangan ahl al-kitab dengan catatan wanita tersebut

109
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al
Qur’an, hlm. 595

83
menjaga kehormatan dirinya dan bukan seorang wanita yang tidak

menjaga kehormatan diri. Kebolehan menikahi wanita ahl al-kitab ini

sama seperti kebolehan menikahi wanita muslimah.110

2.2.5.6.2 Perkawinan beda agama Perspektif Imam Ibnu Katsir

Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya menjelaskan bahwa perkawinan

antara laki-laki Muslim dengan wanita Musyrikah penyembah berhala

hukumnya adalah haram. Ia kemudian melanjutkan penjelasannya terkait

dengan keharaman ini diberlakukan untuk semua Musyrikah baik yang

memiliki kitab (seperti Hindu, Budha, dan Konghucu) ataupun penyembah

berhala yang tidak memiliki kitab semua termasuk kedalam golongan

Musyrik. Adapun wanita ahl al-kitab seperti Yahudi dan Nasrani memiliki

kekhususan yang mana jika melakukan perkawinan dengan mereka tidak

dihukumi haram. Sebab Allah Swt. dalam al-Qur’an tidak menyamakan

antara wanita ahl al-kitab seperti wanita musyrik.111

Hal ini sejalan dengan fakta sejarah umat Islam, bahwa setelah

wafatnya Rasulullah Saw, ada beberapa Sahabat yang melakukan

perkawinan dengan wanita ahl al-kitab baik dari kalangan Yahudi dan

Nasrani, seperti Thalhah bin Ubaidillah yang menikahi wanita Yahudi

begitu juga dengan Huzaifah bin Yamani yang menikahi wanita Nasrani

yang saat itu kebanyakan sahabat bersepakat atas kebolehan menikahi

wanita ahl al-kitab kecuali Umar bin Khattab yang saat itu sama sekali

tidak setuju dengan adanya pernikahan (perkawinan) antara laki-laki

110
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-
Qur’an, hlm.595
111
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-adhim, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2020), hlm.
236

84
Muslim dengan wanita ahl al-kitab, ketika Umar ditanya mengapa ia tidak

setuju, Umar menjawab bukan karena menikahi wanita ahl al-kitab itu

haram akan tetapi dengan menikahi wanita ahli kitab itu akan

menyebabkan orang-orang dari kalangan Yahudi dan Nasrani menjadi

tidak suka dengan hal tersebut dan disisi lain banyak wanita Muslim yang

sulit dalam mencari jodoh.

2.2.5.6.3 Perkawinan Beda Agama Perspektif Imam al-Maraghi

Dalam perspketif Imam al-Maraghi dalam kitabnya dijelaskan bahwa

hukum melakukan perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahl

al-kitab adalah boleh. Meskipun ia membatasi bahwa yang dimaksud

dengan ahl al-kitab dalam QS. al-Ma’idah ayat 5 adalah hanya Yahudi-

Nasrani yang dari keturunan siapapun. Sementara mereka yang memiliki

kitab suci selain dari agama Yahudi-Nasrani tidak dikatakan sebagai ahl

al-kitab karena kitab mereka tidak termasuk kitab Samawi.112

Sedangkan terkait dengan hukum perkawinan antara laki-laki Muslim

dengan wanita Musyrik dalam perspektif Imam al-Maraghi hukumnya

adalah haram. Sebab dalam perspektif Imam al-Maraghi term Musyrik

dalam ayat 221 surat al-Baqarah adalah bermakna global, baik itu yang

ada di Arab atau diluar Arab.113 Sementara terkait dengan hukum

perkawinan yang dilakukan oleh Perempuan Muslimah dengan laki-laki

ahl al-kitab hukumnya adalah haram. Karena seorang perempuan

Muslimah tidak memiliki wewenang atas laki-laki. Jadi jika melakukan

perkawinan dengan laki-laki ahl al-kitab dikhwatirkan terpengaruhi dan

112
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mathba’ah al-Halabiy,1946),
Juz 6, hlm.56-59
113
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 1, hlm. 102-103

85
akhirnya masuk agama suaminya. Begitu juga hukumnya haram bagi

perempuan Muslimah yang melakukan perkawinan dengan laki-laki Kafir.

Hal ini berdasarkan ayat 10 surat al-Mumtahanah.114

2.2.5.6.4 Perkawinan beda agama Perspektif Syaikh Wahbah az-Zuhaily

Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam kitabnya menjelaskan bahwa sebab

turunya surat al-Baqarah ayat 221 adalah sebagaimana yang diriwayatkan

oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Wahidi yang dinukul dari

riwayat Muqatil yang mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan

berkenaan dengan cerita Ibnu Abi Martsad al-Ghanawiy. Yang mana suatu

saat ia meminta izin kepada Rasul Saw. untuk menikahi wanita yang

bernama Anaq, yang mana Anaq ini merupakan wanita Musyrik yang

memiliki paras cantik nan jelita. 115

Syaikh Wahbab az-Zuhaily juga menjelaskan sebab turunnya ayat ini

dengan menukil riwayat lainnya. Dalam riwayat lain itu dijelaskan bahwa

Rasul Muhammad Saw. mengutus Martsad bin Abi Martsad al-Ghanawiy

ke Makkah dengan tujuan untuk membawa pergi beberapa orang Muslim

yang tertahan disana. Sedangkan pada masa Jahiliyah dulu Marstad ini

sudah menaruh hati kepada seorang wanita yang bernama Anaq. Setelah

terjadi percakapan diantara Marstad dan Anaq yang intinya Marstad diajak

menikah oleh Anaq. Marstad ini belum berani memberi jawaban, maka ia

memutuskan untuk pulang dan meminta izin kepada Rasul Muhamamd

Saw. Setelah Martsad menyampaikan keinginannya, turunlah ayat 221

surat al-Baqarah.

114
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz,28 hlm. 72
115
Syaikh Wahbah az-Zuhaily, Tafsir Munir fil Aqidati wa Syari’ati wa al-Manhaji,
(Damaskus: Dar al-Fikr,2009), hlm. 660-661

86
Selain itu Syaikh Wahbab az-Zuhaily juga menukil pendapat dari al-

Wahidi yang mana ia meriwayatkan dari jalur as-Suddi dari Abu Malik

dari Ibnu Abbas, bahwa terkait dengan sebab turunnya ayat ini berkaitan

dengan peristiwa yang dialami oleh Abdullah bin Rawahah. Yang mana ia

dulu mempunyai seorang budak wanita berkulit hitam. Disuatu saat ia

marah dan memukul budak itu. Setelah ia mampu mengendalikan

emosinya Abdullah bin Rawahah merasa cemas. Ia pun bergumam,

“Sungguh saya akan memerdekakannya dan menikahinya”. Hal ini benar

terjadi Abdullah bin Rawahah menikahi budak wanitanya itu. Atas

kejadian itu sebagian orang mencemoohnya. Dengan adanya peristiwa itu

Allah Swt. menurutkan ayat 221 surat al-Baqarah.116

Dari penjelasan diatas, Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam kitabnya

memberikan simplifikasi bahwa dari sebab-sebab turunya surat al-Baqarah

ayat 221 itu dapat diambil dua catatan penting, hal ini sejalan dengan apa

yang disampaikan oleh Imam as-Suyuthi. Pertama, bahwa riwayat yang

menyebutkan tentang peristiwa yang dialami oleh sahabat menjadi sebab

turunnya ayat adalah untuk menjelaskan makna ayat itu, akan tetapi

kandungan ayat tersebut mencakup kejadian lain yang serupa dengannya.

Kedua, boleh jadi yang mereka sebutkan itu terjadi setelah turunnya

ayat.117

Syaikh Wahbah az-Zuhaily menyatakan bahwa ayat 221 ini

memberikan petunjuk terkait perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki

Muslim dengan wanita Musyrik (yaitu penyembah berhala, penganut

116
Ibid...660-661
117
Ibid...660-661

87
agama Budha, dan Ateis) hukumnya adalah tidak sah. Adapun terkait

dengan wanita ahl al-Kitab (yaitu yang beragama Yahudi dan Nasrani)

hukumnya boleh melakukan perkawinan dengan mereka. Hal ini sejalan

dengan apa yang di firmankan oleh Allah Swt. dalam al-Qur’an surat al-

Maidah ayat 5. Syaikh Wahbah az-Zuhaily juga menjelaskan tentang

perbedaan antara wanita Musyrik dan wanita ahl al-kitab, bahwa yang

dimaksud dengan wanita musyrik adalah mereka yang tidak memiliki

Iman sama sekali terhadap agama. Sedangkan yang dimaksud dengan

wanita ahl al-kitab adalah mereka yang sama dengan orang Islam dalam

hal keimanan kepada Allah Swt. dan hari akhir, percaya akan hukum halal

dan haram serta mempercayai akan kewajiban untuk berbuat kebajikan dan

meninggalkan perbuatan tercela.118

Dalam perspektif Syaikh Wahbab az-Zuhaily terkait dengan hukum

perkawinan beda yang dilakukan oleh laki-laki Muslim dengan wanita ahl

al-Kitab hukum boleh (halal). Sedangkan terkait dengan hukum wanita

Muslimah yang melakukan perkawinan dengan laki-laki ahl al-kitab

hukumnya tidak boleh (haram), hal ini sejalan dengan ketentuan syariat

Islam. Alasan hukum (illat hukum) nya adalah wanita ahl al-kitab akan

tetap bersikukuh memeluk agama yang diyakininya meskipun ia sudah

menikah dengan laki-laki Muslim. Artinya dalam menjalankan ajaran

agamanya wanita ahl-kitab tidak terganggu. Selain itu juga karena laki-

laki Muslim mengimani ajaran agamanya yang mengajarkan untuk

membenarkan pokok-pokok agama-agama lain. Seperti ajaran agama

118
Ibid…662-663

88
Yahudi dan agama Kristen dalam hal pokok-pokok ajaran yang sejalan

dengan agama Islam seperti perintah untuk meng-Esa kan Tuhan dan

mengimplementasikan nilai-nilai (values) kebaikan. Itu artinya seorang

wanita ahl al-kitab mendapatkan kenyamanan baik itu dalam aspek agama

(melakukan ibadah sesuai agama yang diyakininya) dan juga dalam aspek

lain dalam kehidupannya jika menikah dengan laki-laki Muslim.119 Dan

jika wanita tersebut sudah merasakan toleransi dan mendapatkan

perlakuan yang baik dari suaminya tidak menutup kemungkinan ia

menjalani maligai rumah tangga dengan harmonis, bahagia tanpa

sedikitpun merasa tertekan. Hal ini berbanding terbalik jika misalnya laki-

laki ahl al-kitab menikahi wanita Muslim, sebab biasanya kekuasaan laki-

laki lebih besar dari pada kekuasaan wanita, jika demikian tidak menutup

kemungkinan wanita Muslim akan meninggalkan agamanya dan ia merasa

tertekan dengan perlakuan suaminya yang disebabkan karena tidak ada

keselarasan baik itu dalam dimensi spiritual dan fisik diantara mereka.

Selain itu seorang wanita Muslimah akan merasakan hidup dalam tekanan

jika menikah dengan laki-laki ahl al-kitab. Dari faktor inilah mayoritas

ulama bersepakat untuk menghukumi makruh perkawinan antara laki-laki

Muslim dengan wanita ahl al-kitab sedangkan untuk perkawinan antara

laki-laki ahl al-kitab dengan wanita Muslimah adalah haram.120

Berdasarkan penjelasan diatas maka ayat ini (al-Baqarah 221) di

interpretasikan sesuai dengan ‘urf (adat) khusus, yaitu untuk para wanita

Musyrik yang secara spesifik menunjukkan kepada wanita penyembah

119
Ibid…662-663
120
Ibid….662-663

89
berhala dan sejenisnya. Dan ayat ini tidak di mansukh atau pun di

khususkan oleh dalil lain. Ayat 221 surat al-Baqarah dalam perspektif

Syaikh Wahbah az-Zuhaily mengindikasikan keharaman menikahi wanita

penyembah berhala dan wanita Majusi, sementara terkait dengan surat al-

Ma’idah ayat 5 menjelaskan tentang hukum yang lain, yaitu

diperbolehkannya laki-laki Muslim menikahi wanita ahl al-kitab. Dengan

demikian maka tidak ada kontradiksi diantara kedua ayat tersebut. Sebab

secara lahiriah lafal syirk tidak mencakup ahl al-kitab. Hal ini sejalan

dengan apa yang di firmankan oleh Allah Swt. dalam al-Qur’an surat al-

Baqarah ayat 105. Dan juga sejalan dengan firman Allah Swt. dalam al-

Qur’an surat al-Bayyinah ayat 1.121

Dalam kedua ayat diatas Allah Swt. memisahkan antara lafal “ahl al-

kitab” dan lafal “orang musyrik”, dengan alasan sebab lahiriah huruf ‘athf

(yang merupakan penyambung antara satu kata dengan kata lain)

menunjukkan adanya perbedaan antara ma’thuuf dan ma’thuuf ‘alaih.

Selain itu bahwa lafal musyrik dalam ayat tersebut bermakna umum,

َ ‫إلْ ِك ٰت‬
bukan nash, sedangkan firman Allah Swt. (‫ب‬ ‫ ) َوإلْم ْح َصنٰت ِم َن ذ ِإَّل ْي َن إ ْوتوإ‬turun

setelah firman Allah Swt. yaitu ( ‫) َوإلْم ْح َصنٰت ِم َن إلْم ْؤ ِمن ِٰت‬ adalah merupakan

nash, jadi tidak mungkin terjadi kontradiksi diantara kata yang maknanya

masih belum pasti (masih terbuka untuk kemungkinan memiliki arti lain)

dan kata yang maknanya sudah pasti.

Syaikh Wahbah az-Zuhaily kemudian menjelaskan bahwa terdapat

ِ ْ ‫ )إلْم‬itu mencakup
ِ ‫ْش ٰك‬
sebagian ulama yang berpendapat bahwa kata (‫ت‬

121
Ibid…664

90
semua wanita musyrik, baik itu yang menyembah berhala atau pun mereka

yang beragama Yahudi, dan Kristen. Sebab tidak ada dalil yang

menasakhkan atau mengkhususkan makna yang umum ini. Akan tetapi

semua wanita tersebut dihukumi haram jika dinikahi oleh laki-laki

Muslim. Hal ini sejalan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,

bahwa: ayat ini umum, dan mencakup wanita baik itu penyembah berhala,

Majusi, atau pun ahl al-kitab. Maka berdasarkan dari riwayat tersebut

setiap wanita yang beragama selain Islam hukumnya haram untuk

dinikahi. Atas dasar ini maka surat al-Baqarah ayat 221 lah yang justru

menasakh (menghapus) ayat ke-5 dari surat al-Ma’idah. Pendapat ini

didukung oleh perkataan yang disampaikan oleh Ibnu Umar yang terdapat

dalam kitab al-Muwaththa’. “Setahuku tidak ada kesyirikan yang lebih

besar dibandingkan dengan ucapan seseorang bahwa Tuhannya adalah

Isa”. Dalam riwayat lain Umar bin Khathtab juga menyatakan bahwa,

“wanita ahl al-kitab haram untuk dinikahi, dan Umar pun telah

memisahkan antara Thalhah bin Ubaidillah dan Istrinya yang merupakan

ahl al-kitab, serta memisahkan antara Hudzaifah ibnul Yaman dengan

istrinya yang juga ahl al-kitab.”122 Saat menerima surat dari Umar kedua

sahabat tersebut berkata, “Baiklah, kami akan menceraikannya, dan

engkau jangan marah wahai Amirul Mukminin.” Kemudian Umar berkata,

“Sekiranya talak kalian sah, berarti perkawinan kalian pun tadinya sah,

padahal kenyataannya tidak begitu. Makanya aku memisahkan kalian.”

122
Ibid… 664

91
Terkait dengan riwayat tersebut Syaikh Wahbab az-Zuhaily yang

menukil pendapat dapat dari Ibnu Athiyyah mengatakan bahwa sanad dari

riwayat itu tidak valid. Justru ada sanad lain yang lebih valid yaitu “Umar

hendak memisahkan kedua sahabat tersebut dari istrinya yang masing-

masing merupakan ahl al-kitab, maka Hudzaifah bertanya kepada Umar,

“Apakah kau anggap ia haram untuk dinikahi dan harus kuceraikan?”.

Umar kemudian menjawab, “Aku tidak menganggapnya haram, hanya saja

aku khawatir kalian akan mengawini wanita-wanita pelacur dari mereka ”.

Hal ini sejalan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Sedangkan

Ibnu Mundzir menyatakan bahwa riwayat dari Umar diatas justru

menegaskan tentang hukum kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita

ahl al-Kitab. Inilah konsenus ulama yang berlandaskan al-Qur’an dan

Sunnah Rasul Muhammad Saw.123

Dari penjelasan Syaikh Wahbah az-Zuhaily diatas dapat penulis

simplifikasikan bahwa menurut riwayat yang sanadnya shahih, Umar

memperbolehkan laki-laki Muslim menikahi wanita ahl al-kitab. Terkait

dengan larangan yang Umar sampaikan kepada Thalhah dan Hudzaifah

yang menikahi wanita Yahudi dan Nasrani karena khwatir orang-orang

akan meniru perbuatan tersebut dan justru berdampak tidak suka menikahi

wanita Muslimah. Atau juga kekhawtiran lain yaitu laki-laki Muslim akan

mengawini wanita pelacur dan juga ada faktor lain yang tidak sejalan

dengan kemaslahatan umat Islam secara kolektif.

123
Ibid… 664

92
Adapun wanita ahl al-kitab yang tergolong ahlul harbi menurut Ibnu

Abbas hukum tidak halal jika dinikahi, hal ini sejalan dengan firman Allah

Swt. dalam surat at-Taubah ayat 29.

‫قَاتِلوإ ذ ِإَّل ۡي َن ََل ي ۡؤ ِمن ۡو َن ِِب ٰ ِّلل َو ََل ِِبلۡ َي ۡو ِم ۡ ٰإَل ِخ ِر… َو ََل َي ٰ َِرم ۡو َن َما َح ذر َم ٰإّلل َو َرس ۡو هل َو ََل ي َ ِديۡن ۡو َن ِد ۡي َن إلۡ َح ٰ ِـق‬

‫ِم َن ذ ِإَّل ۡي َن إ ۡوتوإ إلۡـ ِك ٰت َب َح ّٰت ي ۡعطوإ إلۡجِ ۡزي َ َة ع َۡن يذد ذو ۡه ٰص ِغر ۡو َن‬

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari

kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan

Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama

yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan

Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang

mereka dalam keadaan tunduk.

Hal ini berbeda dengan pendapat Imam Malik yang mana ia

menyatakan bahwa hukumnya makruh laki-laki Muslim menikah dengan

wanita ahlul harbi, karena anaknya nanti akan ditinggalkannya di daarul-

harbi. Juga karena wanita tersebut minum khamar dan makan daging babi.

Sementara itu empat Imam mazhab fiqh bersepakat atas keharaman dari

perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita yang menyembah api

(Majusi). Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt. pada surat al-Baqarah

ِ ‫)و ََل تَ ْن ِك ُحوا ْال ُم ْش ِر ٰك‬


ayat 221. (ۗ ‫ت َحتّٰى يُؤْ مِ َّن‬ َ sebab empat Imam Mazhab Fiqh

bersepakat bahwa yang dimaksud dengan Musyrikah adalah wanita

penyembah berhala dan wanita Majusi.

Sedangkan terkait dengan permasalahan wanita Muslimah menikah

dengan laki-laki kafir maka ulama berijmak hukumnya haram dengan

93
alasan bahwa perbuatan tersebut mengakibatkan turunnya kemuliaan Islam

dan tentunya masih ada alasan-alasan lainnya. Dan hal ini sejalan dengan

firman Allah Swt. ( ِ ْ ‫“ ) َو ََل ت ْن ِكحوإ إلْم‬janganlah kamu menikahkan wanita


‫ْش ِك ْ َي‬

Muslim dengan laki-laki Musyrik.”124

Dalam perspektif Syaikh Wahbah az-Zuhaily terkait dengan

perkawinan beda Agama antara laki-laki Muslim dengan wanita ahl al-

kitab menurut ia hukumnya boleh selain mazhab Syi’ah, karena pada

dasarnya permasalahan perkawinan beda agama ini merupakan kasus

pengecualian, artinya diperbolehkannya melakukan perkawinan beda

agama ini bukan hukum asal, akan tetapi termasuk dalam ranah

pengecualian. Oleh karena itu, lanjut Syaikh Wahbab az-Zuhaily kami

mencela para pemuda Arab yang melangsungkan perkawinan dengan

wanita asing hanya karena tergiur parasnya yang cantik dan rambutnya

yang pirang. Selain itu juga karena alasan jika menikah dengan wanita

asing maharnya tidak semahal wanita Arab. Kemudian Syaikh Wahbah az-

Zuhaily menjelaskan bahwa istri-istri seperti itu dapat merusak keagamaan

dan nasionalisme suami, menjadikannya tidak lagi loyal kepada negeri dan

bangsanya. Serta mengakibatkan anak-anaknya tidak terdidik sesuai

dengan agama Islam. Selain itu juga ada perasaan angkuh dalam dirinya

dan memandang rendah bangsa Arab serta kaum Muslimin. Bahkan kata

Syaikh Wahbab az-Zuhaily wanita asing tersebut tidak menutup

kemungkinan membunuh suaminya agar bisa mengambil anak dan

124
Ibid... 665

94
hartanya serta kembali ke Negara asalnya. Sedikit sekali dari wanita asing

yang menikah dengan laki-laki Muslim tersebut yang masuk Islam.

Adapun terkait dengan perkawinan Wanita Muslimah dengan laki-laki

non-Muslim dampak buruknya jauh lebih berbahaya. Sebab perkawinan

mereka tidak sah (haram) hal ini sesuai dengan konsensus ulama Islam

(ijmak). Bahkan anaknya yang lahir dari perkawinan tersebut dinyatakan

sebagai anak zina, artinya ikatan diantara wanita Muslimah dengan

suaminya yang non-Muslim tidak sah. Jika wanita tersebut menyakini

bahwa ikatan perkawinan tersebut sah, maka wanita itu dihukumi

murtad.125

2.2.5.6.5 Perkawinan Beda Agama Perspektif Fuquha

Fiqh lahir bukan diruang kosong, fiqh juga bukan hukum yang jauh

melangit dan terhempas dari kenyataan konkret masyaratakat. Begitu juga

dengan Nabi, para sahabat, atau Imam mazhab fiqh yang mana mereka adalah

sebagai jurist seorang yang hidup dalam konteks lokalitas (Arab) pada saat itu

mereka tidak terisolasi dari konteks disekitarnya.126 Jika dulu fiqh dipahami

dengan sifat doktriner, formal, dan kurang akomodatif terhadap realitas yang

dinamis, tentunya fiqh sebagai produk Islam sulit untuk bersenyawa dengan

realitas sosial masyarakat.127 Fiqh hadir untuk merespons berbagai

problematika terutama dalam rangka menjalin ulang relasi antara umat

beragama yang dalam konteks ini adalah menjawab problematika perkawinan

beda agama.

125
Ibid…666
126
Akmal Bashori, Fikih Nusantara: Dimensi Keilmuan dan Pengembangannya, (Jakarta:
Kencana, 2021), hlm. 1
127
Jamal Ma’mur, Mengembangkan Fikih Sosial KH.MA. Sahal Mahfudh, (Jakarta:PT
Elex Media Komputindo, 2015), hlm.xi

95
Dibawah ini penulis menjelaskan tentang pendapat para Imam mazhab

fiqh terkait dengan perkawinan beda agama:

2.2.5.6.5.1 Perkawinan Beda Agama Perspektif Imam Hanifah

Dalam perspektif mazhab Imam Abu Hanifah perkawinan antara laki-

laki Muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram.

Akan tetapi jika wanita tersebut ahl al-kitab maka hukumnya adalah

boleh. Meskipun wanita ahl al-kitab tersebut menyakini Trinitas, karena

menurut mazhab Imam Hanafi yang terpenting adalah ahl al-kitab tersebut

memiliki kitab Samawi. Bahkan dalam perspektif mazhab Imam Hanafi

hukumnya boleh melakukan perkawinan dengan wanita ahl al-kitab

meskipun tergolong ahl al-kitab zimmi atau wanita Kitabiyyah yang ada di

Dar al-Harbi. Kendati demikian mazhab Imam Abu Hanifah ini

mengklasifikasi bahwa melakukan perkawinan dengan wanita Kitabiyyah

yang berada dalam zona Dar al-Harbi hukumnya makruh tahrim.

Dikarenakan hal tersebut dapat menimbulkan fitnah dan menghadirkan

mafsadah.128 Sedangkan melakukan perkawinan dengan wanita ahl al-

kitab zimmi hukumya adalah makruh tanzih, karena wanita ahl al-kitab

zimmi itu menghalalkan makan babi dan minum arak.

2.2.5.6.5.2 Perkawinan Beda Agama Perspektif Imam Malik

Mazhab Imam Malik memiliki perspektif yang berbeda dengan

pendapat Imam sebelumnya, bahwa dalam perspektif mazhab Imam

Maliki terkait dengan hukum perkawinan beda agama ada dua pendapat

yaitu: pertama, melakukan perkawinan dengan wanita kitabiyah baik itu

128
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ala Mazzhib al-Arba’ah, juz 4, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2014), hlm. 35

96
wanita kitabiyah yang zimmi (wanita non-Muslim yang berada di negeri

yang tunduk pada peraturan hukum Islam) atau pun wanita harbiyah

hukumnya adalah mutlak makruh.129 Akan tetapi jika ada indikasi bahwa

wanita tersebut dapat mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan

ajaran agama ayahnya, maka status hukumnya berubah menjadi haram.

Kedua, mazhab Imam Maliki mengatakan bahwa hukum melakukan

perkawinan beda agama adalah tidak makruh secara mutlak, karena ayat

tersebut al-Baqarah 221 tidak melarang secara mutlak. Metodelogi berfikir

mazhab Imam Maliki seperti ini termasuk kedalam pendekatan ushul fiqh

yaitu sad al-Zari’ah (tindakkan preventif).

2.2.5.6.5.3 Perkawinan Beda Agama Perspektif Imam As-Syafi’i

Sedangkan dalam perspektif mazhab Imam as-Syafi’i

diperbolehkannya melakukan perkawinan beda agama hanya dengan

wanita ahl al-kitab yaitu dari kalangan Yahudi-Nasrani yang memiliki

nasab dari Bani Israil.130 Argumentasi hukumnya adalah bahwa Nabi Musa

dan Isa hanya diutus untuk bangsa Israil dan bukan untuk bangsa lainnya.

Alasan lainnya adalah bahwa pada lafal min qoblikum (umat sebelum

kamu) yang terdapat dalam surat al-Ma’idah ayat 5 menunjukkan kepada

golongan Yahudi-Nasrani dan bangsa Israil.

2.2.5.6.5.4 Perkawinan Beda Agama Perspektif Imam Hanbali

Sementara dalam perspektif mazhab Imam Hanbali yang mana ia

adalah merupakan murid dari Imam as-Syafi’i berpendapat tidak jauh beda

129
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ala Mazzhib al-Arba’ah, juz 4, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2014), hlm. 36
130
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2014), hlm. 139

97
dengan sang Guru. Meskipun mazhab Imam Hanbali juga menyatakan

bahwa yang termasuk dari ahl al-kitab tidak hanya terbatas pada Yahudi-

Nasrani yang bernasab dari Bani Israil saja, akan tetapi termasuk ahl al-

kitab adalah mereka wanita yang memeluk agama Yahudi-Nasrani sejak

Nabi Muhammad Saw. belum diutus menjadi Rasul.

2.2.5.6.6 Perkawinan Beda Agama Perspektif Ulama Kontemporer

2.2.5.6.6.1 Perkawinan Beda Agama Perspektif Rasyid Ridha

Perspektif yang disampaikan oleh Rasyid Ridha tentang hukum

perkawinan beda agama berbeda dengan pendapat-pendapat ahli fiqh

(fuquha’) sebelumnya. Agaknya pendapat ini cukup liberal, sebab setelah

menjelaskan panjang lebar terkait dengan ahl al-kitab yang dielaborasi

dalam kitab tafsirnya ketika memberikan jawaban (solusi) terkait dengan

pertanyaan yang disampaikan oleh orang Indonesia (Jawa). Rasyid Ridha

menyatakan bahwa hukum melakukan perkawinan dengan wanita-wanita

penyembah berhala seperti orang-orang Cina dan lainnya, setelah

melakukan kajian berdasarkan riwayat-riwayat yang disampaikan oleh

para Sahabat Nabi, tabi’in, dan berdasarkan argumentasi kaidah-kaidah

ushul fiqh dan fiqh, serta kajian liguistik (bahasa), serta meneliti beberapa

pendapat para ulama sebelumnya, Rasyid Ridha menyimpulkan bahwa

wanita-wanita Musyrikah yang diharamkan oleh Allah Swt. untuk

dikawini yang terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 221 adalah spesifik

menunjuk kepada wanita-wanita Musyrikah yang ada di Jazirah Arab. Hal

ini sejalan dan seirama dengan apa yang dijelaskan oleh Ibn Jarir al-

Thabari yang mana beliau merupakan ahli tafsir (mufasir) bahwa oang-

98
orang Majusi, Shabiun, Penyembah berhala baik itu yang berasal dari

India, Jepan, Cina dan sejenisnya adalah termasuk kategori ahl al-Kitab

sebab kitab mereka mengajarkan nilai Tauhid sampai sekarang.131

2.2.5.6.6.2 Perkawinan Beda Agama Perspektif Mawlana Muhammad Ali

Apa yang disimpulkan oleh Rasyid Ridha diatas sejalan dan seirama

dengan perspektif Mawlana Muhammad Ali bahwa dalam permasalahan

perkawinan beda agama ia menyatakan perkawinan dengan wanita-wanita

Musyrik atau laki-laki Musyrik dilarang, akan tetapi perkawinan dengan

penganut agama lain dibolehkan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan

dalam QS. Fathir ayat 24 yang mana dalam ayat tersebut dinyatakan

bahwa wahyu Ilahi diturunkan kepada sekalian bangsa di dunia, kecuali

kaum Musyrik bangsa Arab yang belum pernah menerima wahyu.

Argumentasi ini didukung dengan ayat ke-3 dalam surat al-Sajadah, dan

juga surat Yasin ayat 6.

Dari penjelasan diatas maka dalam di simpulkan bahwa orang Islam

hanya dilarang untuk melakukan perkawinan dengan kaum Musyrik

bangsa Arab. Sedangkan terkait perkawinan yang dilakukan dengan

wanita yang menganut agama lain di dunia diperbolehkan. Seperti kaum

Yahudi, Nasrani, Majusi, Budhis, Hindu adalah merupakan golongan ahl

al-kitab. Meskipun seiring perjalanan waktu pemeluk agama Krsiten saat

ini sudah berbau syrik karena kesalahan penganutnya denga menempatkan

posisi Yesus Kritus sebagai Allah atau Anak Alah, kendati demikian tetap

saja mereka harus diperlakukan sebagi ahl al-kitab. Maka dengan itu

131
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.),
juz VI. Hlm. 193

99
wanita-wanita Hindu, Majusi hukumnya boleh dikawini, begitu juga

dengan wanita-wanita Kong Fu Tse, Budha dan Tao.132

2.2.5.6.6.3 Perkawinan Beda Agama Perspektif Abdul Hamid Hakim

Kedua pendapat yang cukup liberal diatas juga diamini oleh Abdul

Hamid Hakim, bahwa terkait dengan problematika perkawinan beda

agama ini kaum Majusi, Shabi’un, dan penyembah berhala yang ada di

Cina, India atau pun yang serupa dengannya semuanya termasuk kategori

ahl al-kitab yang mana mereka masih tetap mengimplementasikan ajaran

Tauhid sampai saat ini. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan dalam

QS. Fathir ayat 24 dan ayat ke-7 dalam surat al-Ra’ad. Bahwa semua

umat dibangkitkan Rasul, maka oleh karena itu kitab-kitab suci mereka

termasuk kitab samawi, meskipun dalam perjalanan sejarah kitab-kitab

mereka mengalami reduksi tidak lagi murni sebagaimana kitab kaum

Yahudi-Nasrani, kendati pun demikian mereka tetap termasuk ahl al-kitab

dan diperbolehkan melakukan perkawinan dengan mereka.133

2.2.5.6.6.4 Perkawinan Beda Agama Perspektif Syaikh Yusuf al-Qardhawi

Terkait dengan problematika perkwinan beda agama ini syaikh Yusuf

al-Qardhawi memberikan penjelasannya bahwa, dengan merujuk kepada

pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa hukum melakukan

perkawinan dengan wanita ahl al-kitab adalah Mubah. Hal ini sejalan

dengan apa yang ada dalam QS. al-Ma’idah ayat 5 yang jelas

memperbolehkan. Syaikh Yusuf Qardhawi memberikan beberapa syarat

132
Mawlana Muhammad ‘Ali, The Religion of Islam, diterjemahkan oleh R. Kaelah
dengan Judul Islamologi, (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1977), hlm. 412
133
Lihat Durotun Nafisah, Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Historis Normatif,
dan Filosofis, (Jurnal an-Nidzam: Vol.6, No.1 Januari 2019), hlm. 48. Atau lihat juga Abdul
Hamid Hakim, Al-Mu’in al-Mubin, Juz IV (Jakarta: Bulan Bintang)1977, hlm. 45-55

100
yang sangat ketat terkait dengan kebolehan melakukan perkawinan dengan

wantita ahl al-Kitab. Diantaranya adalah sebagaimana berikut: Perkawinan

beda agama yaitu perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki Muslim

dengan wanita ahl al-kitab ini tidak mendatangkan Fitnah dan madharat.

Maka jika perkawinan beda agama tersebut menimbulkan fitnah dan

madharat bagi kalangan umum maka hukumnya haram secara umum,

sedangkan jika perkawinan tersebut mengakibatkan fitnaH dan madharat

secara khusus atau dalam kondisi tertentu maka hukumnya juga dilarang

secara khusus atau dilarang dalam kondisi tertentu.134

Dalam hemat penulis, Syaikh Yusuf Qardhawi memperbolehkan

perkawinan beda agama antara laki-laki Muslim dengan wanita ahl al-

Kitab dengan alasan sebagai berikut: Pertama. QS. al-Ma’idah ayat 5 itu

turun setelah QS. al-Baqarah ayat 221, maka oleh karena itu tidak

mungkin QS. al-Ma’idah ayat 5 dinasakh oleh QS. al-Baqarah ayat 211.

Kedua. QS. al- Baqarah ayat 221 dan QS. al-Mumtahanah ayat 10 adalah

umum dan ditakhsis oleh QS. al-Ma’idah ayat 5.

Sementara dalam perspketif Syaikh Yusuf Qardhawi terkait dengan

perkawinan beda agama antara laki-laki Muslimah dengan wanita

Musyrikah adalah haram hukumnya. Hal ini sejalan dengan apa yang

terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 221 dan QS. al-Mumtahanah ayat 10.

Ia kemudian memperjelas keterangannya dengan mengatakan begitu juga

terkait dengan perkawinan antara laki-laki Muslim yang melakukan

perkawinan dengan wanita Kafir yang bukan murni ahl al-kitab, seperti

134
Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Kontemporari: Seri 3 Wanita dan Keluarga, (Selangor-
Malaysia: PTS Islamika,2015), hlm. 76

101
penyembah berhala, Majusi, atau salah satu dari kedua orang tuanya

adalah orang Kafir maka hukumnya haram.135

2.2.5.6.6.5 Perkawinan Beda Agama Perspektif Buya Hamka

Sebagai Mufassir Indonesia Buya Hamka menginterpretasikan QS. al-

Baqarah ayat 221 sebagaimana berikut: “Apabila agama Islam sudah

menjadi keyakinan hidup, maka hendaklah berhati-hati dalam memilih

jodoh. Sebab istri adalah teman hidup dan akan menegakkan rumah tangga

bahagia yang penuh dengan iman dan menurunkan anak-anak yang shalih.

Sebab laki-laki yang beriman kalau melakukan perkawinan dengan

perempuan Musyrikat akan mengakibatkan hubungan kacau dalam rumah

tangga. Jika sudah memilkik anak, lebih baik katakana terus terang bahwa

kamu hanya suka kawin dengan dia kalau dia sudah masuk Islam terlebih

dahulu.”136

Dalam perspektif Buya Hamka surat al-Baqarah ayat 221 secara tegas

mensyaratkan Kafaah atau Kufu dalam hal perkawinan. Itu artinya Buya

Hamka tidak memperbolehkan melakukan perkawinan beda agama sebeb

Kafaah dalam dimensi keimanan, pendirian, keyakinan tidak boleh

diabaikan. Sebab maligai rumah tangga harus dibentuk dengan dasar yang

kuat yaitu Iman dan Tauhid yang sama.137

Terkait dengan perkawinan beda agama antara laki-laki Muslim

dengan perempuan ahl al-kitab, Buya Hamka mengatakan hukumnya

135
Fakhrurrazi M.Yunus dan Zahratui Aini, Perkawinana Beda Agama dalam
UndangUndang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Tinjuan Hukum Islam),
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Media Syariah Vol 20, No. 2, 2018 hlm 147
136
Hamka, Tafisr al-Azhar, (Depok: Gema Insani, 2015), hlm 143
137
Hamka, Tafisr al-Azhar, (Depok: Gema Insani, 2015), hlm 194

102
boleh. Namun Buya Hamka memberikan batasan bahwa yang dimaksud

dengan ahl al-Kitab hanya khusus untuk kaum Yahudi-Nasrani tidak

untuk golongan lainnya. Sedangkan terkait dengan perkawinan yang

dilakukan oleh laki-laki Muslim dengan wanita Musyrikah hukumnya

adalah haram. Buya Hamka dalam hal ini mengikuti mayoritas ulama.

Kemudian Buya Hamka memberikan syarat tentang diperbolehkannya

melakukan perkawinan dengan wanita ahl al-Kitab sebagaimana berikut:

Pertama, Wanita ahl al-Kitab tersebut harus wanita yang terbaik yaitu

terjaga kehormatannya dan merupakan wanita merdeka. Kedua. Alasan

melakukan perkawinan dengan wanita ahl al-kitab bukan bermotif hawa

nafsu. Ketiga, Perkawinan beda agama antara laki-laki Muslim dan wanita

ahl al-kitab diperbolehkan hanya untuk laki-laki yang memiliki iman kuat.

Sebab jika tidak memiliki bekal tersebut, dikhawatirkan berpaling dan

mengikuti agama istrinya.

2.2.5.6.6.6 Perkawinan Beda Agama Perspektif Quraish Shihab

Terkait dengan permasalahan perkawinan beda agama ini Prof.

Quraish Shihab tidak jauh beda dengan apa yang disampaikan oleh Buya

Hamka. Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam hal perkawinan

ketika memilih pasangan haruslah berdasarkan agama, keimanan yang

kuat agar supaya di dalam menjalani maligai rumah tangga dapat konsisten

dan berjalan tegak lurus sesuai ajaran Islam.

Prof. Quraish Shihab dalam kitabnya ketika memberikan penafsiran

terkait dengan QS. al-Ma’idah ayat 5 menyatakan bahwa hukumnya boleh

103
laki-laki Muslim melakukan perkawinan dengan wanita ahl al-kitab. Ia

menjelaskan terkait dengan term (‫ ) َوإلْم ْح َصنٰت‬bahwa yang dimaksud dalam

ayat tersebut adalah perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya

yang layak dikawini baik itu dari perempuan Mukminah atau pun ahl al-

kitab. Kemudian ia melanjutkan penjelasannya bahwa didahulukannnya

penyebutan perempuan Mukminah dalam ayat diatas memiliki tujuan

utama yaitu perempuan Mukmin harus di prioritaskan dalam hal

perkawinan. Karena bagaimanapun juga persamaan keyakinan (agama,

iman) dan pandangan hidup sangat membantu untuk menciptakan suasana

harmonis dalam menjalani maligai rumah tangga. 138

Dalam hemat penulis, dari keterangan diatas maka dalam

disimplifikasikan bahwa Prof Quraish Shihab tidak memperbolehkan

seorang laki-laki Muslim melakukan perkawinan beda agama bagi mereka

yang tidak memiliki keimanan yang kuat, karena dikhawatirkan akan

terpengaruh oleh ajaran agama non-Muslim. Diperbolehkan melakukan

perkawinan dengan wanita ahl al-Kitab ini dengan syarat yang ketat

diantaranya adalah sebagai jalan keluar dari kebutuhan yang mendesak

disaat itu, yang mana kaum Muslim sering melakukan perjalanan jauh

untuk melakukan Jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka dan

begitu juga dengan tujuan untuk berdakwah.

Sedangkan terkait permasalahan hukum dari perkawinan yang

dilakukan oleh laki-laki Muslim dengan wanita Musyrikah dalam

138
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2017), jilid I, hlm. 32M.

104
perspektif Prof Quraish Shihab hukumnya haram. Hal ini secara tegas

dijelaskan dalam QS. al-Baqarah ayat 221. Bahwa yang dimaksud dengan

term syrik dalam ayat tersebut adalah mempersekutukan sesuatu dengan

sesuatu. Artinya seorang Musyrik dalam perspektif Prof Quraish Shihab

adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah Swt. atau

siapa yang melakukan aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama

kepada Allah Swt. dan kedua kepada selain-Nya. Maka dengan pengertian

seperti itu berimplikasi hukum bahwa semua orang yang

mempersekutukan Allah Swt. dari perspektif ini adalah termasuk ke dalam

Musyrik dan haram untuk melakukan perkawinan dengan mereka. Itu

artinya orang-orang Kristen yang memiliki kepercayaan Trinitas termasuk

kedalam kategori Musyrik. Meskipun di dalam al-Qur’an mereka tidak

dilabeli dengan sebutan Musyrik akan tetapi disebut dengan ahl al-Kitab.

Hal ini sebagaimana yang ada dalam QS. al-Baqarah ayat 105. Dan QS. al-

Baiyyinah ayat 1.139 Sementara terkait dengan hukum perkawinan antara

wanita Muslimah dengan laki-laki Musyrik yang bukan ahl al-kitab dalam

perspektif Prof Quraish Shihab hukumnya adalah haram.

2.2.5.6.6.7 Perkawinan Beda Agama Perspektif Daar al-Ifta’ Mesir

Terkait dengan hukum laki-laki Muslim melakukan perkawinan

dengan wanita Yahudi dan Nasrani, Daar al-Ifta’ Mesir memfatwakan

bahwa hukumnya boleh (halal). Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt.

al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 5. Diperbolehkannya perkawinan ini

139
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
jilid.1, hlm. 557

105
dengan syarat tidak dikhawatirkan agamanya dan agama anak-anaknya

terkontaminasi dengan ajaran agama istrinya. Hal ini sejalan dengan

dilarangnya laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita Muslimah

yang fasiq jika dia khawatir dengan agamanya dan agama anaknya.

Sedangkan terkait dengan permasalahan perkawinan antara wanita

Muslimah dengan laki-laki non-Muslim baik itu dari kalangan Yahudi-

Nasrani ataupun laki-laki Musyrik hukumnya adalah haram. Hal ini

sejalan dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’an surat al-Muntahanah

ayat 10.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh ulama dan fuquha

bahwa tidak diperbolehkan oleh syariat seorang wanita Muslimah menikah

dengan laki-laki non-Muslim secara mutlak. Baik itu laki-laki dari

kalangan ahl al-kitab atau pun dari kalangan agama lainnya. Dan

permasalahan ini merupakan hukum qath’i. Sebab perkara ini sudah

dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadits dan ijma’ ulama.

Argumentasi hukumnya adalah sejalan dengan dalil hadistnya yang

berupa sunah fi’liyyah bahwa Rasul Muhammad Saw. memisahkan setiap

wanita Muslimah yang menikah dengan laki-laki non-Muslim dan yang

menolak terhadap ajaran Islam. Apabila laki-laki tersebut masuk Islam

maka perkawinannya tetap tanpa ada pembaharuan akad. Bahkan sampai

Rasul Muhammad Saw. memisahkan antara putrinya yaitu Zainab dengan

Abu al-Ash arabi’. Dan ketika Abu al-Ash menjadi tawanan Perang Badar

Rasul Muhammad Saw. membebasakannya dari tawanan Perang supaya

Abu al-Ash mengembalikan putrinya. Maka ketika Abu al-Ash masuk

106
Islam Rasul Muhammad Saw. mengembalikan putrinya kepadanya. Dan

permasalahan ini disepakati oleh Imam mazhab fiqh berserta

pengikutnya.140

Terkait dengan perbedaan dari permasalahan tersebut yang mana

seorang Muslim diperbolehkan melakukan perkawinan dengan wanita

Yahudi dan Nasrani sedangkan laki-laki Yahudi dan Nasrani dilarang

melakukan perkawinan dengan wanita Muslimah. Hal ini karena seorang

Muslim laki-laki beriman terhadap kenabiaan Musa dan Isa. Sehingga

tidak mungkin bagi laki-laki Muslim menghina atau menjelek-jelekan

syariat agama Yahudi-Nasrani dengan bertindak berlebihan atau kurang

ajar terhadap ajaran Nabi Musa dan Isa. Sedangkan laki-laki Yahudi-

Nasrani tidak memiliki Iman terhadap Rasul Muhammad Saw. dan hal ini

dapat merusak agama seorang wanita Muslimah, bahkan dapat

membahayakan wanita tersebut. Dan kami telah melihat banyak dari

kalangan laki-laki Yahudi-Nasrani bersikap kurang sopan terhadap

kedudukan Nabi Muhammad Saw.

Allah Swt. menetapkan dalam firmannya surat an-Nisa ayat 34 bahwa

laki-laki adalah sebagai Imam (pemimpin) dalam keluarga. Maka tatkala

laki-laki non-Muslim menjadi suami dari perempuan Muslimah secara

otomatis laki-laki tersebut juga menjadi pemimpin (Imam) dalam hal

agama (syariat). Sedangkan Allah Swt berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat

141.

140
www.dar-alifta.org diakses pada 2 Oktober 2023.

107
‫ني َسبِّ ًيل‬ِّ ِّ ِّ ِّ ‫ولَن ََيعل ه‬
َ ‫اَّللُ للْ َكاف ِّر‬
َ ‫ين َعلَى الْ ُم ْؤمن‬ َ َْ َ
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir

untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

Dari ayat diatas dapat di simplifikasi bahwa Allah Swt. tidak ridha

jika seorang kafir menjadi imam (pemimpin) bagi orang-orang Muslimin.

Maka dengan demikian hukum perkawinan antara laki-laki non-Muslim

dengan wanita Muslimah adalah haram.141

2.2.5.6.6.8 Perkawinan Beda Agama Perspektif MUI

Terkait dengan perkawinan beda agama ini Majelis Ulama Indonesia

(MUI) pada tahun 1980 dan tahun 2005 secara tegas berfatwa bahwa yang

dimaksud dengan perkawinan antarpemeluk agama adalah perkawinan

antara orang Muslim atau Muslimah dengan non-Muslim atau non-

Muslimah. Adapun yang dimaksud dengan non-Muslim atau non-

Muslimah adalah “orang-orang musyrik dan ahli kitab.” 142

Ada dua hal penting yang digariskan dalam fatwa diatas yaitu:

pertama, perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim

hukumnya adalah haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan

mengawini perempuan non-Muslimah. Sedangkan terkait dengan

perkawinan antara laki-laki Muslim dengan perempuan ahli kitab terdapat

perbedaan pendapat, dan setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya

141
Fatwa Syaikh Nuh Ali Sulaiman, Fatwa Al-Ahwal Asyahsiyah, no. 39
142
Rumadi Ahmad, Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia: Kajian Kritis tentang
Karakteristik Praktik dan Implikasinya, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 2016), hlm. 174

108
lebih besar dari pada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia

memfatwakan bahwa hukum perkawinan tersebut haram.143

2.2.6 Diskursus Sosiologi Hukum

2.2.6.1 Pengertian Sosiologi Hukum

Guna mencari tahu perspektif sosiologi hukum tentang problematika

perkawinan beda agama maka penulis terlebih dahulu menjelaskan terkait

dengan pengertian Sosiologi hukum sebagai acuan dari diskursus dibagian ini.

Dalam bacaan penulis, setiap mengkaji tentang pengertian pasti bermunculan

berbagai pendapat dan konsep yang terkait dengan hal yang akan

didefinisikan. Begitu juga dengan pengertian Sosiologi Hukum, ada banyak

para ahli yang memberikan definisinya dalam nuansanya masing-masing.

Jika dilihat dari sudut pandang historis istilah sosiologi hukum (sociology

of law) pertama kali digunakan oleh Anzilotti yang merupakan orang Italia

pada tahun 1882. Selain itu juga ada Roscoe Pound yang mengenalkan istilah

sosiologi hukum dengan sociological jurisprudence. Sedangkan dari sudut

perkembangannya sosiologi hukum pada hakikatnya lahir dari hasil

pemikiran-pemikiran para ahli pemikir, baik itu dibidang filsafat hukum, ilmu

hukum ataupun sosiologi. Hasil pemikiran tersebut tidak hanya berasal dari

para individu-individu, akan tetapi juga berasal dari mazhab-mazhab atau

aliran-aliran yang mewakili sekelompok ahli pemikir yang pada garis

besarnya memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda.144

143
http://konawe.kemenag.go.id/file/dokumen/PerkawinanCampur.pdf dikases pada 24
Agustus 2023
144
Hasnati, Sosiologi Hukum : Bekerjanya Hukum di Tengah Masyarakat, (Yogyakarta:
Absolute Media, 2015), hlm. 11

109
Dibawah ini penulis jelaskan terkait dengan pengertian Sosiologi Hukum

dari perspektif berbagai ahli.

a. Perspektif R.Otje Salman. Sosilogi Hukum adalah suatu ilmu yang

mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala

sosial lainnya secara empiris analitis.145

b. Perspektif Munir Fuady. Sosiologi Hukum sebagai suatu studi yang

mempelajari fenomena masyarakat yang berkaitan dengan hukum, realitas

hukum, dan penelaahan empiris dari hukum, interaksi antara masyarakat

dan hukum, pengontrolan masyarakat atau pun pengontrolan hukum

terhadap kehidupan bermasyarakat, dengan mengamati pola perasaan

hukum, kesadaran hukum, perilaku hukum, efektivitas hukum dalam

masyarakat.146

c. Perspektif Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum merupakan ilmu

pengetahuan tentang realitas hukum, yang menyoroti tentang hubungan

(relasi) timbal balik antara hukum dengan proses-proses sosial lainnya

dalam masyarakat. Soerjono Soekanto juga menjelaskan bahwa Sosiologi

Hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain

meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal

untuk menaati hukum, serta mengkaji tentang faktor-faktor lain yang

mempengaruhinya.147

145
R. Otje Salman, Sosiologi Hukum: Suatu Pengantar, (Bandung: Armico, 1992), hlm.
13
146
Munir Fuady, Sosiologi Hukum Kontemporer, Interaksi Hukum, Kekuasaan dan
Masyarakat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.4
147
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
1982), hlm. 17

110
d. Perspektif M.P. Baumagartner. Sosiologi Hukum adalah kajian ilmiah

tentang kehidupan sosial dan dengan demikian sebagai kajian tentang

perilaku hukum (legal behavior).148

e. Perspektif Satijpto Rahardjo. Sosiologi hukum (sociology of law) adalah

sebagai pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam

konteks sosialnya.149 Dari beberapa pengertian para ahli diatas penulis

dapat mensimplifikasi bahwa segala bentuk aktifitas sosial masyarakat

apabila dilihat dari aspek hukumnya maka hal itu disebut dengan sosiologi

hukum.

2.2.6.2 Objek Kajian Sosiologi Hukum

Terkait dengan objek kajian sosiologi hukum ada beberapa ahli yang

berbeda dalam menjelaskannya. Diantaranya yaitu:

a. Perspektif Soerjono Soekanto. Bahwa objek kajian sosiologi hukum

meliputi: hukum dan struktur sosial, kaidah hukum, dan kaidah sosial

lainnya, stratifikasi sosial dan hukum, hukum dan kekerasan, kepastian

hukum dan keadilan hukum, hukum sebagai alat untuk melakukan

perubahan sosial, hukum dan nilai sosial budaya.150

b. Perspektif Satjipto Rahardjo. Bahwa objek kajian sosiologi hukum adalah

tentang pengorganisasian hukum.151 Titik tekannya dari yang dimakud

dengan pengorganisasian adalah hukum melalui badan-badan yang terlibat

148
Hamzarief Santaria, Konsep Sosiologi Hukum, (Malang: Setara Press, 2019), hlm. 3
149
Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, (Bandung: Cipta Aditya, 2000), hlm.310
150
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1980), hlm. ix
151
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum,
(Bandung: Alumni, 1977), hlm. 94

111
dalam penyelenggaraan hukum, yaitu pembuat undang-undang,

pengadilan, polisi, dan advokat.152

2.2.6.3 Ruang Lingkup Sosiologi Hukum

Dalam perspektif Satjipto Rahardjo. Bahwa ruang lingkup sosiologi hukum

berkait dengan dasar-dasar sosial dari suatu hukum, lazim juga disebut sebagai

basis sosial hukum.153 Artinya ruang lingkup sosiologi hukum adalah tentang

konteks mengapa suatu hukum lahir dan diberlakukan, meliputi nilai-nilai,

kondisi sosial, konflik dan lainnya. Misalnya, basis soial dari lahirnya Undang-

Undang No 5 Tahun 2008 tentang Pemberantasan Pornografi adalah banyaknya

kenyataan dalam masyarakat yang mengidikasikan terdampak negatif dari

peredaran pornografi yang sulit untuk dikendalikan dan tidak memiliki payung

hukum. Dari sini muncul keresahan masyarakat karena terjadi seks bebas

dikalangan remaja, kehamilan di luar nikah, pemerkosaan, dan lain sebagainya.

Dari problematika itu lah akhirnya muncul gagasan agar ada instrument hukum

yang secara tegas mengatur dan melarang peredaran pornografi serta hukuman

bagi para pelanggar. 154

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa kelahiran UU tentang

Pornografi ini tidak berada di ruang hampa yang tiba-tiba saja muncul tanpa

sebab. Oleh karena itu dalam bacaan penulis ruang lingkup yang paling

sederhana dari kajian sosiologi hukum adalah memperbincangkan gejala sosial

Zulfanun Ni’mah, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Teras, 2012),


152

hlm.21
153
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum,
hlm. 94
154
Zulfanun Ni’mah, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar, hlm.21-22

112
yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan

tindakan melawan hukum, atau dalam tindakan menaati hukum, serta tindakan

melakukan upaya hukum di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, atau juga

merupakan penafsiran dari masyarakat terhadap hukum, dan hukum sebagai

produk penafsiran masyarakat.

2.2.6.4 Krakteristik Sosiologi Hukum

Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa sosiologi hukum adalah

memadukan dua istilah yang awalnya digunakan secara terpisah, yaitu sosiologi

dan hukum. Dalam konteks sosiologi hukum ini yang dimaksud dengan hukum

disini bukanlah ilmu hukum, akan tetapi berbagai bentuk kaidah sosial atau

norma, etika berperilaku, peraturan undang-undang, kebijakan, dan lain

sebagainya yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia dalam

bermasyarakat, baik itu bertindak untuk dirinya sendiri atau orang lain. Atau

bahkan prilaku atau pola lain yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan

bernegara. Dengan demikian maka karateristik dari sosiologi hukum adalah

merupakan kajian sosial terkait dengan hukum yang berlaku dimasyarakat dan

perilaku serta gejala sosial yang menjadi penyebab lahirnya hukum

dimasyatakat.155

Untuk lebih detailnya dalam memahami karakteristik sosiologi hukum penulis

jelaskan sebagai berikut:

a. Karakteristik Sosiologi Hukum adalah berusaha untuk memberikan deskripsi

terhadap praktik-praktik hukum dalam masyarakat, apakah sesuai atau

155
Hasnati, Sosiologi Hukum : Bekerjanya Hukum di Tengah Masyarakat, hlm. 13-14

113
berbeda bahkan bertentangan dengan hukum yang ada di dalam kitab hukum,

atau hukum yang tak tertulis yang diyakini dan disosialisasikan dalam

masyarakat.

b. Karakteristik Sosiologi Hukum adalah menjelaskan mengapa suatu hukum

dipraktikkan sebagaimana yang ada dalam masyarakat. Apa sebab-sebabnya,

apa faktornya, dan apa saja pengaruhnya, bagaimana latar belakangnya dan

lain sebagainya.

c. Karakteristik Sosiologi Hukum adalah berusaha untuk menguji kesahihan

empiris (empirical validity), artinya suatu peraturan atau pernyataan hukum,

sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai atau tidak dengan

masyarakat tertentu.156

d. Karakteristik Sosiologi Hukum adalah tidak melakukan penilian terhadap

hukum. Artinya bagi yang melanggar atau pun yang menaati hukum

keduanya mendapatkan kedudukan yang setara sebagai objek kajiannya, tidak

menilai yang satu lebih baik dari pada yang lainnya. Sebab orientasi

utamanya adalah memberikan penjelasan terhadap objek yang dipelajari.157

2.2.6.5 Manfaat Sosiologi Hukum

Secara umum sosiologi hukum memilki manfaat sebagai sarana untuk

memberi pemahaman tentang fakta hukum dalam masyarakat (law in action)

untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat

kebijakan hukum yang telah ada.158 Berikut ini penulis jelaskan tentang

manfaat dari sosiologi hukum menurut beberapa ahli.

156
Yesmil Anwar, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta PT. Grasindo, 2007), hlm. 24
157
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006), hlm.8
158
Hamzarief Santaria, Konsep Sosiologi Hukum, (Malang: Setara Press, 2019), hlm.27

114
a. Gerard Turkel menyatakan bahwa manfaat dari sosiologi hukum adalah

untuk membantu menghilangkan blind spot (titik buta) di dunia hukum.

b. Schuyt mengatakan bahwa sosiologi hukum memiliki manfaat yaitu dapat

melihat fenomena-fenomena pada bidang yang bersifat pribadi

(persoonlijk), perbuatan para warga Negara tertentu sebagai kelanjutan

dari yang bersifat di atas pribadi (boven persoonlijk) struktur-struktur

institusional.

c. Satjipto Rahadjo mengatakan bahwa sosiologi hukum memiliki manfaat

untuk merelatifkan hukum menjadi tingkah laku manusia di dalam

masyarakat. Menjelaskan duduk persoalan tertentu dan tidak membuat

suatu penilian. Berupaya untuk mengetahui bagimana seluk-beluk

bekerjanya hukum dimasyarakat.

d. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa manfaat dari sosiologi hukum

adalah untuk memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum

di dalam konteks sosial. Serta membantu untuk memberikan kemampuan-

kemampuan dalam menganalisa terhadap efektivitas hukum dalam

masyarakat.

e. Sosiologi hukum juga memiliki manfaat tidak hanya untuk

mempersoalkan penelitian secara normatif (das sollent) saja, akan tetapi

juga mempersoalkan analisa-analisa normatif di dalam rangka efektivitas

hukum agar tujuan hukum dapat di implementasikan.159

2.2.6.6 Aliran-Aliran Mazhab Sosiologi Hukum dan Pemikirannya

159
Amran Suadi, Sosiologi Hukum: Pengeakan, Realitas & Nilai Moralitas Hukum,
(Jakarta: Kencana,2018), hlm. 26

115
Sosiologi hukum dalam perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari

pengaruh ilmu lain yaitu ilmu hukum, sosiologi dan filsafat. Maka dengan

demikian dalam diskursus sosiologi hukum pasti akan dihadapkan dengan

berbagai macam aliran mazhab serta pemikirannya. Dalam bacaan penulis, ada

beberapa aliran-aliran mazhab yang mempengaruhi perkembangan sosiologi

hukum diantaranya adalah:

2.2.6.6.1 Aliran Mazhab Formalistis

Salah satu tokoh pemikir yang mengagas aliran mazhab ini adalah

John Austin dan Hans Kelsen. Sebenarnya kedua tokoh ini memiliki

perbedaan, jika John Austin dikenal sebagai tokoh utama dari ajaran

postivisme maka Hans Kelsen lebih dikenal sebagai pencetus teori hukum

murni (pure theory of law). Oleh karena itu aliran mazhab formalistis

memiliki dua karakteristik yaitu ajaran postivisme dan teori hukum murni.

John Austin yang cenderung ke ajaran postivisme memiliki orientasi bahwa

sejatinya alam ini adalah sebuah keteraturan yang dihasilkan oleh hukum

sebab-akibat (cause-effect). Dalam perkembangannya ajaran postivisme ini

dikategorikan menjadi dua yaitu postivisme sosiologis dan hukum.160 Dan

Jhon Austin adalah merupakan tokoh utama dalam aliran postivisme yuridis.

Ajaran ini memiliki esensi terpenting yaitu bahwa hukum adalah perintah

dari pihak yang berdaulat (law was the command of sovereign).

Itu artinya Jhon Austin secara terang-terangan beranggapan bahwa apa

yang diterapkan atau ditetapkan oleh pemilik otoritas atau yang memiliki

kewenanglah yang merupakan kebenaran hukum. Kebenaran tidak

160
Hamzarief Santaria, Konsep Sosiologi Hukum, hlm. 32

116
tergantung pada kenyataan sosiologis, sejarah atau bahkan politik. Sebab

hukum akan adil jika berdiri dengan netral dan imparsial.161 Disisi lain teori

hukum murni yang dibawa oleh Hans Kelsen sejatinya adalah kelanjutan

dari ajaran postivisme, hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh

Satjipto Rahardjo bahwa teori hukum murni merupakan suatu

pemberontakan yang ditunjukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu

ilmu hukum yang hanya mengembangkan hukum sebagai alat kekuasaan

pemerintah dalam Negara totaliter.

2.2.6.6.2 Aliran Mazhab Utlitarianisme

Ada dua tokoh utama dalam aliran mazhab ini yaitu Jeremy Bentham

dan Rudolf von Jhering. Jika Jeremy Bentham dikenal sebagai bapak

Utilitarianisme Individual, sedangkan Rudolf von Jhering dikenal sebagai

bapak Utilitarianisme Sosiologis. Jeremy dikenal dengan konsep hukumnya

yaitu: The aim of the law is the greatest happiness of the greates number.

“baginya, hukum tidak lain bertujuan untuk memberikan kebahagiaan

tertinggi kepada sebanyak mungkin orang.” Apa yang dinyatakan oleh

Jeremy Bentham ini sejalan dan seirama dengan teori bahwa baik buruknya

suatu perbuatan akan diukur dari apakah perbuatan tersebut mendatangkan

kebahagiaan atau tidak.

Sebagai bapak Utilitarianisme Individual Jeremy Bentham memberikan

pandangan-pandangannya tentang hukum, bahwa hukum harus berorientasi

untuk memberikan kebahagiaan bagi individu-individu yang ada di dalam

161
Amran Suadi, Sosiologi Hukum: Pengeakan, Realitas & Nilai Moralitas Hukum, hlm.61

117
masyarakat. Dengan pandangan ini bukan berarti Jeremy Bentham

mengesampingkan kepentingan masyarakat. Utilistis atau kegunaan yang

oleh Jeremy Bentham diartikan dengan segala kesenangan, kebahagiaan,

keutungan, kebijakan, manfaat, atau segala cara untuk mencegah rasa sakit,

jahat dan ketidakbahagiaan.162 Dari penjelasan diatas terkait konsep

Utilistisnya Jeremy Betnham maka dapat penulis simplifikasi bahwa inti

ajaran Ultilistis diantaranya sebagaimana berikut:

a. Tujuan hukum dan wujud hukum adalah untuk menghadirkan

kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya.

b. Tujuan Undang-Undang adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi

masyarakat.

2.2.6.6.3 Aliran Mazhab Sosiological Jurisprudence

Eugen Ehrlich yang merupakan salah satu tokoh aliran mazhab

Sosiological Jurisprudence pernah menuliskan bahwa: The center of gravity

of legal development lies not in legislation, not in juristic, nor in judicial

decision, but in society itself.163 Melalui kalimat ini penulis

menginterpretasikan bahwa: “hukum tidak hanya terdapat dalam Undang-

Undang, tidak juga dalam ilmu hukum dan tidak pula dalam putusan

pengadilan, akan tetapi hukum berada di dalam masyarakat itu sendiri.”

Selain itu Eugen Ehrlich dalam salah satu karya ilmiahnya yang berjudul

Fundamental Prinsiple of Sociolgy of Law. Ia mengenalkan tentang teori

Living Law. Baginya teori ini sangat penting untuk membedakan antara

hukum positif dan living law. Eugen Ehrlich menyatakan bahwa efektifitas

162
Hamzarief Santaria, Konsep Dasar Sosiologi Hukum, (Malang: Setara Press, 2019),
hlm. 39-41
163
Achamd Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Prenamedia Group, 2015), hlm. 312

118
hukum positif sangat tergantung pada apakah hukum itu sudah senyawa

dengan living law atau hukum yang hidup dimasyarakat. Dalam hemat

penulis, teori Living Law ini sangat relevan dengan fakta empiris dari

implementasi hukum yang ada saat ini.

2.2.7 Perspektif Sosiologi Hukum Tentang Problematika Perkawinan Beda

Agama

Sudah sepatutnya kita bersyukur sebagai bangsa Indonesia yang dengan

pluralitas masyarakatnya baik itu dari agama, hukum, suku, bangsa dan lainnya

memiliki Undang-Undang Perkawinan Hukum yang berlaku secara Nasional.

Kelahirannya menjadi prestasi besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,

ditengah-tengah keanekaragaman hukum perkawinan yang berlaku saat itu.

Melalui kajian yang cukup lama dan menghadirkan pro-kontra dari berbagai

pasal-pasal yang ada, akhirnya berhasil membangun unifikasi hukum

perkawinan dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.

2.2.7.1 Sejarah Undang-Undang Perkawinan Perspektif Sosiologi Hukum

Pasca Indonesia merdeka tidak lalu kemudian keinginan untuk

memiliki undang-undang hukum keluarga khususnya yang berkaitan dengan

hukum perkawinan segera terwujud. Salah satu faktor yang menjadikan hal

tersebut tidak terealisasi adalah adanya keragaman (pluralisme) baik itu

etnik, agama dan golongan di Indonesia yang dalam hal perkawinan diatur

di dalam peraturan perkawinan yang berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan

apa yang ditentukan dalam Pasal II Aturan Peralihan UDD 1945, bahwa

119
segala badan Negara dan peraturan yang ada masih berlaku sepanjang belum

diadakan yang baru. Itu artinya, segala peraturan perundang-undangan yang

mengatur perkawinan yang merupakan produk hukum dari penjajah masih

berlaku meskipun Indonesia sudah merdeka. Misalnya, KUH Perdata atau

dikenal dengan BW (Burgelijk Wetboek) yang merupakan produk penjajah.

Hukum acara Perdata yang dikenal dengan sebutan (Herzien Inlandsch

Reglement) HIR, RBg atau yang lain merupakan produk hukum penjajah

yang sampai saat ini masih berlaku.164

Dalam bacaan penulis, dapat dijelaskan bahwa hukum perkawinan

yang berlaku pada saat transisi dari pasca penguasa kolonialis ke

pemerintahan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Hukum Islam bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam.

b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Huwelijks ordonnantie

Chirsten Indonesia (Stb.1933 Nomor 74), berlaku bagi orang-orang

Indonesia asli Kristen.

c. Hukum adat, yang berlaku bagi orang asil Indonesia lainnya.

d. KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan beberapa perubahan bagi

orang-orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan

Cina.

e. KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek), bagi orang-orang Eropa dan warga

Negara Indonesia keturunan Eropa serta yang disamakan dengan

mereka.

164
Imron Rosyidi, Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam, (Jakarta:
Kencana,2022),hlm. 12

120
f. Bagi orang-orang Timur Asia lainnya dan warga Negara keturunan

Timur Asing lainnya berlaku hukum adat mereka.165

Guna memenuhi kebutuhan praktis di lapangan bagi orang Indonesia

yang beragama Kristen dan warga Negara berketurunan Eropa dan Cina

serta yang dipersamakan, tidak banyak menghadapi kendala karena mereka

sudah memiliki kodifikasi hukum perkawinan yang sudah terhimpun dalam

KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek), HOCI, GHR. Hal ini berbeda dengan

umat Islam yang pada saat itu belum memiliki kodifikasi hukum perkawinan

dan masih tersebar di beberapa kitab fiqh dan sekaligus berfungsi sebagai

rujukan dalam memberikan solusi terkiat dengan problematika perkawinan.

Baru pada tahun 1946 setahun setelah kemerdekaan pemerintah berhasil

membuat regulasi peraturan perkawinan melalui Undang-Undang No.22

Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang diperuntukan

bagi umat Islam, dan hanya berlaku bagi penduduk wilayah Jawa dan

Madura. Karena dirasa kelahirannya sangat mendesak, sebab Undang-

Undang No.22 Tahun 1946 hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura

saja tidak mampu mencakup wilayah lainnya, maka akhirnya dimunculkan

Undang-Undang No.32 Tahun 1954 yang isinya berlaku secara Nasional.

Secara singkat penulis jelaskan tentang sejarah perkembangan UU

Perkawinan sebagai berikut:

165
Ibid…13 atau lihat juga penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.

121
1) Gagasan untuk mewujudkan unifikasi hukum perkawinan sejatinya

sudah ada sejak 1950. Yang mana disaat itu terbentuk panitia penyelidik

Peraturan Hukum Perkawinan (Panitia NTR).166

2) Baru pada tahun 1958 RUU perkawinan Umat Islam (RUU Khusus)

diajukan oleh pemerintah melalui Menteri Agama ke Parlemen.

3) Hukum Perkawinan Masa Orde Baru, lahir akibat desakan yang terus

muncul dari masyarakat. Akhirnya dalam sidang MPRS tahun 1966

melahirkan ketetapan No. XXVII/MPRS/1966. Yang pada Pasal 1 ayat

(3) TAP MPRS menyebutkan perlunya mewujudkan UU Perkawinan

yang berlaku untuk semua penduduk Indonesia.167

4) Pada tahun 1973 pemerintah mengajukkan RUU Perkawinan ke

Parlemen hasil Pemilu 1971, sekaligus menarik RUU yang peranh

diajukan sebelumnya.

5) Setelah melalui proses yang panjang akhirnya, pada tanggal 2 Januari

1974 RUU Perkawinan disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.168

Kendati demikian, Pemerintah dan DPR menyadari betul bahwa tidak

mudah untuk mengimplementasikan UU Perkawinan tersebut karena ada

beberapa bagian yang masih memperlukan sosialisasi dan pengaturan lebih

lanjut. Sebab kehadiran UU Perkawinan ini belum mampu mengatur seluruh

aspek yang terkait dengan perkawinan. Pada realitanya memang demikian

implementasi UU Perkawinan ini bermasalah bagi sebagaian golongan

166
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana-
PrenadaMedia Group, 2015), hlm.102
167
Imron Rosyidi, Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam, hlm. 15
168
Lemabaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.

122
masyarakat, salah satunya adalah permasalahan perkawinan beda agama.169

Itu artinya sejarah panjang perjalan UU Perkawinan di Indonesia jika dilihat

dari prespektif sosiologi hukum relevan dengan konsep “Het recht think

achter de feiten aan” yang artinya adalah ungkapan yang mengambarkan

betapa hukum selalu tertatih-tatih di belakang realitas sosial. Konsep

sosiologi ini dalam hemat penulis relevan dengan permasalahan perkawinan

beda agama di Negara yang pluralis seperti Indonesia. Kesenjangan antara

hukum dan peristiwa-peristiwa sosial akan menjadikan hukum kehilangan

kewibawaannya. Oleh karena itu hukum harus mampu bersenyawa bersama

setiap perubahan sosial yang ada.170

2.2.7.2 Contoh Kasus Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Bangsa Indonesia patut bersyukur meskipun memiliki latar belakang

keragaman hukum perkawinan, akan tetapi mampu melahirkan UU

Perkawinan yang berlaku secara nasional. Kehadiran UU Perkawinan

merupakan suatu prestasi yang ditunggu sejak Indonesia merdeka dan baru

terwujud setelah tiga puluh tahun kemudian. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

sulitnya menyatukan aspirasi hukum yang berkembang di masyarakat, yang

kemudian diambil langkah kompromi, menyebabkan ada pasal dalam UU

Perkawinan yang implementasinya sampai saat ini masih menyisahkan

beberapa persoalan. Kendati demikian kehadiran UU Perkawinan beda agama

169
Setiyowati, Hukum Perkawinan di Indonesia: Rekontruksi Perundang-Undangan
Berbasil Nilai Keadilan, (Malang: SetaraPress, 2021), hlm.3
170
Hamzarief Santaria, Konsep Sosiologi Hukum, (Malang: Setara Press, 2019), hlm. 35

123
di tengah-tengah realitas masyarakat yang prulasime hukum merupakan

prestasi yang luar biasa.171

Sebagaimana yang sudah umum diketahui bahwa perkawinan beda agama

adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan (laki-laki dan perempuan)

yang memiliki agama yang berbeda. Terkait dengan ini, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diberlakukan secara nasional

tidak mengatur tentang perkawinan beda agama sehingga tidak ada ruang bagi

pasangan beda agama untuk melakukan perkawinan di Indonesia.172 Sebab

UU Perkawinan meletakkan kedudukan agama pada kedudukan yang mulia,

hal ini sejalan dan seirama dengan pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 yang

berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabilah dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dalam hemat penulis dari

bunyi pasal tersebut jelas bahwa agama menjadi dasar utama dalam

membangun lembaga perkawinan yang baik dan sehat. Itu artinya tidak ada

suatu perkawinan pun yang dianggap sah jika tidak sesuai dengan ketentuan

agama.173

Terkait dengan bunyi pasal 2 ayat (1) diatas “menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya” dalam perspektif R.Subekti174

kalimat tersebut masih belum jelas (abigu) masksudnya. Apakah kedua belah

pihak calon suami-istri harus satu agama yang sama, atau satu kali menurut

hukum agama (kepercayaan) dari calon yang satu, dan sekali lagi menurut

171
Imron Rosyidi, Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam, hlm. 193
172
Setiyowati, Hukum Perkawinan di Indonesia: Rekontruksi Perundang-Undangan
Berbasil Nilai Keadilan, hlm.3
173
Imron Rosyidi, Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam, hlm. 194
174
Djaja S. Meliala, Perkawinan Beda Agama dan Penghayatan Kepercayaan di
Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, (Bandung: Nuansa Aulia, 2015), hlm.7

124
hukum agama (kepercayaan) dari calon yang lainnya. Meskipun dalam

praktiknya telah diambil penafisran satu agama yang sama, hal ini justru dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum. Sedangkan disisi lain yang terdapat

dalam UU Perkawinan pada Pasal 56 yang mengatur tentang perkawinan yang

dilaksanakan diluar Negeri, Bahwa dalam ketentuan Pasal 56 tersebut tidak

mensyaratkan atau menempatkan agama sebagai syarat syahnya perkawinan,

akan tetapi cukup didasarkan pada faktor hubungan keperdataan saja atau

hukum Negara yang berlaku di tempat perkawinan dilangsungkan.175

Dalam hemat penulis, tidak diaturnya perkawinan beda agama dalam UU

Perkawinan, menjadikan mereka yang memiliki pasangan beda agama jika

ingin melangsungkan perkawinan dapat menempuh jalan alternatif, seperti

bagi mereka yang memiliki biaya bisa melakukan perkawinan diluar negeri

yang mana dinegara tersebut tidak melarang perkawinan beda agama. Ada

juga opsi lain yaitu melakukan perkawinan dengan cara sesuai dengan

agamanya masing-masing (jika pasangan beragama Islam dan Kristen, maka

dilakukan perkawinan secara Islam kemudian secara Kristen), salah satu

melepaskan agama dan mengikuti agama pasangannya, dan jalan alternatif

lainnya. Akan tetapi berbagai jalan alternatif tersebut tidak lantas

menyelesaikan problematika secara tuntas. Sebab jika dikritisi lebih dalam

(elaborasi) jalan alternatif tersebut justru menghadirkan persoalan baru.

Misalnya, melakukan perkawinan dua kali sesuai dengan agamanya masing-

masing calon, bagi seorang Muslim tentu menyisakan pertanyaan apakah jika

suatu perkawinan dilaksanakan, sementara ada larangan perkawinan dengan

175
Setiyowati, Hukum Perkawinan di Indonesia: Rekontruksi Perundang-Undangan
Berbasil Nilai Keadilan, hlm.5

125
non-Muslim, yang secara hukum masih terjadi silang pendapat, baik yang

menyatakan haram, makruh dan boleh. Sedangkan untuk alternatif memilih

melapas agamanya dan mengikuti agama pasangannya, meskipun itu menjadi

hak masing-masing orang untuk pindah agama, persoalannya adalah hal

tersebut tidak semudah membalikan telapak tangan. Sebab persoalan agama

(keyakinan) adalah persoalan hati seseorang begitu juga dengan persoalan

cinta. Sebab dalam realitasnya tidak sedikit pasangan perkawinan beda agama

yang meninggalkan agamanya hanya untuk dapat hidup bersama dengan

wanita dambatan hati, setelah itu kembali lagi. Begitu juga dengan alternatif

lainnya yang pastinya jika dilakukan akan membuka persoalan baru.176

Persoalan perkawinan beda agama ini bukan saja menimbulkan silang

pendapat di anatara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering memunculkan

keresahan di tengah-tengah masyarakat. Dibawah ini penulis jelaskan

beberapa contoh terkait dengan perdebatan masalah perkawinan beda agama.

a. Kasus Andi Vonny Gani P dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan yang

berjuang demi mendapatkan keadilan hukum. Mereka berdua merupakan

calon pasangan suami-istri yang beda agama. Kasus ini bermula ketika

mereka hendak melangsungkan perkawinan beda agama, yang mana Andi

Vonny ini merupakan seorang wanita beragama Islam dan Adrianus Peturs

merupakan laki-laki beragama Kristen. Keduanya hendak melakukan

176
Imron Rosyidi, Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam, hlm. 195

126
perkawinan akan tetapi ditolak oleh KUA Kecamatan Tanah Abang, dan

Kantor Catatan Sipil Jakarta.177

Atas penolakan tersebut kemudian mereka mengajukan

permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah melakukan

permeriksaan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan penetapan

Nomor 382/Pdt.P/1986/PN.JKT.Pst., tanggal 11 April 1986. Pengadilan

membenarkan alasan KCS menolak kehendak melakukan perkawinan

tersebut karena hukum perkawinan tidak mengatur perkawinan beda

agama. Pegawai Pencatatan Nikah KCS mencatat perkawinan yang telah

dilaksanakan berdasarkan agama, sehingga perkawinan yang belum

dilaksanakan menurut agama, tidak dapat dicatatkan. Gagal dalam perkara

di tingkat pertama tidak menyurutkan niat mereka untuk melangsungkan

perkawinan beda agama, sehingga putusan PN Jakarta Pusat tersebut

diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Melalui putusan Nomor

1400/K/Pdt/1986, pada tanggal 20 Januari 1989 MA memberikan

menyatakan membatalkan penetapan PN Jakarta Pusat dengan Nomor

tanggal No.382/PDT/P/1986/PN.JKT.PTS., tanggal 11 April 1986. MA

akhirnya mengadili sendiri yang amar pokoknya adalah memerintahkan

Pencatat Sipil Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta agar

melangsungkan perkawinan antara Andi Vonny Gani P. dengan

Andrianus Petrus Hendrik Nelwan.

Diantara pertimbangan Hakim kasasi yang melatarbelakangi

putusan tersebut adalah: “Menimbang, bahwa dengan diajukannya

177
Surat Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang No.K2/MJ-
I/834/III/1986 tanggal 5 Maret 1986 dan Surat Kantor Catatan Sipil No.655/1.1755.4/cs/1986
Tanggal 5 Maret 1986.

127
permohonan untuk melangsungkan perkawinan kepada Kepala Kantor

Catatan Sipil di Jakarta, harus ditafsirkan bahwa pemohon berkehendak

untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam dan dengan

demikian harus ditafsirkan pula bahwa dengan mengajukan permohonan

itu pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (in casu

agama Islam), sehingga Pasal 8 sub F Undang-Undang RI No. I Tahun

1974 tentang perkawinan tidak lagi merupakan halangan untuk

dilangsungkannya perkawinan beda agama yang mereka kehendaki, dan

dalam hal atau keadaan yang demikian seharusnya Kantor Catatan Sipil

sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan atau

membatu melangsungkan perkawinan yang kedua calon suami istri tidak

beragama Islam wajib menerima permohonan pemohon. Menimbang,

bahwa dengan demikian penolakan Kantor Catatan Sipil untuk

melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan antara

pemohon dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan tidaklah dapat

dibenarkan, oleh karenanya harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan

mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi untuk sebagian”.

b. Perkara Permohonan Perkawinan Beda Agama yang diterima oleh

Pengadilan Negeri Magelang yang Terdaptar Nomor

04/Pdt.P/2012/PN.MGL.

Perkara tersebut diajukan oleh YK seorang laki-laki beragama

Islam dan YA seorang perempuan beragama Kristen. Dalam posita

permohonan tersebut dijelaskan bahwa YA bermaksud melaksanakan

perkawinan beda agama dan mengajukan ke Kantor Catatan Sipil, akan

128
tetapi ditolak dengan alasan Pemohon beragama Islam. Kehendak

Pemohon melangsungkan perkawinan berdasarkan agama Katolik diawali

dengan melaporkan kepada Ketua lingkungan Yohanes 1 (kelompok yang

bertugas membina warga untuk kegiatan di gereja termasuk urusan

perkawinan), yang kemudian dilakukan proses perkawinan di gereja

(pemberkatan) di hadapan Romo FX. K.H.Pr., sehingga keluar Surat

Perkawinan atas nama YK dan YA tertanggal 20 Oktober 2011.178

Dalam kasus lain yang juga diterima oleh Pengadilan Negeri

Magelang yang terdaftar dengan Nomor 06/Pdt.P/2014/PN.Mgl. Kasus

tersebut bermula dari permohonan yang diajukan oleh FR AG yang

beragama Islam sebagai Pemohon, yang hendak melakukan perkawinan

dengan pasangan pilihannya Brgt YS yang memeluk agama Katolik.

Keduanya memeluk agama yang berbeda akan tetapi Pemohon bermaksud

melangsungkan perkawinan menurut ketentuan agama yang dipeluk oleh

pasangannya.179

c. Pengadilan Negeri Ungaran

Di Pengadilan Negeri Ungaran Semarang juga pernah

membenarkan sikap Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan

perkawinan beda agama karena berdasarkan fakta kedua belah pihak

sama-sama bertahan dengan hukum pada masing-masing agamanya yang

mereka berdua yakini, maka hal ini menjadi alasan hakim untuk

memutuskan sebagaimana putusan Nomor:08/Pdt.P/2013/PN.Ung. Bahwa

pemohon (ARI J) yang beragama Islam, sedangkan calon istri (NTL S)

178
Penetapan PN Magelang Nomor 06/Pdt.P/2012/PN.Mgl.
179
Penetapan PN Magelang Nomor 06/Pdt.P/2014/PN.Mgl.

129
beragama Kristen. Dalam posita perkara tersebut diantaranya dijelaskan

bahwa Pemohon (ARI J) dan NTL S pernah membahas agar salah satunya

pindah agama sehingga perkawinan dapat dilaksanakan, namun akhirnya

keduanya tetap memilih pada agama masing-masing dan akan

mencatatkannya di Kantor Catatan Sipil. Pemohon dan calon istri yang

tetap bertahan dengan agamanya masing-masing, sedangkan UU

Perkawinan tidak memungkinkan perkawinan beda agama.

Maka berdasarkan hal tersebut, permohonan Pemohon

melangsungkan perkawinan beda agama. Setelah melakuka pemeriksaan,

Majelis Hakim Perkara tersebut, memutuskan bahwa permohonan ditolak.

Dengan ditolaknya permohonan perkawinan beda agama yang masing-

masing ingin tetap bertahan pada ketentuan agamanya, pengadilan

membenarkan sikap pegawi pencatatan perkawinan yang menolak untuk

mencatatkan perkawinan tersebut.180

d. Sedangkan Pengadilan Negeri Semarang Hakimnya menyatakan bahwa,

sebenarnya dalam persoalan perkawinan beda agama ini pemerintah telah

memberikan jalan alternatif melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Menurutnya, bagi

mereka yang akan melakukan perkawinan beda agama dapat dilakukan

melalui permohonan izin kepada Pengadilan Negeri”.181

180
Imron Rosyidi, Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam, hlm. 212
181
Setiyowati, Hukum Perkawinan di Indonesia: Rekontruksi Perundang-Undangan
Berbasis Nilai Keadilan, hlm.8

130
Sebenarnya hakim dalam hal menerima permohonan izin atau

penetapan diperbolehkannya perkawinan beda agama ini memiliki

kewenangan untuk menilai tentang keabsahan perkawinan dari pasangan

yang berbeda agama tersebut. Kantor Catatan Sipil hanya memiliki tugas

atau kewenangan untuk mencatat perkawinan beda agama sesuai dengan

perintah undang-undang atau pengadilan. Hakim seharusnya dalam

menilai keabsahan perkawinan beda agama harus tetap memperhatikan

ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

e. Pengadilan Negeri Surabaya

Pernah menangani kasus tentang permohonan Perkawinan beda

agama dan mengeluarkan penetapan pada kasus tersebut dengan Nomor

916/Pdt.P/2022/PN.Sby tentang permohonan perkawinan beda agama

yang diajukan oleh seorang Muslim dengan nama inisial RA yang

berencana akan melaksanakan perkawinan dengan wanita beragama

Kristen yang bernama inisial EDS. Dalam penetapan terhadap

permohonan tersebut Hakim PN Surabaya memiliki tiga dasar

pertimbangan yaitu. Pertama, Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Dasar 1945 jo PP No. 9 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Perkawinan. Kedua, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ketiga,

Pasal 35 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi.

Maka atas dasar pertimbangan tersebut Hakim memutuskan

bahwa: (a) Hakim mengabulkan permohonan Para Pemohon. (b) Hakim

memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan Perkawinan

beda agama dihadapan Pejabat Kantor Dinas Kepedudukan Catatan Sipil

131
Kotamadya Surabaya. (c). Hakim memerintahkan kepada Pejabat Kantor

Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kotamadya Surabaya untuk

melakukan Pencatatan Perkawinan beda agama Para Pemohon.182

Dari beberapa kasus dan sudah diputuskan baik itu di MA atau pun

di PN mengindikasikan bahwa ketentuan-ketentuan tentang keabsahan

perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

mengandung kententuan yang bersifat ganda sehingga menimbulkan

keresahan, ketidakjelasan, ketidakpastian yang akhirnya menimbulkan rasa

ketidakadilan pada masyarakat. Oleh karena itu, terhadap ketentuan-

ketenuan tersebut perlu dilakukan pengaturan kembali atau rekontruksi

dalam rangka menemukan konstruksi baru dalam peraturan perkawinan

terutama yang berkaitan dengan perkawinan beda agama. Sehigga mampu

mencerminkan sifat adil bagi seluruh masyarakat dimasa yang akan

datang.183

Dari berbagai permasalahan diatas terkait dengan problematika

hukum perkawinan terutama yang beda agama jika dilihat dari perspektif

sosiologi hukum sebagaimana yang sudah penulis jelaskan dalam tujuan

dan fungsi sosiologi hukum bahwa fungsi hukum menurut Joseph Raz

dibagi menjadi dua yaitu fungsi hukum langsung, dan fungsi hukum tidak

langsung. Relevansi dengan persoalan diatas yaitu kaitannya dengan

perkawinan beda agama fungsi hukum secara langsung adalah UU

Perkawinan No 1 Tahun 1974 ini memiliki fungsi untuk mengatur

182
Penetapan PN Surabaya Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby.
183
Setiyowati, Hukum Perkawinan di Indonesia: Rekontruksi Perundang-Undangan
Berbasil Nilai Keadilan, hlm.9

132
pelaksanaan perkawinan secara nasional. Sedangkan fungsi hukum tidak

langsung dalam kaitannya dengan permasalahan perkawinan beda agama

diatas adalah untuk memperkuat atau memperlemah kecenderungan untuk

menghargai nilai-nilai moral tertentu, seperti kesucian hidup, memperkuat

atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas tertentu di dalam

masyarakat dan mempengaruhi perasaan kesatuan nasional.184

Selain dari dua fungsi hukum yang disampaikan oleh Joseph Raz

dalam diskursus kajian sosiologi hukum, hukum juga memiliki fungsi

yaitu: a tool of social control: hukum berfungsi sebagai pengendalian

sosial. A tool of social engineering: hukum sebagai sarana rekayasa sosial.

Symbol: fungsi hukum sebagai simbol. Political Instrument: fungsi hukum

sebagai alat politik, dan integrator: fungsi hukum sebagai sarana

pengintegrasian. Sedangkan terkait dengan tipe-tipe hukum yang ada di

masyarakat dalam diskursus sosiologi hukum kehadirannya sangat

fundamental sebab ciri utama aliran hukum sosiologis adalah memandang

bahwa hukum tidak mungkin terpisahkan dari realitas sosial sehingga

orientasinya adalah law in action.185

Setidaknya dalam bacaan penulis ada beberapa tipe hukum yang

dikaji di dalam sosiologi hukum, hal ini sejalan dengan apa yang

disampaikan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, keduanya dikenal

sebagai pelopor Teori Pembangunan Hukum (Development Theory of

Law). Di dalam masyarakat menurut perspektif Philippe Nonet ada tiga

184
Hamzarief Santaria, Konsep Dasar Sosiologi Hukum, (Malang:Setara Press,2019),hlm.
114
185
Hamzarief Santaria, Konsep Dasar Sosiologi Hukum, hlm. 135

133
tipe hukum yaitu hukum represif (repressive law), hukum otonom

(autonomus law), dan hukum responsif (responsive law). Dari tiga tipe

hukum itu kemudian Philippe dan Selznick menjelaskan.186 Pertama,

bahwa yang dimaksud dengan hukum Represif adalah hukum yang

mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang

represif. Kedua, hukum otonom yang dimaksud disini adalah hukum yang

memiliki tujuan untuk meredam sikap represif dan kewenangan penguasa

terhadap masyarakat, itu artinya hukum otonom memiliki orientasi untuk

mengawasi kekuasaan yang menindas dan memaksa yang ada pada hukum

represif. Ketiga, hukum responsif secara sederhana dapat dipahami sebagai

keterbukaan terhadap publik, sebab hukum ini memiliki sifat adaptif di

tengah perkembangan masyarakat, mampu mengeritisi lembaga-lembaga

yang memiliki otoritas atau produk hukum yang sudah mapan, dan

selanjut mendorong untuk melakukan perubahan.187

Sedangkan seorang Begawan hukum Indonesia terkemuka yaitu

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo yang dikenal dengan ahli hukum beraliran

sosiologis. Dalam kaitannya dengan tipe hukum Satjipto Rahardjo

memperkenalkan salah satu tipe hukum yang disebut dengan hukum

Progresif. Ia kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum

progresif adalah merupakan serangkaian tindakan radikal yang dapat

mengubah sistem hukum. Termasuk juga mengubah peraturan-peraturan

186
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, (Bandung: Nusa Media, 2013),
hlm.37
187
Wahyu Nugroho, Menyusun Undang-Undang yang Responsif dan Partisipatif
Berdasarkan Cita Hukum Pancasila,(Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.10 No.03-September, 2013),
hlm.112

134
yang ada pada hukum jika diperlukan. Hukum progresif memiliki tujuan

untuk dapat menjadikan hukum jauh lebih bermanfaat dan berguna

terutama dalam hal mengangkat harga diri dan juga menjamin

kebahagiaan.188

2.2.8 Perspektif Teori Hukum Progresif Tentang Perkawinan Beda Agama

Dalam diskursus sosiologi hukum kontemporer terdapat teori hukum

progresif yang dipelapori oleh Satjipto Rahardjo. Ia menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan hukum progresif adalah mengubah secara cepat, melakukan

pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan

berbagai trobosan.189 Pengertian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa

hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya.190 Secara lebih sederhana

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum progresif adalah hukum yang

melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir ataupun bertindak dalam

hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk

menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak

ada rekayasa atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab dalam

perspektif Satijpto Rahardjo hukum memiliki tujuan untuk menciptakan

keadilan, kesejahteraan bagi semua rakyat. 191

Terkait dengan pengertian hukum progresif ada beberapa tokoh yang

berpendapat misalnya, apa yang disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah

188
http://www.pengertianartidefinisi.com/pengertian-hukum-progresif/ diakses tanggal 6
Oktober 2023.
189
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, (Surakarta:
Muhammadyah Press University, 2004), hlm.17
190
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 154
191
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan (Surakarta:
Muhammadiyah Press University, 2004), hlm.17

135
Konstitusi yaitu Mahfud MD yang mengatakan bahwa hukum progresif itu sulit

untuk didefinisikan. Akan tetapi, bagi seorang hakim, hukum progresif adalah

hukum yang bertumpu pada kayakinan hakim, yang mana hakim tidak

terbelenggu pada rumusan undang-undang. Sebab dengan mengimplementasikan

hukum progresif, seorang hakim berani mencari dan memberikan keadilan dengan

melanggar undang-undang. Hal itu dilakukan, apabila undang-undang tak

selamanya bersifat adil.192 Sedangkan Deny Indrayana menyatakan bahwa hukum

progresif bukan hanya teks, akan tetapi juga konteks. Ia kemudian melanjutkan

penjelasannya bahwa hukum progresif mendudukkan kepastian, kemanfaatan,

keadilan dalam satu garis. Itu artinya hukum yang memiliki sifat terlalu kaku akan

cenderung tidak adil. Hukum progresif bukan hanya taat pada formal procedural

birokratis akan tetapi juga material-substantif.

Apa yang dinyatakan oleh Deny Indryana tersebut sejalan dan seirama

dengan apa yang dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa penegakan hukum

progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam putih

dari peraturan (according to the letter in text), melainkan menurut semangat dan

makna lebih dalam (to verify meaning) dari undang-undang atau hukum. Sebab

dalam hal penegakkan hukum bukan hanya tentang kualitas kecerdasan intelektual

saja, akan tetapi juga melibatkan peran kecerdasan spiritual. Artinya, penegakan

hukum yang dilakukan dengan penuh deternimasi, empati, dedikasi, komitmen

192
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt529c62a965ce3/menggali-karakter-hukum-
progresif. Diakses pada tanggal 6 Oktober 2023

136
terhadap penderitaan bangsa dan disertai dengan keberanian untuk mencari solusi

jalan keluar dari pada yang biasa dilakukan.193

Perkawinan beda agama sebagaimana yang sudah dijelaskan merupakan

perkawinan yang dilakukan antara dua individu yang memeluk agama berbeda.

Maka dalam perspektif teori hukum progresif persoalan tersebut merupakan salah

satu bentuk perubahan sosial yang perlu diakomodasi oleh hukum. Sebab dalam

kajian sosiologi hukum (teori hukum progresif) diawali dengan premis dasar

bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan berlaku sebaliknya. Dalam teori

hukum progresif tidak diterima hukum yang bersifat mutlak dan final, akan tetapi

sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk melayani umat manusia. Konsep

ideologis ini diusulkan untuk di implementasikan pada level agenda akademik dan

aksi.

Hukum Progresif merupakan koreksian kelemahan besar dari sistem

hukum modern yang menentang birokrasi dan ingin bebas dari aturan semacam

hukum liberal. Hukum progresif menolak tatanan yang hanya beroperasi di dalam

institusi negara. Hukum progresif bertujuan untuk melindungi rakyat terhadap

cita-cita hukum dan menolak status quo, serta menginginkan hukum yang

memiliki nurani dan menjadi institusi yang bermoral. Hukum adalah suatu

institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,

sejahtera dan membuat manusia bahagia.

Satipto Raharjo mengatakan, teori hukum progresif yang diusungnya

dibiarkan mengalir karena secara otomatis membentuk identitas dirinya sendiri.

193
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hlm. xiii

137
Term “diri” yang terdapat dalam pengertian tersebut diartikan sebagai kalimat

yang menunjukkan bahwa persoalan keadilan adalah persoalan keabadian manusia

sampai akhir zaman. Manusialah yang menimbulkan pertanyaan apakah keadilan

harus ditegakkan dan kepada siapa keadilan harus diterapkan. Itu sangat

tergantung pada siapa pengontrolnya. Ketika sebuah kasus ditangani oleh hakim

maka hakimlah yang mengontrol keadilan tersebut. 194

Perkawinan beda agama dalam perspektif hukum progresif dapat di telisik

dari beberapa potensi aspek progresif dalam ketiga undang-undang yang telah

digunakan hakim dalam menetapkan kasus tersebut yang mendukung isu-isu

keprogresifitasan perkawinan beda agama, diantaranya:

a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945

menegaskan tentang kebebasan beragama dan beribadah bagi penduduk

Indonesia. Prinsip ini mendukung pendekatan progresif dalam menghormati

kebebasan individu untuk memilih pasangan hidup berdasarkan keyakinan

agama masing-masing.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang

ini memberikan dasar hukum bagi perkawinan di Indonesia dan mengakui

keberagaman agama. Meskipun tidak secara khusus menyebutkan dan

mengakomodir kasus perkawinan beda agama, namun ketentuan ini

membuka peluang bagi perkawinan beda agama, selama memenuhi

persyaratan agama yang dianut masing-masing mempelai.

194
Rofiqun Najib, Tesis: Analisis Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/Pn.Sby Terkait
Legalitas Kawin Beda Agama Perspektif Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo, (Malang:
PascaSarjana Program Magister al-Ahwal al-Syakhshiyyah UIN Maliki,2022), hlm. 97

138
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Undang-Undang ini mengatur tentang administrasi kependudukan, termasuk

pencatatan perkawinan dan status anak yang lahir dari perkawinan beda

agama. Meskipun juga tidak secara eksplisit mengatur tentang perkawinan

beda agama, Undang-Undang ini memastikan pencatatan perkawinan dan

memberikan status kependudukan yang sesuai dengan hukum negara dan

keyakinan dari masing-masing pihak. Dalam konteks teori hukum progresif,

perkawinan beda agama akan dianggap sebagai bentuk kemajuan dalam

masyarakat yang semakin pluralistik.

d. Prinsip dasar dari teori hukum progresif adalah bahwa hukum harus bisa

beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam

masyarakat. Dalam hal ini, teori hukum progresif akan memandang bahwa

perkawinan beda agama seharusnya diakui dan diatur oleh hukum, sehingga

individu-individu yang ingin melakukan perkawinan dengan pasangan dari

agama yang berbeda dapat melakukannya secara sah dan mendapatkan

perlindungan hukum yang sama seperti perkawinan pada umumnya.

Pendekatan hukum progresif juga akan mempertimbangkan perlunya

melindungi hak-hak individu yang terlibat dalam perkawinan beda agama,

seperti hak untuk memeluk agama masing-masing, hak untuk mempraktikkan

agama secara bebas, dan hak untuk mendidik anak-anak dalam agama yang

diinginkan oleh kedua orang tua.

Namun demikian, implementasi hukum terkait perkawinan beda

agama dapat berbeda-beda di setiap negara, tergantung pada konteks sosial,

budaya, dan sistem hukum yang berlaku. Beberapa negara mungkin

139
mengadopsi pendekatan yang inklusif dan memberikan kebebasan penuh bagi

perkawinan beda agama, sementara negara lain mungkin memiliki

pembatasan atau persyaratan khusus yang harus dipenuhi. Dalam konteks

teori hukum progresif, penting untuk memastikan bahwa hukum mengakui

keberagaman dan melindungi hak-hak individu, sambil tetap

mempertimbangkan kepentingan umum dan nilai-nilai fundamental dalam

masyarakat.

Selain polemik perkawinan beda agama yang mampu terselesaikan

dengan perspektif hukum progresif, ada juga beberapa kasus lain dan itu

sudah diputuskan, misalnya kasus Angelina Sondakh yang mana dalam pesan

blackberry massanger pada saat itu menjadi salah satu alat bukti dari kasus

tersebut, tidak ada satu pun pesan yang menyatakan uang, yang ada justru

hanya kata “Apel Malang” dan “Apel Washington”, kendati demikian

penyidik tetap meyakini bahwa kedua istilah tersebut yang ada dalam kasus

Angelina Sondakh berkonotasi uang. Oleh karena itu, akhirnya ditetapkan

hukuman 12 tahun penjara dari Mahkamah Agung dan hal itu dalam hemat

penulis memperlihatkan bahwa hakim dan penyidik telah


195
mengimplementasikan teori hukum progresif. Begitu juga dengan kasus

“Barangnya Bismar” yang merupakan salah satu contoh paling baik dalam

mengimplementasikan hukum progersif.

195
Hamzarief Santaria, Konsep Dasar Sosiologi Hukum, hlm. 142

140
2.3 Kerangka Berpikir

Setiap penelitian pasti selalu menggunakan teori. Sebagaimana

umumnya diketahui bahwa teori diartikan sebagai suatu perangkat yang

saling berhubungan antar konsep, konstruksi, definisi atau proposisi

(pernyataan) yang menyajikan gambaran secara sistematis dengan

mengkhususkan hubungan antara variabel yang bertujujan untuk

menjelaskan dan memprediksi fenomena. Dan salah satu fungsi utama dari

teori adalah memberikan penjelasan tentang gejala-gejala, baik yang bersifat

alamiah atau pun bersifat sosial. Pemenuhan fungsi tersebut tidak hanya

dilakukan dengan mengemukakan gejala, melainkan disertai dengan

keterangan tentang gejala tersebut. Hal ini menegaskan bahwa fungsi teori

adalah menjelaskan keterkaitan antara kajian teoritis dengan hal-hal yang

sifatnya empiris. Dalam pengertian lain dijelaskan bahwa teori adalah

kumpulan konsep-konsep yang terintegrasi, defenisi dan preposisi yang

menampilkan fenomena secara sistematis melalui hubungan antara variabel

dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksikan fenomena tersebut.196

Sedangkan landasan teori tersebut merupakan ciri bahwa penelitian

itu merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data. Di samping penggunaan

teori itu penting, ada juga hal perlu dilakukan oleh peneliti yaitu menyusun

kerangka pikir.197 Kerangka pikir adalah alur berpikir yang disusun secara

singkat untuk menjelaskan bagaimana sebuah penelitian dilakukan dari awal,

proses pelaksanaan hingga akhir. Hal ini sebagaiman yang disampaikan oleh

Sugiono bahwa kerangka pikir merupakan model konseptual tentang

196
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial. Berbagai Pendekatan
Alternatif, (Cet-8, Jakarta: Kencana, 2015), 34.
197
Ibid,…65

141
bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah

diidentifikasi sebagai masalah yang penting.198

Kerangka pikir ini merupakan penjelasan sementara terhadap gejala-

gejala yang menjadi objek permasalahan. Kriteria utama agar suatu kerangka

pemikiran bisa meyakinkan sesama ilmuan adalah alur pikiran yang logis

dalam membangun suatu kerangka pikir sehingga menghasilkan kesimpulan

yang berupa hipotesis, dan yang disusun dari berbagai teori yang telah

dideskripsikan. Adapun kerangka berpikir dalam tesisi ini adalah sebagai

berikut:

Perkawinan Beda Agama


Prsepektif Hukum Islam dan
Sosiologi Hukum

1. UUP No. 1 Tahun 1974


1. Al-Qur’an- Hadits 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2. Perspektif Mufassir 2006 tentang Administrasi
3. Perspektif Fuquha’ Kependudukan
4. Perspektif Kontemporer 3. Sosiologi Hukum
4. Teori Hukum Progresif

Perkawinan beda Agama memiliki dampak positif sebagai salah satu cara di dalam
menjaga harmonisasi umat beragama yang dimulai dari elemen keluarga.

Pluralitas Masyarakat di Indonesia adalah Harmonisasi menjadi harga


kekayaan yang tidak dimiliki oleh Negara mati demi merawat Negara
lain. Ada enam agama yang diakui di kesatuan Republik Indonesia
Indonesia dengan berbagai macam bentuk yang berfilosofi Bhineka
Tunggal Ika dan beridiologi
doktrinya mengatur tentang hukum Pancasila.
perkawinan.

198
Sugiyono, Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&d, (
Cet-3, Bandung: Alfabeta, 2020), hlm. 91

142
Dalam perspektif hukum Islam diskursus tentang perkawinan beda agama masih
menyisahkan polemik. Diantara sebabnya adalah terjadinya silang pendapat dari ahli
hukum Islam tentang interpretasi ayat 221 dalam QS. al-Baqarah dan ayat 5 QS. al-
Ma’idah. Selain itu juga masih terjadi silang pendapat tentang interpretasi dari makna
ahl al-kitab dan Musyrik. Maka oleh karena itu problematika perkawinan beda agama
masih menarik untuk di elaborasi.

Sedangkan dalam perspektif sosiologi hukum diskursus tentang perkawinan beda


agama juga masih menarik untuk dielaborasi. Sebab sosiologi hukum merupakan salah
satu ilmu pengetahuan yang memiliki peran untuk menganalisa hukum yang ada di
dalam masyarakat. Selain itu sosiologi hukum juga memiliki beberapa teori,
diantaranya adalah teori hukum progresif yang mana teori hukum ini memiliki orientasi
bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya.

Observasi, Wawancara, Dokumentasi

Novelty (Temuan Terbaru Peneliti)

143
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan sebuah pendekatan yang dikenal dengan

pendekatan kualitatif. Yaitu merupakan salah satu prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-

orang yang diamati.199

Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

teologis normatif, yuridis, historis, dan sosiologis kultural.

a. Teologis normatif

Teologis normatif adalah pendekatan yang digunakan penulis untuk

mengkaji praktik perkawinan beda agama, studi kasus terhadap dampak

dari perkawinan beda agama sebagai salah satu cara menjadikan

harmonisasi umat beragama dengen menggunakan perspektif agama yang

ada di Indonesia.

b. Yuridis

Yuridis adalah pendekatan yang digunakan dengan melacak pada peraturan

perundang-undangan yang ada termasuk pendapat para pakar mengenai

perkawinan beda agama.

c. Historis

Historis adalah pendekatan yang dugunakan dalam rangka menelusuri jejak

sejarah perkawinan beda agama yang pernah terjadi di masa lampau.

199
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D
(Cet-8 Bandung: CV. Alfabeta, 2020), hlm. 7

144
Pendekatan historis diarahkan kepada penelitian kritis terhadap keadaan di

masa lampau dan menimbang secara teliti dan hati-hati tentang bukti dan

validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber

keterangan tersebut.

d. Sosiologis kultural

Sosiologis kultural adalah pendekatan yang digunakan dengan melihat

kondisi sosial budaya masyarakat yang sangat menghargai sikap

pluralisme, terutama menyangkut sikap keberagamaan dan kemasyarakatan

yang ada di Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang.

Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah

studi kasus (case study), yakni suatu bentuk penelitian yang mendalam

tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di dalamnya.

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menelusuri dan menemukan kasus-

kasus perkawinan beda agama yang terjadi di Desa Gadingkulon, Kec. Dau,

Kab. Malang. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kejelasan tentang

permasalahan yang muncul sebagai akibat dari perkawinan beda agama

terhadap harmonisasi umat beragama.

Adapun tujuannya adalah untuk menjelaskan aspek yang relevan

dengan fenomena yang diamati dan menjelaskan karakteristik fenomena

atau masalah yang ada.

3.2 Kehadiran Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama

penelitian yang wajib hadir sendiri secara langsung di lapangan untuk

145
mengumpulkan data itu artinya bahwa kedudukan peneliti dalam penelitian

kualitatif cukup rumit. Peneliti berperan sebagai perencana, pelaksana,

pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi

pelapor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini

tepat karena ia menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian.

Oleh karena itu, pada waktu pengumpulan data lapangan peneliti

berperan menjadi partisipan dalam melihat subjek yang diteliti, serta mengikuti

secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang ada di lapangan. Peneliti di lokasi

statusnya juga sebagai pengamat partisipan. Disamping itu kehadiran peneliti

diketahui statusnya oleh pihak Pemangku kebijakan pemerintah Desa

Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang.

3.3 Latar Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang,

dengan alasan sebagai berikut:

a. Secara data jumlah pemeluk agama yang ada di Desa Gadingkulon Kec. Dau

Kab. Malang mayoritas adalah umat Islam dengan jumlah 3.941 dengan

perincian 1.952 laki-laki, dan 1.989 perempuan. Sedangkan jumlah pemeluk

agama Kristen di Desa Gadingkulon berjumalah 183, sebanyak 100

merupakan laki-laki, dan 83 perempuan.

b. Dari data diatas Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang cocok untuk

dijadikan objek penelitian tentang perkawinan beda agama.

c. Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang menjadi objek penelitian sebab

terdapat beberpa warga masyarakat yang sudah melakukan perkawinan beda

146
agama dan sampai sekarang masih terjalin maligai rumah tangga yang

harmonis.

3.4 Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari orang,

peristiwa, dokumentasi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh

Arikunto bahwa yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah

subyek dari mana data dapat di peroleh.200 Bila dilihat dari sumber datanya,

pengumpulan data dapat menggunakan sumber data primer dan sumber data

sekunder.

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data

kepada pengumpul data.201 Artinya data ini bisa diperoleh dari hasil

wawancara dan observasi secara langsung di lokasi penelitian. Sumber

data primer dalam penelitian ini adalah warga masyarakat Desa

Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang yang sudah melakukan praktik

perkawinan beda agama.

Peneliti menggunakan sumber data tersebut untuk mendapatkan

informasi langsung mengenai pelaksanaan perkawinan beda agama

sebagai harmonisasi umat beragama yang ada di Desa Gadingkulon Kec.

Dau Kab. Malang. Usaha dalam mendapatkan data yang akurat peneliti

mengambil beberapa informasi yang benar-benar dapat memberikan

penjelasan tentang apa yang akan dibahas dalam penelitian.

200
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta : PT.
Rineka Cipta, 2013),hlm.172
201
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D
(Cet-8 Bandung: CV. Alfabeta, 2020), hlm. 38

147
Untuk informasi yang digunakan sebagai sumber data adalah (a)

jujur dan mampu berbicara, (b) menjadi pelaku yang melakukan

perkawinan beda agama di Desa Gadingkulon, (c) memiliki waktu dan

mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan fokus penelitian.

Menurut peneliti, warga masyarakat Desa Gadingkulon Kabupaten

Malang di nilai memiliki kriteria tersebut, sehingga mampu menjawab

pertanyaan yang peneliti ajukan.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan

data kepada pengumpul data misalnya lewat orang lain atau lewat

dokumen.202 Disini peneliti berusaha untuk mencari data seluas-luasnya

dan selengkap mungkin yang berhubungan dengan permasalahan yang

dikaji dalam penelitian ini.

Sumber data dalam penelitian ini tidak mengesampingkan karya

tulis terdahulu baik itu berupa buku, artikel, jurnal, tesis, disertasi yang

relevan dengan penelitian. Untuk memperoleh data penulis mempelajari

karya tulis yang relevan dengan penelitian yaitu tentang Perkawinan Beda

Agama Sebagai Harmonisasi Umat Beragama di Desa Gadingkulon Kec.

Dau Kab. Malang.

3.5 Prosedur Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data di lapangan, penulis menggunakan

beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut :

202
Ibid, hlm. 308

148
a. Observasi, pengamatan secara langsung terhadap gejala yang tampak pada

objek penelitian.203 Observasi yang dimaksud meliputi pengamatan yang

dilakukan secara langsung maupun tidak langsung terhadap obyek yang

sedang diteliti untuk memperoleh gambaran tentang penelitian yang akan

peneliti lakukan. Observasi yang dilakukan dengan mencari informasi

mengenai identitas pelaku yang melakukan perkawinan beda agama,

meminta ijin terkait penelitian yang akan dilaksanakan, apakah informan

bersedia peneliti wawancarai atau tidak. Jika informan bersedia untuk

diwawancarai maka penelitian akan dilanjutkan kepada informan tersebut.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

dengan cara tanya jawab antara sipenanya atau pewawancara dengan

sipenjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan

interview guide (panduan wawancara).

1) Langsung

Peneliti secara langsung terjun ketempat penelitian dan melakukan

wawancara mendalam dengan bertemu tatap muka secara langsung

untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan semua

kejadian yang menunjang untuk pengumpulan data kepada fokus

penelitian. Dalam hal ini wawancara yang dilakukan tidak terstruktur

dengan melakukan wawancara bebas tanpa menggunakan pedoman

203
Burhan Bungin, Penelitian kualitatif komunikasi, ekonomi, kebijakan public dan ilmu
sosial lainnya, Edisi 1, cet.1 (Jakarta: Kencana prenada media group, 2007), hlm. 115

149
wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan kompleks untuk

memperoleh informasi.204

Akan tetapi peneliti tetap menggunakan pedoman wawancara

sebagai panduan agar mendapatkan data yang fokus dari penelitian.

Kemudian peneliti merekam dan mencatat hasil wawancara dan

mengkonfirmasikan kembali hasil dari wawancara kepada informan

atas segala kebenaran dan keautentikan data yang diperoleh, sehingga

mendapatkan data yang cukup dan valid. Wawancara ini ditujukan

kepada pihak informan yang terkait.

2) Tidak Langsung

Peneliti melakukan wawancara mendalam melalui telepon dan chatting

mengenai semua kejadian, usaha, dan manfaat yang menunjang untuk

pengumpulan data kepada fokus penelitian kepada informan dengan

merekam dan mencatat hasil wawancara dan mengkonfirmasikan

kembali hasil dari wawancara kepada informan atas segala kebenaran

dan keautentikan data yang diperoleh, sehingga mendapatkan data yang

cukup dan valid.205

Penggunaan teknik wawancara melalui telepon dan chatting karena

dapat membut informan merasa aman dan nyaman terhadap

penyampaian informasi yang menyangkut hal pribadi informan, yang

terkadang ada sebagian informasi yang informan merasa tidak tidak

bisa mengungkapkan jika bertemu secara langsung. Dengan wawancara

204
Ibid,…140
205
Ibid,…312

150
telepon dan chatting, informan dapat mengungkap semua informasi

dengan rasa aman dan tenang dan tidak merasa terancam.206

c. Dokumentasi

Dokumentasi dalam hal ini digunakan oleh peneliti untuk

mengumpulkan data dari sumber-sumber bukan manusia. Yang nantinya

dokumen tersebut akan memberikan sebagai sumber data adalah untuk

membuktikan atau menafsirkan suatu kejadian. Dokumen-dokumen yang

dimaksud peneliti adalah dokumen-dokumen yang bersumber dari

Sekretariat Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang, dan dokumen lainya

yang dapat dijadikan sumber pendukung dalam penelitian ini.

3.6 Teknis dan Analisis Data

Teknik anlisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan

jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya

menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan acuan,

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa

yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Adapun langkah-langkah analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah:

a. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data yang dimaksud di sini adalah proses pemilihan, pemusatan

perhatian untuk menyederhanakan, mengabstrakkan dan

mentransformasi data, informasi dari lapangan sebagai bahan mentah

206
Janet M. Ruane, Dasar-Dasar Metode Penelitian panduan riset ilmu sosial, terj. M.
Shodiq Mustika, (Bandung: Nusa Media, 2013),hlm. 235

151
diringkas, disusun lebih sistematis, serta ditonjolkan pokok-pokok yang

penting sehingga lebih mudah dikendalikan.

b. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data yang telah diperoleh dari lapangan terkait dengan

seluruh permasalahan penelitian dipilih antara mana yang dibutuhkan

dengan yang tidak, lalu dikelompokkan kemudian diberikan batasan

masalah. Kemudian dari penyajian tersebut diharapkan dapat

memberikan kejelasan mana data yang subtantif dan mana data

pendukung.

c. Teknik Analisis Perbandingan (Komparatif)

Teknik analisis perbandingan digunakan dalam mengkaji data yang

telah diperoleh dari lapangan secara sistematis dan mendalam lalu

membandingkan satu data dengan lainnya sebelum ditarik sebuah

kesimpulan.

d. Penarikan Kesimpulan (conclusion Drawing/Verification)

Langkah selanjutnya dalam menganalisis data kualitatif adalah

penarikan kesimpulan dan verifikasi, setiap kesimpulan awal yang

dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila

ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan

data selanjutnya. Upaya penarikan kesimpulan yang dilakukan secara

terus menerus selama berada di lapangan. Setelah pengumpulan data,

peneliti mulai mencari arti penjelasan-penjelasan. Kesimpulan-

kesimpulan itu kemudian diverifikasi selama penelitian berlangsung

152
dengan cara memikir ulang dan meninjau kembali catatan lapangan

sehingga berbentuk penegasan kesimpulan.

3.7 Pengecekan Keabsahan Data

Untuk memperoleh data yang akurat, maka peneliti perlu menguji

keabsahan data dalam penelitian. Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data

dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan

peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti.207

Maka dari itu, peneliti hanya memilih satu kriteria yakni derajat

keterpercayaan (creadibility) sebagai teknik keabsahan data. Keterpercayaan

(creadibility) merupakan pengganti konsep validitas yang dimana konsep ini

hanya dipakai pada penelitian nonkualitatif. Untuk menjaga keterpercayaan

peneliti dalam penelitian, artinya apa yang diamati oleh peneliti sesuai dengan

keadaan yang sesungguhnya. Maka dalam proses pengecekan keabsahan data

yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Perpanjangan Keikutsertaan
Peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrumen itu sendiri.

Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data.

Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan waktu singkat, tetapi

memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar penelitian. Dalam

penelitian ini, peneliti dalam meningkatkan kepercayaan dari data yang

diperoleh dengan perpanjangan keikutsertaan dalam artian perpanjangan

207
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: ALFABETA,
2017), hlm. 345

153
pengamatan sehingga data yang diperoleh akan terjamin keabsahan

datanya.

b. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan bermaksudkan untuk menemukan cirri-ciri dan

unsur-unsur dalam dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan

atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal

tersebut secara rinci.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan keabsahan data dengan

ketekunan pengamatan, yang berarti peneliti melakukan pengamatan

secara lebih cermat dan berkesinambungan sehingga dengan cara tersebut

kepastian data atau peristiwa akan diperoleh secara pasti.

c. Triangulasi

Trianggulasi diartikan dengan pengecekan data dari berbagai sumber

dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dalam hal ini peneliti

menerapkan tiga teknik triangulasi dengan uraian sebagai berikut:

1). Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber yaitu teknik yang digunakan untuk mencari data

sejenis dengan mengecek data dari berbagai sumber informan. Dari data-

data yang diperoleh tersebut, maka peneliti akan mudah untuk

mendeskripsikan, mengkategorikan mana pandangan yang sama, yang

berbeda maupun yang spesifik. Sehingga, analisis data lebih mudah

dilakukan oleh peneliti dengan menggali dari berbagai sumber yang ada

baik bersifat dokumenter maupun kegiatan yang sedang berjalan.

154
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan

teknik keabsahan data menggunakan triangulasi sumber, yang berarti

dalam proses mengumpulkan data peneliti bukan hanya mencari data

kepada satu sumber informan saja tetapi lebih dari dua informan.

2). Triangulasi teori

Dalam perspektif Lincon dan Guba, berdasarkan anggapan bahwa

fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu

atau lebih teori. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini

peneliti mengutip teori lebih dari dua buku.

3). Triangulasi teknik

Triangulasi teknik adalah teknik untuk menguji keabsahan data yang

dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber dengan

menggunakan metode yang berbeda. Misalnya data yang diperoleh dari

hasil wawancara, lalu dicek kembali dengan observasi, dokumentasi.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan keabsahaan data triangulasi

teknik, berarti ada lebih dari dua teknik yang peneliti gunakan dalam

pengumpulan data yaitu menggunakan teknik observasi, wawancara dan

dokumentasi.

155
3.8 Tahapan Penelitian

Tahap-tahap dalam proses penelitian deskriptif kualitatif dapat

diuraikan kedalam 3 tahapan pokok, yaitu :

a. Tahap Pra Lapangan

Pada tahap pra-lapangan ini, peneliti memulai dari proses pengajuan

judul kepada ketua Program Pasca Sarjana UNISMA jurusan Magister

Hukum Keluarga Islam, kemudian peneliti membuat proposal penelitian

yang judulnya sudah disetujui oleh Ketua Progam Jurusan Pasca Sarjana.

Sebelum memasuki lokasi penelitian, peneliti terlebih dahulu

mempersiapkan surat-surat dan juga kebutuhan lainnya (ada dalam

lampiran). Selain itu, peneliti memantau perkembangan yang terjadi

dilokasi penelitian. Peneliti juga menyiapkan perlengkapan yang

diperlukan dalam proses penelitian, perlengkapan itu adalah kertas, buku

saku, alat tulis menulis, kamera, perekam suara, dan lain-lain.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Setelah medapatkan izin dari perangkat desa setempat, peneliti

kemudian mempersiapkan diri untuk melakukan pendekatan kepada

responden demi mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dalam

pengumpulan data. Sebelum melaksanakan pengamatan yang lebih

mendalam dan wawancara, peneliti berusaha menjalin keakraban dengan

baik terhadap responden sehingga akan maksimal dalam memperoleh

data yang diharapkan. Selanjutnya, peneliti melakukan pengamatan lebih

mendalam, dan mengumpulkan data dari dokumentasi. Dan setelah

melakukan pengamatan secara mendalam, maka hal yang dilakukan

156
selanjutnya adalah peneliti mengatur waktu yang dilakukan dengan

penjadwalan pertemuan kepada responden untuk wawancara.

c. Tahap Penyelesaian

Setelah semua data terkumpul, selanjutnya data dipilah-pilah

kemudian disusun secara sistematis dan rinci agar data mudah difahami

dan dianalisis sehingga temuan dapat dinformasikan kepada orang lain

secara jelas. Setelah ketiga tahapan tersebut dilalui, maka keseluruhan

hasil yang telah dianalisis dan disusun secara sistematis, kemudian ditulis

dalam bentuk tesis mulai dari bagian awal, pendahuluan, landasan teori,

metode penelitian, paparan hasil penelitian atau temuan penelitian,

pembahasan, dan penutup, sampai dengan bagian terakhir.

157
BAB IV

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

4.1 Paparan Data

4.1.1 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Desa Gadingkulon Kec. Dau

Kab. Malang Sebagai Harmonisasi Umat Beragama

Indonesia terkenal dengan Negara yang majemuk yang terhimpun

berbagai suku, bahasa, budaya dan agama. Semangat keberagaman tersebut

sering dirayakan warganya dalam bentuk kelompok-kelompok masyarakat,

yang menghimpun kesamaan karekteristik masing-masing individu, baik itu

dalam kelompok informal atau pun kelembagaan formal bahkan menjelma

menjadi organisasi kemasyarakatan. Selain itu masyarakat Indonesia juga

dituntut untuk memiliki keyakinan terhadap agama. Hal ini sejalan dengan apa

yang menjadi ideologi Negara Indonesia yaitu Pacasila dalam Sila Pertama.

Yang mana dalam hemat penulis, sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang

Maha Esa menjadi dasar bahwa semua norma, nilai sosial, kemanuisaan,

kenegaraan bersumber darinya, sebab keyakinan terhadap agama berjalan lurus

dengan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan dan kemanusian.

Secara administratif Desa Gadingkulon terletak di wilayah Kec. Dau

Kab. Malang. Desa ini memiliki tiga Dusun yaitu Dusun Sempu, Dusun

Krajan, dan Dusun Princi. Berdasarkan data administrasi Pemerintahan Desa

Tahun 2019, jumlah penduduk Desa Gadingkulon adalah 3.995 jiwa dengan

rincian laki-laki 1.997 dan perempuan 1.998, dan jumlah penduduk demikian

ini tergabung dalam 1.258 KK. Terkait dengan pemeluk agama yang ada di

Desa Gadingkulon mayoritas adalah umat Islam dengan jumlah 3.941 dengan

158
perincian 1.952 laki-laki, dan 1.989 perempuan. Sedangkan jumlah pemeluk

agama Kristen di Desa Gadingkulon berjumalah 183, sebanyak 100 merupakan

laki-laki, dan 83 perempuan. Sementara pemeluk agama Katholik berjumlah

15, laki-laki 11 dan perempuan 4. Pemeluk agama paling minoritas di Desa

Gadingkulon berjumlah 1 perempuan beragama Budhha dan 1 perempuan

beragama Hindu.208

Artinya argumentasi diatas cukup kuat jika dikaitkan dengan

permasalahan perkawinan beda agama yang terjadi di Desa Gadingkulon Kec.

Dau Kab. Malang. Bahwa mayoritas masyarakat yang ada di Desa

Gadingkulon adalah pemeluk agama Islam. Kendati demikian, di Desa

Gadingkulon sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Desa, secara sosial-

relegius cukup harmonis. Kerukunan antar umat beragama berjalan dengan

tertib, mereka hidup berdampingan satu sama lain. Hanya saja dimasa lalu

pernah ada gerakkan Kristanisasi di Desa Gadingkulon.

Masyarakat yang hidup berdampingan antar umat beragama yang

berbeda di Desa Gadingkulon tentu tidak menutup kemungkinan akan

menyebabkan terjadinya perkawinan beda agama. Maka untuk mengelaborasi

tentang praktik pelaksanaan perkawinan beda agama berserta penyababnya di

Desa Gadingkulon, penulis berkesempatan mendapatkan informasi dari

informan penting yaitu dari Bapak Kepala Desa. Peneliti, bertanya pada

informan tentang bagaimana kasus perkawinan beda agama di Desa

Gadingkulon. Informan menjawab sebagaimana berikut:

208
Laporan Statistik Penduduk Berdasarkan Agama Desa Gadingkulon, Kecamatan Dau,
Kabupaten Malang. Tahun 2022

159
“Memang ada beberapa kasus perkawinan beda agama disini. Hal ini

terjadi karena mereka pelaku memiliki persepsi bahwa hal itu tidak

menjadi masalah. Mereka masih minimalis dalam memahami agama, bagi

mereka semua agama itu sama.”209

“Ada juga kasus dalam pelaksanaan perkawinan beda agama disini,

karena laki-laki beragama Kristen sedangkan wanitanya pemeluk agama

Islam. Karena dasar cinta dan menginginkan perkawinannya tercatat di

KAU, laki-laki tersebut masuk Islam (muallaf), akan tetapi ditengah

perjalanan dia murtad. Banyak kasus seperti itu, tentunya jika seperti itu

justru akan menambah permasalahan yang ada dalam keluarga.”

“Selain itu ada juga kasus, pasangan yang melakukan perkawinan beda

agama ini membuat perjanjian perkawinan. Kalau nantinya memiliki anak

laki-laki ikut agama ayahnya, jika anaknya perempuan mengikuti agama

ibunya. Artinya ada kesepakatan diantara mereka, namun hal ini juga

tidak mudah dalam realitanya. Karena tujuan berumah tangga adalah

harmonis.”

“Saya ini pelaku, karena dulu melakukan perkawinan dengan istri saya

yang beragama Kristen. Waktu itu karena kami masih minimalis dalam

memahami agama, kami lebih mengedepankan emosi tanpa

mempertimbangkan jauh kedepan. Soal perkawinan beda agama ini

mudah dilalui, ternyata butuh perjuangan dan bimbingan. Alhamdulillah,

209
Wahyu Eddi Prihanto, “Wawancara” informan merupakan kepala Desa Gadingkulon.
(26 September).

160
istri saya sekarang mungkin lebih sering mengingatkan saya untuk taat

beragama.”

“Terkait dengan konsep harmonis dalam perkawinan beda agama,

memang terlihat diluar harmonis, artinya hanya dikulitnya saja harmonis,

tapi didalam hati sejatinya sakit. Karena ini tentang keyakinan.”

Dalam hemat peneliti, dari apa yang dijelaskan oleh informan diatas

faktor utama penyebab terjadinya perkawinan beda agama di Desa

Gadingkulon adalah tentang minimnya pemahaman terhadap agama. Bahkan

ada kasus yang dijelaskan oleh informan bahwa ada yang masuk Islam

(muallaf) dengan motif agar perkawinan mereka dapat dicatatkan di KUA.

Eronisnya setelah itu terjadi ia kembali murtad. Selanjutnya peneliti,

memberikan pertanyaan kepada informan tentang relasi (hubungan) sosial-

religius masyarakat di Desa Gadingkulon. Apakah disini masyarakat yang

hidup berdampingan antar umat beragama berjalan harmonis? Informan

menjawab sebagai berikut:

“Dulu di Desa Gadingkulon pernah ada gerakkan Kristanisasi, sempat

ada beberapa umat Muslim yang tertarik dan berpaling dari agama Islam.

Karena terkontaminasi dengan doktrin agama Kristen,” Tapi untuk saat

ini relasi sosial-religius antara umat beragama disini berjalan rukun atau

baik-baik saja, bahkan harmonis bisa hidup berdampingan tanpa

mempengaruhi keyakinan satu sama lain”.210

210
Wahyu Eddi Prihanto, “Wawancara” informan merupakan kepala Desa Gadingkulon.
(26 September 2023).

161
Harmonisasi hidup antar umat beragama sudah terimplementasikan di

Desa Gadingkulon. Kerukunan yang terjadi itu disebabkan karena

tingginya nilai-nilai toleransi. Hal ini sejalan dengan ideologi bangsa

Indonesia yaitu Pancasila. Peneliti melanjutkan pertanyaan kepada

informan agar lebih detail dalam mengelaborasi penelitian ini. Untuk

akhir-akhir ini apa pernah terjadi kasus perkawinan beda agama di desa

yang sekarang bapak pimpin?

“Kalau saat ini mungkin sudah tidak ada perkawinan beda agama disini,

karena dulu faktor yang menyebabkan terjadi perkawinan tersebut adalah

karena minimalis dalam memahami agama.” Akan tetapi untuk menutup

terjadinya kasus perkawinan beda agama kayaknya sulit, karena ini

tentang hak masing-masing”.211

Di Desa Gadingkulon saat ini belum lagi terjadi perkawinan beda

agama, padahal sampai sekarang masyarakat di Desa Gadingkulon hidup

berdampingan antara umat Islam dan umat Kristen. Artinya dalam hemat

peneliti doktrin agama yang ada di Desa Gadingkulon sudah menunjukkan

progers baik. Sementara terkait dengan hasil wawancara penulis dengan

informan yang merupakan pelaku perkawinan beda agama adalah sebagai

berikut:

211
Wahyu Eddi Prihanto, “Wawancara” informan merupakan kepala Desa Gadingkulon.
(26 September 2023 ).

162
4.1.1.1 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Antara Bapak Edi Winarto dan
Ibu Ismaya

Mereka berdua ini merupakan pasangan suami-istri yang laki-laki

beragama Konghucu dan wanitanya pemeluk agama Islam. Menariknya

pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan beda agama ini memiliki

tingkat toleransi yang tinggi. Penulis dapat kesempatan bertanya tentang

awal mula mereka berdua bertemu hingga berlanjut sampai mengikat janji

suci, dan juga berbagai lika-liku menjalani maligai rumah tangga yang

sampai saat ini masih bersama dan harmonis.

Bapak Eddi Winarto atau Wiliyongka melakukan perkawinan dengan

ibu Ismaya ketika itu bapak Eddi yang beretnis Indocina dan beragama

Konghucu sedangkan ibu Ismaya memeluk agama Islam namun tidak

mengikuti ajaran agama Islam atau bisa disebut dengan Islam KTP,

mereka berdua melangsungkan perkawinan beda agama dan tidak

tercatatkan baik di KUA atau pun di Kantor Catatan Sipil.

“Bisa Ibu ceritakan tentang awal mula bertemu Suami hingga akhirnya

menikah?”.

“Dulu awal saya bertemu papa212 itu saat ada acara keluarga, papa

ini merupakan teman pak Sukri tetangga depan rumah. Sebelum

melakukan perkawinan dengan papa, saya dulu pernah kawin dengan

Frengki. Mungkin ini takdir Allah, karena saat papa cerai dengan

istri, saya juga cerai dari Frengki.”

212
Papa ini adalah panggilan yang digunakan ibu Ismaya untuk memanggil suaminya.

163
“Bagaimana pelaksanaan perkawinan Ibu dengan Suami pada saat

itu?”.

“Saya dulu itu nikah sama papa tidak tercatat, baik di KUA atau pun

di Kantor Catatan Sipil.” Pokoknya papa mengajak saya menikah

saya iyakan. Karena dasarnya cinta. Waktu itu kita berdua agamanya

berbeda tapi tetap bisa menjalani maligai rumah tangga sampai

sekarang”.213

4.1.1.2 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Antara Bapak Mustaqim

dengan Ibu Ngatminingsih

Sebagaimana yang sudah penulis jelaskan bahwa tidak diaturnya

perkawinan beda agama di Negara Indonesia, cukup meresahkan

masyarakat terutama bagi mereka yang berada dikelas bahwa secara

ekonomi, sebab mereka tidak memiliki biaya untuk melakukan

perkawinan diluar negeri. Hal ini juga dirasakan oleh bapak Mustaqim dan

ibu Ngatminingsih. Dibawah ini penulis jelaskan hasil wawancara dengan

Bapak Mustaqim dan Ibu Ngatminingsih.

“Dulu bagaimana bapak bisa bertemu dengan istri dan akhirnya

memutuskan melakukan perkawinan, mesikipun beda agama?”.

“Selain karena faktor Takdir, mungkin juga karena saya waktu itu

seringnya kami berinteraksi dalam keseharian mas. Dulu di desa

Gadingkulon ini ada gerakan kristenisasi, tapi saya mencintai istri saya

213
Ismaya, “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (4
Oktober 2023)

164
sampai saat ini tidak karena faktor agamanya. Karena jelas agama

saya dan istri berbeda. Karena cantik, mungkin itu mas.”214

“Terkait dengan perkawinan beda agama yang bapak dan istri lakukan

apa saat itu mendapatkan restu (izin) dari orangtua?”.

“Ya, pada saat itu orangtua kami tidak terlalu memaksakan anaknya

harus mengikuti keinginannya. Karena kita sudah dewasa mas,

orangtua memberikan izin.”215

“Setelah mendapatkan izin (restu) orangtua, apa bapak memiliki

keinginan untuk istri bapak masuk Islam?”.

“Ya waktu itu saya sebagai pemeluk agama Islam inginya nikah secara

Islam, meskipun istri saya non-Muslim (Kristen) mas, akan tetapi

dalam masalah agama (keyakinan) kan tidak bisa dipaksakannya

mas,”216

“Untuk pelaksaan perkawinannya seperti apa pak? Apa dilakukan

secara Islam artinya dilakukan dihadapan penghulu KUA? Atau seperti

apa pak?”

“Iya, karena kebutuhan administrasi Negara mas, perkawinan

dilakukan di KUA.”

“Berarti istri bapak masuk Islam?”

214
Mustaqim, “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (9
Oktober 2023)
215
Mustaqim, “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (9
Oktober 2023)
216
Mustaqim, “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (9
Oktober 2023)

165
“Iya, Islam KTP mas, lah nyatanya sampai sekarang Istri tetap taat

sebagaimana agamanya dulu (Kristen).”

4.1.1.3 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Antara Bapak Wadi dengan Ibu

Suti

Selain kedua pasangan yang sudah peneliti wawancari sebagai

pelaku perkawinan beda agama di Desa Gadingkulon, dengan

latarbelakang yang berbeda, di informan ketiga ini peneliti juga

mendapatkan kesempatan bertanya kepada pasangan suami-istri yang beda

agama. Ibu Suti merupakan pemeluk agama Islam sedangkan Bapak Wadi

adalah seorang pemeluk agama Kristen. Berikut hasil wawancara dengan

informan tersebut:

“Terkait dengan cerita ibu bisa kenal bapak dan akhirnya melakukan

perkawinan meskipun beda agama itu gimana?”.

“Kalau itu saya yakin sudah takdirnya mas, karena memang dari

keluarga saya tidak ada yang melakukan perkawinan seperti ini.

Keluarga saya semuanya Muslim dan taat ibadah”.217

“Apa disaat itu orangtua ibu memberikan restu (izin)?”

“Kalau untuk restu awalnya tidak mas, karena orangtua tidak setuju.

Suami saya diminta masuk Islam dulu agar perkawinan kita nanti

direstui. Karena sebagai seorang perempuan kan harus didampingi

217
Suti, “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (25 Oktober
2023)

166
wali saat melakukan perkawinan. Tetapi, setelah suami saya bersedia

masuk Islam pada saat itu, orangtua saya memberikan restu”.

“Jadi Ibu dan Suami melakukan perkawinan secara Islam ?.”

“Iya mas, perkawinan dilakukan secara Islam dan suami menerima

itu”.218

“Terkait dengan alasan atau faktor yang menyebabkan Bapak bersedia

masuk Islam saat itu apa?”

“Ya, demi mendapatkan restu orangtua istri tadi mas, kalau saya kan

memang yang terpenting bersama istri, karena saya cinta”.219

4.1.1.4 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Antara Bapak Ropi’i dengan

Ibu Endang

Informan terakhir yang peneliti interview adalah pasangan suami

istri yang melakukan perkawinan beda agama. Yaitu Bapak Ropi’i yang

merupakan pemeluk agama Islam. Sedangkan Ibu Endang adalah pemeluk

agama Kristen. Peneliti mendapatkan informasi tentang pelaksanaan

perkawinan yang dilakukan oleh mereka sebagaimana berikut.

“Dulu bagaimana ceritanya Ibu dan Suami bisa saling kenal dan

akhirnya memutuskan untuk melakukan perkawinan beda agama?”.

218
Suti. “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (25 Oktober
2023)
219
Wadi. “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (25 Oktober
2023)

167
“Ya, dulu kita berteman lumayan lama gitu mas, kemudian saling

suka satu sama lain. Jadi kita sudah saling kenal, kalau keyakinan

(agama) kita berbeda.”220

“Alasannya mantab melakukan perkawinan beda agama apa ibu ?.”

“Ya, karena cinta dan saya yakin suami saya juga begitu

alasannya mas.”221

“Bagaimana pelaksanaan perkawinan Ibu dan Suami waktu itu?”.

“Kita melakukan perkawinan pada waktu itu secara Islam dulu,

jadi kita akad nikah sebagaimana umumnya perkawinan dalam

Islam mas, akan tetapi selang beberapa hari, kita juga melakukan

pemberkatan digereja”.

“Pada waktu pelaksanan Perkawinan apa keluarga ikut hadir ibu?”

“Waktu akad Perkawinan secara Islam, keluarga saya ikut hadir

mas, begitu juga disaat Pemberkatan di Greja keluarga suami juga

ikut hadir.”

“Apakah setelah melakukan perkawinan beda agama Bapak

merasakan kesulitan dalam membina keluarga ?”.

“Ya, tentunya ada kesulitan mas, jangankan kita yang memutuskan

kawin beda agama, yang satu agama pun pasti ada problemnya

juga. Kalau saya sebagai kepala rumah tangga kesulitan waktu

awal menjalani perkawinan dengan istri yang agamanya Kristen

Endang. “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (11


220

September Oktober 2023)

221
Endang. “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (11
September Oktober 2023)

168
itu lebih kepada rasa kurang percaya diri mas, apakah kedepannya

saya bisa memimpin keluarga ini, dan nanti kan ada anak-anak

juga”.222

4.1.2 Konsep Perkawinan Beda Agama Sebagai Harmonisasi Umat

Beragama Perspektif Pasangan Suami-Istri di Desa Gadingkulon Kec.

Dau Kab. Malang

Perkawinan dalam perspektif Islam memiliki orientasi untuk harmonis.

Hal ini sejalan dengan apa yang difirmankan oleh Allah Swt. dalam QS. ar-

Rum ayat 21. Ayat ini memiliki spirit yang mengindikasikan bahwa

keharmonisan rumah tangga adalah merupakan tujuan utama dari perkawinan.

Salah satu indikasi keharmonisan suami-istri adalah apabila masing-masing

diantara mereka mampu menjadi rumah bagi satu sama lain. Itu artinya

diantara suami-istri bisa saling memahami, toleransi dan lain sebagainya

hingga menjadikan mereka tenang, nyaman. Sebab dalam hemat penulis salah

satu hikmah dari perkawinan yang dapat di ambil dari ayat diatas adalah

masing-masing pasangan (suami-istri) dapat mersakan ketenangan dengan

kehadiran yang lain, terutama saat dalam kondisi-keadaan di terpa oleh

berbagai problematika kehidupan.

Terkait dengan konsep harmonisasi yang dipraktikan oleh pasang

suami-istri yang melakukan perkawinan beda agama di Desa Gadingkulon

dapat penulis jelaskan sebagaimana berikut:

Ropi’i. “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (11


222

September Oktober 2023

169
4.1.2.1 Konsep Harmonisasi Umat Beragama di Keluarga Bapak Edi Minarto

dan Ibu Ismaya

Harmonisasi di keluarga bapak Edi dan ibu Ismaya dapat

diimplementasikan karena tingginya pemahaman mereka tentang toleransi.

Saling memahami dan mengerti akan keyakinan agamanya masing-

masing. Ditengah berbagai problematika yang datang dalam maligai

rumah tangga dipasangan umat beda agama ini mereka berdua tetap taat

sebagai umat beragama. Dintara hasil penjelasan tentang konsep

harmonisasi umat beragama dalam perkawinan beda agama dikeluarga ini

adalah sebagai berikut:

“Saya dan papa itu pernah silang pendapat, disaat papa meminta

saya untuk memeluk agama yang sama dengannya. Saya coba

pelajari agama papa yang pada saat itu sudah pindah dari Konghucu

ke Kristen. Saya baca kitab Injil, tapi dalam hati saya terasa panas.

Saya tidak bisa meninggalkan agama Islam. Bahkan saya sempat

menyampaikan ke papa, jika masih meminta saya untuk memeluk

agama sepertimu, mendingan kita cerai saja. Disaat emosi seperti itu,

papa justru menyampaikan, bahwa kita bisa terus bersama meskipun

agama kita berbeda. Papa menjelaskan bagiku agamaku bagimu

agamamu.”223

“Salah satu harmonisasi umat beragama dikeluarga ini adalah

bahwa Papa ini pernah hadir di masjid untuk menyaksikan buah hati

223
Ismaya, “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (4 Oktober
2023)

170
nya menikah. Sejak menikah dengan papa sampai saat ini saya belum

pernah diperlakukan dengan tidak hormat oleh papa. Walaupun

keyakinan kita berbeda tapi kita bisa bersama dalam menjalani

maligai rumah tangga sampai saat ini.”

4.1.2.2 Konsep Harmonisasi Umat Beragama di Keluarga Bapak Mustaqim

dan Ibu Ngatminingsih

Konsep harmonisasi umat beragama di keluarga bapak Mustaqim

dan Ibu Ngatminingsih

“Tentunya, diawal kita menjalani perkawinan beda agama ini,

masih butuh menyesuaikan diri karena memang dalam rumah

tangga itu dibutuhkan fondasi yang kokoh. Saya sebagai kepala

rumah tangga menghargai keyakinan istri saya, begitu juga

sebaliknya. Tidak pernah ada paksaan dalam beragama, ajaran itu

yang saya yakini sampai saat ini”.

“Bagi kita dulu yang berat justru persepsi dari eksternal,ada

beberapa keluarga dan masyarakat yang berasumsi perkawinan

kita tidak berlangsung lama karena perbedaan keyakinan kita dan

itu sampai ditelingga kita.”

“Tentang konsep harmonisasi dalam menjalani rumah tangga

dengan pasangan beda agama bagi saya simple, selama kita

menjadi umat yang taat beragama, kita tidak akan merisaukan

171
keyakinan umat agama lain. Meskipun itu pada istri saya

sendiri”.224

“Iya, memang benar, dulu kita memiliki pemahaman yang masih

minimalis tentang agama. Mungkin faktor itu yang dulu akhirnya

menyatukan perasaan cinta kita hingga sampai saat ini.”

“Bapak itu, meskipun sebagai kepala keluarga tidak pernah

sedikitpun mengusik keyakinan agama saya. Dulu memang diawal

perjalan perkawinan kita memang sedikit ada masalah karena

ketidak serasian dalam hal keyakinan. Namun seiring berjalannya

waktu, dan kita sudah komitmen untuk tetap bersama meskipun

beda agama bisa tetap harmonis sampai saat ini”.225

“Dulu kita berdua sepakat untuk membuat perjanjian, bahwa nanti

ketika memiliki anak laki-laki agamanya mengikuti ayahnya, dan

jika anaknya perempuan agamanya ikut ibunya. ”

4.1.2.3 Konsep Harmonisasi Umat Beragama di Keluarga Bapak Wadi dan

Ibu Suti

Terkait dengan konsep harmonisasi umat beragama di keluarga bapak

Wadi dan Ibu Suti, peneliti mendapatkan informasi dari hasil wawancara

dengan informan sebagaimana berikut:

224
Bapak Mustaqim “Wawancara”. Informan merupakan pelaku perkawinan beda agama.
9 November 2023
225
Ibu Ngatminingsih “Wawancara”. Informan merupakan salah satu pelaku perkawinan
beda agama. 9 November 2023

172
“Bagaimana konsep bapak dalam menjalani maligai rumah tangga

agar tetap harmonis?”

“Kalau yang sudah dilakukan dikeluarga kita ya, konsep nya harus

terbuka jangan ada yang ditutupi mas, kalau toleransi dan saling

memahami satu sama lain itu menjadi keharusan karena sejak

awal kita menjalani maligai rumah tangga sudah sepakat

keyakinan (agama) kita berbeda”.226

“Bagaimana konsep Ibu dalam mendidik anak?”

“Kita menjalani maligai rumah tangga yang memiliki perbedaan

agama, tentu kita sudah membuat perjanjian sebab tentang

keyakinan atau agama anak-anak jangan sampai jadi korban dari

ke egoisan kita. Misalnya jika anak kita laki-laki maka secara

otomatis Agama mengikuti suami atau bapak. Sedangkan jika anak

kita perempuan maka mengikuti agama istri atau ibunya. Jika

sudah demikian maka tidak akan ada kesulitan dalam mendidik

anak.”227

4.1.2.4 Konsep Harmonisasi Umat Beragama di Keluarga Bapak Ropi’i dan

Ibu Endang

Informan memberikan informasi kepada peneliti tentang konsep

harmonisasi umat beragama di keluarga yang memiliki perbedaan agama.

226
Wadi. “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (25 Oktober
2023)
227
Suti. “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (25 Oktober
2023)

173
Ibu Endang yang merupakan istri dari bapak Ropi’i memberikan

penjelasan sebagaimana berikut:

“Jadi menurut ibu, konsep keluarga harmonis dalam perkawinan beda

agama itu apa?”

“Kalau menurut saya konsepnya adalah jangan pernah merasa

paling benar sendiri, sebab agama itu tentang bagaimana kita

menjalaninya bukan apa agama kita. Makanya saya dan suami serta

keluarga kita saat ini bisa hidup harmonis meskipun agama kita

berbeda mas”.228

“Apa Ibu pernah diajak masuk Islam oleh Suami?”

“Sampai saat ini, suami saya tidak pernah melakukan itu mas, sebab

sejak awal bahkan sebelum kita melakukan perkawinan beda agama

ini, kita bersepakat untuk memiliki landasan penting dalam

menjalankan maligai rumah tangga yaitu memiliki kesadaran untuk

saling menerima dan menghargai agama (keyakinan) satu sama lain.

Maka jika masih ada niatan atau semangat dari kedua pasangan

suami-istri yang menikah beda agama untuk mempengaruhi pasangan

nya memeluk agama seperti yang ia yakini maka disitulah awal mula

prahara rumah tangga.”

“Apakah anak-anak ibu pernah bertanya mengapa Ibu dan Bapak

Agama berbeda?”.

228
Endang.“Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (11
September 2023)

174
“Jadi gini mas, saya dan suami sejak sebelum melakukan perkawinan

beda agama ini sudah membicarakan tentang itu, bagi kita anak-anak

adalah prioritas, maka kita sudah jelas dari awal bahwa anak-anak

berhak memilih mengikuti agama apapun. Bisa ikut agama saya

sebagai ibunya yaitu Islam, dan boleh mengikuti agama bapak nya

yaitu Kristen. Tentu, anak-anak kita pernah bertanya tentang hal itu.

Dan jawaban saya, ataupun suami tetap sama. Ibu dan bapak sudah

meyakini bahwa semua agama pada dasarnya baik”.229

4.2 Temuan Penelitian

4.2.1 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Desa Gadingkulon

Peneliti menemukan hal yang berbeda dalam pelaksanaan perkawinan

beda agama di Desa Gadingkulon, baik itu tentang motif, dan lain

sebagainya. Maka untuk memperjelas temuan dalam penelitian yang

peneliti lakukan dapat diperhatikan sebagaimana berikut:

4.2.1.1 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama antara Bapak Eddi Winarto dan

Ibu Ismaya

Hasil temuan peneliti setelah melakukan penelitian tentang

pelaksanaan perkawinan Beda Agama yang dilakukan oleh Bapak Eddi

Winarto yang awalnya ia merupakan pemeluk agama Konghuchu

kemudian pindah agama Kristen, dan keyakinan itu bertahan sampai

sekarang. Sedangkan Ibu Ismaya, sejak awal melakukan perkawinan

Endang. “Wawancara” informan merupakan pelaku perkawinan beda agama. (11


229

September 2023)

175
dengan Bapak Eddi Winarto ia memeluk agama Islam meskipun hanya

Islam KTP. Sementara terkait dengan pelaksanaan perkawinan mereka

tidak dilakukan di KUA atau pun di Kantor Catatan Sipil. Perkawinan

tersebut dilakukan dengan cara Sirri secara Islam, akan tetapi Bapak

Eddi tetap memeluk agama Konghuchu.

4.2.1.2 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama antara Bapak Mustaqim dan

Ibu Ngatminingsih

Pelaksanan perkawinan antara Bapak Mustaqim dan Ibu

Ngatminingsih ini memiliki motif yaitu demi diakui oleh Negara maka

perkawinan kedua pasangan suami-istri ini dilakukan di KUA. Padahal

mereka berdua agamanya berbeda. Bapak Mustaqim pemeluk agama

Islam, sudah barang tentu memiliki keinginan agar istrinya masuk

Islam. Akan tetapi dalam realitanya setelah mendapatkan pengakuan

dari Negara dengan tercatatnya perkawinan mereka di KUA. Ibu

Ngatminingsih tetap memeluk agamannya yaitu Kritsen, dan Islam nya

hanya KTP.

4.2.1.3 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama antara Bapak Wadi dan Ibu

Suti

Tidak jauh berbeda dengan pasangan suami-istri sebelumnya yang

peneliti mendapatkan kesempatan untuk interview dengan pasangan

yang menikah beda agama. Bapak Wadi dan Ibu Suti melakukan

perkawinan beda agama akan tetapi dalam pelaksanaannya perkawinan

antara Bapak Wadi dan Ibu Suti dilakukan secara Islam, hal ini tidak

176
lepas dari motif sang suami yaitu bapak Wadi demi mendapatkan restu

dari orangtua ibu Suti.

4.2.1.4 Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama antara Bapak Ropi’i dan Ibu

Endang

Sedangkan pelaksanaan perkawinan antara Bapak Ropi’i dan Ibu

Endang adalah dilakukan secara Islam lebih dulu, akan tetapi selang

beberapa hari perkawinan mereka dilakukan secara Kristen dengan ada

Pemberkatan di Gereja. Dan keluarga mereka sama-sama hadir baik itu

ketika perkawinan dilakukan secara Islam atau pun dilakukan secara

Kristen.

4.2.2 Konsep Perkawinan Beda Agama Sebagai Harmonisasi Umat

Beragama Perspektif Pasangan Suami-Istri di Desa Gadingkulon Kec.

Dau Kab. Malang

4.2.2.1 Konsep Harmonisasi Umat Beragama di Keluarga Bapak Edi Minarto

dan Ibu Ismaya

Sebagaimana yang disampaikan oleh informan yaitu Ibu Ismaya,

bahwa selama mengarungi maligai rumah tangga dengan bapak Eddi

tentu pernah terjadi silang pendapat, akan tetapi hal itu tidak sampai

megakibatkan putusnya komunikasi. Kunci dalam menjalani maligai

rumah tangga terutama bagi pasangan suami-istri yang beda agama

adalah komunikasi, selain itu juga sikap toleransi yang terjaga diantara

mereka. Ibu Ismaya bahkan sudah pernah melakukan Ibadah Haji

sebanyak tiga kali, dan saat itu Bapak Eddi dengan setia mensupport.

177
Artinya meraka berdua memiliki hubungan saling mengerti, memahami

tentang keyakinan agamanya masing-masing. Bahkan tidak hanya itu,

Bapak Eddi juga pernah datang diacara pernikahan anaknya yang

dilakukan di Masjid dan ia juga menggunakan Kopiah sebagaimana

umumnya umat Muslim.

4.2.2.2 Konsep Harmonisasi Umat Beragama di Keluarga Bapak Mustaqim

dan Ibu Ngatminingsih

Hal sejalan juga disampaikan oleh Bapak Mustaqim, bahwa diawal

menjalani maligai rumah tangga, pasti ada fase dimana mereka berdua

mendapati ujian, akan tetapi ujian atau tantangan itu datang dari

eksternal. Asumsi keluarga mereka tentu itu hak keluarga mereka, tapi

mereka berdua yang menjalani terus berusaha agar baik-baik saja dan

bahagia. Memang tidak mudah serumah dengan istri orang tercinta yang

keyakinan agamanya tidak sama. Kendatipun demikian, selama rumah

tangga itu berjalan mereka tetap konsisten (istiqomah) untuk saling

menghormati, menghargai keyakinan satu sama lain. Bahkan sampai

mereka membuat perjanjian terkait dengan keyakinan agama anaknya .

Mereka bersepakat jika anaknya laki-laki maka akan mengikuti agama

suami, begitu sebaliknya jika anaknya perempuan maka akan otomatis

mengikuti agama istri.

Konsep toleransi yang kuat diantara suami-istri yang menjalani

maligai rumah tangga yang menjadi faktor keluarga mereka tetap

harmonis sampai dengan saat ini. Bapak Mustaqim dan Ibu

178
Ngatminingsih saat ini sudah dikarunia anak dan keyakinan (agama) nya

sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati oleh mereka berdua.

4.2.2.3 Konsep Harmonisasi Umat Beragama di Keluarga Bapak Wadi dan

Ibu Suti

Sementara itu temuan dari penelitian yang peneliti lakukan dari

interview dengan keluarga Bapak Wadi dan Ibu Suti tentang konsep

harmonisasi umat beragama di keluarga mereka adalah bahwa sejak awal

mereka berdua sudah bersepakat tentang konsep keterbukaan diantara

keduanya. Itu artinya mereka yang menjalani rumah tangga dengan

keyakinan (agama) yang berbeda tidak saling menyembunyikan masalah-

masalah yang pasti ada dalam maligai rumah tangga. Kalau toleransi dan

saling memahami satu sama lain bagi mereka hal itu adalah keharusan

karena sejak awal mereka berdua bersepakat untuk membanggun rumah

tangga dengan fondasi yang berbeda. Selain itu mereka berdua juga

memiliki perjanjian dalam hal untuk menjaga kerhamonisan umat

beragama di dalam keluarga mereka, yaitu dengan bersepakat bahwa jika

anak mereka laki-laki maka agamanya mengikuti bapak, dan begitu

sebaliknya jika anak mereka adalah perempuan maka secara otomatis

agamanya mengikuti ibu.

4.2.2.4 Konsep Harmonisasi Umat Beragama di Keluarga Bapak Ropi’i dan

Ibu Endang

Dalam menjalani maligai rumah tangga konsep harmonisasi umat

beragama di keluarga Bapak Ropi’i dan Ibu Endang adalah keduanya

sama-sama memahami bahwa tidak ada yang merasa paling benar. Sebab

179
bagi mereka berdua agama itu tentang bagaimana mereka menjalaninya

bukan tentang apa agama mereka. Itu lah yang menjadi kunci harmonisasi

umat beragama didalam keluarga mereka. Bahkan ketika peneliti bertanya

“apakah Ibu pernah diajak masuk Islam oleh suami?”.

Ibu Endang menjawab bahwa sampai saat ini suami saya yaitu

Bapak Ropi’i tidak pernah melakukan itu. Alasannya adalah karena sejak

awal mereka berdua bersepakat untuk memiliki landasan atau prinsip

utama agar sama-sama saling mengerti, memahami, dan menghargai

keyakinan (agama) satu sama lain. Selain itu mereka berdua juga terbuka

tentang masalah keyakinan (agama) didepan anaknya, sebab mereka

berdua sudah meyakini bahwa ini pilihan Bersama dan harus

bertanggungjawab didepan anak-anak mereka.

Maka dari hasil temuan dalam penelitian yang peneliti lakukan

maka dapat peneliti simplifikasikan bahwa harmonisasi umat beragama

yang terjadi di keluarga yang melakukan perkawinan beda agama di Desa

Gadingkulon kuncinya adalah komunikasi. Apapun jika di bicarakan

secara baik-baik pasti ditemukan solusinya. Meskipun mereka berdua

memiliki perbedaan keyakinan akan tetapi tetap bisa harmonis dalam

menjalani maligai rumah tangga sampai saat ini bahkan sudah memiliki

anak dan cucu. Karena agama (keyakianan) pada awalnya memang

persoalan private, sehingga soal keimanan, dan relasi dengan Tuhan

seharusnya tidak menjadi problematika publik. Itu artinya bagi mereka

yang memiliki perspektif bahwa agama adalah tentang persoalan private,

cenderung memilih untuk tidak menampakan perbedaan agama, yang

180
justru menjadi orientasi mereka adalah tentang harmonisasi umat

beragama yaitu dengan menamkan sifat toleransi antar umat beragama

bisa di implementasikan dalam keseharian.

Sedangkan terkait permasalahan pindah agama karena motif

tertentu seperti demi mendapatkan pengakuan secara administrasi negara

atau pun karena agar mendapatkan restu dari orangtua sebenarnya hal

tersebut adalah bisa sebab dalam fakta sejarah peradaban manusia hal

seperti itu sering terjadi. Bedanya jika di Indonesia hal tersebut menjadi

luar biasa, sebab pindah agama karena motif tertentu seolah menjadi aib

yang harus dihindari sekaligus menjadi berkah yang harus disyukuri.

Mengapa demikian, karena bagi penganut agama yang ditinggalkan hal

tersebut menjadi aib, sementara disisi lain masuknya penganut agama

baru menjadi berkah. Kendatipun demikian, dalam perspektif peneliti

seharusnya agama tidak menjadi penghalang bagi siapapun untuk berbuat

baik, yaitu menikah.

Tentang pelaksanaan perkawinan beda agama yang dilakukan di

Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang tentu dari data yang peneliti

temukan dalam penelitian menunjukkan perbedaan. Memang ada yang

sama sekali tidak tercatatkan baik itu di KUA atau pun di Kantor Catatan

Sipil. Ada juga yang pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan dua

kali, yaitu secara Islam dan secara Kristen. Selain itu juga ada yang

melakukan perkawinan secara Islam dengan motif ingin mendapatkan

pengakuan administrasi Negara dan mendapatkan restu orangtua.

181
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Perspektif Hukum Islam Tentang Perkawinan Beda Agama di Desa

Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang

5.1.1 Analisa Perkawinan Beda Agama Perspektif Hukum Islam

Penjelasan tentang perkawinan beda agama perspektif hukum Islam

dalam analisis penulis, masih tetap menyisahkan polemik diantara para

ahli. Misalnya tentang kejelasan hukum apakah agama-agama yang ada di

Indonesia ini selain agama Islam termasuk dalam kategori ahl al-kitab atau

tidak. Jika para ahli hukum Islam masih silang pendapat terkait dengan

problematika perkawinan beda agama, itu artinya hukum dari

permasalahan ini masih terbuka untuk dielaborasi lagi sesuai dengan

konteksnya.

5.2.1 Perkawinan Beda Agama Antara Bapak Eddi Winarto dan Ibu

Ismaya Perspektif Hukum Islam

Pertama, diskursus tentang perkawinan beda agama dalam perspektif

ahli tafsir (Mufassir) setidaknya mengerucut pada beberapa surat dalam al-

Qur’an diantaranya adalah QS. al-Baqarah ayat 221. QS. al-Ma’idah ayat

5, dan QS. al-Mumtahanah ayat 10. Masing-masing Mufassir memiliki

perspektif yang berbeda meskipun juga masih ada titik persamaannya.

Misalnya terkait dengan asbabun nuzul QS. al-Baqarah ayat 221, yang

mayoritas Mufassir sepakat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan dua

182
persitiwa yaitu tentang cerita Abu Marsad al-Ghanawy yang diajak untuk

melakukan perkawinan dengan Anaq yang beragama Musyrik. Sedangkan

riwayat yang kedua tentang Abdullah bin Rawahah yang menikahi budak

perempuan beragama Kafir.230

Untuk lebih detail terkait dengan perspektif Mufassir tentang

perkawinan beda agama yang dilakukan oleh Bapak Eddi Winarto yang

merupakan pemeluk agama Konghucu pada saat itu, yang kemudian ia

sekarang sudah memeluk agama Kristen, dengan Ibu Ismaya yang sejak

dulu memeluk agama Islam, meskipun sempat menyatakan jika diawal

perkawinan dengan bapak Eddi Winarto Ibu Ismaya Islamnya hanya KTP.

Akan tetapi pada saat ini Ibu Ismaya merupakan seorang Muslimah yang

taat agama. Maka oleh karena itu, dalam analisa penulis tentang

permasalahan perkawinan beda agama antara Bapak Eddi Winarto dan Ibu

Ismaya hukumnya adalah Haram. Hal ini sejalan dengan apa yang

disampaikan oleh Imam al-Thabari bahwa yang dimaksud dengan term

Musyrik dalam QS. al-Baqarah ayat 221 adalah semua Musyrik yang

mencakup penyembah Berhala, Majusiah, dan pemeluk agama Yahudi-

Nasrani.231 Itu artinya dalam analisa penulis, pendapat pertama dari ahli

Ta’wil ini menghukumi haram seorang laki-laki non-Muslim melakukan

perkawinan dengan perempuan Muslimah. Hal ini juga didukung oleh

230
Syaikh Wahbah az-Zuhaily, Tafsir Munir fil Aqidati wa al-Manhaji,(Damaskus: Dar
al-Fikr,2009), hlm. 660-661
231
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-
Qur’an, hlm. 595

183
mayoritas Mufassir lainnya seperti Imam Ibnu Katsir,232 Imam al-

Baghawi, Imam al-Maraghi,233 Syaikh Wahbah az-Zuhaily234 bahkan

termasuk Rasyid Ridha dan mufassir Indonesia seperti Prof. Buya

Hamka,235 dan Prof. Qurais Shihab.236

Kedua, dalam perspektif fuquha, empat mazhab ulama ahli fiqih

bersepakat mengatakan bahwa hukum perkawinan yang dilakukan oleh

seorang laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslimah adalah haram

secara mutlak.237 Itu artinya perkawinan yang dilakukan oleh Bapak Eddi

Winarto dan Ibu Ismaya dalam perspektif hukum Islam adalah haram.

Ketiga, begitu juga dengan fatwa Dar al-Ifta’ Mesir serta Fatwa MUI

bahwa perkawinan seperti diatas hukumnya adalah haram.

Alasan hukum mengatakan haram melakukan perkawinan antara laki-

laki non-Muslim dengan wanita Muslimah adalah karena seorang wanita

Muslimah tidak memiliki wewenang atas laki-laki. Jadi jika melakukan

perkawinan dengan laki-laki ahl al-kitab dikhwatirkan terpengaruhi dan

akhirnya masuk agama suaminya. Begitu juga hukumnya haram bagi

perempuan Muslimah yang melakukan perkawinan dengan laki-laki Kafir.

Hal ini berdasarkan ayat 10 surat al-Mumtahanah. Selain itu dalam hemat

peneliti, pendapat hukum yang disampaikan oleh para ahli diatas baik itu

232
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-adhim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2020), hlm.
236
233
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 1, hlm. 102-103
234
Syaikh Wahbah az-Zuhaily, Tafsir Munir fil Aqidati wa al-Manhaji, hlm. 666
235
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Depok: Gema Insani, 2015), hlm. 194
236
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2017), hlm. 32
237
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, Juz 4, (Beirut: Dar-al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2014), hlm. 63

184
dari perspektif mufassir, fuquha’ bahkan lembaga Fatwa seperti yang ada

di Mesir dan di Indonesia, jika dilihat dengan menggunakan perspektif

maqasid al-Syari’ah sangatlah relevan. Sebab ketetapan keharaman atas

perkawinan beda agama antara laki-laki non-Muslim dengan perempuan

Muslimah tidak sejalan dengan prinsip maqasid al-syari’ah daruriyyat

yaitu hifz al-din (menjaga agama).238 Hifz al-din yaitu memilihara agama

tentunya jauh lebih urgen dan sangat esensial dalam permasalahan

perkawinan. Karena agama adalah fondasi utama dalam menjalani maligai

rumah tangga dengan orientasi menciptakan keluarga yang sakinah

mawadah wa rahmah. Maka oleh karena itu dimensi agama adalah

merupakan keluruhan dari akidah, syariah yang harus benar-benar dijaga

sebagai bentuk kewajiban utama bagi setiap orang yang telah

bersyahadat.239

Begitu juga perkawinan beda agama antara laki-laki non-Muslim

dengan perempuan Muslimah juga bertentangan dengan maqasid al-

Syari’ah yaitu hifz al-nasl (menjaga keturunan). Sebab dalam perkawinan

memiliki orientasi melahirkan keturunan, yang mana diharapkan

keturunan-keturunan tersebut mampu melanjutkan perjuangan orangtua

dalam menegakkan ajaran agama Islam. Maka oleh karena itu, ketetapan

dalil al-Qur’an tentang keharaman perkawinan beda agama antara laki-laki

non-Muslim dengan perempuan Muslimah sejalan dengan kajian tafsir

maqasidi yang mana ilmu ini adalah merupakan salah satu ragam dan

238
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Beirut: Lebanon: Dar al-Kutub al-
Syari’ah, 2004), hlm. 221-223
239
Moh. Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Utama, Cet. Ke-21, 2014), hlm. 63

185
aliran tafsir yang berupaya untuk menguak makna-makna logis dan tujuan-

tujuan beragam yang berputar disekeliling al-Qur’an, baik itu secara

general atau pun parsial, dengan tujuan untuk menjelaskan kemafaatan dan

merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia.240

Namun dalam kasus diatas yaitu perkawinan antara Bapak Eddi

Winarto dan Ibu Ismaya, tidak ditemukan intervensi apa-pun justru Ibu

Ismaya yang dulu Islam nya hanya KTP, saat ini justru menjadi wanita

Muslimah yang taat beribadah bahkan ia sudah melakukan rukun Islam

kelima sebanyak tiga kali. Hal ini yang mungkin harus dielaborasi lebih

dalam melihat illat hukum nya sudah tidak lagi ada dalam kasus

perkawinan beda agama antara bapak Eddi Winarto dan Ibu Ismaya. Fakta

ini sesungguh bisa disikapi dengan merujuk pada kegunaan atau manfaat

ilmu maqasid al-Syari’ah. Sebab dalam diskursus maqasid al-syari’ah

mengkaji tentang aksiologis yang berarti mempertanyakan apa manfaat

dan kegunaan dari ilmu maqasih al-syari’ah dalam penetapan hukum

Islam.241 Yang dalam diskurus ini adalah mempertayakan faktor apa yang

menjadikan Ibu Ismaya bisa bertahan dengan keimanannya memeluk

agama Islam dan taat dalam beribadah sedangkan suaminya adalah laki-

laki non-Muslim.

Dalam analisa peneliti, setidaknya dengan menggunakan kajian

aksiologis maqasid al-Syari’ah dapat memberikan kontribusi terhadap

240
Wafi Asyur Abu Zayd, Metode Tafsir Maqasidi, terj. Ulya Fikriyati. (Jakarta: Qaf,
2020), hlm. 20
241
Holilur Rohman, Maqasid Al-Syari’ah: Dinamika, Epistimologi, dan Aspek Pemikiran
Ushuli Empat Madzhab, (Malang: Setara Press, 2019), hlm. 54

186
pembaharuan hukum Islam kontemporer diantaranya adalah Demi

Pembangunan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini sejalan dengan apa

yang disampaikan oleh Jasser Audah hahwa, diskursus tentang tentang

HAM dalam kaitannya dengan hukum Islam terutama yang berkaitan

dengan hifz al-din masih sangat memperlukan penelitian yang lebih dalam

(elaborasi).242 Itu artinya diskursus ini merupakan salah satu kelanjutan

dari pengembangan al-daruriyyah al-khams yang ditawarkan oleh hujjatul

Islam Imam al-Ghazali dalam salah satu kitabnya yaitu al-Mustasfa.

Diskursus HAM yang berorientasi pada al-maqasid dikontemporerisasi

sehingga mampu memainkan peran yang signifikan dalam nalar hukum

Islam.

Hifz al-din (menjaga agama) yang merupakan bagian terpenting dalam

al-daruriyyah al-khams berkembang dan mengalami evolusi menjadi

menjaga pelestarian agama dan berevolusi lagi menjadi kebebasan

kepercayaan-kepercayaan atau kebebasan untuk percaya. Selain itu hifz al-

Nasl (menjaga keturunan) berkembang menjadi sistem dan nilai moral

dalam diskursus hukum keluarga. Dari sinilah peneliti menganalisa bahwa

apa yang menjadi konsepsi Jasser Audah dalam kajian aksiologis maqasid

al-Syari’ah mampu merelasiasikan pembangunan manusia melalui hukum

Islam agar pencapaian al-Maqasid menjadi mudah untuk diukur dan

dievolusi secara empirik melalui standar-standar ilmiah kontemporer,

sehingga mampu menampilkan kemaslahatan sebagai ekspresi utama

dalam menyuarakan Hak Asasi Manusia dalam hal menjaga agama (hifz

242
Jasser Audah, al-Maqasid untuk pemula, hlm. 50-112

187
al-din). Oleh karena itu perkawinan beda agama yang dilakukan oleh

Bapak Eddi dan Ibu Ismaya sah-sah saja jika merujuk pada aksiologis

maqasid al-Syariah.

5.2.2 Perkawinan Beda Agama Antara Bapak Mustaqim dengan Ibu

Ngatminingsih Perspektif Hukum Islam

Terkait dengan permasalahan perkawinan antara Bapak Mustaqim

dengan Ibu Ngatminingsih jika ditinjau dalam persepktif hukum Islam

terjadi perbedaan pendapat, baik itu dalam perspektif ahli tafsir (Mufassir)

atau pun fuquha (ahli fiqih) tentang hukum perkawinan tersebut. Maka

dalam analisa peneliti, terkait dengan kasus perkawinan diatas

sebagaimana berikut:

Pertama, dalam perspektif Mufassirin yaitu apa yang dijelaskan

oleh Imam at-Thabari di dalam pendapat nya yang kedua yaitu bahwa

surat al-Baqarah ayat 221 ini diturunkan dengan tujuan untuk

mengharamkan perkawinan dengan perempuan musyrikah Arab saja, dan

ayat tersebut tidak dihapus (nasakh) dengan ayat manapun tanpa ada

pengecualian.243 Artinya, dalam analisa peneliti, perkawinan beda agama

berdasarkan pendapat ini diperbolehkan baik itu dilakukan antara laki-laki

Muslim dengan wanita Musyrik yang beragama apapun. Pendapat ini

relevan dengan kasus perkawinan beda agama antara bapak Mustaqim dan

Ibu Ngatminingsih.

243
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-
Qur’an, hlm. 595

188
Sementara dalam perspektif Imam Ibnu Katsir perkawinan beda

agama yang dilakukan antara laki-laki Muslim dan wanita Musyrikah

hukumnya adalah haram, baik itu Musyrik yang memiliki kitab atau pun

yang tidak.244 Sedangkan terkait perkawinan beda agama yang dilakukan

antara laki-laki Muslim dengan wanita ahl al-kitab Imam Ibnu Katsir

mengatakan boleh. Sebab dalam al-Qur’an Allah Swt. tidak menyamakan

antara wanita Musyrik dan ahl al-Kitab. Kemudian dalam perspektif Imam

al-Maraghi menyatakan bahwa hukumnya boleh laki-laki Muslim menikah

dengan wanita ahl al-Kitab, meskipun ia membatasi bahwa yang dimaksud

dengan ahl al-kitab dalam QS. al-Ma’idah ayat 5 adalah hanya Yahudi-

Nasrani yang dari keturunan siapapun.245 Sedangkan terkait dengan hukum

perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik dalam

perspektif Imam al-Maraghi hukumnya adalah haram. Sebab dalam

perspektif Imam al-Maraghi term Musyrik dalam ayat 221 surat al-

Baqarah adalah bermakna global, baik itu yang ada di Arab atau diluar

Arab.

Syaikh Wahbah az-Zuhaily menyatakan bahwa perkawinan yang

dilakukan antara laki-laki Muslim dengan Wanita Musyrikah hukumnya

adalah tidak sah. Sedangkan terkait dengan perkawinan dengan wanita ahl

al-kitab yaitu wanita Yahudi-Nasrani hukumnya adalah boleh. Hal ini

sejalan dengan apa yang ada dalam QS. al-Ma’idah ayat 5. Argumentasi

244
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-adhim, hlm. 236
245
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 6, hlm. 56-59

189
hukum yang diberikan oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaily adalah terdapat

perbedaan antara Musyrik dan ahl al-kitab.246

Dari pendapat hukum diatas Syaikh Wahbah az-Zuhaily

memberikan alasan hukum (illat hukum) nya bahwa wanita ahl al-kitab

akan tetap bersikukuh memeluk agama yang diyakininya meskipun ia

sudah melakukan perkawinan dengan laki-laki Muslim. Artinya dalam

menjalankan ajaran agamanya wanita ahl-kitab tidak terganggu. Sebab

laki-laki Muslim mengimani ajaran agamanya yang mengajarkan untuk

membenarkan pokok-pokok agama-agama lain. Seperti ajaran agama

Yahudi dan agama Kristen seperti perintah untuk meng-Esa kan Tuhan

dan mengimplementasikan nilai-nilai (values) kebaikan. Itu artinya

seorang wanita ahl al-kitab mendapatkan kenyamanan baik itu dalam

aspek agama (melakukan ibadah sesuai agama yang diyakininya) dan juga

dalam aspek lain dalam kehidupannya jika menikah dengan laki-laki

Muslim. Hal ini sejalan dengan apa yang dialami oleh Bapak Mustaqim

dengan Ibu Ngatminingsih meskipun secara KTP Islam karena waktu itu

melakukan perkawinan secara Islam demi mendapatkan pengakuan

administrasi negara, tapi nyatanya setelah itu Ibu Ngatminingsih kembali

keagama lamanya yaitu Kristen.

Kedua, dalam perspektif fuquha’ hukum perkawinan antara bapak

Mustaqim dan Ibu Ngatminingsih terjadi silang pendapat. Misalnya dalam

perspektif mazhab Imam Abu Hanifah perkawinan antara laki-laki Muslim

246
Syaikh Wahbah az-Zuhaily, Tafsir Munir fil Aqidati, wa Syari’ati, wa al-Manhaji,
hlm. 662-663

190
dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram.247 Akan tetapi

jika wanita tersebut ahl al-kitab maka hukumnya adalah boleh. Meskipun

wanita ahl al-kitab tersebut menyakini Trinitas karena menurut mazhab

Imam Hanafi yang terpenting adalah ahl al-kitab tersebut memiliki kitab

Samawi. Itu artinya jika Ibu Ngatminingsih menyakini bahwa agama

Kristen yang ia peluk mengajarkan Trinitas maka hukum perkawinan

tersebut menurut mazhab Imam Abu Hanifah boleh (Mubah). Sementara

Imam Malik berpendapat bahwa hukum melakukan perkawinan dengan

wanita kitabiyah baik itu wanita kitabiyah yang zimmi (wanita non-

Muslim yang berada di negeri yang tunduk pada peraturan hukum Islam)

atau pun wanita harbiyah hukumnya adalah mutlak makruh.

Akan tetapi jika ada indikasi bahwa wanita tersebut dapat

mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan ajaran agama ayahnya,

maka status hukumnya berubah menjadi haram. Sedangkan dalam kasus

perkawinan yang dilakukan oleh Bapak Mustaqim dengan Ibu

Ngatminigsih tidak ditemukan indikasi bahwa adanya intervensi atau pun

mempengaruhi anak-anaknya untuk mengikuti agama yang ia peluk. Justru

mereka berdua melakukan perjanjian tentang agama anaknya. Yaitu jika

anaknya laki-laki maka akan mengikuti agama bapak. Jika anaknya

perempuan maka secara otomatis mengikuti agama ibunya.

Sedangkan dalam perspektif mazhab Imam as-Syafi’i

diperbolehkannya melakukan perkawinan beda agama hanya dengan

wanita ahl al-kitab yaitu dari kalangan Yahudi-Nasrani yang memiliki

247
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, juz 4. hlm. 63

191
nasab dari Bani Israil. Argumentasi hukumnya adalah bahwa Nabi Musa

dan Isa hanya diutus untuk bangsa Israil dan bukan untuk bangsa lainnya.

Alasan lainnya adalah bahwa pada lafal min qoblikum (umat sebelum

kamu) yang terdapat dalam surat al-Ma’idah ayat 5 menunjukkan kepada

golongan Yahudi-Nasrani dan bangsa Israil. Itu artinya dalam kasus

perkawinan bapak Mustaqim dengan Ibu Ngatminingsih perspektif Imam

Syafi’i adalah haram, sebab Ibu Ngatminingsih tidak ada jalur keturunan

dari Yahudi-Nasrani atau Bani Israil. Pendapat ini diikuti oleh Imam

Ahmad bin Hanbal yang merupakan murid dari Imam as-Syafi’i.248

Ketiga, perspektif ulama kontemporer seperti Rasyid Ridha yang

dikenal cukup liberal dalam hal pemikiran mengatakan bahwa hukumnya

boleh melakukan perkawinan beda agama. Sebab ia menginterpretasikan

ayat 221 dalam surat al-Baqarah yang dimaksud dengan Musyrikah adalah

mereka yang berada dijazirah Arab. Itu artinya perkawinan dengan wanita-

wanita penyembah berhala seperti orang-orang Cina dan lainnya dalam


249
perspektif Rasyid Ridha adalah boleh. Hal ini sejalan dan seirama

dengan apa yang dijelaskan oleh Ibn Jarir al-Thabari yang mana ia

merupakan ahli tafsir (mufasir) bahwa orang-orang Majusi, Shabiun,

Penyembah berhala baik itu yang berasal dari India, Jepan, Cina dan

sejenisnya adalah termasuk kategori ahl al-Kitab sebab kitab mereka

mengajarkan nilai Tauhid sampai sekarang.

248
Abu Malik Kamil bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2014), hlm. 139
249
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz VI. hlm. 193

192
Itu artinya dalam kasus perkawinan Bapak Mustaqim dengan Ibu

Ngatminingsih menurut Rasyid Ridha adalah boleh. Dan hal ini juga

mendapatkan dukungan dari Mawlana Muhammad Ali yang mengatakan

bahwa perkawinan dengan wanita-wanita Musyrikah atau laki-laki

Musyrik dilarang, akan tetapi perkawinan dengan penganut agama lain

dibolehkan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Fathir ayat 24

yang mana dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa wahyu Ilahi diturunkan

kepada sekalian bangsa di dunia, kecuali kaum Musyrik bangsa Arab yang

belum pernah menerima wahyu. Argumentasi ini didukung dengan ayat

ke-3 dalam surat al-Sajadah, dan juga surat Yasin ayat 6. Artinya Mawlana

Muhammad Ali memperbolehkan perkawinan beda agama seperti

melakukan perkawinan dengan kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, Budhis,

Hindu, alasannya karena mereka termasuk dalam golongan ahl al-kitab.250

Kedua pendapat yang cukup liberal diatas juga diamini oleh Abdul

Hamid Hakim, bahwa terkait dengan problematika perkawinan beda

agama ini kaum Majusi, Shabi’un, dan penyembah berhala yang ada di

Cina, India atau pun yang serupa dengannya semuanya termasuk kategori

ahl al-kitab yang hukumnya boleh melakukan perkawinan dengan mereka,

sebab mereka masih tetap mengimplementasikan ajaran Tauhid sampai

saat ini. 251

Dari penjelasan ahli hukum diatas, tentang kasus perkawinan beda

agama antara laki-laki Muslim dengan perempuan non-Muslimah jika

250
Mawlana Muhammad Ali, The Religion of Islam, hlm. 412
251
Abdul Hamid Hakim, Al-Mu’in al-Mubin, hlm. 45-55

193
dilihat dalam perspektif maqasid al-Syariah maka mengindikasikan bahwa

Pak Mustaqim sebagai suami yang bersetatus Muslim tetap menjaga

agamanya (hifz al-din), hal ini sejalan dengan al-Daruriyyah al-Khamsah.

Sebab sebagai pemimpin keluarga tidak menutup kemungkinan Pak

Mustaqim mampu membimbing dan mengantarkan istrinya untuk

memeluk agama sebagaimana agama yang ia yakini. Kendatipun demikian

sampai saat ini Ibu Ngatminingsih tetap bersih kukuh memeluk agama

Kristen menjadikan perkawinan ini tidak sesuai dengan tujuan syariah.

Sedangkan dalam dimensi hifz al-nasl yaitu menjaga atau

memlihara keturunan yang juga menjadi orientasi dalam perkawinan sudah

ditetapkan dengan kesepakatan perjanjian, bahwa masing-masing anak

mereka mengikuti agama sebagaimana yang diikuti oleh orangtuanya. Hal

ini juga mengindikasikan nilai-nilai keharmonisan dalam perkawinan beda

agama yang dilakukan oleh bapak Mustaqim dengan ibu Ngatminingsih.

Meskipun demikian, dalam hemat peneliti, tidak tercapainya tujuan utama

syariat Islam yaitu melakukan perkawinan dengan pasangan yang seagama

menjadikan terbukanya kemadharatan. Sebab dalam perspektif imam al-

Ghazali yang dimaskud dengan maslahah adalah tidak hanya sekedar

menarik manfaat (keluarga bisa harmonis) dan menolak madharat (tidak

terjadi disharmonisasi), jika hanya sebatas itu yang dimaksud dengan

maqasid al-Syari’ah, maka itu hanya berdasarkan kepentingan manusia

saja. Sedangkan yang dimaksud dengan maslahah ialah memlihara tujuan

194
syara’ atau hukum Islam, dan tujuan syara’ itu ada lima yaitu memelihara

agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.252

5.2.3 Perkawinan Beda Agama Antara Bapak Wadi dan Ibu Suti Perspektif

Hukum Islam

Dalam perspektif hukum Islam perkawinan antara Bapak Wadi dan Ibu

Suti hukumnya sama dengan apa yang dilakukan oleh Bapak Eddi Winarto

dan Ibu Ismaya yaitu hukumnya haram. Sebab agama Bapak Wadi adalah

Kristen dan Ibu Suti adalah Islam. Dalam perspektif ahli tafsir (mufassir)

misalnya Prof Buya Hamka mengatakan alasan hukum haram dari

perkawinan tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 221 secara tegas

mensyaratkani Kafaah atau Kufu dalam hal perkawinan. Itu artinya Buya

Hamka tidak memperbolehkan melakukan perkawinan beda agama karena

urgentnya Kafaah dalam dimensi keimanan, pendirian, keyakinan tidak

boleh diabaikan. Sebab maligai rumah tangga harus dibentuk dengan dasar

yang kuat yaitu Iman dan Tauhid yang sama.253

Sedangkan ulama Mufassir lain ada yang mengatakan hukumnya haram

jika dikhawatirkan seorang Istri yang agamanya Islam tadi terpengaruh oleh

ajaran suami (Kristen). Akan tetapi dalam kasus perkawinan beda agama

antara Bapak Wadi dengan Ibu Suti ini justru pekawinannya dilakukan secara

Islam dengan motif demi mendapatkan restu dari keluarga Istri. Dan setelah

perkawinan berlangsung Pak Wadi kembali keagamanya yang lama yaitu

Kristen. Tentu dalam perspektif hukum Islam hal ini bukanlah hal baru.

252
Abdul Aziz bin Abdurrahman bin Ali bin Rabi’ah, Ilmu Maqasid al-Syari’ah (Riyad:
Maktabah al-Akibah, 2010), hlm. 194
253
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Depok: Gema Insani, 2015), hlm. 143

195
Sebab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dijelaskan bahwa

“Ummu Sulaim yang pada saat itu sudah masuk Islam hendak dilamar oleh

Abu Thalhah yang merupakan laki-laki sempurnah, hanya saja ia belum

masuk Islam dan hal inilah yang menjadikan Ummu Sulaim keberatan”.

Singkat cerita Ummu Thalhah meminta agar Abu Thalhah masuk Islam dan

menemui Rasul Muhamamd Saw. Akhirnya Abu Thalhah masuk Islam

dengan motif agar dapat menikahi Ummu Sulaim.

Dalam diskurus hukum Islam hal itu tidak menjadi masalah sebab

tentang motif sesorang masuk Islam banyak sebabnya, yang terpenting

adalah pendampingannya saat itu. Kendati demkian, dalam hemat peneliti,

apa yang dilakukan oleh Pak Wedi masuk Islam agar mendapatkan restu

orangtua, kemudian setelah itu kembali keagama asalnya adalah perbuatan

tasahul fiddin yaitu meremehkan masalah agama dan hukumnya haram. Maka

jika dilihat dalam perspektif maqasid al-Syari’ah hal tersebut tidak sejalan

dengan konsep maslahah yang menjadi core values (nilai-nilai utama)

maqasid al-Syari’ah. Sebab motif diatas tidak sesuai dengan tujuan syara’

melainkan hanya sekedar memenuhi keinginan dan kepentingan nafsu.

Kemudian tentang motif tersebut, sebenarnya tidak menjadi masalah

sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits diatas, sebab banyak sekali jalan

untuk orang dapat masuk Islam. Akan tetapi jika akhirnya kembali pada

ajaran agama yang lama yaitu Kristen tentu hal ini sangat merendahkan

agama, baik itu Islam atau pun Kristen. Akan tetapi dalam analisa peneliti,

jika hal ini dikaitkan dengan diskursus aksiologis maqasid al-Syariah yang

memiliki fungsi atau kemanfaatan untuk memahami ta’arud atau perselisihan

196
dan tanaqud atau kontradiksi254 antara dalil berupa ayat al-Qur’an yang

menjelaskan tentang keharaman melakukan perkawinan dengan laki-laki non-

Muslim, sedangkan dalil hadits diatas seolah memperbolehkan seorang

masuk Islam dengan motif apa pun selama tidak ada pemaksaan. Tentu hal ini

menarik jika dilihat dari perspektif aksiologis maqasid syari’ah.

Dalam hemat peneliti, sebenarnya tidak ada pertentangan atau

kontradiksi di dalam al-Qur’an dan hadits, jikalaupun ada itu hanya dalam

pemikiran seorang saja dan kurangnya dalam memahami. Itu artinya, dalam

kasus diatas keharaman perkawinan tersebut adalah terletak dalam

mempermainkan masalah agama, sehingga dengan hal tersebut tidak

ditemukan nilai hifz al-din. Walaupun dalam realitanya maligai rumah tangga

yang dijalani oleh pasangan tersebut tetap harmonis, namun tidak sesuai

dengan maqasid al-Syari’ah. Sebab orientasi dari sebuah perkawinan adalah

tidak hanya sekedar untuk menyalurkan kebutuhan biologis semata, akan

tetapi lebih dari itu jalinan perkawinan terkait erat dengan keharusnya untuk

mencipatakan kondisi psikologis yang tenang, damai, dan tentram dengan

balutan kasih sayang antara suami-istri.255

Dimensi agama (hifz al-din) menjadi hal yang sangat penting karena

keluarga adalah tempat yang paling representatif, atau kondusif untuk saling

berbuat kebaikan dan menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt.

Selian itu keluarga adalah merupakan sekolah tempat pendidikan pertama

254
Holilur Rohman, Maqasid al-Syari’ah: Dinamika, Epistimologi, dan Aspek Pemikiran
Ushuli Empat Madzhab, (Malang: Setara Press, 2019), hlm. 53
255
Holilur Rohman, Maqasid Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Magnum Pustaka
Utama,2022), hlm. 13

197
bagi anak-anak. Maka dapat dibayangkan jika di dalam rumah tidak terdapat

kesepemahaman dalam hal keyakinan agama, tidak menuntup kemungkinan

anak-anak akan menjadi korbannya.256

5.2.4 Perkawinan Beda Agama Antara Bapak Ropi’i dengan Ibu Endang

Perspektif Hukum Islam

Tentang kasus perkawinan antara Bapak Ropi’i dan Ibu Endang ini

berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya. Sebab dalam pelaksanaanya mereka

melakukan perkawinan dua kali, pertama secara Islam, kedua secara Kristen.

Itu artinya perkawinan ini dilakukan atas dasar keridhaan satu sama lain. Maka

oleh karena itu kasus seperti ini menarik untuk dielaborasi dalam perspektif

hukum Islam. Dalam analisa penulis, Bapak Ropi’i ini adalah seorang pemeluk

agama Islam, sedangkan Ibu Endang adalah pemeluk agama Kristen. Tentunya

dalam perspektif hukum Islam kajian ini sama dengan apa yang sudah penulis

jelasan dikasus perkawinan antara bapak Mustaqim dengan Ibu Ngatminingsih.

Hanya saja perkawinan ini dilakukan dua kali dengan cara yang berbeda.

Tentunya problematika seperti ini harus disikapi dengan berbagai pendekatan

dalam hukum Islam. Misalnya, dalam menetapkan hukum suatu ketetapan

hukum, harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang harus relevan

dengan dalil-dalil al-Qur’an atau pun hadits. Selain itu harus meyakini bahwa

apa yang sudah menjadi ketetapan hukum baik itu yang ada di dalam al-Qur’an

dan hadits pasti memiliki orientasi untuk menghantarkan kepada kemaslahatan

256
Jamaluddin ‘Atiyyah, Nahwa Tafsili Maqasid al-Syari’ah, (Damaskus: Dar al-Fikr,
2001), hlm. 150-153

198
bukan sebaliknya. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Imam as-

Syatibi, bahwa syari’at Islam itu tidak ada yang mempersulit.

Maka oleh karena itu, jika ditemukan dalam menjalakan suatu kewajiban

(perkawinan) misalnya, yang sebenarnya dipermudah untuk melakukannya

dengan yang seagama, maka pilihlah itu dan tinggalkan yang sulit yaitu

melakukan perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama. Tentunya hal

ini sejalan dengan nilai maqasid al-Syari’ah yaitu hifz al-din. Dan hal ini

sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw. Yang

memberikan gambaran dalam memilih kriteria pasangan yang harus

dipertimbangkan yaitu, dimensi fisik, keluarga, ekonomi, dan yang terkahir

adalah yang paling fundamental yaitu agama.257

Maka dari penjelasan diatas, perkawinan yang dilakukan oleh bapak

Ropi’i dengan ibu Endang tidak sejalan dengan konsepsi aksiologis maqasid

al-Syari’ah. Sebab mereka tidak mampu mengimplementasikan core values

dalam hadits diatas yaitu pilihlah pasangan berdasarkan agama (hifz al-din).

Sebab apa yang disabdakan oleh Rasul Muhammad Saw. baik itu berupa

perbuatan-perbuatan atau perkataan-perkataan, bahkan ketetapan-ketetapan

pasti mengandung nilai kemaslahatan bagi umat nya.

5.2 Perspektif Sosiologi Hukum Tentang Perkawinan Beda Agama di

Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang

5.2.1 Analisa Perkawinan Beda Agama Perspektif Sosiologi Hukum

257
Holilur Rohman, Maqasid Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Magnum Pustaka
Utama,2022), hlm. 13

199
Sebagaimana yang sudah peneliti jelaskan dalam kajian teori tentang

diskursus sosiologi hukum, bahwa ada beberapa ahli yang menjelaskan

tentang pengertian sosiologi hukum yang mana dari pendapat sementara

ahli peneliti dapat mensimplifikasikan bahwa yang dimaksud dengan

sosiologi hukum adalah “segala bentuk aktifitas sosial masyarakat apabila

dilihat dari aspek hukumnya maka hal itu disebut dengan sosiologi

hukum”.258 Itu artinya jika kajiannya tentang Perkawinan Beda Agama,

maka dalam perspektif sosiologi hukum yang relevan untuk dikaji adalah

terkait dengan para pelakunya baik itu suami atau pun istri. Yang dalam

konteks ini terjadi di Desa Gadingkulon ada beberapa pasangan suami-istri

yang melakukan perkawinan beda agama. Seperti, bapak Eddi Winarto

dengan ibu Ismaya, yang dalam temuan peneliti keduanya tidak begitu

mengerti tentang aturan hukum perkawinan beda agama baik itu dalam

dimensi hukum Islam atau pun hukum positif. Itu artinya, mereka berdua

terkesan apatis untuk mempelajari tentang hal tersebut. Sehingga mereka

berdua yang merupakan pasangan suami-istri tetap melangsungkan

perkawinan tanpa tercatatkan baik itu di KUA atau pun di Kantor Catatan

Sipil.

Begitu juga dengan kasus-kasus lainnya, misalnya perkawinan yang

dilakukan oleh Bapak Mustaqim dan Ibu Ngatminingsih. Mereka berdua

melakukan perkawinan dan tercatatkan di KUA, padahal Ibu

Ngatminingsih adalah merupakan seorang pemeluk agama Kristen,

sedangkan Bapak Mustaqim merupakan pemeluk agama Islam. Tentunya

258
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, hlm. ix

200
hal tersebut menjadi pertanyaan besar bagi peneliti. Setelah peneliti

mendapatkan informasi dari informan, ternyata Ibu Ngatminingsih masuk

Islam dengan motif agar perkawinan mereka mendapatkan pengakuan

secara administrasi negara. Setelah motif itu tercapai, ibu Ngatminigsih

kembali memeluk agama Kristen.

Probelmatika seperti ini tentu sangat menarik jika di lihat dalam

perspektif sosiologi hukum. Sebab dalam analisis peneliti sosiologi hukum

memiliki ruang lingkup yang menurut perspektif Satjipto Rahardjo ruang

lingkup itu adalah yang berkaitan dengan dasar-dasar sosial dari suatu

hukum, atau yang lazim juga disebut sebagai basis sosial hukum. Itu

artinya ruang lingkup sosiologi hukum adalah tentang konteks mengapa

suatu hukum lahir dan diberlakukan, meliputi nilai-nilai, kondisi sosial,

konflik dan lainnya.259 Dari sini peneliti menganalisa dan menemukan

bahwa terjadi sebuah perjalanan panjang berliku sebelum disahkannya

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Yang mana sejarah

panjang berliku perjalanan UUP No. 1 Tahun 1974 adalah termasuk

kedalam ruang lingkup sosiologi hukum. Terkesan kurang adil UUP No. 1

Tahun 1974 jika didalamnya tidak mengatur dan mengakomodasi tentang

perkawinan beda agama. Dan apa yang dilakukan oleh pasangan bapak

Mustaqim dengan ibu Ngatminigsih merupakan salah satu dampak dari

tidak diakomodasinya perkawinan beda agama.

259
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum,
hlm. 94

201
Bahkan sampai saat ini, yang mana Indonesia sudah merdeka lebih

dari setengah abad, masih juga belum diatur tentang ketentuan perkawinan

beda agama. Tentunya sebagai akademisi, peneliti juga turut mendorong

agar dilakukan kajian ulang tentang Undang-Undang Perkawinan No.1

Tahun 1974, agar ditemukan formulasi baru atau dilakukan rekontruksi

agar Indonesia memiliki undang-undang hukum keluarga khususnya yang


260
berkaitan dengan hukum perkawinan beda agama segera terwujud.

Sebab tidak dapat dipungkiri keragaman (pluralitas) bangsa Indonesia baik

itu dalam hal bahasa, suku, budaya (etnik), bahkan agama seharusnya

menjadi faktor pendorong untuk segera direalisasikannya regulasi tentang

perkawinan beda agama. Jika hal itu ditunda-tunda terus tanpa

menghadirkan solusi maka tidak menutup kemungkinan akan semakin

banyak masyarakat yang merasakan ketidakadilan. Jika itu terjadi, maka

dalam diskursus sosiologi hukum, Undang-Undang Perkawinan No.1

Tahun 1974 tidak bersenyawa dengan core values Pancasila yaitu keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Maka dalam hemat peneliti, UUP No 1 Tahun 1974 tercipta tidak

serta merta hadir tanpa ada latarbelakang yang menyertainya. Sebab terjadi

transisi hukum perkawinan dari pasca penguasa kolonialis ke

pemerintahan Republik Indonesia.261 Setidaknya ada enam produk hukum

yang masih diberlakukan sebelum lahirnya UUP No 1 Tahun 1974 yaitu:

pertama. Di berlakukannya hukum Islam bagi orang-orang Indonesia asli

260
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Kencana-PrenadaMedia Group, 2015), hlm.102
261
Imron Rosyidi, Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam, (Jakarta:
Kencana,2022),hlm. 14

202
yang beragama Islam. Kedua, berlaku bagi orang-orang Indonesia asli

pemeluk agama Kristen Huwelijks ordonnantie Chirsten Indonesia

(Stb.1933 Nomor 74). Ketiga, orang asli Indonesia selain Islam dan

Kristen berlaku hukum adat. Keempat, bagi orang-orang Timur Asing

Cina dan warga Negara Indonesia keturunan Cina diberlakukan KUH

Perdata (Burgerlijk Wetboek). Kelima, bagi orang-orang Eropa dan warga

Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamkan diberlakukan KUH

Perdata (Burgerlijk Wetboek). Keenam, bagi orang-orang Timur Asia

lainnya dan warga Negara keturunan Timur Asing lainnya berlaku hukum

adat mereka.

Hukum perkawinan yang sudah terkodifikasi dalam KUH Perdata

(Burgerlijk Wetboek), HOCI, GHR secara praktis sudah di

implementasikan dan sesuai kebutuhan orang-orang Indonesia yang

beragama Kristen dan warga Negara berketurunan Eropa dan Cina serta

yang dipersamakan. Hal ini berbanding terbalik bagi umat Islam yang

mana pada saat itu belum memiliki kodifikasi hukum yang mengatur

tentang perkawinan. Baru pada tahun 1946 setahun setelah kemerdekaan

pemerintah berhasil membuat regulasi peraturan perkawinan melalui

Undang-Undang No.22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan

Rujuk yang diperuntukan bagi umat Islam, dan hanya berlaku bagi

penduduk wilayah Jawa dan Madura. Karena dirasa kelahirannya sangat

mendesak, sebab Undang-Undang No.22 Tahun 1946 hanya berlaku untuk

wilayah Jawa dan Madura saja tidak mampu mencakup wilayah lainnya,

203
maka akhirnya dimunculkan Undang-Undang No.32 Tahun 1954 yang

isinya berlaku secara Nasional.

Setelah itu baru di tahun 1958 RUU perkawinan Umat Islam (RUU

Khusus) diajukan oleh pemerintah melalui Menteri Agama ke Parlemen.

Kemudian dilanjutkan pada masa Orde Baru, itu pun dilatarbelakangi

karena adanya desakan yang terus muncul dari masyarakat. Yang mana

dalam sidang MPRS tahun 1966 melahirkan ketetapan No.

XXVII/MPRS/1966. Yang pada Pasal 1 ayat (3) TAP MPRS menyebutkan

perlunya mewujudkan UU Perkawinan yang berlaku untuk semua

penduduk Indonesia. Pada tahun 1973 pemerintah mengajukkan RUU

Perkawinan ke Parlemen hasil Pemilu 1971, sekaligus menarik RUU yang

peranh diajukan sebelumnya. Akhirnya setelah melalui proses yang

panjang dan berliku, pada tanggal 2 Januari 1974 RUU Perkawinan

disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Kendati demikian, Pemerintah dan DPR menyadari betul bahwa tidak

mudah untuk mengimplementasikan UU Perkawinan tersebut karena ada

beberapa bagian yang masih memperlukan sosialisasi dan pengaturan lebih

lanjut. Sebab kehadiran UU Perkawinan ini belum mampu mengatur

seluruh aspek yang terkait dengan perkawinan. Pada realitanya memang

demikian implementasi UU Perkawinan ini bermasalah bagi sebagaian

golongan masyarakat, salah satunya adalah permasalahan perkawinan beda

agama.

204
Sejarah panjang perjalan UU Perkawinan di Indonesia jika dilihat dari

perspektif sosiologi hukum relevan dengan konsep “Het recht think achter

de feiten aan” artinya adalah ungkapan yang mengambarkan betapa

hukum selalu tertatih-tatih di belakang realitas sosial.262 Konsep sosiologi

ini dalam hemat peneliti relevan dengan permasalahan perkawinan beda

agama di Negara yang pluralis seperti Indonesia. Kesenjangan antara

hukum dan peristiwa-peristiwa sosial akan menjadikan hukum kehilangan

kewibawaannya. Oleh karena itu hukum harus mampu bersenyawa

bersama setiap perubahan sosial yang ada. Eronisnya hal itu terjadi sampai

saat ini, di Negara yang sangat prluralis ini belum ada ruang untuk

melakukan perkawinan beda agama. Itu artinya UU Perkawinan No.1

Tahun 1974 yang diberlakukan secara Nasional belum bisa menjawab

problematika umat.

Polemik perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia terus

menerus terjadi seolah tidak mampu untuk dihentikan. Jika dalam UUP

No. 1 Tahun 1974 tidak memberikan ruang untuk dilaksanakannya

perkawinan beda agama, lalu bagaimana dengan kasus-kasus yang terjadi

selama ini. Seperti kasus Andi Vonny dan Andrianus Petrus, yang mana

kasus itu muncul tidak berselang lama setelah ditetapkannya UUP. Mereka

berdua harus berjuang demi mendapatkan keadilan hukum. Polemiknya

bermula ketika mereka berkeinginan melakukan perkawinan beda agama,

Andi Vonny ini merupakan wanita Muslim sedangkan Petrus adalah laki-

laki pemeluk agama Kristen. Keinginan mereka untuk menjadi warga

262
Hamzarief Santaria, Konsep Sosiologi Hukum, (Malang: Setara Press, 2019), hlm. 35

205
Negara yang taat hukum dengan mendaftarkan perkawinannya justru di

tolak oleh KUA yang ada di Kecamatan Tanah Abang, dan juga Kantor

Catatan Sipil Jakarta. Karena terjadi penolakan mereka mengajukan

permohonan ke PN Jakarta Pusat.

Keadilan yang mereka cari di PN tidak juga didapatkan. Karena PN

Jakarta Pusat justru menjatuhkan penetapan No. 382/Pdt/P/1986/PN.JKT.

Pst., tanggal 11 April 1986. PN membenarkan alasan KCS Jakarta

menolak keinginan mereka melakukan perkawinan tersebut karena hukum

perkawinan tidak mengatur perkawinan beda agama. Sebab Pegawai

Pencatatan Nikah KCS hanya mencatat perkawinan yang telah

dilaksanakan berdasarkan agama, sehingga perkawinan yang belum

dilaksanakan menurut agama, tidak dapat dicatatkan. Gagal dalam perkara

di tingkat pertama tidak menyurutkan niat mereka untuk melangsungkan

perkawinan beda agama, sehingga putusan PN Jakarta Pusat tersebut

diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Melalui putusan Nomor

1400/K/Pdt/1986, pada tanggal 20 Januari 1989 MA memberikan

menyatakan membatalkan penetapan PN Jakarta Pusat dengan Nomor

tanggal No.382/PDT/P/1986/PN.JKT.PTS., tanggal 11 April 1986. MA

akhirnya mengadili sendiri yang amar pokoknya adalah memerintahkan

Pencatat Sipil Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta agar

melangsungkan perkawinan antara Andi Vonny Gani P. dengan Andrianus

Petrus Hendrik Nelwan.

Kasus lain tentang permohonan perkawinan beda agama juga pernah

diterima oleh PN Magelang yang terdaftar dengan Nomor

206
04/Pdt.P/2012/PN.MGL. Latarbelakang masalahnya adalah saat ingin

melakukan perkawinan beda agama atau mengajukan permohonan di

Kantor Catatan Sipil mereka ditolak dengan alasan pemohon beragama

Islam. Begitu juga dengan kasus lain yang diterima oleh PN Magelang

yang terdaftar dengan Nomor 06/Pdt.P/2014/PN.Mgl. Kedua kasus yang

diterima oleh PN Magelang ini dalam analisa peneliti menunjukkan bahwa

kehadiran UUP No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 tidak memberikan ruang

untuk calon pasangan beda agama melakukan pencatatan perkawinannya

di Indonesia. Sedangkan dalam kasus lain bagi mereka yang memiliki

kecukupan ekonomi seperti para selebritis memilih melakukan perkawinan

beda agama di luar negeri, kemudian mencatatkan perkawinan mereka di

KCS saat kembali ke Indonesia. KCS tidak boleh menolak untuk mencatat

perkawinan ini. Dan kasus seperti ini pernah dilakukan oleh beberapa

pasangan selebritis Indonesia.263

Fenomena tersebut menjadikan hukum pencatatan perkawinan yang

berlaku di Indonesia seolah tidak memihak kepada masyarakat kelas

bawah. Selain itu dalam hemat peneliti, Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 juga tidak memiliki ketegasan dan kejelasan dalam mengatur atau

memuat suatu ketentuan yang menyebut bahwa perbedaan agama diantara

calon pasangan (suami-istri) merupakan larangan atau halangan dalam

melakukan perkawinan. Begitu juga tentang Pasal 2 UUP No.1 Tahun

1974 yang masih sangat terbuka untuk terjadi silang pendapat dalam

menginterpretasikannya. Karena multi interpretasi pada Pasal 2 tersebut

263
Setiyowati, Hukum Perkawinan di Indonesia: Rekontruksi Perundang-Undangan
Berbasil Nilai Keadilan, hlm.5

207
tidak jarang justru menimbulkan polemik yang berkelanjutan dalam

masyarakat.

Analisa selanjutnya yang peneliti temukan yaitu berkaitan dengan

pencatatan perkawinan. Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) justru membuka

peluang untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Sebab dalam pasal

35 (a) Undang-Undang Adminduk ini menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan

yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Kendati pun demikian

masih juga menyisahkan persoalan, apakah perkawinan yang dicatatkan

dengan atau atas dasar putusan Pengadilan seperti yang dimaksud oleh

Pasal 35 (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Adminduk itu

dianggap sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan?.264

Hal ini juga tidak lepas dari latarbelakang munculnya UU Adminduk

yang mana salah satu dasar yang menjadi rujukan adalah UUP No.1 Tahun

1974. Sehingga perlu diingat bahwa UU Adminduk tersebut tidak

mengatur lebih lanjut tentang tata cara atau pun proses berlangsungnya

perkawinan antar umat yang berbeda agama sehingga syarat dan tata cara

serta larangan perkawinan dalam UUP No.1 Tahun 1974 tetap berlaku.

Dari polemik tersebut, maka terlihat jelas ketidakpastian dan

264
Setiyowati, Hukum Perkawinan di Indonesia: Rekontruksi Perundang-Undangan
Berbasil Nilai Keadilan, (Malang: SetaraPress, 2021), hlm.3

208
ketidakjelasan dalam menentukan keabsahan perkawinan. Jika demikian,

wajar jika timbul keresahan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh

masyarakat dalam pelaksanaan peraturan perkawinan, khususnya tentang

keabsahan perkawinan beda agama.

Dari berbagai problematika hukum perkawinan beda agama diatas

baik itu yang terjadi di Desa Gadingkulo atau pun kasuistik yang terjadi

dan sudah diputuskan oleh Hakim, jika dilihat dari perspektif sosiologi

hukum sebagaimana yang sudah peneliti jelaskan dalam tujuan dan fungsi

sosiologi hukum bahwa di dalam diskurus sosiologi hukum, terdapat yang

namanya fungsi hukum. Yang dalam perspektifnya Joseph Raz dibagi

menjadi dua yaitu fungsi hukum langsung, dan fungsi hukum tidak

langsung. Relevansi dengan problematika diatas yaitu kaitannya dengan

perkawinan beda agama fungsi hukum secara langsung adalah Undang-

Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang memiliki fungsi dan tujuan

untuk mengatur pelaksanaan perkawinan secara nasional. Akan tetapi

dalam realitasnya masih terjadi ketidakadilan yang dirasakan oleh

masyarakat.

Sedangkan fungsi hukum tidak langsung dalam kaitannya dengan

problematika perkawinan beda agama diatas adalah untuk memperkuat

atau memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai-nilai moral

tertentu, seperti kesucian hidup, memperkuat atau memperlemah

penghargaan terhadap otoritas tertentu di dalam masyarakat dan

mempengaruhi perasaan kesatuan nasional. Artinya fungsi hukum yang

terkandung dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 memiliki orientasi

209
untuk menertibkan pelaksanaan perkawinan, meskipun dalam perspektif

sosiologi hukum fungsi hukum yang ada dalam UUP tersebut belum bisa

memberikan solusi atas permasalahan perkawinan beda agama.

Itu artinya Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak

sesuai dengan karakteristik sosiologi hukum, sebab karekteristik sosiologi

hukum adalah berusaha untuk menguji kesahihan empiris (empirical

validity), artinya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 merupakan suatu

peraturan atau pernyataan hukum yang perlu dikaji kesahihahnya,

sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai atau tidak dengan

masyarakat tertentu. Faktanya UUP 1974 ini masih belum sesuai dengan

masyarakat Indonesia yang pulralis di dalam agama. Buktinya tidak

ditemukan ruang sedikit pun bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan

perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama sebagaimana yang sudah dijelaskan

merupakan perkawinan yang dilakukan antara dua individu yang memeluk

agama berbeda. Maka dalam analisa peneliti, menurut perspektif teori

hukum progresif persoalan tersebut merupakan salah satu bentuk

perubahan sosial yang perlu diakomodasi oleh hukum. Sebab dalam kajian

sosiologi hukum (teori hukum progresif) yang diawali dengan premis

dasar bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan berlaku sebaliknya.

Dalam teori hukum progresif tidak diterima hukum yang bersifat mutlak

dan final, akan tetapi sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk

melayani umat manusia.

210
Konsep ideologis ini diusulkan untuk di implementasikan pada level

agenda akademik dan aksi. Hukum Progresif merupakan koreksian

kelemahan besar dari sistem hukum modern yang menentang birokrasi dan

ingin bebas dari aturan semacam hukum liberal. Hukum progresif menolak

tatanan yang hanya beroperasi di dalam institusi negara. Hukum progresif

bertujuan untuk melindungi rakyat terhadap cita-cita hukum dan menolak

status quo, serta menginginkan hukum yang memiliki nurani dan menjadi

institusi yang bermoral. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan

mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan

membuat manusia bahagia.

5.3 Perspektif Pasangan Suami-Istri Tentang Konsep Harmonisasi Umat

Beragama di Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang

5.3.1 Perspektif Keluarga Bapak Eddi Winarto dan Ibu Ismaya tentang

Konsep Harmonisasi Umat Beragama

Peneliti mendapatkan perspektif tentang konsep harmonisasi umat

beragama dikeluarga yang beda agama ini dari pihak Istri. Kendatipun

demkian tidak mereduksi dari kevalidtan data yang peneliti dapat.

Konsep toleransi menjadi kunci dari harmonisasi umat beragama di

keluarga ini. Hal ini sejalan dengan apa yang dicontohkan oleh Rasul

Muhammad Saw. Bahwa Rasul Miuhammad Saw. Yang pada saat itu

memiliki menantu bernama Abu Ash’ yang merupakan orang non-

Muslim (Yahudi) mempersunting putrinya. Rasul Saw. tetap menjalin

relasi harmonis, hanya saja ketika Abu Ash’ yang notabene adalah

menantunya itu mulai memberontak dan terlibat diberbagai

211
peperangan baru Rasul Muhammad Saw melawannya. Bahkan Abu

Ash’ sampai menjadi tawanan perang.

Toleransi yang di implementasikan oleh keluarga Bapak Eddi dan

Ibu Ismaya ini juga terlihat ketika sang Anak melakukan perkawinan

secara Islam. Bapak Eddi yang non-Muslim (Kristen) pada waktu itu

menghadirinya bahkan tidak ada rasa cangung. Hal ini juga sejalan

dengan apa yang dilakukan oleh Rasul Muhammad Saw. Bahwa beliau

tetap menjalin relasi harmonis dengan para tetangga meskipun berbeda

agama. Dalam berbagai riwayat Rasul Muhammad Saw. saling

berkunjung. Misalnya, saling berkunjung memenuhi undangan makan,

saling memberi hadiah, melakukan transaksi jual beli, bahkan Rasul

Saw. menerima khidmat pelayan dari orang yang berbeda agama,

hingga diakhir hayatnya beliau masih berhutang dengan cara gadai

kepada orang Yahudi.

5.3.1.1 Perspektif Keluarga Bapak Mustaqim dan Ibu Ngatminingsih

Tentang Konsep Harmonisasi Umat Beragama

Sejalan dengan itu, di keluarga bapak Mustaqim dan Ibu

Ngatimingsih juga menjunjung nilai toleransi. Selain itu konsep

komunikasi menjadi faktor penting dalam menjalani harmonisasi umat

beragama di keluarga.

Dalam analisa peneliti berdasarkan hasil penelitian bahwa diawal

menjalani maligai rumah tangga beda agama keluarga Bapak

Mustaqim dan Ibu Ngatminingsih mengalami tantangan dan ujian.

Akan tetapi semua itu dapat dilalui secara berasama dengan

212
mengimplementasikan konsep Tadrij (bertahap). Artinya harmonisasi

umat beragama dalam keluarga ini tentunya tidak langsung terjadi,

pasti membutuhkan proses (waktu). Hal ini sejalan dengan apa yang

dilakukan oleh Para Wali Songo ketika berdakwah mereka

menggunakan konsep Tadrij yaitu bertahap.

Selain itu konsep harmonisasi umat beragama dikeluarga bapak

Mustaqim dan Ibu Ngatminingsih menggunakan ‘adamul haraj (tidak

menyakiti). Buktinya mereka berdua bersepekat untuk membuat

perjanjian tentang agama anak mereka dengan tujuan anaknya tidak

menjadi korban dari perkawinan yang mereka lakukan. Artinya konsep

‘adamul haraj (tidak menyakiti) ini tidak hanya berlaku pada diri

mereka saja, akan tetapi juga berlaku dan diperuntukan untuk anak-

anak mereka. Konsep ini juga sejalan dan seirama dengan apa yang

dilakukan oleh para wali Songo yang saat itu membawa Islam tidak

dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan

kepercayaan mereka, akan tetapi justru kehadiran Islam yang dibawa

oleh para wali mampu memperkuat tradisi-budaya dengan cara yang

Islami.

5.3.1.2 Perspektif Keluarga Bapak Wadi dan Ibu Suti Tentang Konsep

Harmonisasi Umat Beragama

Konsep keterbukaan diantara keduanya yang menjadikan relasi

keluarga antar umat beragama bisa harmonis. Keterbukaan dalam

menjalani relasi umat beragama dalam keluarga ini yang justru terbukti

mampu menghadirkan solusi atas berbagai problematika yang datang.

213
Selain itu mereka juga melakukan perjanjian, dengan adanya

perjanjian ini mereka berdua bisa mencapai keharmonisan sebab anak-

anak mereka sudah terjaga keyakinan agamanya.

5.3.1.3 Perspektif Keluarga Bapak Ropi’i dan Ibu Endang Tentang

Konsep Harmonisasi Umat Beragama

Konsep harmonisasi umat beragama yang dilakukan oleh keluarga

Bapak Ropi’i dan Ibu Endang adalah dengan mengutamakan sikap

saling memahami, mengerti, dan tidak merasa paling benar sendiri.

Sebab dalam keyakinan mereka agama itu tentang bagaimana mereka

menjalaninya, bukan hanya tentang apa agama mereka. Buktinya

mereka berdua bersepakat untuk melakukan perkawinan beda agama

yang pertama dilakukan secara Islam dan yang kedua dilakukan secara

Kristen bahkan dihadiri oleh keluarga mereka berdua. Hal ini sejalan

dengan konsep toleransi yang ada dalam al-Qur’an yaitu bagimu

agama mu bagiku agama ku. Tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan

jika tanpa adanya core values berupa toleransi yang tinggi.

214
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

a. Perkwinan Beda Agama Perspektif Hukum Islam dan Sosiologi Hukum

Problematika perkawinan beda agama masih akan menyisahkan ruang

untuk terus dilakukan elaborasi baik itu dalam perspektif hukum Islam

atau pun Sosiologi hukum. Sebab jika dalam perspektif hukum Islam

dinyatakan bahwa Ulama berkonsensus (Ijma’) tentang keharaman

melakukan perkawinan beda agama antara laki-laki non-Muslim dengan

perempuan Muslimah dengan argumentasi (illat hukum) yaitu,

dikhawatirkannya perempuan Muslimah akan terpengaruh dengan agama

suami. Tentunya selain faktor itu, juga ada nash al-Qur’an yaitu QS. al-

al-Mumtahanah ayat 10. Selian itu nash al-Qur’an yaitu QS. al-Baqarah

ayat 221 terdapat interpretasi dari ahli tafsir (mufassir) yang berbeda-beda

tentang term Musyrikah, apakah yang dimaksud musyrikah dari ayat

tersebut adalah mencakup perempuan-perempuan ahl al-kitab atau

sebaliknya. Dari sinilah terbuka untuk terjadinya silang pendapat tentang

hukum perkawinan beda agama, ada sebagian ulama yang mengatakan

haram, ada yang mengatakan makruh, dan ada juga yang mengatkan boleh

(mubah) sesuai dengan argumentasi (illat hukum) nya masing-masing

tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan perempuan non-

Muslimah.

215
Maka oleh karena itu dalam hemat peneliti, terjadinya silang pendapat

tentang hukum perkawinan beda agama antara laki-laki Muslim dengan

perempuan non-Muslimah inilah yang justru menjadikan masyarakat

bingung untuk memahami masalah ini. Kendatipun demikian dalam

realitasnya justru setiap tahun di Indonesia kasus perkawinan beda agama

semakin meningkat. Bahkan kasus perkawinan antara laki-laki non-

Muslim dengan perempuan Muslimah yang dalam perspektif hukum Islam

ulama berijma’ (konsensus) haram, masih ada masyarakat yang

melakukannya. Alasan diharam perkawinan tersebut adalah dikhawatirkan

suami melakukan intervensi terhadap istri. Sedangkan dalam realitasnya

justru tidak terjadi hal demikian, misalnya dari perkawinan Putri Rasul

Muhammad Saw. dengan Abu Ash’ tidak terjadi intervensi yang dilakukan

Suami terhadap Istri. Begitu juga dengan hasil penelitian yang peneliti

lakukan, perkawinan antara Bapak Eddi Winarto yang merupakan pemeluk

agama Konghucu dengan Ibu Ismaya yang merupakan pemeluk agama

Islam tidak menimbulkan intervensi dari suami kepada istri agar mengikuti

agamanya. Begitu juga kasus-kasus lainnya yang terjadi, maka jika illat

hukum yang menjadikan tidak bolehnya perkawinan beda agama antara

laki-laki non-Muslim dengan perempuan Muslimah sudah tidak lagi ada,

apakah kemudian hukum melakukan perkawinan beda agama tersebut

diperbolehkan.

Terkait dengan perspektif sosiologi hukum, perkawinan beda agama

sampai saat ini di Indonesia tidak memiliki ruang. Sebab dalam Undang-

Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak ada satu pun pasal yang

216
mengakomodasi untuk melakukan perkawinan beda agama. Maka oleh

karena itu, dalam perspektif sosiologi hukum UU Perkawinan tidak

bersenyawa dengan realitas masyarakat Indonesia yang pluralis. Hukum

yang seharusnya berorientasi pada kemanusiaan dan keadilan tidak

ditemukan dalam perkawinan beda agama. Itu artinya sampai saat ini

pemerintah seharusnya mengkaji ulang, sebab banyak kasus perkawinan

beda agama yang justru mendapatkan izin dari Majelis Hakim di

Pengadilan baik itu di Pengadilan Negeri atau pun di MA. Secara teori

sosiologi hukum yaitu hukum progresif mengharuskan hukum itu

berorientasi pada manusianya, maka jika ada hukum yang tidak memihak

kepada manusia dapat dipastikan hukum itu tidak bernilai keadilan.

b. Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Desa Gadingkulon Kec. Dau

Kab. Malang

Dalam realitasnya memang setiap pelaku perkawinan beda agama yang

ada di Desa Gadingkulon tidak sama dalam pelaksanaannya. Ada yang

tidak tercatatkan baik itu di KUA atau pun di Kantor Catatan Sipil. Seperti

kasusnya Bapak Eddi Winarto dengan Ibu Ismaya, ada juga yang

tercatatkan di KUA dengan motif agar mendapatkan pengakuan secara

administrasi Negara, setelah itu kembali ke agamanya Kristen. Ada juga

yang melakukan perkawinan dengan dua kali, pertama di KUA yaitu

dilakukan secara Islam, dan yang kedua dilakukan secara Kristen di

Gereja.

217
Pelaksanaan perkawinan beda agama yang berbeda-beda inilah

menunjukkan bahwa sangat butuh peran pemerintah pusat sebagai

pemegang kebijakan hukum untuk membuat regulasi hukum yang jelas

sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebab salama ini perkawinan beda

agama di Indonesia dianggap rumit dan membutuhkan banyak biaya,

karena harus mengajukan permohonan di Pengadilan Negeri, jika tidak

dikabulkan melakukan kasasi di MA.

c. Konsep Perkawinan Beda Agama Sebagai Harmonisasi Umat Beragama

Perspektif Suami-Istri di Desa Gadingkulon Kec. Dau Kab. Malang

Konsep perkawinan beda agama yang di implementasikan oleh

pasangan suami-istri di Desa Gadingkulon agar tercipta relasi harmonis

antar umat beragama adalah mengutamakan sikap toleransi, saling

memahami, menghargai, dan menjunjung tinggi sikap kebebasan dalam

beragama. Sebab mereka meyakini bahwa persoalan keyakinan (agama)

adalah persoalan privat, maka tidak seharusnya dijadikan bahan konsumsi

publik. Yang selama ini terjadi disharmonisasi antar umat beragama

adalah ranah privat menjadi konsumsi publik. Dan hal itu tidak terjadi di

pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan beda agama di Desa

Gadingkulon. Sebab dengan menjunjung nilai-nilai (values) diatas tadi

mereka bisa hidup harmonis sampai saat ini.

218
6.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang sudah peneliti lakukan tentang perkawinan

beda agama sebagai harmonisasi umat beragama perspektif hukum Islam

dan sosiologi hukum, maka peneliti memberikan saran sebagaimana

berikut:

a. Polemik perkawinan beda agama ini sudah lama terjadi dan sampai

saat ini masih memperlihatkan secara jelas bahwa pemerintah

terkesan apatis. Seharusnya sebagai pemengang kebijakan Undang-

Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 itu dikaji ulang dan

melakukan revisi atau penyempurnaan agar terakomodasinya

perkawinan beda agama di Indonesia.

b. Masyarakat sangat membutuhkan edukasi terkait dengan

perkawinan beda agama, baik itu tentang status hukum dalam

agama, dan negara, begitu juga dengan tata cara pelaksanaannya.

c. Harmonisasi umat beragama di Indonesia adalah kekayaan yang

tidak dimiliki oleh negara lain di dunia ini. Maka oleh karena itu

permasalahan perkawinan beda agama harus menjadi perhatian

kusus agar terus terjalin relasi harmonis antar umat beda agama.

Sebab jika sejak dalam rumah manusia bisa mengimplementasikan

nilai-nilai toleransi beragama, sejak saat itulah harmonisasi umat

beragama di Indonesia akan terus terjaga.

219
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, M. (t.th). Tafsir al-Qur’an al-Karim Juz Amma. Kairo: Dar wa Mathabi
al-Sya'b.
Abdul Jamil Wahab. (2019). Monografi Kerukunan Umat Beragama di
Indonesia,. Jakarta: LITBANGDIKLAT PRESS.
Abdurrahman. (2015). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: CV
Akademika Pressindo.
Ahmad, R. (2016). Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia: Kajian Kritis
tentang Karakteristik Praktik dan Implikasinya. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
al-Asymawi, M. S. (2004). Ushul al-Syari’ah, diterjemahkan oleh Lutfi Tomafi
dengan judul : Nalar Kritis Syari’ah Ushul al-Syari’ah diterjemahkan
oleh Lutfi Tomafi dengan judul : Nalar Kritis Syari’ah . Yogyakarta:
LKiS.
al-Ghazali, A. H. (t.th). Fayshal al-Tafriqah dalam al-Qusur al-‘Awali. Kairo:
Dar al-Thaba’ah alMuhammadiyyah.
Ali, A. (2015). Menguak Tabir Hukum,. Jakarta: Prenamedia Group.
Ali, M. M. (1977). The Religion of Islam terjemahan R. Kaelan dan M.Bahrun
dengan judul Islamologi. Jakarta: Ikhtiar Baru.
Ali, Z. (2006). Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Sinar Grafika.
al-Jaziri, A. (2014). Al-Fiqh ala Mazahib al-Arbaa’ah, juz 4. Beirut: Dar-al-Kutub
al-Ilmiyyah.
al-Maraghi, A. M. (1946). Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mathba’ah al-Halabiy.
al-Razi, F. a.-D. (n.d.). Mafatih al-Ghaib.
al-Ṣan’ānī, A.-Ḥ. a.-K.-R. (t.th). al-Muṣannaf. Beirut: Majlis Ilmi.
Al-Syahrastani. (t.th). Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Thabari, M. b. (1994). Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-
Qur’an. Lebanon: Mu’assasah al-Risalah.
Arif, F. M. (2018). Maqashid As Living Law dalam Dinamika Kerukunan Umat
Beragama di Tana Luwu. Sleman: Deepublish.
Ashir, I. ( 1975). Al-Kamil Fi at-Tarikh. Bairut: Dar al-Fikr.

220
Ashri, M. (2013). Hukum Internasional dan Hukum Islam Tentang Sengketa dan
Perdamaian. Jakarta: Gremedia Pustaka Utama.
az-Zuhaily, S. W. (2009). Tafsir Munir fil Aqidati wa Syari’ati wa al-Manhaji.
Damaskus: Dar al- Fikr.
Badran, B. A.-‘. (1984). al-‘Alaqah al-Ijtima’iyah bayna al-Muslimin wa Ghayr
al-Muslimin. Iskandariyah: Mu’assasah Syabab al-Jami’ah.
Bagir, Z. A. (2011). Pluralisme Kewargaan: Dari Teologi ke Politik, dalam
Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia.
Bandung: Mizan.
Dahlan, A. A. (1996). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ihtiar Baru Van Houve.
Dillah, S. d. (2002). metode penelitian hukum. Bandung: Alfabeta.
Djubaidah, N. (2010). Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat:
Menurut Hukum Terulis di Indonesia dan. Jakarta: Sinar Grafika.
Fuady, M. (2007). Sosiologi Hukum Kontemporer, Interaksi Hukum, Kekuasaan
dan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Galib, M. (2016). Ahl al-kitab: Makna dan Cakupannya. Yogyakarta: IRCiSoD.
Hasnati. (2015). Sosiologi Hukum : Bekerjanya Hukum di Tengah Masyarakat.
Yogyakarta: Absolute Media.
Hassan Shaddly, d. (n.d.). Ensiklopedia Indonesia, Ichtisar Baru-Van Hoeve.
Jakarta.
Hayat, B. (2012). Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. Jakarta: PT. Saadah
Cipta Mandiri.
Hazm, I. (t.th). al-Muhalla. Beirut: Dar al-Fikr.
Herdiansyah, H. (2006). Haris Herdiansyah. Metodologi Penelitian Kualitatif.
http://konawe.kemenag.go.id/file/dokumen/PerkawinanCampur.pdf dikases pada
24 Agustus 2023. (n.d.).
Hutapea, B. (2018). Dinamika Penyesuaian Suami-Istri Dalam Perkawinan
Berbeda Agama (The Dynamics Of Marital Adjustment In The Interfaith
Marriage) . Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial,
16(1), 111.
Ilaihi, W. (2018). Pengantar Sejarah Dakwah Cet 1. Jakarta: Kencana Prenada
Media.
Ilham, M. (2020, Januari). Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan
Tatanan Hukum Nasional. TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum, 43-58.

221
Indonesia, D. P. (2018). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI. Jakarta: Balai
Pustaka.
Karsayuda, M. (2006). Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan
Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: PT Buku Kita.
Katry, O. P. (2018). Pernikahan Beda Agama Dalam Masyarakat Kota Palu
(Analisis Sosiologis). Program Pasca Sarjana Insitut Agama Islam
Negeri.
Katsir, I. (2020). Tafsir al-Qur’an al-adhim,. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Kodir, F. A. (2022). Relasi Mubadalah Muslim Dengan Umat Berbeda Agama:
Inspirasi Teladan Nabi Muhammad Saw. Yogyakarta: IRCiSoD,.
Kurdi, A. A. (n.d.). The Islamic State A Study in The Islamic Holy Constitution.
Kusuma, H. H. (2007). Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: CV Mandar Maju.
Laplata, W. (2014, September). Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Dalam
Perspektif Yuridis (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta).
Jurisprudence, 4(2), 82.
Lubis, M. R. (2017). Agama dan Perdamaian : Landasan, Tujuan, dan Realitas
Kehidupan Beragama di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ma’luf, L. (1986). al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Syuruq.
Mahmazani, S. (1995). Falsafah at-Tasyri’ Fi al-Islam. Bairut: Dar al-Fikr.
Maloko, M. T. (2015). Nilai Kemanusiaan dalam Perkawinan (Telaah atas
Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam. Disertasi Universitas
Islam Negeri Alauddin.
Mas’udah, S. (2023). Sosiologi Keluarga: Konsep, Teori, dan Permasalahan
Keluarga. Jakarta: Kencana.
Meliala, D. S. (2015). Perkawinan Beda Agama dan Penghayatan Kepercayaan di
Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Bandung: Nuansa Aulia.
Moh. Zeinnudin. (2019). Rekonstruksi Hukum Perkawinan Beda Agama di
Indonesia Berbasis Keadilan Bermartabat. Disertasi Pascasarjana
Universitas Islam Sultan Agung,.
Moleong, L. J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Muchtarom, Z. (2002). Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan.
Jakarta: Salemba Diniyah.
Munawaroh, L. (2017). Harmonisasi Umat Beragama Melalui Pernikahan Beda
Agama. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, 204-205.

222
Munawwir, A. (2020). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progressif.
Murtadho, A. (2009). Konseling Perkawinan Prespektif Agama-Agama.
Semarang: Walisongo Press.
Muthi’ah, S. K. (2016). Fikih Perkawinan Beda Agama Sebagai Upaya
Harmonisasi Agama. (Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan,
188.
Muthi’ah, S. K. (2016). Fikih Perkawinan Beda Agama Sebagai Upaya
Harmonisasi Agama: Studi Perkawinan Beda Agama di Jember. Fikrah:
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, 4, 188.
Nasution, H. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI-Press.
Nawari, I. (2010). Keluarga Beda Agama Dalam Masyarakat Jawa Perkotaan.
Yogyakarta: Samudra Biru.
Nawir, S. M. (2018). Harmonisasi Agama (Studi Kasus Koeksistensi Umat
Beragama di Kecamatan Lamasi Kabupaten Luwu). Jurnal Pendidikan
Sosiologi, 3.
Ni’mah, Z. (2012). Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Teras,.
Nurcholis, A. B. (2005). Perkawinan Beda Agama: Kesaksian, Argumen
Keagamaan dan Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Sumber Agung.
Pamilangan, B. (2022). Implikasi Perkawinan Beda Agama Perspektif Hukum
Islam di Kec. Sangalla Selatan Kab.Tana Toraja. Pasca Sarjana Insitut
Agama Islam Negeri Palopo,.
Parawati, E. D. (2021). Manajemen Kerukunan Umat Beragama: Solusi Menjunu
Harmoni. Kudus: Guepedia.
Putra, A. E. (2016). Konsep Ahl al-Kitab dalam al-Qur’an Menurut Penafsiran
Muhammad Arkoun dan. Jurnal: Al-Dzikra, 45.
Rahardjo, S. (1977). Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu.
Bandung: Alumni.
Rahardjo, S. (2000). Ilmu hukum. Bandung: Cipta Aditya.
RI, D. A. (1995). Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu Buddha,
Petunjuk Teknis Perkawinan. Jakarta: Departemen Agama RI,.
RI, D. A. (1995). Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu Buddha,
Petunjuk Teknis Perkawinan Hindu. Jakarta.
RI, D. A. (2006). Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat,
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
dan 8 Tahun 2006. Jakarta.

223
Ridha, M. R. (t.th). Tafsir al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al Ma’rifah.
Romlah, S. (2006.). Karakteristik Keluarga Sakinah Dalam Perspektif Islam Dan
Pendidikan Umum. Jurnal No. 1/XXV/, 72.
Rosyadi, I. (2022). Rekontruksi Epistimologi Hukum Keluarga Islam. Jakarta:
Kencana.
Rozana, K. I. (2016). Fikih Perkawinan Beda Agama Sebagai Upaya Harmonisasi
Agama: Studi Perkawinan Beda Agama di Jember. Fikrah: Jurnal Ilmu
Akidah dan Studi Keagamaan, 2(1).
Sabiq, A.-S. (1984). Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar al Fathm.
Salman, R. O. (1992). Sosiologi Hukum: Suatu Pengantar. Bandung: Armico.
Sanjaya, U. H. (2017). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,. Yogyakarta:
GAMA MEDIA.
Santaria, H. (2019). Konsep Sosiologi Hukum. Malang: Setara Press.
Sastra, A. R. (2011). Pengkajian Hukum Perkawinan Beda Agama di Beberapa
Negara. Jakarta: BPHN.
Setiyowati. (2021). Hukum Perkawinan di Indonesia: Rekontruksi Peraturan
Undang-Undang Berbasis Nilai Keadilan. Malang: Setara Press.
Shihab, M. Q. (2014). Membumikan al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Shodiq, M. F. (2022). Harmonisasi Islam dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Tim
Gerbang Media Aksara.
Siraj, K. S. (2016). Meneladani Strategi Kebudayaan Para Wali, dalam. Atlas
Wali Songo. Agus Sunyoto. Jakarta: Pustaka Iman dan LESBUMI PBNU.
Sirry, M. A. ( 1984). Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Soekamto, S. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta : UII-PRESS.
Soekanto, S. (1980). Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Soekanto, S. (1982). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Sostroatmojo, A. (1978). Hukum Perkawinan Indonesia,. Jakarta: Bulan Bintang.
Suadi, A. (2018). Sosiologi Hukum: Pengeakan, Realitas & Nilai Moralitas
Hukum. Jakarta: Kencana.
Sudarsono. ( 1994). Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suharso. (2017). Kamus Besar Bahasa Indonesia,. Semarang: Perpustakaan
Nasional.

224
Suhartono. (2001). Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam
Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara. Jakarta: Fakultal Hukum
Universitas Indonesia.
Suma, M. A. (2015). Kawin Beda Agma di Indonesia Telaah Syariah dan
Qanuniah. Tangerang: Lentera Hati.
Sunyoto, A. (2004). Sunan Ampel Raja Surabaya. Surabaya: Diantama.
Suryana, T. (2011). Konsep Dan Aktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama.
Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta‟lim.
Syahuri, T. (2015). Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Kencana-
PrenadaMedia Group.
Syarifudin, A. (2014). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Udang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Wahab, A. J. (2014). Manajemen Konflik Keagamaan Analisis Latar Belakang
Konflik Keagamaan Aktual . Jakarta: Elex Media Komputindo.
Wahab, A. J. (2019). Syariat Islam Dan Kerukunan Antar Umat Beragama Di
Aceh. Lihat. Monografi Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:
LITBANGDIKLAT PRESS.
Wahbah az-Zuhaili. (1984). Al-Fiqh al-Islamy Wa Adillatuhu. Kairo: Dar al-Fikr.
Wahid, K. A. (2016). Pribumisasi Islam, dalam. Islam Nusantara: Dari Ushul
Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, ed. Akhmad Sahlm, Munawir Aziz .
Bandung: Mizan Media Utama.
Zuhaily, W. (t.th). al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj.
Beirut: Dar al-Fikr.

225

Anda mungkin juga menyukai