Anda di halaman 1dari 57

MODUL PEMBELAJARAN

PENYULUH AGAMA ISLAM NON-PNS


KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN EMPAT LAWANG
TAHUN 2021

Jalan H. Noerdin Panji (Jalan Poros) Tebing Tinggi 31453

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan karunia dan nikmat
kepada kita semua sebagai hamba-Nya yang beriman. Salawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Saw, para
sahabat, keluarga, dan umatnya hingga akhir zaman.
Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil merupakan garda terdepan
Kementerian Agama yang memiliki peran strategis pada masyarakat muslim
secara khusus dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Mereka
merupakan perekat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya
perlu dibekali dengan materimateri yang dapat meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta membangun dan menjaga keharmonisan umat baik secara
internal maupun eksternal. Diharapkan materi tersebut dapat memberikan manfaat
bagi para Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Mudah-mudahan materi tersebut juga menjadi
rujukan dan pegangan bagi para Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil
dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan agama Islam pada masyarakat.
Tentunya materi yang ada dalam modul ini memiliki keterbatasan, selanjutnya
Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil bisa meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuannya melalui bacaan-bacaan di perpustakaan
pribadi atau browsing di internet. Langkah seperti ini tentunya akan membuka
cakrawala pengetahuan dan pemikiran yang lebih luas lagi.
Akhirnya kami menyampaikan permohonan maaf jika masih terdapat
kekurangan dalam penyusunan modul ini, dan tentunya sangat mengharapkan
berbagai masukan/kritik/saran dari berbagai pihak demi perbaikan modul ini.

Tebing Tinggi, Mei 2021


Penulis,

H. Hasanudin

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
A. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
2. Tujuan Penyuluhan Kerukunan Umat Beragama ................................. 3
3. Program Penyuluhan............................................................................. 3
4. Metode Penyuluhan .............................................................................. 4
5. Model Kerukunan Umat Beragama ...................................................... 5
6. Laporan Kegiatan.................................................................................. 6
B. PENGERTIAN TENTANG KERUKUNAN UMAT....................................... 7
1. Pengertian Kerukunan........................................................................... 7
2. Pengertian Umat.................................................................................... 8
3. Pengertian Kerukunan Umat Beragama............................................... 14
C. KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM......... 17
1. Kerukunan Umat Beragama Menurut Al-qur’an.................................... 17
2. Persaudaraan (Ukhuuwah) dalam Alqur’an.......................................... 18
3. Pentingnya Persaudaraan dalam Masyarakat...................................... 21
D. NEGARA DAN KEBIJAKAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA............ 24
1. Trilogi Kerukunan Umat Beragama....................................................... 24
2. Regulasi dan Pengaturan Kerukunan Umat Beragama........................ 26
3. Kerukunan Umat Beragama di Indonesia............................................. 31
E. AGAMA-AGAMA DI INDONESIA............................................................... 41
1. Agama-Agama di Indonesia.................................................................. 41
2. Agama-Agama dan Kontribusinya bagi Kebudayaan Indonesia........... 45
F. ISU-ISU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA.............................................. 45
1. Pendiri Rumah Ibadah........................................................................... 45
2. Mengucapkan Selamat Hari Raya Agama Lain.................................... 47
3. Bertetangga dengan Non Muslim.......................................................... 48
G. PENUTUP.................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 52

iii
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki pluralitas agama dan


sistem kepercayaan yang luar biasa. Agama-agama besar dunia, masuk
dan tumbuh subur di Indonesia sampai sekarang ini. Sejarah panjang
kehidupan beragama Bangsa Indonesia menunjukkan bahwa keragaman
agama dan kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat dapat hidup
dan berkembang secara damai tanpa ada saling konflik yang berarti.
Kondisi demikian terjadi antara lain karena sejak awal proses masuknya
agama-agama tersebut ke Indonesia dilakukan dengan cara damai dan
terjadi proses adaptasi, akomodasi dan seleksi, masyarakat telah
memahami batas antara doktrin agama dengan budaya. Hal itu
menunjukkan adanya mata rantai kerukunan yang menghubungkan antara
agama dengan budaya.

Indonesia dapat dilihat sebagai contoh sebuah kumpulan masyarakat


dengan beragam etnik dan agama bisa hidup rukun tanpa muncul masalah
yang berarti dalam jangka waktu yang cukup lama berkenaan dengan pola
hubungan antar warga. Penilaian seperti ini dapat dilihat dari potret
masyarakat Indonesia pada umumnya yang lebih mementingkan harmoni
serta toleransi di atas perbedaan di antara mereka. Meskipun demikian,
pada kondisi sektoral, kondisi kerukunan itu sering dihadapkan kepada
gangguan. Oleh karena itu, masyarakat perlu menyadari rentannya
hubungan di antara mereka karena seringnya terjadi konflik yang berlatar
belakang agama. Oleh karena itu, membangun kerukunan umat beragama
telah menjadi perhatian melalui berbagai upaya pemerintah, karena
hubungan antar umat beragama, selain telah sering memunculkan masalah
tetapi juga dapat menyimpan konflik berkepanjangan.

Puncak dari terjadinya hubungan yang tidak baik antara pemeluk


agama adalah terjadinya konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar
golongan) yang terjadi pada masyarakat di berbagai daerah, yang dinilai
banyak orang sebagai konflik berlatar belakang agama. Konflik-konflik ini
dikatakan sebagai konflik agama, karena bukan rahasia lagi bahwa
1
kalangan yang terlibat di dalamnya telah memakai bendera agama masing-
masing dan menegaskan adanya kepentingan agama yang mengiringi
perjuangan mereka.

Konflik keagamaan yang terjadi karena adanya rasa perbedaan


pemelukan agama dan rasa permusuhan yang berkembang bukan saja di
kalangan mereka yang mengalami konflik, tetapi juga melibatkan para
pemeluk agama lainnya. Padahal nilai-nilai universalitas agama semestinya
menjadi faktor integratif dan bukan sebaliknya sebagai faktor disintegrative
bangsa. Dalam kerangka itulah, nilai-nilai agama sesungguhnya menjadi
modal sosial bagi perekat integrasi bangsa. Untuk mewujudkan fungsi ini,
diperlukan pemahaman keagamaan secara komprehensif dengan
memperhatikan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural.

Dalam ajaran Islam, telah dikemukakan berbagai pernyataan ayat


maupun Hadis yang menegaskan tentang toleransi oleh karena itu,
toleransi pada asalnya bukanlah gagasan barat, melainkan konsep
universal al-Quran. Maka dalam hal ini, seorang muslim dapat memahami
adanya pandangan yang berbeda dengan pandangan dalam agamanya,
karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak ilahi, dan dalam
hal ini memerlukan sikap yang disebut kehidupan yang rukun. Oleh karena
itu, Islam telah memperkenalkan bangunan masyarakat yang rukun yang
dapat dilihat dari aspek akidah, sosial dan pranata budaya.

Kerukunan umat beragama merupakan suatu hal yang


menggambarkan kemajemukan bangsa sebagai rahmat. Perbedaan
sebagai keniscayaan merupakan kekuatan yang menopang upaya
pembangunan manusia Indonesia dalam menuju cita-cita bangsa.
Kerukunan umat beragama bukan suatu hal yang terjadi dengan sendirinya
tanpa kesadaran dan upaya dari berbagai pihak untuk mewujudkannya.
Kerukunan bukanlah barang jadi akan tetapi memerlukan proses sosialisasi
dan internalisasi. Maka dalam rangka itulah diperlukan panduan Bimbingan
Penyuluhan Kerukunan Umat Beragama.

2
Penyusunan modul Bimbingan Penyuluhan Kerukunan Umat Beragama
bagi Penyuluh Agama Islam Non PNS ini tentunya diharapkan menjadi
bahan bagi Penyuluh Agama Islam Non PNS dalam melaksanakan
tugasnya sebagai penyuluh, untuk memberikan penerangan kepada
masyarakat terkait dengan Kerukunan Umat Beragama, baik dalam
perspektif Agama Islam, sebagaimana tercantum dalam Alqur’an dan
Hadits, maupun dalam perspektif regulasi dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, seiring dengan Tugas Penyuluh
Agama Islam Non PNS sebagaimana diatur dalam Keputusan Dirjen Bimas
Islam Nomor 298 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyuluh Agama Islam
Non Pegawai Negeri Sipil, yang salah satu tugasnya adalah memberikan
penyuluhan kepada masyarakat tentang kerukunan umat beragama.

2. Tujuan Penyuluhan Kerukunan Umat Beragama

Penyuluhan Kerukunan Umat Beragama yang dilaksanakan oleh


Penyuluh Agama secara umum memiliki tujuan:

a. Terciptanya suasana yang damai dalam lingkungan masyarakatnya.


b. Meningkatnya toleransi dan saling menghargai antar umat beragama.
c. Menciptakan rasa aman bagi agama-agama minoritas dalam
melaksanakan ibadahnya masing-masing.
d. Meminimalisir konflik yang terjadi di lingkungan masyaraka dengan
mengatasnamakan agama.

3. Program Penyuluhan

Agar pelaksanaan Program Bimbingan Penyuluhan bidang Kerukunan


Umat Beragama di kalangan Penyuluh Agama Islam Non PNS berjalan
efektif, maka dirumuskan beberapa kegiatan sebagai berikut:

a. Membuat peta da’wah guna menyusun klasifikasi dakwah dilihat dari


tipologi umat serta kebutuhan model dakwah
b. Melakukan analisis terhadap perkembangan data jumlah penduduk
berdasarkan agama
3
c. Membuat program kegiatan melalui bentuk kerjasama dengan berbagai
stakeholder yang ada di wilayah dakwah.
d. Melakukan sosialisasi melalui pendekatan komunitas tentang makna dan,
landasan dan tujuan kerukunan beragama.
e. Melakukan internalisasi tentang penyusunan konsep, praktik dan evaluasi
kerukunan umat beragama dalam pelaksanaan dakwah sehingga
masyarakat menyadari bahwa gagasan kerukunan bukanlah sesuatu yang
ditempelkan akan tetapi merupakan hal yang melekat dalam ajaran Islam.
f. Melakukan pemberdayaan terhadap pemahaman, penghayatan dan
pengamalan ajaran Islam terhadap berbagai penduduk di daerah.
g. Melakukan berbagai simulasi tentang gagasan kerukunan umat beragama
pada masyarakat mayoritas maupun minoritas umat Islam.

4. Metode Penyuluhan
Kegiatan program penyuluhan Agama Islam Non PNS kepada
masyarakat disusun dalam rangkaian kegiatan yang lebih efektif dan
efisien. Dengan demikian, metode penyuluhan agama oleh penyuluh
agama Non PNS kepada masyarakat dilakukan secara terencana,
sistematis dan konsepsional sehingga diharapkan mampu menghasilkan
kader-kader penyuluhan agama Islam guna meningkatkan pemahaman,
penghayatan dan pengamalan ajaran Islam. Melalui penyuluhan ini akan
dikembangkan metode pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama baik
secara internal umat Islam maupun dengan umat beragama dan
berkepercayaan lainnya.
Metode penyuluhan ini diharapkan akan mempersiapkan tenaga
penyuluh yang memiliki kualifikasi keilmuan yang memiliki
kemampuan berdialog terhadap tiga kelompok sosial: apatis, proaktif, dan
penentang kerukunan.
Secara umum kegiatan penyuluhan kerukunan ini bisa dilakukan
dengan berbagai metode, yang disesuaikan dengan tujuan dan kondisi
peserta penyuluhan, yaitu dengan metode sebagai berikut :
a. Bil hikmah (dengan safari dakwah, bakti social, menulis, merekam audio
untuk disiarkan di radio, membuat video untuk diupload melalui internet
4
dan pendampingan terhadap masalah umat, serta melalui dinamika
kelompok) tentang kerukunan umat beragama. Metode bil hikmah
diharapkan dapat menggugah kesadaran rasionalitas terhadap kegiatan
dakwah sehingga mendorong tumbuhnya rasa ingin tahu (curiositiy)
terutama di kalangan kelompok masyarakat remaja, mahasiswa dan
terpelajar.
b. Mau’idzhatil Hasanah (penyuluhan, konsultasi, ceramah monologis,
tutorial, maupun audio visual) tentang kerukunan umat beragama. Dalam
mau’idhzatull hasanah dikembangkan pendekatan personal sehingga
potensi kerenggangan sosial dapat di atasi melalui program bimbingan
dan penyuluhan.
c. Jaadilhum billatii hiya ahsan (ceramah dialogis, debat, diskusi,
kajian/seminar/workshop) tentang kerukunan umat beragama.

5. Model Kerukunan Umat Beragama


a. Relativitas Iman: semua agama memiliki konsep kebenaran oleh karena
itu ajaran agama apapun yang diyakini akan dapat mengantarkan kepada
kebenaran dan keselamatan.
b. Absolutisme Teologis: semua agama memiliki ajaran yang berbeda dan
kebenaran dan keselamatan hanya ada dalam agama yang dianut oleh
karena itu agama-agama yang lain harus dihilangkan karena tidak sesuai
dengan konsep perjuangan menuju kebenaran.
c. Nihilisme Teologis: terjadinya perbedaan agama adalah merupakan
sumber konflik oleh karena itu untuk menghasilkan kerukunan,
keberadaan semua agama harus ditolak dan kemudian manusia kembali
kepada keyakinan masing-masing.
d. Keyakinan dan Kerjasama sosial: setiap orang hanya meyakini adanya
kebenaran pada keyakinan yang dianutnya dan tidak membuka diri
mencari kebenaran yang lain namun pada saat yang sama membuka
peluang kerjasama dalam hal yang berkenaan dengan kegiatan yang
bersifat pranata sosial untuk mendorong tumbuhnya keinginan untuk
menuju kepada citacita abadi yang diajarkan semua agama.

5
Dalam rangka itu, maka diperlukan kemauan setiap kader penyuluh
untuk mengembangkan dialog aksi serta membuka wawasan melalui
literasi agama. Program ini akan mempersiapkan tenaga penyuluh yang
memiliki kualifikasi keilmuan yang mampu berdialog terhadap tiga kelompok
sosial yang memiliki persepsi berbeda tentang kerukunan yaitu: proaktif,
apatis dan penentang kerukunan.

6. Laporan Kegiatan

Penyuluh Agama Islam Non PNS harus membuat laporan kegiatan


dalam pelaksanaan bimbingan penyuluhan bidang Kerukunan Umat
Beragama tatap muka yang dilaksanakan. Laporan tersebut mencakup
antara lain :

a. Rencana kerja bulanan


b. Surat keterangan telah memberikan bingluh kerukunan umat beragama
dari penyelenggara
c. Absensi (daftar hadir) peserta penyuluhan kerukunan umat beragama
d. Materi dan media bimbingan penyuluhan kerukunan umat beragama
e. Laporan mingguan pelaksanaan bimbingan penyuluhan kerukunan umat
beragama
f. Evaluasi pelaksanaan bimbingan penyuluhan kerukunan umat beragama
g. Surat pernyataan melaksanakan kegiatan bimbingan dan penyuluhan
Agama Islam pada bidang kerukunan umat beragama.

B. PENGERTIAN TENTANG KERUKUNAN UMAT


1. Pengertian Kerukunan

6
Kerukunan dalam Bahasa Indonesia diambil dari kata “rukun”, yang
mengandung arti :
a. Rukun (nominal), berarti sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya
pekerjaan, seperti tidak sahnya manusia dalam shalat yang tidak cukup
syarat dan rukunnya.
b. Rukun (ajektif) berarti, baik dan damai tidak bertentangan; hendaknya kita
hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati, sepakat. Merukunkan berarti
mendamaikan, menjadikan bersatu hati. Kerukunan berarti perihal hidup
rukun, rasa rukun, kesepakatan, kerukunan hidup bersama.

Kerukunan berarti sepakat dalam perbedaan-perbedaan yang ada dan


menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak untuk membina
kehidupan sosial yang saling pengertian serta menerima dengan ketulusan
hati yang penuh keikhlasan. Kerukunan merupakan kondisi dan proses
tercipta dan terpeliharanya polapola interaksi yang beragam diantara unit-
unit (unsur/subsistem) yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan
timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai,
saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai
kebersamaan. Pengertian kerukunan sebaiknya dikembangkan dengan
kajian factor internum dan eksternum serta pemahaman tentang kerukunan.
Prof. Mukti Ali pada tahun 1970, memperkenalkan konsep agree in
disagreement bahwa sifatnya kerukunan pasif padahal maksud kerukunan
disini adalah aktif.

Kata “rukun” dalam pengertian sehari-hari, dan kerukunan memiliki arti


damai dan perdamaian. Berdasarkan pengertian ini jelas bahwa kata
kerukunan hanya digunakan dan berlaku dalam pergaulan sehari-hari. Jadi
dapat disimpulkan bahwa kerukunan ialah hidup damai dan tentram saling
toleransi antara masyarakat yang beragama sama maupun berbeda,
kesediaan mereka untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan
orang atau kelompok lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan
ajaran yang diyakini oleh masing-masing masyarakat, dan kemampuan
untuk menerima perbedaan.

7
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan
“damai”. Hakikatya hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan
hati” dan bersepakat untuk tidak menciptakan perselisihan dan
pertengkaran (Depdikbud, 1985:850). Apabila pemaknaan tersebut
dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan
didambakan oleh masyarakat manusia.

Kerukunan (dari rukun, bahasa Arab, artinya tiang atau tiangtiang yang
menopang rumah, penopang yang memberi kedamaian dan kesejahteraan
kepada penghuninya), secara luas bermakna adanya suasana
persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka
berbeda secara suku, agama, dan golongan.

Istilah kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun
karena sebelumnya ada ketidakrukunan, serta kemampuan dan kemauan
untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tentram.
Adapun langkah-langkah untuk mencapai seperti itu, memerlukan proses
waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama,
serta cinta-kasih.

Rukun dalam arti kata sifat adalah baik atau damai, kerukunan hidup
umat beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak bertengkar
walau berbeda agama. Kerukunan antar umat beragama dalam pandangan
Islam (seharusnya) merupakan suatu nilai yang terlembagakan dalam
masyarakat.

2. Pengertian Umat
`Kata “umat” menurut Quraish Shihab dalam buku Wawasan Alqur’an,
memiliki berbagai arti, ada yang mengartikannya sebagai bangsa,
sebagaimana keterangan dalam Ensiklopedi Filsafat yang ditulis oleh
sejumlah akademisi Rusia, dan diterjemahkan oleh Samir Karam ke dalam
Bahasa Arab, ada juga yang mengartikannya sebagai negara,
sebagaimana yang tercantum dalam Mu’jam alFalsafi, yang disusun oleh
Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah (Pusat Bahasa Arab) Kairo tahun 1979.
8
Pengertian-pengertian tersebut di atas sebenarnya dapat
mengakibatkan kerancuan pemahaman terhadap konsep umat di kalangan
umat Islam atau di dalam Alqur’an. Oleh karena itu, perlu kiranya
mendalami lebih jauh hakikat makna dan konsep umat, khusunya yang
dimaksudkan oleh kitab yang berisi petunjuk bagi seluruh manusia, yakni
Alqur’an.
a. Arti umat dari segi bahasa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “umat” memiliki


dua pengertian. Pertama, umat dalam pengertian penganut atau pemeluk
suatu agama; pengikut Nabi, dalam konteks ini maka sering muncul kalimat
“umat beragama”, “umat kristen”, “umat Islam” dan lain sebagainya. Kedua,
umat dalam pengertian makhluk manusia, dalam konteks ini maka yang
disebut umat itu adalah yang terdiri atau terbentuk dari sekumpulan
manusia.

Sedangkan dalam Qamus al-Wajiz li Ma’ani Alqur’an al-Karim, karya al-


Miraz Muhsin ‘Ali Ushfur, kata “umat” mengandung makna tidak kurang dari
sembilan makna, yaitu golongan atau keturunan, agama, bilangan tahun,
kaum, pemimpin yang dicontoh, pemimpin-pemimpin dari ahlu al-bait
secarakhusus, bangsa-bangsa yang telah lalu, orang-orang
kafir secara khusus, dan penciptaan. Syaikh Mustafa al-Maraghi tidak
jauh berbeda, ia menafsirkan kata umat menjadi lima makna, yaitu millah
(agama), aljama’ah (kelompok), az-zaman (waktu), al-imaam (pemimpin),
dan al-umam al-ma’rufah (umatumat yang sudah dikenal).

Untuk lebih jauh memahami makna bahasa dari kata “umat”, M.


Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan bahwa, kata “umat” ini terambil
dari kata (amma-yaummu) yang berarti menuju, menumpu dan
meneladani, dari akar kata yang sama kemudian lahir kata um yang berarti
“ibu” dan imam yang artinya “pemimpin”, karena keduanya menjadi teladan,
tumpuan, dan harapan.

b. Arti umat dari segi pengistilahan

9
Istilah umat menurut Ibn al-Mandur dalam “Lisaanul ‘Arab” dengan
mengandung pengertian, pertama, umat memiliki pengertian “agam
seperti firman Allah dalam QS. AlBaqarah : 213.

kata ummatan wahidah di sana maksudnya adalah agama yang


satu; kedua, umat dalam arti “generasi”, seperti pada kalimat
(qad madhat umamun); umamun di sini artinya adalah generasi, maka
kalimat tersebut berarti “sungguh generasigenerasi itu telah berlalu”.

Untuk menarik benang merah dari semua pengertian “umat” di atas,


pengertian “umat” menurut ar-Raghib al-Asfahani, memberikan pengertian
bahwa umat adalah semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik itu
agama, waktu, atau tempat dengan terpaksa ataupun atas dasar pilihan
mereka sendiri. Atau dalam konteks pemahaman al-Asfahani memberikan
pengertian bahwa umat adalah kelompok yang memilih ilmu dan amal salih
sehingga mereka jadi uswah (contoh/teladan) bagi yang lainnya.

c. Kata umat dalam ayat Alqur’an


Kata umat dalam bentuk mufrad (tunggal) disebut sebanyak lima puluh
dua kali di dalam Alqur’an. Setiap kata dalam Alqur’an selalu memiliki
banyak sekali keunikan serta menyimpan kedalaman makna, termasuk kata
umat. Beberapa ayat yang menyebut kata ummat, terlalu jauh jika
dikatakan mewakili, namun sekiranya dapat memberikan sedikit gambaran
kepada kita mengenai kandungan makna, fungsi, dan tujuan dari Alqur’an
dengan menggunakan kata ummat.

Pertama kata ummat dalam QS. Al-Baqarah: 213


‫َكان ال َّناسُ اُم ًَّة وَّ ا ِح َد ًة ۗ َفبع َ هّٰللا‬
ِ ‫ب ِب ْال َح ِّق لِ َيحْ ُك َم َبي َْن ال َّن‬
‫اس‬ َ ‫ث ُ ال َّن ِب ٖ ّي َن ُم َب ِّش ِري َْن َو ُم ْنذ ِِري َْن ۖ َواَ ْن َز َل َم َع ُه ُم ْالك ِٰت‬ ََ َ
‫ت َب ْغيًا ۢ َب ْي َن ُه ْم ۚ َف َه َدى هّٰللا ُ الَّ ِذي َْن ٰا َم ُن ْوا لِ َما‬
ُ ‫ف فِ ْي ِه ِااَّل الَّ ِذي َْن ا ُ ْو ُت ْوهُ م ِۢنْ َبعْ ِد َما َج ۤا َء ْت ُه ُم ْال َبي ِّٰن‬ ْ ‫اخ َتلَفُ ْوا فِ ْي ِه ۗ َو َما‬
َ َ‫اخ َتل‬ ْ ‫فِ ْي َما‬
‫اخ َت َل ُف ْوا فِ ْي ِه م َِن ْال َح ِّق ِبا ِْذنِهٖ ۗ َوهّٰللا ُ َي ْهدِيْ َمنْ َّي َش ۤا ُء ا ِٰلى صِ َراطٍ مُّسْ َتقِي ٍْم‬ ْ

10
“Manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan), Maka
Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan
di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah
berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada
mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan
yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi
petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang
mereka perselisihkann itu dengan kehendakNya. dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-
Baqarah: 213)

Berdasarkan ayat di atas, pada susunan kalimat kaanaannaasu


ummataw wahidah… menurut ‘Ali ash-Shabuni di dalamnya terdapat ijaz
(penyingkatan). Artinya dalam susunan kalimat tersebut ada beberapa
kalimat yang dibuang, atau setidaknya tidak disebutkan. Menurut ash-
Shabuni, asalnya adalah kaana an-nasu ummatan wahidah ‘ala al-imani
mutamassikiina bi al-haq fakhtalafuu… (Manusia itu adalah umat yang satu
di atas keimanan, berpegang teguh kepada hak lalu kemudian mereka
berselisih…).

Hal ini selaras dengan apa yang dikutip oleh Ibn Katsir yang
diriwayatkan Ibn Jarir dari Ibn Abbas bahwasannya antara Nuh dan Adam
itu berselang sepuluh generasi, semuanya berpegang kepada syariat Allah
SWT, barulah setelah itu terjadi perselisihan hingga Allah SWT mengutus
para Nabi untuk memberi peringatan dan kabar gembira kepada mereka 11.
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa ummat dalam ayat ini yang dimaksud
adalah syariat atau dalam kata lain agama.

Kedua, kata ummat dalam QS. Ali Imran: 110.

11
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.” ( QS. Ali Imran : 110).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abi Hurairah r.a, mengenai ayat ini,
“kamu adalah umat terbaik”. Ia berkata: “kalian adalah sebaik-baik umat
manusia untuk manusia lain, kalian datang membawa mereka dengan
belenggu yang melilit di leher mereka sehingga mereka masuk Islam.
Menurut Ibn Katsir, keumuman lafadznya yang mencakup seluruh umat
pada setiap generasi berdasarkan tingkatannya, dan sebaik-baik generasi
adalah para sahabat Rasulullah SAW, kemudian generasi berikutnya
setelah mereka, dan seterusnya. Demikianlah umat dalam konteks ayat ini
memiliki makna generasi.

Ketiga, kata ummat dalam QS. Al-Isra: 71.

ٰۤ ُ
‫ك َي ْق َرء ُْو َن ك ِٰت َب ُه ْم َواَل ي ُْظلَم ُْو َن َف ِت ْي ًل‬
َ ‫ول ِِٕ‹ٕى‬ ‫اس ِب ِا َمام ِِه ۚ ْم َف َمنْ ا ُ ْوت َِي ك ِٰت َب ٗه ِب َي ِم ْينِهٖ َفا‬
ٍ ۢ ‫َي ْو َم َن ْدع ُْوا ُك َّل ا ُ َن‬ 

“(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan
kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak
dianiaya sedikitpun.” ( QS. Al-Isra : 71).
Para pakar atau ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang
dimaksud dengan pemimpin dalam ayat tersebut, ada yang berpendapat
bahwa maksudnya adalah para Nabi, ada juga yang mengatakan pemimpin
yang dimaksud adalah siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaum
tersebut, lalu ada pula yang mengatakan maksudnya adalah catatan
amalnya masing-masing. Ada yang menarik dalam ayat ini, berbeda
dengan ayat-ayat lain yang menyebut kata ummat dengan makna yang
berbeda, pada ayat ini justru sebaliknya, menyebut kata yang berbeda
namun dengan makna ummat.

12
Arti kata “ummat” dalam ayat ini disebut dengan menggunakan kata
unaas, yang asal katanya diambil dari an-naas, untuk mukhaffaf
(meringankan pengucapannya)13, maka dijadikanlah alif lam pada ayat
tersebut pengganti dari hamzah sehingga jadilah kalimat an-naas. Dalam
konteks kebahasaan ini tentu sangat tepat bahwa makna ummat yang
disebut kata unnas adalah sekelompok manusia, karena annaas maknanya
memang manusia; yakni bentuk jamak dari kata tunggal insaan.

Keempat, Alqur’an pun menyebut binatang dengan kata “umat”,


sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-An’am :38.

“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung


yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti
kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” ( QS. Al-An’am : 38).

Ayat ini dengan tegas menyebut binatang sebagai ummat, dalam


konteks ayat ini berarti yang dinamakan ummat itu tidak mesti sekumpulan
manusia, namun binatang pun semisal burung yang dengan tegas disebut
dalam redaksi ayat. Semut dan anjing juga dapat dikategorikan sebagai
ummat.

Keserupaan manusia dengan binatang-binatang baik di darat, laut,


maupun udara adalah keserupaan dalam berbagai aspek, misalnya
binatang-binatang tersebut juga hidup, merasa, beranjak dari kecil hingga
dewasa, memiliki naluri, merasa lapar dan sebagainya, sama halnya
dengan manusia yang tidak pernah lepas dari berbagai hal tersebut.
Namun tentunya keserupaan ini tidaklah mencakup seluruh aspek, dan
tidak pula setingkat atau sederajat. Misalnya kebutuhan, tubuh dan pikiran.
Manusia tetap berbeda dibanding mahkluk lain meskipun terdapat
persamaan yang tidak sedikit hitungannya.

13
Kelima, Allah SWT menyebut Nabi Ibahim dalam Alqur’an dengan kata
“umat”, sebagaimana yang tercantum dalam QS. An-Nahl: 120.

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan


teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekalikali bukanlah Dia
Termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (QS. An-Nahl:
120)
Berdasarkan ayat tersebut, Alqur’an dengan tegas menyebut Nabi
Ibrahim dengan kata umat. Menurut Syaikh Mustafa al-Maraghi, ummat
adalah al-jama’ah al-katsiirah; yakni kelompok yang terdiri dari banyak
orang. Menurutnya, Nabi Ibrahim disebut dengan kata umat, karena beliau
telah memiliki dan mengumpulkan banyak keutamaan dan kesempurnaan.
Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan bahwa yang disebut umat itu
tidaklah harus banyak jumlahnya secara dzat (fisik) saja. Namun
sebaliknya, sekalipun hanya satu orang, jika memang memiliki banyak sifat-
sifat mulia, maka dalam konteks ini tidak keliru jika disebut umat.

3. Pengertian Kerukunan Umat Beragama


Istilah “kerukunan umat beragama” diartikan sebagai keadaan
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara itu, pemeliharaan
kerukunan umat beragama sendiri diartikan sebagai upaya bersama umat
beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan
pemberdayaan umat beragama.
Menurut Nuredin Ceci, kerukunan umat beragama dapat diukur melalui:
a. Toleransi
b. Saling membantu
c. Damai
d. Adil

14
e. Pemahaman
f. Kerjasama
Kerukunan antar umat beragama bermakna rukun dan damainya
dinamika kehidupan umat beragama dalam segala aspek kehidupan,
seperti aspek ibadah, toleransi, dan kerja sama antarumat beragama.
Ajaran agama Islam tentunya mengajarkan bahwa manusia ditakdirkan
Allah sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi
sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia
memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual. Bahkan ajaran Islam
menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun)
dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa
batasan ras, bangsa, dan agama. Dalam konteks ini juga sebagaimana
telah dikemukakan oleh Maftuh Basuni (Menteri Agama RI periode...),
bahwa kerukunan antar umat beragama merupakan pilar kerukunan
nasional adalah sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara terus
dari waktu ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya
dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan
nasional. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran
agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial ketika
semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa mengurangi hak dasar
masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Masing-masing
pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun dan damai. Karena itu
kerukunan antar umat beragama tidak mungkin akan lahir dari sikap
15
fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak keberagaman dan perasaan
orang lain. Tetapi dalam hal ini tidak diartikan bahwa kerukunan hidup antar
umat beragama memberi ruang untuk mencampurkan unsur-unsur tertentu
dari agama yang berbeda, sebab hal tersebut akan merusak nilai agama itu
sendiri. Kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga bisa diartikan
dengan toleransi antar umat beragama. Dalam toleransi itu sendiri pada
dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan menerima
perbedaan antar umat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling
menghormati satu sama lainnya misalnya dalam hal beribadah, antar
pemeluk agama yang satu dengan lainnya tidak saling mengganggu.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu bentuk hubungan yang
harmonis dalam dinamika pergaulan hidup bermasyarakat yang saling
menguatkan yang diikat oleh sikap pengendalian hidup dalam wujud:
a. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agamanya.
b. Saling menghormati dan berkerjasama intern pemeluk agama, antar
berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan pemerintah
yang sama-sama bertanggung jawab membangun bangsa dan Negara.
c. Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama kepada
orang lain.
Dengan demikian kerukunan antar umat beragama merupakan salah
satu tongkat utama dalam memelihara hubungan suasana yang baik,
damai, tidak bertengkar, tidak gerak, bersatu hati dan bersepakat antar
umat beragama yang berbeda-beda agama untuk hidup rukun.
Kerukunan antar umat beragama adalah hubungan sesama umat
beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati,
menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran agamanya dan
kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

C. KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM


1. Kerukunan Umat Beragama Menurut Alqur’an

16
Alqur’an yang menjadi sumber ajaran utama agama Islam, memberikan
banyak penjelasan terkait dengan anjuran agar dapat memanfaatkan
keberagaman sebagai sebuah kekuatan dengan langkah awal pengenalan.
Hal ini secara jelas disampaikan dalam surat al-Hujurat ayat 13 sebagai
berikut:

‫ارفُ ْوا ۚ اِنَّ اَ ْك َر َم ُك ْم عِ ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِنَّ هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم َخ ِب ْي ٌر‬


َ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها ال َّناسُ ِا َّنا َخلَ ْق ٰن ُك ْم مِّنْ َذ َك ٍر وَّ ا ُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُشع ُْوبًا وَّ َق َب ۤا ِِٕ‹ٕى َل ِل َت َع‬

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti” (QS. Al-Hujurat:
13)

Ayat tersebut memberikan penekanan pada perlunya untuk saling


mengenal. Karena semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya,
maka akan semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat.
Perkenalan ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah
dengan cara saling menarik pelajaran dan pengalaman dari pihak lain, yang
dampaknya tercerminnya kedamaian dan kesejahteraan duniawi dan
kebahagiaan ukhrawi. Saling mengenal yang digarisbawahi dalam ayat di atas
adalah “pancing” untuk meraih manfaat dan bukan “ikan”nya. Maka dalam hal
ini yang diberikan adalah caranya dan bukan manfaatnya, karena memberi
pancing itu jauh lebih baik daripada memberi ikan.

Namun apabila kita melihat masyarakat di negeri ini, nampaknya alat yang
diajarkan oleh Alqur’an“saling mengenal” belum dimiliki oleh masing-masing
pihak, sehingga belum dapat menikmati hasilnya (kedamaian dan
kesejahteraan). Dapat dibuktikan dengan masih banyaknya perpecahan yang
dilatarbelakangi oleh keberagaman yang ada di Indonesia, baik aliran
keagamaan maupun perbedaan agama. Maka untuk memanfaatkan
keberagaman menjadi sebuah kekuatan besar yang tak tertandingi, Alqur’an
memberikan “pancing” berupa “saling mengenal” yang selanjutnya menuntut

17
dari semua keberagaman yang ada untuk saling mengenal antara pihak yang
satu dengan pihak lain.

2. Persaudaraan (Ukhuuwah) dalam Alqur’an


Ukhuwwah dalam Alqur’an dijelaskan dengan kata akh (saudara) dalam
bentuk tunggal, yang ditemukan sebanyak 52 kali, dan 96 kali dihitung
bersama dengan bentuk jamaknya. Menurut M. Qurais Shihab, secara
umum makna kata akh beserta bentuk jamaknya dapat dikelompokkan
menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah:
a. Saudara kandung atau saudara seketurunan, ini dijelaskan pada ayat
yang berbicara tentang masalah waris atau keharaman mengawini
orang-orang tertentu, misal dalam surat an-Nisa’ : 23

‫ض‹‹‹‹عْ َن ُك ْم‬ َ ْ‫ت َواُم َّٰه ُت ُك ُم ا ٰلّت ِْٓي اَر‬ ِ ‫ت ااْل ُ ْخ‬ ُ ‫ت ااْل َ ِخ َو َب ٰن‬ ُ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم اُم َّٰه ُت ُك ْم َو َب ٰن ُت ُك ْم َواَ َخ‹‹‹‹ ٰو ُت ُك ْم َو َع ٰ ّم ُت ُك ْم َو ٰخ ٰل ُت ُك ْم َو َب ٰن‬ ْ ‫حُ‹‹‹‹رِّ َم‬
َّ ۖ ْ ّ ٰ ۤ ّ ٰ ۤ
‫ت ِن َسا ِِٕ‹ٕى ُك ْم َو َر َبا ِِٕ‹ٕى ُب ُك ُم التِيْ فِيْ ُحج ُْ‹و ِر ُك ْم مِّنْ ِّن َس‹ا ِِٕ‹ٕى ُك ُم التِيْ َد َخل ُت ْم ِب ِهنَّ َف‹اِنْ ل ْم َت ُك ْو ُن ْ‹وا‬ ۤ ُ ‫ضا َع ِة َواُم َّٰه‬ َ َّ‫َواَ َخ ٰو ُت ُك ْم م َِّن الر‬
َّ‫ف ۗ اِن‬ َ َ َ ‫ل‬ ‹ ‫س‬ ْ
‫‹د‬‹َ
‫ق‬ ‫‹ا‬‹ ‫م‬
َ ‫اَّل‬‫ا‬ِ ‫ْن‬ ‫ي‬‫ت‬َ ْ
‫خ‬ ُ ‫اْل‬‫ا‬ ‫ْن‬‫ي‬
َ َ‫ب‬ ‫ا‬ ‫‹و‬ْ ‹‫ع‬
ُ ‫م‬َ ْ‫ج‬ َ
‫ت‬ ْ‫ن‬َ ‫ا‬‫و‬ ‫م‬ۙ
َ ْ ِ ‫ك‬ُ ‫ب‬ ‫اَل‬ ْ‫ص‬ َ ‫ا‬ ْ‫ِن‬
‫م‬ ‫ْن‬
َ ‫ي‬ ‫ذ‬
ِ َّ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬
ُ ِٕ‫ٕى‬

ِ ‫ا‬ۤ َ
‫ن‬ ْ
‫ب‬ َ ‫ا‬ ‫ل‬
ُ ‫ٕى‬

ِ ۤ
ِٕ َ َ ْ َ َ ‫دَ َخ ْل ُت ْم ِب ِهنَّ َفاَل ُج َنا‬
‫اَل‬ ‫ح‬ ‫و‬ ۖ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ح‬
ِ ‫هّٰللا‬
‫ان َغفُ ْورً ا رَّ ِح ْيمًا ۔‬ َ ‫َ َك‬

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak anakmu yang


perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”

b. Saudara kandung dijalin dengan ikatan keluarga, seperti doa nabi


Musa a.s. yang diabadikan Alqur’an, surat Thaha: 29-30
, ْ‫َواجْ َع ْل لِّيْ َو ِزيْرً ا مِّنْ اَهْ لِي‬

‫ٰهر ُْو َن اَخ ِۙى‬


18
Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, ( yaitu)
Harun, saudaraku,

c. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama yang


dijelaskan dalam surat al-A’raf: 65

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka,


Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa
kepada-Nya?”

d. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham yang dijelaskan


dalam surat Shad: 23

“Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan


ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata:
"Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam
perdebatan”.

e. Persaudaraan seagama, juga dijelaskan dalam surat al-Hujurat: 10

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu


damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

Demikian beberapa persaudaraan yang dijelaskan secara jelas dalam


Alqur’andengan menggunakan kata akh. Selain itu ada persaudaraan yang
dijelaskan oleh Alqur’ansecara substansi dan tidak secara tegas, adalah :

a. Saudara sekemanusiaan (ukhuwah insaniah), yang dijelaskan bahwa


manusia diciptakan oleh Allah dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan (Adam dan Hawa). Ini dijelaskan dalam surat al-Hujurat :
13
19
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

b. Saudara semakhluk dan seketundukan kepada Allah, yang dijelaskan


dalam surat al-An’am: 38

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-


burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga)
seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.

Dengan demikian, muncul istilah ukhuwah Islamiyah yang


berlandaskan pada sumber pokok ajaran agama Islam (Alqur’an), atau
ukhuwah yang bersifat Islami. Dapat disimpulkan bahwa dalam Alqur’an
memperkenalkan paling tidak ada empat macam persaudaraan, yaitu:

a. Ukhuwah ‘ubudiyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan


kepada Allah.
b. Ukhuwah insaniyah (basyariyah) dalam arti seluruh umat manusia
adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah
dan ibu.
c. Ukhuwah wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam
kebangsaan dan keturunan.
d. Ukhuwah fi din al-Islam, yaitu persaudaraan antar sesama muslim.

3. Pentingnya Persaudaraan dalam Masyarakat

20
Dalam memantapkan ukhuwah, pertama kali Alqur’an menggarisbawahi
bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan, dan
merupakan kehendak Ilahi untuk kelestarian hidup dan mencapai tujuan
kehidupan makhluk di pentas bumi. Hal ini dijelaskan dalam Alqur’an surat
al-Maidah: 48 sebagai berikut :

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa


kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu KitabKitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu;
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji
kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,”
Selanjutnya dalam surat al-Hajj (22): 67 juga dijelaskan sebagai berikut :

“bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka
lakukan, Maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan
(syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu
benar-benar berada pada jalan yang lurus.”
Ayat di atas menyampaikan pesan bahwa sikap toleran adalah sikap ideal
yang harus digunakan dalam menyikapi perbedaan, sedangkan tindakan
mendebat dan memperuncing perbedaan tradisi merupakan tindakan yang
keliru. Merupakan satu bagian penting dari ajaran Islam adalah kesadaran
bahwa toleransi bukanlah gagasan Barat, melaikan konsep universal Alqur’an.
Maka dalam hal ini, seorang muslim dapat memahami adanya pandangan

21
atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena
semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi, dan dalam hal ini
memerlukan sikap yang disebut toleran. Jadi berbagai perbedaan yang ada di
dunia ini jangan menjadikan seseorang gelisah atau bunuh diri, dan sampai
memaksa orang lain secara halus atau kasar agar menganut agamanya.

Dalam ayat yang lain dijelaskan juga tentang anjuran supaya


berpegang teguh pada ajaran Allah dan dilarang bercerai berai, karena
memilih bercerai belai (pecah belah) sama dengan mengambil posisi di
neraka. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Quran surat Ali Imran (3): 103
‫واعْ َتصِ م ُْوا بحبْل هّٰللا ج ِم ْي ًعا وَّ اَل َت َفرَّ قُ ْوا ۖو ْاذ ُكر ُْوا نِعْ م َ هّٰللا‬
‫ف َبي َْن قُلُ ْو ِب ُك ْم َفاَصْ َبحْ ُت ْم ِبنِعْ َمت ٖٓ‹ِه‬ َ َّ‫ت ِ َعلَ ْي ُك ْم ا ِْذ ُك ْن ُت ْم اَعْ د َۤا ًء َفاَل‬ َ َ َ ِ ِ َ ِ َ
‫ار َفا َ ْن َق َذ ُك ْم ِّم ْن َها ۗ َك ٰذل َِك ُي َبيِّنُ هّٰللا ُ لَ ُك ْم ٰا ٰيتِهٖ َل َعلَّ ُك ْم َت ْه َت ُد ْو َن‬ ٰ ۚ
ِ ‫ا ِْخ َوا ًنا َو ُك ْن ُت ْم َعلى َش َفا ُح ْف َر ٍة م َِّن ال َّن‬

“dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan


janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhmusuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-
orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Berdasarkan kandungan ayat-ayat tersebut di atas, begitu pentingnya


persaudaraan (kerukunan) untuk mewujudkan sosial masyarakat yang damai
dan harmonis.

4. Keragaman dan Kerukunan Beragama dalam Alqur’an


Keragaman yang ada di muka bumi ini memang sebuah kesengajaan
yang ditampilkan oleh Allah (sunatullah) dan menjadi langkah penting dalam
menentukan mana yang terbaik di antara keseluruhan dari masing-masing
ragam, terbaik dalam hal ini adalah yang bertaqwa kepada Allah SWT, maka
janganlah menjadikan susah pada diri seseorang apabila terdapat golongan
yang tidak beriman dan akhirnya sampai mengadakan perpecahan di bumi
ini, karena yang memberikan hidayah dalam hal ini adalah Allah SWT. Maka

22
dalam urusan kemanusiaan yang dianjurkan adalah sebuah persaudaraan
(kerukunan) antar sesama, sedangkan berhubungan dengan masalah
ketuhanan merupakan hak Allah semata.
=Teladan persaudaraan Islam telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW
pada waktu berhijrah dari Makkah ke Yastrib (Madinah), tindakan pertama
yang dilakukan adalah menjalin persaudaraan antar berbagai unsur anggota
masyarakat yang terutama golongan Muhajirin dan Anshar serta beberapa
golongan yang ada di sana. Akhirnya muncul perjanjian yang dalam sejarah
merupakan undang-undang (dokumen resmi) yang ditulis pertama kali dalam
dunia adalah Piagam Madinah.
Terkait persaudaraan (kerukunan) antar agama juga dijelaskan dalam
Alqur’ansurat al-Baqarah (2): 256

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya


telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.
Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh,
dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus.
Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Jadi tidak diperbolehkan memaksakan suatu agama kepada orang lain,
karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan dalam
membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah.
Dengan kata lain, manusia dianggap sebagai seorang yang sudah dewasa
dan dapat menentukan pilihannya yang terbaik bagi dirinya sendiri dengan
tanpa harus dipaksa-paksa. Suatu paksaan dalam hal ini menjadi sebuah
larangan, dikarenakan berawal dari sebuahh paksaan dapat menimbulkan
sebuah konflik yang akhirnya perpecahan menjadi titik akhir dalam tatanan
sosial masyarakat.

D. NEGARA DAN KEBIJAKAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


1. Trilogi Kerukunan Umat Beragama
Kata perbedaan memiliki dua fungsi yang saling berlawanan, yaitu
sebagai pemicu konflik dan sebagai perekat keragaman. Ketika kita memakai
23
kerangka berpikir “Konflik”, maka kita akan memandang kelompok lain
sebagai lawan yang harus dihabisi. Perbedaan selalu menyuguhkan bab-bab
yang bersebarangan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya,
misalkan perbedaan ideologi, penafsiran, dan kebudayaan.
Perbedaan ideologi sudah menjadi kewajaran dalam setiap kelompok,
sehingga sebagian bangsa Indonesia tidak terlalu mempermasalahkan
perbedaan tersebut selama tidak mengusik. Namun perbedaan ideology akan
menjadi sumber konflik ketika ada satu kelompok yang ingin mengganti
ideologi kelompok lainnya. Kelompok yang ingin didominasi juga tidak akan
terima, sehingga tidak heran jika feedback-nya sama dengan yang dilakukan
kelompok lain. Namun berbeda ketika kita memandang bahwa perbedaan itu
justru dapat mempererat keragaman dan saling melengkapi kekurangan
masing-masing. Kerangka berpikir ini, memandang bahwa perbedaan
merupakan sebuah keniscayaan yang perlu dirawat bersama. Perbedaan
merupakan wujud dari kekayaan sumber daya manusia dan sumber daya
alam di dunia, yang perlu mendapatkan perhatian serius untuk bisa
dikembangkan menjadi entitas yang dahsyat.
Seringkali konflik mendominasi kehidupan umat manusia di Indonesia.
Konflik-konflik yang tidak diinginkan muncul, misalkan konflik antar agama,
konflik internal agama, dan konflik antara kelompok beragama dengan
pemerintah. Konflik-konflik ini memicu berbagai sektor untuk ikut andil di
dalamnya, misalkan pendidikan, perkonomian, kebudayaan, dan lain
sebagainya. Jadi kehidupan orang-orang di dunia bisa dikatakan sudah over
dalam menggunakan kerangka berpikir konflik, sehinga hampir setiap saat
ada saja konflik yang terjadi.
Oleh karena itu, untuk mencegah dan nenanggulangi adanya konflik
dalam perbedaan, maka perlu ada konsep dan langkahlangkahnya untuk
menguatkan kerangka berpikir kedua, yaitu perbedaan sebagai perekat
keragaman. Dalam hal ini, tatkala Alamsyah Ratu Perwiranegara (1925-1998)
masih menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1978-1983, ia
menerapkan konsep kerukunan antar umat beragama. Konsep kerukunan
antar umat beragama ini terdiri dari tiga hal atau bisa dikatakan trilogi
kerukunan, yaitu:
24
a. Kerukunan intern umat beragama;
b. Kerukunan antar umat beragama;
c. Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Konsep tersebut masih sangat relevan dengan keadaan Indonesia saat
ini, yang masih memandang perbedaan sebagai sumber konflik. Konsekuensi
logisnya, konsep tersebut perlu untuk dikembangkan dan diterapkan sebagai
alternatif menyikapi perbedaan yang ada.

Kerukunan intern umat beragama bertujuan untuk memperkokoh


hubungan antara individu dengan individu lain atau kelompok-kelompoknya
yang masih seagama. Sedangkan kerukunan antar umat beragama bertujuan
untuk memperkukuh persaudaraan antara penganut agama satu dengan
agama lainnya. Kemudian kerukunan antar umat beragama dengan
pemerintah bertujuan untuk menyatukan visi dan misi antar umat beragama
dan pemerintah dalam bingkai Pancasila.

Tugas kita hari ini ialah mengoptimalkan implementasi dari konsep trilogi
kerukunan tersebut. Optimalisasi konsep kerukunan bisa dilakukan dengan
mengembangkannya dan disesuaikan dengan keadaan sekarang.
Optimalisasi trilogi kerukunan ini bisa dimulai dari diri sendiri untuk
membangun sebuah kerukunan diri sendiri dengan individu lainnya, baru
kemudian meningkat di kelompokkelompok yang satu agama maupun yang
berbeda agama. Kata kunci dari optimalisasi ini ialah harus memahami dan
mengerti orang lain, agama lain, maupun pemerintah. Harapan dari
optimalisasi konsep trilogi kerukunan antar umat beragama ini ialah dapat
memayungi semua aktivitas intern dan ekstern umat beragama, sehingga
kerukunan tetap terjaga dalam berbagai macam perbedaan.

Berdasarkan Konstitusi Negara Indonesia, maka negara mencitacitakan


suatu masyarakat dimana agama-agama dapat hidup berdampingan dan
berperan secara konstruktif, kesetiaan utama kelompok-kelompok agama
tidak berhenti pada agamanya sendiri. Solidaritas pun lebih mudah dibangun
di antara kelompok lintas agama yang memiliki aspirasi keindonesiaan yang
sama.

25
2. Regulasi dan Pengaturan Kerukunan Umat Beragama
Negara Indonesia sebagai suatu negara hukum, sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, maka segala bentuk pengaturan yang terdapat dalam penyelenggaraan
negara diatur melalui suatu peraturan perundang-undangan yang jelas dan
tegas.
Kehidupan beragama di Indonesia secara yuridis mempunyai landasan
yang kuat sebagai mana tercantum dalam dasar negara Pancasila, maupun
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menegaskan tentang pengakuan adanya negara yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung prinsip bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama
atau bukan negara yang berdasarkan agama tertentu dan bukan pula suatu
negara sekuler yang memisahkan agama dengan urusan negara. Indonesia
memiliki falsafah negara Pancasila yang mengakui tentang eksistensi
ketuhanan.
Negara Indonesia adalah Negara yang secara filosofis mengakui
eksistensi agama dalam kehidupan bernegara, bahkan agama sebagai dasar
negara secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yakni “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Berdasarkan rumusan pasal inilah sejumlah ahli hukum tata
negara, seperti Ismail Sunny, mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan
Indonesia mengakui tiga bentuk kedaulatan, yakni kedaulatan rakyat,
kedaulatan hukum, dan kedaulatan Tuhan. Ketiga bentuk kedaulatan tersebut
tentunya menjadi haluan dalam penyelenggaraan negara dan bangsa, yang
diharapkan agar mewujudkan penyelenggaraan negara yang sesuai dengan
kedaulatan yang ada dalam negara.
Pandangan Jimly Asshiddiqie, menegaskan dalam konteks Indonesia,
karena salah satu nilai dasarnya negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang diwujudkan melalui prinsip hierarki norma dan elaborasi norma. Sumber
norma yang mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
dapat datang dari mana saja, termasuk misal dari sistem syariat Islam atau
nilai-nilai yang berasal dari tradisi Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, saat nilai-
26
nilai yang terkandung di dalamnya telah diadopsi, maka sumber norma syariat
itu tidak perlu disebut lagi karena namanya sudah berubah menjadi hukum
negara yang berlaku untuk umum sesuai prinsip Ketuhanan yang Maha Esa
sudah dengan sendirinya tak boleh ada hukum negara Indonesia yang
bertentangan dengan norma-norma agama.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur tentang
kebebasan untuk beragama di Indonesia yang dituangkan dalam konstitusi
sebagaimana dapat dilihat Pasal 28E mengenai kebebasan beragama dan
beribadah, Pasal 29 memberikan jaminan dalam menjalankan agama dan
kepercayaannya sedangkan dalam Pasal 28J mengatur mengenai batasan
dalam beribadah bagi setiap agar tercipta ketertiban. Pasal 29 ayat (2), yang
berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya”.
Walaupun UUD 1945 telah menjamin kebebasan bagi setiap warga
negara Indonesia untuk memeluk agama dan beribadat sesuai agamanya
masing-masing, namun dalam kenyataannya masih ada juga individu dan
kelompok masyarakat tertentu yang belum mampu hidup berdampingan
dalam keberagaman. Sejarah mencatat berbagai peristiwa yang mengarah
pada adanya disintegrasi bangsa saat itu, peristiwa Ambon, Maluku Utara,
Poso.
Salah satu mandat konstitusional yang menjadi tanggung jawab
pemerintah dalam pelaksanaan penataan bidang agama adalah memberikan
pelayanan bagi pemenuhan hak beragama warga negara. Pelayanan yang
diberikan dapat berupa regulasi dan fasilitasi. Regulasi berguna untuk
memberikan landasan hukum, arah, dan bentuk pelayanan yang dilakukan
terhadap warga negara. Sedangkan fasilitasi berguna untuk menjamin dan
memudahkan pelaksanaan hak beragama warga negara secara baik.
Peran UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai pemersatu
bukan berarti UUD 1945 menghilangkan atau menafikan adanya perbedaan
yang beragam dari seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemersatu maka UUD
1945 harus mengakui, menghormati dan memelihara keberagaman agama
tersebut agar tercipta kerukunan antar umat beragama. Dalam konteks
27
Indonesia negara dalam hal ini pemerintah adalah institusi yang pertama-tama
berkewajiban untuk menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala seuatu
yang menjadi turunannya. Sebagai bentuk tindak lanjut regulasi yang
tercantum dalam UUD Tahun 1945, maka dalam upaya menciptakan
kerukunan antar umat beragama ini ada beberapa peraturan
perundangundangan yang sudah diberlakukan, diantaranya adalah:
a. UU No 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969
Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai undang-undang.
b. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1
Tahun 1979 Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
c. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No
1/BER/Mdn-Mag/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluknya.

Menyadari bahwa kerukunan umat beragama adalah kondisi yang sangat


dinamis dan kemajemukan umat beragama dapat menjadi persoalan besar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada tahun 2006 Pemerintah
mendorong adanya konsensus antar umat beragama dalam membangun
kerukunan umat beragama yang lebih hakiki, sistemik dan sistematis dengan
lahirnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat.
Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 ini merupakan peraturan yang
dihasilkan dari kesepakatan bersama pimpinan majelismajelis agama dan
para pemuka agama. Dalam penyusunan PBM tersebut, Pemerintah hanya
berperan memfasilitasi dan memberikan payung hukum pengaturan agar

28
dapat diterapkan dalam kehidupan beragama di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
PBM Tahun 2006 memiliki makna yang sangat penting dan menjadi
tonggak sejarah bagi Bangsa Indonesia sebagai bentuk upaya serius
pemerintah dan umat beragama untuk secara bersamasama membangun dan
memelihara kerukunan umat beragama. Secara khusus, PBM Tahun 2006
memberi landasan legal formal bagi kehadiran Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) di seluruh Indonesia. FKUB merupakan forum yang
diinspirasi dan meneruskan semangat forum dialog lintas agama yang ada
sebelum lahirnya PBM Tahun 2006 yang dibentuk oleh masyarakat di
berbagai daerah dengan nama yang berbeda-beda dan bertujuan untuk
membangun kerukunan umat beragama. Memperhatikan substansi
pengaturan dalam Pasal 1 ayat (6) PBM Tahun 2006, FKUB sejatinya
merupakan “forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh
Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan
umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan”.
FKUB dibentuk di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
Berdasarkan Pasal 9 PBM Tahun 2006, sebagai forum yang memiliki mandat
resmi dari Pemerintah, FKUB di provinsi dan kabupaten/ kota bertugas dan
berwenang sebagai berikut:
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota;
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di
bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama
dan pemberdayaan masyarakat; dan (khusus untuk FKUB
kabupaten/kota) ditambah
e. memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah
ibadat.
Berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana disebutkan di atas,
FKUB memegang peranan yang sangat strategis dalam mengelola persoalan
kerukunan umat beragama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. FKUB
29
merupakan forum mediator, penasehat, penyalur, penyuluh, dan sekaligus
katup pengaman dalam memelihara dan membangun kerukunan umat
beragama. Bahkan lebih dari itu, FKUB juga diharapkan menjadi forum
kerjasama antar umat beragama dalam memberdayakan umat beragama
untuk kesejahteraan.
Sejak lahirnya PBM Tahun 2006, Pemerintah pusat bekerja sama dengan
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota membentuk FKUB di
seluruh provinsi dan kabupaten/kota. Dukungan Pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, baik dalam bentuk penyediaan sarana prasarana,
program, maupun anggaran terus diperkuat agar FKUB dapat menjalankan
mandatnya secara optimal. Walaupun tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa
masih terdapat sejumlah FKUB yang memiliki keterbatasan untuk dapat
bertugas sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, FKUB sebagai
forum lintas agama telah mulai dirasakan kehadirannya dan kebutuhan akan
FKUB di daerah telah dirasakan, baik oleh umat beragama, maupun oleh
pemerintah daerah. Pembentukan dan pemberdayaan FKUB di daerah telah
menjadikan FKUB sebagai satusatunya wadah komunikasi umat beragama
yang hadir di tengah masyarakat.
Pembentukan FKUB pada awalnya diinspirasi dan meneruskan semangat
forum-forum dialog lintas agama yang ada sebelumnya, seperti FKKUB
(Forum Konsultasi dan Komunikasi Umat Beragama), FKPA (Forum
Komunikasi Pemuka Antar Agama), BKSAUA (Badan Kerjasama Antar Umat
Beragama), dan sebagainya. FKUB adalah forum yang dibentuk oleh
masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka membangun,
memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan
kesejahteraan.
FKUB memiliki mandat resmi dari pemerintah untuk mengurus persoalan
kerukunan umat beragama, tentu saja tanpa mengabaikan peran kelompok
sipil lainnya. FKUB juga berperan untuk membangun, memelihara, dan
memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Tidak
hanya mengurus kerukunan umat, melainkan juga pemberdayaan untuk
kesejahteraan. Itu sebabnya, FKUB sudah seharusnya menjalankan

30
mandatnya secara optimal, dengan bantuan kontrol dari pemerintah dan
seluruh elemen masyarakat.

3. Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Kerukunan antar umat beragama di Indonesia, menurut Atho Mudzhar


setidaknya didukung oleh lima hal:

a. Ideologi Pancasila
b. Kondisi mayoritas minoritas pemeluk agama
c. Sejarah masuknya agama-agama ke Indonesia secara damai
d. Islam di Indonesia yang mayoritas Sunni dan moderat
e. Kebijakan Pemerintah yang mendukung.
Bagian penting lain yang menentukan tingkat kerukunan umat beragama
di Indonesia ialah sistem sosial Indonesia dan partisipasi masyarakat di
dalamnya, khususnya para tokoh dan umat beragama sendiri.
Indonesia sering dilihat sebagai contoh bagaimana masyarakat dengan
beragam etnik dan agama bisa hidup rukun dengan tanpa memunculkan
masalah yang berarti dalam jangka waktu yang cukup lama. Penilaian seperti
ini mungkin benar jika melihat potret masyarakat Indonesia pada umumnya
yang mementingkan harmoni dan mempunyai toleransi yang cukup tinggi
akan perbedaan di antara mereka. Meskipun demikian, penilaian seperti itu
sebenarnya tidak sepenuhnya benar, mengingat masyarakat Indonesia sendiri
menyadari akan rentannya hubungan di antara mereka dan juga mengalami
seringnya konflik yang berlatar belakang agama. Oleh karena itu, membangun
kerukunan umat beragama telah lama menjadi perhatian dan upaya
pemerintah, karena hubungan antarumat beragama di Indonesia bukan saja
sering memunculkan masalah tetapi juga telah menimbulkan konflik
berkepanjangan.
Klimak dari hubungan yang tidak baik antara pemeluk agama di Indonesia
ini adalah terjadinya konflik SARA di Ambon dan Poso yang dinilai banyak
orang sebagai konflik berlatar belakang agama, yakni antara pemeluk Islam
dan Kristen. Konflik-konflik ini dikatakan sebagai konflik agama,karena bukan
rahasia lagi bahwa kalangan yang terlibat di dalamnya telah memakai

31
bendera agama masingmasing dan menegaskan adanya kepentingan agama
yang mengiringi perjuangan mereka.
Konflik-konflik keagamaan yang ada nampaknya muncul karena rasa
perbedaan dalam hal pemelukan agama dan bahkan rasa permusuhan karena
perbedaan agama yang berkembang bukan saja di kalangan mereka yang
mengalami konflik melainkan juga di antara mereka para pemeluk agama
pada umumnya. Keadaan seperti itu tentu saja tidak menguntungkan bagi
persatuan dan kesatuan sebagai bangsa, sebab perpecahan bukan saja akan
menghambat pembangunan pada umumnya tetapi juga menghilangkan
semangat untuk membangun itu sendiri. Ini berarti bahwa ketahanan nasional
di bidang agama akan menurun, yang dapat berakibat pada melemahnya
persatuan sebagai bangsa.
Franz Magnis-Suseno (1995) menyatakan bahwa dengan dasar
Pancasila, Indonesia sejak merdeka telah berhasil menjamin kebebasan
beragama dan kesamaan hak warga semua agama sebagai warga negara
dengan prinsip non-diskriminasi dan hidup bersama umat beragama lainnya
secara damai. Arti penting Pancasila ada di dalam prinsip saling menghormati
keyakinan agama. Sikap saling menghormati tersebut merupakan suatu modal
amat penting demi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Menyadari
pentingnya untuk terus membangun dan memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa, Pemerintah tidak henti-hentinya berupaya membangun kerukunan
dan keharmonisan kehidupan umat beragama.
Agama dalam penyelenggaraan negara dipandang sebagai salah satu
wadah rohaniah bangsa, yang selalu diharapkan agar senantiasa menjadi
penggerak hidup masyarakat sebagai bangsa yang berketuhanan, sebagai
bangsa yang menganut falsafah Pancasila. Sejak awal pembentukan negara
Indonesia, the founding fathers memandang betapa pentingnya aspek-aspek
rohaniah bangsa kita. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan bangsa
Indonesia, the founding fathers telah merumuskan dan akhirnya sepakat
menetapkan Pancasila sebagai ideologi nasional, didalamnya tersirat
pandangan bangsa yang religius, yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa.

32
Hubungan antara agama dan negara dalam praktek kehidupan
kenegaraan Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
bentuk, yakni integrated (penyatuan antara agama dan negara), intersectional
(persinggungan antara agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan
antara agama dan negara). Bentuk hubungan antara agama dan negara di
negara-negara Barat dianggap sudah selesai dengan sekularismenya, atau
pemisahan antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia
of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya dengan sadar
mengecam segala bentuk supernaturalisme dan lembaga yang dikhususkan
untuk itu, dengan mendukung prinsipprinsip non-agama atau anti-agama
sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, karena
tidak berdasarkan agama tertentu, juga bukan negara sekuler karena tidak
memisahkan urusan negara dengan urusan agama. Dengan keyakinan bahwa
Allah itu Maha Esa dan Maha Kuasa, menyebabkan berkembangnya doktrin
persamaan kemanusiaan atau paham egalitarian, dalam kehidupan
bermasyarakat. Semuanya menjadi nisbi kecuali Tuhan, yang bersifat Maha
Kuasa dan Maha Mutlak, maka musyawarah menjadi keharusan sosial yang
sentral dalam kehidupan publik, termasuk merajut mempererat kerukunan
umat beragama di Indonesia dalam semangat Bhineka Tunggal Ika sebagai
salah satu pilar bangsa. Interpretasi dan pandangan senada juga
dikemukakan Moh. Mahfud MD. Menurutnya, secara yuridis konstitusional
Negara Indonesia bukanlah negara Agama dan bukan negara sekuler.
Indonesia adalah sebuah religious nation state atau negara kebangsaan yang
beragama.
Lebih lanjut Prof. Mahfud MD menguraikan, Indonesia adalah negara
kebangsaan yang religius yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar
moral dan sumber hukum materiil dalam penyelenggaraan negara dan
kehidupan masyarakatnya.
Pemerintah sejak tahun 1967 telah memfasilitasi dan mendorong dialog-
dialog kerukunan antar umat beragama. Presiden Soeharto ketika itu
menggagas pertemuan musyawarah antar agama di Jakarta. Saat itu kata
”kerukunan” dan ”toleransi beragama” mulai digaungkan dalam konteks
33
keindonesiaan. Harus diakui bahwa kondisi kehidupan umat beragama di
Indonesia yang rukun dan harmonis sejak kemerdekaan bukan hanya karena
komitmen politik pemerintah, melainkan juga karena unsur budaya bangsa
yang terpelihara dari masa ke masa. Bahkan, selama puluhan tahun bangsa
Indonesia telah mendapat pengakuan dan penghargaan dunia dalam aspek
kerukunan umat beragama. Indonesia seringkali juga dijadikan rujukan dan
model kehidupan beragama oleh negaranegara yang memiliki keragaman
agama. Meskipun demikian, dalam sejarah perjalanan sebagai suatu bangsa
dengan kemajemukan yang sangat besar, Indonesia mengalami berbagai
persoalan dan peristiwa konflik social bernuansa agama.
Berbagai peristiwa pertikaian antar kelompok umat bergama
telah menjadi catatan kelam yang memilukan. Peristiwa-peristiwa tersebut
seperti telah mencerabut akar budaya hidup rukun yang telah lama tertanam
dalam kehidupan sosial masyarakat.
Beberapa kasus konflik bernuansa agama, baik yang terkait hubungan
antar maupun intern umat beragama juga sekaligus telah menjadi batu ujian
bagi ketahanan kerukunan dan toleransi umat beragama di Indonesia.
Beberapa kasus konflik antar umat beragama dalam dua dekade terakhir
ini telah menyita energi pemerintah untuk menyelesaikannya.Diantaranya
tersebut adalah konflik yang terjadi di Poso pada tahun 1998 sampai sekitar
tahun 2002, konflik di Maluku dan Maluku Utara pada tahun 1998, dan konflik
di Sampit Kalimantan pada tahun 1996.
Secara umum, kasus-kasus konflik sosial keagamaan dalam skala yang
massif tersebut telah selesai dengan baik, namun tidak dapat dipungkiri
berbagai kasus konflik dalam skala yang kecil tetapi berdampak luas secara
sosial politik masih saja terjadi. Berbagai peristiwa tersebut menunjukan
bahwa sebagai sebuah negara bangsa (nation-state), Indonesia masih sangat
rentan terhadap timbulnya konflik social keagamaan yang harus terus
diupayakan untuk secara preventif dapat dicegah. Kerja keras dan kerjasama
semua umat beragama untuk membangun kondisi keharmonisan umat
beragama yang kondusif perlu terus digalang secara konsisten dan dijadikan
sebagai agenda kebangsaan.

34
Berdasarkan pengalaman dan kajian terhadap berbagai konflik yang
terjadi di Indonesia selama ini, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
konflik kehidupan beragama di Indonesia. Beberapa faktor sebagai penyebab
terjadinya konflik umat beragama tersebut meliputi faktor eksogen, endogen,
dan relasional. Faktor eksogen adalah faktor yang berasal dari luar komunitas
atau masyarakat yang mengalami konflik (ofexternal origin) yang mencakup
antara lain, ketimpangan dan ketidakadilan secara sosial, politik, dan ekonomi
yang dirasakan oleh umat beragama tertentu. Faktor endogen adalah faktor
yang berasal dari dalam komunitas atau masyarakat yang mengalami konflik
(of internal origin), yang mencakup antara lain, pemahaman keagamaan yang
sempit serta fanatisme agama. Sedangkan faktor relasional adalah faktor
yang terkait dengan hubungan antar komunitas umat beragama, yang meliputi
antara lain, pendirian rumah ibadah, penyiaran agama, perkawinan beda
agama, penodaan agama, mobilitas penduduk, dan ekslusivisme etnis. Ketiga
faktor tersebut saling mempengaruhi dan semakin banyak faktor yang menjadi
sumber penyebab konflik, akan semakin kompleks dan lama konflik tersebut
terjadi.
Negara Indonesia yang sejak awal kemerdekaan merumuskan negara
sebagai suatu negara yang integralistik, tentunya memperkuat integrasi
bangsa dan negara. Upaya untuk memperkuat integrasi bangsa dan
mengurangi munculnya perselisihan dan konflik dalam masyarakat,
revitalisasi ideology perlu mendapatkan penekanan sebagai bagian dari
penguatan wawasan kebangsaan. Hal ini dilakukan melalui perumusan
operasional ideologi Pancasila yang lebih akademik dan sekaligus lebih
fleksibel serta sosialisasi Pancasila baik dalam pendidikan formal maupun
dalam masyarakat. Sejalan dengan hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi
munculnya konflik antar warga tentu saja perlu diatasi atau dihilangkan,
seperti ketimpangan ekonomi dan pendidikan.
Munculnya era reformasi, yang sejak awal mendukung kebebasan,
mendorong warga negara untuk mengekspresikan pendapat, aspirasi dan
kepentingan mereka secara bebas dan terbuka, termasuk ekspresi ideologi
yang pada masa Orde Baru sangat dibatasi atau ditekan. Di antara ekspresi
itu ada tindakan yang berlebihan sehingga melahirkan konflik, perselisihan
35
dan kekerasan dalam masyarakat, baik yang berlatar belakang politik,
ekonomi, etnis, agama dan sebagainya. Sebagai masyarakat majemuk, sejak
awal bangsa Indonesia selama ini dikenal sebagai masyarakat beragama
yang moderat dan toleran, dan bahkan menjadi contoh toleransi beragama di
dunia. Namun di era reformasi ini, peristiwa konflik antar-warga, termasuk
yang berlatar belakang agama, justru semakin meningkat dibandingkan
dengan pada masa Orde Baru.
Muncul pula ekspresi kebebasan dalam bentuk kekerasan dan
radikalisme, yang justru mengganggu harmoni dan kedamaian dalam
kehidupan bangsa dan negara dan bahkan dapat mengancam NKRI dan
kebhinnekaan. Hubungan interaksi dalam masyarakat yang mejemuk ini
tentunya tidak mudah untuk mewujudkan harmoni dan kedamaian, karena
masing-masing kelompok bisa memiliki aspirasi dan kepentingan yang
berbeda-beda dan bisa berimplikasi kepada munculnya persaingan. Apalagi
jika masing-masing kelompok mengembangkan politik identitasnya dan
egoisme kelompoknya dengan mengatasnamakan ekspresi kebebasan dan
hak-hak asasi manusia.
Perbedaan, perselisihan, dan konflik sebenarnya hal yang tak bisa
dihindarkan dalam kehidupan masyarakat dan negara, tetapi jika konflik itu
berkembang menjadi kekerasan, maka hal ini menunjukkan bahwa sebagian
bangsa Indonesia masih belum beradab, dan hal ini bahkan tidak sesuai
dengan ajaran-ajaran agama yang ada di Indonesia.
Kerukunan antar umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional
adalah sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara terus dari waktu ke
waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti keadaan
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian,
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, kerukunan
hidup antar umat beragama merupakan prakondisi yang harus diciptakan bagi
pembangunan di Indonesia.

36
Seluruh umat beragama harus memberikan kontribusi yang nyata bagi
pembangunan nasional yang dilaksanakan bangsa Indonesia. Nilai-nilai
religius harus dapat memberikan motivasi positif dan menjadi arah tujuan
dalam seluruh kegiatan pembangunan di Indonesia. Keyakinan spiritual yang
muncul dari ketaatan kepada agama akan dapat menjadi motor pembangunan
yang dapat diandalkan, sementara nilai-nilai moral pembangunan itu sendiri
tidak pernah dilupakan.
Berbagai upaya terus dilakukan untuk memperkuat integrasi nasional
dalam proses demokratisasi yang beradab melalui upaya penguatan wawasan
kebangsaan warga, terutama dilakukan oleh MPR, melalui penguatan empat
pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebhinnekaan.
Upaya ini dilakukan dengan revitalisasi ideologi sebagai suatu platform
bangsa Indonesia yang sangat majemuk ini, sementara tingkat pendidikan dan
kesejahteraan mereka secara umum masih rendah yang berakibat terhadap
rendahnya tingkat kesadaran akan harmoni dan integrasi bangsa. Dalam
revitalisasi ini diperlukan rumusan ideologi Pancasila yang lebih akademik dan
sekaligus lebih terbuka, sehingga penafsiran Pancasila tidak akan disakralkan
seperti pada masa lalu.
Sebagai upaya untuk penguatan wawasan kebangsaan inilah agama
dapat memberikan kontribusi yang positif dalam revitalisasi ideologi Pancasila.
Hal ini berarti bahwa agama semestinya menjadi faktor integratif (pemersatu)
dan bukan sebaliknya sebagai faktor disintegratif (pemecah belah) bangsa.
Dengan fungsi ini nilai-nilai agama dan Pancasila menjadi modal sosial bagi
harmoni dan integrasi bangsa. Untuk mewujudkan fungsi ini, diperlukan
pemahaman keagamaan yang moderat dengan memperhatikan kondisi obyek
masyarakat Indonesia yang multi-etnik, multi-agama dan multikultural.
Pemahaman semacam ini akan menjelma menjadi sikap keberagamaan
yang moderat dan toleran terhadap kemajemukan, bukan sikap
keberagamaan yang berwatak absolutis dan radikal. Sebagai konsekuensinya
adalah adanya upaya-upaya counter (kontra) radikalisme, baik melalui
pendekatan keamanaan dan hukum maupun pendekatan agama (theologis).
Pendekatan keamanan atau hukum saja tidak cukup, terutama bagi
radikalisme ideologis, karena para pelakunya justru merasa bangga dikenakan
37
hukuman dan menganggap diri mereka sebagai pahlawan. Oleh karenanya, di
samping pendekatan keamanan dan hukum, juga perlu dilakukan pendekatan
teologis yang menekankan pemahaman ajaran agama yang mengajarkan
harmoni dan kedamaian.
Negara mengakui eksistensi lembaga-lembaga keagamaan dalam negara
dan masyarakat. Hanya saja, terdapat perbedaan visi dan aspirasi di kalangan
warga tentang sejauh mana keterlibatan agama itu dalam negara. Dalam
konteks ini, orientasi warga negara tentang keagamaan dalam konteks
kehidupan negara cukup bervariasi, secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi tiga bentuk.
Pertama, agama sebagai ideologi; pemikiran ini didukung oleh mereka
yang ingin menjadikan agama sebagai ideologi negara, yang manifestasinya
berbentuk pelaksanaan ajaran agama secara formal sebagai hukum positif.
Orientasi kelompok ini pada agama lebih besar daripada orientasinya pada
wawasan kebangsaan, sehingga ia akan bisa menimbulkan dilema jika
dihadapkan pada realitas bangsa yang majemuk. Apalagi secara umum
kelompok ini memiliki sikap yang absolutis dan eksklusif dalam beragama, di
samping kadang-kadang melakukan politisasi agama untuk mendukung cita-
cita mereka.
Kedua, agama sebagai sumber etika-moral (akhlak), yang didukung oleh
mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar daripada orientasi
keagamaan. Orientasi ini hanya mendukung pelaksanaan etika-moral agama
(religio-ethics), dan menolak formalisasi agama dalam konteks kehidupan
bernegara. Posisi agama sebagai sumber pembentukan etika-moral ini
dimaksudkan agar bangsa ini memiliki landasan filosofis yang jelas tentang
etika moral, tidak hanya berdasarkan kriteria baik dan buruk yang
kadangkadang bisa sangat subyektif atau sangat temporal.
Ketiga, agama sebagai sumber ideologi. Orientasi pertama memang
sangat idealistis dalam konteks Islam, tetapi kurang realistis dalam konteks
masyarakat dan bangsa Indonesia yang sangat plural. Sedangkan orientasi
kedua sangat idealistis dalam konteks kemajemuakn di Indonesia, tetapi
kurang realistis dalam konteks agama Islamsebagai agama mayoritas, yang
ajarannya tidak hanya berupa etika-moral melainkan juga sejumlah norma-
38
norma dasar. Tarikan yang kuat ke arah salah satu orientasi ini akan
mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi yang berlawanan,
dan bahkan akan dapat menimbulkan konflik internal yang lebih besar. Oleh
karena itu, diperlukan jalan tengah di antara keduanya, yakni menjadikan
agama sebagai sub-ideologi atau sebagai salah satu sumber ideologi
Pancasila.
Orientasi ketiga tersebut lebih realitis dan moderat, karena meski orientasi
ini berupaya melaksanakan etika-moral serta hukum agama atau prinsip-
prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia masih tetap
mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Karena Pancasila ini merupakan
ideology terbuka dan fleksibel, maka agama dituntut untuk memberikan
kontribusi dalam penjabaran konsepkonsep operasional di berbagai bidang
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan dunia. Dalam hal inilah nilai-
nilai dan norma-norma agama menjadi input dan legitimasi bagi pembentukan
dan penguatan etika-moral serta sistem nasional dan kebijakan publik. Di
samping itu, orientasi ini mendukung pluralisme dan toleransi yang tinggi
terhadap kemajemukan bangsa ini, sehingga semua warga negara memiliki
kedudukan yang sejajar.
Pelibatan agama dalam penguatan etika-moral (akhlak) bangsa saat ini
sangat dibutuhkan, terutama ketika kondisi akhlak bangsa ini secara umum
masih sangat lemah, seperti maraknya kebohongan, korupsi, penipuan,
kekerasan, radikalisme, pemerkosaan, egoisme, keserakahan dan
sebagainya, baik dalam kehidupan masyarakat maupun kehidupan politik,
hukum dan birokrasi. Demikian pula, kini semakin banyak terjadi kenakalan
remaja, penyalahgunaan narkoba, perkelaian antar kelompok, pergaulan
bebas, pornografi, pornoaksi, dan sebagainya. Penguatan akhlak ini kini
menjadi sangat penting untuk memperkuat etika politik dalam proses
konsolidasi demokrasi yang sudah berlangsung sejak tahun 2004 tetapi
kurang berjalan dengan mulus, tidak seperti proses transisi demokrasi yang
telah dilewati dengan sukses antara tahun 1998 sampai 2004.
Di samping itu, agama menjadi sumber atau input bagi pengambilan
kebijakan negara, agar peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan
negara itu sejalan atau tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama, serta
39
sesuai dengan aspirasi rakyat. Dalam kenyataannya, ajaran-ajaran agama itu
di samping mengandung nilai-nilai yang bersifat universal, juga mengandung
nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat pertikular, dan oleh karenanya,
aspirasi rakyat itu juga adakalanya bersifat umum (universal) dan adakalanya
bersifat khusus (partikular).
Agama adalah suatu unsur mengenai pengalaman yang dipandang
mempunyai nilai tertinggi, yaitu pengabdian kepada suatu kekuasaan, yang
dipercayai sebagai suatu yang menjadi asal mula segala sesuatu, kemudian
yang menambah dan melestarikan nilai-nilai serta sejumlah ungkapan yang
sesuai dengan urusan pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan
upacara yang simbolis maupun melalui perbuatan yang bersifat perseorangan
atau secara bersama-sama.
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri
seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang berkaitan
dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya konsistensi
antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif persamaan
terhadap agama sebagai komponen aktif dan perilaku terhadap agama
sebagai komponen konatif. Di dalam sikap keagamaan antara komponen
kognitif, afektif dan konatif saling berintegrasi sesamanya secara komplek.
Ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh
pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Normanorma tersebut
mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur guna pembentukan kepribadian
dan keserasian hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada
Tuhan. Tetapi dalam kehidupan nyata banyak dijumpai penyimpangan atau
perubahan dari konstatasi di atas, baik secara individual maupun kolektif

E. AGAMA-AGAMA DI INDONESIA
1. Agama-Agama di Indonesia
Indonesia adalah negara yang kaya dengan keragamannya, termasuk
keragaman keyakinan keagamaan yang dijalankan masyarakatnya. Selain
agama-agama kategori mondial atau disebarluaskan di Indonesia dan
berbagai negara lain di dunia, sejumlah masyarakat Indonesia juga meyakini
40
dan menjalankan keyakinan keagamaan lokal (local religions atau indigenous
religions). Berbeda dengan agama-agama seperti Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Khonghucu, agama-agama lokal ini lahir dan berkembang
dalam bingkai sosial kebudayaan masyarakat lokal di tanah air. Sebagai
agama yang lahir di lingkungan budaya setempat, keyakinan keagamaan lokal
ini tidak terlihat seperti agama-agama besar lainnya, sebab agama-agama ini
menjadi unsur penting dari kebudayaan setempat. Beberapa diantaranya
seperti agama Aluk Todolo (Tana Toraja), agama Sunda Wiwitan (Kanekes,
Banten), Agama Djawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat), Agama Buhun (Jawa
Barat), Agama Kejawen (Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), Agama
Parmalim (Sumatera Utara), agama Kaharingan (Kalimantan), Agama Tonaas
Walian (Minahasa, Sulawesi Utara), Agama Tolottang (Sulawesi Selatan),
Wetu Telu (Lombok), Naurus (pulau Seram, Maluku), dan Aliran Mulajadi
Nabolon Marapu (Sumba).
Namun berbeda dengan agama-agama lokal, masyarakat Indonesia
banyak menganut sejumlah agama mondial. Diantaranya:
a. Agama Islam
Agama Islam merupakan agama yang disandarkan pada risalah
kenabian yang disampaikan melalui Nabi Muhammad SAW. Agama ini
merupakan agama dengan penganut terbanyak di Indonesia. Agama ini
disebarkan mulai abad ke-12 M melalui jalur perdagangan, politik, dan
interaksi penyiar Muslim asal Timur Tengah dengan masyarakat lokal
Indonesia. Agama ini banyak dianut masyarakat yang tinggal di Pulau
Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Nama kitab suci : Al- Qur’an
Nama Pembawa : Nabi Muhammad SAW
Permulaan : Sekitar 1400 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Masjid
Hari Besar Keagamaan : Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha,
Tahun Baru Hijriah, Isra’ Mi’raj.
Jumlah Penganut : 207. 176. 162 jiwa (87,18%)

b. Agama Kristen Katolik


41
Agama Katolik adalah agama yang dianut sebagian masyarakat
Indonesia dengan terbanyak diantaranya di kawasan Nusa Tenggara
Timur, Papua, sebagian wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera
Utara. Agama ini diperkirakan mulai dianut masyarakat Indonesia di abad
ke-14 M atau 15 M seiring interaksi masyarakat Nusantara dengan para
penjelajah asal Eropa.
Nama kitab suci : Al- Kitab
Nama Pembawa : Yesus Kristus
Permulaan : Sekitar 2000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Gereja
Hari Besar Keagamaan : Hari Natal, Hari Jumat Agung, Hari Paskah,
Kenaikan Isa Almasih
Jumlah Penganut : 6.907.873 jiwa (2,91%)

c. Agama Kristen Protestan


Agama Kristen Protestan merupakan agama dengan penganut
terbanyak kedua di Indonesia setelah Islam. Agama ini disebarkan di
Indonesia seiring berlangsungnya interaksi masyarakat Indonesia dengan
penjelajah Eropa Barat melalui peran misionaris ke berbagai daerah.
Kendati hadir di berbagai wilayah di Indonesia, umat agama Protestan
terkonsentrasi di Papua, Sulawesi Utara, dan Papua Barat, Nusa Tenggara
Timur, dan Sumatera Utara.
Nama kitab suci : Al- Kitab
Nama Pembawa : Yesus Kristus
Permulaan : Sekitar 2000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Gereja
Hari Besar Keagamaan : Hari Natal, Hari Jumat Agung, Hari Paskah,
Kenaikan Isa Almasih
Jumlah Penganut : 16.528.513 jiwa (6,96%)

d. Agama Hindu
Hindu merupakan agama dunia pertama yang mulai mendapatkan
tempat di lingkungan masyarakat Indonesia. Agama yang disyiarkan
42
pertama kali di India ini kini banyak terkonsentrasi di Bali, meski juga
memiliki sebaran pengikut cukup banyak di berbagai wilayah di Indonesia
seperti Sumatera, Jawa, Lombok, dan Kalimantan.
Nama kitab suci : Weda
Nama Pembawa :-
Permulaan : Sekitar 3000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Pura
Hari Besar Keagamaan : Hari Raya Nyepi, Hari Saraswati, Hari
Pagerwesi
Jumlah Penganut : 4.012.116 jiwa (1,96%)

e. Agama Budha
Seperti halnya agama Hindu, agama Buddha merupakan salah satu
agama pertama yang dianut masyarakat Nusantara. Bersama-sama agama
Hindu, agama Buddha bertahan cukup lama di Indonesia dan berperan
besar membangun peradaban Indonesia klasik. Selain di Jakarta, penganut
agama ini banyak tersebar di daerah-daerah Riau, Sumatera Utara, dan
Kalimantan Barat.
Nama kitab suci : Tri Pitaka
Nama Pembawa : Siddharta Gautama
Permulaan : Sekitar 2500 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Vihara
Hari Besar Keagamaan : Hari Rwaisak, Hari Asadha, Hari Kathina
Jumlah Penganut : 1.703.254 jiwa (0,72%)

f. Agama Konghucu
Agama Khonghucu merupakan salah satu agama yang mendapat
tempat di sebagian masyarakat Indonesia. Kebangunan paling penting
sejarah agama Khonghucu di Indonesia adalah saat penganut agama ini
mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Jakarta tahun 1900-an dalam
membina dan melayani umat agama ini. Sejak saat itu, agama ini
berkembang di lingkungan masyarakat Indonesia terutama di wilayah
Jakarta dan Kalimantan.
43
Nama kitab suci : Si Shu Wu Ching
Nama Pembawa : Kong Hu Cu
Permulaan : Sekitar 2500 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : Li Tang/Klenteng
Hari Besar Keagamaan : Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh
Jumlah Penganut : 117.091 jiwa (0,05%)

Tidak hanya dianut dan dijalankan sebagai keyakinan individu, agama-


agama ini dijalankan dan berpengaruh besar dalam kehidupan sosial
masyarakat Indonesia. Secara sosial historis misalnya, agama-agama ini telah
berperan sebagai spirit pembangunan peradaban di kawasan Nusantara.
Agama Hindu dan Buddha sebagai dua agama tertua di Indonesia misalnya
berperan besar dalam membangun literasi, sastra, pertanian, seni, dan politik
di sejarah awal Nusantara. Dari sisi politik, agama Hindu dan Buddha
berperan besar melahirkan sejumlah kerajaan besar di Nusantara seperti
Kerajaan Majapahit, Kerajaan Airlangga, Kerajaan Sriwijaya dan lain-lain. Di
sisi seni rupa, kedua agama ini berperan besar melahirkan bangunan
arsitektur keajaiban dunia seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan
berbagai candi lain di Nusantara. Begitu juga Islam. Agama ini berperan besar
melahirkan sejumlah kerajaan penting masyarakat Nusantara dalam bentuk
kesultanan Islam seperti Kesultanan Demak, Kesultanan Pasai, Kesultanan
Banten, Kesultanan Mataram. Dengan demikian, agama-agama turut
berperan memotivasi dan mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat
tanah air sejak dulu.

2. Agama-Agama dan Kontribusinya bagi Kebudayaan Indonesia


Saat Nusantara mengalami fase sejarah penjajahan dari kolonialisme
Barat dan berbagai dampak penjajahan tersebut, agama-agama melalui
berbagai tokoh agama maupun kelompok keagamaan juga berperan besar
melakukan gerakan perlawanan anti penjajahan sekaligus mendorong
kemajuan hidup masyarakat. Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Kapitan
Pattimura, Sisingamangaraja XII, I Gusti Ketut Jelantik, I Gusti Ngurah Rai
adalah individu-individu terbaik dari berbagai kelompok agama yang berperan
44
besar melakukan perlawanan terhadap kolonialisme di tanah air. Selain itu,
berbagai organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah,
dan Parisada Hindu Dharma Indonesia selain berbagai organisasi nasionalis
yang diisi banyak individu dari berbagai latar belakang keyakinan agama juga
menjadikan agama-agama begitu berperan besar dalam membangun
kesadaran berbangsa masyarakat di tanah air. Dengan demikian, bisa
dikatakan jika nilai-nilai luhur agama menjadi motivasi sekaligus pendorong
utama masyarakat tanah air dari berbagai latar belakang untuk hidup
bersama-sama sebagai warga sebuah kawasan politik kebangsaan dengan
mengedepankan sikap toleransi dan penghargaan terhadap satu sama lain.

F. ISU-ISU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Dalam memelihara kerukunan hidup antar umat beragama, seringkali


ditemukan sejumlah kasus yang menjadi isu penting dalam memelihara kerukunan
hidup antar umat beragama. Beberapa diantaranya:

1. Pendiri Rumah Ibadah


Persoalan rumah ibadah seringkali menjadi perdebatan antar umat
beragama seperti saat pendirian ibadah umat agama Kristen berupa gereja di
wilayah mayoritas Muslim, pembangunan masjid umat Islam di wilayah
mayoritas Kristen. Jika dihadapkan pada kasus demikian, maka
penyelesaiannya bisa dengan merujuk pada aturan yang telah diterbitkan
pemerintah, yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri di
atas, disebutkan bahwa rumah ibadah disedefinisikan sebagai bangunan
yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat
bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk
tempat ibadat keluarga. Sementara itu, pendirian rumah ibadat didasarkan
pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah
45
penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah
kelurahan/ desa. Selain itu, pendirian rumah ibadat juga dilakukan dengan
tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman
dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan. Untuk
itu, pendirian rumah ibadah diharuskan memenuhi sejumlah persyaratan, baik
administratif, teknis bangunan, maupun persyaratan khusus. Persyaratan
khususnya yaitu:
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan
tingkat batas wilayah;
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan
oleh lurah/kepala desa;
c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota;
dan
d. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.
Sementara itu, jika persyaratan 90 nama dan KTP pengguna rumah ibadat
terpenuhi tetapi syarat dukungan masyarakat setempat belum terpenuhi,
maka pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi
pembangunan rumah ibadat. Permohonan pendirian sendiri diajukan oleh
panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh
IMB rumah ibadat. Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang
dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah
ibadat. Kemudian, Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90
hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia.

2. Mengucapkan Selamat Hari Raya Agama Lain


Ucapan Selamat hari raya agama lain seringkali menimbulkan silang
pendapat di kalangan pemeluk agama di Indonesia. Mengucapkan Selamat
Hari Raya Natal yang diucapkan seorang Muslim kepada penganut agama
Kristen misalnya dianggap haram oleh sementara orang dan dinilai sesat dan
menyesatkan siapa yang membolehkannya. Itu yang biasa terdengar di
Indonesia, tetapi tidak demikian di kalangan ulama di Timur Tengah. Berikut

46
tulisan ulama besar Suriah Mustafa az-Zarqa’ yang termuat dalam kumpulan
fatwanya “Fatwa Mustafa az-Zarqa”. Fatwa-fatwa itu dihimpun oleh Majed
Ahmad Makky dan diantar oleh ulama besar Mesir kenamaan: Yusuf al-
Qardhawy. Al-Qardhawy mengakui az-Zarqa’ sebagai gurunya dan merasa
bangga menulis pengantar tentang kumpulan fatwa itu. Fatwa ini adalah
jawaban az-Zarqa’ kepada Anas Muhammad ash-Shabbagh yang bermukim
di Saudi Arabia. Terjemahannya sebagai berikut:
“Menjawab pertanyaan Anda tentang ucapan selamat yang diucapkan
seorang Muslim berkaitan dengan kelahiran Isa (Natal) dan Tahun Baru
Masehi, maka menurut hemat saya: Ucapan Selamat Natal seorang Muslim
kepada kenalannya yang menganut agama Nasrani termasuk dalam anjuran
berbudi baik dalam interaksi dengan mereka. Sungguh Islam tidak melarang
kita menyangkut harmonisasi hubungan beragama dan perlakuan baik
semacam ini terhadap mereka, apalagi yang mulia al-Masih dalam pandangan
aqidah kita adalah salah satu Rasul Allah yang agung dan termasuk satu dari
lima Nabi yang amat diagungkan. Siapa yang menduga mengucapkan
selamat kepada mereka pada hari kelahiran Isa as. Haram—siapa yang
menduga demikian maka dia salah karena tidak ada hubungan dalam ucapan
itu dengan rincian aqidah kaum Nasrani dan pandangan mereka terhadap Isa
as.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika ada jenazah seorang Yahudi yang
diusung di hadapan Nabi saw., maka beliau berdiri. Berdirinya beliau itu
merupakan ekspresi dari rasa agung dan dahsyat terhadap kematian tidak
ada hubungannya dengan aqidah sosok Yahudi yang mati itu.
Muslim dituntut untuk menggambarkan kebaikan Islam dan moderasinya
terhadap Non-Muslim. Di samping itu, keadaan kaum Muslim dewasa ini yang
sungguh lemah di antara negara-negara di dunia ini serta konspirasi dan
tuduhan bahwa kaum Muslim adalah teroris, ating , dan lain-lain—
kesemuanya menuntut kaum Muslim mengubah image buruk itu, apalagi pada
Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha bisa jadi seorang Muslim memiliki teman-
teman yang mengucapkan selamat kepadanya, sehingga bila ia tidak
membalas sikap baik mereka itu dengan berkunjung kepada yang berkunjung
kepadanya pada Hari Lebaran, maka sikap itu akan semakin mendukung
47
tuduhan yang ditujukan kepada kaum Muslim,” demikian antara lain Mustafa
az-Zarqa’.
Saling mengucapkan selamat, bahkan kunjungmengunjungi itulah yang
dilakukan juga oleh pimpinan alAzhar Mesir. Apakah mereka salah dan sesat?
Saya menduga keras bahwa ulama-ulama itu jauh lebih mengerti agama dan
lebih bijaksana daripada mereka yang mengharamkan ucapan Selamat Natal,
apalagi menyesatkan siapa yang membolehkan mengucapkan Selamat Natal
itu. Semoga hidayah Allah tercurah kepada kita semua. (http://
quraishshihab.com/article/selamat-natal-2/)

3. Bertetangga dengan Non Muslim


Hubungan bertetangga menjadi salah satu perintah dalam Alquran dan
dicontohkan Rasulullah SAW. Setiap Muslim diminta untuk berbuat baik
kepada tetangganya. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.” ( QS an Nisaa’ : 36).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas. Makna dari jari dzil qurba adalah orang yang memiliki hubungan
kekerabatan. Sementara, jaril junub adalah tetangga yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan. Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid,
Maimun ibnu Mihran, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan, dan
Qatadah.
Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf al-Bakkali sehubungan dengan makna
ayat: (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat. Tetangga dekat yang
dimaksudkan di sini, yakni tetangga yang Muslim. Sementara itu, (berbuat
baiklah kepada) tetangga yang jauh adalah tetangga yang beragama Yahudi
dan Nasrani. Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Adanya riwayat ini menjadi rujukan bagi ating ka berbuat baik dengan
tetangga harus dilakukan tanpa membedakan agama mereka.

48
Banyak hadis yang menganjurkan seorang Muslim untuk berbuat baik
kepada tetangga. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Amr Ibnul As
bahwa Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang yang
paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah
orang yang paling baik kepada tetangganya.”
Nabi SAW bahkan melarang kita untuk menyakiti tetangga saat menjawab
pertanyaan tentang kategori dosa yang paling besar. Dilansir dari HR Imam
Ahmad, disebutkan tentang sahabat Ibnu Mas’ud yang bertanya tentang dosa
paling besar. Rasulullah SAW menjawab, “Bila kamu menjadikan tandingan
bagi Allah padahal Dia yang menciptakan kamu. Bila kamu membunuh
anakmu karena khawatir dia akan bersamamu, bila kamu berzina dengan istri
tetanggamu.”
Banyaknya anjuran untuk berbuat baik kepada tetangga dan larangan
untuk menyakitinya, membuat Nabi SAW sempat berprasangka jika Jibril akan
menurunkan wahyu tentang hak mawaris bagi tetangga. Meski demikian,
wahyu tersebut tidak ating. Hadis Riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari
Abdullah Ibnu Umar mengungkapkan, Rasulullah SAW telah bersabda, “Jibril
masih terus berwasiat kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga
bahwa Jibril akan memberinya hak mawaris.”
Prof Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan, ada ulama
yang menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni tinggal di sekeliling rumah
sejak rumah pertama hingga rumah ke-40. Ada juga ulama yang tidak
memberi batasan tertentu dan mengembalikannya kepada situasi dan kondisi
setiap masyarakat.
Namun, dewasa ini sering kali ada tetangga yang tidak dikenal namanya
atau bisa jadi ada yang tidak seagama. Kendati demikian, semua tetangga
wajib mendapat perlakuan baik. Ikut bergembira dengan kegembiraannya,
menyampaikan belasungkawa karena kesedihannya, serta membantunya
ketika mengalami kesulitan. Rasulullah SAW bahkan bersabda kepada
sahabat, Abu Dzar al Ghifari, “Wahai Abu Dzar, apabila engkau (keluargamu)
memasak daging, perbanyaklah kuahnya dan berilah tetanggamu.” (HR
Muslim).

49
Kisah dari Ulama Salaf Hasan Al-Bashri pun bisa menjadi rujukan bagi
kita dalam bertetangga. Alkisah, dia menahan diri untuk tidak menggugat
tetangganya yang beragama Yahudi. Padahal, setiap hari rumah Imam Hasan
terkena pembuangan air dapur rumah tetangganya.
Pada satu hari, Hasan Al-Bashri sakit. Tetangga Yahudi itu pun
menjenguk dan kaget dengan bau tidak sedap yang menyeruak masuk ke
dalam rumah sang imam. Sontak Yahudi itu bertanya, “Ini bau apa?” Hasan
Al-Bashri menjawab, “Air dari rumahmu.” “Kenapa tidak bilang, sudah berapa
lama ini terjadi?” Hasan Al-Bashri pun menjawab ringan, “Sudah 11 tahun.”
Yahudi itu malu atas kesalahannya. Dia lantas berikrar untuk masuk agama
Islam.

G. PENUTUP

1. Agama dapat mempersatukan perbedaan kultur dalam masyarakat yang


majemuk, sehinngga agama sangat penting dan sangat berperan dalam
membentuk dan membangaun tatanan masyarakat menjadi lebih teratur,
terarah dan lebih maju karena ajaran agama mampu menciptakan
kerukunan kultur dan memperbaiki kualitas pergaulan pada orang-orang
yang memiliki perbedaan agama pada masyarakat yang majemuk agar
senantiasa hidup berdampingan tanpa ada rasa iri, dengki, merasa paling
benar dan lain-lain.
2. Ukhuwah (persaudaraan) banyak dibicarakan dalam ayat Alqur’an, dan
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa ukhuwah islamiyah, yaitu

50
ukhuwah ’ubudiyah, insaniyah, wathaniyah wa an-nasab, dan ukhuwah
fi din al-Islam.
3. Persaudaraan atau kerukunan menjadi sesuatu yang sangat penting
dalam menjaga kelangsungan bumi yang beragam adanya, dalam hal ini
diperlukan pemahaman kemanusiaan ( sosial masyarakat) antara satu
pihak dengan pihak lainnya.
4. Keberagaman yang muncul di dunia ini merupakan sunnatullah demi
kelestarian hidup dan demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas
bumi, yaitu mana yang paling bertaqwa di sisi Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang


Percaturan dalam Konstituante, LP3ES,Jakarta: 1985

Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, LkiS, Yogyakarta, 2000.

Ali Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafaasir, Beirut, Dar al-Fikr, 1976.

Atho Mudzhar, Merayakan Kebhinnekaan Membangun Kerukunan, Badan Litbang


dan Diklat, Jakarta, 2013

Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunik asi Antar Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2001

51
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Kompas, Jakarta, 2002
Pergolakan politik Islam ; dari fundamentalisme, modernisme hingga post-
modernisme. Paramadina, Jakarta, 1996

Al-Asfahani ar-Raghib, Mu’jam Mufradat fii Alfadz Alqur’an, Beirut, Dar al-Ma’rifah.

Al-Baaqi, Muhammad Fu’ad Abd., al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfad Alqur’anal-Kariim,


Kairo, Dar al-Hadits, 1996.Ibnu Hasan Muchtar & Farhan Muntafa, Efektivitas
FKUB dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama: Kapasitas
Kelembagaan dan Efisiensi Kinerja FKUB Terhadap Kerukunan Umat Beragama,

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015

Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, Beirut, Dar al-Ma’arif, 1955.

Ibnu Katsir, Tafsisr Ibn Katsir, Jakarta, Pustaka Ibn Katsir, jld. 1, 2008.

Dahl, Robert, A. Democracy and its Ctitics, New Haven/London: Yale University
Press, 1989.

Deddy Ismatullah dan Asep A Syahid, Gatara, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif,
CV. Pustaka Setia, Bandung, 2007

Donald Eugen Smith, Religion and Political Development, Boston, Little Brown and
Company, 1970

Djalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Kalam Mulia, Jakarta,
1998. cet. Ke-4.

Edward Aspinal and Marcus Mietzner (eds.), Problems of Democratizations in


Indonesia: Elections, Institutions and Society, Singapore: ISEAS, 2010

Effendi Bahtiar, Islam dan Negara, Paramadina, Jakarta, 1998.

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif
Islam dan Pancasila. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999

Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an. Chicago: Bibliotheca Islamica, 1991.

Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis,


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Haidlor Ali Ahmad, Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2013

Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Kita, Aksara Baru, Jakarta, edisi ke-6., 1987

52
Harold Chrouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto, Institute of Southeast
Asian Studies, Singapore, 2010

Inu Kencana Syafei, Etika Pemerintahan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010

Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung,


2001.Psikologi Agama; Sebuah Pengantar, PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2004.
Kaelani, Pendidikan Pancasila, Yuridis Kenegaraan, Paramadina, Yogyakarta,
1999.

M. Syafi’iAnwar, Pemikiran dan aksi Islam Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1995

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1993.

Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Dar al-fikr, jld.1.

Muhammad Isma’il Ibrahim,., Mu’jam al-Alfadz wa al-A’lam

Alqur’aniyah (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 1998).

M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan


Umat, PT. Mizan Pustaka, cet. 19, Jakarta, 2007.

Dia di mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena, Lentera Hati, Jakarta,
2011.

Wawasan Alqur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung,
2007.

Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1999

Nuredin Ceci, Inter Religious Tolarence Among the People of Elbasan, Mediterranian
Journal of Social Sciences vol.3(3) September 2012 , ISSN 2039-2117

Peter L. Berger et al., The Desecularization of the World: Resurgent Religion and
World Politics, Ethics and Public Policy Center, Washington DC, 1999

Sultan Abdulhameed, Alqur’an untuk Hidupmu: Menyimak Ayat Suci untuk


Perubahan Diri diterjemahkan dari The Quran and the Life of Excellence dengan
penerjemah Aisyah, Zaman, Jakarta, 2012.

The Encyclopedia of Religion, Vol. 13, Macmillan Publishing Company, New York

Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat
Bahasa Departemen Nasional, 2008, hlm. 1586.

53
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2013

Wahyuddin dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinngi,

PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2009

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Meteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006
dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/wakil kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah
Ibadat.

Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 298 Tahun 2017 tentang

Pedoman Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil

54

Anda mungkin juga menyukai