Anda di halaman 1dari 61

Modul

Kerukunan
Umat
Beragama
●●●●●

Tim Penyusun
• Abdul Aziz Siswanto
• Siti Murdlijati Fauziah

Kerukunan
Umat Beragama MODUL
●●●
Penyuluhan Kerukunan
Umat Beragama

Garis besar pembahasan bab

Melalui modul Penyuluhan Kerukunan antar Umat Beragama


ini, penyuluh agama Islam bisa:
• Memahami alasan pentingnya kerukunan antar umat beragama
dan penyuluhan kerukunan.
• Mengerti dan memahami pengertian kerukunan antar umat
beragama
• Mengetahui landasan teologis tentang kerukunan antar umat
beragama baik dari al-Quran, hadits, dan pendapat para ulama
• Mengetahui regulasi pengaturan kehidupan antar umat
beragama
• Memiliki wawasan tentang realitas agama-agama dan aliran
kepercayaan di lingkungan masyarakat Indonesia

Dengan begitu penyuluh mampu memberi sasaran


penyuluhannya:
• Pemahaman mengapa pentingnya hidup rukun antar umat
beragama
• Pengertian dan pemahaman tentang pengertian dan batasan
kerukunan antar umat beragama
• Pengetahuan tentang pandangan al-Quran, hadits, dan pendapat
para Ulama tentang kerukunan antar umat beragama
• Pengetahuan regulasi pemerintah tentang kehidupan antar
umat beragama
• Wawasan tentang agama dan keyakinan yang tumbuh di
lingkungan masyarakat Indonesia.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 1
Fungsi Penyuluh Agama Islam Dalam Hal Kerukunan
Beragama

1. Fungsi informatif/edukatif
Penyuluh agama memberikan informasi tentang kerukunan
umat beragama, yang meliputi pengertian kerukunan, umat,
ukhuwah, dan sebagainya. Termasuk masalah konflik dan
faktor-faktor penyebabnya. Kemudian penyuluh agama
memberikan edukasi bahwa kerukunan umat beragama
merupakan sesuatu hal yang penting untuk dipahami dan
dijalankan dalam kehidupan sosial.

2. Fungsi Konsultatif
Penyuluh agama menerima konsultasi atau pengaduan-
pengaduan dari masyarakat berkenaan dengan masalah
kerukunan agama yang terjadi di lingkungan mereka.
Seperti ketika terjadinya konflik beragama atau hal lain yang
mengganggu kerukunan umat beragama.

3. Fungsi Advokatif
Penyuluh agama membantu meredakan, mengatasi, dan
menyelesaikan masalah-masalah kerukunan beragama yang
terjadi di masyarakat, baik yang bersifat intern umat beragama
maupun yang bersifat ekstern umat beragama.

Kerukunan
2 Umat Beragama MODUL
●●●
Keharusan
Hidup Rukun

1
A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki pluralitas agama


dan sistem kepercayaan yang luar biasa. Agama-agama besar dunia,
masuk dan tumbuh subur di Indonesia sampai sekarang ini. Sejarah
panjang kehidupan beragama Bangsa Indonesia menunjukkan bahwa
keragaman agama dan kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat
dapat hidup dan berkembang secara damai tanpa ada saling konflik
yang berarti. Kondisi demikian terjadi antara lain karena sejak awal
proses masuknya agama-agama tersebut ke Indonesia dilakukan
dengan cara damai dan terjadi proses adaptasi, akomodasi dan
seleksi, masyarakat telah memahami batas antara doktrin agama
dengan budaya. Hal itu menunjukkan adanya mata rantai kerukunan
yang menghubungkan antara agama dengan budaya.
Indonesia dapat dilihat sebagai contoh sebuah kumpulan
masyarakat dengan beragam etnik dan agama bisa hidup rukun
tanpa muncul masalah yang berarti dalam jangka waktu yang cukup
lama berkenaan dengan pola hubungan antar warga. Penilaian seperti
ini dapat dilihat dari potret masyarakat Indonesia pada umumnya
yang lebih mementingkan harmoni serta toleransi di atas perbedaan
di antara mereka. Meskipun demikian, pada kondisi sektoral, kondisi
kerukunan itu sering dihadapkan kepada gangguan. Oleh karena itu,
masyarakat perlu menyadari rentannya hubungan di antara mereka
karena seringnya terjadi konflik yang berlatar belakang agama. Oleh
karena itu, membangun kerukunan umat beragama telah menjadi
perhatian melalui berbagai upaya pemerintah, karena hubungan
antarumat beragama, selain telah sering memunculkan masalah
tetapi juga dapat menyimpan konflik berkepanjangan.

MODUL Ker k a
Umat Beragama 3
Puncak dari terjadinya hubungan yang tidak baik antara
pemeluk agama adalah terjadinya konflik SARA (Suku, Agama,
Ras, dan Antar golongan) yang terjadi pada masyarakat di berbagai
daerah, yang dinilai banyak orang sebagai konflik berlatar belakang
agama. Konflik-konflik ini dikatakan sebagai konflik agama, karena
bukan rahasia lagi bahwa kalangan yang terlibat di dalamnya telah
memakai bendera agama masing-masing dan menegaskan adanya
kepentingan agama yang mengiringi perjuangan mereka.
Konflik keagamaan yang terjadi karena adanya rasa perbedaan
pemelukan agama dan rasa permusuhan yang berkembang bukan saja
di kalangan mereka yang mengalami konflik, tetapi juga melibatkan
para pemeluk agama lainnya. Padahal, nilai-nilai universalitas agama
semestinya menjadi faktor integratif dan bukan sebaliknya sebagai
faktor disintegratif bangsa. Dalam kerangka itulah, nilai-nilai agama
sesungguhnya menjadi modal sosial bagi perekat integrasi bangsa.
Untuk mewujudkan fungsi ini, diperlukan pemahaman keagamaan
secara komprehensif dengan memperhatikan kondisi masyarakat
Indonesia yang multikultural.
Dalam ajaran Islam, telah dikemukakan berbagai pernyataan
ayat maupun Hadis yang menegaskan tentang toleransi oleh karena
itu, toleransi pada asalnya bukanlah gagasan barat, melainkan konsep
universal al-Quran1. Maka dalam hal ini, seorang muslim dapat
memahami adanya pandangan yang berbeda dengan pandangan
dalam agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar
kehendak ilahi, dan dalam hal ini memerlukan sikap yang disebut
kehidupan yang rukun. Oleh karena itu, Islam telah memperkenalkan
bangunan masyarakat yang rukun yang dapat dilihat dari aspek
akidah, sosial dan pranata budaya.
Kerukunan umat beragama merupakan suatu hal yang
menggambarkan kemajemukan bangsa sebagai rahmat. Perbedaan
sebagai keniscayaan merupakan kekuatan yang menopang upaya
pembangunan manusia Indonesia dalam menuju cita–cita bangsa.
Kerukunan umat beragama bukan suatu hal yang terjadi dengan
sendirinya tanpa kesadaran dan upaya dari berbagai pihak untuk

1 Sultan Abdulhameed, Al-Qur‟an Untuk Hidupmu: Menyimak Ayat Suci untuk


Perubahan Diri diterjemahkan dari The Quran and the Life of Excellence dengan penerjemah
Aisyah, Zaman, Jakarta, 2012, hlm. 403-404.

Kerukunan
4 Umat Beragama MODUL
mewujudkannya. Kerukunan bukanlah barang jadi akan tetapi
memerlukan proses sosialisasi dan internalisasi. Maka dalam rangka
itulah diperlukan panduan Bimbingan Penyuluhan Kerukunan Umat
Beragama.
Penyusunan modul Bimbingan Penyuluhan Kerukunan Umat
Beragama bagi Penyuluh Agama Islam Non PNS ini tentunya
diharapkan menjadi bahan bagi Penyuluh Agama Islam Non PNS
dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyuluh, untuk memberikan
penerangan kepada masyarakat terkait dengan Kerukunan Umat
Beragama, baik dalam perspektif Agama Islam, sebagaimana
tercantum dalam Alqur‘an dan Hadits, maupun dalam perspektif
regulasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, seiring dengan Tugas Penyuluh Agama Islam Non PNS
sebagaimana diatur dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor
298 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyuluh Agama Islam Non
Pegawai Negeri Sipil, yang salah satu tugasnya adalah memberikan
penyuluhan kepada masyarakat tentang kerukunan umat beragama.

B. Tujuan Penyuluhan Kerukunan Umat Beragama

Penyuluhan Kerukunan Umat Beragama yang dilaksanakan oleh


Penyuluh Agama secara umum memiliki tujuan:
1. Terciptanya suasana yang damai dalam lingkungan
masyarakatnya.
2. Meningkatnya toleransi dan saling menghargai antar umat
beragama.
3. Menciptakan rasa aman bagi agama-agama minoritas dalam
melaksanakan ibadahnya masing-masing.
4. Meminimalisir konflik yang terjadi di lingkungan masyarakat
dengan mengatasnamakan agama.

C. Program Penyuluhan

Agar pelaksanaan Program Bimbingan Penyuluhan bidang


Kerukunan Umat Beragama di kalangan Penyuluh Agama Islam Non
PNS berjalan efektif, maka dirumuskan beberapa kegiatan sebagai
berikut:

MODUL Ker k a
Umat Beragama 5
1. Membuat peta da‘wah guna menyusun klasifikasi dakwah dilihat
dari tipologi umat serta kebutuhan model dakwah
2. Melakukan analisis terhadap perkembangan data jumlah
penduduk berdasarkan agama
3. Membuat program kegiatan melalui bentuk kerjasama dengan
berbagai stakeholder yang ada di wilayah dakwah.
4. Melakukan sosialisasi melalui pendekatan komunitas tentang
makna dan, landasan dan tujuan kerukunan beragama.
5. Melakukan internalisasi tentang penyusunan konsep, praktik
dan evaluasi kerukunan umat beragama dalam pelaksanaan
dakwah sehingga masyarakat menyadari bahwa gagasan
kerukunan bukanlah sesuatu yang ditempelkan akan tetapi
merupakan hal yang melekat dalam ajaran Islam.
6. Melakukan pemberdayaan terhadap pemahaman, penghayatan
dan pengamalan ajaran Islam terhadap berbagai penduduk di
daerah.
7. Melakukan berbagai simulasi tentang gagasan kerukunan umat
beragama pada masyarakat mayoritas maupun minoritas umat
Islam.

D. Metode Penyuluhan

Kegiatan program penyuluhan Agama Islam Non PNS kepada


masyarakat disusun dalam rangkaian kegiatan yang lebih efektif
dan efisien. Dengan demikian, metode penyuluhan agama oleh
Penyuluh Agama Islam Non PNS kepada masyarakat dilakukan
secara terencana, sistematis dan konsepsional sehingga diharapkan
mampu menghasilkan kader-kader penyuluhan agama Islam
guna meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan
ajaran Islam. Melalui penyuluhan ini akan dikembangkan metode
pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama baik secara internal
umat Islam maupun dengan umat beragama dan berkepercayaan
lainnya.
Metode penyuluhan ini diharapkan akan mempersiapkan
tenaga penyuluh yang memiliki kualifikasi keilmuan yang memiliki
kemampuan berdialog terhadap tiga kelompok sosial: apatis, proaktif,

Kerukunan
6 Umat Beragama MODUL
dan penentang kerukunan.
Secara umum kegiatan penyuluhan kerukunan ini bisa
dilakukan dengan berbagai metode, yang disesuaikan dengan tujuan
dan kondisi peserta penyuluhan, yaitu dengan metode sebagai
berikut :
1. Bil hikmah (dengan safari dakwah, bakti social, menulis,
merekam audio untuk disiarkan di radio, membuat video untuk
diupload melalui internet dan pendampingan terhadap masalah
umat, serta melalui dinamika kelompok) tentang kerukunan
umat beragama. Metode bil hikmah diharapkan dapat
menggugah kesadaran rasionalitas terhadap kegiatan dakwah
sehingga mendorong tumbuhnya rasa ingin tahu (curiositiy)
terutama di kalangan kelompok masyarakat remaja, mahasiswa
dan terpelajar.
2. Mau‟idzhatil Hasanah (penyuluhan, konsultasi, ceramah
monologis, tutorial, maupun audio visual) tentang kerukunan
umat beragama. Dalam mau‟idhzatull hasanah dikembangkan
pendekatan personal sehingga potensi kerenggangan sosial
dapat di atasi melalui program bimbingan dan penyuluhan.
3. Jaadilhum billatii hiya ahsan (ceramah dialogis, debat, diskusi,
kajian/seminar/workshop) tentang kerukunan umat beragama.

E. Model Kerukunan Umat Beragama:

1. Relativitas Iman: semua agama memiliki konsep kebenaran


oleh karena itu ajaran agama apapun yang diyakini akan dapat
mengantarkan kepada kebenaran dan keselamatan.
2. Absolutisme Teologis: semua agama memiliki ajaran yang
berbeda dan kebenaran dan keselamatan hanya ada dalam
agama yang dianut oleh karena itu agama-agama yang lain harus
dihilangkan karena tidak sesuai dengan konsep perjuangan
menuju kebenaran.
3. Nihilisme Teologis: terjadinya perbedaan agama adalah
merupakan sumber konflik oleh karena itu untuk menghasilkan
kerukunan, keberadaan semua agama harus ditolak dan
kemudian manusia kembali kepada keyakinan masing-masing.
4. Keyakinan dan Kerjasama sosial: setiap orang hanya meyakini
adanya kebenaran pada keyakinan yang dianutnya dan tidak

MODUL Ker k a
Umat Beragama 7
membuka diri mencari kebenaran yang lain namun pada
saat yang sama membuka peluang kerjasama dalam hal yang
berkenaan dengan kegiatan yang bersifat pranata sosial untuk
mendorong tumbuhnya keinginan untuk menuju kepada cita-
cita abadi yang diajarkan semua agama.

Dalam rangka itu, maka diperlukan kemauan setiap kader


penyuluh untuk mengembangkan dialog aksi serta membuka
wawasan melalui literasi agama. Program ini akan mempersiapkan
tenaga penyuluh yang memiliki kualifikasi keilmuan yang mampu
berdialog terhadap tiga kelompok sosial yang memiliki persepsi
berbeda tentang kerukunan yaitu: proaktif, apatis dan penentang
kerukunan.

F. Laporan Kegiatan

Penyuluh Agama Islam Non PNS harus membuat laporan kegiatan


dalam pelaksanaan bimbingan penyuluhan bidang Kerukunan
Umat Beragama tatap muka yang dilaksanakan. Laporan tersebut
mencakup antara lain :
1. Rencana kerja bulanan
2. Surat keterangan telah memberikan bingluh kerukunan umat
beragama dari penyelenggara
3. Absensi (daftar hadir) peserta penyuluhan kerukunan umat
beragama
4. Materi dan media bimbingan penyuluhan kerukunan umat
beragama
5. Laporan mingguan pelaksanaan bimbingan penyuluhan
kerukunan umat beragama
6. Evaluasi pelaksanaan bimbingan penyuluhan kerukunan umat
beragama
7. Surat pernyataan melaksanakan kegiatan bimbingan dan
penyuluhan Agama Islam pada bidang kerukunan umat
beragama

Kerukunan
8 Umat Beragama MODUL
●●●
Pengertian

2
Tentang Kerukunan
Umat Beragama

A. Pengertian Kerukunan

Kerukunan dalam Bahasa Indonesia diambil dari kata ―rukun‖,


yang mengandung arti :
1. Rukun (nominal), berarti sesuatu yang harus dipenuhi untuk
sahnya pekerjaan, seperti tidak sahnya manusia dalam shalat
yang tidak cukup syarat dan rukunnya.
2. Rukun (ajektif) berarti, baik dan damai tidak bertentangan;
hendaknya kita hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati,
sepakat. Merukunkan berarti mendamaikan, menjadikan
bersatu hati. Kerukunan berarti perihal hidup rukun, rasa
rukun, kesepakatan, kerukunan hidup bersama.

Kerukunan berarti sepakat dalam perbedaan-perbedaan yang


ada dan menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak
untuk membina kehidupan sosial yang saling pengertian serta
menerima dengan ketulusan hati yang penuh keikhlasan. Kerukunan
merupakan kondisi dan proses tercipta dan terpeliharanya pola-
pola interaksi yang beragam diantara unit-unit (unsur/subsistem)
yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik
yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai,
saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai
kebersamaan. Pengertian kerukunan sebaiknya dikembangkan dengan
kajian factor internum dan eksternum serta pemahaman tentang
kerukunan. Prof. Mukti Ali pada tahun 1970, memperkenalkan
konsep agree in disagreement bahwa sifatnya kerukunan pasif
padahal maksud kerukunan disini adalah aktif.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 9
Kata ―rukun‖ dalam pengertian sehari-hari, dan kerukunan
memiliki arti damai dan perdamaian. Berdasarkan pengertian ini
jelas bahwa kata kerukunan hanya digunakan dan berlaku dalam
pergaulan sehari-hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa kerukunan
ialah hidup damai dan tentram saling toleransi antara masyarakat
yang beragama sama maupun berbeda, kesediaan mereka untuk
menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok
lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang
diyakini oleh masing-masing masyarakat, dan kemampuan untuk
menerima perbedaan.
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna
―baik‖ dan ―damai‖. Hakikatya hidup bersama dalam masyarakat
dengan ―kesatuan hati‖ dan bersepakat untuk tidak menciptakan
perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850). Apabila
pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka ―kerukunan‖ adalah
sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.
Kerukunan (dari rukun, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-
tiang yang menopang rumah, penopang yang memberi kedamaian
dan kesejahteraan kepada penghuninya), secara luas bermakna
adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang
walaupun mereka berbeda secara suku, agama, dan golongan.
Istilah kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk
menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan, serta
kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama
dengan damai serta tentram. Adapun langkah-langkah untuk
mencapai seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling
terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.
Rukun dalam arti kata sifat adalah baik atau damai, kerukunan
hidup umat beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak
bertengkar walau berbeda agama. Kerukunan antar umat beragama
dalam pandangan Islam (seharusnya) merupakan suatu nilai yang
terlembagakan dalam masyarakat.

B. Pengertian Umat

Kata ―umat‖ menurut Quraish Shihab dalam buku Wawasan


Alqur‟an, memiliki berbagai arti, ada yang mengartikannya sebagai
bangsa, sebagaimana keterangan dalam Ensiklopedi Filsafat yang
ditulis oleh sejumlah akademisi Rusia, dan diterjemahkan oleh

Kerukunan
10 Umat Beragama MODUL
Samir Karam ke dalam Bahasa Arab, ada juga yang mengartikannya
sebagai negara, sebagaimana yang tercantum dalam Mu‟jam al-
Falsafi, yang disusun oleh Majma‘ al-Lughah al-Arabiyyah (Pusat
Bahasa Arab) Kairo tahun 1979.
Pengertian-pengertian tersebut di atas sebenarnya dapat
mengakibatkan kerancuan pemahaman terhadap konsep umat di
kalangan umat Islam atau di dalam Alqur‘an. Oleh karena itu, perlu
kiranya mendalami lebih jauh hakikat makna dan konsep umat,
khusunya yang dimaksudkan oleh kitab yang berisi petunjuk bagi
seluruh manusia, yakni Alqur‘an2.

1. Arti umat dari segi bahasa


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
―umat‖ memiliki dua pengertian. Pertama, umat dalam pengertian
penganut atau pemeluk suatu agama; pengikut Nabi, dalam
konteks ini maka sering muncul kalimat ―umat beragama‖,
―umat kristen‖, ―umat Islam‖ dan lain sebagainya. Kedua, umat
dalam pengertian makhluk manusia, dalam konteks ini maka
yang disebut umat itu adalah yang terdiri atau terbentuk dari
sekumpulan manusia3.
Sedangkan dalam Qamus al-Wajiz li Ma‟ani Alqur‟an
al-Karim, karya al-Miraz Muhsin ‗Ali Ushfur, kata ―umat‖
mengandung makna tidak kurang dari sembilan makna, yaitu
golongan atau keturunan, agama, bilangan tahun, kaum,
pemimpin yang dicontoh, pemimpin-pemimpin dari ahlu al-bait
secara khusus, bangsa-bangsa yang telah lalu, orang-orang kafir
secara khusus, dan penciptaan4. Syaikh Mustafa al-Maraghi
tidak jauh berbeda, ia menafsirkan kata umat menjadi lima
makna, yaitu millah (agama), aljama‟ah (kelompok), az-zaman
(waktu), al-imaam (pemimpin), dan al-umam al-ma‟rufah (umat-
umat yang sudah dikenal)5.

2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan


Umat, PT. Mizan Pustaka, Bandung, Cet. 19, hlm. 325.
3 Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat
Bahasa Departemen Nasional, 2008, hlm. 1586.
4 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, PT Mizan Pustaka, Bandung, Cet. 19, hlm. 325.
5 Ibn al-Mandhur, Lisanul Arab, hlm. 133-134.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 11
Untuk lebih jauh memahami makna bahasa dari kata
―umat‖, M. Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan bahwa, kata
―umat‖ ini terambil dari kata (amma-yaummu) yang berarti
menuju, menumpu dan meneladani, dari akar kata yang sama
kemudian lahir kata um yang berarti ―ibu‖ dan imam yang artinya
―pemimpin‖, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan, dan
harapan6.

2. Arti umat dari segi pengistilahan


Istilah umat menurut Ibn al-Mandur dalam ―Lisaanul
„Arab‖ dengan mengandung pengertian, pertama, umat
memiliki pengertian ―agama‖ seperti firman Allah dalam QS. Al-
Baqarah : 213.

kata ummatan wahidah di sana maksudnya adalah agama yang


satu; kedua, umat dalam arti ―generasi‖, seperti pada kalimat
(qad madhat umamun); umamun di sini artinya adalah
generasi, maka kalimat tersebut berarti ―sungguh generasi-
generasi itu telah berlalu‖7.
Untuk menarik benang merah dari semua pengertian ―umat‖
di atas, pengertian ―umat‖ menurut ar-Raghib al-Asfahani,
memberikan pengertian bahwa umat adalah semua kelompok
yang dihimpun oleh sesuatu, baik itu agama, waktu, atau tempat
dengan terpaksa ataupun atas dasar pilihan mereka sendiri.
Atau dalam konteks pemahaman al-Asfahani memberikan
pengertian bahwa umat adalah kelompok yang memilih ilmu
dan amal salih sehingga mereka jadi uswah (contoh/teladan)
bagi yang lainnya8.

6 Ar-Raghib al-Asfahani, Mu‟jam Mufradat fii al-Fadl Alquran, Beirut, Dar al-Ma‘rifah,
hlm. 33.
7 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, hlm. 327.
8 Muhammad ‗Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafaasir, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan
pertama, hlm. 132.

Kerukunan
12 Umat Beragama MODUL
3. Kata umat dalam ayat Alqur’an
Kata umat dalam bentuk mufrad (tunggal) disebut
sebanyak lima puluh dua kali di dalam Alqur‘an9. Setiap kata
dalam Alqur‘an selalu memiliki banyak sekali keunikan serta
menyimpan kedalaman makna, termasuk kata umat. Beberapa
ayat yang menyebut kata ummat, terlalu jauh jika dikatakan
mewakili, namun sekiranya dapat memberikan sedikit gambaran
kepada kita mengenai kandungan makna, fungsi, dan tujuan
dari Alqur‘an dengan menggunakan kata ummat.

Pertama, kata ummat dalam QS. Al-Baqarah: 213.

“Manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan),


Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan,
dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu
melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab,
Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan
yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran
tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-
Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-
Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)

Berdasarkan ayat di atas, pada susunan kalimat kaanaan-


naasu ummataw wahidah… menurut ‗Ali ash-Shabuni di
dalamnya terdapat ijaz (penyingkatan). Artinya dalam susunan
kalimat tersebut ada beberapa kalimat yang dibuang, atau

9 Tafsir Ibnu Katsir, jld. 1, hlm. 410

Ker k a
MODUL Umat Beragama 13
setidaknya tidak disebutkan. Menurut ash-Shabuni, asalnya
adalah kaana an-nasu ummatan wahidah „ala al-imani
mutamassikiina bi al-haq fakhtalafuu… (Manusia itu adalah
umat yang satu di atas keimanan, berpegang teguh kepada hak
lalu kemudian mereka berselisih…)10.
Hal ini selaras dengan apa yang dikutip oleh Ibn Katsir
yang diriwayatkan Ibn Jarir dari Ibn Abbas bahwasannya antara
Nuh dan Adam itu berselang sepuluh generasi, semuanya
berpegang kepada syariat Allah SWT, barulah setelah itu terjadi
perselisihan hingga Allah SWT mengutus para Nabi untuk
memberi peringatan dan kabar gembira kepada mereka11. Jadi
bisa ditarik kesimpulan bahwa ummat dalam ayat ini yang
dimaksud adalah syariat atau dalam kata lain agama.

Kedua, kata ummat dalam QS. Ali Imran: 110.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,


menyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
(QS. Ali Imran: 110).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abi Hurairah r.a,


mengenai ayat ini, ―kamu adalah umat terbaik‖. Ia berkata:
―kalian adalah sebaik-baik umat manusia untuk manusia lain,
kalian datang membawa mereka dengan belenggu yang melilit di
leher mereka sehingga mereka masuk Islam. Menurut Ibn Katsir,
keumuman lafadznya yang mencakup seluruh umat pada setiap
generasi berdasarkan tingkatannya, dan sebaik-baik generasi
adalah para sahabat Rasulullah SAW, kemudian generasi

10 Ibid, Jilid. 2, hlm. 110.


11 Ibid.

14 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
berikutnya setelah mereka, dan seterusnya12. Demikianlah
umat dalam konteks ayat ini memiliki makna generasi.

Ketiga, kata ummat dalam QS. Al-Isra: 71.

“(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap


umat dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan
kitab amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan
membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.”
(QS. Al-Isra: 71).

Para pakar atau ulama berbeda pendapat mengenai siapa


yang dimaksud dengan pemimpin dalam ayat tersebut, ada
yang berpendapat bahwa maksudnya adalah para Nabi, ada
juga yang mengatakan pemimpin yang dimaksud adalah siapa
saja yang dijadikan pemimpin oleh kaum tersebut, lalu ada
pula yang mengatakan maksudnya adalah catatan amalnya
masing-masing. Ada yang menarik dalam ayat ini, berbeda
dengan ayat-ayat lain yang menyebut kata ummat dengan
makna yang berbeda, pada ayat ini justru sebaliknya, menyebut
kata yang berbeda namun dengan makna ummat.
Arti kata ―ummat‖ dalam ayat ini disebut dengan
menggunakan kata unaas, yang asal katanya diambil dari
an-naas, untuk mukhaffaf (meringankan pengucapannya)13,
maka dijadikanlah alif lam pada ayat tersebut pengganti dari
hamzah sehingga jadilah kalimat an-naas. Dalam konteks
kebahasaan ini tentu sangat tepat bahwa makna ummat yang
disebut kata unnas adalah sekelompok manusia, karena an-
naas maknanya memang manusia; yakni bentuk jamak dari
kata tunggal insaan.

12 Ibn al-Mandhur, Lisanul Arab, hal. 73.


13 Ibn al-Mandhur, Lisanul Arab, hal. 73.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 15
Keempat, Alqur‘an pun menyebut binatang dengan kata ―umat‖,
sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-An‘am :38.

“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-


burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam
Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
(QS. Al-An‘am: 38).

Ayat ini dengan tegas menyebut binatang sebagai ummat,


dalam konteks ayat ini berarti yang dinamakan ummat itu tidak
mesti sekumpulan manusia, namun binatang pun semisal
burung yang dengan tegas disebut dalam redaksi ayat. Semut
dan anjing juga dapat dikategorikan sebagai ummat.
Keserupaan manusia dengan binatang-binatang baik di
darat, laut, maupun udara adalah keserupaan dalam berbagai
aspek, misalnya binatang-binatang tersebut juga hidup, merasa,
beranjak dari kecil hingga dewasa, memiliki naluri, merasa lapar
dan sebagainya, sama halnya dengan manusia yang tidak pernah
lepas dari berbagai hal tersebut. Namun tentunya keserupaan ini
tidaklah mencakup seluruh aspek, dan tidak pula setingkat atau
sederajat. Misalnya kebutuhan, tubuh dan pikiran. Manusia
tetap berbeda dibanding mahkluk lain meskipun terdapat
persamaan yang tidak sedikit hitungannya.

Kelima, Allah SWT menyebut Nabi Ibahim dalam Alqur‘an


dengan kata ―umat‖, sebagaimana yang tercantum dalam QS.
An-Nahl: 120.

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat


dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-
kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan
(Tuhan).” (QS. An-Nahl: 120)

16 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
Berdasarkan ayat tersebut, Alqur‘an dengan tegas
menyebut Nabi Ibrahim dengan kata umat. Menurut Syaikh
Mustafa al-Maraghi, ummat adalah al-jama‟ah al-katsiirah;
yakni kelompok yang terdiri dari banyak orang. Menurutnya,
Nabi Ibrahim disebut dengan kata umat, karena beliau
telah memiliki dan mengumpulkan banyak keutamaan dan
kesempurnaan. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan
bahwa yang disebut umat itu tidaklah harus banyak jumlahnya
secara dzat (fisik) saja. Namun sebaliknya, sekalipun hanya
satu orang, jika memang memiliki banyak sifat-sifat mulia,
maka dalam konteks ini tidak keliru jika disebut umat.

C. Pengertian Kerukunan Umat Beragama

Istilah ―kerukunan umat beragama‖ diartikan sebagai keadaan


hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara itu,
pemeliharaan kerukunan umat beragama sendiri diartikan sebagai
upaya bersama umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan,
pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.
Menurut Nuredin Ceci, kerukunan umat beragama dapat diukur
melalui :
1. Toleransi
2. Saling membantu
3. Damai
4. Adil
5. Pemahaman
6. Kerjasama14.

Kerukunan antar umat beragama bermakna rukun dan


damainya dinamika kehidupan umat beragama dalam segala
aspek kehidupan, seperti aspek ibadah, toleransi, dan kerja sama
antarumat beragama. Ajaran agama Islam tentunya mengajarkan

14 Nuredin Ceci, Inter Religious Tolarence Among the People of Elbasan, Mediterranian
Journal of Social Sciences vol.3 (3) September 2012, ISSN 2039-2117

Ker k a
MODUL Umat Beragama 17
bahwa manusia ditakdirkan Allah sebagai makhluk sosial yang
membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama
manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja
sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
baik kebutuhan material maupun spiritual. Bahkan ajaran Islam
menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong
(ta‟awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan
dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Dalam konteks ini juga sebagaimana telah dikemukakan oleh
Maftuh Basuni (Menteri Agama RI periode...), bahwa kerukunan
antar umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional adalah
sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara terus dari waktu
ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi,
saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari
kerukunan nasional. Kerukunan umat beragama adalah keadaan
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengalaman ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial
ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa mengurangi
hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.
Masing-masing pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun
dan damai. Karena itu kerukunan antar umat beragama tidak
mungkin akan lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli
atas hak keberagaman dan perasaan orang lain. Tetapi dalam hal
ini tidak diartikan bahwa kerukunan hidup antar umat beragama
memberi ruang untuk mencampurkan unsur-unsur tertentu dari
agama yang berbeda, sebab hal tersebut akan merusak nilai agama
itu sendiri. Kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga bisa
diartikan dengan toleransi antar umat beragama. Dalam toleransi itu
sendiri pada dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan
menerima perbedaan antar umat beragama. Selain itu masyarakat

Kerukunan
18 Umat Beragama MODUL
juga harus saling menghormati satu sama lainnya misalnya dalam
hal beribadah, antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya tidak
saling mengganggu15.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu bentuk
hubungan yang harmonis dalam dinamika pergaulan hidup
bermasyarakat yang saling menguatkan yang diikat oleh sikap
pengendalian hidup dalam wujud:
1. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agamanya.
2. Saling menghormati dan berkerjasama intern pemeluk agama,
antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan
pemerintah yang sama-sama bertanggung jawab membangun
bangsa dan Negara.
3. Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama
kepada orang lain.

Dengan demikian kerukunan antar umat beragama merupakan


salah satu tongkat utama dalam memelihara hubungan suasana
yang baik, damai, tidak bertengkar, tidak gerak, bersatu hati dan
bersepakat antar umat beragama yang berbeda-beda agama untuk
hidup rukun16.
Kerukunan antar umat beragama adalah hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran
agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia17.

15 Wahyuddin dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 32
16 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2001, hlm. 255
17 Pasal 1 angaka (1) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 19
●●●
Kerukunan

3
Umat Beragama Dalam
Pandangan Islam

A. Kerukunan Umat Beragama Menurut Alqur’an

Alqur‘an yang menjadi sumber ajaran utama agama Islam,


memberikan banyak penjelasan terkait dengan anjuran agar dapat
memanfaatkan keberagaman sebagai sebuah kekuatan dengan
langkah awal pengenalan. Hal ini secara jelas disampaikan dalam
surat al-Hujurat ayat 13 sebagai berikut:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13)

Ayat tersebut memberikan penekanan pada perlunya untuk


saling mengenal. Karena semakin kuat pengenalan satu pihak
kepada selainnya, maka akan semakin terbuka peluang untuk saling
memberi manfaat. Perkenalan ini dimaksudkan untuk meningkatkan

Ker k a
MODUL Umat Beragama 20
ketaqwaan kepada Allah dengan cara saling menarik pelajaran
dan pengalaman dari pihak lain, yang dampaknya tercerminnya
kedamaian dan kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.
Saling mengenal yang digarisbawahi dalam ayat di atas adalah
―pancing‖ untuk meraih manfaat dan bukan ―ikan‖nya. Maka dalam
hal ini yang diberikan adalah caranya dan bukan manfaatnya, karena
memberi pancing itu jauh lebih baik daripada memberi ikan18.
Namun apabila kita melihat masyarakat di negeri ini, nampaknya
alat yang diajarkan oleh Alqur‘an―saling mengenal‖ belum dimiliki
oleh masing-masing pihak, sehingga belum dapat menikmati hasilnya
(kedamaian dan kesejahteraan). Dapat dibuktikan dengan masih
banyaknya perpecahan yang dilatarbelakangi oleh keberagaman
yang ada di Indonesia, baik aliran keagamaan maupun perbedaan
agama. Maka untuk memanfaatkan keberagaman menjadi sebuah
kekuatan besar yang tak tertandingi, Alqur‘an memberikan ―pancing‖
berupa ―saling mengenal‖ yang selanjutnya menuntut dari semua
keberagaman yang ada untuk saling mengenal antara pihak yang
satu dengan pihak lain.

1. Persaudaraan (Ukhuwwah) dalam Alqur’an


Ukhuwwah dalam Alqur‘an dijelaskan dengan kata akh
(saudara) dalam bentuk tunggal, yang ditemukan sebanyak
52 kali19, dan 96 kali dihitung bersama dengan bentuk
jamaknya.20 Menurut M. Qurais Shihab, secara umum makna
kata akh beserta bentuk jamaknya dapat dikelompokkan
menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah:
a. Saudara kandung atau saudara seketurunan, ini dijelaskan
pada ayat yang berbicara tentang masalah waris atau
keharaman mengawini orang-orang tertentu, misal dalam
surat an-Nisa‘ : 23

18 M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan


Umat (Bandung: Mizan, 2007), Cet. 1, hlm. 640.
19 M. Qurais Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 2007), Cet. 1, hlm. 640.
20 Muhammad Isma‘il Ibrahim, Mu‟jam al-Alfadz wa al-A‟lam al-Quraniyah (Kairo:
Dar al-Fikri al-‗Arabi, 1998), hlm. 33. Lihat juga dalam Muhammad Fu‘ad Abd al-Baaqi,
al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Alfad al-Quran al-Kariim (Kairo: Dar al-Hadits, 1996),
hlm. 29-30.

Kerukunan
21 Umat Beragama MODUL
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak
anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

b. Saudara yang dijalin dengan ikatan keluarga, seperti doa


Nabi Musa a.s. yang diabadikan Alqur‘an, surat Thaha:
29-30

Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku,


(yaitu) Harun, saudaraku,

c. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama


yang dijelaskan dalam surat al-A‘raf: 65

Ker k a
MODUL Umat Beragama 22
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara
mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka
mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”

d. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham yang


dijelaskan dalam surat Shad : 23

“Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh


sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor
saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu
kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan”.

e. Persaudaraan seagama, juga dijelaskan dalam surat


al-Hujurat : 10

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab


itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua
saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat.

Demikian beberapa persaudaraan yang dijelaskan secara


jelas dalam Alqur‘andengan menggunakan kata akh. Selain itu
ada persaudaraan yang dijelaskan oleh Alqur‘an secara
substansi dan tidak secara tegas, adalah :
1. Saudara sekemanusiaan (ukhuwah insaniah), yang
dijelaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa).
Ini dijelaskan dalam surat al-Hujurat : 13

Kerukunan
23 Umat Beragama MODUL
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.

2. Saudara semakhluk dan seketundukan kepada Allah, yang


dijelaskan dalam surat al-An‘am: 38

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan


burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah
mereka dihimpunkan.

Dengan demikian, muncul istilah ukhuwah Islamiyah yang


berlandaskan pada sumber pokok ajaran agama Islam (Alqur‘an),
atau ukhuwah yang bersifat Islami. Dapat disimpulkan bahwa
dalam Alqur‘an memperkenalkan paling tidak ada empat macam
persaudaraan, yaitu:
1. Ukhuwah „ubudiyah atau saudara kesemakhlukan dan
kesetundukan kepada Allah.
2. Ukhuwah insaniyah (basyariyah) dalam arti seluruh umat
manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal
dari seorang ayah dan ibu.
3. Ukhuwah wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan
dalam kebangsaan dan keturunan.
4. Ukhuwah fi din al-Islam, yaitu persaudaraan antar sesama
muslim21.

21 M. Qurais Shihab, Wawasan..., hlm. 643. Diterjemahkan dari The Quran and the
Life of Excellence dengan penerjemah Aisyah (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 403-404.

MODUL Ker k a
Umat Beragama 24
2. Pentingnya Persaudaraan dalam Masyarakat
Dalam memantapkan ukhuwah, pertama kali Alqur‘an
menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku
dalam kehidupan, dan merupakan kehendak Ilahi untuk
kelestarian hidup dan mencapai tujuan kehidupan makhluk di
pentas bumi. Hal ini dijelaskan dalam Alqur‘an surat al-Maidah:
48 sebagai berikut:

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa


kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-
Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-
Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,”

Selanjutnya dalam surat al-Hajj (22): 67 juga dijelaskan


sebagai berikut :

“bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang


mereka lakukan, Maka janganlah sekali-kali mereka membantah
kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama)
Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan
yang lurus.”

25 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
Ayat di atas menyampaikan pesan bahwa sikap toleran
adalah sikap ideal yang harus digunakan dalam menyikapi
perbedaan, sedangkan tindakan mendebat dan memperuncing
perbedaan tradisi merupakan tindakan yang keliru. Merupakan
satu bagian penting dari ajaran Islam adalah kesadaran bahwa
toleransi bukanlah gagasan Barat, melaikan konsep universal
Alqur‘an22. Maka dalam hal ini, seorang muslim dapat memahami
adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan
pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada
di luar kehendak Ilahi, dan dalam hal ini memerlukan sikap
yang disebut toleran. Jadi berbagai perbedaan yang ada di
dunia ini jangan menjadikan seseorang gelisah atau bunuh diri,
dan sampai memaksa orang lain secara halus atau kasar agar
menganut agamanya.
Dalam ayat yang lain dijelaskan juga tentang anjuran
supaya berpegang teguh pada ajaran Allah dan dilarang bercerai
berai, karena memilih bercerai belai (pecah belah) sama dengan
mengambil posisi di neraka. Hal ini sebagaimana terdapat dalam
Quran surat Ali Imran (3): 103

“dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,


dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-
musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan
kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

22 Sultan Abdulhameed, Al-Quran untuk Hidupmu: Menyimak Ayat Suci untuk


Perubahan Diri diterjemahkan dari The Quran and the Life of Excellence dengan penerjemah
Aisyah (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 403-404.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 26
Berdasarkan kandungan ayat-ayat tersebut di atas, begitu
pentingnya persaudaraan (kerukunan) untuk mewujudkan
sosial masyarakat yang damai dan harmonis.

3. Keragaman dan Kerukunan Beragama dalam Alqur’an


Keragaman yang ada di muka bumi ini memang sebuah
kesengajaan yang ditampilkan oleh Allah (sunatullah) dan
menjadi langkah penting dalam menentukan mana yang terbaik
di antara keseluruhan dari masing-masing ragam, terbaik
dalam hal ini adalah yang bertaqwa kepada Allah SWT, maka
janganlah menjadikan susah pada diri seseorang apabila
terdapat golongan yang tidak beriman dan akhirnya sampai
mengadakan perpecahan di bumi ini, karena yang memberikan
hidayah dalam hal ini adalah Allah SWT. Maka dalam urusan
kemanusiaan yang dianjurkan adalah sebuah persaudaraan
(kerukunan) antar sesama, sedangkan berhubungan dengan
masalah ketuhanan merupakan hak Allah semata.
Teladan persaudaraan Islam telah diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW pada waktu berhijrah dari Makkah ke Yastrib
(Madinah), tindakan pertama yang dilakukan adalah menjalin
persaudaraan antar berbagai unsur anggota masyarakat yang
terutama golongan Muhajirin dan Anshar serta beberapa
golongan yang ada di sana23. Akhirnya muncul perjanjian yang
dalam sejarah merupakan undang-undang (dokumen resmi)
yang ditulis pertama kali dalam dunia adalah Piagam Madinah.
Terkait persaudaraan (kerukunan) antar agama juga
dijelaskan dalam Alqur‘ansurat al-Baqarah (2): 256

“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);


Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut24 dan

23 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1999),


cet. V, hlm. 238.
24 Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.

Kerukunan
27 Umat Beragama MODUL
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Jadi tidak diperbolehkan memaksakan suatu agama


kepada orang lain, karena manusia dianggap sudah mampu
dan harus diberi kebebasan dalam membedakan dan memilih
sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata
lain, manusia dianggap sebagai seorang yang sudah dewasa dan
dapat menentukan pilihannya yang terbaik bagi dirinya sendiri
dengan tanpa harus dipaksa-paksa25. Suatu paksaan dalam
hal ini menjadi sebuah larangan, dikarenakan berawal dari
sebuah paksaan dapat menimbulkan sebuah konflik yang
akhirnya perpecahan menjadi titik akhir dalam tatanan sosial
masyarakat.

25 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu..., hlm. 218

Ker k a
MODUL Umat Beragama 28
●●●
Negara Dan
Kebijakan Kerukunan
Umat Beragama
4
A. Trilogi Kerukunan Umat Beragama

Kata perbedaan memiliki dua fungsi yang saling berlawanan,


yaitu sebagai pemicu konflik dan sebagai perekat keragaman. Ketika
kita memakai kerangka berpikir ―Konflik‖, maka kita akan memandang
kelompok lain sebagai lawan yang harus dihabisi. Perbedaan selalu
menyuguhkan bab-bab yang bersebarangan antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya, misalkan perbedaan ideologi, penafsiran,
dan kebudayaan.
Perbedaan ideologi sudah menjadi kewajaran dalam setiap
kelompok, sehingga sebagian bangsa Indonesia tidak terlalu
mempermasalahkan perbedaan tersebut selama tidak mengusik.
Namun perbedaan ideologi akan menjadi sumber konflik ketika ada
satu kelompok yang ingin mengganti ideologi kelompok lainnya.
Kelompok yang ingin didominasi juga tidak akan terima, sehingga
tidak heran jika feedback-nya sama dengan yang dilakukan kelompok
lain. Namun berbeda ketika kita memandang bahwa perbedaan
itu justru dapat mempererat keragaman dan saling melengkapi
kekurangan masing-masing. Kerangka berpikir ini, memandang
bahwa perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang perlu dirawat
bersama. Perbedaan merupakan wujud dari kekayaan sumber daya
manusia dan sumber daya alam di dunia, yang perlu mendapatkan
perhatian serius untuk bisa dikembangkan menjadi entitas yang
dahsyat.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 29
Seringkali konflik mendominasi kehidupan umat manusia di
Indonesia. Konflik-konflik yang tidak diinginkan muncul, misalkan
konflik antar agama, konflik internal agama, dan konflik antara
kelompok beragama dengan pemerintah. Konflik-konflik ini memicu
berbagai sektor untuk ikut andil di dalamnya, misalkan pendidikan,
perkonomian, kebudayaan, dan lain sebagainya. Jadi kehidupan
orang-orang di dunia bisa dikatakan sudah over dalam menggunakan
kerangka berpikir konflik, sehinga hampir setiap saat ada saja konflik
yang terjadi.
Oleh karena itu, untuk mencegah dan nenanggulangi adanya
konflik dalam perbedaan, maka perlu ada konsep dan langkah-
langkahnya untuk menguatkan kerangka berpikir kedua, yaitu
perbedaan sebagai perekat keragaman. Dalam hal ini, tatkala
Alamsyah Ratu Perwiranegara (1925-1998) masih menjabat
sebagai Menteri Agama pada tahun 1978-1983, ia menerapkan
konsep kerukunan antar umat beragama. Konsep kerukunan antar
umat beragama ini terdiri dari tiga hal atau bisa dikatakan trilogi
kerukunan, yaitu:
1. Kerukunan intern umat beragama;
2. Kerukunan antar umat beragama;
3. Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Konsep tersebut masih sangat relevan dengan keadaan Indonesia
saat ini, yang masih memandang perbedaan sebagai sumber konflik.
Konsekuensi logisnya, konsep tersebut perlu untuk dikembangkan
dan diterapkan sebagai alternatif menyikapi perbedaan yang ada.
Kerukunan intern umat beragama bertujuan untuk
memperkokoh hubungan antara individu dengan individu lain
atau kelompok-kelompoknya yang masih seagama. Sedangkan
kerukunan antar umat beragama bertujuan untuk memperkukuh
persaudaraan antara penganut agama satu dengan agama lainnya.
Kemudian kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah
bertujuan untuk menyatukan visi dan misi antar umat beragama dan
pemerintah dalam bingkai Pancasila.
Tugas kita hari ini ialah mengoptimalkan implementasi dari
konsep trilogi kerukunan tersebut. Optimalisasi konsep kerukunan
bisa dilakukan dengan mengembangkannya dan disesuaikan dengan
keadaan sekarang. Optimalisasi trilogi kerukunan ini bisa dimulai
dari diri sendiri untuk membangun sebuah kerukunan diri sendiri

Kerukunan
30 Umat Beragama MODUL
dengan individu lainnya, baru kemudian meningkat di kelompok-
kelompok yang satu agama maupun yang berbeda agama. Kata kunci
dari optimalisasi ini ialah harus memahami dan mengerti orang lain,
agama lain, maupun pemerintah. Harapan dari optimalisasi konsep
trilogi kerukunan antar umat beragama ini ialah dapat memayungi
semua aktivitas intern dan ekstern umat beragama, sehingga
kerukunan tetap terjaga dalam berbagai macam perbedaan.
Berdasarkan Konstitusi Negara Indonesia, maka negara mencita-
citakan suatu masyarakat dimana agama-agama dapat hidup
berdampingan dan berperan secara konstruktif, kesetiaan utama
kelompok-kelompok agama tidak berhenti pada agamanya sendiri.
Solidaritas pun lebih mudah dibangun di antara kelompok lintas
agama yang memiliki aspirasi keindonesiaan yang sama.

B. Regulasi dan Pengaturan Kerukunan Ummat Beragama

Negara Indonesia sebagai suatu negara hukum, sebagaimana


yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka segala bentuk pengaturan yang terdapat
dalam penyelenggaraan negara diatur melalui suatu peraturan
perundang-undangan yang jelas dan tegas.
Kehidupan beragama di Indonesia secara yuridis mempunyai
landasan yang kuat sebagai mana tercantum dalam dasar negara
Pancasila, maupun dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan tentang pengakuan
adanya negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung prinsip bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama atau bukan negara
yang berdasarkan agama tertentu dan bukan pula suatu negara
sekuler yang memisahkan agama dengan urusan negara. Indonesia
memiliki falsafah negara Pancasila yang mengakui tentang eksistensi
ketuhanan.
Negara Indonesia adalah negara yang secara filosofis mengakui
eksistensi agama dalam kehidupan bernegara, bahkan agama
sebagai dasar negara secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 29
ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni ―Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa‖. Berdasarkan rumusan
pasal inilah sejumlah ahli hukum tata negara, seperti Ismail Sunny,

Ker k a
MODUL Umat Beragama 31
mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga
bentuk kedaulatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum,
dan kedaulatan Tuhan26. Ketiga bentuk kedaulatan tersebut tentunya
menjadi haluan dalam penyelenggaraan negara dan bangsa, yang
diharapkan agar mewujudkan penyelenggaraan negara yang sesuai
dengan kedaulatan yang ada dalam negara.
Pandangan Jimly Asshiddiqie, menegaskan dalam konteks
Indonesia, karena salah satu nilai dasarnya negara adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang diwujudkan melalui prinsip
hierarki norma dan elaborasi norma. Sumber norma yang
mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
dapat datang dari mana saja, termasuk misal dari sistem syariat
Islam atau nilai-nilai yang berasal dari tradisi Kristen, Hindu,
Budha, Konghucu, saat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
telah diadopsi, maka sumber norma syariat itu tidak perlu disebut
lagi karena namanya sudah berubah menjadi hukum negara yang
berlaku untuk umum sesuai prinsip Ketuhanan yang Maha Esa
sudah dengan sendirinya tak boleh ada hukum negara Indonesia
yang bertentangan dengan norma-norma agama.27
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur
tentang kebebasan untuk beragama di Indonesia yang dituangkan
dalam konstitusi sebagaimana dapat dilihat Pasal 28E mengenai
kebebasan beragama dan beribadah, Pasal 29 memberikan jaminan
dalam menjalankan agama dan kepercayaannya sedangkan dalam
Pasal 28J mengatur mengenai batasan dalam beribadah bagi setiap
agar tercipta ketertiban. Pasal 29 ayat (2), yang berbunyi ―Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya‖.
Walaupun UUD 1945 telah menjamin kebebasan bagi setiap
warga negara Indonesia untuk memeluk agama dan beribadat
sesuai agamanya masing-masing, namun dalam kenyataannya
masih ada juga individu dan kelompok masyarakat tertentu

26 Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Kita, Aksara Baru, edisi ke-6, Jakarta., 1987,
hlm. 7-8.
27 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal
Dan Kepaniteraan MK – RI, Jakarta, 2008, hlm. 705

32 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
yang belum mampu hidup berdampingan dalam keberagaman.
Sejarah mencatat berbagai peristiwa yang mengarah pada adanya
disintegrasi bangsa saat itu, peristiwa Ambon, Maluku Utara, Poso.
Salah satu mandat konstitusional yang menjadi tanggung
jawab pemerintah dalam pelaksanaan penataan bidang agama
adalah memberikan pelayanan bagi pemenuhan hak beragama
warga negara. Pelayanan yang diberikan dapat berupa regulasi dan
fasilitasi. Regulasi berguna untuk memberikan landasan hukum,
arah, dan bentuk pelayanan yang dilakukan terhadap warga negara.
Sedangkan fasilitasi berguna untuk menjamin dan memudahkan
pelaksanaan hak beragama warga negara secara baik.
Peran UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
pemersatu bukan berarti UUD 1945 menghilangkan atau menafikan
adanya perbedaan yang beragam dari seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai pemersatu maka UUD 1945 harus mengakui, menghormati
dan memelihara keberagaman agama tersebut agar tercipta kerukunan
antar umat beragama. Dalam konteks Indonesia negara dalam hal ini
pemerintah adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk
menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala seuatu yang menjadi
turunannya. Sebagai bentuk tindak lanjut regulasi yang tercantum
dalam UUD Tahun 1945, maka dalam upaya menciptakan kerukunan
antar umat beragama ini ada beberapa peraturan perundang-
undangan yang sudah diberlakukan, diantaranya adalah:
1) UU No 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun
1969 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden sebagai undang-undang.
2) Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No 1 Tahun 1979 Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran
Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan
di Indonesia.
3) Keputusan Bersama Menteri Agama dan Mebteri Dalam
Negeri No 1/BER/Mdn-Mag/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh
Pemeluknya.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 33
Menyadari bahwa kerukunan umat beragama adalah kondisi
yang sangat dinamis dan kemajemukan umat beragama dapat
menjadi persoalan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
pada tahun 2006 Pemerintah mendorong adanya konsensus antar
umat beragama dalam membangun kerukunan umat beragama yang
lebih hakiki, sistemik dan sistematis dengan lahirnya Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan
Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat.
Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 ini merupakan peraturan
yang dihasilkan dari kesepakatan bersama pimpinan majelis-
majelis agama dan para pemuka agama. Dalam penyusunan PBM
tersebut, Pemerintah hanya berperan memfasilitasi dan memberikan
payung hukum pengaturan agar dapat diterapkan dalam kehidupan
beragama di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PBM Tahun 2006 memiliki makna yang sangat penting dan
menjadi tonggak sejarah bagi Bangsa Indonesia sebagai bentuk
upaya serius pemerintah dan umat beragama untuk secara bersama-
sama membangun dan memelihara kerukunan umat beragama.
Secara khusus, PBM Tahun 2006 memberi landasan legal formal
bagi kehadiran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di seluruh
Indonesia. FKUB merupakan forum yang diinspirasi dan meneruskan
semangat forum dialog lintas agama yang ada sebelum lahirnya PBM
Tahun 2006 yang dibentuk oleh masyarakat di berbagai daerah
dengan nama yang berbeda-beda dan bertujuan untuk membangun
kerukunan umat beragama. Memperhatikan substansi pengaturan
dalam Pasal 1 ayat (6) PBM Tahun 2006, FKUB sejatinya merupakan
―forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah
dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan‖.
FKUB dibentuk di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
Berdasarkan Pasal 9 PBM Tahun 2006, sebagai forum yang memiliki
mandat resmi dari Pemerintah, FKUB di provinsi dan kabupaten/
kota bertugas dan berwenang sebagai berikut:

Kerukunan
34 Umat Beragama MODUL
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam
bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota;
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan
(khusus untuk FKUB kabupaten/kota) ditambah
e. memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadat.

Berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana disebutkan


di atas, FKUB memegang peranan yang sangat strategis dalam
mengelola persoalan kerukunan umat beragama di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota. FKUB merupakan forum mediator, penasehat,
penyalur, penyuluh, dan sekaligus katup pengaman dalam
memelihara dan membangun kerukunan umat beragama. Bahkan
lebih dari itu, FKUB juga diharapkan menjadi forum kerjasama
antar umat beragama dalam memberdayakan umat beragama untuk
kesejahteraan.
Sejak lahirnya PBM Tahun 2006, Pemerintah pusat bekerja
sama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/
kota membentuk FKUB di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
Dukungan Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik dalam
bentuk penyediaan sarana prasarana, program, maupun anggaran
terus diperkuat agar FKUB dapat menjalankan mandatnya secara
optimal. Walaupun tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa masih
terdapat sejumlah FKUB yang memiliki keterbatasan untuk dapat
bertugas sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, FKUB
sebagai forum lintas agama telah mulai dirasakan kehadirannya dan
kebutuhan akan FKUB di daerah telah dirasakan, baik oleh umat
beragama, maupun oleh pemerintah daerah. Pembentukan dan
pemberdayaan FKUB di daerah telah menjadikan FKUB sebagai satu-
satunya wadah komunikasi umat beragama yang hadir di tengah
masyarakat.
Pembentukan FKUB pada awalnya diinspirasi dan meneruskan
semangat forum-forum dialog lintas agama yang ada sebelumnya,
seperti FKKUB (Forum Konsultasi dan Komunikasi Umat Beragama),

Ker k a
MODUL Umat Beragama 35
FKPA (Forum Komunikasi Pemuka Antar Agama), BKSAUA (Badan
Kerjasama Antar Umat Beragama), dan sebagainya28. FKUB adalah
forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah
dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan29.
FKUB memiliki mandat resmi dari pemerintah untuk mengurus
persoalan kerukunan umat beragama, tentu saja tanpa mengabaikan
peran kelompok sipil lainnya. FKUB juga berperan untuk membangun,
memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan
dan kesejahteraan. Tidak hanya mengurus kerukunan umat,
melainkan juga pemberdayaan untuk kesejahteraan. Itu sebabnya,
FKUB sudah seharusnya menjalankan mandatnya secara optimal,
dengan bantuan kontrol dari pemerintah dan seluruh elemen
masyarakat.

C. Kerukunan Umat Beragama di Indonesia

Kerukunan antar umat beragama di Indonesia, menurut Atho


Mudzhar setidaknya didukung oleh lima hal:
1. Ideologi Pancasila
2. Kondisi mayoritas minoritas pemeluk agama
3. Sejarah masuknya agama-agama ke Indonesia secara damai
4. Islam di Indonesia yang mayoritas Sunni dan moderat
5. Kebijakan Pemerintah yang mendukung30.

Bagian penting lain yang menentukan tingkat kerukunan umat


beragama di Indonesia ialah sistem sosial Indonesia dan partisipasi
masyarakat di dalamnya, khususnya para tokoh dan umat beragama
sendiri31.

28 Sebelum terbitnya PBM, di beberapa daerah telah berdiri lembaga lintas agama
serupa. Mereka antara lain adalah Forum Konsultasi dan Komunikasi Umat Beragama
(FKKUB) di DKI Jakarta, Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) di Sulawesi
Utara, Forum Komunikasi Pemuka Agama (FKPA) di Sumatera Utara, dan sebagainya.
Lembaga-lembaga ini dibentuk dan dibiayai oleh masyarakat.
29 Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (6) (Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya,
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008 :37)
30 Atho Mudzhar, Merayakan Kebhinnekaan Membangun Kerukunan, Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2013, hlm. 211
31 Ibid

Kerukunan
36 Umat Beragama MODUL
Indonesia sering dilihat sebagai contoh bagaimana masyarakat
dengan beragam etnik dan agama bisa hidup rukun dengan tanpa
memunculkan masalah yang berarti dalam jangka waktu yang
cukup lama. Penilaian seperti ini mungkin benar jika melihat potret
masyarakat Indonesia pada umumnya yang mementingkan harmoni
dan mempunyai toleransi yang cukup tinggi akan perbedaan di
antara mereka. Meskipun demikian, penilaian seperti itu sebenarnya
tidak sepenuhnya benar, mengingat masyarakat Indonesia sendiri
menyadari akan rentannya hubungan di antara mereka dan juga
mengalami seringnya konflik yang berlatar belakang agama. Oleh
karena itu, membangun kerukunan umat beragama telah lama
menjadi perhatian dan upaya pemerintah, karena hubungan
antarumat beragama di Indonesia bukan saja sering memunculkan
masalah tetapi juga telah menimbulkan konflik berkepanjangan.
Klimak dari hubungan yang tidak baik antara pemeluk agama di
Indonesia ini adalah terjadinya konflik SARA di Ambon dan Poso yang
dinilai banyak orang sebagai konflik berlatar belakang agama, yakni
antara pemeluk Islam dan Kristen. Konflik-konflik ini dikatakan
sebagai konflik agama, karena bukan rahasia lagi bahwa kalangan
yang terlibat di dalamnya telah memakai bendera agama masing-
masing dan menegaskan adanya kepentingan agama yang mengiringi
perjuangan mereka.
Konflik-konflik keagamaan yang ada nampaknya muncul karena
rasa perbedaan dalam hal pemelukan agama dan bahkan rasa
permusuhan karena perbedaan agama yang berkembang bukan saja
di kalangan mereka yang mengalami konflik melainkan juga di antara
mereka para pemeluk agama pada umumnya. Keadaan seperti
itu tentu saja tidak menguntungkan bagi persatuan dan kesatuan
sebagai bangsa, sebab perpecahan bukan saja akan menghambat
pembangunan pada umumnya tetapi juga menghilangkan semangat
untuk membangun itu sendiri. Ini berarti bahwa ketahanan nasional
di bidang agama akan menurun, yang dapat berakibat pada
melemahnya persatuan sebagai bangsa.
Franz Magnis-Suseno (1995) menyatakan bahwa dengan
dasar Pancasila, Indonesia sejak merdeka telah berhasil menjamin
kebebasan beragama dan kesamaan hak warga semua agama sebagai
warga negara dengan prinsip non-diskriminasi dan hidup bersama
umat beragama lainnya secara damai. Arti penting Pancasila ada di

Ker k a
MODUL Umat Beragama 37
dalam prinsip saling menghormati keyakinan agama. Sikap saling
menghormati tersebut merupakan suatu modal amat penting demi
kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Menyadari pentingnya
untuk terus membangun dan memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa, Pemerintah tidak henti-hentinya berupaya membangun
kerukunan dan keharmonisan kehidupan umat beragama.
Agama dalam penyelenggaraan negara dipandang sebagai
salah satu wadah rohaniah bangsa, yang selalu diharapkan agar
senantiasa menjadi penggerak hidup masyarakat sebagai bangsa
yang berketuhanan, sebagai bangsa yang menganut falsafah
Pancasila. Sejak awal pembentukan negara Indonesia, the founding
fathers memandang betapa pentingnya aspek-aspek rohaniah bangsa
kita. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia,
the founding fathers telah merumuskan dan akhirnya sepakat
menetapkan Pancasila sebagai ideologi nasional, didalamnya tersirat
pandangan bangsa yang religius, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hubungan antara agama dan negara dalam praktek
kehidupan kenegaraan Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan antara agama dan
negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara),
dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara). Bentuk
hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat
dianggap sudah selesai dengan sekularismenya, atau pemisahan
antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia
of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya
dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan
lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-
prinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas
pribadi dan organisasi sosial32.
Selanjutnya dikatakan bahwa Indonesia bukan negara agama,
karena tidak berdasarkan agama tertentu, juga bukan negara sekuler
karena tidak memisahkan urusan negara dengan urusan agama.
Dengan keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa dan Maha Kuasa,
menyebabkan berkembangnya doktrin persamaan kemanusiaan

32 The Encyclopedia of Religion, Vol. 13, Macmillan Publishing Company, New York,
page. 159

38 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
atau paham egalitarian, dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya
menjadi nisbi kecuali Tuhan, yang bersifat Maha Kuasa dan Maha
Mutlak, maka musyawarah menjadi keharusan sosial yang sentral
dalam kehidupan publik, termasuk merajut mempererat kerukunan
umat beragama di Indonesia dalam semangat Bhineka Tunggal Ika
sebagai salah satu pilar bangsa. Interpretasi dan pandangan senada
juga dikemukakan Moh. Mahfud MD. Menurutnya, secara yuridis
konstitusional Negara Indonesia bukanlah negara Agama dan bukan
negara sekuler. Indonesia adalah sebuah religious nation state atau
negara kebangsaan yang beragama33.
Lebih lanjut Prof. Mahfud MD menguraikan, Indonesia
adalah negara kebangsaan yang religius yang menjadikan ajaran
agama sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam
penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakatnya.
Pemerintah sejak tahun 1967 telah memfasilitasi dan mendorong
dialog-dialog kerukunan antar umat beragama. Presiden Soeharto
ketika itu menggagas pertemuan musyawarah antar agama di
Jakarta. Saat itu kata ‖kerukunan‖ dan ‖toleransi beragama‖ mulai
digaungkan dalam konteks keindonesiaan. Harus diakui bahwa
kondisi kehidupan umat beragama di Indonesia yang rukun dan
harmonis sejak kemerdekaan bukan hanya karena komitmen politik
pemerintah, melainkan juga karena unsur budaya bangsa yang
terpelihara dari masa ke masa. Bahkan, selama puluhan tahun
bangsa Indonesia telah mendapat pengakuan dan penghargaan
dunia dalam aspek kerukunan umat beragama. Indonesia seringkali
juga dijadikan rujukan dan model kehidupan beragama oleh negara-
negara yang memiliki keragaman agama. Meskipun demikian, dalam
sejarah perjalanan sebagai suatu bangsa dengan kemajemukan yang
sangat besar, Indonesia mengalami berbagai persoalan dan peristiwa
konflik sosial bernuansa agama. Berbagai peristiwa pertikaian
antar kelompok umat bergama telah menjadi catatan kelam yang
memilukan. Peristiwa-peristiwa tersebut seperti telah mencerabut
akar budaya hidup rukun yang telah lama tertanam dalam kehidupan
sosial masyarakat.

33 Moh .Mahfud MD, Politik Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Varia
Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXV No. 290 Januari 2010, hlm. 2

Ker k a
MODUL Umat Beragama 39
Beberapa kasus konflik bernuansa agama, baik yang terkait
hubungan antar maupun intern umat beragama juga sekaligus telah
menjadi batu ujian bagi ketahanan kerukunan dan toleransi umat
beragama di Indonesia. Beberapa kasus konflik antar umat beragama
dalam dua dekade terakhir ini telah menyita energi pemerintah untuk
menyelesaikannya. Di antara konflik tersebut adalah konflik yang
terjadi di Poso pada tahun 1998 sampai sekitar tahun 2002, konflik
di Maluku dan Maluku Utara pada tahun 1998, dan konflik di Sampit
Kalimantan pada tahun 1996.
Secara umum, kasus-kasus konflik sosial keagamaan dalam
skala yang massif tersebut telah selesai dengan baik, namun tidak
dapat dipungkiri berbagai kasus konflik dalam skala yang kecil
tetapi berdampak luas secara sosial politik masih saja terjadi.
Berbagai peristiwa tersebut menunjukan bahwa sebagai sebuah
negara bangsa (nation-state), Indonesia masih sangat rentan
terhadap timbulnya konflik sosial keagamaan yang harus terus
diupayakan untuk secara preventif dapat dicegah. Kerja keras dan
kerjasama semua umat beragama untuk membangun kondisi
keharmonisan umat beragama yang kondusif perlu terus digalang
secara konsisten dan dijadikan sebagai agenda kebangsaan.
Berdasarkan pengalaman dan kajian terhadap berbagai
konflik yang terjadi di Indonesia selama ini, banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik kehidupan beragama di Indonesia.
Beberapa faktor sebagai penyebab terjadinya konflik umat
beragama tersebut meliputi faktor eksogen, endogen, dan relasional.
Faktor eksogen adalah faktor yang berasal dari luar komunitas
atau masyarakat yang mengalami konflik (ofexternal origin) yang
mencakup antara lain, ketimpangan dan ketidakadilan secara
sosial, politik, dan ekonomi yang dirasakan oleh umat beragama
tertentu. Faktor endogen adalah faktor yang berasal dari
dalam komunitas atau masyarakat yang mengalami konflik
(of internal origin), yang mencakup antara lain, pemahaman
keagamaan yang sempit serta fanatisme agama. Sedangkan faktor
relasional adalah faktor yang terkait dengan hubungan antar
komunitas umat beragama, yang meliputi antara lain, pendirian
rumah ibadah, penyiaran agama, perkawinan beda agama, penodaan
agama, mobilitas penduduk, dan ekslusivisme etnis. Ketiga faktor
tersebut saling mempengaruhi dan semakin banyak faktor yang

Kerukunan
40 Umat Beragama MODUL
menjadi sumber penyebab konflik, akan semakin kompleks dan
lama konflik tersebut terjadi.
Negara Indonesia yang sejak awal kemerdekaan merumuskan
negara sebagai suatu negara yang integralistik, tentunya
memperkuat integrasi bangsa dan negara. Upaya untuk memperkuat
integrasi bangsa dan mengurangi munculnya perselisihan dan
konflik dalam masyarakat, revitalisasi ideologi perlu mendapatkan
penekanan sebagai bagian dari penguatan wawasan kebangsaan.
Hal ini dilakukan melalui perumusan operasional ideologi
Pancasila yang lebih akademik dan sekaligus lebih fleksibel serta
sosialisasi Pancasila baik dalam pendidikan formal maupun dalam
masyarakat. Sejalan dengan hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi
munculnya konflik antar warga tentu saja perlu diatasi atau
dihilangkan, seperti ketimpangan ekonomi dan pendidikan.
Munculnya era reformasi, yang sejak awal mendukung
kebebasan, mendorong warga negara untuk mengekspresikan
pendapat, aspirasi dan kepentingan mereka secara bebas dan
terbuka, termasuk ekspresi ideologi yang pada masa Orde Baru
sangat dibatasi atau ditekan. Di antara ekspresi itu ada tindakan yang
berlebihan sehingga melahirkan konflik, perselisihan dan kekerasan
dalam masyarakat, baik yang berlatar belakang politik, ekonomi,
etnis, agama dan sebagainya. Sebagai masyarakat majemuk, sejak
awal bangsa Indonesia selama ini dikenal sebagai masyarakat
beragama yang moderat dan toleran, dan bahkan menjadi contoh
toleransi beragama di dunia. Namun di era reformasi ini, peristiwa
konflik antar-warga, termasuk yang berlatar belakang agama, justru
semakin meningkat dibandingkan dengan pada masa Orde Baru.
Muncul pula ekspresi kebebasan dalam bentuk kekerasan dan
radikalisme, yang justru mengganggu harmoni dan kedamaian dalam
kehidupan bangsa dan negara dan bahkan dapat mengancam NKRI
dan kebhinnekaan. Hubungan interaksi dalam masyarakat yang
mejemuk ini tentunya tidak mudah untuk mewujudkan harmoni dan
kedamaian, karena masing-masing kelompok bisa memiliki aspirasi
dan kepentingan yang berbeda-beda dan bisa berimplikasi kepada
munculnya persaingan. Apalagi jika masing-masing kelompok
mengembangkan politik identitasnya dan egoisme kelompoknya
dengan mengatasnamakan ekspresi kebebasan dan hak-hak asasi
manusia.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 41
Perbedaan, perselisihan, dan konflik sebenarnya hal yang
tak bisa dihindarkan dalam kehidupan masyarakat dan negara,
tetapi jika konflik itu berkembang menjadi kekerasan, maka hal
ini menunjukkan bahwa sebagian bangsa Indonesia masih belum
beradab, dan hal ini bahkan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran
agama yang ada di Indonesia.
Kerukunan antar umat beragama merupakan pilar kerukunan
nasional adalah sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara
terus dari waktu ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama
sendiri berarti keadaan hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi, saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu,
kerukunan hidup antar umat beragama merupakan prakondisi yang
harus diciptakan bagi pembangunan di Indonesia.
Seluruh umat beragama harus memberikan kontribusi yang
nyata bagi pembangunan nasional yang dilaksanakan bangsa
Indonesia. Nilai-nilai religius harus dapat memberikan motivasi positif
dan menjadi arah tujuan dalam seluruh kegiatan pembangunan di
Indonesia. Keyakinan spiritual yang muncul dari ketaatan kepada
agama akan dapat menjadi motor pembangunan yang dapat
diandalkan, sementara nilai-nilai moral pembangunan itu sendiri
tidak pernah dilupakan34.
Berbagai upaya terus dilakukan untuk memperkuat integrasi
nasional dalam proses demokratisasi yang beradab melalui upaya
penguatan wawasan kebangsaan warga, terutama dilakukan oleh
MPR, melalui penguatan empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila,
UUD 1945, NKRI dan kebhinnekaan. Upaya ini dilakukan dengan
revitalisasi ideologi sebagai suatu platform bangsa Indonesia yang
sangat majemuk ini, sementara tingkat pendidikan dan kesejahteraan
mereka secara umum masih rendah yang berakibat terhadap
rendahnya tingkat kesadaran akan harmoni dan integrasi bangsa.
Dalam revitalisasi ini diperlukan rumusan ideologi Pancasila yang

34 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada,


Jakarta, 2013, hlm. 113

Kerukunan
42 Umat Beragama MODUL
lebih akademik dan sekaligus lebih terbuka, sehingga penafsiran
Pancasila tidak akan disakralkan seperti pada masa lalu.
Sebagai upaya untuk penguatan wawasan kebangsaan inilah
agama dapat memberikan kontribusi yang positif dalam revitalisasi
ideologi Pancasila. Hal ini berarti bahwa agama semestinya menjadi
faktor integratif (pemersatu) dan bukan sebaliknya sebagai faktor
disintegratif (pemecah belah) bangsa. Dengan fungsi ini nilai-nilai
agama dan Pancasila menjadi modal sosial bagi harmoni dan integrasi
bangsa. Untuk mewujudkan fungsi ini, diperlukan pemahaman
keagamaan yang moderat dengan memperhatikan kondisi obyek
masyarakat Indonesia yang multi-etnik, multi-agama dan multi-
kultural.
Pemahaman semacam ini akan menjelma menjadi sikap
keberagamaan yang moderat dan toleran terhadap kemajemukan,
bukan sikap keberagamaan yang berwatak absolutis dan radikal.
Sebagai konsekuensinya adalah adanya upaya-upaya counter
(kontra) radikalisme, baik melalui pendekatan keamanaan dan
hukum maupun pendekatan agama (theologis). Pendekatan
keamanan atau hukum saja tidak cukup, terutama bagi radikalisme
ideologis, karena para pelakunya justru merasa bangga dikenakan
hukuman dan menganggap diri mereka sebagai pahlawan. Oleh
karenanya, di samping pendekatan keamanan dan hukum, juga
perlu dilakukan pendekatan teologis yang menekankan pemahaman
ajaran agama yang mengajarkan harmoni dan kedamaian.
Negara mengakui eksistensi lembaga-lembaga keagamaan dalam
negara dan masyarakat. Hanya saja, terdapat perbedaan visi dan
aspirasi di kalangan warga tentang sejauh mana keterlibatan agama
itu dalam negara35. Dalam konteks ini, orientasi warga negara tentang
keagamaan dalam konteks kehidupan negara cukup bervariasi,
secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk.
Pertama, agama sebagai ideologi; pemikiran ini didukung oleh
mereka yang ingin menjadikan agama sebagai ideologi negara, yang
manifestasinya berbentuk pelaksanaan ajaran agama secara formal

35 Di era reformasi ini muncul pula orientasi kelompok yang mendukung sekularisme
dan liberalisme yang berarti pemisahan agama dan negara sepenuhnya seperti di negara-
negara Barat. Mereka menolak pelibatan agama dalam negara dan bahkan menolak
Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan agama atau Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 43
sebagai hukum positif. Orientasi kelompok ini pada agama lebih besar
daripada orientasinya pada wawasan kebangsaan, sehingga ia akan
bisa menimbulkan dilema jika dihadapkan pada realitas bangsa yang
majemuk. Apalagi secara umum kelompok ini memiliki sikap yang
absolutis dan eksklusif dalam beragama, di samping kadang-kadang
melakukan politisasi agama untuk mendukung cita-cita mereka.
Kedua, agama sebagai sumber etika-moral (akhlak), yang
didukung oleh mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih
besar daripada orientasi keagamaan. Orientasi ini hanya mendukung
pelaksanaan etika-moral agama (religio-ethics), dan menolak
formalisasi agama dalam konteks kehidupan bernegara. Posisi agama
sebagai sumber pembentukan etika-moral ini dimaksudkan agar
bangsa ini memiliki landasan filosofis yang jelas tentang etika moral,
tidak hanya berdasarkan kriteria baik dan buruk yang kadang-
kadang bisa sangat subyektif atau sangat temporal.
Ketiga, agama sebagai sumber ideologi. Orientasi pertama
memang sangat idealistis dalam konteks Islam, tetapi kurang
realistis dalam konteks masyarakat dan bangsa Indonesia yang
sangat plural. Sedangkan orientasi kedua sangat idealistis dalam
konteks kemajemuakn di Indonesia, tetapi kurang realistis dalam
konteks agama Islamsebagai agama mayoritas, yang ajarannya tidak
hanya berupa etika-moral melainkan juga sejumlah norma-norma
dasar. Tarikan yang kuat ke arah salah satu orientasi ini akan
mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi yang
berlawanan, dan bahkan akan dapat menimbulkan konflik internal
yang lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah di antara
keduanya, yakni menjadikan agama sebagai sub-ideologi atau sebagai
salah satu sumber ideologi Pancasila.
Orientasi ketiga tersebut lebih realitis dan moderat, karena meski
orientasi ini berupaya melaksanakan etika-moral serta hukum agama
atau prinsip-prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
ia masih tetap mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Karena
Pancasila ini merupakan ideologi terbuka dan fleksibel, maka agama
dituntut untuk memberikan kontribusi dalam penjabaran konsep-
konsep operasional di berbagai bidang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan dunia. Dalam hal inilah nilai-nilai dan norma-norma
agama menjadi input dan legitimasi bagi pembentukan dan penguatan
etika-moral serta sistem nasional dan kebijakan publik. Di samping

Kerukunan
44 Umat Beragama MODUL
itu, orientasi ini mendukung pluralisme dan toleransi yang tinggi
terhadap kemajemukan bangsa ini, sehingga semua warga negara
memiliki kedudukan yang sejajar.
Pelibatan agama dalam penguatan etika-moral (akhlak) bangsa
saat ini sangat dibutuhkan, terutama ketika kondisi akhlak bangsa
ini secara umum masih sangat lemah, seperti maraknya kebohongan,
korupsi, penipuan, kekerasan, radikalisme, pemerkosaan, egoisme,
keserakahan dan sebagainya, baik dalam kehidupan masyarakat
maupun kehidupan politik, hukum dan birokrasi. Demikian pula,
kini semakin banyak terjadi kenakalan remaja, penyalahgunaan
narkoba, perkelaian antar kelompok, pergaulan bebas, pornografi,
pornoaksi, dan sebagainya. Penguatan akhlak ini kini menjadi sangat
penting untuk memperkuat etika politik dalam proses konsolidasi
demokrasi yang sudah berlangsung sejak tahun 2004 tetapi kurang
berjalan dengan mulus, tidak seperti proses transisi demokrasi yang
telah dilewati dengan sukses antara tahun 1998 sampai 200436.
Di samping itu, agama menjadi sumber atau input bagi
pengambilan kebijakan negara, agar peraturan perundang-undangan
dan/atau kebijakan negara itu sejalan atau tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran agama, serta sesuai dengan aspirasi rakyat. Dalam
kenyataannya, ajaran-ajaran agama itu di samping mengandung
nilai-nilai yang bersifat universal, juga mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang bersifat pertikular, dan oleh karenanya, aspirasi
rakyat itu juga adakalanya bersifat umum (universal) dan adakalanya
bersifat khusus (partikular).
Agama adalah suatu unsur mengenai pengalaman yang
dipandang mempunyai nilai tertinggi, yaitu pengabdian kepada
suatu kekuasaan, yang dipercayai sebagai suatu yang menjadi asal
mula segala sesuatu, kemudian yang menambah dan melestarikan
nilai-nilai serta sejumlah ungkapan yang sesuai dengan urusan
pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan upacara yang
simbolis maupun melalui perbuatan yang bersifat perseorangan atau
secara bersama-sama37.

36 Harold Chrouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto, (Singapore: Institute


of Southeast Asian Studies, 2010), hlm. 35; dan Edward Aspinal and Marcus Mietzner (eds.),
Problems of Democratizations in Indonesia: Elections, Institutions and Society, (Singapore:
ISEAS, 2010), hlm.17.
37 Inu Kencana Syafei, Etika Pemerintahan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 120

Ker k a
MODUL Umat Beragama 45
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam
diri seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang
berkaitan dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen
kognitif persamaan terhadap agama sebagai komponen aktif dan
perilaku terhadap agama sebagai komponen konatif. Di dalam sikap
keagamaan antara komponen kognitif, afektif dan konatif saling
berintegrasi sesamanya secara komplek.
Ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman
oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-
norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur guna
pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam
upaya memenuhi ketaatan kepada Tuhan. Tetapi dalam kehidupan
nyata banyak dijumpai penyimpangan atau perubahan dari konstatasi
di atas, baik secara individual maupun kolektif38.

38 Djalaluddin dan Ramayulis, Pengantar… hlm.129

46 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
●●●
Agama-Agama
Di Indonesia

5
A. Agama-Agama di Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya dengan keragamannya,


termasuk keragaman keyakinan keagamaan yang dijalankan
masyarakatnya. Selain agama-agama kategori mondial atau
disebarluaskan di Indonesia dan berbagai negara lain di dunia,
sejumlah masyarakat Indonesia juga meyakini dan menjalankan
keyakinan keagamaan lokal (local religions atau indigenous religions).
Berbeda dengan agama-agama seperti Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, dan Khonghucu, agama-agama lokal ini lahir dan
berkembang dalam bingkai sosial kebudayaan masyarakat lokal di
tanah air. Sebagai agama yang lahir di lingkungan budaya setempat,
keyakinan keagamaan lokal ini tidak terlihat seperti agama-agama
besar lainnya, sebab agama-agama ini menjadi unsur penting dari
kebudayaan setempat. Beberapa diantaranya seperti agama Aluk
Todolo (Tana Toraja), agama Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten),
Agama Djawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat), Agama Buhun (Jawa
Barat), Agama Kejawen (Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur),
Agama Parmalim (Sumatera Utara), agama Kaharingan (Kalimantan),
Agama Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara), Agama Tolottang
(Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok), Naurus (pulau Seram,
Maluku), dan Aliran Mulajadi Nabolon Marapu (Sumba).
Namun berbeda dengan agama-agama lokal, masyarakat
Indonesia banyak menganut sejumlah agama mondial. Diantaranya:

MODUL Ker k a
Umat Beragama 47
1. Agama Islam
Agama Islam merupakan agama yang disandarkan pada
risalah kenabian yang disampaikan melalui Nabi Muhammad
SAW. Agama ini merupakan agama dengan penganut terbanyak
di Indonesia. Agama ini disebarkan mulai abad ke-12 M melalui
jalur perdagangan, politik, dan interaksi penyiar Muslim asal
Timur Tengah dengan masyarakat lokal Indonesia. Agama ini
banyak dianut masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi.

Nama Kitab Suci : • Al-Qur‘an


Nama Pembawa : • Nabi Muhammad SAW
Permulaan : • Sekitar 1400 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : • Masjid
Hari Besar Keagamaan : • Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya
Idul Adha, Tahun Baru Hijrah,
Isra‘ Mi‘raj
Jumlah Penganut : • 207.176.162 jiwa (87,18%)

2. Agama Kristen Katolik


Agama Katolik adalah agama yang dianut sebagian
masyarakat Indonesia dengan terbanyak diantaranya di kawasan
Nusa Tenggara Timur, Papua, sebagian wilayah Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan Sumatera Utara. Agama ini diperkirakan mulai
dianut masyarakat Indonesia di abad ke-14 M atau 15 M seiring
interaksi masyarakat Nusantara dengan para penjelajah asal
Eropa.

Nama Kitab Suci : • Alkitab


Nama Pembawa : • Yesus Kristus
Permulaan : • Sekitar 2000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : • Gereja
Hari Besar Keagamaan : • Hari Natal, Hari Jumat Agung, Hari
Paskah, Kenaikan Isa Almasih
Jumlah Penganut : • 6.907,873 jiwa (2,91%)

Kerukunan
48 Umat Beragama MODUL
3. Agama Kristen Protestan
Agama Kristen Protestan merupakan agama dengan
penganut terbanyak kedua di Indonesia setelah Islam. Agama
ini disebarkan di Indonesia seiring berlangsungnya interaksi
masyarakat Indonesia dengan penjelajah Eropa Barat melalui
peran misionaris ke berbagai daerah. Kendati hadir di berbagai
wilayah di Indonesia, umat agama Protestan terkonsentrasi di
Papua, Sulawesi Utara, dan Papua Barat, Nusa Tenggara Timur,
dan Sumatera Utara.

Nama Kitab Suci : • Alkitab


Nama Pembawa : • Yesus Kristus
Permulaan : • Sekitar 2000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : • Gereja
Hari Besar Keagamaan : • Hari Natal, Hari Jumat Agung, Hari
Paskah, Kenaikan Isa Almasih
Jumlah Penganut : • 16.528.513 jiwa (6,96%)

4. Agama Hindu
Hindu merupakan agama dunia pertama yang mulai
mendapatkan tempat di lingkungan masyarakat Indonesia.
Agama yang disyiarkan pertama kali di India ini kini banyak
terkonsentrasi di Bali, meski juga memiliki sebaran pengikut
cukup banyak di berbagai wilayah di Indonesia seperti Sumatera,
Jawa, Lombok, dan Kalimantan.

Nama Kitab Suci : • Weda


Nama Pembawa : –
Permulaan : • Sekitar 3000 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : • Pura
Hari Besar Keagamaan : • Hari Nyepi, Hari Saraswati, Hari
Pagerwesi
Jumlah Penganut : • 4.012.116 jiwa (1,69%)

Ker k a
MODUL Umat Beragama 49
5. Agama Buddha
Seperti halnya agama Hindu, agama Buddha merupakan
salah satu agama pertama yang dianut masyarakat Nusantara.
Bersama-sama agama Hindu, agama Buddha bertahan cukup
lama di Indonesia dan berperan besar membangun peradaban
Indonesia klasik. Selain di Jakarta, penganut agama ini banyak
tersebar di daerah-daerah Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan
Barat.

Nama Kitab Suci : • Tri Pitaka


Nama Pembawa : • Siddharta Gautama
Permulaan : • Sekitar 2500 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : • Vihara
Hari Besar Keagamaan : • Hari Waisak, Hari Asadha, Hari
Kathina
Jumlah Penganut : • 1.703.254 jiwa (0,72%)\

f. Agama Khonghucu
Agama Khonghucu merupakan salah satu agama yang
mendapat tempat di sebagian masyarakat Indonesia. Kebangunan
paling penting sejarah agama Khonghucu di Indonesia adalah
saat penganut agama ini mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan
(THHK) di Jakarta tahun 1900-an dalam membina dan melayani
umat agama ini. Sejak saat itu, agama ini berkembang di
lingkungan masyarakat Indonesia terutama di wilayah Jakarta
dan Kalimantan.

Nama Kitab Suci : • Si Shu Wu Ching


Nama Pembawa : • Kong Hu Cu
Permulaan : • Sekitar 2500 tahun yang lalu
Tempat Ibadah : • Li Tang / Klenteng
Hari Besar Keagamaan : • Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh
Jumlah Penganut : • 117.091 jiwa (0,05%)

Kerukunan
50 Umat Beragama MODUL
Tidak hanya dianut dan dijalankan sebagai keyakinan
individu, agama-agama ini dijalankan dan berpengaruh besar
dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Secara sosial
historis misalnya, agama-agama ini telah berperan sebagai spirit
pembangunan peradaban di kawasan Nusantara. Agama Hindu
dan Buddha sebagai dua agama tertua di Indonesia misalnya
berperan besar dalam membangun literasi, sastra, pertanian, seni,
dan politik di sejarah awal Nusantara. Dari sisi politik, agama
Hindu dan Buddha berperan besar melahirkan sejumlah kerajaan
besar di Nusantara seperti Kerajaan Majapahit, Kerajaan Airlangga,
Kerajaan Sriwijaya dan lain-lain. Di sisi seni rupa, kedua agama ini
berperan besar melahirkan bangunan arsitektur keajaiban dunia
seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan berbagai candi
lain di Nusantara. Begitu juga Islam. Agama ini berperan besar
melahirkan sejumlah kerajaan penting masyarakat Nusantara dalam
bentuk kesultanan Islam seperti Kesultanan Demak, Kesultanan
Pasai, Kesultanan Banten, Kesultanan Mataram. Dengan demikian,
agama-agama turut berperan memotivasi dan mewarnai berbagai
aspek kehidupan masyarakat tanah air sejak dulu.

B. Agama-Agama dan Kontribusinya bagi Kebudayaan


Indonesia

Saat Nusantara mengalami fase sejarah penjajahan dari


kolonialisme Barat dan berbagai dampak penjajahan tersebut,
agama-agama melalui berbagai tokoh agama maupun kelompok
keagamaan juga berperan besar melakukan gerakan perlawanan
anti penjajahan sekaligus mendorong kemajuan hidup masyarakat.
Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Kapitan Pattimura,
Sisingamangaraja XII, I Gusti Ketut Jelantik, I Gusti Ngurah Rai
adalah individu-individu terbaik dari berbagai kelompok agama
yang berperan besar melakukan perlawanan terhadap kolonialisme
di tanah air. Selain itu, berbagai organisasi keagamaan seperti
Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Parisada Hindu Dharma
Indonesia selain berbagai organisasi nasionalis yang diisi
banyak individu dari berbagai latar belakang keyakinan agama

Ker k a
MODUL Umat Beragama 51
juga menjadikan agama-agama begitu berperan besar dalam
membangun kesadaran berbangsa masyarakat di tanah air. Dengan
demikian, bisa dikatakan jika nilai-nilai luhur agama menjadi
motivasi sekaligus pendorong utama masyarakat tanah air dari
berbagai latar belakang untuk hidup bersama-sama sebagai warga
sebuah kawasan politik kebangsaan dengan mengedepankan sikap
toleransi dan penghargaan terhadap satu sama lain.

Kerukunan
52 Umat Beragama MODUL
●●●
Isu-Isu Kerukunan
Umat Beragama

6
Dalam memelihara kerukunan hidup antar umat beragama,
seringkali ditemukan sejumlah kasus yang menjadi isu penting
dalam memelihara kerukunan hidup antar umat beragama. Beberapa
diantaranya:

1. Pendirian Rumah Ibadah


Persoalan rumah ibadah seringkali menjadi perdebatan
antar umat beragama seperti saat pendirian ibadah umat
agama Kristen berupa gereja di wilayah mayoritas Muslim,
pembangunan masjid umat Islam di wilayah mayoritas Kristen.
Jika dihadapkan pada kasus demikian, maka penyelesaiannya
bisa dengan merujuk pada aturan yang telah diterbitkan
pemerintah, yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun
2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/
Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama,
dan Pendirian Rumah Ibadat.
Di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri di atas, disebutkan bahwa rumah ibadah
disedefinisikan sebagai bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu
yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk
masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk
tempat ibadat keluarga. Sementara itu, pendirian rumah ibadat

MODUL Ker k a
Umat Beragama 53
didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan
umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/
desa. Selain itu, pendirian rumah ibadat juga dilakukan dengan
tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan
perundang-undangan. Untuk itu, pendirian rumah ibadah
diharuskan memenuhi sejumlah persyaratan, baik administratif,
teknis bangunan, maupun persyaratan khusus. Persyaratan
khususnya yaitu:
1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat
setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah;
2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang
yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
3. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota; dan
4. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama
kabupaten/kota.
Sementara itu, jika persyaratan 90 nama dan KTP
pengguna rumah ibadat terpenuhi tetapi syarat dukungan
masyarakat setempat belum terpenuhi, maka pemerintah daerah
berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan
rumah ibadat. Permohonan pendirian sendiri diajukan oleh
panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota
untuk memperoleh IMB rumah ibadat. Panitia pembangunan
rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama,
ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat. Kemudian,
Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari
sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia.

2. Mengucapkan selamat Hari Raya Agama lain


Ucapan Selamat hari raya agama lain seringkali
menimbulkan silang pendapat di kalangan pemeluk agama
di Indonesia. Mengucapkan Selamat Hari Raya Natal yang
diucapkan seorang Muslim kepada penganut agama Kristen
misalnya dianggap haram oleh sementara orang dan dinilai sesat
dan menyesatkan siapa yang membolehkannya. Itu yang biasa

Kerukunan
54 Umat Beragama MODUL
terdengar di Indonesia, tetapi tidak demikian di kalangan ulama
di Timur Tengah. Berikut tulisan ulama besar Suriah Mustafa
az-Zarqa‘ yang termuat dalam kumpulan fatwanya ―Fatwa
Mustafa az-Zarqa‖. Fatwa-fatwa itu dihimpun oleh Majed Ahmad
Makky dan diantar oleh ulama besar Mesir kenamaan: Yusuf
al-Qardhawy. Al-Qardhawy mengakui az-Zarqa‘ sebagai gurunya
dan merasa bangga menulis pengantar tentang kumpulan fatwa
itu. Fatwa ini adalah jawaban az-Zarqa‘ kepada Anas Muhammad
ash-Shabbagh yang bermukim di Saudi Arabia. Terjemahannya
sebagai berikut:
―Menjawab pertanyaan Anda tentang ucapan selamat yang
diucapkan seorang Muslim berkaitan dengan kelahiran Isa
(Natal) dan Tahun Baru Masehi, maka menurut hemat saya:
Ucapan Selamat Natal seorang Muslim kepada kenalannya
yang menganut agama Nasrani termasuk dalam anjuran
berbudi baik dalam interaksi dengan mereka. Sungguh
Islam tidak melarang kita menyangkut harmonisasi
hubungan beragama dan perlakuan baik semacam ini
terhadap mereka, apalagi yang mulia al-Masih dalam
pandangan aqidah kita adalah salah satu Rasul Allah
yang agung dan termasuk satu dari lima Nabi yang amat
diagungkan. Siapa yang menduga mengucapkan selamat
kepada mereka pada hari kelahiran Isa as. Haram—siapa
yang menduga demikian—maka dia salah karena tidak ada
hubungan dalam ucapan itu dengan rincian aqidah kaum
Nasrani dan pandangan mereka terhadap Isa as.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika ada jenazah seorang


Yahudi yang diusung di hadapan Nabi saw., maka beliau
berdiri. Berdirinya beliau itu merupakan ekspresi dari
rasa agung dan dahsyat terhadap kematian—tidak ada
hubungannya dengan aqidah sosok Yahudi yang mati itu.

Muslim dituntut untuk menggambarkan kebaikan Islam


dan moderasinya terhadap Non-Muslim. Di samping itu,
keadaan kaum Muslim dewasa ini yang sungguh lemah
di antara negara-negara di dunia ini serta konspirasi dan
tuduhan bahwa kaum Muslim adalah teroris, ating , dan

Ker k a
MODUL Umat Beragama 55
lain-lain—kesemuanya menuntut kaum Muslim mengubah
image buruk itu, apalagi pada Hari Raya Idul Fitri dan
Idul Adha bisa jadi seorang Muslim memiliki teman-teman
yang mengucapkan selamat kepadanya, sehingga bila ia
tidak membalas sikap baik mereka itu dengan berkunjung
kepada yang berkunjung kepadanya pada Hari Lebaran,
maka sikap itu akan semakin mendukung tuduhan yang
ditujukan kepada kaum Muslim,‖ demikian antara lain
Mustafa az-Zarqa‘.

Saling mengucapkan selamat, bahkan kunjung-


mengunjungi itulah yang dilakukan juga oleh pimpinan al-
Azhar Mesir. Apakah mereka salah dan sesat? Saya menduga
keras bahwa ulama-ulama itu jauh lebih mengerti agama
dan lebih bijaksana daripada mereka yang mengharamkan
ucapan Selamat Natal, apalagi menyesatkan siapa yang
membolehkan mengucapkan Selamat Natal itu. Semoga
hidayah Allah tercurah kepada kita semua. (http://
quraishshihab.com/article/selamat-natal-2/)

3. Bertetangga dengan Non Muslim


Hubungan bertetangga menjadi salah satu perintah dalam
Alquran dan dicontohkan Rasulullah SAW. Setiap Muslim
diminta untuk berbuat baik kepada tetangganya. ―Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak,
karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil,
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.‖
(QS an Nisaa‘: 36).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Ali Ibnu Abu Talhah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Makna dari jari dzil qurba
adalah orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Sementara,
jaril junub adalah tetangga yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan. Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid,
Maimun ibnu Mihran, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Muqatil
ibnu Hayyan, dan Qatadah.

56 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf al-Bakkali sehubungan
dengan makna ayat: (berbuat baiklah kepada) tetangga yang
dekat. Tetangga dekat yang dimaksudkan di sini, yakni tetangga
yang Muslim. Sementara itu, (berbuat baiklah kepada) tetangga
yang jauh adalah tetangga yang beragama Yahudi dan Nasrani.
Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Adanya riwayat ini menjadi rujukan bagi ating ka berbuat baik
dengan tetangga harus dilakukan tanpa membedakan agama
mereka.
Banyak hadis yang menganjurkan seorang Muslim untuk
berbuat baik kepada tetangga. Imam Ahmad meriwayatkan
dari Abdullah Ibnu Amr Ibnul As bahwa Nabi SAW bersabda,
―Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang yang paling baik
kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah
orang yang paling baik kepada tetangganya.‖
Nabi SAW bahkan melarang kita untuk menyakiti tetangga
saat menjawab pertanyaan tentang kategori dosa yang paling
besar. Dilansir dari HR Imam Ahmad, disebutkan tentang
sahabat Ibnu Mas‘ud yang bertanya tentang dosa paling besar.
Rasulullah SAW menjawab, ―Bila kamu menjadikan tandingan
bagi Allah padahal Dia yang menciptakan kamu. Bila kamu
membunuh anakmu karena khawatir dia akan bersamamu, bila
kamu berzina dengan istri tetanggamu.‖
Banyaknya anjuran untuk berbuat baik kepada tetangga
dan larangan untuk menyakitinya, membuat Nabi SAW sempat
berprasangka jika Jibril akan menurunkan wahyu tentang
hak mawaris bagi tetangga. Meski demikian, wahyu tersebut
tidak ating. Hadis Riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari
Abdullah Ibnu Umar mengungkapkan, Rasulullah SAW telah
bersabda, ―Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai
tetangga, hingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya
hak mawaris.‖
Prof Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan,
ada ulama yang menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni
tinggal di sekeliling rumah sejak rumah pertama hingga rumah
ke-40. Ada juga ulama yang tidak memberi batasan tertentu
dan mengembalikannya kepada situasi dan kondisi setiap
masyarakat.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 57
Namun, dewasa ini sering kali ada tetangga yang tidak
dikenal namanya atau bisa jadi ada yang tidak seagama.
Kendati demikian, semua tetangga wajib mendapat perlakuan
baik. Ikut bergembira dengan kegembiraannya, menyampaikan
belasungkawa karena kesedihannya, serta membantunya ketika
mengalami kesulitan. Rasulullah SAW bahkan bersabda kepada
sahabat, Abu Dzar al Ghifari, ―Wahai Abu Dzar, apabila engkau
(keluargamu) memasak daging, perbanyaklah kuahnya dan
berilah tetanggamu.‖ (HR Muslim).
Kisah dari Ulama Salaf Hasan Al-Bashri pun bisa menjadi
rujukan bagi kita dalam bertetangga. Alkisah, dia menahan diri
untuk tidak menggugat tetangganya yang beragama Yahudi.
Padahal, setiap hari rumah Imam Hasan terkena pembuangan
air dapur rumah tetangganya.
Pada satu hari, Hasan Al-Bashri sakit. Tetangga Yahudi
itu pun menjenguk dan kaget dengan bau tidak sedap yang
menyeruak masuk ke dalam rumah sang imam. Sontak Yahudi
itu bertanya, ―Ini bau apa?‖ Hasan Al-Bashri menjawab, ―Air
dari rumahmu.‖ ―Kenapa tidak bilang, sudah berapa lama ini
terjadi?‖ Hasan Al-Bashri pun menjawab ringan, ―Sudah 11
tahun.‖ Yahudi itu malu atas kesalahannya. Dia lantas berikrar
untuk masuk agama Islam.

Kerukunan
58 Umat Beragama MODUL
●●●
Penutup

7
1. Agama dapat mempersatukan perbedaan kultur dalam
masyarakat yang majemuk, sehinngga agama sangat penting
dan sangat berperan dalam membentuk dan membangaun
tatanan masyarakat menjadi lebih teratur, terarah dan lebih
maju karena ajaran agama mampu menciptakan kerukunan
kultur dan memperbaiki kualitas pergaulan pada orang-orang
yang memiliki perbedaan agama pada masyarakat yang majemuk
agar senantiasa hidup berdampingan tanpa ada rasa iri, dengki,
merasa paling benar dan lain-lain.
2. Ukhuwah (persaudaraan) banyak dibicarakan dalam ayat
Alqur‘an, dan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa ukhuwah
islamiyah, yaitu ukhuwah ‘ubudiyah, insaniyah, wathaniyah wa
an-nasab, dan ukhuwah fi din al-Islam.
3. Persaudaraan atau kerukunan menjadi sesuatu yang sangat
penting dalam menjaga kelangsungan bumi yang beragam
adanya, dalam hal ini diperlukan pemahaman kemanusiaan
(sosial masyarakat) antara satu pihak dengan pihak lainnya.
4. Keberagaman yang muncul di dunia ini merupakan sunnatullah
demi kelestarian hidup dan demi mencapai tujuan kehidupan
makhluk di pentas bumi, yaitu mana yang paling bertaqwa di
sisi Allah SWT.

Ker k a
MODUL Umat Beragama 59
B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Meteri Dalam Negeri Nomor
9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/wakil kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 298 Tahun 2017 tentang
Pedoman Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil

Ker k a
MODUL Umat Beragama 60

Anda mungkin juga menyukai