Kerukunan
Umat
Beragama
●●●●●
Tim Penyusun
• Abdul Aziz Siswanto
• Siti Murdlijati Fauziah
Kerukunan
Umat Beragama MODUL
●●●
Penyuluhan Kerukunan
Umat Beragama
Ker k a
MODUL Umat Beragama 1
Fungsi Penyuluh Agama Islam Dalam Hal Kerukunan
Beragama
1. Fungsi informatif/edukatif
Penyuluh agama memberikan informasi tentang kerukunan
umat beragama, yang meliputi pengertian kerukunan, umat,
ukhuwah, dan sebagainya. Termasuk masalah konflik dan
faktor-faktor penyebabnya. Kemudian penyuluh agama
memberikan edukasi bahwa kerukunan umat beragama
merupakan sesuatu hal yang penting untuk dipahami dan
dijalankan dalam kehidupan sosial.
2. Fungsi Konsultatif
Penyuluh agama menerima konsultasi atau pengaduan-
pengaduan dari masyarakat berkenaan dengan masalah
kerukunan agama yang terjadi di lingkungan mereka.
Seperti ketika terjadinya konflik beragama atau hal lain yang
mengganggu kerukunan umat beragama.
3. Fungsi Advokatif
Penyuluh agama membantu meredakan, mengatasi, dan
menyelesaikan masalah-masalah kerukunan beragama yang
terjadi di masyarakat, baik yang bersifat intern umat beragama
maupun yang bersifat ekstern umat beragama.
Kerukunan
2 Umat Beragama MODUL
●●●
Keharusan
Hidup Rukun
1
A. Latar Belakang
MODUL Ker k a
Umat Beragama 3
Puncak dari terjadinya hubungan yang tidak baik antara
pemeluk agama adalah terjadinya konflik SARA (Suku, Agama,
Ras, dan Antar golongan) yang terjadi pada masyarakat di berbagai
daerah, yang dinilai banyak orang sebagai konflik berlatar belakang
agama. Konflik-konflik ini dikatakan sebagai konflik agama, karena
bukan rahasia lagi bahwa kalangan yang terlibat di dalamnya telah
memakai bendera agama masing-masing dan menegaskan adanya
kepentingan agama yang mengiringi perjuangan mereka.
Konflik keagamaan yang terjadi karena adanya rasa perbedaan
pemelukan agama dan rasa permusuhan yang berkembang bukan saja
di kalangan mereka yang mengalami konflik, tetapi juga melibatkan
para pemeluk agama lainnya. Padahal, nilai-nilai universalitas agama
semestinya menjadi faktor integratif dan bukan sebaliknya sebagai
faktor disintegratif bangsa. Dalam kerangka itulah, nilai-nilai agama
sesungguhnya menjadi modal sosial bagi perekat integrasi bangsa.
Untuk mewujudkan fungsi ini, diperlukan pemahaman keagamaan
secara komprehensif dengan memperhatikan kondisi masyarakat
Indonesia yang multikultural.
Dalam ajaran Islam, telah dikemukakan berbagai pernyataan
ayat maupun Hadis yang menegaskan tentang toleransi oleh karena
itu, toleransi pada asalnya bukanlah gagasan barat, melainkan konsep
universal al-Quran1. Maka dalam hal ini, seorang muslim dapat
memahami adanya pandangan yang berbeda dengan pandangan
dalam agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar
kehendak ilahi, dan dalam hal ini memerlukan sikap yang disebut
kehidupan yang rukun. Oleh karena itu, Islam telah memperkenalkan
bangunan masyarakat yang rukun yang dapat dilihat dari aspek
akidah, sosial dan pranata budaya.
Kerukunan umat beragama merupakan suatu hal yang
menggambarkan kemajemukan bangsa sebagai rahmat. Perbedaan
sebagai keniscayaan merupakan kekuatan yang menopang upaya
pembangunan manusia Indonesia dalam menuju cita–cita bangsa.
Kerukunan umat beragama bukan suatu hal yang terjadi dengan
sendirinya tanpa kesadaran dan upaya dari berbagai pihak untuk
Kerukunan
4 Umat Beragama MODUL
mewujudkannya. Kerukunan bukanlah barang jadi akan tetapi
memerlukan proses sosialisasi dan internalisasi. Maka dalam rangka
itulah diperlukan panduan Bimbingan Penyuluhan Kerukunan Umat
Beragama.
Penyusunan modul Bimbingan Penyuluhan Kerukunan Umat
Beragama bagi Penyuluh Agama Islam Non PNS ini tentunya
diharapkan menjadi bahan bagi Penyuluh Agama Islam Non PNS
dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyuluh, untuk memberikan
penerangan kepada masyarakat terkait dengan Kerukunan Umat
Beragama, baik dalam perspektif Agama Islam, sebagaimana
tercantum dalam Alqur‘an dan Hadits, maupun dalam perspektif
regulasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, seiring dengan Tugas Penyuluh Agama Islam Non PNS
sebagaimana diatur dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor
298 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyuluh Agama Islam Non
Pegawai Negeri Sipil, yang salah satu tugasnya adalah memberikan
penyuluhan kepada masyarakat tentang kerukunan umat beragama.
C. Program Penyuluhan
MODUL Ker k a
Umat Beragama 5
1. Membuat peta da‘wah guna menyusun klasifikasi dakwah dilihat
dari tipologi umat serta kebutuhan model dakwah
2. Melakukan analisis terhadap perkembangan data jumlah
penduduk berdasarkan agama
3. Membuat program kegiatan melalui bentuk kerjasama dengan
berbagai stakeholder yang ada di wilayah dakwah.
4. Melakukan sosialisasi melalui pendekatan komunitas tentang
makna dan, landasan dan tujuan kerukunan beragama.
5. Melakukan internalisasi tentang penyusunan konsep, praktik
dan evaluasi kerukunan umat beragama dalam pelaksanaan
dakwah sehingga masyarakat menyadari bahwa gagasan
kerukunan bukanlah sesuatu yang ditempelkan akan tetapi
merupakan hal yang melekat dalam ajaran Islam.
6. Melakukan pemberdayaan terhadap pemahaman, penghayatan
dan pengamalan ajaran Islam terhadap berbagai penduduk di
daerah.
7. Melakukan berbagai simulasi tentang gagasan kerukunan umat
beragama pada masyarakat mayoritas maupun minoritas umat
Islam.
D. Metode Penyuluhan
Kerukunan
6 Umat Beragama MODUL
dan penentang kerukunan.
Secara umum kegiatan penyuluhan kerukunan ini bisa
dilakukan dengan berbagai metode, yang disesuaikan dengan tujuan
dan kondisi peserta penyuluhan, yaitu dengan metode sebagai
berikut :
1. Bil hikmah (dengan safari dakwah, bakti social, menulis,
merekam audio untuk disiarkan di radio, membuat video untuk
diupload melalui internet dan pendampingan terhadap masalah
umat, serta melalui dinamika kelompok) tentang kerukunan
umat beragama. Metode bil hikmah diharapkan dapat
menggugah kesadaran rasionalitas terhadap kegiatan dakwah
sehingga mendorong tumbuhnya rasa ingin tahu (curiositiy)
terutama di kalangan kelompok masyarakat remaja, mahasiswa
dan terpelajar.
2. Mau‟idzhatil Hasanah (penyuluhan, konsultasi, ceramah
monologis, tutorial, maupun audio visual) tentang kerukunan
umat beragama. Dalam mau‟idhzatull hasanah dikembangkan
pendekatan personal sehingga potensi kerenggangan sosial
dapat di atasi melalui program bimbingan dan penyuluhan.
3. Jaadilhum billatii hiya ahsan (ceramah dialogis, debat, diskusi,
kajian/seminar/workshop) tentang kerukunan umat beragama.
MODUL Ker k a
Umat Beragama 7
membuka diri mencari kebenaran yang lain namun pada
saat yang sama membuka peluang kerjasama dalam hal yang
berkenaan dengan kegiatan yang bersifat pranata sosial untuk
mendorong tumbuhnya keinginan untuk menuju kepada cita-
cita abadi yang diajarkan semua agama.
F. Laporan Kegiatan
Kerukunan
8 Umat Beragama MODUL
●●●
Pengertian
2
Tentang Kerukunan
Umat Beragama
A. Pengertian Kerukunan
Ker k a
MODUL Umat Beragama 9
Kata ―rukun‖ dalam pengertian sehari-hari, dan kerukunan
memiliki arti damai dan perdamaian. Berdasarkan pengertian ini
jelas bahwa kata kerukunan hanya digunakan dan berlaku dalam
pergaulan sehari-hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa kerukunan
ialah hidup damai dan tentram saling toleransi antara masyarakat
yang beragama sama maupun berbeda, kesediaan mereka untuk
menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok
lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang
diyakini oleh masing-masing masyarakat, dan kemampuan untuk
menerima perbedaan.
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna
―baik‖ dan ―damai‖. Hakikatya hidup bersama dalam masyarakat
dengan ―kesatuan hati‖ dan bersepakat untuk tidak menciptakan
perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850). Apabila
pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka ―kerukunan‖ adalah
sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.
Kerukunan (dari rukun, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-
tiang yang menopang rumah, penopang yang memberi kedamaian
dan kesejahteraan kepada penghuninya), secara luas bermakna
adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang
walaupun mereka berbeda secara suku, agama, dan golongan.
Istilah kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk
menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan, serta
kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama
dengan damai serta tentram. Adapun langkah-langkah untuk
mencapai seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling
terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.
Rukun dalam arti kata sifat adalah baik atau damai, kerukunan
hidup umat beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak
bertengkar walau berbeda agama. Kerukunan antar umat beragama
dalam pandangan Islam (seharusnya) merupakan suatu nilai yang
terlembagakan dalam masyarakat.
B. Pengertian Umat
Kerukunan
10 Umat Beragama MODUL
Samir Karam ke dalam Bahasa Arab, ada juga yang mengartikannya
sebagai negara, sebagaimana yang tercantum dalam Mu‟jam al-
Falsafi, yang disusun oleh Majma‘ al-Lughah al-Arabiyyah (Pusat
Bahasa Arab) Kairo tahun 1979.
Pengertian-pengertian tersebut di atas sebenarnya dapat
mengakibatkan kerancuan pemahaman terhadap konsep umat di
kalangan umat Islam atau di dalam Alqur‘an. Oleh karena itu, perlu
kiranya mendalami lebih jauh hakikat makna dan konsep umat,
khusunya yang dimaksudkan oleh kitab yang berisi petunjuk bagi
seluruh manusia, yakni Alqur‘an2.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 11
Untuk lebih jauh memahami makna bahasa dari kata
―umat‖, M. Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan bahwa, kata
―umat‖ ini terambil dari kata (amma-yaummu) yang berarti
menuju, menumpu dan meneladani, dari akar kata yang sama
kemudian lahir kata um yang berarti ―ibu‖ dan imam yang artinya
―pemimpin‖, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan, dan
harapan6.
6 Ar-Raghib al-Asfahani, Mu‟jam Mufradat fii al-Fadl Alquran, Beirut, Dar al-Ma‘rifah,
hlm. 33.
7 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, hlm. 327.
8 Muhammad ‗Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafaasir, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan
pertama, hlm. 132.
Kerukunan
12 Umat Beragama MODUL
3. Kata umat dalam ayat Alqur’an
Kata umat dalam bentuk mufrad (tunggal) disebut
sebanyak lima puluh dua kali di dalam Alqur‘an9. Setiap kata
dalam Alqur‘an selalu memiliki banyak sekali keunikan serta
menyimpan kedalaman makna, termasuk kata umat. Beberapa
ayat yang menyebut kata ummat, terlalu jauh jika dikatakan
mewakili, namun sekiranya dapat memberikan sedikit gambaran
kepada kita mengenai kandungan makna, fungsi, dan tujuan
dari Alqur‘an dengan menggunakan kata ummat.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 13
setidaknya tidak disebutkan. Menurut ash-Shabuni, asalnya
adalah kaana an-nasu ummatan wahidah „ala al-imani
mutamassikiina bi al-haq fakhtalafuu… (Manusia itu adalah
umat yang satu di atas keimanan, berpegang teguh kepada hak
lalu kemudian mereka berselisih…)10.
Hal ini selaras dengan apa yang dikutip oleh Ibn Katsir
yang diriwayatkan Ibn Jarir dari Ibn Abbas bahwasannya antara
Nuh dan Adam itu berselang sepuluh generasi, semuanya
berpegang kepada syariat Allah SWT, barulah setelah itu terjadi
perselisihan hingga Allah SWT mengutus para Nabi untuk
memberi peringatan dan kabar gembira kepada mereka11. Jadi
bisa ditarik kesimpulan bahwa ummat dalam ayat ini yang
dimaksud adalah syariat atau dalam kata lain agama.
14 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
berikutnya setelah mereka, dan seterusnya12. Demikianlah
umat dalam konteks ayat ini memiliki makna generasi.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 15
Keempat, Alqur‘an pun menyebut binatang dengan kata ―umat‖,
sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-An‘am :38.
16 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
Berdasarkan ayat tersebut, Alqur‘an dengan tegas
menyebut Nabi Ibrahim dengan kata umat. Menurut Syaikh
Mustafa al-Maraghi, ummat adalah al-jama‟ah al-katsiirah;
yakni kelompok yang terdiri dari banyak orang. Menurutnya,
Nabi Ibrahim disebut dengan kata umat, karena beliau
telah memiliki dan mengumpulkan banyak keutamaan dan
kesempurnaan. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan
bahwa yang disebut umat itu tidaklah harus banyak jumlahnya
secara dzat (fisik) saja. Namun sebaliknya, sekalipun hanya
satu orang, jika memang memiliki banyak sifat-sifat mulia,
maka dalam konteks ini tidak keliru jika disebut umat.
14 Nuredin Ceci, Inter Religious Tolarence Among the People of Elbasan, Mediterranian
Journal of Social Sciences vol.3 (3) September 2012, ISSN 2039-2117
Ker k a
MODUL Umat Beragama 17
bahwa manusia ditakdirkan Allah sebagai makhluk sosial yang
membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama
manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja
sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
baik kebutuhan material maupun spiritual. Bahkan ajaran Islam
menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong
(ta‟awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan
dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Dalam konteks ini juga sebagaimana telah dikemukakan oleh
Maftuh Basuni (Menteri Agama RI periode...), bahwa kerukunan
antar umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional adalah
sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara terus dari waktu
ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi,
saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari
kerukunan nasional. Kerukunan umat beragama adalah keadaan
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengalaman ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial
ketika semua golongan agama bisa hidup bersama tanpa mengurangi
hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.
Masing-masing pemeluk agama yang baik haruslah hidup rukun
dan damai. Karena itu kerukunan antar umat beragama tidak
mungkin akan lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli
atas hak keberagaman dan perasaan orang lain. Tetapi dalam hal
ini tidak diartikan bahwa kerukunan hidup antar umat beragama
memberi ruang untuk mencampurkan unsur-unsur tertentu dari
agama yang berbeda, sebab hal tersebut akan merusak nilai agama
itu sendiri. Kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga bisa
diartikan dengan toleransi antar umat beragama. Dalam toleransi itu
sendiri pada dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan
menerima perbedaan antar umat beragama. Selain itu masyarakat
Kerukunan
18 Umat Beragama MODUL
juga harus saling menghormati satu sama lainnya misalnya dalam
hal beribadah, antar pemeluk agama yang satu dengan lainnya tidak
saling mengganggu15.
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu bentuk
hubungan yang harmonis dalam dinamika pergaulan hidup
bermasyarakat yang saling menguatkan yang diikat oleh sikap
pengendalian hidup dalam wujud:
1. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agamanya.
2. Saling menghormati dan berkerjasama intern pemeluk agama,
antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan
pemerintah yang sama-sama bertanggung jawab membangun
bangsa dan Negara.
3. Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama
kepada orang lain.
15 Wahyuddin dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 32
16 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2001, hlm. 255
17 Pasal 1 angaka (1) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 19
●●●
Kerukunan
3
Umat Beragama Dalam
Pandangan Islam
Ker k a
MODUL Umat Beragama 20
ketaqwaan kepada Allah dengan cara saling menarik pelajaran
dan pengalaman dari pihak lain, yang dampaknya tercerminnya
kedamaian dan kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.
Saling mengenal yang digarisbawahi dalam ayat di atas adalah
―pancing‖ untuk meraih manfaat dan bukan ―ikan‖nya. Maka dalam
hal ini yang diberikan adalah caranya dan bukan manfaatnya, karena
memberi pancing itu jauh lebih baik daripada memberi ikan18.
Namun apabila kita melihat masyarakat di negeri ini, nampaknya
alat yang diajarkan oleh Alqur‘an―saling mengenal‖ belum dimiliki
oleh masing-masing pihak, sehingga belum dapat menikmati hasilnya
(kedamaian dan kesejahteraan). Dapat dibuktikan dengan masih
banyaknya perpecahan yang dilatarbelakangi oleh keberagaman
yang ada di Indonesia, baik aliran keagamaan maupun perbedaan
agama. Maka untuk memanfaatkan keberagaman menjadi sebuah
kekuatan besar yang tak tertandingi, Alqur‘an memberikan ―pancing‖
berupa ―saling mengenal‖ yang selanjutnya menuntut dari semua
keberagaman yang ada untuk saling mengenal antara pihak yang
satu dengan pihak lain.
Kerukunan
21 Umat Beragama MODUL
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak
anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ker k a
MODUL Umat Beragama 22
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara
mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka
mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”
Kerukunan
23 Umat Beragama MODUL
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.
21 M. Qurais Shihab, Wawasan..., hlm. 643. Diterjemahkan dari The Quran and the
Life of Excellence dengan penerjemah Aisyah (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 403-404.
MODUL Ker k a
Umat Beragama 24
2. Pentingnya Persaudaraan dalam Masyarakat
Dalam memantapkan ukhuwah, pertama kali Alqur‘an
menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku
dalam kehidupan, dan merupakan kehendak Ilahi untuk
kelestarian hidup dan mencapai tujuan kehidupan makhluk di
pentas bumi. Hal ini dijelaskan dalam Alqur‘an surat al-Maidah:
48 sebagai berikut:
25 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
Ayat di atas menyampaikan pesan bahwa sikap toleran
adalah sikap ideal yang harus digunakan dalam menyikapi
perbedaan, sedangkan tindakan mendebat dan memperuncing
perbedaan tradisi merupakan tindakan yang keliru. Merupakan
satu bagian penting dari ajaran Islam adalah kesadaran bahwa
toleransi bukanlah gagasan Barat, melaikan konsep universal
Alqur‘an22. Maka dalam hal ini, seorang muslim dapat memahami
adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan
pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada
di luar kehendak Ilahi, dan dalam hal ini memerlukan sikap
yang disebut toleran. Jadi berbagai perbedaan yang ada di
dunia ini jangan menjadikan seseorang gelisah atau bunuh diri,
dan sampai memaksa orang lain secara halus atau kasar agar
menganut agamanya.
Dalam ayat yang lain dijelaskan juga tentang anjuran
supaya berpegang teguh pada ajaran Allah dan dilarang bercerai
berai, karena memilih bercerai belai (pecah belah) sama dengan
mengambil posisi di neraka. Hal ini sebagaimana terdapat dalam
Quran surat Ali Imran (3): 103
Ker k a
MODUL Umat Beragama 26
Berdasarkan kandungan ayat-ayat tersebut di atas, begitu
pentingnya persaudaraan (kerukunan) untuk mewujudkan
sosial masyarakat yang damai dan harmonis.
Kerukunan
27 Umat Beragama MODUL
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ker k a
MODUL Umat Beragama 28
●●●
Negara Dan
Kebijakan Kerukunan
Umat Beragama
4
A. Trilogi Kerukunan Umat Beragama
Ker k a
MODUL Umat Beragama 29
Seringkali konflik mendominasi kehidupan umat manusia di
Indonesia. Konflik-konflik yang tidak diinginkan muncul, misalkan
konflik antar agama, konflik internal agama, dan konflik antara
kelompok beragama dengan pemerintah. Konflik-konflik ini memicu
berbagai sektor untuk ikut andil di dalamnya, misalkan pendidikan,
perkonomian, kebudayaan, dan lain sebagainya. Jadi kehidupan
orang-orang di dunia bisa dikatakan sudah over dalam menggunakan
kerangka berpikir konflik, sehinga hampir setiap saat ada saja konflik
yang terjadi.
Oleh karena itu, untuk mencegah dan nenanggulangi adanya
konflik dalam perbedaan, maka perlu ada konsep dan langkah-
langkahnya untuk menguatkan kerangka berpikir kedua, yaitu
perbedaan sebagai perekat keragaman. Dalam hal ini, tatkala
Alamsyah Ratu Perwiranegara (1925-1998) masih menjabat
sebagai Menteri Agama pada tahun 1978-1983, ia menerapkan
konsep kerukunan antar umat beragama. Konsep kerukunan antar
umat beragama ini terdiri dari tiga hal atau bisa dikatakan trilogi
kerukunan, yaitu:
1. Kerukunan intern umat beragama;
2. Kerukunan antar umat beragama;
3. Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Konsep tersebut masih sangat relevan dengan keadaan Indonesia
saat ini, yang masih memandang perbedaan sebagai sumber konflik.
Konsekuensi logisnya, konsep tersebut perlu untuk dikembangkan
dan diterapkan sebagai alternatif menyikapi perbedaan yang ada.
Kerukunan intern umat beragama bertujuan untuk
memperkokoh hubungan antara individu dengan individu lain
atau kelompok-kelompoknya yang masih seagama. Sedangkan
kerukunan antar umat beragama bertujuan untuk memperkukuh
persaudaraan antara penganut agama satu dengan agama lainnya.
Kemudian kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah
bertujuan untuk menyatukan visi dan misi antar umat beragama dan
pemerintah dalam bingkai Pancasila.
Tugas kita hari ini ialah mengoptimalkan implementasi dari
konsep trilogi kerukunan tersebut. Optimalisasi konsep kerukunan
bisa dilakukan dengan mengembangkannya dan disesuaikan dengan
keadaan sekarang. Optimalisasi trilogi kerukunan ini bisa dimulai
dari diri sendiri untuk membangun sebuah kerukunan diri sendiri
Kerukunan
30 Umat Beragama MODUL
dengan individu lainnya, baru kemudian meningkat di kelompok-
kelompok yang satu agama maupun yang berbeda agama. Kata kunci
dari optimalisasi ini ialah harus memahami dan mengerti orang lain,
agama lain, maupun pemerintah. Harapan dari optimalisasi konsep
trilogi kerukunan antar umat beragama ini ialah dapat memayungi
semua aktivitas intern dan ekstern umat beragama, sehingga
kerukunan tetap terjaga dalam berbagai macam perbedaan.
Berdasarkan Konstitusi Negara Indonesia, maka negara mencita-
citakan suatu masyarakat dimana agama-agama dapat hidup
berdampingan dan berperan secara konstruktif, kesetiaan utama
kelompok-kelompok agama tidak berhenti pada agamanya sendiri.
Solidaritas pun lebih mudah dibangun di antara kelompok lintas
agama yang memiliki aspirasi keindonesiaan yang sama.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 31
mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga
bentuk kedaulatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum,
dan kedaulatan Tuhan26. Ketiga bentuk kedaulatan tersebut tentunya
menjadi haluan dalam penyelenggaraan negara dan bangsa, yang
diharapkan agar mewujudkan penyelenggaraan negara yang sesuai
dengan kedaulatan yang ada dalam negara.
Pandangan Jimly Asshiddiqie, menegaskan dalam konteks
Indonesia, karena salah satu nilai dasarnya negara adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang diwujudkan melalui prinsip
hierarki norma dan elaborasi norma. Sumber norma yang
mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
dapat datang dari mana saja, termasuk misal dari sistem syariat
Islam atau nilai-nilai yang berasal dari tradisi Kristen, Hindu,
Budha, Konghucu, saat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
telah diadopsi, maka sumber norma syariat itu tidak perlu disebut
lagi karena namanya sudah berubah menjadi hukum negara yang
berlaku untuk umum sesuai prinsip Ketuhanan yang Maha Esa
sudah dengan sendirinya tak boleh ada hukum negara Indonesia
yang bertentangan dengan norma-norma agama.27
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur
tentang kebebasan untuk beragama di Indonesia yang dituangkan
dalam konstitusi sebagaimana dapat dilihat Pasal 28E mengenai
kebebasan beragama dan beribadah, Pasal 29 memberikan jaminan
dalam menjalankan agama dan kepercayaannya sedangkan dalam
Pasal 28J mengatur mengenai batasan dalam beribadah bagi setiap
agar tercipta ketertiban. Pasal 29 ayat (2), yang berbunyi ―Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya‖.
Walaupun UUD 1945 telah menjamin kebebasan bagi setiap
warga negara Indonesia untuk memeluk agama dan beribadat
sesuai agamanya masing-masing, namun dalam kenyataannya
masih ada juga individu dan kelompok masyarakat tertentu
26 Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Kita, Aksara Baru, edisi ke-6, Jakarta., 1987,
hlm. 7-8.
27 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal
Dan Kepaniteraan MK – RI, Jakarta, 2008, hlm. 705
32 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
yang belum mampu hidup berdampingan dalam keberagaman.
Sejarah mencatat berbagai peristiwa yang mengarah pada adanya
disintegrasi bangsa saat itu, peristiwa Ambon, Maluku Utara, Poso.
Salah satu mandat konstitusional yang menjadi tanggung
jawab pemerintah dalam pelaksanaan penataan bidang agama
adalah memberikan pelayanan bagi pemenuhan hak beragama
warga negara. Pelayanan yang diberikan dapat berupa regulasi dan
fasilitasi. Regulasi berguna untuk memberikan landasan hukum,
arah, dan bentuk pelayanan yang dilakukan terhadap warga negara.
Sedangkan fasilitasi berguna untuk menjamin dan memudahkan
pelaksanaan hak beragama warga negara secara baik.
Peran UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
pemersatu bukan berarti UUD 1945 menghilangkan atau menafikan
adanya perbedaan yang beragam dari seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai pemersatu maka UUD 1945 harus mengakui, menghormati
dan memelihara keberagaman agama tersebut agar tercipta kerukunan
antar umat beragama. Dalam konteks Indonesia negara dalam hal ini
pemerintah adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk
menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala seuatu yang menjadi
turunannya. Sebagai bentuk tindak lanjut regulasi yang tercantum
dalam UUD Tahun 1945, maka dalam upaya menciptakan kerukunan
antar umat beragama ini ada beberapa peraturan perundang-
undangan yang sudah diberlakukan, diantaranya adalah:
1) UU No 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun
1969 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden sebagai undang-undang.
2) Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No 1 Tahun 1979 Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran
Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan
di Indonesia.
3) Keputusan Bersama Menteri Agama dan Mebteri Dalam
Negeri No 1/BER/Mdn-Mag/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh
Pemeluknya.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 33
Menyadari bahwa kerukunan umat beragama adalah kondisi
yang sangat dinamis dan kemajemukan umat beragama dapat
menjadi persoalan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
pada tahun 2006 Pemerintah mendorong adanya konsensus antar
umat beragama dalam membangun kerukunan umat beragama yang
lebih hakiki, sistemik dan sistematis dengan lahirnya Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan
Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat.
Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 ini merupakan peraturan
yang dihasilkan dari kesepakatan bersama pimpinan majelis-
majelis agama dan para pemuka agama. Dalam penyusunan PBM
tersebut, Pemerintah hanya berperan memfasilitasi dan memberikan
payung hukum pengaturan agar dapat diterapkan dalam kehidupan
beragama di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PBM Tahun 2006 memiliki makna yang sangat penting dan
menjadi tonggak sejarah bagi Bangsa Indonesia sebagai bentuk
upaya serius pemerintah dan umat beragama untuk secara bersama-
sama membangun dan memelihara kerukunan umat beragama.
Secara khusus, PBM Tahun 2006 memberi landasan legal formal
bagi kehadiran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di seluruh
Indonesia. FKUB merupakan forum yang diinspirasi dan meneruskan
semangat forum dialog lintas agama yang ada sebelum lahirnya PBM
Tahun 2006 yang dibentuk oleh masyarakat di berbagai daerah
dengan nama yang berbeda-beda dan bertujuan untuk membangun
kerukunan umat beragama. Memperhatikan substansi pengaturan
dalam Pasal 1 ayat (6) PBM Tahun 2006, FKUB sejatinya merupakan
―forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah
dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan‖.
FKUB dibentuk di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
Berdasarkan Pasal 9 PBM Tahun 2006, sebagai forum yang memiliki
mandat resmi dari Pemerintah, FKUB di provinsi dan kabupaten/
kota bertugas dan berwenang sebagai berikut:
Kerukunan
34 Umat Beragama MODUL
a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam
bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota;
d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan
kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan
(khusus untuk FKUB kabupaten/kota) ditambah
e. memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadat.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 35
FKPA (Forum Komunikasi Pemuka Antar Agama), BKSAUA (Badan
Kerjasama Antar Umat Beragama), dan sebagainya28. FKUB adalah
forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah
dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan29.
FKUB memiliki mandat resmi dari pemerintah untuk mengurus
persoalan kerukunan umat beragama, tentu saja tanpa mengabaikan
peran kelompok sipil lainnya. FKUB juga berperan untuk membangun,
memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan
dan kesejahteraan. Tidak hanya mengurus kerukunan umat,
melainkan juga pemberdayaan untuk kesejahteraan. Itu sebabnya,
FKUB sudah seharusnya menjalankan mandatnya secara optimal,
dengan bantuan kontrol dari pemerintah dan seluruh elemen
masyarakat.
28 Sebelum terbitnya PBM, di beberapa daerah telah berdiri lembaga lintas agama
serupa. Mereka antara lain adalah Forum Konsultasi dan Komunikasi Umat Beragama
(FKKUB) di DKI Jakarta, Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) di Sulawesi
Utara, Forum Komunikasi Pemuka Agama (FKPA) di Sumatera Utara, dan sebagainya.
Lembaga-lembaga ini dibentuk dan dibiayai oleh masyarakat.
29 Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (6) (Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya,
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008 :37)
30 Atho Mudzhar, Merayakan Kebhinnekaan Membangun Kerukunan, Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2013, hlm. 211
31 Ibid
Kerukunan
36 Umat Beragama MODUL
Indonesia sering dilihat sebagai contoh bagaimana masyarakat
dengan beragam etnik dan agama bisa hidup rukun dengan tanpa
memunculkan masalah yang berarti dalam jangka waktu yang
cukup lama. Penilaian seperti ini mungkin benar jika melihat potret
masyarakat Indonesia pada umumnya yang mementingkan harmoni
dan mempunyai toleransi yang cukup tinggi akan perbedaan di
antara mereka. Meskipun demikian, penilaian seperti itu sebenarnya
tidak sepenuhnya benar, mengingat masyarakat Indonesia sendiri
menyadari akan rentannya hubungan di antara mereka dan juga
mengalami seringnya konflik yang berlatar belakang agama. Oleh
karena itu, membangun kerukunan umat beragama telah lama
menjadi perhatian dan upaya pemerintah, karena hubungan
antarumat beragama di Indonesia bukan saja sering memunculkan
masalah tetapi juga telah menimbulkan konflik berkepanjangan.
Klimak dari hubungan yang tidak baik antara pemeluk agama di
Indonesia ini adalah terjadinya konflik SARA di Ambon dan Poso yang
dinilai banyak orang sebagai konflik berlatar belakang agama, yakni
antara pemeluk Islam dan Kristen. Konflik-konflik ini dikatakan
sebagai konflik agama, karena bukan rahasia lagi bahwa kalangan
yang terlibat di dalamnya telah memakai bendera agama masing-
masing dan menegaskan adanya kepentingan agama yang mengiringi
perjuangan mereka.
Konflik-konflik keagamaan yang ada nampaknya muncul karena
rasa perbedaan dalam hal pemelukan agama dan bahkan rasa
permusuhan karena perbedaan agama yang berkembang bukan saja
di kalangan mereka yang mengalami konflik melainkan juga di antara
mereka para pemeluk agama pada umumnya. Keadaan seperti
itu tentu saja tidak menguntungkan bagi persatuan dan kesatuan
sebagai bangsa, sebab perpecahan bukan saja akan menghambat
pembangunan pada umumnya tetapi juga menghilangkan semangat
untuk membangun itu sendiri. Ini berarti bahwa ketahanan nasional
di bidang agama akan menurun, yang dapat berakibat pada
melemahnya persatuan sebagai bangsa.
Franz Magnis-Suseno (1995) menyatakan bahwa dengan
dasar Pancasila, Indonesia sejak merdeka telah berhasil menjamin
kebebasan beragama dan kesamaan hak warga semua agama sebagai
warga negara dengan prinsip non-diskriminasi dan hidup bersama
umat beragama lainnya secara damai. Arti penting Pancasila ada di
Ker k a
MODUL Umat Beragama 37
dalam prinsip saling menghormati keyakinan agama. Sikap saling
menghormati tersebut merupakan suatu modal amat penting demi
kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Menyadari pentingnya
untuk terus membangun dan memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa, Pemerintah tidak henti-hentinya berupaya membangun
kerukunan dan keharmonisan kehidupan umat beragama.
Agama dalam penyelenggaraan negara dipandang sebagai
salah satu wadah rohaniah bangsa, yang selalu diharapkan agar
senantiasa menjadi penggerak hidup masyarakat sebagai bangsa
yang berketuhanan, sebagai bangsa yang menganut falsafah
Pancasila. Sejak awal pembentukan negara Indonesia, the founding
fathers memandang betapa pentingnya aspek-aspek rohaniah bangsa
kita. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia,
the founding fathers telah merumuskan dan akhirnya sepakat
menetapkan Pancasila sebagai ideologi nasional, didalamnya tersirat
pandangan bangsa yang religius, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hubungan antara agama dan negara dalam praktek
kehidupan kenegaraan Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga bentuk, yakni integrated (penyatuan antara agama dan
negara), intersectional (persinggungan antara agama dan negara),
dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara). Bentuk
hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat
dianggap sudah selesai dengan sekularismenya, atau pemisahan
antara agama dan negara. Paham ini menurut The Encyclopedia
of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para pendukungnya
dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan
lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-
prinsip non-agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas
pribadi dan organisasi sosial32.
Selanjutnya dikatakan bahwa Indonesia bukan negara agama,
karena tidak berdasarkan agama tertentu, juga bukan negara sekuler
karena tidak memisahkan urusan negara dengan urusan agama.
Dengan keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa dan Maha Kuasa,
menyebabkan berkembangnya doktrin persamaan kemanusiaan
32 The Encyclopedia of Religion, Vol. 13, Macmillan Publishing Company, New York,
page. 159
38 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
atau paham egalitarian, dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya
menjadi nisbi kecuali Tuhan, yang bersifat Maha Kuasa dan Maha
Mutlak, maka musyawarah menjadi keharusan sosial yang sentral
dalam kehidupan publik, termasuk merajut mempererat kerukunan
umat beragama di Indonesia dalam semangat Bhineka Tunggal Ika
sebagai salah satu pilar bangsa. Interpretasi dan pandangan senada
juga dikemukakan Moh. Mahfud MD. Menurutnya, secara yuridis
konstitusional Negara Indonesia bukanlah negara Agama dan bukan
negara sekuler. Indonesia adalah sebuah religious nation state atau
negara kebangsaan yang beragama33.
Lebih lanjut Prof. Mahfud MD menguraikan, Indonesia
adalah negara kebangsaan yang religius yang menjadikan ajaran
agama sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam
penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakatnya.
Pemerintah sejak tahun 1967 telah memfasilitasi dan mendorong
dialog-dialog kerukunan antar umat beragama. Presiden Soeharto
ketika itu menggagas pertemuan musyawarah antar agama di
Jakarta. Saat itu kata ‖kerukunan‖ dan ‖toleransi beragama‖ mulai
digaungkan dalam konteks keindonesiaan. Harus diakui bahwa
kondisi kehidupan umat beragama di Indonesia yang rukun dan
harmonis sejak kemerdekaan bukan hanya karena komitmen politik
pemerintah, melainkan juga karena unsur budaya bangsa yang
terpelihara dari masa ke masa. Bahkan, selama puluhan tahun
bangsa Indonesia telah mendapat pengakuan dan penghargaan
dunia dalam aspek kerukunan umat beragama. Indonesia seringkali
juga dijadikan rujukan dan model kehidupan beragama oleh negara-
negara yang memiliki keragaman agama. Meskipun demikian, dalam
sejarah perjalanan sebagai suatu bangsa dengan kemajemukan yang
sangat besar, Indonesia mengalami berbagai persoalan dan peristiwa
konflik sosial bernuansa agama. Berbagai peristiwa pertikaian
antar kelompok umat bergama telah menjadi catatan kelam yang
memilukan. Peristiwa-peristiwa tersebut seperti telah mencerabut
akar budaya hidup rukun yang telah lama tertanam dalam kehidupan
sosial masyarakat.
33 Moh .Mahfud MD, Politik Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Varia
Peradilan, Majalah Hukum, Tahun XXV No. 290 Januari 2010, hlm. 2
Ker k a
MODUL Umat Beragama 39
Beberapa kasus konflik bernuansa agama, baik yang terkait
hubungan antar maupun intern umat beragama juga sekaligus telah
menjadi batu ujian bagi ketahanan kerukunan dan toleransi umat
beragama di Indonesia. Beberapa kasus konflik antar umat beragama
dalam dua dekade terakhir ini telah menyita energi pemerintah untuk
menyelesaikannya. Di antara konflik tersebut adalah konflik yang
terjadi di Poso pada tahun 1998 sampai sekitar tahun 2002, konflik
di Maluku dan Maluku Utara pada tahun 1998, dan konflik di Sampit
Kalimantan pada tahun 1996.
Secara umum, kasus-kasus konflik sosial keagamaan dalam
skala yang massif tersebut telah selesai dengan baik, namun tidak
dapat dipungkiri berbagai kasus konflik dalam skala yang kecil
tetapi berdampak luas secara sosial politik masih saja terjadi.
Berbagai peristiwa tersebut menunjukan bahwa sebagai sebuah
negara bangsa (nation-state), Indonesia masih sangat rentan
terhadap timbulnya konflik sosial keagamaan yang harus terus
diupayakan untuk secara preventif dapat dicegah. Kerja keras dan
kerjasama semua umat beragama untuk membangun kondisi
keharmonisan umat beragama yang kondusif perlu terus digalang
secara konsisten dan dijadikan sebagai agenda kebangsaan.
Berdasarkan pengalaman dan kajian terhadap berbagai
konflik yang terjadi di Indonesia selama ini, banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik kehidupan beragama di Indonesia.
Beberapa faktor sebagai penyebab terjadinya konflik umat
beragama tersebut meliputi faktor eksogen, endogen, dan relasional.
Faktor eksogen adalah faktor yang berasal dari luar komunitas
atau masyarakat yang mengalami konflik (ofexternal origin) yang
mencakup antara lain, ketimpangan dan ketidakadilan secara
sosial, politik, dan ekonomi yang dirasakan oleh umat beragama
tertentu. Faktor endogen adalah faktor yang berasal dari
dalam komunitas atau masyarakat yang mengalami konflik
(of internal origin), yang mencakup antara lain, pemahaman
keagamaan yang sempit serta fanatisme agama. Sedangkan faktor
relasional adalah faktor yang terkait dengan hubungan antar
komunitas umat beragama, yang meliputi antara lain, pendirian
rumah ibadah, penyiaran agama, perkawinan beda agama, penodaan
agama, mobilitas penduduk, dan ekslusivisme etnis. Ketiga faktor
tersebut saling mempengaruhi dan semakin banyak faktor yang
Kerukunan
40 Umat Beragama MODUL
menjadi sumber penyebab konflik, akan semakin kompleks dan
lama konflik tersebut terjadi.
Negara Indonesia yang sejak awal kemerdekaan merumuskan
negara sebagai suatu negara yang integralistik, tentunya
memperkuat integrasi bangsa dan negara. Upaya untuk memperkuat
integrasi bangsa dan mengurangi munculnya perselisihan dan
konflik dalam masyarakat, revitalisasi ideologi perlu mendapatkan
penekanan sebagai bagian dari penguatan wawasan kebangsaan.
Hal ini dilakukan melalui perumusan operasional ideologi
Pancasila yang lebih akademik dan sekaligus lebih fleksibel serta
sosialisasi Pancasila baik dalam pendidikan formal maupun dalam
masyarakat. Sejalan dengan hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi
munculnya konflik antar warga tentu saja perlu diatasi atau
dihilangkan, seperti ketimpangan ekonomi dan pendidikan.
Munculnya era reformasi, yang sejak awal mendukung
kebebasan, mendorong warga negara untuk mengekspresikan
pendapat, aspirasi dan kepentingan mereka secara bebas dan
terbuka, termasuk ekspresi ideologi yang pada masa Orde Baru
sangat dibatasi atau ditekan. Di antara ekspresi itu ada tindakan yang
berlebihan sehingga melahirkan konflik, perselisihan dan kekerasan
dalam masyarakat, baik yang berlatar belakang politik, ekonomi,
etnis, agama dan sebagainya. Sebagai masyarakat majemuk, sejak
awal bangsa Indonesia selama ini dikenal sebagai masyarakat
beragama yang moderat dan toleran, dan bahkan menjadi contoh
toleransi beragama di dunia. Namun di era reformasi ini, peristiwa
konflik antar-warga, termasuk yang berlatar belakang agama, justru
semakin meningkat dibandingkan dengan pada masa Orde Baru.
Muncul pula ekspresi kebebasan dalam bentuk kekerasan dan
radikalisme, yang justru mengganggu harmoni dan kedamaian dalam
kehidupan bangsa dan negara dan bahkan dapat mengancam NKRI
dan kebhinnekaan. Hubungan interaksi dalam masyarakat yang
mejemuk ini tentunya tidak mudah untuk mewujudkan harmoni dan
kedamaian, karena masing-masing kelompok bisa memiliki aspirasi
dan kepentingan yang berbeda-beda dan bisa berimplikasi kepada
munculnya persaingan. Apalagi jika masing-masing kelompok
mengembangkan politik identitasnya dan egoisme kelompoknya
dengan mengatasnamakan ekspresi kebebasan dan hak-hak asasi
manusia.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 41
Perbedaan, perselisihan, dan konflik sebenarnya hal yang
tak bisa dihindarkan dalam kehidupan masyarakat dan negara,
tetapi jika konflik itu berkembang menjadi kekerasan, maka hal
ini menunjukkan bahwa sebagian bangsa Indonesia masih belum
beradab, dan hal ini bahkan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran
agama yang ada di Indonesia.
Kerukunan antar umat beragama merupakan pilar kerukunan
nasional adalah sesuatu yang dinamis, karena itu harus dipelihara
terus dari waktu ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama
sendiri berarti keadaan hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi, saling pengertian, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu,
kerukunan hidup antar umat beragama merupakan prakondisi yang
harus diciptakan bagi pembangunan di Indonesia.
Seluruh umat beragama harus memberikan kontribusi yang
nyata bagi pembangunan nasional yang dilaksanakan bangsa
Indonesia. Nilai-nilai religius harus dapat memberikan motivasi positif
dan menjadi arah tujuan dalam seluruh kegiatan pembangunan di
Indonesia. Keyakinan spiritual yang muncul dari ketaatan kepada
agama akan dapat menjadi motor pembangunan yang dapat
diandalkan, sementara nilai-nilai moral pembangunan itu sendiri
tidak pernah dilupakan34.
Berbagai upaya terus dilakukan untuk memperkuat integrasi
nasional dalam proses demokratisasi yang beradab melalui upaya
penguatan wawasan kebangsaan warga, terutama dilakukan oleh
MPR, melalui penguatan empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila,
UUD 1945, NKRI dan kebhinnekaan. Upaya ini dilakukan dengan
revitalisasi ideologi sebagai suatu platform bangsa Indonesia yang
sangat majemuk ini, sementara tingkat pendidikan dan kesejahteraan
mereka secara umum masih rendah yang berakibat terhadap
rendahnya tingkat kesadaran akan harmoni dan integrasi bangsa.
Dalam revitalisasi ini diperlukan rumusan ideologi Pancasila yang
Kerukunan
42 Umat Beragama MODUL
lebih akademik dan sekaligus lebih terbuka, sehingga penafsiran
Pancasila tidak akan disakralkan seperti pada masa lalu.
Sebagai upaya untuk penguatan wawasan kebangsaan inilah
agama dapat memberikan kontribusi yang positif dalam revitalisasi
ideologi Pancasila. Hal ini berarti bahwa agama semestinya menjadi
faktor integratif (pemersatu) dan bukan sebaliknya sebagai faktor
disintegratif (pemecah belah) bangsa. Dengan fungsi ini nilai-nilai
agama dan Pancasila menjadi modal sosial bagi harmoni dan integrasi
bangsa. Untuk mewujudkan fungsi ini, diperlukan pemahaman
keagamaan yang moderat dengan memperhatikan kondisi obyek
masyarakat Indonesia yang multi-etnik, multi-agama dan multi-
kultural.
Pemahaman semacam ini akan menjelma menjadi sikap
keberagamaan yang moderat dan toleran terhadap kemajemukan,
bukan sikap keberagamaan yang berwatak absolutis dan radikal.
Sebagai konsekuensinya adalah adanya upaya-upaya counter
(kontra) radikalisme, baik melalui pendekatan keamanaan dan
hukum maupun pendekatan agama (theologis). Pendekatan
keamanan atau hukum saja tidak cukup, terutama bagi radikalisme
ideologis, karena para pelakunya justru merasa bangga dikenakan
hukuman dan menganggap diri mereka sebagai pahlawan. Oleh
karenanya, di samping pendekatan keamanan dan hukum, juga
perlu dilakukan pendekatan teologis yang menekankan pemahaman
ajaran agama yang mengajarkan harmoni dan kedamaian.
Negara mengakui eksistensi lembaga-lembaga keagamaan dalam
negara dan masyarakat. Hanya saja, terdapat perbedaan visi dan
aspirasi di kalangan warga tentang sejauh mana keterlibatan agama
itu dalam negara35. Dalam konteks ini, orientasi warga negara tentang
keagamaan dalam konteks kehidupan negara cukup bervariasi,
secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk.
Pertama, agama sebagai ideologi; pemikiran ini didukung oleh
mereka yang ingin menjadikan agama sebagai ideologi negara, yang
manifestasinya berbentuk pelaksanaan ajaran agama secara formal
35 Di era reformasi ini muncul pula orientasi kelompok yang mendukung sekularisme
dan liberalisme yang berarti pemisahan agama dan negara sepenuhnya seperti di negara-
negara Barat. Mereka menolak pelibatan agama dalam negara dan bahkan menolak
Pancasila dan UUD 1945 yang menyebutkan agama atau Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 43
sebagai hukum positif. Orientasi kelompok ini pada agama lebih besar
daripada orientasinya pada wawasan kebangsaan, sehingga ia akan
bisa menimbulkan dilema jika dihadapkan pada realitas bangsa yang
majemuk. Apalagi secara umum kelompok ini memiliki sikap yang
absolutis dan eksklusif dalam beragama, di samping kadang-kadang
melakukan politisasi agama untuk mendukung cita-cita mereka.
Kedua, agama sebagai sumber etika-moral (akhlak), yang
didukung oleh mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih
besar daripada orientasi keagamaan. Orientasi ini hanya mendukung
pelaksanaan etika-moral agama (religio-ethics), dan menolak
formalisasi agama dalam konteks kehidupan bernegara. Posisi agama
sebagai sumber pembentukan etika-moral ini dimaksudkan agar
bangsa ini memiliki landasan filosofis yang jelas tentang etika moral,
tidak hanya berdasarkan kriteria baik dan buruk yang kadang-
kadang bisa sangat subyektif atau sangat temporal.
Ketiga, agama sebagai sumber ideologi. Orientasi pertama
memang sangat idealistis dalam konteks Islam, tetapi kurang
realistis dalam konteks masyarakat dan bangsa Indonesia yang
sangat plural. Sedangkan orientasi kedua sangat idealistis dalam
konteks kemajemuakn di Indonesia, tetapi kurang realistis dalam
konteks agama Islamsebagai agama mayoritas, yang ajarannya tidak
hanya berupa etika-moral melainkan juga sejumlah norma-norma
dasar. Tarikan yang kuat ke arah salah satu orientasi ini akan
mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi yang
berlawanan, dan bahkan akan dapat menimbulkan konflik internal
yang lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah di antara
keduanya, yakni menjadikan agama sebagai sub-ideologi atau sebagai
salah satu sumber ideologi Pancasila.
Orientasi ketiga tersebut lebih realitis dan moderat, karena meski
orientasi ini berupaya melaksanakan etika-moral serta hukum agama
atau prinsip-prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
ia masih tetap mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Karena
Pancasila ini merupakan ideologi terbuka dan fleksibel, maka agama
dituntut untuk memberikan kontribusi dalam penjabaran konsep-
konsep operasional di berbagai bidang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan dunia. Dalam hal inilah nilai-nilai dan norma-norma
agama menjadi input dan legitimasi bagi pembentukan dan penguatan
etika-moral serta sistem nasional dan kebijakan publik. Di samping
Kerukunan
44 Umat Beragama MODUL
itu, orientasi ini mendukung pluralisme dan toleransi yang tinggi
terhadap kemajemukan bangsa ini, sehingga semua warga negara
memiliki kedudukan yang sejajar.
Pelibatan agama dalam penguatan etika-moral (akhlak) bangsa
saat ini sangat dibutuhkan, terutama ketika kondisi akhlak bangsa
ini secara umum masih sangat lemah, seperti maraknya kebohongan,
korupsi, penipuan, kekerasan, radikalisme, pemerkosaan, egoisme,
keserakahan dan sebagainya, baik dalam kehidupan masyarakat
maupun kehidupan politik, hukum dan birokrasi. Demikian pula,
kini semakin banyak terjadi kenakalan remaja, penyalahgunaan
narkoba, perkelaian antar kelompok, pergaulan bebas, pornografi,
pornoaksi, dan sebagainya. Penguatan akhlak ini kini menjadi sangat
penting untuk memperkuat etika politik dalam proses konsolidasi
demokrasi yang sudah berlangsung sejak tahun 2004 tetapi kurang
berjalan dengan mulus, tidak seperti proses transisi demokrasi yang
telah dilewati dengan sukses antara tahun 1998 sampai 200436.
Di samping itu, agama menjadi sumber atau input bagi
pengambilan kebijakan negara, agar peraturan perundang-undangan
dan/atau kebijakan negara itu sejalan atau tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran agama, serta sesuai dengan aspirasi rakyat. Dalam
kenyataannya, ajaran-ajaran agama itu di samping mengandung
nilai-nilai yang bersifat universal, juga mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang bersifat pertikular, dan oleh karenanya, aspirasi
rakyat itu juga adakalanya bersifat umum (universal) dan adakalanya
bersifat khusus (partikular).
Agama adalah suatu unsur mengenai pengalaman yang
dipandang mempunyai nilai tertinggi, yaitu pengabdian kepada
suatu kekuasaan, yang dipercayai sebagai suatu yang menjadi asal
mula segala sesuatu, kemudian yang menambah dan melestarikan
nilai-nilai serta sejumlah ungkapan yang sesuai dengan urusan
pengabdian tersebut, baik dengan jalan melakukan upacara yang
simbolis maupun melalui perbuatan yang bersifat perseorangan atau
secara bersama-sama37.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 45
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam
diri seseorang yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku yang
berkaitan dengan agama. Sikap keagamaan terbentuk karena adanya
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen
kognitif persamaan terhadap agama sebagai komponen aktif dan
perilaku terhadap agama sebagai komponen konatif. Di dalam sikap
keagamaan antara komponen kognitif, afektif dan konatif saling
berintegrasi sesamanya secara komplek.
Ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman
oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-
norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur guna
pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam
upaya memenuhi ketaatan kepada Tuhan. Tetapi dalam kehidupan
nyata banyak dijumpai penyimpangan atau perubahan dari konstatasi
di atas, baik secara individual maupun kolektif38.
46 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
●●●
Agama-Agama
Di Indonesia
5
A. Agama-Agama di Indonesia
MODUL Ker k a
Umat Beragama 47
1. Agama Islam
Agama Islam merupakan agama yang disandarkan pada
risalah kenabian yang disampaikan melalui Nabi Muhammad
SAW. Agama ini merupakan agama dengan penganut terbanyak
di Indonesia. Agama ini disebarkan mulai abad ke-12 M melalui
jalur perdagangan, politik, dan interaksi penyiar Muslim asal
Timur Tengah dengan masyarakat lokal Indonesia. Agama ini
banyak dianut masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi.
Kerukunan
48 Umat Beragama MODUL
3. Agama Kristen Protestan
Agama Kristen Protestan merupakan agama dengan
penganut terbanyak kedua di Indonesia setelah Islam. Agama
ini disebarkan di Indonesia seiring berlangsungnya interaksi
masyarakat Indonesia dengan penjelajah Eropa Barat melalui
peran misionaris ke berbagai daerah. Kendati hadir di berbagai
wilayah di Indonesia, umat agama Protestan terkonsentrasi di
Papua, Sulawesi Utara, dan Papua Barat, Nusa Tenggara Timur,
dan Sumatera Utara.
4. Agama Hindu
Hindu merupakan agama dunia pertama yang mulai
mendapatkan tempat di lingkungan masyarakat Indonesia.
Agama yang disyiarkan pertama kali di India ini kini banyak
terkonsentrasi di Bali, meski juga memiliki sebaran pengikut
cukup banyak di berbagai wilayah di Indonesia seperti Sumatera,
Jawa, Lombok, dan Kalimantan.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 49
5. Agama Buddha
Seperti halnya agama Hindu, agama Buddha merupakan
salah satu agama pertama yang dianut masyarakat Nusantara.
Bersama-sama agama Hindu, agama Buddha bertahan cukup
lama di Indonesia dan berperan besar membangun peradaban
Indonesia klasik. Selain di Jakarta, penganut agama ini banyak
tersebar di daerah-daerah Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan
Barat.
f. Agama Khonghucu
Agama Khonghucu merupakan salah satu agama yang
mendapat tempat di sebagian masyarakat Indonesia. Kebangunan
paling penting sejarah agama Khonghucu di Indonesia adalah
saat penganut agama ini mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan
(THHK) di Jakarta tahun 1900-an dalam membina dan melayani
umat agama ini. Sejak saat itu, agama ini berkembang di
lingkungan masyarakat Indonesia terutama di wilayah Jakarta
dan Kalimantan.
Kerukunan
50 Umat Beragama MODUL
Tidak hanya dianut dan dijalankan sebagai keyakinan
individu, agama-agama ini dijalankan dan berpengaruh besar
dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Secara sosial
historis misalnya, agama-agama ini telah berperan sebagai spirit
pembangunan peradaban di kawasan Nusantara. Agama Hindu
dan Buddha sebagai dua agama tertua di Indonesia misalnya
berperan besar dalam membangun literasi, sastra, pertanian, seni,
dan politik di sejarah awal Nusantara. Dari sisi politik, agama
Hindu dan Buddha berperan besar melahirkan sejumlah kerajaan
besar di Nusantara seperti Kerajaan Majapahit, Kerajaan Airlangga,
Kerajaan Sriwijaya dan lain-lain. Di sisi seni rupa, kedua agama ini
berperan besar melahirkan bangunan arsitektur keajaiban dunia
seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan berbagai candi
lain di Nusantara. Begitu juga Islam. Agama ini berperan besar
melahirkan sejumlah kerajaan penting masyarakat Nusantara dalam
bentuk kesultanan Islam seperti Kesultanan Demak, Kesultanan
Pasai, Kesultanan Banten, Kesultanan Mataram. Dengan demikian,
agama-agama turut berperan memotivasi dan mewarnai berbagai
aspek kehidupan masyarakat tanah air sejak dulu.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 51
juga menjadikan agama-agama begitu berperan besar dalam
membangun kesadaran berbangsa masyarakat di tanah air. Dengan
demikian, bisa dikatakan jika nilai-nilai luhur agama menjadi
motivasi sekaligus pendorong utama masyarakat tanah air dari
berbagai latar belakang untuk hidup bersama-sama sebagai warga
sebuah kawasan politik kebangsaan dengan mengedepankan sikap
toleransi dan penghargaan terhadap satu sama lain.
Kerukunan
52 Umat Beragama MODUL
●●●
Isu-Isu Kerukunan
Umat Beragama
6
Dalam memelihara kerukunan hidup antar umat beragama,
seringkali ditemukan sejumlah kasus yang menjadi isu penting
dalam memelihara kerukunan hidup antar umat beragama. Beberapa
diantaranya:
MODUL Ker k a
Umat Beragama 53
didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan
umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/
desa. Selain itu, pendirian rumah ibadat juga dilakukan dengan
tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan
perundang-undangan. Untuk itu, pendirian rumah ibadah
diharuskan memenuhi sejumlah persyaratan, baik administratif,
teknis bangunan, maupun persyaratan khusus. Persyaratan
khususnya yaitu:
1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat
setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah;
2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang
yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
3. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota; dan
4. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama
kabupaten/kota.
Sementara itu, jika persyaratan 90 nama dan KTP
pengguna rumah ibadat terpenuhi tetapi syarat dukungan
masyarakat setempat belum terpenuhi, maka pemerintah daerah
berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan
rumah ibadat. Permohonan pendirian sendiri diajukan oleh
panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota
untuk memperoleh IMB rumah ibadat. Panitia pembangunan
rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama,
ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat. Kemudian,
Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari
sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia.
Kerukunan
54 Umat Beragama MODUL
terdengar di Indonesia, tetapi tidak demikian di kalangan ulama
di Timur Tengah. Berikut tulisan ulama besar Suriah Mustafa
az-Zarqa‘ yang termuat dalam kumpulan fatwanya ―Fatwa
Mustafa az-Zarqa‖. Fatwa-fatwa itu dihimpun oleh Majed Ahmad
Makky dan diantar oleh ulama besar Mesir kenamaan: Yusuf
al-Qardhawy. Al-Qardhawy mengakui az-Zarqa‘ sebagai gurunya
dan merasa bangga menulis pengantar tentang kumpulan fatwa
itu. Fatwa ini adalah jawaban az-Zarqa‘ kepada Anas Muhammad
ash-Shabbagh yang bermukim di Saudi Arabia. Terjemahannya
sebagai berikut:
―Menjawab pertanyaan Anda tentang ucapan selamat yang
diucapkan seorang Muslim berkaitan dengan kelahiran Isa
(Natal) dan Tahun Baru Masehi, maka menurut hemat saya:
Ucapan Selamat Natal seorang Muslim kepada kenalannya
yang menganut agama Nasrani termasuk dalam anjuran
berbudi baik dalam interaksi dengan mereka. Sungguh
Islam tidak melarang kita menyangkut harmonisasi
hubungan beragama dan perlakuan baik semacam ini
terhadap mereka, apalagi yang mulia al-Masih dalam
pandangan aqidah kita adalah salah satu Rasul Allah
yang agung dan termasuk satu dari lima Nabi yang amat
diagungkan. Siapa yang menduga mengucapkan selamat
kepada mereka pada hari kelahiran Isa as. Haram—siapa
yang menduga demikian—maka dia salah karena tidak ada
hubungan dalam ucapan itu dengan rincian aqidah kaum
Nasrani dan pandangan mereka terhadap Isa as.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 55
lain-lain—kesemuanya menuntut kaum Muslim mengubah
image buruk itu, apalagi pada Hari Raya Idul Fitri dan
Idul Adha bisa jadi seorang Muslim memiliki teman-teman
yang mengucapkan selamat kepadanya, sehingga bila ia
tidak membalas sikap baik mereka itu dengan berkunjung
kepada yang berkunjung kepadanya pada Hari Lebaran,
maka sikap itu akan semakin mendukung tuduhan yang
ditujukan kepada kaum Muslim,‖ demikian antara lain
Mustafa az-Zarqa‘.
56 Kerukunan
Umat Beragama MODUL
Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf al-Bakkali sehubungan
dengan makna ayat: (berbuat baiklah kepada) tetangga yang
dekat. Tetangga dekat yang dimaksudkan di sini, yakni tetangga
yang Muslim. Sementara itu, (berbuat baiklah kepada) tetangga
yang jauh adalah tetangga yang beragama Yahudi dan Nasrani.
Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Adanya riwayat ini menjadi rujukan bagi ating ka berbuat baik
dengan tetangga harus dilakukan tanpa membedakan agama
mereka.
Banyak hadis yang menganjurkan seorang Muslim untuk
berbuat baik kepada tetangga. Imam Ahmad meriwayatkan
dari Abdullah Ibnu Amr Ibnul As bahwa Nabi SAW bersabda,
―Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang yang paling baik
kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah
orang yang paling baik kepada tetangganya.‖
Nabi SAW bahkan melarang kita untuk menyakiti tetangga
saat menjawab pertanyaan tentang kategori dosa yang paling
besar. Dilansir dari HR Imam Ahmad, disebutkan tentang
sahabat Ibnu Mas‘ud yang bertanya tentang dosa paling besar.
Rasulullah SAW menjawab, ―Bila kamu menjadikan tandingan
bagi Allah padahal Dia yang menciptakan kamu. Bila kamu
membunuh anakmu karena khawatir dia akan bersamamu, bila
kamu berzina dengan istri tetanggamu.‖
Banyaknya anjuran untuk berbuat baik kepada tetangga
dan larangan untuk menyakitinya, membuat Nabi SAW sempat
berprasangka jika Jibril akan menurunkan wahyu tentang
hak mawaris bagi tetangga. Meski demikian, wahyu tersebut
tidak ating. Hadis Riwayat Imam Ahmad yang bersumber dari
Abdullah Ibnu Umar mengungkapkan, Rasulullah SAW telah
bersabda, ―Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai
tetangga, hingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya
hak mawaris.‖
Prof Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan,
ada ulama yang menetapkan bahwa tetangga adalah penghuni
tinggal di sekeliling rumah sejak rumah pertama hingga rumah
ke-40. Ada juga ulama yang tidak memberi batasan tertentu
dan mengembalikannya kepada situasi dan kondisi setiap
masyarakat.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 57
Namun, dewasa ini sering kali ada tetangga yang tidak
dikenal namanya atau bisa jadi ada yang tidak seagama.
Kendati demikian, semua tetangga wajib mendapat perlakuan
baik. Ikut bergembira dengan kegembiraannya, menyampaikan
belasungkawa karena kesedihannya, serta membantunya ketika
mengalami kesulitan. Rasulullah SAW bahkan bersabda kepada
sahabat, Abu Dzar al Ghifari, ―Wahai Abu Dzar, apabila engkau
(keluargamu) memasak daging, perbanyaklah kuahnya dan
berilah tetanggamu.‖ (HR Muslim).
Kisah dari Ulama Salaf Hasan Al-Bashri pun bisa menjadi
rujukan bagi kita dalam bertetangga. Alkisah, dia menahan diri
untuk tidak menggugat tetangganya yang beragama Yahudi.
Padahal, setiap hari rumah Imam Hasan terkena pembuangan
air dapur rumah tetangganya.
Pada satu hari, Hasan Al-Bashri sakit. Tetangga Yahudi
itu pun menjenguk dan kaget dengan bau tidak sedap yang
menyeruak masuk ke dalam rumah sang imam. Sontak Yahudi
itu bertanya, ―Ini bau apa?‖ Hasan Al-Bashri menjawab, ―Air
dari rumahmu.‖ ―Kenapa tidak bilang, sudah berapa lama ini
terjadi?‖ Hasan Al-Bashri pun menjawab ringan, ―Sudah 11
tahun.‖ Yahudi itu malu atas kesalahannya. Dia lantas berikrar
untuk masuk agama Islam.
Kerukunan
58 Umat Beragama MODUL
●●●
Penutup
7
1. Agama dapat mempersatukan perbedaan kultur dalam
masyarakat yang majemuk, sehinngga agama sangat penting
dan sangat berperan dalam membentuk dan membangaun
tatanan masyarakat menjadi lebih teratur, terarah dan lebih
maju karena ajaran agama mampu menciptakan kerukunan
kultur dan memperbaiki kualitas pergaulan pada orang-orang
yang memiliki perbedaan agama pada masyarakat yang majemuk
agar senantiasa hidup berdampingan tanpa ada rasa iri, dengki,
merasa paling benar dan lain-lain.
2. Ukhuwah (persaudaraan) banyak dibicarakan dalam ayat
Alqur‘an, dan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa ukhuwah
islamiyah, yaitu ukhuwah ‘ubudiyah, insaniyah, wathaniyah wa
an-nasab, dan ukhuwah fi din al-Islam.
3. Persaudaraan atau kerukunan menjadi sesuatu yang sangat
penting dalam menjaga kelangsungan bumi yang beragam
adanya, dalam hal ini diperlukan pemahaman kemanusiaan
(sosial masyarakat) antara satu pihak dengan pihak lainnya.
4. Keberagaman yang muncul di dunia ini merupakan sunnatullah
demi kelestarian hidup dan demi mencapai tujuan kehidupan
makhluk di pentas bumi, yaitu mana yang paling bertaqwa di
sisi Allah SWT.
Ker k a
MODUL Umat Beragama 59
B. Peraturan Perundang-undangan
Ker k a
MODUL Umat Beragama 60