Anda di halaman 1dari 25

ISLAM DAN KEBERAGAMAN

Dibuat Oleh:
Davito Ryandra Maulana(50422392)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS GUNADARMA

PTA 2022/2022

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah
ilmiah tentang limbah dan dampaknya untuk masyarakat.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan, baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat dilakukan perbaikan pada
makalah.

Akhir kata, saya berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan dampaknya bagi
masyarakat ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Tangerang selatan, 22 Desember 2022

Davito Ryandra Maulana

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………….…………4
1.2 Tujuan……………………………………………………….…………..5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi keragaman dan keberagamaan Pengertian Keragaman dan
Keberagaman Menurut Para Ahli…………………………………….…………..6
2.2 Menggali konsep Islam tentang Pluralitas, Toleransi dan
Multikulturalisme………………………………………………………………….10
2.3 Batasan toleransi dalam perspektif Islam……………………………15
2.4 Implementasi keragaman dan keberagamaan……………………….19
Implementasi Multikulturalisme dalam dunia Pendidikan
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………..25
3.2 Kritik dan Saran…………………………………………………...…..25

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberagamaan adalah kegiatan yang berkaitan dengan
agama dan juga suatu unsur kesatuan yang komprehensif, yang menjadikan
seseorang disebut sebagai orang beragama dan bukan sekedar mengaku
mempunyai agama. Hal penting dalam beragama adalah memiliki keimanan.
Keimanan sendiri memiliki banyak unsur, unsur yang paling penting adalah
komitmen untuk menjaga hati agar selalu berada dalam kebenaran. Secara
praktis, hal ini diwujudkan dengan cara melaksanakan segala perintah dan
menjauhi semua larangan Allah dan Rasul Nya. Seseorang yang beragama
akan merefleksikan pengetahuan agamanya dalam sebuah tindakan keberagamaan,
melaksanakan ibadah dan mengembangkan tingkah laku yang terpuji.
Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek
rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang
direfleksikan kedalam peribadatan kepada-Nya, baik bersifat hablumminallah
maupunhablumminannas. Manusia dalam hidupnya selalu merindukan
kebahagiaan. Kebahagiaan yang hakiki ternyata bukanlah berasal dari pola
hidup bebas seperti burung, melainkan justru diperoleh melalui pola hidup yang
konsisten mentaati suatu aturan tertentu, yaitu agama. Sebagai langkah awal
dalam mencari kebahagiaan, manusia harus menyadari makna ke beradaannya di
dunia ini. Peranan agama adalah sebagai pendorong atau penggerak serta
mengontrol dari tindakan- tindakan para anggota masyarakat untuk tetap
berjalan sesuai dengan nilai- nilai kebudayaan dan ajaran - ajaran agamanya,
sehingga tercipta ketertiban sosial. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap
sebagai norma dan sebagai sosial kontrol sehingga dalam hal ini agama dapat
berfungsi sebagai pengawas sosial secara individu ataupun kelompok.

4
1.2 Tujuan
Secara Teoritis penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah
keilmuan tentang pengaruh intensitas mengikuti Bimbingan Agama Islam
penghuni Lokalisasi terhadap tingkat Keberagamaan.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi keragaman dan keberagamaan


Pengertian Keragaman dan Keberagaman Menurut Para Ahli

Keberagaman atau diversity semula dipergunakan dalam pengertian secara


umum sebagai pernyataan bervariasi (Chris Speechley dan Ruth Weatley, 2001: 4).
Namun, keberagaman kemudain berkemabang dan dipergunakan untuk menjelaskan
terdapatnya variasi di tempat pekerjaan, karena dalam suatu organisasi terdapat orang
dengan berbagai latar belakang dan budaya.

Frederick A. Miller dan Judith H. Katz (2002: 198) berpendapat bahwa


keberagaman merupakan tentang identitas sosial kelompok yang meliputi suatu
organisasi. Mereka menyatakan pula bahwa terminologi keberagaman ataudiversity
sering salah dipergunakan, dengan saling mempertukarkan dengan pengertian
affirmative action, equal employment opportunity, dan inclusion, karena
masing-masing mempunyai makna sendiri yang unik.
James L. Gibson, Jhon M. Ivancevich dan James H. Donnelly, Jr. (2000: 43)
berpandangan bahwa keberagaman adalah pebedaan fisik dan budaya yang sangat luas
yang menunjukkan aneka macam perbedaan manusia. Sama halnya dengan Miller dan
Katz, Gibson, Ivancevich, dan Donnelly menilai bahwa banyak pendapat orang tentang
keberagaman yang sangat membingungkan. Keberagaman bukanlah sinonim untuk
equal employment opprtunity atau bukan pula sebagai affirmative action.
Pendapat-pendapat tersebut sejalan dengan analisis Roosevelt Thomas bahwa istilah
keberagaman sering dipergunakan untuk kepentingan politik untuk menjelaskan
tentang humans right dan affirmative action.
Lebih lanjut, R. Roosevelt Thomas, Jr. (2006: 203) menyatakan bahwa
keberagaman tenaga kerja dapat terjadi dalam berbagai cara, tidak hanya berupa ras

6
dan gender, tetapi juga umur, orientasi seksual, latar belakang pendidikan dan asal
geografis. Selanjutnya ditekankan bahwa sebuah organisasi dapat mengalami
kekurangan dalam keberagaman demografis tenaga kerja dan sekarang bahkan terdapat
keberagaman lain, dalam bentuk keberagaman fungsional, produk, pelanggan, dan
akuisisi atau merger. Dengan demikian, keberagaman juga dilihat dari aspek
organisasional.
Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa cara para ahli mengungkapkan
pengertian keberagaman sangat bervariasi, namun menunjukkan adanya persamaan.
Keberagaman menyangkut aspek yang sangat luas, dapat dilihat dari tingkatannya dan
faktor yang mempengaruhunya. Keberagamn dapat terjadi pada tingkat individu,
kelompok, organisasi, komunitas, dan masyarakat. Keberagaman juga sangat
dipengaruhi oleh latar belakang demografis dan budaya sumber daya manusia, kondisi
lingkungan internal tempat kerja dan kondisi eksternal masyarakat yang dihadapi.
Dengan demikian, dapat dirumuskan pengertian keberagaman sebagai variasi
dari berbagai macam kombinasi elemen demokrafis sumber daya manusia,
organisasional, komunitas, masyarakat, dan budaya.
Keragaman dan Keberagamaan dalam Islam
Bangsa Indonesia memiliki keragaman yang begitu banyak, tidak hanya
masalah adat istiadat atau budaya seni, bahasa dan ras, tetapi juga termasuk masalah
agama.Walaupun mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, ada beberapa
agama dan keyakinan lain yang juga dianut penduduk ini. Kristen, Katolik, Hindu,
Budha dan Khonghucu adalah contoh agama yang juga tidak sedikit dipeluk oleh
warga Indonesia. Setiap agama tentu punya aturan masing-masing dalam
beribadah.Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah. Sebagai satu
saudara dalam tanah air yang sama, setiap warga Indonesia berkewajiaban menjaga
kerukunan umat beragama di Indonesia agar negara ini tetap menjadi satu kesatuan
yang utuh dan mencapau tujuannya sebagai negara yang makmur dan berkeadilan
sosial. Islam dalam melihat keberagaman merupakan sesuatu yang niscaya dan

7
menjadi realita kehidupan manusia.Banyak ayat Al-Quran yang menerangkan realitas
sunnatullah tersebut. Diantara ayat AlQuran dalam hal ini adalah (artinya):
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?” (QS. Yunus/10:99).
“ Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi
rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka”.(QS. Hud/ 11:
118-119).
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat
(saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang
apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. AnNahl/16: 93)
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat
(saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam
rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun
dan tidak pula seorang penolong” (QS. AsySyura/26: 8).
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu” (QS. al Hujurat/49:
13).
Disamping Al-Quran menegaskan keniscayaan keberagaman manusia dalam
SARA, Al-Quran juga memerintahkan kepada semua pengikutnya untuk tetap berbuat
baik dan adil kepada sesama manusia, meskipun diluar agamanya. Diantara ayat-ayat
Al-Quran yang memerintahkan berbuat baik dan adil kepada sesama adalah kalam
Allah yang artinya:

8
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS.
Al-Maidah/5:8).
Sejarah Islam telah mencatat tentang para sahabat Rasulullah saw yang
menerapkan hukum secara adil, baik kepada kawan maupun lawan, miskin atau kaya,
atau antara muslim dengan non muslim. Dalam hal ini Abu Bakar berkata dalam
khutbah pelatikannya, “Orang yang kuat diantara kalian adalah lemah sehingga aku
mengambil hak darinya, dan orang yang lemah dari kalian adalah kuat, sehingga aku
memberikah hak baginya”.
Dan Umar ketika mengangkat seorang hakim, Abu Musa alAsy’ari ia berpesan,
“Samakan antara manusia di hadapanmu, di majlismu, dan hukummu, sehingga orang
lemah tidak putus asa dari keadilanmu, dan orang mulia tidak mengharap
kecuranganmu”.(HR. Ad- Daaruquthni).
Kisah nyata adalah kejadian tentang perselisihan hukum yang terjadi antara
seorang khalifah Ali bin Abi Thalib dengan seorang yahudi. Namun pada akhrinya
hakim memberikan kemenangan kepada orang yahudi, karena Ali bin Abi Thalib tidak
mampu menghadirkan saksi atas klaimnya.
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (QS.
Al-Isra‘/17:70).
Ayat ini menunjukkan kemuliaan manusia terlepas indentitasnya. Karena dalam
Islam pada dasarnya semua kedudukan manusia adalah sama. Rasulullah yang
menyatakan bahwa, “Tidak ada kelebihan bagi orang arab atas orang non arab, dan
tidak ada kelebihan bagi non Arab atas orang Arab, dan tidak ada kelebihan bagi
warna merah atas warna hitam kecuali dengan takwa” (HR. Imam Ahmad). Karenanya
Rasulullah, berdiri menghormati jenzah seorang Yahudi yang sedang lewat

9
didepannya. Ketika ditanya hal terbut, beliau mengatakan, “Bukankah ia juga seorang
manusia?”.(HR. Bukhari dan Muslim).
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. “.(QS. AlMumtahanah/60: 8-9).
Bahkan dalam kondisi perang pun, Islam tetap memerintahkan untuk menjaga
akhlak kasih sayang dengan adanya dilarang keras untuk membunuh orangtua, wanita
dan anak kecil, serta dilarang merusak rumah peribadatan dan menumbangkan
tumbuh-tumbuhan. Itulah ajaran Islam sejak empat belas abad yang lampau, melalui
khoirul anbiya‘nabi Muhammad saw. Sebuah ajaran yang menebarkan kasih sayang
sekalipun kepada orang yang berbeda kenyakinan.
2.2 Menggali konsep Islam tentang Pluralitas, Toleransi dan
Multikulturalisme
Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata pluralis yang berarti jamak, lebih dari satu, atau
pluralizzing sama dengan jumlah yang menunjukkan lebih dari satu, atau lebih dari
dua yang mempunyai dualis, sedangkan pluralisme sama dengan keadaan atau paham
dalam masyarakat yang majemuk bersangkutan dengan system social politiknya
sebagai budaya yang berbeda-beda dalam satu masyarakat. Dalam istilah lain
plualisme adalah sama dengan doktrin yang menyatakan bahwa kekuasaan,
pemerintahan di suatu Negara harus dibagi bagikan antara berbagai gelombang
karyawan dan tidak dibenarkan adanya monopoli suatu golongan.
Dalam kamus filsafat, Pluralisme mempunyai ciri-ciri sebagai berikut;
Pertama, Realitas fundamental bersifat jamak, berbeda dengan dualisme yang
menyatakan bahwa realitas fundamental ada dua dan monisme menyatakan bahwa

10
realitas fundamental hanya satu. Kedua; Banyak tingkatan hal-hal dalam alam semesta
yang terpisah tidak dapat diredusir dan pada dirinya independent. Ketiga; Alam
semesta pada dasarnya tidak ditentukan dalam bentuk dan tidak memiliki kesatuan
atau kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan kohern dan rasional
fundamental. Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang
luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda dan
dipergunakan dalam cara yang berlainan pula.
Dalam tinjauan normatif pluralitas agama dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat
yang menunjukkan pada nilai-nilai pluralisme, sebagaimana dalam al-Qur’an yang
artinya:
“ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” Qs. Al-Hujarat (49);13
Dalam ayat tersebut Alwi Shihab menafsirkan kata lita’arofuu, bukan hanya
berarti berinteraksi, tapi berinteraksi positif, selanjutnya dari akar kata yang sama pula
setiap perbuatan baik dinamakan ma’ruf. Dengan demikian pluralitas memang
dikehendaki-Nya:
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” Surat Hud (11);118
Demikian pluralitas yang dimaksud adalah interaksi saling yang berimplikasi
positif, hal ini tercermin penggunaan kata mukhtalifin lanjut Alwi Shihab yang
berkonotasi positif, take and give, kasih sayang saling menghormati secara damai
terbentuk dalam perbedaan tersebut, Sedangkan kata syiqaq sebaga lawan dari
mukhtalifin bermakna perbedaan yang berkonotasi negative, sehingga perbedaan
pendapat yang membawa pada pertikaian disebut syiqaq dan yang berarti khilaf adalah

11
perbedaan yang didasari atas saling hormat-menghormati. Hal ini dipertegas dalam
surat Al-Ankabut (29);46.
“ Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang
paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah kami
telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya
berserah diri.” Qs. Al-Ankabut (29);46.
Selanjutnya, dalam bukunya Anggukan retmis kaki pak kyai Emha Ainun
Najib sampaikan bahwa ditengah pluralitas sosial dan agama di era modern saat ini
merupakan lahan kita untuk menguji dan memperkembangkan kekuatan keIslaman
kita. Karena pemenang didapat dari seleksi ketat antar kompotitor siapa yang konsisten
dengan keimanan dan berpegang tuguh pada ketaqwaannya, maka dialah
pemenangnya.
“…. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kmu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
(Al.Maidah (5);48)
Keberagaman merupakan sunnatullah yang harus direnungi dan diyakini setiap
umat, kesadaran umat beragama menjadi kunci bagi keberlangsungan dalam
menjalankan agamanya masingmasing. Setiap agama memiliki substansi kebenaran,
dalam filsafat prenial suatu konsep dalam wacana filsafat yang banyak membicarakan
hakekat Tuhan sebagai wujud absolut merupakan sumber dari segala sumber wujud.
Sehingga semua agama samawi berasal dari wujud yang satu, atau adanya the common
vision menghubungkan kembali the man of good dalam realitas eksoterik
agama-agama. Disamping itu pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati
kebinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan pluralisme adalah suatu keharusan
bagi keselamatan manusia, melalui mekanisme dan pengimbangan masing masing

12
pemeluk agama dan menceritakan secara obyektif dan transparan tentang histores
agama yang dianutnya. (QS. Al-Baqarah 2:251), kehidupan beragama di masyarakat
sering memunculkan pelbagai persoalan yang bersumber dari ketidak seimbangan
pengetahuan agama, termasuk budaya sehingga agama sering dijadikan kambing hitam
sebagai pemicu kebencian. Padahal fitroh agama masing-masing mengajarkan
kebaikan dan kemanusiaan, seperti dalam, (QS. AlMaidah,5:48). Sayyed Husein Nasr
“dalam sebuah pengantarnya “Islam Filsafat Perenial” dijelaskan” sebuah agama tidak
bisa dibatasi olehnya, melainkan oleh apa yang tidak dicakup olehnya, setiap agama
pada hakekatnya suatu totalitas. Cukup menarik untuk dikaji apa yang disampaikan
Sayyed Husein Nasr tentang pluralisme Agama secara lebih mendalam mengingat
beliau merupakan salah satu tokoh yang secara inten dan serius bergelut tentang
masalah pluralisme dalam ranah filosofis.
Toleransi
Islam mengajak kepada umatnya untuk selalu menjalin kehidupan yang
harmonis antara sesama umat manusia. Agama Islam merupakan agama yang penuh
dengan toleransi. Toleransi dalam Islam bukan hanya terdapat dalam ajarannya saja
secara tekstual, tetapi juga telah menjadi karakter dan tabiat hampir seluruh umat Islam
dari zaman Muhammad SAW sampai sekarang ini.
Agama Islam tidak melarang umatnya untuk melakukan hubungan dengan
orang-orang non Islam, tetapi hubungannya harus sebatas hubungan duniawi saja.
Islam tidak melarang hal ini, sebab menjalin hubungan dengan orang-orang non
Muslim ini merupakan suatu perbuatan yang positif asalkan dalam menjalin hubungan
dengan orang-orang non Islam ini, harus selalu waspada dan menjaga agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Sebab umat-umat non Islam itu selalu ingin
menjatuhkan agama Islam dan dengan adanya toleransi yang dilakukan oleh umat
Islam ini, mereka masih menginginkan yang lain, mereka itu tidak henti-hentinya ingin
merongrong agama Islam dengan jalan apa pun. Dengan adanya toleransi antar umat
beragama ini mereka mengharap umat Islam harus diam jika kaum Penginjil

13
mengkristenkan kaum awam yang baragama Islam (Rasjidi, 1980 : 49). Kalau sudah
pada hal yang demikian, maka tidak ada toleransi dalam lslam. Toleransi menurut
Islam memang positif, tetapi dalam melaksanakan toleransi itu bukan berarti harus
diam terhadap apa yang terjadi pada agama yang dianut. Seperti yang sudah dijelaskan
di atas bahwa toleransi itu hanya sebatas pada masalah sosial saja bukan masalah
akidah. Setiap agama memang mengajarkan untuk selalu menjalin kehidupan yang
rukun dan harmonis dengan orang yang ada di sekelilingnya, tidak terkecuali Islam.
Islam selalu memerintahkan kepada umatnya untuk selalu menjalin hubungan yang
baik dengan sesamanya.
Dengan demikian, maka jelaslah sudah bahwa toleransi menurut padangan
Islam itu positif dan harus selalu dibina, dan dalam usaha membina toleransi ini maka
diperlukan kesadaran dari setiap umat beragama, tanpa adanya itu maka semuanya
tidak ada gunanya. Bahwa persamaan-persamaan antara ajaran agamaagama itu
banyak dan dapat dijadikan kohesi atau perekat kerjasama social, sementara adanya
perbedaan itu hendaknya diangkat menjadi sesuatu yang wajib dihormati oleh sesama
umat beragama(Pengembangan, Islam, & Pehdahuluan, n.d.)
Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah kesejajaran budaya. Masing-masing budaya manusia
atau kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi
dan tidak ada yang lebih dominan. Melihat istilah ini, multikulturalisme berarti ingin
menumbuhkan sikap ragu-ragu atau skeptis sehingga yang ada hanya relatif.
Kemudian juga Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A dalam pengantar buku Pendidikan
Multikultural mengatakan “setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada pada
posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap
tinggi (superior) dari kebudayaan lain. Ungkapan seperti inilah yang harus disikapi
dengan arif dan bijak. Ungkapan di atas bisa diartikan bahwa semua kebudayaan
adalah sama tak ada yang lebih tinggi. Jika hal ini yang dimaksud berarti istilah baik
dan buruk adalah memiliki makna yang sama. Sebab semua dipukul rata. Tidak ada

14
yang lebih unggul. Padahal dalam ajaran Islam suatu kebaikan adalah lebih tinggi
derajatnya dari sesuatu yang lebih buruk. Sesuatu yang benar lebih mendapatkan
tempat dari pada kesalahan. Islam juga sangat jelas membendakan haq dan bathil,
muslim dan musyrik.
Dari konsep tentang pluralisme, toleransi dan multikulturalisme di atas dapat
difahami bahwa ketiganya berorientasi pada tidak membeda-bedakan antara masing
masing komunitas untuk kontinuitas keharmunisan, tetapi ketiganya juga mempunyai
titik tekan yang berbeda, pluralisme lebih pada nilai-nilai agama, Toleransi pada nilai
kehidupan sehari-hari, sedangkan multikulturalisme pada nilai-nilai budaya (Rakhmat,
2006).
2.3 Batasan toleransi dalam perspektif Islam
Toleransi mengandung pengertian kesediaan menerima kenyataan pendapat
yang berbeda-beda tentang kebenaran yang dianut. Dapat menghargai keyakinan orang
lain terhadap agama yang dipeluknya serta memberi kebebasan untuk menjalankan apa
yang dianutnya dengan tidak sinkretisme dan bukan pada prinsip agama yang
dianutnya. Toleransi antar umat beragama dapat diwujudkan dalam bentuk antara lain:
Saling menghormati
Memberi kebebasan kepada pemeluk agama lain dalam menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya
Tolong-menolong dalam hidup bermasyarakat.
Meskipun demikian antar umat beragama dapat diwujudkan sebagaimana
tersebut di atas, tetapi bukan berarti dalam melaksanakan toleransi ini dengan
mencampur adukkan antara kepentingan sosial dan aqidah. Dalam melaksanakan
toleransi ada batasan-batasan tertentu.
Menurut Ali Machsum (Rais' Aam Nahdlatul Ulama) :
"Batasan toleransi itu ada menurut keyakinannya masing-masing. Islam
menghormati orang yang beragama Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya. Bukan
karena dia Kristen, Budha atau Hindu tapi Islam menghormati mereka sebagai umat

15
Allah. Ciptaan Allah yang wajib dikasihi. Islam mewajibkan untuk saling
menghormati sesama umat beragama, tapi akan murtad kalau dengan itu membenarkan
agama lain… …" (Hasanuddin, 1420 H : 42).
Dari pendapat yang disampaikan oleh Ali Machsum, tentang batasan toleransi
ini, membuktikan gambaran bahwa umat beragama bertoleransi dan menghormati
orang lain (umat beragama lain) itu dengan tidak memandang apa agama yang dipeluk
oleh orang tersebut melainkan dengan melihat bahwa dia adalah umat Allah atau
ciptaan Allah yang wajib dikasihi dan dihormati sebab sebagai umat beragama dan
umat manusia wajib saling meghormati dan mengasihi.
Toleransi antar umat beragama bukan sinkretisme, seperti yang telah dijelaskan
di atas. Toleransi tidak dibenarkan dengan mengakui kebenaran semua agama. Sebab
orang salah kaprah dalam mengartikan dan melaksanakan toleransi. Misalnya, ada
orang yang rela mengorbankan syari'at agama dengan tidak minta izin pada tamunya
untuk sholat malah menunggui tamunya karena takut dibilang tidak toleransi dan tidak
menghargai tamu. Bukan seperti ini yang diinginkan dalam toleransi itu, toleransi antar
umat beragama yang diharapkan di sini adalah toleransi yang tidak menyangkut bidang
akidah atau dogma masing-masing agama. Melainkan hanya menyangkut amal sosial
antar sesama insan sosial, sesama warga, sehingga tercipta persatuan dan kesatuan.
Setiap agama mempunyai ajaran sendiri-sendiri dan pada dasarnya tidak ada
agama. yang mengajarkan kejelekan kepada penganutnya. Salah satu tujuan pokok
ajaran agama adalah pemeliharaan terhadap agama itu sendiri, yang antara lain
menuntut peningkatan pemahaman umat terhadap ajaran agamanya serta membentengi
mereka dari setiap usaha pencemaran atau pengaruh lain yang membuat akidah mereka
tidak murni lagi (Quraish Shihab, 1992 : 368). Begitu juga dengan agama Islam,
agama Samawi yang ajarannya berasal dari Allah SWT, tidak menghendaki adanya
pencampuran ajarannya dengan ajaran lain. Oleh karena itu untuk mengatisipasi hal
tersebut Islam telah memberikan batasanbatasan pada umatnya dalam melaksanakan
hubungan antar sesama manusia, apalagi dalam melaksanakan toleransi antar umat

16
beragama. Allah telah menurunkan kitab suci al-Qur'an kepada nabi Muhammad
SAW untuk disampaikan kepada segenap umat manusia, guna dijadikan pegangan dan
pedoman hidup. Dalam kitab suci al-Qur'an inilah terdapat aturan tentang
batasanbatasan dalam bertoleransi antar umat beragama bagi umat Islam. Sebagaimana
firman Allah SWT :
ۚ ‫اج ُك ْم َأ ْن تَ َولَّوْ هُ ْم‬ ِ َ‫ِّين َوَأ ْخ َرجُو ُك ْم ِم ْن ِدي‬
ِ ‫ار ُك ْم َوظَاهَرُوا َعلَ ٰى ِإ ْخ َر‬ ِ ‫ِإنَّ َما يَ ْنهَا ُك ُم هَّللا ُ ع َِن الَّ ِذينَ قَاتَلُو ُك ْم فِي الد‬
َ‫ك هُ ُم الظَّالِ ُمون‬ َ ‫َو َم ْن يَتَ َولَّهُ ْم فَُأو ٰلَِئ‬
Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir
kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS.
Al-Mumtahanah :9).

Dengan ayat ini, Allah memberi peringatan kepada umat Islam bahwa
toleransi itu ada batasannya. Toleransi antar umat beragama tidak boleh dilaksanakan
dengan kaum atau golongan yang memusuhi umat Islam karena agama dan mengusir
orang-orang Islam dari kampung halamannya, kalau yang terjadi demikian maka umat
Islam dilarang untuk bersahabat dengan golongan tersebut. Bahkan dalam situasi dan
kondisi yang demikian itu, Allah memerintahkan dan mewajibkan kepada umat Islam
untuk berjihad dengan jiwa, raga dan harta bendanya untuk membela agamanya, hal
ini dijelaskan dalam firman Allah SWT:
َ‫يل هَّللا ِ الَّ ِذينَ يُقَاتِلُونَ ُك ْم َواَل تَ ْعتَدُوا ۚ ِإ َّن هَّللا َ اَل ي ُِحبُّ ْال ُم ْعتَ ِدين‬
ِ ِ‫َوقَاتِلُوا فِي َسب‬
Artinya : "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas" (QS. AlBaqarah : 190).

Di samping itu Allah juga memberikan batasan toleransi itu hanya sebatas
pada kepentingan sosial atau kepentingan duniawi saja, tidak boleh menyangkut

17
pautkan dengan masalah aqidah agama, hal ini dijelaskan dalam firman Allah surat
Al-Kafirun ayat 1-6 :
﴾٤﴿ ‫﴾ َواَل َأنَا عَابِ ٌد َّما َعبَدتُّ ْم‬٣﴿ ‫﴾ َواَل َأنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما َأ ْعبُ ُد‬٢﴿ َ‫﴾ اَل َأ ْعبُ ُد َما تَ ْعبُ ُدون‬١﴿ َ‫قُلْ يَا َأيُّهَا ْال َكافِرُون‬
ِ ‫﴾ لَ ُك ْم ِدينُ ُك ْم َولِ َي ِد‬٥﴿ ‫﴾ َواَل َأنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما َأ ْعبُ ُد‬
٦﴿ ‫ين‬
Artinya : “Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku" (Qs. Al-Kafirun : 1-6).

Ayat di atas diturunkan kepada nabi Muhammad pada waktu nabi diajak oleh
kaum Musyrik Mekkah untuk mengadakan kompromi agama. Mereka (kaum Musyrik)
mengajukan syarat yang tidak bisa diterima oleh Nabi, syaratnya yaitu dengan
mengadakan ibadah secara bergantian, maksudnya, pada waktu-waktu tertentu kaum
Musyrik melakukan ibadah seperti yang diajarkan oleh nabi Muharnmad, dan
sebaliknya nabi Muhammad SAW dan pengikutnya pun harus mengikuti ibadah yang
dilaksanakan oleh kaum Musyrik. Tehadap keinginan kompromi semacam itu, Allah
menurunkan wahyu sebagaimana tersebut dalam surat Al-Kafirun bahwa kompromi
agama tidak mungkin dilakukan umat Islam, biarlah dalam hal ibadah ini
masing-masing melaksanakan sesuai dengan keyakinannya (Ahmad Azhar Basyir,
1993 : 240). Dan dengan surat ini secara tidak langsung Allah melarang keras adanya
kompromi agama serta memberi tahu kepada umat manusia terutama umat
Muhammad SAW, bahwa Islam tidak mengenal toleransi dalam hal keimanan dan
peribadatan (Maftuh Adnan, 1992 : 240). Hal ini sudah tidak bisa diganggu gugat,
sebagai umat Islam kita harus bisa melaksanakan semua itu, agar tidak tersesat
(Pengembangan et al., n.d.).

18
2.4 Implementasi keragaman dan keberagamaan
Implementasi Multikulturalisme dalam dunia Pendidikan
Pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun
kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya
dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi
lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik
untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan
implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa
mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai
kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan
menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima
perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup
bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita
mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan
melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari
kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah
maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah
satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural
adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap
penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan
budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan
ketidak-toleranan seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau
ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur
monolitik dan uniformitas global.

19
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau
pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial,
ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan
multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan
gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri
tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk
pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna
lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa
perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an.
Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide
persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal
1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten
dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan
oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan
kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap
sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah
yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan
aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan
multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide
persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok
sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang
memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam
kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya
dengan transformasi dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic,
warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan
pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk

20
memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum
minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat
populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural
menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini
diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas
terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global
sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa.
Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya
mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada
dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta
mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan
yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong
konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian,
persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan
hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa
kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan
kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka
mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk
berbagi dan memelihara. Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya
menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki
keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan
multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang
dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang
beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural
semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde
Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa

21
berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan
primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan
multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat
dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa
yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan
penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa
agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam
menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik
serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari
kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan
untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk
berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang
merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada
penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut
pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam
memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman
persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan
memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan
multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat
toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin.

22
Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya
mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan
kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta
memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan
secara demokratis.
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat
diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat
dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam
pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem
pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun
Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus
dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan
dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model
pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini.
Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat
dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui
mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian
juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan
misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah
menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti
PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran
yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.
Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui
pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan
mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar
anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat
diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial

23
terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam
proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga.
Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural
dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di
sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga
yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya
sistem sosial yang lebih berkeadilan.

24
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan materi diatas setidaknya penulis dapat menyimpulkan bahwa
Agama diturunkan untuk manusia sebagai pedoman dan tuntunan hidup manusia di
dunia. Tujuan hidup manusia di dunia menurut tuntunan agama Islam adalah
kehidupan yang mengarah pada pencapaian kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di
akhirat. Bahagia dunia yang ditandai dengan kecukupan materi bersitat sementara dan
semu/majazi, tetapi bahagia akhirat bersifat abadi dan hakiki, walaupun terkadang
tidak berkelebihan secara materi.

3.2 Kritik dan Saran


Tentunya penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas
masih banyak kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Kritik dan saran yang dapat
membangun, sehingga penulisan makalah ini di kemudian hari dapat disajikan secara
sempurna.

Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu
dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun
dari para pembaca.

25

Anda mungkin juga menyukai