Anda di halaman 1dari 22

IK H

LAS BERAM AL

UNSUR UTAMA

SUB UNSUR PELAKSANAAN DIKJARTIH


(BAHAN AJAR)
“Konsep Dasar Kerukunan Umat Beragama”

Disampaikan pada:
Pelatihan Blended Learning Kerukunan Umat Beragama
Balai Diklat Keagamaan Surabaya, 21-22 Mei 2021

Oleh:
Dra. Hj. Mamik Syafa’ah, M.Pd.I
NIP. 196709072002122001
Widyaiswara Madya

KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI JAWA TIMUR


BALAI DIKLAT KEAGAMAAN SURABAYA
Jl. Ketintang Madya No.92 Telp. (031) 8280116 Fax. 8290021
SURABAYA

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep kehidupan umum masyarakat dunia termasuk di dalamnya bangsa Indonesia


tidak pernah terlepas dari konsep kehidupan global yang sudah berjalan melalui proses yang
sangat panjang. Konsep tersebut menjadi konsep berbangsa, bernegara; seperti Kapitalisme,
Liberalisme, Sosialisme, Komunisme, Sekularisme dan konsep berbangsa dan bernegara
yang berlandaskan agama berikut turunan-turunannya, Stalinisme, Leninisme, Mao tse Tung,
(Islam, Kristen, Hindu, Budha) Liberal, Moderat dan Radikal.
Seluruh Konsep kehidupan dan isme dijadikan sebagai filosofi kehidupan berbangsa dan
bernegara untuk membentuk tatanan kehidupan serta peradaban manusia, yang tidak lain
memiliki maksud dan tujuan untuk mewujudkan keselarasan dan kesejahteraan masyarakat
dan bangsanya. Eforia isme politik tersebut berkembang di era perebutan kekuasaan pasca
perang dunia I dan II melalui proyek-proyek politik propaganda untuk saling memberi
pengaruh dari negara-negara yang menang dalam perang tersebut untuk dijadikan konsumsi
bagi Negara yang mendapat nasib kalah dalam perang, atau negara-negara yang memang
memiliki kondisi sumber daya manusia dan alam sebagai objek perebutan kekuasaan, atau
juga memang karena memiliki kelemahan sehingga dari awal menjadi objek jajahan. Di
Indoneia sendiri sebagai Negara yang memiliki nasib terjajah karena ekses dari penemuan-
penemuan lost land oleh bangsa-bangsa Eropa serta ekses dari perang dunia I dan II,
memiliki sejarah kehidupan yang panjang serta berganti haluan politik. Bahkan hampir
semua isme dan haluan politik pernah dilalui oleh para pendiri bangsa (founding father).
Diyakini semua ini dimaksudkan ingin membangun tatanan kehidupan bangsa yang
progresif, maju dan memiliki peradaban bangsa yang lebih baik dan maju pasca penjajahan
yang kita alami selama 350 tahun.
Dengan melalui proses panjang dan perjuangan yang tidak sedikit memakan korban,
maka para wakil rakyat dan pemimpin bangsa menetapkan bahwa idiologi dan konsep
berbangsa dan bernegara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 45.
Ironis sekali ditengah perjuangan penataan peradaban bangsa Indonesia, justru bangsa
Indonesia terpuruk dan makin terpuruk karena konsistensi bangsa kita akan perwujudan
peningkatan kualitas bangsa hancur karena persepsi individual dan kelompok yang terlalu
dipaksakan karena memiliki ego politik dan ego kepentingan kelompok yang terlalu
dikedepankan. Indonesia hancur berantakan karena kesalahan konsep kehidupan dari level
atas, menengah hingga bawah salah berpijak. Sifat-sifat yang pernah menjadi tauladan para
pemimpin bangsa dan agama yang selalu merujuk kepada nilai-nilai etika moral dan agama
disisihkan bahkan dijadikan sebuah konsumsi insidentil yang bersifat seremonial saja.
Para pemimpin korup, dzalim dan anarkis dalam melaksanakan kepemimpinannya,
pengusaha memanfaatkan kebejatan para pemimpin untuk menghisap darah rakyat, dan
rakyat dari level atas hingga level grass root asyik mencontoh kedzaliman yang dilakukan
para pemimpin, yang pada gilirannya menjadi kejahatan sistemik yang tidak disadari oleh
mereka dan alhasil menjadikan negara yang paling miskin, korup, bodoh dan banyak julukan
negatif bagi negara kita.
Indonesia adalah termasuk negara yang penduduknya majemuk dalam suku, adat, budaya
dan agama. Kemajemukan dalam hal agama terjadi karena masuknya agama-agama besar ke
Indonesia.
Perkembangan agama-agama tersebut telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang beragama, dimana kehidupan keagamaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Suatu bukti dalam hal ini dapat dilihat dalam kenyataan
bahwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah,
sangat dipengaruhi antara lain oleh motivasi agama. Selain itu inspirasi dan aspirasi
keagamaan tercermin dalam rumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Proses penyebaran dan perkembangan agama-agama di Indonesia berlangsung dalam
suatu rentangan waktu yang cukup panjang sehingga terjadi pertemuan antara yang satu
dengan yang lainnya. Dalam pertemuan agama-agama tersebut timbullah potensi integrasi
dan potensi kompetisi tidak sehat yang dapat mengakibatkan disintegrasi.
Potensi integrasi diartikan sebagai suasana keharmonisan hubungan dalam dinamika
pergaulan terutama intern umat beragama dan antar umat beragama. Potensi integrasi
tersebut tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana tercermin
dalam suasana hidup kekeluargaan, hidup bertetangga baik dan gotong royong. Hal ini dapat
dilihat dari hubungan harmonis dalam kehidupan beragama seperti saling hormat
menghormati, kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, saling bersikap
toleransi, sehingga dalam sejarah bangsa Indonesia tidak pernah terjadi perang antar
penganut agama. Hubungan kerjasama antar pemeluk agama terlihat dalam kehidupan sehari-
hari, seperti saling tolong-menolong dalam pembangunan tempat ibadah dan dalam
membangun bangsa dan negara. Potensi kompetisi berarti suasana saling persaingan dalam
dinamika pergaulan, baik intern umat beragama maupun antar umat beragama. Kompetisi ini
dapat berjalan secara baik atau dalam suasana damai, dan dapat pula terjadi dalam berbagai
bentuk pertentangan, benturan atau friksi. Dalam sejarah kehidupan keagamaan di Indonesia
diakui pernah terjadi ketegangan atau friksi, namun masih dalam batas-batas kewajaran
sebagai suatu dinamika dalam hubungan pergaulan atau interaksi antar umat beragama

B. Deskripsi Singkat
Bahan Ajar ini diperuntukkan bagi peserta Pelatihan Blended Learning Kerukunan Umat
Beragama, dan mata pelatihan ini membahas: Konsepsi kerukunan umat beragama; Dasar-
dasar kerukunan secara teologis,filosofis dan praksis; peluang dan tantangan kerukunan;
dan Analisis SWOT pengembangan kerukunan umat beragama..

C. Standar Kompetensi
Setelah mengikuti pembelajaran ini diharapkan peserta Pelatihan Blended Learning
Kerukunan Umat Beragama dapat memahami dasar-dasar peluang dan tantangan serta
pemetaan pengembangan kerukunan umat beragama..

D. Kompetensi Dasar
1. Menjelaskan Konsep kerukunan umat beragama;
2. Menjelaskan Dasar-dasar kerukunan tinjauan teologis, filosofis dan praksis;
3. Analisis SWOT pengembangan kerukunan umat beragama.

E. Indikator
1. Konsep kerukunan umat beragama:
a. Pengertian Rukun ;
b. Tiga Unsur Kerukunan Umat Beragama;
c. Ruang lingkup Kerukunan.
2. Dasar-dasar kerukunan tinjauan teologis, filosofis dan praksis:
a. Trilogi Kerukunan Umat Beragama
b. Konsep agree in disagreement
c. Klaim kebenaran dan jalan keselamatan.
3. Analisis SWOT pengembangan kerukunan umat beragama:
a. Peran Majelis Agama Dalam membangun KUB
b. Teologi kerukunan menurut agama-agama yang ada di Indonesia

F. Pokok Bahasan
1. Konsep kerukunan umat beragama;
2. Dasar-dasar kerukunan tinjauan teologis, filosofis dan praksis;
3. Analisis SWOT pengembangan kerukunan umat beragama.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI KUB SECARA ETIMOLOGI DAN TERMINOLOGI


1. Secara Etimologi adalah:
Secara etimologis kerukunan pada mulanya berasal dari bahasa arab yaitu
“ruknun” yang berarti tiang, dasar, sila, jamak rukun adalah “arkaan” yaitu
suatu bangunan sederhana yang terdiri dari berbagai unsure, dari kata arkaan
memperoleh pengertian bahwa: kerukunan merupakan suatu kesatuan yang
terdiri dari berbagai unsur yang yang berlainan dan setiap unsur itu saling
menguatkan. Dalam pengertian sehari-hari rukun dan kerukuna n adalah damai
dan perdamaian. Dari sini dapat dikemukakan bahwa kerukunan menyangkut
masalah sikap dan ini tidak terpisahkan dari etika yang erat terkait dan
terpancar dari agama yang di yakini sebagaimana di jelaskan dalam al qur’an
surat An-nisa 36.
Rukun (n-nomina) : (1) sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya pekerjaan,seperti:
tidak sah sembahyang yang tidak cukup syarat dan rukunnya; (2) asas, berarti: dasar,
sendi: semuanya terlaksana dengan baik, tidak menyimpang dari rukunnya; rukun
Islam: tiang utama dalam agama Islam, rukun iman: dasar kepercayaan dalam
agama Islam:
Rukun (a-ajektiva) berarti (1) baik dan damai.tidak bertentangan : kita hendaknya
hidup rukun dengan tetangga; (2) bersatu hati, bersepakat : penduduk kampung itu
rukun sekali. Merukunkan berarti : (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati.
Kerukunan (1) perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan : kerukunan hidup
bersama.
Kata rukun (n) berarti perkumpulan yang berdasar tolong-menolong dan
persahabatan; rukun tani : perkumpulan kaum tani; rukun tetangga; perkumpulan
antara orang-orang yang bertetangga; rukun warga atau rukun kampung
perkumpulan antara kampong-kampung yang berdekatan (bertetangga, dalam suatu
kelurahan atau desa).
Jadi Kerukunan Hidup Umat Beragama, berarti:
a. Perihal hidup rukun yaitu hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar;
bersatu hati dan bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya; atau antara
umat dalam satu agama;
b. Kesediaan untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang maupun
kelompok lain;
c. Kesediaan membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya;
d. Kemampuan untuk menerima perbedaan selanjutnya menikmati suasana
kekhusyuan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka mengamalkan ajaran
agamanya;

2. Secara Terminologi:
"Setiap umat beragama dilarang menyalahkan atau mengganggu keyakinan orang
lain - meski keyakinannya tentang jalan keselamatan berbeda dengannya dan pada
praktiknya, proses penyiaran agama (dakwah/misionari) harus tetap memperhatikan
etika penyiaran dan tetap memperhatikan kerukunan,"(Drs. H. Jamzuri).
Kerukunan Umat Beragama juga berarti “keadaan hubungan sesama umat beragama
yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara didalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”. (PBM No. 9 & 8 Tahun 2006).
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kerukunan adalah suatu
perwujudan sikap keberagamannya dalam bentuk saling menghormati,
menghargai dengan berpartisipasi aktif untuk saling berkomunikasi dan bekerja
sama dalam kehidupan untuk mewujudkan suasana tentram dan kebahagiaan
bersama.
Dalam pengertian diatas, kerukunan harus diartikan sebagai sikap proaktif antar
pihak-pihak yang terlibat untuk membicarakan agenda kehidupan beragama atas
dasar keterbukaan dan menerima apa adanya. Tentang berbagai hal, baik
menyangkut kelebihan maupun kekurangan atau kelemahan masing-masing.
Sehingga kerukunan secara inheren merupakan wujud sikap inklusif, bukan
eksklusif. Sikap yang terahir ini, sebenarnya kerukunan dalam makna yang
semu. Biasanya muncul dalam lingkungan masyarakat dimana agama-agama itu
hidup masih homogen, tertutup dan belum ada dunia lain.

B. RUANG LINGKUP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


Konsep kerukunan hidup beragama mencakup 3 kerukunan.yaitu : 1) kerukunan intern
umat beragama, 2) kerukunan antar umat yang berbeda-beda agama, dan 3) kerukunan
antara (pemuka) umat beragama dengan Pemerintah. Tiga kerukunan tersebut biasa
disebut dengan istilah “Tri Kerukunan. Yaitu:
1. Kerukunan INTERN UMAT BERAGAMA. Islam (QS. An-Nisak, 4:59).
Adalah kerukunan yang tercipta diantara sesama umat yang seagama. Misalnya
antar umat Islam dengan umat Islam yang lain, umat kristiani dengan sesama umat
kristiani, sesama umat budha, sesama umat hindu dan seterusnya. Hubungan yang
harmonis di antara mereka yang pada kelanjutanya dapatmenciptakan suasana
sejuk, aman, dan temtram pada lingkungannya. Tidak di pungkiri perbedaan
dalam pemahaman ajaran agamanya cukup bervariasi. Sehingga
implementasinya, tampak beragam. Dari sinilah biasanya titik rawan terhadap
klaim-kalim kebenaran dari pemahamannya dan memberi penilaian yang
negatif bagi penafsiran bentuk lain. Sikap eksklusif membuat tata hubungan
sesama umat seiman menjadi kaku. Perbedaan diatas secara jelas dari
banyaknya kelompok-kelompok atau forqoh-forqoh. Dalam islam terdapat Islam
NU, Islam Muhammadiya, Islam Jama’ah, Islam Ahmadiyah,dll Sementara
dalam kristen ada kristen khatolik, kristen protestan----, begitu juga dengan
agama lain.
Singkatnya, Kerukunan antar pemeluk agama yang sama, yaitu suatu bentuk
kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya,
kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen.

2. Kerukunan ANTAR UMAT BERAGAMA. Doktrin Islam (QS. Al-Kafirun, QS. Al-
Baqarah, 2: 139), meliputi: a) Rukun sebagai sama-sama anggota masyarakat; b)
Ada hak bertetangga yang harus ditunaikan.
Kerukunan antar umat beragama adalah keharmonisan hubungan antar penganut
agama yang berbedabeda, erukunan jenis ini, tidak kalah pentingnya dengan
kerukunan pertama.Justru benturan-benturan kehidupan beragama, volumenya
paling banyak terutama kesenjangan ekonomi-sosial. usaha-usaha menciptakan
suasana sejuk,aman dan damai harus selalu di galakkan. Karena ada semacam
bahaya laten yang terus menggrogoti setiap potensi kelemahan masing-masing.
Jadi, kerukunan antar umat beragama lain, yaitu suatu bentuk kerukunan yang
terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan
antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau
kerukunan yang dilakukan oleh semua agama.

3. Kerukunan UMAT BERAGAMA DENGAN PEMERINTAH, meliputi: a)Indonesia


bukan negara Agama; b) Indonesia menghormati Kebebasan Warganya untuk
memeluk dan menjalankan ibadah sesuai agamanya masing-masing; c) Konsekuensi
warga negara adalah tunduk pada perundang-undangan.
Yaitu keharmonisan umat beragama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan
Budha) dengan Pemerintah (Gavernance). Kerukunan bentuk ini bisa di lihat,
sejauhmana peran dan partrisipasi umat beragama dalam menyukseskan
pembangunan nasional. Pemerintah sangat berkepentingan mendapat dukungan
dan peran aktif umat beragama. Secara sepihak “non sence” pemerintah dapat
menjalankan sendiri semua agenda pembangunan.

C. KLAIM KEBENARAN DAN JALAN KESELAMATAN


Ada peluang dan tantangan dalam hubungannya dengan kerukunan umart beragama
ini, di antaranya:
Peluang, meliputi: a) Akar historis pembentukan NKRI; b) Misi kemanusiaan dalam
agama; c) Pancasila sebagai titik temu peradaban manusia indonesia; d) Dialog
organisasi-organisasi agama; e) Budaya dan kearifan lokal sebagai penyangga
kerukunan.
Sedangkan Tantangannya, meliputi: a) Agama yang janus face; b) Doktrin
kebenaran tunggal perspektif theologi; c) Kompleksitas dimensi problem sosial
ekonomi; d) Pemahaman keagamaan bervariasi; e) Masuknya simbol agama dalam
ranah publik.
Adapun hambatan lainnya adalah: a) Ada kecenderungan mengejar peningkatan
jumlah pemeluk; b) Keinginan mendirikan rumah beribadah tanpa memperhatikan
norma berlaku; c) Menggunakan masyoritas suara sebagai finalisasi masalah; d)
Bergesernya pola hidup dari gotong royong ke individualistik; e) Miskin dari model
impelemntasi spiritualitas dalam ranah sosial.
Klaim kebenaran dan jalan keselamatan, meliputi:
1. Eksklusivisme: Bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu
secara eksklusif.
2. Inklusivisme: merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar.
Contoh Klaim Kebenaran ´
a. Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”; ´
b. Kristen dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”; ´
c. Katolik dengan doktrin “outside Christianity, no salvation; ´
d. Islam ( Ali Imran : 19 dan 85 ).
Upaya mewujudkan kerukunan hidup beragama tidak terlepas dari faktor
penghambat dan penunjang. Faktor penghambat kerukunan hidup beragama selain
warisan politik penjajah juga fanatisme dangkal, sikap kurang bersahabat, cara-cara
agresif dalam dakwah agama yang ditujukan kepada orang yang telah beragama,
pendirian tempat ibadah tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan pengaburan nilai-nilai ajaran agama antara suatu agama dengan agama
lain; juga karena munculnya berbagai sekte dan faham keagamaan kurangnya
memahami ajaran agama dan peraturan Pemerintah dalam hal kehidupan beragama.
Faktor-faktor pendukung dalam upaya kerukunan hidup beragama antara lain
adanya sifat bangsa Indonesia yang religius, adanya nilai-nilai luhur budaya yang telah
berakar dalam masyarakat seperti gotong royong, saling hormat menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, kerjasama di kalangan intern
umat beragama, antar umat beragama dan antara umat beragama dengan Pemerintah.
Pada zaman kemerdekaan dan pembangunan sekarang ini, faktor-faktor
pendukung adalah adanya konsensus-konsensus nasional yang sangat berfungsi dalam
pembinaan kerukunan hidup beragama, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang atau yang berkaitan dengan
kerukunan hidup beragama.
Dari segi Pemerintah, upaya pembinaan kerukunan hidup beragama telah dimulai
sejak tahun 1965, dengan ditetapkannya Penpres Nomor 1 Tahun 1965 tentang
Pencegahan Pe-nyalahgunaan atau Penodaan Agama yang kemudian dikukuhkan
menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Pada zamam pemerintahan Orde Baru,
Pemerintah senantiasa memprakarsai berbagai kegiatan guna mengatasi ketegangan
dalam kehidupan beragama, agar kerukunan hidup beragama selalu dapat tercipta, demi
persatuan dan kesatuan bangsa serta pembangunan. Pada tanggal 30 Nopember 1967
Pemerintah menyelenggarakan suatu Musyawarah Antar Agama di Jakarta, dengan
tujuan untuk menyepakati adanya Piagam tentang penyebaran agama serta upaya untuk
membentuk Badan Konsultasi Agama. Karena suasana pada waktu itu belum
mendukung, maka tujuan Musyawarah ini tidak tercapai. Walaupun tidak menghasilkan
sesuatu sebagaimana diharapkan, namun peristiwa itu sendiri merupakan titik awal bagi
upaya peningkatan kerukunan hidup beragama yang lebih intensif. Upaya tersebut
ditandai dengan munculnya usaha konsolidasi intern dari masing-masing agama yang
pada akhirnya mendorong terbentuknya majelis-majelis agama.

Dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-
upaya yang mendorong terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap
dalam bentuk :
1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar
umat beragama dengan pemerintah;
2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong
dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi
dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi;
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka
memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang
mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama;
4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari
seluruh keyakinan plural umat manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman
bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu
sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan;
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan
yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-
penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan;
6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara
menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan
tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor
tertentu;
7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat,
oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah
fenomena kehidupan beragama;
Dari sisi ini maka kita dapat mengambil hikmahnya bahwa nilai-nilai kemanusiaan
itu selalu tidak formal akan mengantarkan nilai pluralitas kearah upaya selektifitas
kualitas moral seseorang dalam komunitas masyarakat mulya (Makromah), yakni
komunitas warganya memiliki kualitas ketaqwaan dan nilai-nilai solidaritas sosial.
Langkah-Langkah Strategis Dalam Memantapkan Kerukunan Hidup Umat Beragama
Singkatnya, upaya yang dilakukan dalam menjaga Tri Kerukunan ini, di antaranya:
1. Memperkuat dasar tri kerukunan
2. Membangun harmoni sosial
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif
4. Eksplorasi nilai-nilai kemanusiaan dalam theologi masing masing agama
5. Pendalaman nilai spiritual yang implementatif
6. Membuang rasa curiga antar pemeluk agama
7. Menyadari perbedaan sebagai keniscayaan
D. TEOLOGI KERUKUNAN
1. Agree In Disagreement (setuju di dalam perbedaan/toleransi)
“Agree in Disagreement “ (setuju di dalam perbedaan) adalah prinsip yang selalu
didengugkan oleh Mukti Ali. Perbedaan tidak harus ada permusuhan, karena
perbedaan selalu ada di dunia ini, dan perbedaan tidak harus menimbulkan
pertentangan. Dari sekian banyak pedoman atau prinsip yang telah disepakati
bersama, Said Agil Al Munawar mengemukakan beberapa pedoman atau
prinsip, yang perlu diperhatikan secara khusus dan perlu disebarluaskan seperti
tersebut di bawah ini:
a. Kesaksian yang jujur dan saling menghormati (frank witness and mutual
respect) Semua pihak dianjurkan membawa kesaksian yang terus terang tentang
kepercayaanya di hadapan Tuhan dan sesamanya, agar keyakinannya masing-
masing tidak ditekan ataupun dihapus oleh pihak lain. Dengan demikian rasa
curiga dan takut dapat dihindarkan serta semua pihak dapat menjauhkan
perbandingan kekuatan tradisi masing-masing yang dapat menimbulkan sakit
hati dengan mencari kelemahan pada tradisi keagamaan lain.
b.Prinsip kebebasan beragama (religius freedom). Meliputi prinsip kebebasan
perorangan dan kebebasan sosial (individual freedom and social freedom).
Kebebasan individual sudah cukup jelas setiap orang mempunyai kebebasan
untuk menganut agama yang disukainya, bahkan kebebasan untuk pindah
agama. Tetapi kebebasan individual tanpa adanya kebebasan sosial tidak ada
artinya sama sekali. Jika seseorang benar-benar mendapat kebebasan agama, ia
harus dapat mengartikan itu sebagai kebebasan sosial, tegasnya supaya agama
dapat hidup tanpa tekanan sosial. Bebas dari tekanan sosial berarti bahwa
situasi dan kondisi sosial memberikan kemungkinan yang sama kepada semua
agama untuk hidup dan berkembang tanpa tekanan.
c. Prinsip penerimaan (Acceptance). Yaitu mau menerima orang lain seperti
adanya. Dengan kata lain, tidak menurut proyeksi yang dibuat sendiri. Jika kita
memproyeksikan penganut agama lain menurut kemauan kita, maka pergaulan
antar golongan agama tidak akan dimungkinkan. Jadi misalnya seorang
Kristen harus rela menerima seorang penganut agama Islam menurut apa adanya,
menerima Hindu seperti apa adanya.
d.Berfikir positif dan percaya (positive thinking and trustworthy) Orang berpikir
secara “positif dalam perjumpaan dan pergaulan dengan penganut agama lain,
jika dia sanggup melihat pertama yang positif, dan yang bukan negatif. Orang
yang berpikir negatif akan kesulitan dalam bergaul dengan orang lain. Dan
prinsip “percaya” menjadi dasar pergaulan antar umat beragama. Selama
agama masih menaruh prasangka terhadap agama lain, usaha-usaha ke arah
pergaulan yang bermakna belum mungkin. Sebab kode etik pergaulan adalah
bahwa agama yang satu percaya kepada agama yang lain, dengan begitu
dialog antar agama antar terwujud.
Mewujudkan kerukunan dan toleransi dalam pergaulan hidup antar umat
beragama merupakan bagian usaha menciptakan kemaslahatan umum serta
kelancaran hubungan antara manusia yang berlainan agama, sehingga setiap
golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntutan agama
masing-masing.

2. Kesadaran Multikulturalisme.
Multikulturalisme merupakan paham atau doktrin yang mengakui dan menerima
perbedaan etnis, dengan identitas kebudayaannya masing-masing. Adanya
pengakuan dan penerimaan perbedaan mengisyaratkan bahwa ada kesetaraan di
antara berbagai elemen masyarakat yang beragam tersebut. Ini berarti bahwa
masyarakat bersedia menerima dan memberi pengakuan atas kelompok masyarakat
yang lain, meskipun berbeda dengan dirinya. Artinya ada politics of recognition
dalam proses interaksi dalam masyarakat. Pelaksanaan multikulturalisme
memerlukan instrumen untuk menopangnya. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan
intrumen penting bagi terlaksananya multikulturalisme.
Kesadaran terhadap multikulturalisme ini diperlukan karena terjadi banyak kasus
radikalisme berlatar belakang perbedaan etnis, budaya, agama, dan paham
keagamaan. Umumnya radikalisme itu disebabkan ketidaksiapan individu atau
kelompok untuk hidup dalam lingkungan yang plural. Padahal pluralitas menurut
Buya Syafii merupakan suatu keniscayaan.
Dalam perspektif agama, pluralitas disebut bahkan bagian dari ketetapan Tuhan
(sunnatullah). Multikulturalisme dapat dipahami sebagai paham yang mengajarkan
pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya sehingga menumbuhkan kepedulian
agar kelompok minoritas terintegrasi dalam masyarakat. Multikulturalisme juga
meniscayakan kelompok mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok
minoritas sehingga kekhasan identitas mereka tetap diakui (Will Kymlicka dalam
Multicultural Citizenship, 1995).
Dengan demikian, arah multikulturalisme adalah menciptakan, menjamin, dan
mendorong ruang publik sehingga memungkinkan beragam komunitas berkembang
sesuai kekhasan masing-masing. Menurut Haryatmoko (2007), ada tiga alasan yang
menjadikan kesadaran multikulturalisme diperlukan. Pertama, ada fenomena
penindasan atau penafian atas dasar etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan.

3. Indonesia Sebagai Wadah Kesatuan Dan Wujud Kebersamaan Dalam


Berbangsa Dan Bernegara
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights) serta Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social,
and Cultural Rights).
Pengakuan negara atas HAM diwujudkan dalam Pasal 8 UUD 1945 yang
diamandemen, TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, serta UU No.39 Tahun 1999
tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM yang
diakui di Indonesia terdiri dari:
a. Hak untuk hidup.
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf
kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin
serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
c. Hak mengembangkan diri.
Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik
secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.
d. Hak memperoleh keadilan.
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang
bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan adil dan benar.
e. Hak atas kebebasan pribadi.
Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik,
mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing,
tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas
bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
f. Hak atas rasa aman.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
g. Hak atas kesejahteraan.
Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat
dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang
dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak
mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
h. Hak turut serta dalam pemerintahan.
Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau
perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam
setiap jabatan pemerintahan.
i. Hak perempuan.
Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan,
profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-
undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-halyang dapat mengancam
keselamatan dan atau kesehatannya.
j. Hak anak.
Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan
negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka
pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan
hukum.
Multikulturalisme penting bagi Indonesia, khususnya Lampung, yang
masyarakatnya multikultural. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat
yang terdiri dari berbagai ras ras etnis yang masing-masing memiliki identitas
kebudayaannya sendiri. Masing-masing memiliki nilai, kepercayaan, adat -istiadat,
bahasa, tata kelakuan, dan kebenaran masing-masing serta merasa kebudayaan
mereka valid. Kesadaran multikulturalisme penting karena dengan penyadaran
individu atau kelompok atas keberagaman kebudayaan, masyarakat akan memiliki
kemampuan untuk mendorong lahirnya sikap toleransi, dan dialog, kerjasama di
antara beragam etnis dan ras. Sikap toleransi, dan dialog, kerjasama di antara
beragam etnis dan ras akan mendorong tumbuhnya demokrasi dan stabilitas politik.

4. Konsep Kerukunan Dalam Perspektif Agama-agama


Sebenarnya ajaran tentang kerukunan hidup antar umat beragama sudah ada
dalam agama-agama yang ada di Indonesia. Dalam ajaran agama Islam di dalam
Surat Al-Hujuraat 13, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami
enciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dalam perspektif Kristen kerukunan sebagaimana di jelaskan dalam Korintus
12:12-16. ayat ini mengatakan demikian : 1) Karena sama seperti tubuh itu satu
dan anggota-anggotanya banyak, sekalipun banyak merupakan satu tubuh.
Demikian pula manusia hidup di dunia ini. 2) Sebab dalam satu kita semua,
baik orang yahudi maupun orang yunani; baik budak maupun orang merdeka,
telah dibabtis dalam satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu roh; 3)
Karena tubuh juga tidak berdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. 4)
Andaikata kaki berkata karena aku bukan tangan, aku tidak termasuk tubuh:
jadi benarkah ia bukan termasuk tubuh ? 5) Dan andaikata telinga berkata karena
aku bukan tangan, aku tidak termasuk tubuh: jadi benarkah ia tidak termasuk
tubuh ?
Ungkapan-ungkapan Rasul Paulus dari ayat-ayat diatas, berdasar pada apa yang
terjadi pada kehidupan umat di kota korintus.
Dalam konteks agama Katholik disebutkan bahwa Yesus Kristus tidak
menghendaki umatnya berseteru sebaliknya beliau menghendaki umatnya
mencapai derajat tertinggi dalam kerajaan Allah sabda beliau. “Berdamailah dengan
musuhmu sebelum engkau mendengar sabda-Ku. Cintailah musuhmu seperti engkau
mencintai dirimu. Apabila engkau ditampar pipi kananmu berikan juga pipi kirimu”.
Sesunguhnya setiap umat Hindu harus selalu sadar bahwa peresatuan dan
kesatuan kehidupan yang rukun tentram dan damai itu suatu keharusan.
Menyadari pula bahwa perbedaan adalah realitas yang tidak boleh dipandang
sebagai sesuatu yang menghalangi pertasatuan dan kesatuan. Sehubungan
dengan gagasan tersebut dalam Vida di Jelaskan sebagai berikut:
“Hendaknya bersatu padulah, bermusyawarah dan mufakat guna mencapai
tujuan dan maksud yang sama, seperti para dewa pada yaman dahulu telah
bersatu padu. Begitu juga bersembahyanglah menurut caramu masing-masing,
namun tujuan dan hatimu tetap sama, serta fikiranmu satu, agar kita dapat
hidup bersama dengan bahagia. (Rg.Veda X.191.2-4).
Dalam konteks ajaran agama Budha, kerukunan mengandung pengertian esyo
funni. Artinya manusia dan alam ini merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Dalam agama budah diajarkan sikap untuk dapat menerima
perbedaan secara apa adanya. Umat Budha juga dibekali dengan sikap Matri
karma suatu sikap mencabut duka dan memberikan suka. menurut Ajaran Budha
segala perbuatan baik termasuk didalalamnya menciptakan kerukunan antar
sesama merupakan sarana merombak karma buruk menjadi karma baik, sedang
perbedaan merupakan sarana meningkatkan pertapaan.

E. ANALISIS SWOT KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


SWOT adalah singkatan dari empat perkataan dalam bahasa Inggris, yaitu strengths
(kekuatan), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang) dan threats (tantangan).
Kekuatan adalah sumber daya, kapasitas, keunggulan dan potensi yang dapat digunakan
secara efektif untuk mencapai tujuan. Kelemahan dipahami sebagai keterbatasan,
kekurangan dan ketidakberdayaan yang dapat menghambat pencapaian tujuan.
Sedangkan peluang merupakan situasi yang mendukung untuk pengembangan sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai. Adapun ancaman adalah situasi yang tidak
mendukung, berupa hambatan dan kendala atau berbagai unsur eksternal yang potensial
yang mengganggu sehingga menimbulkan masalah, kerusakan atau kekeliruan.
Analisis terhadap keempat hal tersebut, berarti mencoba melihat secara mendasar dan
mendalam tentang kondisi objektif untuk kepentingan dan kemajuan dakwah, baik
melihat ke dalam diri (intern) maupun kondisi di luar diri (ekstern). Dua hal yang
disebutkan pertama, yaitu kekuatan dan kelemahan merupakan upaya analisis ke dalam,
sedangkan peluang dan tantangan merupakan analisis ke luar. Untuk mencapai kemajuan
dakwah, maka perlu menyelaraskan antara aktivitas dan kondisi internal dengan realitas
ekternal agar dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Peluang-peluang pengembangan
dakwah tidak akan berarti, jika tidak mampu memanfaatkan potensi, kekuatan dan
sumber daya yang dimiliki pada tataran internal.
1. Peluang
a. Akar historis pembentukan NKRI
b. Misi kemanusiaan dalam agama
c. Pancasila sebagai titik temu peradaban manusia indonesia
d. Dialog organisasi-organisasi agama
e. Budaya dan kearifan lokal sebagai penyangga kerukunan
2. Tantangan
a. Agama yang janus face
b. Doktrin kebenaran tunggal perspektif theologi
c. Kompleksitas dimensi problem sosial ekonomi
d. Pemahaman keagamaan bervariasi
e. Masuknya simbol agama dalam ranah publik dan politik
3. Hambatan
a. Ekspresi keagamaan yang keliru, misal fanatisme memonopoli dan memutlakkan
kebenaran sendiri, diikuti semangat misionarisme yang militan, merendahkan pihak lain
bahkan memandangnya sebagai musuh.
b. Ada kecenderungan mengejar peningkatan jumlah pemeluk
c. Keinginan mendirikan rumah beribadah tanpa memperhatikan norma berlaku
d. Menggunakan mayoritas suara sebagai finalisasi masalah
e. Bergesernya pola hidup dari gotong royong ke individualistik
f. Miskin dari model implementasi spiritualitas dalam ranah sosial
4. Upaya Yang dilakukan dalam rangka pemetaan pengembangan kerukunan umat beragama:
a. Memperkuat dasar tri kerukunan
b. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan
mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi yang ideal
untuk menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi
c. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif
d. Eksplorasi nilai nilai kemanusiaan dalam theologi masing masing agama
e. Pendalaman nilai spiritual yang implementatif
f. Membuang rasa curiga antar pemeluk agama
g. Menyadari perbedaan sebagai keniscayaan
Dua Kebijakan Besar untuk Menjaga Kerukunan Umat Beragama:
1. Memberdayakan masyarakat, kelompok-kelompok agama, serta pemuka agama untuk
menyelesaikan sendiri masalah kerukunan umat beragama.
2. Memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama (UU, SKB.. dll..).

Sedangkan Peran Majelis Agama dalam KUB:


1. Memberikan pemahaman tentang diri dan pihak lain, hidup bersama.
2. Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan lintas agama, dalam upaya membangun understanding
dan saling menghormati/menghargai.
3. Memperkuat kerjasama antarumat beragama dalam berbagai bentuk dan tingkat.
4. Mengisi dan mendukung program dan inisiasi Pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama.

The Five Deadly Sins In Religious Harmony (Lima Dosa Mematikan Dalam KUB):
1. Jangan berperilaku yang bertentangan dengan ajaran agama
2. Jangan tidak perduli dengan kesulitan orang lain meski beda agama
3. Jangan mengganggu orang lain yang berbeda agama
4. Jangan menghasut yang menimbulkan kebencian antar pemeluk agama
5. Jangan saling curiga tanpa landasan hukum
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah Ratu Prawiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, (Jakarta: Departemen Agama,
1982).
Kementerian Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Bergama,
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2009).
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Merajut Kerukunan Umat Bergama melalui Dialog Pengembangan
Wawasan Multikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008).
Ridwan Lubis, dkk, Buku Penuntun Kerukunan Hidup Umat Beragama, (Bandung: LPKUB Medan dan
Ciptapustaka Media, 2004).
Said Agil Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003).

Anda mungkin juga menyukai